• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

36

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4. 1

Deskripsi Kondisi Awal

SMK Negeri 1 Amlapura terletak di Jalan Veteran, Kelurahan

Padangkerta, Kecamatan Karangasem, Bali. Sekolah ini merupakan sekolah

kejuruan pertama di wilayah kota Amlapura yang baru dibangun pada tahun 2013.

Ada tiga kompetensi keahlian yang dikembangkan yaitu Keperawatan (Kep.),

Akomodasi Perhotelan (A.P.) dan Teknik Kendaraan Ringan (TKR). Letak

sekolah sangat strategis karena berada di sebelah stadion sepakbola Kabupaten

Karangasem dan lingkungan sekitarnya mengalami perkembangan pesat akibat

pembangunan komplek perumahan. Lingkungan sekolah sangat mendukung

proses pembelajaran karena di sekitarnya masih terdapat hamparan sawah yang

cukup luas dan di sebelah utaranya terlihat Gunung Agung yang menjulang tinggi.

Selama ini, proses pembelajaran dilaksanakan dengan berbagai

keterbatasan seperti kurangnya ruang kelas, sarana dan prasarana pembelajaran

yang kurang memadai dan belum adanya pohon-pohon perindang menyebabkan

suasana pembelajaran pada siang hari terasa lebih panas walau masih diimbangi

dengan hembusan angin dari hamparan sawah yang terbuka. Kondisi ini ikut

berpengaruh terhadap suasana pembelajaran yang akhirnya berpengaruh terhadap

belum maksimalnya hasil belajar siswa.

Peneliti (sekaligus guru matematika) di sekolah ini mendapat tugas

mengajar di empat kelas yaitu kelas X Keperawatan 1, X Keperawatan 2, X

Keperawatan 3 dan X Teknik Kendaraan Ringan. Dari laporan hasil belajar

matematika pada semester I tahun pelajaran 2013/2014 diketahui bahwa nilai hasil

belajar di kelas X Keperawatan 3 menunjukkan hasil yang paling rendah walau

sudah berada pada kategori cukup. Hasil ini belum memuaskan walau sudah

berada di atas KKM yaitu 6,80 namun hasil ini masih di bawah tuntutan

kurikulum yaitu mencapai ketuntasan 75%. Masih rendahnya capaian kompetensi

di kelas X Keperawatan 3 ini menjadi fokus penelitian, sehingga kelas ini

ditetapkan sebagai subyek penelitian.

(2)

37

Berbagai kelemahan atau kendala pun dirasakan, yang selanjutnya perlu

diupayakan perbaikan. Penerapan model pembelajaran yang berpusat pada peserta

didik (student center) dalam pembelajaran matematika selama ini belumlah

efektif, karena dalam implementasinya lebih berfokus pada aktivitas belajar

algoritmik, pada soal-soal rutin yang mengacu soal ujian nasional. Soal-soal

tersebut mengukur kognitif level rendah yaitu pengetahuan, pemahaman dan

penerapan. Pembelajaran selama ini lebih diarahkan untuk mencapai tujuan

kognitif, tanpa memberi pengalaman belajar untuk mengembangkan proses

kognitif yaitu kemampuan merencanakan, mengontrol dan merefleksi secara sadar

tentang proses kognitifnya sendiri. Akibatnya peserta didik sering berhasil

memecahkan masalah matematika tertentu, tetapi gagal jika konteks masalah

tersebut sedikit diubah.

Kondisi ini menunjukkan bahwa aspek yang perlu mendapat perhatian

dalam proses pembelajaran adalah aspek metakognitif. Upaya untuk

meningkatkan kualitas pembelajaran terutama dalam pengembangan kemampuan

berpikir tingkat metakognitif menjadi penting dan esensial. Metakognitif

merupakan pengetahuan tentang cara belajar pada diri sendiri. Melalui kegiatan

metakognitif, peserta didik dapat memahami proses berpikir yang telah

dilakukannya. Kegiatan metakognitif sangat penting karena dapat melatih peserta

didik untuk berpikir tingkat tinggi serta mampu merencanakan, mengontrol dan

merefleksi segala aktivitas berpikir yang telah dilakukan. Peserta didik dapat

mengetahui dan menyadari kekurangan maupun kelebihan diri mereka sendiri.

Penggunaan proses metakognitif selama pembelajaran, akan membantu peserta

didik untuk lebih memahami segala langkah yang telah dilakukannya dalam

pembelajaran dan mampu memperoleh pembelajaran yang bertahan lama dalam

ingatan dan pemahaman peserta didik sehingga pembelajaran matematika menjadi

bermakna.

4. 2

Hasil Penelitian

Secara umum pelaksanaan pembelajaran di kelas X Keperawatan 3 SMK

Negeri 1 Amlapura selama penelitian ini telah berlangsung sesuai dengan rencana

pelaksanaan pembelajaran yang telah disusun sebagai implementasi model

(3)

38

pembelajaran metakognitif. Rincian materi pembelajaran pada setiap siklus

disajikan pada tabel 4.2 berikut ini.

Tabel 4.1

Rincian Materi Pelajaran pada Setiap Siklus

Tahapan

Materi Pembelajaran

Banyak Pertemuan

Siklus I

Membuat grafik himpunan penyelesaian

pertidaksamaan linier satu variabel

1 kali pertemuan

Membuat grafik himpunan penyelesaian

pertidaksamaan linier dua variabel

1 kali pertemuan

Membuat grafik himpunan penyelesaian

sistem pertidaksamaan linier dua variabel

1 kali pertemuan

Siklus II

Menentukan nilai optimum dari grafik

himpunan penyelesaian yang diketahui

1 kali pertemuan

Menentukan nilai optimum dari model

matematika yang diketahui

1 kali pertemuan

Menentukan nilai optimum dari masalah

program linier yang disajikan dalam soal

cerita

1 kali pertemuan

Data yang dikumpulkan pada penelitian ini meliputi data kemampuan berpikir

matematis tingkat tinggi dan data respon siswa terhadap implementasi model

pembelajaran metakognitif. Data tersebut dikumpulkan dan dianalisis dengan

metode yang sudah dijelaskan pada bab III. Deskripsi hasil penelitian pada

masing-masing siklus dipaparkan sebagai berikut.

4.1.1

Hasil Penelitian Siklus I

Siklus I dilaksanakan selama empat kali pertemuan, yaitu tiga kali

pertemuan untuk pelaksanaan tindakan dan satu kali pertemuan untuk pelaksanaan

tes. Pada awal siklus I, peneliti mengelompokkan siswa menjadi 7 kelompok.

Banyaknya subjek dalam penelitian ini adalah 29 orang, sehingga setiap kelompok

terdiri atas 4-5 orang siswa. Kelompok ini dibentuk hanya sekali saja dan pada

pembelajaran berikutnya siswa akan tetap berada pada kelompok yang sama.

4.1.1.1

Data Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi Siswa

Data hasil tes untuk mengetahui skor kemampuan berpikir matematis

tingkat tinggi siswa pada siklus I disajikan pada lampiran 22.

Dari hasil analisis

(4)

39

data kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi siswa pada siklus I dapat

dilihat bahwa skor terendah adalah 3 dan skor tertinggi adalah 10. Persentase

siswa yang tergolong memiliki kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi

sangat kurang baik adalah 0%, siswa yang tergolong memiliki kemampuan

berpikir matematis tingkat tinggi kurang baik adalah 10,34% (3 orang), siswa

yang tergolong memiliki kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi cukup

baik adalah 44,83% (13 orang), siswa yang tergolong memiliki kemampuan

berpikir matematis tingkat tinggi baik adalah 31,03% (9 orang), dan siswa yang

tergolong memiliki kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi sangat baik

adalah 13,79% (4 orang). Sebaran data kemampuan berpikir matematis tingkat

tinggi siswa pada siklus I disajikan pada gambar 4.1 berikut.

Gambar 4.1

Sebaran Data Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat

Tinggi Siswa pada Siklus I

Berdasarkan analisis data siklus I diperoleh rata-rata skor kemampuan

berpikir matematis tingkat tinggi siswa sebesar 6,24. Jika dikategorikan

berdasarkan kriteria penggolongan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi

siswa, maka kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi siswa pada siklus I

tergolong cukup baik.

4.1.1.2

Refleksi Siklus I

Hal-hal yang perlu dicermati dalam implementasi model pembelajaran

metakognitif yang telah dilaksanakan pada siklus I adalah mengenai proses

pembelajaran yang telah dilaksanakan. Secara umum pembelajaran pada siklus I

telah berlangsung cukup baik. Namun masih ditemukan beberapa permasalahan

dalam proses pembelajaran yang perlu dijadikan pertimbangan pada pelaksanaan

(5)

40

pembelajaran pada siklus berikutnya. Secara umum permasalahan yang muncul

dapat dijabarkan sebagai berikut.

(1)

Pada pertemuan awal, siswa masih belum bisa beradaptasi dengan model

pembelajaran yang diterapkan, siswa masih cenderung bingung dan

kurang

aktif melakukan kerja sama dengan teman kelompoknya untuk

menyelesaikan permasalahan yang diberikan.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, guru meningkatkan bimbingan dan

pengawasan Kepada kelompok ataupun siswa yang membuat keributan di

dalam kelompoknya. Selain itu, guru juga mengingatkan Kepada siswa

untuk serius dan lebih berusaha keras lagi dalam mengikuti pembelajaran

karena pada setiap akhir pembelajaran akan dilakukan penilaian berupa kuis.

(2)

Interaksi antar siswa dalam kelompok belum optimal. Beberapa kelompok

masih individual tanpa memanfaatkan kesempatan berdiskusi yang

diberikan guru dalam mengerjakan soal yang diberikan. Hal ini

menyebabkan siswa yang berkemampuan kurang cenderung pasif karena

tidak mendapat bantuan dari anggota yang lain.

Untuk meminimalisir permasalahan ini, guru lebih intensif dan sesering

mungkin mendekati kelompok untuk memberikan motivasi Kepada siswa

untuk melakukan kerja sama antar kelompok untuk memperoleh hasil

pekerjaan yang lebih sempurna. Selain itu guru mensiasati permasalahan

tersebut dengan memberikan tugas-tugas kelompok agar setiap anggota

kelompok memiliki kesadaran untuk mengerjakan tugas bersama-sama.

(3)

Keaktifan siswa masih rendah dalam proses diskusi kelompok. Hal ini

terlihat dari minimnya siswa yang memberikan tanggapan ataupun

sanggahan terhadap pekerjaan temannya. Siswa masih enggan dan malu

untuk menanyakan hal-hal yang kurang dimengerti, siswa cenderung

menunggu guru untuk memberikan informasi.

Untuk mengatasi hal tersebut, guru sesering mungkin memberikan

kesempatan dan dorongan Kepada siswa yang telah paham memberikan

bimbingan dan bantuan Kepada teman anggota kelompoknya yang belum

paham. Untuk siswa yang enggan mengemukakan pertanyaan, guru

mendekati siswa tersebut ke bangkunya agar mau mengungkapkan

(6)

41

permasalahan yang dialaminya. Guru juga memberikan motivasi dan

penguatan berupa memberikan nilai atau poin bagi siswa yang bersedia

memberikan pendapat, hal ini bertujuan untuk melatih keberanian siswa

dalam mengemukakan pendapatnya.

(4)

Siswa belum terbiasa dalam mengerjakan soal tipe metakognitif yang

tergolong baru bagi siswa. Siswa masih kesulitan dalam menyusun

perencanaan, pemantauan, dan refleksi untuk memecahkan masalah yang

diberikan. Kemampuan siswa dalam memahami masalah yang diberikan

masih kurang. Siswa banyak yang tidak mengerti dengan masalah tipe

metakognitif, karena permasalahan yang biasa dihadapi siswa selama ini

adalah masalah-masalah tipe kognitif dan masalah-masalah tersebut lebih

sering berbentuk eksplisit. Kurangnya kemampuan siswa dalam memahami

masalah, menyulitkan siswa dalam melaksanakan perencanaan pemecahan

masalah, yang menyebabkan siswa sulit membiasakan diri dengan

langkah-langkah dalam model pembelajaran yang dilakukan. Apalagi siswa yang

berkemampuan kurang cenderung menyalin jawaban temannya.

Untuk mengatasinya guru memfasilitasi siswa dengan memberikan

bimbingan berupa informasi, petunjuk, dan pertanyaan-pertanyaan pancingan atau

contoh untuk menyelesaikan soal tipe metakognitif agar siswa dapat mengarahkan

proses berfikirnya pada jawaban yang benar dan bisa meminimalisir

kecenderungan siswa menyalin jawaban temannya tanpa memahami maknanya.

4.1.2

Hasil Penelitian Siklus II

Pelaksanaan tindakan siklus II disesuaikan dengan hasil refleksi pada

siklus I, yaitu dengan melakukan beberapa tindakan perbaikan sebagaimana yang

telah diuraikan di atas. Pada siklus II dilaksanakan tiga kali pertemuan untuk

pelaksanaan pembelajaran dan satu kali pertemuan untuk tes kemampuan berpikir

matematis tingkat tinggi.

4.1.2.1

Data Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi Siswa

Data kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi siswa pada siklus II

disajikan pada lampiran 23. Dari hasil analisis data kemampuan berpikir

(7)

42

matematis tingkat tinggi siswa pada siklus II dapat dilihat bahwa skor terendah

adalah 5 dan skor tertinggi adalah 12. Persentase siswa yang tergolong memiliki

kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi sangat kurang baik adalah 0%,

siswa yang tergolong memiliki kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi

kurang baik adalah 0%, siswa yang tergolong memiliki kemampuan berpikir

matematis tingkat tinggi cukup baik adalah 17,24% (5 orang), siswa yang

tergolong memiliki kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi baik adalah

58,62% (17 orang), dan siswa yang tergolong memiliki kemampuan berpikir

matematis tingkat tinggi sangat baik adalah 24,14% (7 orang). Adapun sebaran

data kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi siswa pada siklus II disajikan

pada gambar 4.2 berikut.

Gambar 4.2

Sebaran Data Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat

Tinggi Siswa pada Siklus II

Berdasarkan analisis data siklus II diperoleh rata-rata skor kemampuan

berpikir matematis tingkat tinggi siswa sebesar 8,03. Jika dikategorikan

berdasarkan kriteria penggolongan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi

siswa, maka kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi siswa pada siklus II

termasuk kriteria baik.

Persentase peningkatan dan penurunan kemampuan berpikir matematis

tingkat tinggi siswa dari siklus I ke siklus II adalah sebagai berikut.

Siswa yang mengalami peningkatan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi

%

,

%

89

66

100

29

26

(8)

43

Siswa yang mengalami penurunan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi

%

,

%

3

45

100

29

1

Siswa yang kemampuan berpikir matematis tingkat tingginya tidak mengalami

perubahan

100

%

6

,

90

%

29

2

4.1.2.2

Data

Respons Siswa

Pada akhir pertemuan siklus II, siswa diberi angket untuk mengetahui

respons siswa terhadap implementasi model pembelajaran metakognitif (lampiran

21). Data respons siswa disajikan pada lampiran 24. Dari hasil analisis data

respons siswa terlihat bahwa skor terendah adalah 48 dan skor tertinggi adalah 70.

Distribusi respon siswa terhadap proses pembelajaran disajikan pada tabel berikut

ini.

Tabel 4.2

Data Respons Siswa terhadap Pembelajaran

Kategori

Jumlah Siswa

(Orang)

Persentase

(%)

Sangat Positif

15

51,72

Positif

11

37,93

Cukup Positif

3

10,34

Kurang Positif

0

0

Sangat Kurang Positif

0

0

Jumlah

29

100

Berdasarkan tabel 4.2, rata-rata respon siswa diperoleh sebesar 60,14 dengan

standar deviasi sebesar 5,79. Jika dikategorikan berdasarkan kriteria

penggolongan respons siswa yang telah ditetapkan maka respons siswa terhadap

implementasi model pembelajaran metakognitif termasuk dalam kategori sangat

positif. Distribusi respon siswa terhadap proses pembelajaran disajikan dalam

bentuk diagram seperti pada gambar 4.3.

(9)

44

Gambar 4.3

Diagram Respon Siswa terhadap Proses Pembelajaran

4.1.2.3

Refleksi Siklus II

Dengan dilakukannya perbaikan terhadap proses pembelajaran dan

pelaksanaan penelitian tindakan siklus I, dalam siklus II telah menunjukkan

peningkatan proses dan hasil pembelajaran. Berdasarkan refleksi siklus I dan

disesuaikan dengan materi pelajaran, guru telah berusaha melakukan beberapa

perbaikan pada tahap pembelajaran untuk membuat siswa lebih aktif dalam

mendiskusikan penyelesaian masalah matematika. Siswa difasilitasi secara

intensif agar terjadi diskusi aktif antara anggota kelompok untuk membahas

materi yang dikaji dan berusaha memancing siswa agar dapat memecahkan

masalah matematika dengan melakukan tahapan perencanaan, pemantauan, dan

refleksi.

Siswa lebih diberikan kesempatan yang merata untuk menjawab ataupun

memberikan tanggapan dan pendapatnya terhapap jawaban yang dikemukakan

oleh temannya. Siswa diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk menyampaikan

pendapat agar siswa lebih berani berbicara di depan guru dan siswa lain.

Adapun temuan-temuan selama pelaksanaan tindakan siklus II adalah

sebagai berikut.

1)

Pembelajaran yang berlangsung telah sesuai dengan rencana pembelajaran

yang disusun. Suasana pembelajaran telah mengarah lebih kondusif, siswa

telah dapat dikondisikan untuk fokus dan berkonsentrasi dalam konteks materi

pelajaran yang dikaji. Siswa terlihat antusias dan aktif dalam memberikan

tanggapan, jawaban, maupun pertanyaan serta dalam berinteraksi dengan guru

dan siswa lain selama proses pembelajaran berlangsung. Namun demikian

(10)

45

masih ada siswa yang terlihat ragu-ragu atau canggung mengeluarkan

pendapat karena takut salah. Siswa yang seperti ini dimotivasi sehingga

mereka menyadari bahwa kesalahan dalam belajar itu biasa, yang tidak

diinginkan justru “tidak mau”.

2)

Melalui pemberian bimbingan baik individual maupun kelompok, setiap

anggota kelompok terlihat antusias dan berusaha berperan aktif dalam

kegiatan diskusi kelompok, setiap anggota kelompok berusaha memposisikan

diri bukan hanya sebagai pelengkap di kelompoknya, namun setiap anggota

kelompok turut serta dalam melakukan perencanaan, pemantauan, maupun

refleksi pada saat memecahkan masalah yang diberikan.

3)

Kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi siswa juga mengalami

peningkatan pada siklus II. Siswa telah mampu menyelesaikan masalah tipe

metakognitif dengan baik. Hal ini disebabkan karena siswa mulai

memanfaatkan bagaimana melakukan perencanaan, pemantauan, dan refleksi

untuk mencari suatu alternatif solusi dari permasalahan yang diberikan.

Walapun demikian, masih terlihat ada siswa yang tergolong cukup aktif, baru

termotivasi untuk mengembangkan kemampuan berpikir matematis tingkat

tinggi.

4.1.3

Peningkatan

Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi Siswa

Berikut disajikan ringkasan data kemampuan berpikir matematis tingkat

tinggi siswa selama penelitian.

Tabel 4.3

Ringkasan Data Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi Siswa

No.

Kategori

Siklus I

Siklus II

Frekuensi

Persentase Frekuensi

Persentase

1

Sangat Baik

4

13,79%

7

24,14%

2

Baik

9

31,03%

17

58,62%

3

Cukup Baik

13

44,83%

5

17,24%

4

Kurang Baik

3

10,34%

0

0%

5

Sangat Kurang Baik

0

0%

0

0%

Rata-Rata

6,24

8,03

Kategori

Cukup Baik

Baik

Dari tabel 4.3 di atas, secara umum terlihat bahwa kemampuan berpikir

matematis tingkat tinggi siswa mengalami peningkatan. Adapun persentase

(11)

46

peningkatan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi siswa ditinjau dari

rata-rata skor kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi siswa dari siklus I ke

siklus II adalah sebagai berikut.

%

73

,

28

%

100

24

,

6

79

,

1

%

100

24

,

6

24

,

6

03

,

8

%

100

1 1 2 1

T

T

T

PT

Jadi persentase peningkatan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi siswa

dari siklus I ke siklus II adalah sebesar 28,73% dari rata-rata skor kemampuan

berpikir matematis tingkat tinggi siswa pada siklus I. Peningkatan rata-rata skor

kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi siswa dari siklus I sampai siklus II

dapat digambarkan dalam gambar 4.4 berikut.

Gambar 4.4

Peningkatan Rata-Rata Skor Kemampuan Berpikir Matematis

Tingkat Tinggi Siswa

Berdasarkan tabel 4.3 dan gambar 4.4 di atas terlihat rata-rata skor

kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi siswa meningkat. Hal ini

menunjukkan bahwa implementasi model pembelajaran metakognitif dapat

meningkatkan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi siswa kelas X

Keperawatan 3 SMK Negeri 1 Amlapura.

4. 3

Pembahasan

Hasil penelitian yang telah dilaksanakan selama dua siklus menunjukkan

adanya peningkatan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi siswa melalui

implementasi model pembelajaran metakognitif.

Berdasarkan analisis data kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi

siswa pada siklus I, rata-rata skor kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi

siswa adalah 6,24 atau tergolong dalam kategori cukup baik. Sedangkan penelitian

(12)

47

dikatakan berhasil jika kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi siswa

mencapai kategori baik, sehingga untuk kemampuan berpikir matematis tingkat

tinggi kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi siswa belum memenuhi

kriteria keberhasilan. Hal ini terjadi dikarenakan oleh beberapa kendala dan

permasalahan yang terjadi selama pelaksanaan tindakan siklus I seperti yang telah

dipaparkan pada refleksi siklus I sebelumnya.

Setelah dilakukan tes kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi pada

akhir siklus I, terdapat beberapa temuan yang dapat diuraikan sebagai berikut.

Permasalahan yang diberikan pada tes kemampuan berpikir matematis tingkat

tinggi siklus I adalah sebagai berikut.

Gambar 4.5

Soal nomor 2 pada Siklus I

Temuan hasil pekerjaan siswa terhadap soal level mencipta di atas disajikan pada

gambar 4.6 di bawah ini.

Pilihlah sebuah bilangan yang Anda suka, misalkan bilangan itu

adalah m. Gambarkanlah himpunan penyelesaian dari

(13)

48

Gambar 4.6

Contoh Penggalan Penyelesaian Siswa untuk Soal no. 2

Permasalahan berikutnya yang diberikan pada siklus I disajikan sebagai berikut.

Gambar 4.7

Soal Nomor 3 pada Siklus I

Salah satu temuan hasil pekerjaan siswa untuk soal no. 3 di atas disajikan pada

gambar 4.8 di bawah ini.

Gambar 4.8

Contoh Pekerjaan Siswa terhadap Soal no. 3 Siklus I

Dari gambar 4.6 terlihat bahwa siswa sudah memahami soal dengan

menuliskan

informasi-informasi

yang

diperlukan

untuk

menyelesaikan

permasalahan tersebut. Siswa sudah mampu membuat sebuah pertidaksamaan dan

menyelesaikannya namun belum diperkuat dengan penjelasan yang menunjukkan

jawaban yang benar. Dari gambar 4.8 terlihat bahwa siswa sudah mampu

mengevaluasi grafik himpunan penyelesaian sistem pertidaksamaan linier. Siswa

sudah mampu menunjukkan bukti matematis atau penyelesaian dengan benar,

Suatu masalah program linier dapat disajikan ke dalam sistem pertidaks amaan linier s ebagai berikut.

2x + y = 6; 2x + 3y = 12; x = 0; y = 0

Dengan penuh semangat Dipa dan Dapi mencoba menggambarkan grafik himpunan (daerah) penyelesaian dari masalah tersebut dan hasilnya s ebagai berikut .

Dipa Dapi

Bagaimanakah pendapat Anda tentang grafik yang diperoleh Dipa dan Dapi? Jelaskan!

(14)

49

namun pendapat atau penjelasan belum ditulis dengan baik. Siswa berpendapat

bahwa Dipa benar dan Dapi salah namun mengapa Dipa benar dan apa yang

menyebabkan Dapi salah tidak dijelaskan dengan baik.

Selama pelaksanaan siklus I ditemui beberapa kendala, untuk mengatasi

kendala-kendala dan permasalahan yang ditemui pada siklus I, dilakukan tindakan

perbaikan dan penyempurnaan seperti yang telah dipaparkan pada refleksi siklus

II.

Berdasarkan perbaikan tindakan tersebut, pada siklus II diperoleh adanya

peningkatan rata-rata skor kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi siswa.

Rata-rata skor kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi siswa adalah 8,03

atau mengalami peningkatan sebesar 1,79 (28,73%) dari rata-rata skor

kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi siswa pada siklus I dan tergolong

kategori baik. Sementara penelitian ini dikatakan berhasil apabila kategori yang

tercapai adalah baik, sehingga kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi siswa

dapat dikatakan sudah mencapai kriteria keberhasilan.

Salah satu permasalahan yang diberikan pada tes kemampuan berpikir

matematis tingkat tinggi siklus II adalah soal sebagai berikut.

Gambar 4.9

Soal Nomor 1 pada Siklus II

Temuan hasil pekerjaan siswa pada soal no. 1 di atas disajikan pada gambar 4.10

di bawah ini.

Daerah yang diarsir pada gambar merupakan daerah himpunan penyelesaian permasalahan program linier.

Tentukanlah nilai a dan b sedemikian sehingga fungsi obyektif f(x,y) = ax + by mempunyai nilai maksimum 16 di titik C. Jelaskan!

(15)

50

Gambar 4.10

Penggalan Penyelesaian Siswa untuk Soal Nomor 1 Siklus II

Permasalahan berikutnya yang menarik juga untuk disajikan adalah sebagai

berikut.

Gambar 4.11

Soal Nomor 3 pada Siklus II

Salah satu penyelesaian siswa terhadap soal nomor 3 tersebut dapat

disajikan sebagai berikut.

(16)

51

Gambar 4.12

Penggalan Penyelesaian Siswa untuk Soal Nomor 3 Siklus II

Dari gambar 4.10 dan 4.12 di atas dapat dilihat bahwa siswa telah mampu

memahami permasalahan yang diberikan, siswa juga telah membuat dan

menerapkan rencana penyelesaian dengan baik. Siswa telah mampu menggunakan

konsep penyelesaian sistem pertidaksamaan dan nilai optimum berdasarkan grafik

yang diketahui. Penggalan penyelesaian siswa tersebut menunjukkan bahwa siswa

sudah mampu menyelesaikan masalah tipe metakognitif dengan baik, siswa telah

memberikan penjelasan dan alasan-alasan dengan logis walaupun belum sedetail

yang diharapkan. Kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi siswa sudah

menunjukkan peningkatan karena sudah mampu menyelesaikan soal-soal yang

dikembangkan pada level menganalisis, mengevaluasi dan mencipta. Terlihat

bahwa siswa sudah mampu mengembangkan, mengatur/memonitor dan

mengevaluasi rencana penyelesaian masalah metakognitif yang diberikan dengan

baik.

Hasil

penelitian

ini

menunjukkan

bahwa

implementasi

model

pembelajaran metakognitif dapat meningkatkan kemampuan berpikir matematis

tingkat tinggi siswa kelas X Keperawatan 3 SMK Negeri 1 Amlapura semester II

tahun pelajaran 2013/2014. Hal ini dapat terjadi karena melalui model

(17)

52

pembelajaran metakognitif, siswa dibiasakan untuk melakukan perencanaan,

pemantauan, dan refleksi seluruh proses kognitif yang dilakukan dalam

menyelesaikan masalah matematika. Dengan proses metakognitif yang dikemas

dalam diskusi kelompok, siswa akan lebih termotivasi dalam belajar dan

memahami konsep yang terkandung dalam masalah matematika yang diberikan.

Analisis respons siswa menunjukkan bahwa rata-rata skor respons siswa

adalah sebesar 60,14. Berdasarkan kriteria penggolangan respons siswa yang telah

ditetapkan maka respons siswa X Keperawatan 3 semester II tahun pelajaran

2013/2014 terhadap implementasi model metakognitif tergolong kategori sangat

positif. Hal ini berarti siswa dapat mengakomodasi pembelajaran dengan baik,

siswa memandang bahwa model pembelajaran metakognitif sesuai diterapkan

dalam pembelajaran matematika. Siswa berusaha berpartisipasi aktif dalam

pembelajaran di kelas dan lebih semangat dalam menyelesaikan latihan soal-soal

matematika setelah diterapkannya model pembelajaran metakognitif.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Sriwahyuni (2009) yang menyatakan bahwa pengetahuan metakognitif dan

kompetensi matematis tingkat tinggi siswa yang dibelajarkan dengan model

pembelajaran metakognitif berbantuan latihan teknik Matematika Veda lebih baik

daripada pengetahuan metakognitif dan kompetensi matematis tingkat tinggi

siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran metakognitif yang

selanjutnya lebih baik daripada pengetahuan metakognitif dan kompetensi

matematis tingkat tinggi siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran

konvensional. Selain itu temuan dalam penelititan ini juga sesuai dengan

penelitian yang dilakukan Ragandana (2010) yang menyatakan bahwa

implementasi model pembelajaran metakognitif berbantuan teknik matematika

veda dalam pembelajaran matematika dapat meningkatkan keterampilan berpikir

divergen siswa kelas VA SDN 6 Sesetan tahun pelajaran 2010/2011.

Peningkatan yang terjadi pada kemampuan berpikir matematis tingkat

tinggi siswa disebabkan karena model pembelajaran metakognitif menyebabkan

pembelajaran tidak terhenti saat siswa berhasil menyelesaikan masalah-masalah

tipe kognitif, namum siswa diarahkan untuk menggali lagi potensinya melalui

proses metakognitif dengan memberikan masalah-masalah tipe metakognitif.

(18)

53

Penyelesaian masalah matematika tipe metakognitif menuntut siswa memikirkan

kembali semua proses kognitif yang telah dilakukannya dalam menyelesaikan

masalah matematika dengan melakukan proses perencanaan, pemantauan, dan

refleksi sehingga menyebabkan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi

siswa meningkat.

Implementasi model pembelajaran metakognitif dalam penelitian ini

diawali dengan proses kognitif, dimana siswa diminta untuk menyelesaikan

masalah tipe kognitif menggunakan kemampuan kognitif yang dimilikinya untuk

menyelesaikan masalah tersebut. Selanjutnya dilakukan proses metakognitif

melalui tiga tahapan, yaitu perencanaan, pemantauan, dan refleksi. Pada tahap

perencanaan, siswa harus memiliki pengetahuan terhadap strategi yang akan

digunakan untuk menyelesaikan masalah matematika. Pada tahap pemantauan

siswa dituntut untuk mengontrol pelaksanaan dari strategi penyelesaian yang telah

direncanakan. Pada tahap terakhir yaitu refleksi, siswa dituntut untuk merefleksi

seluruh proes penyelesaian masalah yang telah dilakukan mulai dari perencanaan,

pelaksanaan, sampai jawaban yang diperoleh. Siswa juga dituntut untuk

merefleksi seluruh proses berpikir yang dilakukannya meliputi pengetahuan,

pemahaman, implementasi, sintesis, dan evaluasi. Serangkaian kegiatan

metakognitif ini membuat pembelajaran menjadi bermakna karena siswa

mengalami secara langsung, sehingga pemahaman siswa menjadi lebih mendalam.

Memperhatikan hal tersebut pembelajaran metakognitif diyakini membuat

pembelajaran matematika menjadi lebih bermakna, dan pemahaman siswa

menjadi lebih mendalam (Sudiarta, 2006). Jadi model pembelajaran metakognitif

dapat mengarahkan siswa untuk memahami konsep secara mendalam dan

menimbulkan ketertarikan untuk belajar matematika.

Pembelajaran yang dilakukan dengan model pembelajaran metakognitif

sebagaimana dipaparkan diatas, dapat: (1) melatih siswa dalam melakukan proses

metakognitif, meliputi perencanaan, pemantauan, dan refleksi terhadap proses

pemecahan masalah matematika; (2) menimbulkan keaktifan siswa dalam

mengikuti proses pembelajaran; (3) melatih siswa berpikir kritis dan kreatif

sehingga pembelajaran yang dilakukan lebih bermakna; dan (4) menumbuhkan

ketertarikan dan minat siswa terhadap pelajaran matematika.

(19)

54

Selain keunggulan yang dipaparkan sebelumnya, dalam implementasi

model pembelajaran metakognitif ditemukan beberapa kendala yang dihadapi,

yaitu: (1) kemampuan siswa untuk memahami permasalahan matematika masih

kurang. Siswa masih terlihat binggung dengan permasalahan yang diberikan

terutama masalah tipe metakognitif karena siswa belum pernah mengerjakan

masalah-masalah metakognititf, permasalahan yang biasa dihadapi siswa hanya

masalah-masalah tipe kognitif. Untuk mengatasi hal tersebut, siswa lebih banyak

diberikan motivasi, arahan, dan bimbingan yang lebih intensif sehingga siswa

lebih mudah memahami masalah yang diberikan; (2) alokasi waktu pembelajaran

matematika di kelas relatif singkat, sehingga cenderung kurang mampu

melakukan pengembangan-pengembangan dalam pembelajaran seperti latihan

soal yang aplikasi yang lebih luas. Hal ini diatasi dengan memberikan beberapa

soal latihan untuk dikerjakan siswa di rumah; (3) kesulitan dalam membuat

soal-soal latihan pada lembar kerja siswa yang dapat meningkatkan kemampuan

berpikir tingkat tinggi siswa secara baik; (4) kesulitan dalam membuat kelompok

diskusi dengan anggota kelompok yang beragam tingkat kemampuan

matematikanya, sehingga diharapkan dalam masing-masing kelompok terjadi

kegiatan diskusi kelompok yang produktif.

Dari paparan di atas, penelitian ini secara umum telah mampu

memecahkan permasalahan yaitu rendahnya kemampuan berpikir matematis

tingkat tinggi siswa sekaligus telah mampu menjawab rumusan masalah yang

dirumuskan pada bab I. Implementasi model pembelajaran metakognitif dapat

meningkatkan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi siswa kelas X

Keperawatan 3 SMK Negeri 1 Amlapura semester II tahun pelajaran 2013/2014.

Hal ini juga didukung oleh respons siswa terhadap pembelajaran yang dilakukan

yang tergolong sangat positif. Dengan kata lain penelitian tindakan kelas yang

dilakukan sudah berhasil.

Gambar

Tabel 4.1  Rincian Materi Pelajaran pada Setiap Siklus
Gambar 4.1  Sebaran Data Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat  Tinggi Siswa pada Siklus I
Gambar 4.2  Sebaran Data Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat  Tinggi Siswa pada Siklus II
Tabel 4.2 Data Respons Siswa terhadap Pembelajaran  Kategori  Jumlah Siswa
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari perhitungan jarak tempuh menggunakan Manhattan Distance dan dikalikan dengan frekuensi pekerja maka masing-masing fasilitas akan dapat ditetapkan koordinat

Peningkatan dosis iradiasi gamma yang diberikan saat induksi mutasi, berhubungan dengan penurunan tinggi tanaman, panjang daun, serta rasio panjang dan lebar daun,

Pertanyaan yang akan dijawab melalui penelitian ini adalah apa dasar dan pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara perceraian akibat melanggar ta’lik talak di Pengadilan

Alternatif yang layak untuk dijalankan ialah alternatif 1 karena suku bunga yang ditawarkan lebih dari faktor diskon, sedangkan alternatif 2 dan alternatif 3 tidak layak karena

Berbeda dengan CFD konvensional tersebut diatas, Metode Lattice Boltzmann (MLB) berangkat dari level mesoscopic (level ini terletak diantara level makroskopik dan

Makhluk hidup dengan persamaan ciri-ciri yang banyak dimasukkan ke dalam takson yang lebih rendah c.. Hewan-hewan : Panthera leo, Panthera tigris, Panthera pardus dalam

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui sintesis C-dots berbahan dasar limbah kulit nanas madu dengan metode pemanasan oven , (2) mengetahui

Sri Agung Pranoto. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah “ purposive sampling ”. Sumber data yang