Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling
Oleh :
Ignatia Tutus Atmajanti 0 3 1 1 1 4 0 0 4
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
ii
iii
iv
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya ini untuk :
Yesus Kristus yang senantiasa menyertai disetiap langkahku
Alm. Ayah YB. Moech Yasir dan Alm. Kakak Alb. Puji Widodo
Ibunda Tercinta Yustina Warsiti
Kakak-kakakku:
MM. TEW Larasati sekeluarga,
Agt. Agus Suwondo SSCC,
F. Penilaras sekeluarga,
A. Wuri Handayani sekeluarga
Sahabat-sahabat terbaikku: M. Suryatmi sekeluarga, Lietha, Bertha
Keluarga Besar SMA Santo Mikael Sleman
Almamater-ku, Universitas Sanata Dharma
v
MOTTO
“ Dia memiliki rancangan indah bagi setiap kita, untuk
hari depan yang penuh harapan. Berseru dan datang padaNya
maka kita diselamatkanNya. “
(Yer 29:11-12)
“ Semua keberhasilan dalam hidup memerlukan proses, tidak ada
yang terjadi secara instan ”
(Ignatia Tutus Atmajanti)
“ karena bagi Allah tidak ada yang mustahil, dan aku adalah
hambamu maka terjadilah padaku sesuai dengan kehendakMu“
(Luk 1:37-38)
vi
vii
viii
ABSTRAK
MANFAAT YANG DIALAMI PARA SISWA KELAS XI DALAM KONSELING PRIBADI DI SMA SANTO MIKAEL SLEMAN
TAHUN AJARAN 2009/2010 Ignatia Tutus Atmajanti Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta 2010
SMA Santo Mikael Sleman merupakan sekolah Yayasan Santa Maria. Sekolah ini semula SPG dan menjadi SMA pada tahun 1984, dan sejak tahun itu memiliki guru pembimbing. Guru pembimbing diperlukan untuk mendampingi siswa dalam tugas perkembangan sebagai remaja akhir. Mulai tahun ajaran 2008/2009 guru pembimbing tidak terjadwal untuk melakukan bimbingan klasikal. Akan tetapi sekolah tetap memfasilitasi siswa supaya dapat melakukan konseling pribadi. Oleh karena itu skripsi ini dimaksudkan untuk mengetahui manfaat yang dialami siswa kelas XI dalam konseling pribadi. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan metode survei. Populasi penelitian ini adalah siswa kelas XI SMA Santo Mikael Sleman tahun ajaran 2009/2010 yang berjumlah 55 siswa. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner manfaat yang dialami para siswa kelas XI dalam konseling pribadi di SMA Santo Mikael Sleman tahun ajaran 2009/2010, dengan jumlah 30 item pernyataan.
ix
ABSTRACT
THE BENEFIT OF PRIVATE COUNSELINGS FOR THE 11TH GRADERS OF ST. MICHAEL HIGH SCHOOL OF THE 2009/2010 ACADEMIC YEAR
Ignatia Tutus Atmajanti Sanata Dharma University
Yogyakarta 2010
St. Michael Sleman High school is belongs to Santa Maria’s foundion. The school was originally SPG ( Sekolah Pendidikan Guru = Teachers Training School) and become a high school in 1984, since then it always have a guidance counselor. A guidance counsellor is required to accompany the students at the end of their adolescent. Starting from the 2008/2009 Academic Year the guidance counsellor is not scheduled to perform classical guidance. However the school maintains to facilitate the students personal counselling. Therefore, this thesis is intended to recognize the benefits experienced by students of class XI in private counselings. This study is a descriptive study utilizing the survey method. The population of the research is 55 (fifty fuve) 11th graders of St. Michael Senior High School of the 2009/2010 academic year. The instrument used in this study is a questionnaire about the benefits experienced by the 11th graders in private counselings at St. Michael Senior High School academic year 2009/2010, with 30 statements to fill in.
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Baik serta berkat
dan karunia-Nya yang sangat berlimpah, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Pendidikan di bidang Bimbingan dan Konseling.
Penulis menyadari skripsi ini disusun berkat bantuan, dukungan dan perhatian
dari berbagai pihak yang telah memberikan masukan-masukan yang berharga. Oleh
karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Dr. M.M. Sri Hastuti, M.Si., Ketua Program Studi Bimbingan dan Konseling
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Ibu Dra. Ignatia Esti Sumarah, M.Hum., Dosen pembimbing yang telah
memberikan saran, perhatian, dan bimbingan bagi penulis dalam menyusun
skripsi ini.
3. Bapak Alm. Drs. Wens Tanlain, M.Pd. yang dengan kerelaan membimbing
pengolahan data penelitian.
4. Segenap dosen dan karyawan di Program Studi Bimbingan dan Konseling yang
telah membantu penulis dalam memperlancar studi.
5. Suster M. Bernadette SND, S.Pd., Kepala Sekolah SMA Santo Mikael Sleman
yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian di kelas
xi
6. Ibu Siti Hartini, B.A., Koordinator Bimbingan dan Konseling SMA Santo Mikael
Sleman yang telah membantu memperlancar penelitian.
7. Siswa-siswi kelas XI SMA Santo Mikael Sleman Tahun Ajaran 2009/2010, yang
bersedia mengisi kuesioner penelitian.
8. Bapak, Ibu guru beserta segenap karyawan SMA Santo Mikael Sleman atas
kesediaanya meluangkan waktu demi berlangsungnya penelitian di sekolah.
9. Untuk Almarhum YB. Moech Yasir, ayahanda tercinta, yang selama hidupnya
senantiasa memacu dan memfasilitasi penulis untuk dapat menyelesaikan studi.
10. Untuk Almarhum Albertus Puji Widodo, kakanda penulis, yang telah memberi
teladan tentang pentingnya tekun untuk menyelesaikan studi.
11.Ibu Y. Warsiti, ibunda tercinta yang dengan sabar selalu memberikan semangat,
dukungan, cinta serta doa kepada penulis.
12.Kakak-kakak MM. TEW Larasati sekeluarga, Agustinus Agus Suwono SSCC,
Florentine Peni Laras sekeluarga, Anastasia Wuri Handayani sekeluarga yang
telah memberikan dukungan, perhatian serta doa kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
13.Keluarga besar Cabean, terutama Biyung, dhe Arni, om Tono, bulik Ning, bulik
Laras, atas doa, dukungan dan masukan kepada penulis.
14.Yohanes de Britto Setya Nugroho yang telah mendukung penulis selama ini
terlebih dalam menyelesaikan skripsi.
15.Keluarga besar Bapak FX. Sudarman (Alm.) beserta Ibu Chr. Sutiwiyarti, atas
xii
16.Teman-teman Program Studi Bimbingan dan Konseling angkatan 2003,
khususnya: mba Surmi sekeluarga, Litha, Bertha, Erna, Bertus, Asep, atas
kebersamaan, semangat, bantuannya pada penulis dari masa studi sampai
menyelesaikan skripsi ini.
17.Pembimbing dan seluruh asisten KUMON Griya Indah, juga Pimpinan dan semua
asisten PSIBK, atas pengertian dan dukungan pada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
18.Penulis juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu
dan tidak bisa disebutkan satu persatu dalam lembaran ini. Semoga Tuhan
senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan
dapat digunakan sebagaimana mestinya bagi mereka yang memerlukan.
Yogyakarta, 23 Juni 2010 Penulis
xiii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ……… i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……… ii
HALAMAN PENGESAHAN ………. iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ……….. iv
HALAMAN MOTTO ………. v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ..……… vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ..……… vii
ABSTRAK ………..……….. viii
ABSTRACT ……….……… ix
KATA PENGANTAR ……….……… x
DAFTAR ISI ……….………... xiii
DAFTAR TABEL ……….……….. xv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang ………..………..……….. 1
B. Rumusan masalah ………..………... 5
C. Tujuan penelitian ………..……… 5
D. Manfaat hasil penelitian …………..………. 6
E. Definisi operasional variable ..…..……… 6
BAB II KAJIAN TEORITIS A. Sekolah Menengah Atas Santo Mikael Sleman 1. SMA Santo Mikael Sleman ……… 7
2. Siswa Kelas XI ……… 8
3. Layanan Konseling di SMA Santo Mikael ……….. 12
B. Layanan Konseling Pribadi 1. Pengertian Konseling Pribadi ……….. 12
2. Tujuan Konseling Pribadi ……… 14
3. Proses Konseling Pribadi ………. 15
4. Aspek-aspek Konseling Pribadi ………... 17
C. Hal-hal yang Dialami Para Siswa dalam Konseling Pribadi ……… 20
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ……….. 32
B. Populasi Penelitian ……… 32
C. Alat Ukur 1. Kuesioner ……….. 33
xiv
b. Pemberian Skor ... 36
c. Reliabilitas Kuesioner ……… 36
d. Klasifikasi Validitas dan Reliabilitas Kuesioner ……… 37
3. Kategori Manfaat yang Dialami Para Siswa Dalam Konseling ………… 38
D. Pengumpulan Data ……… 38
E. Teknik Analisis Data 1. Perhitungan koefisien reliabilitas kuesioner dengan teknik belah dua ………. 39
2. Perhitungan koefisien validitas kuesioner ……….. 40
3. Mean ……….. 40
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ………. 41
1. Gambaran umum keseluruhan manfaat yang dialami para siswa Kelas XI dalam konseling pribadi ……….………… 42
2. Gambaran secara keseluruhan manfaat yang dialami para siswa Kelas XI dalam konseling pribadi ……….………… 43
B. Pembahasan ………. 44
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ………. 47
B. Saran ………. 47
DAFTAR PUSTAKA ……….. 51
xv
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
Tabel 1 : Populasi Siswa-siswi kelas XI SMA St. Mikael Sleman
Tahun Ajaran 2009/2010 ………..……… 33
Tabel 2 : Kisi-kisi kuesioner manfaat yang dialami para siswa kelas XI
dalam konseling pribadi di SMA St. Mikael Sleman tahun ajaran
2009/2010 ………... 35
Tabel 3 : Kualifikasi koefisien korelasi suatu alat ukur ... 37
Tabel 4 : Koefisien Reliabilitas dan Validitas Kuesioner ……… 37
Tabel 5 : Jadwal Pelaksanaan Pengumpulan Data Penelitian ………….. 39
Tabel 6 : Manfaat yang dialami pada siswa kelas XI dalam konseling pribadi
SMA Santo Mikael ……… 42
Tabel 7 : Manfaat yang dialami pada siswa kelas XI dalam konseling pribadi
SMA Santo Mikael secara keseluruhan ………. 43
Tabel 8 : Skor penelitian kelas XI di SMA St. Mikael Sleman
tahun ajaran 2009/2010 ……….. 56
Tabel 9 : Penghitungan koefisien reliabilitas dan validitas dengan teknik
belah dua ganjil-genap ……….……….. 58
Tabel 10 : Skor manfaat yang dialami para siswa kelas XI dalam konseling
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
SMA Santo Mikael Sleman merupakan salah satu sekolah yayasan
Katolik yang dikelola oleh suster-suster SND Cabang Kabupaten Sleman,
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Siswa-siswi SMA Santo Mikael
Sleman, berasal dari luar kota seperti Bandung dan Jakarta; bahkan ada yang
dari luar daerah, seperti Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur (NTT),
maupun Papua. Rentang usia siswa-siswi SMA antara 16-19 tahun. Usia
tersebut termasuk ke dalam kategori remaja akhir yang memiliki tugas-tugas
perkembangan sebagai berikut: mencapai hubungan yang lebih matang dengan
teman sebaya baik pria maupun wanita, mencapai peran sosial, menerima
keadaan fisik dan menggunakannya secara efektif, mengharapkan dan
mencapai perilaku yang bertanggungjawab, mencapai kemandirian emosional
dari orangtua dan orang dewasa lainnya, mempersiapkan karier,
mempersiapkan perkawinan dan berkeluarga, memperoleh perangkat nilai dan
system etis sebagai pegangan untuk berperilaku mengembangkan ideologi
(Hurlock, 1997:10).
Dalam menjalankan tugas perkembangan sebagai remaja akhir, siswa
di sekolah menengah kerap menghadapi permasalahan-permasalahan, baik
yang berhubungan dengan pergaulan, masalah belajar, kelanjutan studi, atau
Sleman tentunya juga memiliki permasalahan yang berhubungan dengan
hal-hal tersebut dan membutuhkan bantuan secara profesional dari seorang
pembimbing yang kompeten untuk memberikan layanan konseling.
Winkel & Sri Hastuti menyatakan bahwa layanan konseling terbagi
menjadi dua yaitu dapat terlaksana melalui wawancara konseling dengan satu
orang klien yang disebut dengan konseling pribadi atau dengan beberapa
orang klien yang disebut dengan konseling kelompok (Winkel & Sri Hastuti,
2004:343). Menurut Sukardi (1988:168-169) layanan konseling pribadi adalah
hubungan timbal balik di antara dua orang individu (konselor dan klien), di
mana konselor berusaha membantu klien untuk mencapai atau mewujudkan
pemahaman tentang diri klien sendiri dalam kaitannya dengan masalah yang
dihadapi klien pada saat ini. Jadi penekanan definisi ini terletak pada usaha
membantu memecahkan masalah individu dengan proses konseling yang
disesuaikan dengan kondisi klien.
SMA Santo Mikael Sleman memiliki guru pembimbing yang
memberikan layanan konseling untuk membantu siswa mengatasi
permasalahan mereka, sebab siswa yang menuntut ilmu di sekolah itu sering
menghadapi permasalahan yang kompleks. Dari pengalaman peneliti pada
tahun 2007 melaksanakan PPL disana, layanan konseling pribadi lebih banyak
dilakukan oleh guru pembimbing daripada layanan konseling kelompok. Salah
satu contohnya adalah ada seorang siswa yang sulit berkonsentrasi dalam
belajar. Siswa tersebut kemudian datang kepada guru pembimbing untuk
3
dengan teman sekelasnya yang membuatnya merasa tidak kerasan di kelas, di
lain pihak siswa tersebut dituntut oleh orang tuanya harus bisa masuk
peringkat tiga besar di kelas dan harus masuk jurusan IPA, padahal siswa
tersebut tidak tertarik dengan jurusan tersebut. Pacarnya yang dirasa bisa
mendukungnya ternyata justru meninggalkannya karena menurut pacarnya
siswa tersebut sudah tidak perhatian lagi kepadanya. Dari berbagai hal yang
dialami oleh siswa tersebut membuatnya semakin susah untuk bisa
berkonsentrasi belajar. Contoh lain: ada seorang siswa yang merasa
diintimidasi oleh sekelompok teman/gank yang terdiri dari siswa-siswa berasal
dari luar Jawa. Gank tersebut selalu merasa berkuasa, cenderung berbicara
kasar, keras, spontan. Intimidasi yang dialaminya berupa kekerasan fisik dan
psikhis. Hal tersebut terjadi karena pacarnya juga disukai salah satu anggota
geng tersebut. Dua permasalahan tersebut merupakan contoh dari beberapa
kasus lainnya yang dialami oleh siswa di SMA Santo Mikael Sleman yang
membutuhkan bantuan guru pembimbing untuk melakukan layanan konseling.
Sekolah merupakan lembaga yang ikut bertanggung jawab terhadap
proses perkembangan peserta didik untuk menjadi pribadi yang baik. Oleh
karena itu, layanan konseling di sekolah merupakan sarana yang dapat
membantu siswa-siswi dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah mereka
yang kompleks itu.
Di dalam konteks Pendidikan Nasional, keberadaan layanan bimbingan
dan konseling telah memiliki legalitas yang kuat dan menjadi bagian terpadu
eksplisit di dalam Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Pada Bab 1 pasal 1 ayat 4 dinyatakan bahwa “pendidik adalah
tenaga pendidik yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong
belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai
dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan
pendidikan.” (Winkel & Sri Hastuti, 2004:15). Dari pernyataan tersebut
nampak jelas fungsi guru pembimbing yang harus dapat menjadi fasilitator
yang membantu siswa mengatasi permasalahannya melalui proses konseling.
Winkel dan Sri Hastuti menambahkan konseling menempati peranan penting
dalam hal membantu manusia agar mampu memenuhi kebutuhan belajar baru
dan memberdayakan manusia untuk memperoleh keseimbangan hidup, belajar
dan bekerja. Selain itu Winkel dan Sri Hastuti (2004:16) juga mengungkapkan
bahwa, pengembangan potensi diri individu sebagai peserta didik secara
optimal merupakan upaya konseling.
Proses konseling di SMA Santo Mikael Sleman pada dasarnya adalah
proses pemberian layanan konseling pribadi kepada siswa yang mengalami
permasalahan-permasalahan tersebut di atas dengan tujuan demi tercapainya
keseimbangan hidup siswa. Jadi proses konseling pribadi mengandung suatu
dinamika dimana siswa didampingi dan dibantu untuk mencapai
keseimbangan hidup pribadi supaya mereka dapat mengembangkan
potensi-potensi dirinya.
Winkel & Sri Hastuti menyebutkan bahwa terdapat hal-hal yang
5
informasi, menemukan peneguhan hati, keyakinan jika guru pembimbing
mampu membantunya memperoleh keseimbangan hidup, pengaruh
lingkungan fisik, pengalaman teman dan kepribadian guru pembimbing
(Winkel & Sri Hastuti, 2004:353).
Oleh karena itu peneliti ingin mengetahui manfaat dalam hal apa saja
yang dialami siswa dalam konseling pribadi di SMA Santo Mikael Sleman.
Menurut peneliti manfaat tersebut baik untuk diteliti, mengingat guru
pembimbing di sekolah itu tidak terjadwal untuk masuk ke kelas (baik dari
kelas IX sampai dengan XII). Akan tetapi menurut pengamatan peneliti proses
konseling di sekolah tersebut tetap dapat dilangsungkan. Itu sebabnya skripsi
ini berjudul ”Manfaat yang dialami para siswa kelas XI dalam konseling
pribadi di SMA Santo Mikael Sleman Tahun Ajaran 2009/2010”.
B. Rumusan Masalah
Masalah penelitian ini dirumuskan dalam pertanyaan : Manfaat apa
yang dialami siswa dalam konseling pribadi?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui manfaat yang dialami para
siswa kelas XI dalam konseling pribadi di SMA Santo Mikael Sleman Tahun
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak:
1. Bagi Guru Pembimbing: hasil penelitian ini diharapkan dapat
bermanfaat untuk mengembangkan konseling pribadi.
2. Bagi Para Siswa: hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan dalam
pengembangan diri siswa secara optimal.
3. Bagi Peneliti: hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bekal
menjadi guru pembimbing.
4. Bagi Peneliti Lain: hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai
sumber inspirasi atau bahan pembanding apabila ingin
mengembangkan penelitian di sekitar topik yang sama.
E. Devinisi Operasional Variabel
Manfaat yang dialami para siswa dalam proses konseling pribadi
adalah untuk mendapat informasi,menemukan peneguhan hati, keyakinan
jika guru pembimbing mampu membantunya memperoleh keseimbangan
hidup, hal tersebut dipengaruhi oleh guru pembimbing, teman sebaya dan
7 BAB II
KAJIAN TEORITIS
A. Sekolah Menengah Atas Santo Mikael Sleman 1. Sekolah Menengah Atas Santo Mikael Sleman
SMA Santo Mikael Sleman merupakan sekolah yayasan Katolik yang
berada di bawah naungan Yayasan Santa Maria Cabang Kabupaten Sleman,
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang berpusat di Pekalongan Jawa
Tengah. SMA Santo Mikael Sleman beralamat di Dusun Warak (Jalan Pangeran
Purboyo), Kelurahan Sumberadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta. Sekolah swasta yang semula SPG ini mulai dibuka
menjadi SMA sejak tahun 1984. Siswa-siswi yang ada di SMA Santo Mikael
Sleman kebanyakan berasal dari luar kota, seperti Bandung dan Jakarta; bahkan
dari luar daerah, seperti: Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur (NTT),
maupun Papua. Mereka tinggal di asrama dan ada pula yang kost di rumah
penduduk setempat.
SMA Santo Mikael Sleman selalu berupaya mengembangkan pendidikan
dengan melakukan pembaharuan-pembaharuan di segala bidang agar pelayanan
pendidikan di SMA Santo Mikael Sleman semakin berkualitas dan diminati
masyarakat. Untuk menuntun pengembangan pendidikan, SMA Santo Mikael
Sleman memiliki visi dan misi yang dijadikan pedoman untuk meningkatkan
kualitas pendidikannya, visi dan misi tersebut terdapat dalam buku Panduan
Mikael Sleman yaitu ” tangguh dalam kepribadian, unggul dalam kecerdasan,
serta mampu berkompetisi berdasar iman”. Sedangkan misi SMA Santo Mikael
Sleman sebagai berikut:
a. Menumbuhkembangkan nilai-nilai budi pekerti luhur.
b. Melaksanakan pembelajaran, bimbingan, pelatihan secara efektif
sehingga setiap siswa berkembang secara optimal sesuai potensi yang
dimiliki.
c. Meningkatkan daya juang untuk berprestasi sehingga mampu
berkompetisi.
d. Menumbuh kembangkan penghayatan nilai-nilai Kristiani.
e. Menghidupkan dan mengembangkan sekolah sebagai komunitas iman
yang mencerminkan tata kehidupanbersama yang semakin bersaudara,
adil dan bermartabat.
2. Siswa Kelas XI
Siswa kelas XI merupakan tahun kedua di sekolah, masa pertengahan
karena sudah melalui tahun pertama yaitu masa pengenalan sekolah di kelas X,
dan belum menghadapi masa ujian karena masa ujian kelulusan akan dihadapi
pada tahun ketiga di sekolah menengah yaitu di kelas XII.
Siswa kelas XI adalah individu yang berada pada usia remaja. Remaja
atau adolescence berasal dari bahasa Latin “adolescere” yang berarti tumbuh
menjadi dewasa (Hurlock, 1997: 206). Piaget menjelaskan bahwa istilah
adolescence adalah individu yang sedang tumbuh menjadi dewasa, baik secara
9
lingkungan orang dewasa (Hurlock, 1997: 206). Jadi, remaja adalah individu
yang berkembang menuju kedewasaan.
Pada umumnya usia remaja yang sedang duduk di kelas XI bangku
sekolah menengah berkisar antara 16 - 19 tahun yang berarti berada pada tahap
remaja akhir. Yang dimaksud dengan remaja akhir menurut Mohammad Ali dan
Mohammad Asrori (2005:9) adalah suatu masa dimana remaja sudah tidak
termasuk golongan anak-anak, tetapi belum juga dapat diterima secara penuh
untuk masuk ke golongan orang dewasa dengan rentang usia remaja akhir yaitu
usia 17/18 tahun sampai dengan 21/22 tahun. Pandangan ini didukung oleh
Piaget (Hurlock 1997:206) yang menyatakan bahwa secara psikologis, masa
remaja adalah usia dimana individu berinteraksi dengan masyarakat dewasa, usia
dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua
melainkan berada dalam tingkatan yang sama. Dan pada masa tersebut siswa
sedang melaksanakan tugas perkembangan pada masa remaja pertengahan.
Menurut Havighurst (Hurlock, 1997:9), tugas perkembangan adalah tugas
yang muncul pada saat atau sekitar suatu periode tertentu dari kehidupan
individu, yang jika behasil akan menimbulkan rasa bahagia dan membawa ke
arah keberhasilan dalam melaksanakan tugas-tugas berikutnya. Akan tetapi,
kalau gagal, menimbulkan rasa tidak bahagia dan kesulitan dalam menghadapi
tugas-tugas berikutnya.
Remaja memiliki tugas perkembangan yang harus diselesaikan.
Havighurst (Hurlock, 1997:10), menyebutkan tugas perkembangan yang harus
a. Mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya baik
pria maupun wanita.
b. Mencapai peran sosial pria dan wanita.
c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif.
d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggungjawab.
e. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang dewasa
lainnya.
f. Mempersiapkan karier ekonomi.
g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga.
h. Memperoleh perangkat nilai dan sIstem etis sebagai pegangan untuk
berperilaku mengembangkan ideology.
Tugas perkembangan remaja tersebut perlu dipahami oleh guru
pembimbing supaya guru dapat efektif memberikan layanan konseling pribadi.
Menurut Erikson (Abin Syamsyuddin Makmun, 2009:118-119) pada masa
adolescene, remaja dihadapkan dengan sejumlah pertanyaan sebagai berikut:
siapakah sebenarnya aku ini? Akan menjadi apa nanti? Apakah perananku
sebagai anggota masyarakat? Apa pekerjaanku?, dan sebagainya. Kalau remaja
mampu dibimbing untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan bekal
kepercayaan pada lingkungan, kemandirian, inisiatif, kepercayaan atas
kemampuan dan kecakapannya; maka ia akan mampu mengintegrasikan seluruh
unsur-unsur kepribadiannya. Dengan kata lain, remaja akan menemukan identitas
atau jati diri. Sebaliknya, jika remaja tidak mendapat bimbingan ia akan berada
11
Selama peneliti PPL di SMA St. Mikael Sleman siswa kelas XI banyak
mengeluh tentang kegiatan belajar di sekolahnya sehingga dorongan terhadap
pendidikan di sekolah lemah dan cenderung untuk malas belajar dan menganggap
remeh tugas-tugas yang diberikan oleh guru di sekolah. Muncul masalah dengan
nilai yang kurang bagus karena waktu luangnya banyak digunakan untuk hal-hal
lain yang dirasa lebih menyenangkan oleh siswa-siswi tersebut. Dalam bergaul
muncul juga permasalahan lain yang berhubungan dengan pergaulan dengan
siswa/siswi lain. Dari keluarga menuntut untuk rajin sekolah tetapi siswa-siswi
tersebut kurang menghiraukan kehendak orang tua, sehingga muncul masalah
lain lagi.
Menurut Singgih (Singgih, 1990:67-71), antara keinginan yang satu
dengan keinginan yang lain sering timbul tantangan, baik dari keinginan untuk
berdiri sendiri tetapi kenyataannya belum mampu hidup terlepas dari keluarga.
Keadaan perasaan yang tidak berdaya terhadap dorongan dari dalam diri mereka
untuk bertindak maupun terhadap kekangan dari luar berupa larangan orangtua
dan terbatasnya kesanggupan serta kemampuan finansial. Hal seperti itu
seringkali melemahkan dan mematahkan semangat para remaja. Kebanyakan
remaja menemukan jalan keluar dengan kumpul-kumpul melakukan kegiatan
bersama, mengadakan penjajahan secara berkelompok. Keinginan ini tumbuh
sedemikian besar, dan pengaruh teman sebaya menjadi semakin kuat dalam
kalangan remaja.
Masalah-masalah itu semua hanya sebagian contoh dari masalah yang
meminta bantuan guru pembimbing untuk membantu menyelesaikannya. Dengan
demikian guru pembimbing diharapkan mampu menjadikan siswa-siswi semakin
mengenal konseling serta mempunyai kesadaran dan kesediaan untuk menjalani
konseling di sekolah.
3. Layanan Konseling di SMA Santo Mikael Sleman
Di SMA Santo Mikael Sleman, guru pembimbing tidak terjadwal masuk
ke dalam kelas untuk memberikan layanan klasikal. Hal tersebut berlaku sejak
tahun ajaran 2007/2008. Layanan bimbingan dan konseling difasilitasi sekolah
dengan cara: siswa dapat meminta ijin kepada guru piket akan menemui guru
pembimbing setelah mendapat surat ijin, siswa memberikan surat ijin kepada
guru kelas yang sedang mengajar maka siswa diperbolehkan menghadap guru
pembimbing. Jadi siswa-siswi datang sendiri menemui guru pembimbing apabila
menemui masalah. Kemudian siswa-siswi tersebut akan menceritakan apa yang
sedang dialaminya. Maka proses konseling tersebut terlaksana dengan tatap muka
langsung dan berkomunikasi.
B. Layanan Konseling Pribadi 1. Pengertian Konseling Pribadi
Kata konseling (counselling) berasal dari kata counsel yang diambil dari
bahasa latin yaitu caunselium, artinya “bersama” atau “bicara bersama”.
Pengertian “berbicara bersama-sama” dalam hal ini adalah pembicaraan konselor
(cunselor) dengan seorang atau beberapa klien/counselee (Latipun, 2006:4).
13
proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara (proses) konseling
oleh seorang ahli (disebut konselor) kepada individu yang sedang mengalami
sesuatu masalah (disebut klien) yang bermuara pada teratasinya masalah yang
dihadapi oleh klien. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Carl Rogers bahwa
konseling merupakan hubungan dengan klien yang bertujuan untuk melakukan
perubahan self (diri) pada pihak klien (Latipun, 2006:5).
Winkel & Sri Hastuti menyatakan bahwa layanan konseling terbagi
menjadi dua yaitu dapat terlaksana melalui wawancara konseling dengan satu
orang klien yang disebut dengan konseling pribadi atau dengan beberapa orang
klien yang disebut dengan konseling kelompok. Menurut Thantawy (2005:56),
konseling pribadi adalah hubungan timbal balik di antara dua individu (
face-to-face relationship), yang seorang karena keahliannya (konselor) dapat membantu
konseli (yang mempunyai problem). Melalui pertemuan atau hubungan timbal
balik itu konselor berupaya menolong konseli untuk memahami dirinya dan
problemnya agar konseli dapat mengatasi problem yang sedang dihadapinya.
Sedangkan untuk konseling kelompok, Thantawy (2005:60) menjelaskan bahwa
konseling kelompok merupakan hubungan interpersonal yang dinamis antara
konselor dan konseli dan antar konseli. Interaksi dalam kelompok
memungkinkan anggota kelompok untuk belajar menghadapi kenyataan hidup
dan meningkatkan pengertian saling percaya, penerimaan nilai-nilai kehidupan
dan cita-cita. Kalau dalam konseling individual, konselor hanya berhubungan
kelompok. Skripsi ini membatasi pada hal-hal yang dialami para siswa kelas XI
dalam konseling pribadi.
Di SMA Santo Mikael Sleman, guru pembimbing tidak terjadwal masuk
ke dalam kelas untuk memberikan layanan klasikal. Jadi siswa datang sendiri
menemui guru pembimbing apabila mempunyai masalah untuk meminta layanan
konseling pribadi. Dan menurut informasi dari guru pembimbing di sekolah
minat siswa untuk menjalani proses konseling pribadi cukup banyak.
2. Tujuan Konseling Pribadi
Tujuan dari konseling atau hasil yang yang diperoleh dari proses
konseling, pada dasarnya adalah agar orang yang dilayani (konseli atau klien)
berhasil mengembangkan sikap dan tingkah laku yang memuaskan bagi dirinya
sendiri dan bagi lingkungannya, serta berhasil mengatur kehidupannya secara
bertanggung jawab (Winkel & Sri Hastuti, 2004:36).
Menurut Prayitno & Erman Amti (2004:112), dengan proses konseling
pribadi siswa dapat:
a. Mendapat dukungan untuk memadukan segenap kekuatan dan
kemampuan dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi.
b. Memperoleh wawasan baru yang lebih segar tentang berbagai alternatif,
pandangan dan pemahaman-pemahaman, serta keterampilan-keterampilan
baru.
c. Menghadapi katakutan-ketakutan sendiri, mencapai kemampuan untuk
15
kemampuan untuk mengambil resiko yang mungkin ada dalam proses
pencapaian tujuan-tujuan yang dikehendaki.
Mendengar pernyataan guru pembimbing tentang minat siswa yang
mengikuti proses konseling pribadi di sekolah cukup banyak, penelitipun tertarik
untuk mengetahui salah satu hal yang diharapkan siswa juga berkaitan dengan
tujuan konseling.
3. Proses Konseling Pribadi
Menurut Winkel dan Sri Hastuti (2004:473) proses konseling pribadi
dibagi menjadi lima fase, yaitu: pembukaan, penjelasan masalah, penggalian latar
belakang masalah, penyelesaian masalah, dan penutup. Uraian yang lebih rinci
tentang lima fase itu adalah sebagai berikut:
a. Pembukaan
Fase ini merupakan dasar bagi pengembangan hubungan antar pribadi
(working relationship) yang baik, yang memungkinkan pembicaraan
terbuka dan terarah dalam wawancara konseling. Bilamana guru
pembimbing dan siswa bertemu untuk pertama kalinya, waktunya akan
lebih lama dan isinya akan berbeda dibandingkan dengan pembukaan saat
siswa dan guru pembimbing bertemu kembali untuk melanjutkan
wawancara yang telah berlangsung sebelumnya.
b. Penjelasan masalah
Siswa/siswi mengutarakan sejumlah pikiran dan perasaan yang berkaitan
dengan hal yang dibicarakan, sementara guru pembimbing memberikan
c. Penggalian latar belakang masalah
Guru pembimbing mengungkapkan dan menggali masalah siswa secara
lebih mendetail dan mendalam, agar guru pembimbing memperoleh
gambaran yang jelas mengenai masalah yang dialami siswa.
d. Penyelesaian masalah
Berdasarkan apa yang telah digali, guru pembimbing dan siswa
membahas bagaimana persoalan dapat diatasi. Guru pembimbing
berusaha supaya siswa merencanakan tindakan konkret untuk
dilaksanakan sesudah proses konseling selesai, agar hasil proses
konseling terwujud dalam tindakan nyata.
e. Penutup
Bilamana siswa sudah merasa mantap mengenai penyelesaian masalah
yang telah ditemukan dan diputuskan bersama dengan guru pembimbing,
maka proses konseling dapat diakhiri. Apabila proses konseling cukup
dalam sekali pertemuan maka guru pembimbing memberikan ringkasan
tentang jalannya proses konseling dan menegaskan kembali keputusan
yang sudah diambil, atau mempersilakan siswa untuk meringkas dan
menegaskan kembali. Kemudian guru pembimbing memberikan
semangat kepada siswa supaya bersemangat dan yakin melaksanakan
keputusannya. Sedangkan bila proses konseling tidak cukup dalam sekali
pertemuan maka, guru pembimbing tetap memberikan ringkasan
mengenai hal yang sudah dibicarakan sampai saat sekarang. Kemudian,
17
waktu sebelum bertemu dengan guru pembimbing lagi. Akhirnya,
menentukan waktu untuk meneruskan proses konseling.
4. Aspek-aspek Konseling Pribadi
Untuk dapat melalui proses konseling pribadi dengan baik dan lancar,
maka guru pembimbing perlu memperhatikan aspek-aspek dalam konseling
pribadi. Menurut Winkel dan Sri Hastuti (2004:37) terdapat aspek-aspek
konseling pribadi yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut: aspek proses,
aspek pertemuan tatap muka, aspek komunikasi antar pribadi, dan aspek
tanggapan-tanggapan guru pembimbing yang bersifat membantu. Keempat aspek
dalam konseling pribadi itu diuraikan sebagai berikut:
a. Aspek proses
Aspek proses menunjuk pada kenyataan bahwa siswa mengalami suatu
rangkaian perubahan dalam diri sendiri, dari belum ada penyelesaian
masalah sampai masalah yang dihadapi telah terselesaikan secara
memuaskan. Rangkaian perubahan dalam diri sendiri itu biasanya
mengikuti urutan: mengungkapkan masalah secara tuntas; melihat inti
masalah dengan lebih jelas; menyadari semua reaksi dalam alam perasaan
terhadap masalah itu secara lebih utuh; menghadapi masalah dengan
pikiran yang lebih bening dan lebih rasional; menemukan penyelesaian
yang memuaskan atas masalah yang dibahas; mendapat keberanian untuk
mewujudkan penyelesaian itu dalam tindakan-tindakan konkret sesudah
b. Aspek pertemuan tatap muka
Aspek pertemuan tatap muka menunjuk pada periode waktu siswa
berhadapan muka dengan guru pembimbing serta berwawancara dengan
guru pembimbing mengenai masalah yang dihadapinya. Pertemuan itu
biasanya berlangsung selama lebih kurang 60 menit, dan dapat
dilanjutkan pada lain waktu bila masalah belum terselesaikan dalam satu
kali konseling. Proses konseling berlangsung selama waktu bertemu
muka dengan guru pembimbing; namun dapat berlangsung terus selama
waktu di antara pertemuan-pertemuan dengan guru pembimbing, karena
siswa pasti berpikir terus mengenai apa yang dibicarakan dalam
pertemuan yang baru dan apa yang akan dibicarakan dalam pertemuan
berikutnya. Oleh karena itu, suatu proses konseling dapat selesai dalam
satu kali bertemu muka, atau baru akan selesai setelah dua-tiga kali
bertemu muka.
c. Aspek komunikasi antar pribadi
Proses konseling terwujud dalam komunikasi antar guru pembimbing dan
siswa. Dalam pertemuan guru pembimbing menggunakan teknik-teknik
konseling yang memperlancar komunikasi antar pribadi. Untuk
memperlancar komunikasi, dibutuhkan keterampilan dasar
berkomunikasi. Menurut Johnson (1981), beberapa keterampilan dasar
yang dimaksud adalah sebagai berikut: pertama, harus mampu saling
memahami (sikap percaya, keterbukaan, penerimaan diri); kedua, harus
19
(dapat ditunjukkan dengan sikap hangat dan rasa senang serta mampu
mendengarkan dengan cara yang menunjukkan bahwa mampu memahami
lawan komunikasi); ketiga, harus mampu saling menerima dan saling
memberikan dukungan atau saling menolong, maksudnya mampu
menanggapi keluhan orang lain dengan cara-cara yang bersifat menolong,
menunjukkan sikap memahami dan bersedia menolong sambil
memberikan bombongan; keempat, mampu memecahkan konflik dan
bentuk-bentuk masalah antarpribadi lain yang mungkin muncul dalam
komunikasi dengan orang lain, artinya dengan cara-cara yang semakin
mendekatkan dengan lawan komunikasi (Supratiknya, 1995:11-12).
d. Aspek tanggapan-tanggapan konselor yang bersifat membantu
Dalam proses konseling, guru pembimbing memberikan
tanggapan-tanggapan yang bersifat membantu. Tanggapan-tanggapan-tanggapan guru
pembimbing yang bersifat membantu itulah yang disebut teknik-teknik
konseling. Teknik-teknik konseling yang digunakan antar lain tampak
pada sikap guru pembimbing yang penuh penerimaan terhadap siswa,
berempati, memberikan dukungan atau bombongan, peneguhan atau
penguatan terhadap siswa, memberikan klarifikasi dan refleksi atas
pikiran dan perasaan yang dialami siswa.
Dalam aspek-aspek konseling itu, aspek proses dan aspek pertemuan tatap
muka merupakan aspek yang paling pokok dalam konseling. Sedangkan aspek
komunikasi antar pribadi dan aspek tanggapan-tanggapan konselor yang bersifat
aspek-aspek konseling itu jelas tujuannya adalah adanya perubahan pada diri
siswa, yang diusahakan berkat bantuan psikologis secara professional
menciptakan corak khas yang melekat pada aspek proses, pertemuan tatap muka,
komunikasi antarpribadi, dan tanggapan-tanggapan konselor sekolah yang
bersifat membantu.
C. Hal-hal yang Dialami Para Siswa Dalam Konseling Pribadi
Menurut Winkel dan Sri Hastuti (2004:353), hal-hal yang dialami siswa
dalam konseling pribadi: mendapatkan informasi; menemukan peneguhan hati;
keyakinan jika guru pembimbing mampu membantunya memperoleh
keseimbangan hidup; hal-hal dalam diri guru pembimbing, seperti: kepribadian
guru pembimbing yang baik sehingga siswa mempunyai pandangan positif
terhadap gurunya, kemampuannya bersosialisasi dengan siswa sehingga mereka
merasa nyaman, ketrampilannya berkomunikasi dengan baik, kemampuan
intelektualnya yang cukup tinggi sehingga mampu mengelola permasalahan
secara tepat dan mampu menalar dengan baik, kesanggupannya berempati
terhadap setiap persoalan yang dialami siswa, kesiapannya membantu dengan
tulus, berpenampilan rapi dan menarik; hal-hal dari dalam teman, seperti:
persepsi positif teman terhadap sikap guru pembimbing, pengalaman teman
menjalani konseling untuk menyelesaikan masalah; hal-hal dalam
lingkungan/fasilitas, seperti: tersedianya ruang konseling yang terpisah dari
21
konseling yang rapi sehingga siswa-siswi merasa senang berada di sana.
Masing-masing hal tersebut diuraikan sebagai berikut:
1. Mendapatkan informasi
Siswa menghadap guru pembimbing untuk mendapatkan informasi.
Ada beberapa informasi yang dibutuhkan oleh siswa di sekolah antara lain
informasi mengenai cara mempersiapkan diri menghadap dunia pekerjaan,
belajar efektif, pengisian waktu luang, remaja dan pergaulannya, masa
depannya, pengembangan bakatnya dan cara mengatasi kesulitan yang
timbul berkaitan dengan kebutuhan itu, ada siswa yang sudah mempunyai
gambaran yang jelas mengenai cara belajar yang efektif, pemilihan program
studi yan sesuai, dan cara mengatasi kesulitan yang timbul berkaitan dengan
tuntutan belajar di sekolah. Ada pula siswa yang masih bingung dan belum
memahami cara belajar efektif, pengisian waktu luang, pemilihan program
studi, masa depannya, dan pengembangan bakatnya. Dalam hal ini peranan
guru pembimbing menjadi penting sebagai sumber informasi. Oleh karena
itu guru pembimbing perlu memiliki kompetensi tertentu. Menurut Djam’an
Satori (2008:2.2) yang dimaksud dengan kompetensi adalah kecakapan,
kemampuan dan wewenang. Seseorang dinyatakan kompeten di bidang
tertentu jika menguasai kecakapan bekerja pada satu bidang tertentu.
Menurut Waruwu (2006) kecakapan seorang tenaga kependidikan
harus meliputi: kompetensi pedagogi, kompetensi kepribadian, kompetensi
prifesional, dan kompetensi sosial. Kompetensi pedagodi adalah guru
menggunakan ilmu-ilmu psikologi, sosiologi, antropologi, dll untuk
membantu siswa mengembangkan potensi-potensi dirinya. Kompetensi
kepribadian adalah guru pembimbing perlu memiliki kematangan dalam
kepribadian supaya dapat memberikan layanan bimbingan. Adapun
sikap-sikap yang perlu ditampilkan oleh guru pembimbing meliputi: ramah,
empati, menghargai, percaya diri, memiliki pengetahuan tentang teori-teori
perkembangan, humoris, dan dapat menerima kritik dengan hati terbuka
(Singgih Gunarsa, 2002:48). Kompetensi professional maksudnya guru
pembimbing memiliki pengetahuan sebagai seorang ahli di bidangnya dan
tahu metode menstranfer keahlian tersebut secara efektif, efisien, menarik,
sederhana dan mendalam. Kompetensi sosial adalah kemampuan
berkomunikasi dengan baik, cerdas secara emosional, mampu berempati,
terampil dalam mengkomunikasikan nilai-nilai. Keempat kompetensi itu
harus dikembangkan oleh guru pembimbing dengan cara belajar terus
menerus, mengembangkan ilmu yang telah dimiliki sekaligus mengasah
kemampuan memberikan layanan konseling pribadi. Dengan demikian guru
pembimbing dapat menjadi sumber informasi bagi para siswa (Esti Sumarah,
2007:2-3).
2. Menemukan peneguhan hati
Dalam menghadapi keadaan batinnya, mengatasi berbagai pergumulan dalam
bantinnya, serta dalam mengatur diri sendiri dan hubungan kemanusiaannya
dengan sesama di berbagai lingkungan (pergaulan sosial), siswa
23
membantu siswa menemukan peneguhan hati. Peneguhan hati adalah
dukungan, bombongan, penguatan yang diberikan guru pembimbing kepada
siswa di saat siswa mengalami pergumulan batin. Guru pembimbing sering
dihubungi oleh siswa mengenai berbagai macam kesukaran yang dialaminya.
Siswa meminta bantuan guru pembimbing karena siswa mempunyai berbagai
macam keinginan tetapi tidak tahu bagaimana cara mewujudkannya; untuk
bertanya kepada orangtua, siswa merasa malu dan takut, sedangkan teman
sebaya yang ditanyai, juga tidak tahu. Dalam memberikan peneguhan hati,
guru pembimbing harus memiliki kesabaran yang besar; guru pembimbing
tidak boleh memandang masalah-masalah yang dihadapi siswa sebagai
masalah yang ringan; guru pembimbing perlu mendampingi siswa secara
intensif di saat mengalami ketidakpercayaan diri, dan mendampingi semua
siswa baik yang pandai maupun yang malas agar dapat belajar lebih rajin.
3. Keyakinan jika guru pembimbing mampu membantunya memperoleh keseimbangan hidup.
Menurut Winkel dan Sri Hastuti (2004:15), konseling menempati peranan
penting dalam hal membantu manusia (siswa) untuk memperoleh
keseimbangan hidup, belajar dan bekerja. Pada waktu siswa akan menghadap
guru pembimbing, siswa membawa berbagai pandangan pribadi serta
keyakinan terhadap guru pembimbing mampu membantunya memperoleh
keseimbangan hidup. Keseimbangan hidup berarti menjadi pribadi yang tidak
mudah terombang-ambingkan oleh berbagai macam pengaruh dari luar, fokus
semacam itu disebut sebagai pribadi yang berfungsi sepenuhnya, sebab
memiliki ciri: terbuka terhadap pengalaman, menerima eksistensi/ keberadaan
dirinya, percaya diri, bebas dan kreatif (Duane Schultz, 1991:50-55). Siswa
mengikuti proses konseling pribadi juga untuk meminta bantuan guru
pembimbing. Menurut Singgih Gunarsa (2002:23-24), guru pembimbing
dapat membantu siswa memperoleh keseimbangan hidup dengan
memberikan terapi reedukatif dan sugestif. Terapi reedukatif adalah upaya
untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan pada sifat kebiasaan yang
tidak cocok dengan lingkungan, sehingga perlu suatu pembiasaan,
pengulangan pendidikan yang lain. Sedangkan yang dimaksud terapi sugestif
adalah usaha memberikan layanan pada siswa yang disebabkan memiliki
persoalan-persoalan emosional (marah, tidak percaya diri, bingung, kecil
hati). Dengan memberi sugesti kuat, gangguan tersebut tidak akan timbul
lagi. Selanjutnya dicari sebab kegoncangan atau ketegangan emosinya, dan
diusahakan menghilangkan bebannya itu. Jadi informasi yang diberikan oleh
guru pembimbing supaya siswa memperoleh keseimbangan hidup
berdasarkan teori psikologis, dapat dalam dua bentuk terapi tersebut.
Ketiga hal tersebut dapat diperoleh siswa karena dipengaruhi oleh:
1. Hal-hal dalam diri guru pembimbing: a. Kepribadian guru pembimbing
Guru pembimbing dalam melaksanakan tugas, khususnya ketika
memberikan konseling, hendaknya memiliki kepribadian yang baik agar
25
pihak siswa-siswi tidak ada persepsi negatif yang dapat merugikan guru
pembimbing. Ciri-ciri kepribadian konselor sekolah yang baik antara
lain: bersikap dewasa, bertingkah laku sopan dan dapat dicontoh oleh
siswa-siswi, murah hati, jujur, menghargai siswa, dan dapat menyimpan
rahasia siswa. Guru pembimbing harus mempunyai kemampuan untuk
bertindak dan bersikap bijaksana dalam menghadapi siswa.
b. Kemampuan bersosialisasi dengan siswa
Guru pembimbing dalam memberikan konseling juga diharapkan
memiliki ketrampilan bersosialisasi, misalnya: guru pembimbing mampu
menjalin hubungan yang hangat dan akrab dengan siswa, terlibat dalam
kegiatan kesiswaan di samping kegiatan bimbingan dan konseling,
menghargai perasaan siswa ketika konseling berlangsung dan membuat
siswa senang dan nyaman setiap menjalani konseling.
c. Ketrampilan berkomunikasi
Belkin (Winkel, 1997) mengungkapkan pendapatnya mengenai ciri-ciri
ketrampilan berkomunikasi yang hendaknya dimiliki oleh guru
pembimbing yaitu: guru pembimbing bertindak sejati dan berhati tulus
artinya berkata-kata dan berbuat tanpa memakai topeng
(sungguh-sungguh terlibat tanpa berpura-pura), bebas dari kecenderungan untuk
menguasai siswa artinya guru pembimbing secara sadar tidak
memaksakan kehendaknya sendiri atas klien dan memaksa klien untuk
bertindak tertentu, mampu mendengarkan dengan baik artinya berusaha
terkandung dalam ungkapan klien, dan mampu menghargai klien artinya
guru pembimbing mampu mendekati siswa dan mau didekati oleh siswa
dengan sikap positif dan kerelaan menerima siswa apa adanya.
Sehubungan dengan pelayanan guru pembimbing memberikan konseling,
maka guru pembimbing dituntut untuk mempunyai ketrampilan
berkomunikasi. Ketrampilan berkomunikasi dengan orang lain yang perlu
dimiliki antara lain: guru pembimbing mampu mengungkapkan kembali
apa yang diungkapkan oleh siswa secara tepat, mampu mendengarkan
ungkapan siswi dan memberikan tanggapan atas ungkapan
siswa-siswi. Hubungan yang menyenangkan antara guru pembimbing dan siswa
memungkinkan pembahasan permasalahan siswa secara tuntas tanpa
mengalami ketegangan. Untuk itu guru pembimbing dapat membuka
hubungan dengan mengajak berbasa basi sebentar, memilih kata-kata
yang tidak membuat siswa merasa tersinggung dan guru pembimbing
tahu kapan konseling harus diakhiri karena siswa merasa lelah.
d. Kemampuan intelektualnya
Guru pembimbing perlu memiliki kemampuan intelektual berkaitan
dengan memberikan layanan konseling yang cukup tinggi sehingga
mampu berpikir dan mengelola suasana untuk mengubah tingkah laku
siswa. Kemampuan intelektual yang cukup tinggi juga memungkinkan
guru pembimbing untuk mampu menalar dengan baik. Dengan demikian
guru pembimbing dapat memunculkan gagasan yang lebih baik dalam
27
yang efektif dalam membantu siswa memecahkan masalah, bijaksana
dalam menanggapi pertanyaan siswa yang dirasa sulit saat konseling
berlangsung, pandai mencerna ide-ide dari berbagai pandangan siswa dan
selalu membuat hal-hal baru yang disukai siswa.
e. Kesanggupan berempati
Kemampuan untuk berempati yaitu kemampuan mendalami pikiran dan
menghayati perasaan orang lain seolah-olah guru pembimbing pada saat
ini menjadi orang lain tersebut, tanpa terbawa-bawa sendiri oleh semua
itu dan kehilangan kesadaran akan pikiran serta perasaan pada diri
sendiri. Kemampuan berempati ditandai dengan: guru pembimbing
mendengarkan semua ungkapan siswa dengan penuh perhatian selama
konseling, memahami apa yang dialami dan diungkapkan oleh siswa,
memberikan kebebasan kepada siswa jika belum siap mengungkapkan
masalahnya, menghargai siswa saat menjalani konseling (tidak memarahi
dan bersikap acuh tak acuh). Guru pembimbing mampu berempati yaitu
memahami apa yang dialami dan diungkapkan oleh siswa; kata-kata yang
digunakan guru pembimbing betul-betul mengungkapkan isi batin siswa,
bahkan menggali pikiran dan perasaan yang belum diungkapkan oleh
siswa. Kemampuan guru pembimbing untuk berempati sangat penting
dan mutlak untuk keberhasilan konseling, karena itu empati merupakan
salah satu kondisi yang harus ada agar terjadi perubahan pada siswa.
Adanya empati, membuat siswa merasa bahwa ada orang lain yang mau
f. Kesiapan membantu dengan tulus
Belkin (Winkel, 1997) berpendapat bahwa kesiapan membantu dari guru
pembimbing sangat menentukan bersedia atau tidaknya siswa menjalani
konseling, di samping kemampuan intelektual dan
keterampilan-keterampilan profesional lainnya. Kesiapan membantu yang perlu
dimiliki antara lain: kemampuan guru pembimbing membantu siswa
setiap saat (tidak pilih kasih dan tidak hanya melayani yang bermasalah)
dan kemauan untuk melayani semua siswa serta berkeinginan
sungguh-sungguh dan tulus untuk membantu siswa.
g. Berpenampilan rapi dan menarik
Penampilan yang perlu dimiliki guru pembimbing adalah berpakaian rapi,
menarik, ramah dan bersikap sopan. Tindakan tersebut menyampaikan
pesan kepada siswa bahwa guru pembimbing siap membantu dan
memberikan yang terbaik bagi siswa dalam menjalankan proses
konseling.
2. Pengaruh dari teman
a. Persepsi positif teman terhadap sikap guru pembimbing
Persepsi siswa terhadap guru pembimbing dan pelayanannya dalam
memberikan bimbingan dan konseling berbeda satu sama lain, ada yang
positif dan ada pula yang negatif. Dengan adanya persepsi yang negatif
terhadap guru pembimbing, wajar bila siswa menjadi enggan untuk
menghadap guru pembimbing apalagi untuk menjalani konseling. Tetapi
29
pembimbing. Ada juga siswa yang sudah mempunyai pemahaman yang
baru mengenai guru pembimbing. Siswa-siswi yang sudah memiliki
pemahaman baru ini mempunyai persepsi bahwa guru pembimbing dapat
sabar dalam membantu siswa memecahkan masalah, tidak
membeda-bedakan, dan guru pembimbing dapat membantu siswa-siswi untuk
semakin mengetahui mengenai remaja, karier, dan belajar. Dengan
demikian, bila siswa mempunyai persepsi yang positif terhadap guru
pembimbing, diharapkan siswa semakin bersedia mengahadap guru
pembimbing untuk menjalani konseling. Persepsi atau penilaian teman
terhadap sikap guru pembimbing dan penilaian teman terhadap teman lain
yang berhasil menjalani konseling juga dapat mendorong siswa untuk
menjalani konseling. Teman sebaya yang mempunyai persepsi atau
penilaian yang baik terhadap sikap guru pembimbing dan pernah
menjalani konseling dengan guru pembimbing yang mampu membantu
menyelesaikan masalahnya, menjadikan siswa mempunyai penilaian yang
baik terhadap guru pembimbing sehingga mampu memberikan dorongan
bagi teman lain untuk menjalani konseling apabila mengalami masalah
yang belum mampu dipecahkan sendiri.
b. Pengalaman teman menjalani konseling
Siswa di sekolah memiliki pengalaman yang berbeda satu dengan yang
lainnya dalam hal menjalani konseling. Hal ini terjadi karena selain
memiliki pengalaman yang berbeda, juga karena kuantitas dan kualitas
mempengaruhi penilaian siswa- terhadap guru pembimbing. Pengalaman
teman yang sudah pernah menjalani konseling dijadikan pengalaman bagi
siswa lain untuk menjalani konseling atau tidak. Bila teman sebaya yang
sudah pernah menjalani konseling, berhasil menyelesaikan masalahnya
dengan bantuan guru pembimbing dan rahasia siswa yang sudah pernah
menjalani konseling tidak dibicarakan ke siswa lain, maka tentu saja ini
memberikan keuntungan bagi guru pembimbing; siswa akan terus
menghadap guru pembimbing.
3. Lingkungan/fasilitas
a. Tersedianyaruang konseling
Guru pembimbing memiliki ruang tersendiri yang terpisah dari ruang
guru di sekolah, dalam ruangan tersebut tersedia meja dan kursi tamu,
meja dan kursi kerja, meja besar, dan di dalam ruang guru pembimbing
tersebut terdapat ruang khusus untuk konseling. Dengan tersedianya
ruang konseling, maka pembicaraan dapat berlangsung secara pribadi.
Pembicaraan di dalam ruang tidak boleh dapat didengarkan oleh orang
lain di luar ruang dan orang lain tidak boleh dapat melihat ke dalam,
paling sedikit tidak dapat melihat siswa dari depan. Hal ini berkaitan erat
dengan etika jabatan guru pembimbing untuk menjamin kerahasiaan
pembicaraan. Ruang konseling yang terpisah dari ruang guru,
memungkinkan siswa menjadi tidak sungkan dan malu untuk datang
menghadap guru pembimbing. Dengan demikian ruang konseling terbuka
31
b. Kenyamanan ruang konseling
Penataan ruang konseling yang sesuai, seperti warna cat tembok yang
tenang, sinar cahaya yang tidak menyilaukan, pembicaraan yang dapat
berlangsung secara pribadi membantu menciptakan suasana yang tenang,
aman, sehingga siswa merasa kerasan di ruang konseling. Kerapian dalam
menata barang yang terdapat di ruang guru pembimbing dan ruang
konseling juga membantu menciptakan suasana yang nyaman. Dalam
ruang konseling ada baiknya juga tidak terpasang peralatan untuk
merekan pembicaraan guru pembimbing dengan siswa. Dengan adanya
peralatan rekaman, siswa dapat terhambat dalam mengekspresikan diri
dan rahasia pembicaraan antara guru pembimbing dengan siswa dapat
bocor.
Uraian di atas menguatkan siswa mau menjalani konseling pribadi, semua hal
tersebut mempengaruhi siswa untuk menjalani konseling pribadi sebab mereka
dapat merasakan manfaatnya. Hal-hal inilah yang hendak diteliti dalam skripsi
32
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian di bidang pendidikan khususnya
bidang bimbingan dan konseling di sekolah. Jenis penelitian bersifat praktis dan
termasuk penelitian deskriptif dengan metode survei. Penelitian deskriptif adalah
penelitian yang dilaksanakan untuk melukiskan variabel atau kondisi nyata
dalam suatu situasi (Furchan, 2005: 447). Penelitian deskriptif dirancang untuk
memperoleh informasi tentang status gejala pada saat penelitian dilakukan.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei. Tujuan
survei adalah mengumpulkan informasi tentang variabel dan bukan informasi
tentang individu (Furchan, 2005 : 450).
Peneliti menggunakan penelitian deskriptif karena peneliti ingin
memperoleh gambaran mengenai kuat-lemahnya manfaat yang dialami para
siswa kelas XI dalam konseling pribadi di SMA Santo Mikael Sleman tahun
ajaran 2009/2010.
B. Populasi Penelitian
Menurut Furchan (2005: 193), populasi adalah semua anggota
sekelompok orang, kejadian, atau objek yang telah dirumuskan secara jelas.
Penelitian ini termasuk penelitian populasi, karena semua subyek diikutsertakan
33
individu yang ikut serta dalam penelitian sebagai sumber data. Subyek
penelitiannya adalah seluruh siswa-siswi kelas XI SMA Santo Mikael Sleman
tahun ajaran 2009/2010. Jumlah keseluruhan siswa kelas XI SMA Santo Mikael
Sleman tahun ajaran 2009/2010 sebanyak 57 siswa, yang dirinci dalam tabel
berikut ini.
Tabel 1. Populasi Siswa-siswi kelas XI SMA St. Mikael Sleman Tahun Ajaran 2009/2010
Kelas Siswa Putra Siswa Putri Jumlah Siswa
XI IPA 13 7 20
XI IPS 1 8 10 18
XI IPS 2 12 7 19
Jumlah 33 24 57
C. Alat Ukur 1. Kuesioner
Penelitian ini menggunakan kuesioner mengenai manfaat yang
dialami para siswa kelas XI dalam konseling pribadi sebagai alat pengumpul
data. Kuesioner ini disusun oleh peneliti untuk mengetahui kuat-lemahnya
manfaat yang dialami para siswa kelas XI dalam konseling pribadi di SMA
Santo Mikael Sleman tahun ajaran 2009/2010.
2. Reliabilitas dan Validitas Kuesioner a. Validitas Kuesioner
Validitas suatu alat pengukur adalah derajat ketepatan dan ketelitian
alat tersebut dalam mengukur apa yang seharusnya diukur. Validitas
seharusnya diukur (Furchan, 2005: 293). Validitas yang digunakan
dalam penelitian ini adalah validitas isi (content validity) sebab
item-item pernyataan dari kuesioner manfaat yang dialami para siswa kelas
XI dalam konseling pribadi mencerminkan isi yang dikehendaki dan
tujuan yang terdapat di dalam wilayah isi. Peneliti meminta pendapat
dan mengkonsultasikan kuesioner manfaat yang dialami para siswa kelas
XI dalam konseling pribadi kepada dosen pembimbing untuk memeriksa
setiap butir item pernyataan kuesioner tersebut, supaya setiap item
pernyataan yang dibuat tepat dengan tujuan penelitian manfaat yang
dialami pada siswa kelas XI dalam konseling.
Perhitungan koefisien validitas dengan rumus (Garret, 1967:349):
tt
t r
r∞ =
Keterangan :
∞
t
r : Koefisien validitas alat ukur
tt
r : Koefisien reliabilitas
Kuesioner hal-hal yang dialami para siswa kelas XI dalam konseling
dikembangkan dari teori yang tersaji dalam bab II. Kisi-kisi dari item-
35
Tabel 2. Kisi-kisi kuesioner manfaat yang dialami para siswa kelas XI dalam konseling pribadi di SMA St. Mikael Sleman Tahun Ajaran 2009/2010
No Manfaat Yang Dialami Para Siswa Kelas XI Dalam
Konseling Pribadi No Item Jumlah 1
2
Manfaat yang dialami siswa dalam konseling pribadi: a. Mendapatkan informasi
b. Menemukan peneguhan hati
c. Keyakinan jika guru pembimbing mampu membantunya memperoleh keseimbangan hidup
Hal-hal yang mempengaruhi siswa melakukan konseling pribadi:
a. Guru Pembimbing
1) Kepribadian guru pembimbing
2) Kemampuannya bersosialisasi dengan siswa-siswi
3) Ketrampilannya berkomunikasi 4) Kemampuan intelektualnya 5) Kesanggupannya berempati
6) Kesiapannya membantu dengan tulus 7) Berpenampilan rapi dan menarik b. Teman
1) Persepsi positif teman terhadap sikap guru pembimbing
2) Pengalaman teman menjalani konseling c. Fasilitas
1) Tersedianyaruang konseling 2) Kenyamanan ruang konseling
1-5 6-10 11-15 16 17 18 19 20 21 22 23-24 25-26 27-28 29-30 5 5 5 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2
b. Pemberian Skor-skor
Susunan kuesioner terdiri dari dua bagian yaitu data identitas siswa
dan petunjuk pengisian serta bagian pertanyaan mengenai manfaat yang
dialami para siswa kelas XI dalam konseling pribadi. Alternatif jawaban
untuk mengetahui hal-hal yang dialami pada para siswa kelas XI dalam
konseling dinyatakan dalam empat kategori, yaitu : selalu; banyak kali;
kadang-kadang; tidak pernah. Pemberian skor kuesioner mengenai
manfaat yang dialami para siswa kelas XI dalam konseling untuk
masing-masing alternatif jawaban adalah: alternatif jawaban ”selalu”
memperoleh skor 4; ”banyak kali” memperoleh skor 3; ”kadang-kadang”
memperoleh skor 2; ”tidak pernah” memperoleh skor 1. Pertanyaan
terdiri dari 30 butir.
c. Reliabilitas Kuesioner
Reliabilitas kuesioner adalah derajat keajegan alat tersebut dalam
mengukur apa saja yang diukurnya (Furchan, 2005: 310). Pendekatan
yang digunakan untuk memeriksa reliabilitas kuesioner adalah teknik
belah dua gasal-genap (Split Half Method). Teknik belah dua membagi
instrumen menjadi dua bagian yaitu bagian pertama berupa item-item
yang bernomor gasal, dan bagian kedua berupa item-item yang
bernomor genap. Reliabilitas kuesioner penelitian ini diperiksa dengan
teknik belah dua, dengan rumus rtt=
xy xy
r r
+
1 2
37
d. Klasifikasi Validitas dan Reliabilitas Kuesioner
Menurut Masidjo (1995:209), klasifikasi validitas dan reliabilitas
suatu tes dinyatakan dalam suatu bilangan koefisien antara -1,00 sampai
dengan 1,00 yang dikelompokkan ke dalam beberapa klasifikasi dari
sangat rendah sampai dengan sangat tinggi, mengacu pada pedoman
yang dikemukakan berikut ini:
Tabel 3. Kualifikasi Koefisien Korelasi Suatu Alat Ukur Koefisien Korelasi Kualifikasi
± 0,91 −± 1,00 Sangat Tinggi
± 0,71 −± 0,90 Tinggi
± 0,41 −± 0,70 Cukup
± 0,21 −± 0,40 Rendah
Negatif −± 0,20 Sangat Rendah Sumber: Masidjo, 1995. Penilaian Hasil Belajar Siswa Di Sekolah.
Yogyakarta: Kanisius. Hal 209
Koefisien reliabilitas dan validitas kuesioner manfaat yang dialami
para siswa kelas XI dalam konseling pribadi di SMA Santo Mikael
Sleman adalah sebagai berikut:
Tabel 4. Koefisien Reliabilitas dan Validitas Kuesioner
Koefisien Penelitian Reliabilitas 0,95
Validitas 0,97
Berdasarkan tabel kualifikasi tersebut, disimpulkan bahwa
reliabilitas dan validitas penelitian Kuesioner Manfaat Yang Dialami
Para Siswa Kelas XI dalam Konseling Pribadi di SMA Santo Mikael
3. Kategori manfaat yang dialami para siswa Kelas XI dalam konseling pribadi di SMA Santo Mikael Sleman
Dalam penelitian ini, manfaat yang dialami pada para siswa Kelas XI
dalam konseling termasuk kategori kuat dan lemah. Kategori tersebut
didasarkan pada:
a. Ada siswa yang mampu menyelesaikan masalah dengan baik, ada siswa
yang belum mampu menyelesaikan masalahnya dengan baik.
b. Pendekatan kuantitatif yang digunakan untuk memahami keadaan
variabel biasa menggunakan nilai-nilai statistik Mean.
D. Pengumpulan Data
Peneliti menghubungi pihak SMA Santo Mikael Sleman sebelum
melaksanakan pengumpulan data pada hari Kamis jam 09.30 WIB, tanggal 4
Maret 2010. Peneliti menemui Ibu Siti Hartini, B.A., selaku Koordinator
Bimbingan dan Konseling, untuk menyerahkan surat ijin melakukan penelitian
dari Prodi Bimbingan dan Konseling dan membuat kesepakatan mengenai hari
serta jam yang akan digunakan peneliti untuk pengumpulan data.
Pengumpulan data penelitian dilakukan pada siswa SMA Santo Mikael
Sleman Tahun Ajaran 2009/2010 kelas XI, tanggal 8 Maret 2010 pukul
08.45-11.00. Jadwal pelaksanaan pengumpulan data penelitian di setiap kelas tertera di
39
Tabel 5. Jadwal Pelaksanaan Pengumpulan Data Penelitian
Tanggal Kelas Waktu Hadir Tidak hadir Jumlah
8 Maret 2010 XI IPA 08.45 20 - 20 8 Maret 2010 XI IPS 1 09.30 16 2 18 8 Maret 2010 XI IPS 2 10.30 19 - 19
Jumlah 55 2 57
Sebelum kuesioner dibagikan, peneliti memberikan penjelasan tentang
tujuan pengisian kuesioner dan petunjuk pengerjaan Kuesioner ”Manfaat Yang
Dialami Para Siswa Kelas XI dalam Konseling Pribadi di SMA Santo Mikael”.
Kemudian peneliti memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengerjakan
kuesioner dan mengajukan pertanyaan apabila ada yang belum dimengerti.
E. Teknik Analisis Data
1. Perhitungan koefisien reliabilitas kuesioner dengan teknik belah dua :
a.Menghitung koefisien korelasi skor-skor ganjil dan genap dengan teknik
korelasi product-moment dari Pearson, dengan rumus :
xy
r =
(
)( )
(
)
{
∑
∑
−∑
∑
}
{
∑
∑
−( )
∑
}
− 2 2 2 2 Y Y N X X N Y X XY N Keterangan : xyr : Koefisien korelasi ganjil genap
N : Jumlah subyek
b.Menghitung koefisien reliabilitas (rtt) dengan rumus Spearman and Brown: tt r = xy xy r r + 1 2
(Guilford, 1965 : 457)
Keterangan :
tt
r : Koefisien reliabilitas
xy
r :Koefisien korelasi skor ganjil-genap
2. Perhitungan koefisien validitas kuesioner dengan rumus :
oo
t
r = rtt (Guilford, 1965 : 443)
Keterangan Rumus :
oo
t
r : Koefisien validitas
tt
r : Koefisien reliabilitas
3. Mean
Mean merupakan nilai kelompok yang dipandang konstan dan karena
itu digunakan untuk menetapkan batas kategori tinggi atau rendah suatu
skor. Skor yang < Mean dikategorikan rendah. Skor yang ≥ Mean
dikategorikan tinggi. Perhitungan mean skor total menggunakan:
N X M =
∑
Keterangan Rumus :
M : Mean
41
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini merupakan jawaban atas rumusan masalah penelitian.
Rumusan masalah di dalam penelitian ini adalah manfaat apa yang dialami pada
diri siswa kelas XI dalam konseling pribadi?
Ada dua kategori manfaat yang dialami para siswa kelas XI dalam
konseling di SMA Santo Mikael yaitu kategori lemah dan kategori kuat.
Penentuan kategori lemah dan kuat berdasarkan Mean. Siswa yang memperoleh
skor di bawah Mean (skor < M) termasuk kategori lemah merasakan manfaat
yang dialami dalam konseling sedangkan siswa yang memperoleh skor di atas
Mean (Skor ≥ M) termasuk kategori kuat merasakan manfaat yang dialami dalam
konseling.
Mean-mean skor siswa pada setiap manfaat yang dialami siswa adalah:
1. Mendapatkan informasi→ M = 14
2. Menemukan peneguhan hati → M = 13
3. Keyakinan jika guru pembimbing mampu membantunya memperoleh
keseimbangan hidup → M = 14
Mean-mean skor siswa pada setiap hal-hal yang mempengaruhi siswa
adalah:
1. Guru Pembimbing → M = 19
2. Teman → M = 10
1. Gambaran Umum Manfaat Yang Dialami Para Siswa Kelas XI Dalam Konseling Pribadi
Tabel 6. Manfaat yang dialami pada siswa kelas XI dalam konseling pribadi SMA Santo Mikael
Manfaat Yang Dialami Pada Diri Siswa Dalam Konseling Pribadi
Lemah f(%)
Kuat f(%) 1. Manfaat yang dialami siswa dalam
konseling pribadi: a. Mendapatkan informasi b. Menemukan peneguhan hati
c. Keyakinan jika guru pembimbing mampu membantu memperoleh keseimbangan hidup
2. Hal-hal yang mempengaruhi siswa melakukan konseling pribadi:
a. Guru Pembimbing b. Teman c. Fasilitas 30 (55) 26 (47) 26 (47) 25 (45) 26 (47) 22 (40) 25 (45) 29 (53) 29 (53) 30 (55) 29 (53) 33 (60)
Berdasarkan data pada tabel di atas disimpulkan bahwa jumlah siswa yang
termasuk kategori kuat untuk mengalami manfaat mendapat informasi dalam
berkonseling pribadi ada 25 siswa. Jumlah siswa yang termasuk kategori lemah
untuk mendapat informasi dalam berkonseling pribadi ada 30 siswa.
Jumlah siswa yang termasuk kategori kuat untuk menemukan peneguhan hati
ketika berkonseling pribadi ada 29 siswa. Jumlah siswa y