• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Thalassemia

Nama Thalassemia berasal dari gabungan dua kata Yunani yaitu thalassa yang berarti lautan dan anaemia (“weak blood”). Perkataan Thalassa digunakan karena gangguan darah ini pertama kali ditemui pada pasien yang berasal dari negara-negara sekitar Mediterranean (TIF, 2010). Istilah Thalassemia sekarang digunakan pada kelompok hemoglobinopati yang diklasifikasi berdasarkan rantai globin spesifik di mana sintesisnya terganggu (Chen, 2006). Nama Mediterranean anemia yang diperkenalkan oleh Whipple sebenarnya tidak tepat karena kondisi ini bisa ditemuikan di mana saja dan sesetengah tipe thalasemia biasanya endemik pada daerah geografi tertentu (Paediatric Thalassemia, Medscape).

Pada tahu 1925, Thomas Cooley yang merupakan dokter anak di Detroit, menemukan beberapa tipe anemia yang dijumpai pada anak-anak yang berketurunan Itali. Dia menemuikan banyak eritrosit berinti pada darah perifer yang awalnya disangka sebagai anemia eritroblastik. Tidak lama kemudian dia mendapati erythroblastemia adalah tidak specifik dan berdasar pada gangguan yang ditemuinya. Meskipun menyadari terdapat gangguan genetik, tetapi dia gagal untuk menyelusuri orang tua dari anak-anak yang kelihatan sehat. Penyakit ini kemudiannya dinamakan sesuai dengan namanya, yaitu Anemia Cooley. Di Eropa pada tahun yang sama, Riette menjumpai anak-anak Itali dengan anemia hipokromik dan mikrositik yang tidak bisa diterangkan. Wintrobe dan rakan sekerjanya di USA juga melaporkan anemia ringan pada kedua orang tua anak yang mempunyai anemia Cooley. Anemia ini serupa dengan anemia yang dijelaskan oleh Rietter di Itali. Hanya selepas itu anemia berat Cooley dikenal pasti sebagai bentuk homozigot dari anemia ringan hipokromik dan mikrositik. Bentuk berat anemia ini dilabel sebagai Thalassemia dan dikategori menjadi Thalassemia minor dan mayor (Paediatric Thalassemia,

(2)

Medscape). Thalassemia yang merupakan penyakit genetik diturunkan dari orang tua ke anak melalui gen, tidak infeksius dan tidak bisa ditularkan kepada individu lain melalui kontak fisik, darah, transfusi makanan atau udara (TIF, 2010).

Thalassemia diakibatkan oleh reduksi pada satu atau lebih sinteis rantain globin. Ini akan mengurangkan produksi globin yang menyebabkan sintesis rantai globin yang tidak seimbang, produksi Hb yang defektif dan rusaknya eritrosit atau prekursornya (Rodak, 2007).Presipitasi rantaian globin di dalam prekursor eritrosit menyebabkan eritropoiesis yang tidak efektif sedangkan presipitasi di dalam eritrosit matang membawa kepada hemolisis (Kumar, 2005).

Reduksi suplai globin menurunkan produksi hemoglobin tetramers, menyebabkan keadaan hipokromia dan mikrositik. Akumulasi tidak seimbang subunit α dan β terjadi akibat sintesis globin yang normal tetap berlangsung secara normal. Akumulasi rantai yang tidak seimbang mendominasi fenotip klinis. Keparahan secara klinis bervariasi karena dipengaruhi kepada tahap gangguan pada sintesis globin yang terganggu, alterasi sintesis pada rantai globin yang lain dan co-inheritance pada alel globin abnormal yang lainnya (Harrison, 2008).

Di negara tropis seperti Indonesia, Thalassemia merupakan gangguan anemia mikrositik yang penting dengan prevalensi kedua tertinggi setelah anemia defiensi besi. Sindroma Thalassemia dikarakteristik dengan anemia sekunder terhadap gangguan genetik pada hemoglobin (Wiwanitkit, 2007).

(3)

2.2 Klasifikasi Thalassemia

Hemoglobin terdiri dari rantaian globin dan hem tetapi pada Thalassemia terjadi gangguan produksi rantai α atau β. Dua kromosom 11 mempunyai satu gen β pada setiap kromosom (total dua gen β) sedangkan dua kromosom 16 mempunyai dua gen α pada setiap kromosom (total empat gen α). Oleh karena itu satu protein Hb mempunyai dua subunit α dan dua subunit β. Secara normal setiap gen globin α memproduksi hanya separuh dari kuantitas protein yang dihasilkan gen globin β, menghasilkan produksi subunit protein yang seimbang. Thalassemia terjadi apabila gen globin gagal, dan produksi protein globin subunit tidak seimbang. Abnormalitas pada gen globin α akan menyebabkan defek pada seluruh gen, sedangkan abnormalitas pada gen rantai globin β dapat menyebabkan defek yang menyeluruh atau parsial (Wiwanitkit, 2007).

Thalassemia diklasifikasikan berdasarkan rantai globin mana yang mengalami defek, yaitu Thalassemia α dan Thalassemia β. Pelbagai defek secara delesi dan non-delesi dapat menyebabkan Thalassemia (Rodak, 2007).

2.2.1 Thalassemia α

Oleh karena terjadi duplikasi gen α (HBA1 dan HBA2) pada kromosom 16, makaakan terdapat total empat gen α (αα/αα). Delesi gen sering terjadi pada Thalassemia α maka terminologi untuk Thalassemia α tergantung terhadap delesi yang terjadi, apakah pada satu gen atau dua gen. Apabila terjadi pada dua gen, kemudian dilihat lokai kedua gen yang delesi berada pada kromosom yang sama (cis) atau berbeda (trans). Delesi pada satu gen α dilabel α+ sedangkan pada dua gen dilabel αo (Sachdeva, 2006).

(4)

a. Delesi satu gen α / silent carrier/ (-α/αα)

Kehilangan satu gen memberi sedikit efek pada produksi protein α sehingga secara umum kondisinya kelihatan normal dan perlu pemeriksaan laboratorium khusus untuk mendeteksinya. Individu tersebut dikatakan sebagai karier dan bisa menurunkan kepada anaknya (Wiwanitkit, 2007).

b. Delesi dua gen α / Thalassemia α minor (--/αα) atau (-α/-α)

Tipe ini menghasilkan kondisi dengan eritrosit hipokromik mikrositik dan anemia ringan. Individu dengan tipe ini biasanya kelihatan dan merasa normal dan mereka merupakan karier yang bisa menurunkan gen kepada anak (Wiwanitkit, 2007).

c. Delesi 3 gen α / Hemoglobin H (--/-α)

Pada tipe ini penderita dapat mengalami anemia berat dan sering memerlukan transfusi darah untuk hidup. Ketidakseimbangan besar antara produksi rantai α dan β menyebabkan akumulasi rantai β di dalam eritrosit menghasilkan generasi Hb yang abnormal yaitu Hemoglobin H (Hb H/ β4) (Wiwanitkit, 2007).

d. Delesi 4 gen α / Hemoglobin Bart (--/--)

Tipe ini adalah paling berat, penderita tidak dapat hidup dan biasanya meninggal di dalam kandungan atau beberapa saat setelah dilahirkan, yang biasanya diakibatkan oleh hydrop fetalis. Kekurangan empat rantai α menyebabkan kelebihan rantai γ (diproduksi semasa kehidupan fetal) dan rantai β menghasilkan masing-masing hemoglobin yang abnormal yaitu Hemoglobin Barts (γ4 / Hb Bart, afiniti terhadap

oksigen sangat tinggi) (Wiwanitkit, 2007) atau Hb H (β4, tidak stabil) (Sachdeva,

(5)

2.2.2 Thalasemia β

Thalassemia β disebabkan gangguan pada gen β yang terdapat pada kromosom 11 (Rodak, 2007).Kebanyakkan dari mutasi Thalassemia β disebabkan point mutation dibandingkan akibat delesi gen (Chen, 2006). Penyakit ini diturunkan secara resesif dan biasanya hanya terdapat di daerah tropis dan subtropis serta di daerah dengan prevalensi malaria yang endemik (Wiwanitkit, 2007).

Thalassemia βo

Tipe ini disebabkan tidak ada rantai globin β yang dihasilkan (Rodak, 2007). Satu per tiga penderita Thalassemia mengalami tipe ini (Chen, 2006).

Thalassemia β+

Pada kondisi ini, defisiensi partial pada produksi rantai globin β terjadi. Sebanyak 10-50% dari sintesis rantai globin β yang normal dihasilkan pada keadaan ini (Rodak, 2007).

Secara klinis, Thalassemia β dikategori kepada:

a. Thalassemia β minor / Thalassemia β trait(heterozygous) / (β+β) or (βoβ)

Salah satu gen adalah normal (β) sedangkan satu lagi abnormal, sama ada β+ atau βo. Individu dengan Thalassemia ini biasanya tidak menunjukkan simptom dan biasanya terdeteksi sewaktu pemeriksaan darah rutin. Meskipun terdapat ketidakseimbangan, kondisi yang terjadi adalah ringan karena masih terdapat satu gen β yang masih berfungsi secara normal dan formasi kombinasi αβ yang normal masih bisa terjadi (Wiwanitkit, 2007). Anemia yang terjadi adalah mikrositik, hipokrom dan hemolitik (Rodak, 2007).Penurunan ringan pada sistesis rantai globin β menurunkan produksi hemoglobin. Rantai α yang berlebihan diseimbangkan oleh peningkatan produksi rantai δ di mana keduanya akan berikatan membentuk HbA2 / α2δ2 (3.5-8%). Individu

tersebut sepenuhnya asimptomatik dan selain dari anemia ringan, tidak menunjukkan manifestasi klinis yang lainnya (Sachdeva, 2006).

(6)

b. Thalassemia β mayor / Cooley's Anemia (homozygous) (β+βo) or (βoβo) or (β+β+) Pada kondisi ini, kedua gen rantai β mengalami disfungsi (Wiwanitkit, 2007).

HbA langsung tidak ada pada βoβo dan menurun banyak pada β+β+. Penyakit ini berhubungan dengan gagal tumbuh dan sering menyebabkan kematian pada remaja (Motulsky, 2010). Anemia berat terjadi dan pasien memerlukan transfusi darah (Rodak, 2007) dan gejala tersebut selalunya bermanifestasi pada 6 bulan terakhir dari tahun pertama kehidupan atas akibat penukaran dari sistesis rantai globin γ (Hb F/ α2γ2) kepada β (Hb A / α2β2) (Yazdani, 2011).

c. Thalassemia β intermedia (β+/β+) atau (βo/β+)

Simptom yang timbul biasanya antara Thalassemia minor dan mayor (Rodak, 2007).

2.3 Epidemiologi

Prevalensi dan tingkat keparahan Thalassemia tergantung kepada populasi (Wiwanitkit, 2007). Thalassemia juga sering dijumpai di daerah endemik untuk malaria di seluruh dunia (Mosby, 2002). Prevalensi yang tinggi dijumpai di Mediterranean dan Asia Tenggara. Thalassemia β mayor pertama kali dijumpai di Itali tetapi masalah ini lebih besar di Asia Tenggara terutama di Thailand dan Laos.

Di Asia Tenggara, penderita dan pembawa Thalassemia adalah sebanyak 1% sampai 40% dari seluruh populasi. prevalensi tertinggi dilaporkan di timur laut Thailand, selatan Laos dan daerah utara dari Kemboja. Tipe utama di daerah ini adalah Thalassemia α (Wiwanitkit, 2007).Thalassemia Β mempunyai insidens yang tinggi di Mediterranean. Pada African American, 2-3% mempunyai Thalassemia α minor (Mosby, 2002).

Negara-negara ini dapat dibagi kepada tiga kategori berdasarkan fasilitas yang ada. Pertama adalah negara di Mediterranean dimana sebanyak 80 sampai 100% pencegahan tercapai hasil dari program pencegahan yang sudah lama dibangunkan. Kedua, daerah industri yang maju dimana prevalensi meningkat akibat dari migrasi. Negara-negara ini mempunyai keupayaan untuk mengontrol masalah ini tetapi payah untuk mencapai kelompok imigran yang mempunyai latar belakang budaya yang berbeda-beda. Ketiga adalah negara-negara membangun yang mana penangan

(7)

terhadap Thalassemia terganggu akibat masalah ekonomi, prioritas terhadap masalah kesehatan yang lain seperti penyakit infeksius serta halangan dari segi agama atau budaya. (Angastiniotis, 1998)

Studi tentang karakteristik pada penderita Thalassemia telah dilakukan di RS Dr. Pirngadi dari tahun 1979 sampai 1989. didapatkan 131 kasus di mana 61.60% menderita Thalassemia mayor, 35.71% Thalassemia Hb E dan 2.20% menderita Hemoglobin H. (Sinulingga, 1991)

2.4 Patofisiologi dan manifestasi klinis

Hb A secara normal disintesis oleh kombinasi dua rantai α yang terletak di kromosom 16 dan dua rantai β yang dijumpai di kromosom 11. Thalassemia α disebabkan defek genetik akibat rantai α yg terlalu pendek sedangkan Thalassemia β akibat mutasi di kromosom 11 menyebabkan sintesis rantai β menurun atau tidak ada sama sekali (Dunphy, 2010).

Pada semua Thalassemia akan timbul gejala klinis yang menyebabkan anemia, transfusional dan absorptive iron overload yang serupa tetapi berbeda-beda berdasarkan keparahannya. Gejala klinis terbagi kepada dua, yaitu, hematologi dan non hematologi. Gejala klinis hematologi terdiri dari anemia sedangkan gejala non-hematologi adalah thalassemic face, splenomegali, retardasi pertumbuhan, hematopoiesis extramedular dan kolelitiasis (Wiwanitkit, 2007).

2.4.1. Thalassemia α silent carrier dan Thalassemia α minor

Secara klinis pasien dengan satu atau dua gen α yang disfungsi tidak mendapat efek secara klinis (Marshall, 2008).dan menunjukkan ciri-ciri asimptomatik.

(8)

2.4.2. Thalassemia Hb H

Karakteristik Hemoglobin H adalah anemia hemolitik kronis yang ringan sampai sedang. Kadar Hb berkisar 7-10 g/dl sedangkan eritrosit 5-10%. Sum-sum tulangnya mengalami hiperplasia eritroid dan limpa membesar. Hemolitik krisis juga dapat terjadi.(Rodak, 2007). Jaundis dan splenomegali dapat dijumpai sedangkan morfologi eritrositnya adalah hipokrom dan mikrositik disertai MCV 50-73 fl. Komplikasi yang dapat timbul adalah splenomegali yang progresif, hipersplenism, batu empedu, defisiensi folat superimpose, infeksi dan ulser kaki (Dunphy, 2010).

2.4.3. Thalassemia Bart

Pada kondisi ini, anemia berat yang terjadi menyebabkan edema pada jaringan subkutan fetus membawa kepada hydrops fetalis. Hb Bart mempunyai afiniti oksigen yang sangat tinggi menyebabkan transportasi oksigen ke jaringan gagal. Fetus yang bertahan hingga trimester ketiga selalunya dilahirkan prematur dan stillborn, atau mati sejurus selepas lahir.

2.4.4. Thalassemia β minor / Thalassemia trait

Individu dengan gen Thalassemia yg heterozigot dikatakan mengalami Thalassemia minor . Penderita selalunya asimptomatik tetapi bisa mengalami gejala ringan di mana eritrosit yang diproduksi adalah mikrositik dan hipokrom, menghasilkan anemia hemolitik ringan yang kronik. Sebagai kompensasi produksi eritrosit cenderung meningkat (Dunphy, 2010).Eritrosit lebih kecil dan kurang terisi dengan hemoglobin menyebabkan penurunan nilai mean cellular hemoglobin (MCH) dan mean cellular volume (MCV) (Motulsky, 2010). Oleh karena terdapat anemia hipokrom dan mikrositik maka diagnosis bandingnya adalah anemia defisiensi besi. Ferritin, serum besi dan total iron binding capacity adalah normal sedangkan kadar Hb selalunya lebih tinggi dari 10 g/dl. MCVnya < 75 fl sedangkan MCH < 26 pg. Kadar eritrosit bisa meningkat sedangkan retikulosit normal ataupun sedikit menurun. Pemeriksan apusan darah menunjukkan mikrositosis, sel target, basophilic stippling dan ovalosit. Hb F bisa meningkat sedikit pada 50% kasus (Dunphy, 2010).

(9)

2.4.5. Thalassemia β intermedia

Penderita Thalassemia intermedia mengalami anemia yang lebih berat dari Thalassemia minor tetapi tidak memerlukan transfusi untuk menjaga kadar eritrosit dan kualitas hidup seperti pada Thalassemia mayor. Meskipun kadar Hb selalunya lebih dari 7 g/dl, ia tidak menjadi jaminan untuk menegakkan diagnosis tetapi harus tetap memperhatikan keadaan klinis. Ketidakseimbangan sintesis rantai α dan β berada di antara Thalassemia minor dan mayor, fenotip pula berada di antara sangat memerlukan transfusi dan asimptomatik sedangkan dari segi genotipe ia sangat heterogenetik. Akibat keheterogenetik pada sindrom klinis, hasil lab dan klinis berbeda-beda. Morfologi eritrosit serupa dengan Thalassemia mayor tetapi keparahan anemia dan jaundis bervariasi sesuai tingkat defek genetik yang dialami. Adanya splenomegali menyebabkan kadar trombosit dan neutrofil berkurang. Iron overload bisa terjadi pada pasien ini walaupun tidak menerima transfusi darah. Ini disebabkan proses eritropoiesis, meskipun inefektif, meningkat, membawa kepada peningkatan plasma turnover iron yang meningkatkan absorpsi besi di usus. Akibatnya, komplikasi jantung dan endokrin muncul 10 sampai 20 tahun kemudian dari pasien yang selalu mendapat tranfusi darah (Rodak, 2007). Komplikasi lain yang bisa timbul pada pasien ini adalah artritis, kholelithiasis, ulser kaki, tromboembolis dan mudah terkena infeksi (Dunphy, 2010).

2.4.6. Thalassemia β mayor / anemia Cooley

Apabila dua individu dengan Thalassemia minor masing-masing menurunkan gen yang defek kepada anak, anak tersebut akan menderita Thalassemia mayor. Pada Thalassemia β, rantai α akan dihasilkan lebih banyak tetapi rantai ini cenderung untuk berikatan dengan membran eritrosit, merusak dan membentuk substansi toksik (Dunphy, 2010).Badan inklusi toksik yang terbentuk menghancurkan eritroblast di dalam sum-sum tulang tetapi proeritroblast yang mulai maturasi eritroid akan selamat. Eritrosit yang mengandungi badan inklusi tersebut akan dideteksi oleh limpa, mengurangi masa hidupnya dan menyebabkan anemia hemolitk yang berat. Keadaan ini akan menstimulasi pelepasan eritropoietin dan hiperplasia eritroid sebagai kompensasi. Akan tetapi respon sum-sum tulang ini tidak berhasil akibat dari

(10)

eritropoiesis yang tidak efektif menyebabkan anemia menetap. Anemia hemolitik ini akan menyebabkan pucat, hepatosplenomegali, ulser kaki, batu empedu dan gagal jantung kongestif. Hiperplasia bisa terjadi secara berlebihan dan menghasilkan massa jaringan eritropoietik ekstramedular di hati dan limpa (hepatosplenomegali) (Harrison, 2008).Pelebaran diploe pada tulang fasial dan tengkorak menghasilkan karakteristik bentuk muka “thalassemia” di mana terjadi splaying of the teeth dan frontal bossing. Namun, hasil dari terapi efektif keadaan ini jarang terlihat di negara maju. Deformitas tulang selain dari pada tengkorak juga dapat terjadi di tempat lain menyebabkan tulang dan tangan yang panjang (Dunphy, 2010). Penggunaan kalori berlebihan untuk pada proses eritropoiesis akan menyebabkan lelah, cenderung mengalami infeksi, disfungsi endokrin dan paling parah kematian pada 10 tahun kehidupan (Harrison, 2008).

Kadar Hb bisa sampai 2-3 g/dl dengan morfologi eritrosit hipokrom yang berat, mikrositosis, polikromasia, basophillic stippling dan sel target. Eritrosit bernukleus dijumpai di dalam sirkulasi tetapi jumlah retikulosit rendah akibat dari eritropoiesis yang inefektif (Dunphy, 2010). Kurang lebih 5% anak-anak dengan Thalassemia β mayor masih menghasilkan Hb F dan apabila diberikan hidroxiurea HbF yang diproduksi meningkat. Selepas lahir kondisinya biasanya normal tetapi setelah 6 bulan di mana sintesis HbF menurun dan HbA meningkat, anemia berat mula bermanifestasi dan transfusi darah diperlukan. Tranfusi darah yang berulang-ulang bisa menyebabkan iron overload yang menyebabkan gagal jantung, sirrosis dan endokrinopati di mana kematian bisa berlaku pada umur 20-30 tahun (Madara, 2008).

(11)

2.5 Diagnosa dan pemeriksaan penunjang

Diagnosis untuk Thalassemia terdapat dua yaitu secara screening test dan definitive test.

2.5.1 Screening test

Di daerah endemik, anemia hipokrom mikrositik perlu diragui sebagai gangguan Thalassemia (Wiwanitkit, 2007).

a. Interpretasi apusan darah

Dengan apusan darah anemia mikrositik sering dapat dideteksi pada kebanyakkan Thalassemia kecuali Thalassemia α silent carrier. Pemeriksaan apusan darah rutin dapat membawa kepada diagnosis Thalassemia tetapi kurang berguna untuk skrining.

b. Pemeriksaan osmotic fragility (OF)

Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan fragiliti eritrosit. Secara dasarnya resistan eritrosit untuk lisis bila konsentrasi natrium klorida dikurangkan dikira. Studi yang dilakukan menemui probabilitas formasi pori-pori pada membran yang regang bervariasi mengikut order ini: Thalassemia < kontrol < spherositosis (Wiwanitkit, 2007). Studi OF berkaitan kegunaan sebagai alat diagnostik telah dilakukan dan berdasarkan satu penelitian di Thailand, sensitivitinya adalah 91.47%, spesifikasi 81.60, false positive rate 18.40% dan false negative rate 8.53% (Wiwanitkit, 2007).

c. Indeks eritrosit

Dengan bantuan alat indeks sel darah merah dapat dicari tetapi hanya dapat mendeteksi mikrositik dan hipokrom serta kurang memberi nilai diagnostik. Maka metode matematika dibangunkan (Wiwanitkit, 2007).

(12)

d. Model matematika

Membedakan anemia defisiensi besi dari Thalassemia β berdasarkan parameter jumlah eritrosit digunakan. Beberapa rumus telah dipropose seperti 0.01 x MCH x (MCV)², RDW x MCH x (MCV) ²/Hb x 100, MCV/RBC dan MCH/RBC tetapi kebanyakkannya digunakan untuk membedakan anemia defisiensi besi dengan Thalassemia β (Wiwanitkit, 2007).

Sekiranya Indeks Mentzer = MCV/RBC digunakan, nilai yang diperoleh sekiranya >13 cenderung ke arah defisiensi besi sedangkan <13 mengarah ke Thalassemia trait. Pada penderita Thalassemia trait kadar MCV rendah, eritrosit meningkat dan anemia tidak ada ataupun ringan. Pada anemia defisiensi besi pula MCV rendah, eritrosit normal ke rendah dan anemia adalah gejala lanjut (Yazdani, 2011).

2.5.2 Definitive test

a. Elektroforesis hemoglobin

Pemeriksaan ini dapat menentukan pelbagai jenis tipe hemoglobin di dalam darah. Pada dewasa konstitusi normal hemoglobin adalah Hb A1 95-98%, Hb A2 2-3%, Hb F

0.8-2% (anak di bawah 6 bulan kadar ini tinggi sedangkan neonatus bisa mencapai 80%). Nilai abnormal bisa digunakan untuk diagnosis Thalassemia seperti pada Thalassemia minor Hb A2 4-5.8% atau Hb F 2-5%, Thalassemia Hb H: Hb A2 <2%

dan Thalassemia mayor Hb F 10-90%. Pada negara tropikal membangun, elektroporesis bisa juga mendeteksi Hb C, Hb S dan Hb J (Wiwanitkit, 2007).

b. Kromatografi hemoglobin

Pada elektroforesis hemoglobin, HB A2 tidak terpisah baik dengan Hb C.

Pemeriksaan menggunakan high performance liquid chromatography (HPLC) pula membolehkan penghitungan aktual Hb A2 meskipun terdapat kehadiran Hb C atau Hb

E. Metode ini berguna untuk diagnosa Thalassemia β karena ia bisa mengidentifikasi hemoglobin dan variannya serta menghitung konsentrasi dengan tepat terutama Hb F dan Hb A2 (Wiwanitkit, 2007).

(13)

c. Molecular diagnosis

Pemeriksaan ini adalah gold standard dalam mendiagnosis Thalassemia. Molecular diagnosis bukan sahaja dapat menentukan tipe Thalassemia malah dapat juga menentukan mutasi yang berlaku (Wiwanitkit, 2007).

2.6 Penatalaksanaan

Pada Thalassemia α silent carrier, pasien selalunya simptomatik dengan kadar Hb normal atau hampir normal. Sekiranya tidak ada defisiensi besi, perlu dihindari pemberian suplemen besi (Dunphy, 2010). Pada Thalassemia α Hb H pula, transfusi darah tidak diperlukan melainkan pada kasus yang berat dengan anemia hemolitik yang simptomatik. Sesetengah pasien dengan anemia berat dan hipersplenism, splenektomi bisa membantu (Dunphy, 2010). Pasien dengan Thalassemia α Hb Bart selalunya meninggal di dalam kandungan atau sejurus selepas lahir. Terdapat laporan yang mengatakan terdapat bayi yang dapat diselamatkan dengan melakukan exchange transfusion sejurus selepas lahir. Risiko defek urogenital, neurologik dan extremitas bagaimanapun wujud dan terapi transfusi darah dan iron chelation seumur hidup diperlukan (Dunphy, 2010).

Pada Thalassemia β mayor, terapi utama adalah transfusi darah untuk menetapkan kadar hemoglobin sekitar 9-10 g/dl. Masalah yang timbul pada terapi ini adalah perlunya transfusi seumur hidup, kesediaan suplai darah yang mencukupi, risiko penyakit yang ditransmisi melalui transfusi, iron overload dan timbulnya hipersplenism. Matching donor yang optimal penting untuk meminimumkan risiko alloimmunisasi. Anak yang mendapat transfusi yang mencukupi selalunya memerlukan transfusi setiap bulan maka terapi iron chelation seperti deferoxamine diperlukan akibat dari akumulasi besi dari transfusi darah dan peningkatan absorpsi besi di GIT. Deferoxamine selalunya diberikan melalui infusi subkutan sepanjang malam menggunakan infusion pump sekurang-kurangnya 5-6 hari per minggu (Dunphy, 2010). Transfusi darah perlu dijalankan sebaik sahaja diagnosa telah ditegakkan dan apabila kadar Hb < 7g/dl (pada dua pemeriksaan dengan jarak dua minggu) atau sekiranya Hb > 7 g/dl terdapat karekteristik fisik seperti perubahan

(14)

wajah, pertumbuhan jelek, fraktur tulang dan hematopoiesis extramedular (TIF, 2010). Pasien Thalassemia β intermedia pula tidak memerlukan transfusi darah akibat anemia. Terapi iron chelation bisa diberikan pada sesetengah pasien untuk mencegah atau merawat iron overload (Dunphy, 2010).

2.7 Karakteristik pasien Thalassemia di Medan

Dari penelitian yang dilakukan di Medan dari Juni 1979 hingga Mei 1989, terdapat 131 kasus Thalassemia yang dilaporkan di mana 75 (57.25%) daripadanya adalah laki-laki manakala 56 (42.75%) lagi adalah perempuan. Kelompok usia yang predominan adalah 0-2 tahun manakala kelompok suku yang tertinggi adalah dari suku Jawa. Simptom anemia ditemui pada lebih dari 80% pasien Thalassemia tersebut. Sebanyak 91 orang mempunyai hepatomegali manakala 84 mengalami splenohepatomegali. Dari pemeriksaan Hb-electrophoresis, ditemui 26 pasien menghidap Thalassemia mayor, 15 orang dengan Thalassemia E dan seorang dengan Thalassemia Hemoglobin H (Sinulingga, 1991).

Referensi

Dokumen terkait

Penggunaan media dalam proses pembelajaran di ruang kelas ternyata berimplikasi terhadap beberapa hal antara lain: pada diri guru itu sendiri, yakni dengan penggunaan

Dengan hormat, kami sampaikan bahwa dalam rangka mengisi kegiatan ibadah selama bulan Ramadhan di tingkat Sekolah Menengah Pertama, Direktorat Pendidikan Agama

Hasil pengembangan yang telah dilakukan sesuai dengan tujuan penelitian dan pengembangan, yaitu (1) menghasilkan produk berupa buku penunjang materi kuliah apresiasi cerpen

FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA.. No

Abstrak. Buku yang menjadi koleksi perpustakaan merupakan aset, sehingga harus dijaga betul kondisinya agar tidak hilang ataupun rusak. Koleksi rusak diartikan sebagai

Penelitian ini dengan pendekatan Islamicity Performance Index yang menggunakan lima rasio yaitu profit sharing ratio, zakat perfor- mance ratio, equitable distribution ratio,

Individualised Instructional Strategies On Senior Secondary School Students’ Attitudes Toward Mathematics” (2013). The results indicated s ignificant main effects of

Saat panggilan itu datang pada dirinya, partisipan merasakan kembali memiliki tujuan dalam hidupnya, tujuan untuk dapat menjadi orang yang lebih baik lagi dan inilah