• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V KESIMPULAN DAN SARAN"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

202

pembahasan analisis data, yang telah diperoleh dari hasil wawancara dan observasi keempat partisipan, pada bab sebelumnya. Beberapa saran yang ditujukan bagi penelitian selanjutnya, bagi psikolog dan konselor, dan juga bagi masyarakat umum dan komunitas agama. A. Kesimpulan

Berdasarkan analisis data, dari hasil wawancara dan observasi yang telah dilakukan mengenai proses pengambilan keputusan hidup membiara pada biarawati Katolik dan Buddha, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Ketiga partisipan memiliki ketertarikan pada kehidupan membiara sejak masih sekolah dasar, ketika mereka bertemu dengan rohaniawan (suster maupun bhikkhu). Rasa kagum pada rohaniawan tersebut menjadi awal dari minat mereka pada hidup membiara. Berbeda pada partisipan keempat, yang ketertarikan pada kehidupan membiara dirasakan saat duduk di bangku SMA, yang kemudian diperkuat setelah melihat kakaknya yang gagal (tidak mendapat ijin) untuk hidup membiara.

2. Pengaruh dari orang lain (significant other), menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi keempat partisipan dalam mengambil keputusan membiara. Pada partisipan pertama dan keempat, yang menjadi significant other bagi mereka merupakan anggota keluarga mereka sendiri. Significant other inilah yang membantu mereka

(2)

dalam menumbuhkan minat mereka pada kehidupan mereka, dan significant other sekaligus menjadi salah satu inspirasi mereka di awal-awal mereka mengambil keputusan hidup membiara. Sedangkan pada partisipan kedua dan ketiga mereka yang menjadi significant other tidak berasal dari keluarganya sendiri. Seperti pada partisipan kedua yang menjadikan suster yang dilihatnya saat masih kecil sebagai orang yang dikaguminya dan menjadi inspirasi baginya untuk mengambil keputusan membiara, dan pimpinan dan teman sejawat dalam komunitas menjadi orang-orang yang penting bagi partisipan kedua. Tidak jauh berbeda dengan partisipan kedua, pada partisipan keempat guru (bhante) dan senior-senior yang sudah dianggap oleh partisipan sebagai keluarganya, menjadi orang-orang yang mendukung dirinya untuk mantap mengambil keputusan membiara.

3. Ketiga partisipan sebelum memutuskan hidup membiara, ada perasaan hampa pada diri mereka dalam menjalani kehidupan mereka. Pada partisipan pertama merasakan kehidupan di luar komunitas biara membuatnya tidak merasa nyaman, sehingga itulah yang membuatnya mendekatkan diri pada komunitas biara dan bekerja di sana. Ketika panggilan datang pada dirinya partisipan merasakan kehidupannya memiliki keamanan dan memiliki tujuan hidup dengan melayani anak-anak cacat. Sedangkan pada partisipan ketiga, kehidupan dunia (di luar biara) sudah lama dijalaninya, hidup berkelebihan, dan pekerjaan yang mapan dengan gaji yang besar tidak membuatnya merasa hidup. Rasa kesia-sian telah

(3)

bekerja keras dan memiliki uang yang banyak tanpa kehadiran keluarga membuat partisipan merasakan hampa pada dirinya. Kehilangan keluarga karena musibah, membuat dirinya tidak lagi memiliki tujuan dalam hidupnya. Ketika panggilan membiara itu datang partisipan merasakan kembali memiliki tujuan hidup dan yang paling utama baginya adalah, dia menemukan keluarga di tengah-tengah komunitasnya. Hal yang berbeda terjadi pada partisipan keempat, rasa putus asa dengan kehidupannya karena penyakit yang dideritanya dan konflik yang sering terjadi antara dia dan kedua orang tuanya, membuat dirinya merasakan putus asa, dan dalam keputusasaannya itu partisipan memiliki kerinduan untuk menjalani hidup membiara. Saat panggilan itu datang pada dirinya, partisipan merasakan kembali memiliki tujuan dalam hidupnya, tujuan untuk dapat menjadi orang yang lebih baik lagi dan inilah waktu bagi dia untuk mendekat pada Pencipta dan menemukan kedamaian dalam hidupnya. Partisipan juga memiliki tujuan untuk membantu kedua orang tuanya agar lebih mendekatkan diri pada Sang Pencipta, sehingga keluarga mereka pun dapat dipulihkan. 4. Dalam mempertimbangkan keputusan hidup membiara, keempat

partisipan meminta pendapat dari keluarga. Saat panggilan hidup membiara datang pada mereka, mereka melibatkan keluarga dan meminta persetujuan dari keluarga sebelum mereka mengambil keputusan hidup membiara. Keterlibatan keluarga dalam proses pertimbangan menghasilkan respons-respons yang berbeda dari masing-masing anggota keluarga. Dalam keluarga keempat

(4)

partisipan ada yang menyetujui dengan keinginan partisipan untuk membiara, tetapi ada pula yang menentang minat partisipan untuk hidup membiara. Pada partisipan pertama keterlibatan keluarga menjadi hal yang sangat penting bagi dirinya karena bagi partisipan keluarganya tahu mana yang terbaik bagi dirinya, dan partisipan pertama pun mendapatkan respon yang baik dari keluarganya, keluarganya memberikan dukungan dan kebebasan pada keputusan yang diambil oleh partisipan. Sedangkan pada partisipan kedua, ketiga, dan keempat ketika keluarga mengetahui minat mereka, keluarga memberikan respon menentang dengan keras dan tidak memberika ijin pada mereka untuk menjalani hidup membiara. Pada partisipan keempat dan kedua pertentangan yang diberikan oleh keluarga membuat mereka nekat untuk menjalani kehidupan membiara walaupun tanpa persetujuan keluarga.

5. Pada umumnya, ketika dihadapkan pada persoalan mengambil keputusan hidup membiara, masing-masing partisipan melakukan pola coping yang berbeda-beda dalam mengatasinya. Pada partisipan pertama pola coping yang digunakan adalah vigilance, yaitu sebelum mengambil keputusan partisipan menggali informasi secara mendalam, menyeluruh, dan menganalisisnya untuk memperoleh keputusan dengan kualitas yang tinggi. Sedangkan pada partisipan kedua dan keempat menggunakan pola unconflicted intertia, yaitu partisipan melanjutkan saja kepercayaan atau tindakan yang sebelumnya dilakukan. Pada partisipan ketiga

(5)

melakukan defensive avoidance, yaitu partisipan melakukan penundaan dalam mengambil keputusan.

6. Dukungan keluarga menjadi hal yang penting dalam mengambil keputusan hidup membiara, karena dengan adanya dukungan dari keluarga kehidupan membiara pun dapat dengan mudah dijalani. Seperti pada partisipan pertama ketika mengalami fase pasang surut pada panggilannya, dia mendapatkan kembali motivasi dan dukungan dari seluruh keluarga untuk terus kuat pada panggilannya. Pada partisipan keempat, kakaknya yang terus mendukung dan memberikan motivasi saat menghadapi persoalan dalam panggilannya. Sedangkan pada partisipan kedua dan ketiga ketika menghadapi pasang surut panggilan mereka, komunitaslah yang membantu mereka dalam menghadapi persoalan mereka. Adapun upaya dari keempat partisipan sendiri dalam mengatasi fase pasang surut dalam kehidupan membiaranya, berbeda-beda. Partisipan pertama dan keempat akan datang pada Tuhan dengan berdoa jika menghadapi masalah pada hidup membiaranya, sedangkan pada partisipan kedua dia akan mengingat anak-anak asuhnya jika keinginan untuk meninggalkan panggilannya karena persoalan hidup membiara yang berat dihadapinya

7. Keempat partisian akan mengingat kembali motivasi awal mereka untuk hidup membiara ketika mereka merasakan keraguan saat dalam hidup membiara. Keempat partisipan mengingat perjuangan mereka, kesulitan-kesulitan, dan tantangan yang telah mereka lewati saat proses mengambil keputusan membiara. Hal tersebut membuat

(6)

mereka kembali kuat dan teguh untuk tetap setia pada panggilannya.

B. Saran

1. Bagi penelitian selanjutnya

Pada penelitian ini, peneliti berfokus pada proses pengambilan keputusan hidup membiara, tantangan yang dihadapi dari keluarga dan diri sendiri, fase pasang surut dalam hidup membiara, hingga pada menemukan kedamaian dalam hidup membiara. Banyak hal yang perlu untuk dipahami dalam topik ini yang dapat dimanfaatkan bagi penelitian selanjutnya, seperti dari segi peraturan dalam hidup membiara (hidup kaul) dapat dibahas lebih dalam lagi dan juga perbedaan kebudayaan dalam keluarga dan masyarakat membuat perbedaan pendapat mengenai kehidupan membiara seperti penelitian yang dilakukan oleh Tomalin (2006) di Thailand, yang mengungkapkan bahwa status bhikkuni (biarwati Buddha) merupakan status yang dapat mengangkat martabat wanita. Dapat juga melihat persamaan dari segi peraturan dari kedua latar belakang agama tersebut untuk dikembangkan bagi penelitian teologi. Hal tersebut menjadi menarik untuk diteliti sehingga pengetahuan akan hidup membiara bagi masyarakat awam pun dapat terpenuhi. Dapat juga meneliti untuk komunitas agama lain yang mempunyai ciri serupa dengan jenis yang lebih besar atau dengan biara yang berbeda aliran ataupun berbeda peraturannya. 2. Bagi calon biarawati

(7)

Setiap calon biarawati yang mengambil keputusan hidup membiara, mengalami proses yang panjang dalam hidupnya. Persoalan dan tantangan yang datang dari dalam diri indivdu dan dari orang lain menjadi hal yang sewajarnya terjadi dalam proses memutuskan hidup membiara. Maka dari itu bagi para calon biarawati hendaknya selalu mengingat panggilannya dan juga mengingat motivasi awal, sehingga saat menghadapi tantangan dalam proses mengambil keputusan, calon biarawati akan dapat mengatasi dengan baik. Beberapa cara yang dapat partisipan lakukan ketika menghadapi fase pasang surut hidup membiara, yaitu dengan membuat jurnal (catatan harian) sebagai cara merefeleksikan kehidupan membiaranya. Karena panggilan adalah proses yang tidak pernah berhenti untuk terus-menerus mendapatkan respons dari pribadi yang menjalaninya. Inilah yang juga membedakannya dengan profesi lain. Oleh karena itu bimbingan dan pendampingan rohani pun menjadi sangat penting bagi orang yang hidup dalam biara.

3. Bagi komunitas dan masyarakat

Hendaknya bagi masyarakat dapat menghormati setiap keputusan yang diambil oleh calon biarawati dan dapat berpikir terbuka akan panggilan mereka akan kehidupan membiara (memiliki sikap netral) dan bagi komunitas dan pimpinan biara, kiranya dapat mendukung dan memberi perhatian lebih pada calon biarawati di masa-masa awal masuk dalam hidup membiara karena pada masa itukah calon biarawati sering mengalami fase pasang

(8)

surut dalam hidupnya dan bantulah para calon biarawati untuk tetap kuat pada panggilannya, karena menjadi sangat penting calon biarawati mendapatkan bimbingan dan pendampingan dari superior maupun secara kolektif. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan dialog dengan pimpinan atau guru dan rekan-rekan sebagai cara untuk memotivasi satu sama lain agar tetap kuat dalam menjalani hidup membiara meski banyak tantangan.

Referensi

Dokumen terkait

Apabila mau lengkap, maka Audit Mutu Akademik Internal dapat difokuskan pada standar mutu yang digunakan oleh satuan pendidikan perguruan tinggi, dalam menjalankan kegiatan

Informasi penjualan terbanyak berdasarkan pelanggan yang akan ditampilkan pada dashboard adalah informasi penjualan terbanyak (rupiah) (pelanggan yang belanja terbanyak,

Kepada semua rekan-rekan seangkatan mahasiswa Magister Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang tidak dapat disebut satu persatu dalam

Kondisi dasar kolom ditentukan setelah suhu dan tekanan yang membentuk keseimbangan pada reboiler parsial ditentukan terlebih dahulu... Jika dimungkinkan, operasikan kolom pada

Pemerintah Indonesia berkewajiban untuk melaksanakan Agenda 21. Dalam Agenda 21, Bab 40 mengisyaratkan perlu dibuat suatu kumpulan indikator sebagai tolok ukur untuk

Pahadut Pahandut Kota Palangkaraya

Fuzzy Neural Network atau Jaringan Syaraf Kabur atau sistem neuro- fuzzy adalah mesin belajar yang menemukan parameter sistem kabur (yaitu, himpunan fuzzy, aturan fuzzy)

bahwa berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan