• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN BAB I Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN BAB I Latar Belakang"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang

Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut yang tergenang oleh air laut, komunitasnya dapat bertoleransi terhadap air garam, dan tipe hutan ini dapat ditemui di daerah pantai. Tumbuhan mangrove bersifat unik, karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang dapat hidup di darat dan di laut. Selain kemampuannya yang dapat hidup di darat dan di laut, mangrove juga memiliki banyak fungsi dan manfaat baik secara fisik, biologik, maupun sosial ekonomi.

Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove. Secara fisik hutan mangrove dapat melindungi garis pantai, mempercepat perbentukan lahan baru, yakni sebagai pelindung terhadap gelombang dan arus, sebagai pelindung tepi sungai atau pantai, menahan badai angin kencang dari laut, dan menjadi kawasan penyangga yang berfungsi menyaring air laut menjadi air daratan yang tawar. Secara biologik ekosistem hutan mangrove dapat sebagai tempat asuhan dan perkembangbiakan bagi berbagai jenis udang, ikan dan binatang lain, tempat berlindung habitat bagi sejumlah besar jenis burung, sebagai habitat berbagai kehidupan binatang liar. Secara sosial ekonomi ekosistem hutan mangrove dipergunakan oleh masyarakat sebagai tempat untuk pembudidayaan ikan tambak (aquaculture), tempat rekreasi, kolam garam, penghasil bahan baku industri dan sebagai penghasil kayu. Hal itulah yang menjadikan ekosistem hutan mangrove perlu untuk dipertahankan karena sebagai tempat perlindungan yang baik bagi berbagai organisme baik itu hewan darat maupun hewan air, dan guna mendukung kebutuhan hidup masyarakat lokal.

Flora mangrove terdiri atas pohon, epipit, liana, alga, bakteri dan fungi. Ekosistem hutan mangrove di Indonesia mempunyai keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan di ekosistem hutan

(2)

mangrove Indonesia adalah sekitar 89 jenis, yang terdiri atas 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit (Soemodihardjo et al, 1993). Flora mangrove pada umumnya tumbuh di lapangan membentuk zonasi mulai dari pinggir pantai sampai pedalaman daratan. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai yang didominasi oleh beberapa jenis pohon yang mampu berkembang biak di daerah pasang-surut pantai berlumpur. Jenis mangrove yang dapat dijumpai pada ekosistem mangrove di Kalimantan Timur adalah Rhizophora aficulata, Avicennia sp, dan Sonneratia sp yang umumnya dijumpai di sepanjang muara sungai dan pantai pesisir Kalimantan Timur. Jenis yang umum dijumpai ini merupakan jenis flora mangrove mayor, seperti yang diungkapkan oleh Tomlinson (1986), flora mangrove mayor merupakan flora mangrove sebenarnya, yakni flora yang menunjukan kesetiaan terhadap habitat mangrove, berkemampuan membentuk tegakan murni, dan secara dominan mencirikan struktur komunitas, mempunyai bentuk adaptif khusus dan mempunyai mekanisme didalam mengontrol air garam. Mangrove yang berada di Kalimantan Timur memiliki luas 883.379 hektar secara keseluruhan, dan salah satunya berada di Delta Mahakam yang memiliki luas 149.732 hektar atau 16.95 % dari luas mangrove di Kalimantan Timur dan Teluk Sanga-Sanga yang berada di Delta Mahakam yang menempati area seluas 7.966 hektar atau 5,32% dari luas Delta Mahakam. Gambar 1.1 merupakan foto hutan mangrove yang diambil saat melakukan prasurvey di Perairan Sanga-Sanga.

Sumber: Dokumentasi pribadi 24/3/2013

Gambar 1.1. Hutan Mangrove Rhizophora Aficulata yang umumnya di jumpai di Perairan Sanga-Sanga

(3)

Pada saat ini hutan mangrove di wilayah Kalimantan Timur telah mengalami kerusakan, dengan rincian 329.579 hektar atau 37,21% dari luas hutan mangrove di Kalimantan Timur rusak berat, 328.695 hektar atau 37,21% dari luas hutan mangrove di Kalimantan Timur rusak sedang, dan mangrove dengan kondisi baik dan masih terjaga kelestariannya hanya sekitar 225.105 hektar atau 25,48% dari luas hutan mangrove di Kalimantan Timur. Hutan mangrove di Delta Mahakam yang mengalami rusak berat seluas 24.035 hektar atau 49,44% dari luasan mangrove di Delta Mahakam, rusak ringan seluas 41.608 hektar atau 27,78% dari luas mangrove di Delta Mahakam, dan yang masih dalam kondisi baik hanya seluas 34.089 hektar atau 22,7% dari luasan mangrove di Delta Mahakam. Di perairan Sanga-Sanga hutan mangrove yang mengalami rusak berat seluas 3.852 hektar atau 48,37% dari luas hutan mangrove di perairan Sanga-Sanga, dan hutan mangrove yang mengalami rusak ringan seluas 4.114 hektar atau 51,64 % dari total luasan hutan mangrove di perairan Sanga-Sanga (BLH Provinsi Kalimantan Timur, 2011). Bukti adanya konversi dapat dilihat pada foto yang diambil saat prasurvey pada Gambar 1.2.

Sumber: Dokumentasi pribadi 24/3/2013

Gambar 1.2. Kondisi Hutan Mangrove yang rusak

Dari data di atas dapat diketahui kerusakan ekosistem hutan mangrove yang cukup parah terjadi di Delta Mahakam Kalimantan Timur. Berdasarkan hasil observasi, kerusakan tersebut sebagian besar diakibatkan oleh pembukaan hutan mangrove untuk usaha pertambakan oleh masyarakat yang berasal dari luar wilayah Kalimantan Timur, khususnya dari daerah Sulawesi Selatan. Bentuk dari kerusakan-kerusakan ekosistem hutan mangrove yang umum terjadi adalah tanaman mangrove

(4)

yang awalnya dibudidayakan, menjadi mati karena dibabat oleh pengusaha-pengusaha tambak udang untuk membuka tambaknya. Kerusakan lainnya, dapat dilihat dari dampaknya yaitu luas kawasan hutan mangrove semakin sempit, sehingga mengakibatkan pencemaran air, degradasi dan deforestasi hutan, pencemaran udara, kerusakan kawasan lindung dan konservasi, serta kerusakan keanekaragaman hayati. Kerusakan ekosistem hutan mangrove lebih didominasi karena kegiatan ekonomi masyarakat pendatang yang kurang memperhatikan ekosistem lingkungan. Kondisi krisis ekonomi menyebabkan masyarakat pendatang membuka lahan tambak udang untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Adanya pemahaman bahwa kepentingan ekonomi jauh lebih dominan daripada kepentingan ekosistem Delta Mahakam menjadikan kondisi sosial masyarakat berubah yaitu membuka hutan mangrove tambak udang menjadi sumber mata pencaharian bagi masyarakat pendatang. Berbeda dengan masyarakat pendatang, kearifan masyarakat lokal atau masyarakat asli dari perairan Sanga-Sanga sangat memberikan pengaruh yang positif terhadap pengelolaan hutan mangrove di perairan Sanga-Sanga. Perilaku yang mencerminkan kearifan masyarakat asli adalah dengan memanfaatkan hutan mangrove namun tetap menjaga kelestariannya. Salah satunya adalah dengan menerapkan konsep tambak ramah lingkungan atau sering disebut sebagai budidaya tambak yang melestarikan bakau sebagai jalur hijau atau penanaman mangrove di tambak (silvofishery).

Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya (UUPPLH Nomor 32 Tahun 2009). Berdasarkan batasan tersebut, bererti lingkungan ekosistem hutan mangrove juga terdiri dari komponen abiotik (lingkungan fisik), komponen biotik (lingkungan hayati atau flora-fauna), dan komponen kultural (lingkungan manusia dan perilakunya, yang meliputi aspek kependudukan, sosial ekonomi, dan sosial budaya). Keterkaitan antara komponen abiotik, komponen biotik, dan budaya manusia dapat digambarkan dalam diagram berikut ini:

(5)

C

Lingkungan

Culture

(Manusia dan

Peradabannya)

Gambar 1.3. Keterkaitan Komponen Abiotik Biotik, dan Budaya (Culture)

Ketiga komponen dalam lingkungan hidup saling ketergantungan dan terjadi suatu hubungan timbal balik antara manusia dan makhluk lain dengan faktor-faktor alam. Hubungan timbal balik antar komponen penyusun lingkungan tersebut berjalan dalam berbagai proses ekologi dan merupakan satu kesatuan sistem, yang disebut dengan ekosistem. Jadi ekosistem merupakan tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh, menyeluruh, dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup (UUPPLH Nomor 32 tahun 2009).

Komponen biotik, komponen abiotik, dan kultur merupakan komponen pembentuk ekosistem hutan mangrove. Abiotik atau komponen tak hidup adalah komponen fisik dan kimia yang merupakan medium atau substrat tempat berlangsungnya kehidupan, atau lingkungan tempat hidup. Komponen biotik adalah suatu komponen yang menyusun suatu ekosistem selain komponen abiotik (tidak bernyawa). Untuk memenuhi kebutuhannya, manusia tergantung pada kedua komponen tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa antara komponen biotik, abiotik, dan manusia saling membutuhkan dan memiliki keterkaitan. Pengelolaan yang baik akan dapat menjaga ekosistem hutan mangrove. Pembukaan tambak untuk

B

Lingkungan

Biotik

(Flora dan Fauna)

A

Lingkungan

Abiotik

(Atmosfer, Litosfer,

Pedosfer, Hidrosfer,

Oseanosfer)

Keterpaduan komponen biotik, abiotik, dan kultur

(6)

memenuhi kebutuhan hidup telah menjadi budaya bagi masyarakat di lingkungan ekosistem hutan mangrove Delta Mahakam. Pembukaan tambak tanpa memperhatikan kelestarian ekosistem hutan mangrove oleh masyarakat menjadi penyebab kerusakan lingkungan biotik dan abiotik dalam ekosistem hutan mangrove. Pengelolaan ekosistem hutan mangrove sebenarnya sudah diatur dalam peraturan pemerintah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, menjelaskan bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan yang termasuk dalam kategori hutan lindung. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut. Kaitannya dengan kondisi mangrove yang rusak, setiap orang yang memiliki, mengelola dan atau memanfaatkan hutan kritis atau produksi wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan konservasi. Hal ini diatur dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999. Peraturan perundangan tersebut sangat jelas menegaskan bahwa hutan mangrove adalah kawasan kehutanan yang harus dilindungi dan dilestarikan. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 mengamanatkan bahwa Dinas Kehutanan memiliki kewenangan untuk menjaga kelestarian hutan mangrove di perairan termasuk kawasan perairan di Delta Mahakam.

Pengelolaan ekosistem hutan mangrove juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan mengatur bahwa wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia untuk penangkapan ikan atau pembudiyaan ikan meliputi sungai, danau, waduk, rawa dan genangan air lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah Republik Indonesia. Oleh karena itu, hutan mangrove merupakan daerah genangan air yang sangat potensial untuk perikanan oleh sektor perikanan (Dinas Kelautan dan Perikanan). Dinas Kelautan dan Perikanan dapat memanfaatkannya sebagai area untuk budidaya perikanan.

Kedua undang-undang tersebut secara tegas menjelaskan batas-batas atau aturan dalam pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem hutan mangrove. Sektor Kehutanan memiliki kewenangan untuk menjaga kelestarian ekosistem hutan

(7)

mangrove. Sektor Perikanan memiliki kewenangan untuk mengelola perikanan di daerah potensial termasuk di kawasan ekosistem hutan mangrove yang ada di perairan Delta Mahakam. Namun, dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove terjadi konflik pengelolaan antara pemerintah, dalam hal ini Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Kehutanan, dan BLH dengan masyarakat penambak.

Upaya pelestarian alam atau lingkungan dapat dilakukan dengan menjaga kawasan dan melakukan pengelolaan dengan baik terhadap kawasan hutan. Berdasarkan ketentuan Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dan oleh karena itu, maka pemerintah bertanggungjawab dalam pengelolaan yang berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan (Pasal 2). Dalam kaitan kondisi mangrove yang rusak, kepada setiap orang yang memiliki, pengelola dan atau memanfaatkan hutan kritis atau produksi, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan konservasi (Pasal 43). Beberapa pengelolaan untuk mempertahankan kondisi hutan mangrove yang terlihat di lapangan beberapa diantaranya telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur seperti; penanaman hutan mangrove, penyusunan dan pelaksanaan program dan kebijakan lingkungan hidup terkait dengan hutan mangrove dan penyusunan kebijakan dengan dikeluarkannya Perda Pengelolaan Hutan Mangrove di Kalimantan Timur. Terkait dengan pengelolaan hutan mangrove di perairan Delta Mahakam BLH (Badan Lingkungan Hidup) juga telah bekerjasama dengan Dinas Kehutanan untuk penanaman hutan mangrove di sepanjang Delta Mahakam, sehingga dengan adanya kebijakan tersebut maka perlunya suatu kebijakan yang dapat terintegrasi dengan baik untuk dapat diaplikasikan dengan benar oleh masyarakat dalam hal pemanfaatan dan pengelolaan hutan mangrove di perairan Delta Mahakam, baik itu peranan kelembagaan pemerintah daerah, masyarakat dan stakeholder yang ada agar kelestarian hutan mangrove dapat tetap terjaga, kebutuhan masyarakat dapat tetap terpenuhi dan lingkungan dapat tetap lestari. Oleh karena itu, pengelolaan hutan mangrove tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah saja akan tetapi diperlukan peran serta masyarakat di Kawasan Delta Mahakam untuk mencapai kelestarian hutan mangrove yang terpadu.

(8)

Sumber: Dokumentasi pribadi 24/3/2013

Gambar 1.4. Ajakan untuk Melestarikan Hutan Mangrove

Peran serta masyarakat sangat diperlukan di dalam menjaga kelestarian kawasan hutan mangrove, serta untuk penanaman dan pembibitan kembali kawasan hutan mangrove. Dengan demikian diharapkan adanya keharmonisan pengelolaan hutan mangrove secara terintegrasi antara lembaga pemerintah daerah dengan lembaga masyarakat dan masyarakat itu sendiri dalam bentuk kerjasama dan upaya pendekatan kepada masyarakat oleh Badan Lingkungan Hidup melalui kebijakan-kebijakan yang ada. Harapan lain adalah terjadinya integrasi peran pemerintah daerah dan masyarakat sekitar adalah kelestarian hutan mangrove dapat terjaga. Hal tersebut di atas yang menjadi latar belakang utama peneliti untuk perlunya penelitian tentang “Kajian Lembaga dan Kearifan Masyarakat dalam Pengelolaan Ekosistem Hutan Mangrove Secara Terpadu Di Delta Mahakam”.

1.2.

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diketahui bahwa terjadi tumpang tindih kewenangan antara Dinas Kehutanan dengan Dinas Kelautan dan Perikanan dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove. Penduduk asli dan pendatang juga merupakan salah satu pihak yang ikut memanfaatkan ekosistem hutan mangrove. Adanya tumpang tindih tersebut berarti terdapat kewenangan dari masing-masing pihak dalam mengelola dan memanfaatkan ekosistem hutan mangrove.

Pemerintah daerah setempat, dalam hal ini BLH Provinsi Kalimantan Timur sudah melakukan beberapa upaya untuk mengatasi permasalahan kerusakan ekosistem hutan mangrove, di antaranya adalah dengan penanaman kembali

(9)

ekosistem hutan mangrove dan pembentukan tim pengelola hutan mangrove. Peran serta dan kearifan masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove merupakan hal penting karena masyarakat setempat merupakan pelaku utama aktivitas pertambakan sehingga dengan adanya peran serta dan kearifan masyarakat maka pengelolaan ekosistem hutan mangrove dapat terlaksana dengan baik. Selain itu, dengan pengelolaan ekosistem hutan mangrove yang melibatkan peran masyarakat akan menumbuhkan kedasaran masyarakat akan arti pengelolaan ekosistem hutan mangrove yang sangat berarti bagi kehidupan masyarakat saat ini dan generasi yang akan datang. Tanpa peran serta masyarakat dalam setiap kebijakan pemerintah, tujuan ditetapkannya kebijakan tersebut sulit dicapai.

Sumber: Dokumentasi pribadi 24/3/2013

Gambar 1.5. Upaya Pelestarian Hutan Mangrove di Delta Mahakam Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut ini.

(1) Apakah kondisi lingkungan ekosistem hutan mangrove telah rusak?

(2) Bagaimanakah peran Badan Lingkungan Hidup, Dinas Kehutanan, serta Dinas Perikanan dan Kelautan dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove di Delta Mahakam?

(3) Bagaimanakah peran serta masyarakat asli dan pendatang dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove di Delta Mahakam?

(4) Bagaimanakah mengintegrasikan peranan lembaga pemerintah dengan masyarakat dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove di Delta Mahakam?

(10)

1.3.

Keaslian Penelitian

Penelitian yang dilakukan kali ini belum pernah diteliti sebelumnya, sehingga peneliti berkeyakinan bahwa penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggung jawabkan. Sebagai perbandingan, peneliti mengutarakan beberapa penelitian terdahulu yang memiliki kajian yang serupa, yaitu kajian mengenai dinamika ekosistem mangrove dan kajian dampak kerusakan ekosistem hutan mangrove, untuk dapat dijadikan sebagai referensi sekaligus untuk menunjukkan keaslian penelitian ini, disajikan dalam Tabel 1.1.

Tabel 1.1. Perbandingan Penelitian dengan Penelitian Terdahulu

No Peneliti, Tahun, Judul Tujuan Utama Metode Hasil

1.

Prihatini, 2003

Pemodelan Dinamika Spasial Bagi Pemanfaatan Sumberdaya Alam Pesisir Berkelanjutan

Studi Kasus: Konversi Lahan Mangrove Menjadi Pertambakan Udang Di Delta

Mahakam, Kalimantan Timur

Mengkaji fungsi ekosistem dan pola pemanfaatan sumberdaya alam di Delta Mahakam serta representasi sistem yang fungsional ini dalam bentuk analisis sistem dan model spasial

Pengembangan suatu skenario pemanfaatan lahan optimum berdasar pada pengkajian ekosistem di muka dan pemodelan spasial serta menterjemahkan skenario tersebut dalam usulan rencana tata ruang.

Rencana tata ruang untuk pemanfaatan lahan yang optimal melalui alternatif usulan zonasi mikro pada Delta Mahakam yang tetap memperhatikan integrasi unsur ekologisnya.

2.

Arizona, 2009

Kerusakan Ekosistem Mangrove Akibat Konversi Lahan di Kampung Tobati dan Kampung Nafri, Jayapura, Papua

Mengetahui kondisi kerusakan mangrove dan respon masyarakat terhadap kerusakan yang terjadi

Melakukan pengukuran kelimpahan vegetasi mangrove melalui sampling transek Ditemukan sebaran spesies mangrove yang berbeda di tiap lokasi yaitu Kampung Tobati dan Nafri

3.

Saputra, 2009

Abrasi Pantai dan Kerusakan Hutan Mangrove di Pesisir Pantai Sialang Buah

Kabupaten Deli Serdang

Mengetahui abrasi pantai akibat kerusakan hutan mangrove

Penelitian deskriptif eksploratif dengan metode kualitatif

Alih fungsi lahan mengakibatkan kondisi hutan mangrove mengalami rusak berat dan menyebabkan tingginya laju abrasi yang mencapai 27m/thn 4. Zuandi, 2011 Kajian kerusakan ekosistem mangrove akibat kegiatan pertambakan di desa Kuala Karang Kecamatan Teluk Pakedai Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2005-2010

Mengkaji perubahan tutupan lahan hutan mangrove akibat pertambakan (2005-2010) dan mengkaji partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove, serta membuat strategi pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat

Analisis spasial melalui integrasi hasil interpretasi citra dan hasil survei lapang, serta metode survei wawancara

Perubahan tutupan lahan hutan mangrove menjadi areal

pertambakan seluas 372 ha.

Selain itu diketahui bahwa partisipasi masyarakat dalam pemanfaatan hutan mangrove diketahui sekitar 60% dan partisipasi dalam pelestarian hutan mangrove berada pada kategori sedang.

(11)

No Peneliti, Tahun, Judul Tujuan Utama Metode Hasil

5.

Panjaitan, 2012

Kajian Ekodinamika Hutan Mangrove Akibat Konversi Lahan di Kabupaten Langkat Sumatera Utara

Mengkaji perubahan hutan mangrove akibat konversi lahan serta mengkaji pengaruhnya terhadap lingkungan peisir. Membuat strategi perlindungan lingkungan peisir dan pengelolaan hutan mangrove di daerah penelitian

Metode yang dipakai adalah deskriptif kualitatif dengan analisis keruangan dan analisis dampak kerusakan

Adanya strategi perlindungan lingkungan pantai dan pengelolaan hutan mangrove yang benar dan berkelanjutan

6.

Lenny Dianawati, 2013

Kajian Peran Lembaga dan Kearifan Masyarakat dalam Pengelolaan Ekosistem Hutan

Mangrove Secara Terpadu di Delta Mahakam

Mengkaji peranan Dinas Kehutanan serta Dinas Perikanan dan Kelautan dan Perikanan, dan BLH

Kabupaten Kutai

Kartanegara dalam

pengelolaan ekosistem hutan mangrove di Delta

Mahakam; Mengkaji

partisipasi

masyarakat/penduduk asli dan pendatang dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove di Delta Mahakam; dan Mengkaji strategi pengelolaan ekosistem hutan mangrove dengan mengintegrasikan peranan Dinas Kehutanan serta Dinas Perikanan dan Kelautan dan Perikanan, dan BLH Kabupaten Kutai

Kartanegara dengan

masyarakat asli dan pendatang di Delta Mahakam.

Metode yang dipakai adalah pendekatan deskriptif kualitatif

Pengelolaan ekosistem hutan mangrove Delta Mahakam oleh Lembaga sudah dilaksanakan dengan baik. Namun pengelolaan ekosistem hutan mangrove oleh masyarakat belum memperhatikan kelestarian lingkungan

Sumber: Telaah Pustaka dan Perumusan, 2012

Berdasarkan telaah pustaka dari beberapa hasil penelitian terdahulu, maka diketahui perbedaan serta kelebihan penelitian ini dibanding dengan dengan penelitian-penelitian terdahulu, yang sekaligus dapat dijadikan sebagai batasan dalam kajian penelitian. Yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian yang sebelumnya pernah dilakukan adalah tujuan penelitian. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji peran lembaga (Dinas Kehutanan serta Dinas Perikanan dan Kelautan dan Perikanan, dan BLH Kabupaten Kutai Kartanegara) dan mengkaji partisipasi masyarakat dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove di Delta Mahakam serta strategi pengelolaan ekosistem hutan mangrove secara terpadu, dimana pada penelitian terdahulu hanya mengkaji konversi ekosistem hutan mangrove dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove. Selain itu, yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah lokasi penelitian.

(12)

1.4.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

(1) Mengkaji peranan Dinas Kehutanan serta Dinas Perikanan dan Kelautan dan Perikanan, dan BLH Kabupaten Kutai Kartanegara dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove di Delta Mahakam;

(2) Mengkaji partisipasi masyarakat/penduduk asli dan pendatang dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove di Delta Mahakam; dan

(3) Mengkaji strategi pengelolaan ekosistem hutan mangrove dengan mengintegrasikan peranan Dinas Kehutanan serta Dinas Perikanan dan Kelautan dan Perikanan, dan BLH Kabupaten Kutai Kartanegara dengan masyarakat asli dan pendatang di Delta Mahakam.

1.5.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian mengenai kajian konflik lembaga dan kearifan masyarakat dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove secara terpadu di Delta Mahakam diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

(1) Sumbangan data autentik mengenai peran lembaga dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove secara terpadu di Delta Mahakam;

(2) sebagai bahan informasi dan masukan kepada pihak Pemerintah khususnya yang ada di Kabupaten Kutai Kartanegara untuk menentukan arah dan kebijakan pengelolaan serta perlindungan yang optimal terhadap ekosistem

hutan mangrove di Delta Mahakam; dan

(3) menambah kasanah ilmu pengetahuan, khususnya tentang kajian konflik lembaga dan kearifan masyarakat dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove secara terpadu di Delta Mahakam.

Gambar

Gambar 1.1. Hutan Mangrove Rhizophora Aficulata yang umumnya di  jumpai di Perairan Sanga-Sanga
Gambar 1.2. Kondisi Hutan Mangrove yang rusak
Gambar 1.3. Keterkaitan Komponen Abiotik Biotik, dan Budaya (Culture)  Ketiga komponen dalam lingkungan hidup saling ketergantungan dan terjadi  suatu hubungan timbal balik antara manusia dan  makhluk lain dengan faktor-faktor  alam
Gambar 1.4. Ajakan untuk Melestarikan Hutan Mangrove
+3

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian mengenai pengaruh family control terhadap profitabilitas yang diukur dengan ROA dan nilai perusahaan yang diukur dengan Tobin’s Q maka

Kripik Kulit Singkong dengan aneka rasa yang kaya akan insoluble fiber (serat yang tidak larut dalam air) yang bermanfaat untuk memperlancar proses buang air

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, 1 Perencanaan pendekatan saintifikdalam pembelajaran SKIyaitu mengkaji silabus, merumuskan indikator pencapaian Kompetensi

memungkinkan termasuk kegunaan dari tugas tersebut. Peserta didik tipe guardian sangat patuh kepada guru. Segala pekerjaan yang diberikan kepada guardian dikerjakan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) Besarnya biaya , penerimaan, dan pendapatan, usahatani cabe merah varietas hot beauty di Desa Cibeureum Kecamatan

Penggunaan gaya bahasa yang paling dominan digunakan dalam cerpen pada majalah Story adalah gaya bahasa personifikasi, karena gaya bahasa personifikasi ini merupakan semacam

Deskripsi variabel penelitian menjelaskan bahwa masing-masing pegawai dapat menjalankan SKP secara elektronik di Kantor Kecamatan Semarang Timur dengan baik dengan

Hasil studi kasus pada saham yang terdaftar di Jakarta Islamics Index menunjukkan portofolio dengan pendekatan optimisasi robust (SOCP) lebih unggul dibandingkan portofolio model