• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan arsitektur masjid Agung Lamongan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perkembangan arsitektur masjid Agung Lamongan."

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

PERKEMBANGAN ARSITEKTUR MASJID AGUNG LAMONGAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana dalam Program Strata Satu (S-1)

Pada Jurusan Sejarah Peradaban Islam (SPI)

OLEH :

SITI KULASHATUL WAFIYYAH NIM. A0.22.13.088

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi ini mengkaji tentang Perkembangan Arsitektur Masjid Agung Lamongan. Adapun masalah yang akan dibahas pada skripsi ini sebagai berikut: (1). Bagaimana sejarah Masjid Agung Lamongan? (2). Bagaimana perkembangan Masjid Agung Lamongan? (3). Bagaimana makna yang tersirat dalam arsitektur Masjid Agung Lamongan?.

Untuk bisa menjawab permasalahan tersebut, penulis menggunakan metode etnografi dan etnohistory untuk dapat mendeskripsikan perkembangan arsitektur Masjid Agung Lamongan. Adapun teori yang digunakan dalam skripsi ini adalah Continuty an Change yang menguraikan secara rinci masalah-masalah kesinambungan ditengah-tengah perubahan yang terjadi di Masjid Agung Lamongan dengan pencarian data mengunakan sumber lisan dan dokumen. Dari sekian banyak hasil kesenian Islam dibidang arsitektur di Indonesia salah satunya adalah Masjid Agung Lamongan.

(7)

ABSTRACT

This thesis examines the architectural development of the great mosque Lamongan. Therefore, the researcherhas three issues to be addressed in this thesis with the formulation of the problem as follows: 1) How is the History of Lamongan city? 2) Where is the location of Lamongan Grand Mosque? 3) How is the development and the implicit meaning o the ornaments of Lamongan Grand Mosque?

To answer the problem, the researcher uses etnography method to discribe architecture development of the Great Mosque of Lamongan. The theory used in this researcher is Continuity and Change that specifically describes about the change in the Great Mosque of Lamongan by orally and documents data collecting. One of the various Islamic architecture arts is the Great Mosque of Lamongan.

(8)

DAFTAR ISI

halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBINGAN SKRIPSI ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv

PEDOMAN TRANSLITRASI ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Kegunaan Penelitian... 8

E. Pendekatan dan Kerangka Teoritik ... 9

F. Penelitian Tedahulu ... 11

G. Metode Penelitian... 12

H. Sistematika Bahasan... 15

(9)

BAB II : SEJARAH BERDIRINYA MASJID AGUNG LAMONGAN

A.Letak Geogrfis ... 17

B.Sejarah Berdirinya Kota Lamongan ... 19

C.Sejarah berdirinya Masjid Agung Lamongan ... 41

D.Visi-Misi danTujuan ... 43

E. Struktur Kepengurusan ... 44

BAB III : PERKEMBANGAN ARSITEKTUR MASJID AGUNG LAMONGAN A.Pengertian Arsitektur Masjid Agung Lamongan ... 47

B.Pembangunan Pertama Masjid Agung Lamongan (1908) ... 53

C.Pembangunan ke-2 Masjid Agung Lamongan (1970) ... 54

D.Pembangunan ke-3 Masjid Agung Lamongan (1982) ... 54

E. Pembangunan ke-4 Masjid Agung Lamongan (2011) ... 55

BAB IV : MAKNA YANG TERSIRAT DALAM ARSITEKTUR MASJID AGUNG LAMONGAN A.Atap ... 59

B.Kubah ... 60

C.Menara... 61

D.Tiyang penyangga ... 62

E.Mihrab ... 63

F. Bedug dan Kentongan ... 64

G.Gapura ... 64

H.Ragam Hias ... 66

BAB V : PENUTUP A.Kesimpulan... 67

B.Saran-saran ... 68 DAFTAR PUSTAKA

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Masjid berasal dari bahasa arab, yaitu diambil dari kata “Sajada, Yasjudu, Sajdan”. Kata sajada yang berarti tempat bersujud, patuh, taat, serta tunduk dengan penuh hormat dan ta’dzim. Untuk menunjukan suatu tempat, kata sajada dirubah bentuknya menjadi “masjudun” yang memiliki arti tempat sujud atau tempat menyembah Allah SWT. Dengan kata lain, bahwa masjid itu suatu tempat melakukan segala aktivitas manusia yang mencerminkan nilai-nilai kepatuhan dan ketaatan kepada Allah. Selain itu, masjid juga merupakan tempat

orang berkumpul dan melakukan sholat secara berjama’ah, dengan tujuan untuk

meningkatkan solidaritas dan silaturrahim di kalangan kaum muslimin.1

Fungsi masjid yang paling utama adalah sebagai tempat melaksanakan ibadah sholat berjamaah. Akan tetapi, pada masa Rasulullah Saw, selain digunakan untuk beribadah masjid juga bisa digunakan untuk kepentingan sosial, yaitu sebagai tempat belajar (menuntut ilmu), merawat orang sakit, sebagai tempat pembinaan jamaah, sebagai pusat dakwah dan kebudayaan Islam, dan lain sebagainya. Untuk itu, kita sebagai umat muslim tidaklah pantas untuk meninggalkan kewajiban-kewajban yang semestinya untuk dilaksanakan agar kita

1

(11)

2

tetap ingat kepada sang Maha Agung dengan selalu melaksanakan kewajiban seorang muslim yang sesungguhnya.2

Sesuai dengan pendirian, bahwa Allah itu ada dimana saja, tidak terikat kepada suatu tempat, maka untuk menyembahNya manusia dapat melakukan sholat dimana-mana. Menurut hadist Masjid terletak disetiap jengkal tanah di atas permukaan bumi ini.34Menurut babat tanah jawi 1978 M, ketika Islam mulai masuk ke tanah Jawa, kerajaan Hindu terbesar di Jawa Timur, yakni kerajaan Majapahit sudah mulai melemah, kemudian runtuh pada abad XV. Setelah Islam mulai tersebar dan masuk ke tanah Jawa yang dibawa oleh para wali

diantaranya Maulana Malik Ibrahim seorang ulama’ besar yang menetap di

Gresik, kemudian ulama’-ulama’ besar lainnya yang juga mendapat julukan sunan, yaitu sunan Bonang di Tuban, Sunan Drajat, di Lamongan, Sunan Kudus di Jepara, Sunan Kalijaga dan Sunan Muria di Jawa Tengah dan Sunan Gunung Jati di Cirebon juga di Jawa Tengah. Para sunan tersebut sesuai dengan jumlahnya disebut sebagai Wali Sanga ( Sembilan Wali). Ke sembilan sunan tersebut menyebarkan agama Islam di daerah wilayahnya masing-masing, dipelopori oleh Sunan Giri yang mengangkat Raden Patah (1486-1518 M) sebagai Sultan I yang mengakhiri kekuasaan Hindu dari kerajaan Majapahit yakni pemerintah yang berpusat di Demak. 4 Islam telah berkembang disepanjang pesisir Utara Pulau

2A. Bachrun Rifa’

i, Manajemen Masjid: Mengoptimalkan FungsiSosial Ekonomi Masjid (Bandung: Benang Merah Press, 2005),90.

3

Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3 (Yogyakarta: Kansius, 1981), 75.

4

(12)

3

Jawa akhir abad XV M. Pos-pos penyiaran berada di kota Jepara, Gresik, Demak, dan Surabaya.5

Sehubungan dengan judul yang saya ambil yakni “Perkembangan

Arsitektur Masjid Agung Lamongan” (Studi tentang sejarah dan bentuk arsitekur) maka saya melakukan penelitian untuk mendapatkan sumber yang lebih akurat. Peneliti membahas dari segi Arsitektur, kata arsitektur berasal dari kata Yunani,

yaitu: “architektoon”, yang terbentuk dari dua kata yaitu: arkhe dan tektoon. Arkhe berarti yang asli, awal, utama, otentik dan tektoon berarti stabil, kokoh. Jadi Architektoon adalah pembangunan utama atau bisa juga berarti tukang ahli bangunan.6

Arsitek adalah ibarat pendeta yang tidak hanya dengan ketrampilan dan keahliannya saja, tetapi juga dengan arif kebijaksanaannya menurunkan rahmat dan dharmanya dalam mengubah tata ruang, baik bagi perorangan maupun masyarakat.7 Arsitektur sebagai salah satu hasil karya budaya dapat dijadikan petunjuk bagi perkembangan budaya suatu bangsa. Perkembangan arsitektur masa lampau yang tidak ditemukan keterangannya melalui tulisan yang otentik, hanya dapat ditelusuri melalui penelitian bangunan peninggalan yang masih dapat ditelusuri melalui penelitian bangunan peninggalan yang masih dapat ditemukan.8

5

Syafwandi, Menara Masjid Kudus dalam Tinjauan Sejarah dan Arsitektur (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1985), 24.

6

Ibid.,50.

7

Parmono Atmadi, et al, Perkembangan Arsitektur dan Pendidikan Arsitektur di Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1997), 41.

8

(13)

4

Menurut Irawan Maryono dalam buku Pencerminan Nilai Budaya dalam Arsitektur di Indonesia, Asitektur adalah mendirikan bangunan dilihat dari segi keindahan. Mendirikan bangunan dari segi konstruksi disebut ilmu bangunan. Keduanya tidak dapat dipisahkan dengan tegas. Biasanya suatu bangunan akan mencakup, baik unsur konstruksi maupun keindahan. Dalam kenyataan atau prakteknya keduanya sukar dipisahkan dengan tegas, sebab pada umumnya konstruksi mempengaruhi keindahan secara keseluruhan.9

Menurut Irawan Maryono dalam buku Pencerminan Nilai Budaya dalam Arsitektur di Indonesia, Arsitektur merupakan:

1. Seni dalam mendirikan bangunan termasuk di dalamnya segi perencanaan, konstruksi dan penyelesaian dekorasinya.

2. Sifat atau bentuk bangunan. 3. Proses membangun bangunan. 4. Bangunan.

5. Kumpulan bangunan.

Menurut Van Romondt Arsitektur merupakan ruang tempat hidup manusia dengan bahagia. Definisi arsitektur diatas sudah mencakup pengertian secara luas. Kata ruang meliputi semua ruang yang terjadi karena dibuat oleh manusia atau juga ruang yang terjadi karena suatu proses alam seperti misalnya gua, naungan pohon dan lain-lain.10

9

Irawan Maryono, et al, Pencerminan Nilai Budaya dalam Arsitektur di Indonesia (Jakarta: Djambatan,1982),18.

10

(14)

5

Tapi pada prinsipnya jelas bahwa arsitektur terdiri dari unsur-unsur ruang, keindahan dan kebahagiaan. Ruang adalah sebagai tempat manusia bernaung terhadap panas matahari, angin dan hujan, tempat berlindung dari gangguan-gangguan dan sebagai tempat melakukan segala bentuk kegiatan. Keindahan dan kebahagiaan adalah sebagai unsur kenyamanan bagi yang melihat ruang tersebut atau yang berada di dalamnya. Keindahan dirasakan oleh panca-indra, sedangkan kebahagiaan dirasakan oleh jiwa (perasaan).11

Seperti halnya Masjid Agung Lamongan pada saat itu ukurannya sekitar 20 m2, diperkokoh dengan 4 buah Tiang (cagak) yang berada di tengah-tengah, juga atap sirap (yang terbuat dari kayu jati), serta dinding papan yang terbuat dari kayu jati dan tekel ubin merah bata, juga pangimaman yang terbuat dari kayu jati, serta bedug yang terbuat dari kulit kidang (menjangan).

Gaya bangunan Masjid Agung ini berarsitektur Khas Jawa. Bercungkup susun tiga sebagai lambang dari Iman, Islam, dan Ihsan. Seperti yang dikutip oleh Rikza Chamami dalam buku diklat kuliah Islam dan kebudayaan Jawa, Nurcholis Madjid menafsirkannya sebagai lambang tiga jenjang penghayatan keagamaan manusia yaitu tingkat dasar (purwa), menengah (madya), dan tingkat akhir yang maju dan tinggi (wusana), yang sejajar dengn jenjang

vertikal Islam, Iman, da Ihsan. Selain itu dianggap pula sejajar dengan syari’at,

thariqat, dan ma’rifat.12

11

Ibid., 19.

12

(15)

6

Sebagaimana corak Arsitektural Masjid yang Khas yang Nusantara pada masa lalu. Desain tersebut juga melestarikan kearifan lokal dimana corak arsitektural Masjid bercungkup tiga merupakan Symbol kesejalinan antara Islam dengan budaya Nusantara. Pendekatan kultural inilah yang pada masa lalu masyarakat Nusantara secara luas, sehingga mudah menerima ajaran Islam.

Perkembangan arsitektur tidak hanya tergantung pada kemampuan para arsitek atau perancang bangunan saja, tetapi juga banyak tergantung pada tanggapan dan apresiasi masyarakat.13Arsitektur Jawa bukan hanya semata-mata satu buah arsitektur tetapi sebuah keragaman variatif dari tipe-tipe.Keragaman variatif juga masih dijadikan patokan dalam satu bingkai waktu yang tertentu yakni bingkai waktu tradisional.14 Arsitektur Jawa dapat dibangun sebagai sebuah pengetahuan arsitektur .seperti halnya yang pernah disampaikan oleh Dr. Ir. Iwan Sudrajat (1999) meskipun dalam penyampaiannya dibatasi dalam kawasan teori arsitektur, namun kita bisa memperluasnya menjadi petunjuk yang berlaku bagi kawasan arsitektur sebagi pengetahuan. Dalam bukunya yang berjudul

“Membangun Sistem Teori Arsitektur Nusantara : Mengubah Angan-Angan

menjadi Kenyataan” disampaikan tiga macam teori arsitektur, yakni : Theory In Architecture, Theory Of Architecture dan Theory About Architecture (h. 1-87).

Theory in Architecture, menurut Iwan Sudrajat yaitu mengamati aspek-aspek formal, tektonik, struktural, representasional dan prinsip-prinsip estetik yang melandasi gubahan arsitektur, serta berusaha merumuskan dan

13

Atmadi, Perkembangan Arsitektur dan Pendidikan Arsitektur di Indonesia , 26.

14

(16)

7

mendefinisikan prinsip-prinsip teoritis dan praktis yang penting bagi penciptaan desain bangunan yang baik.

Theory of Architecture, menurut Iwan Sudrajat yaitu tentang bagaimana para arsitek mengembangkan prinsip-prinsip dan menggunakan pengetahuan, teknik dan sumber-sumber dalam proses desain dan produksi bangunan.

Theory about Architekture, menurut Iwan Sudrajat yaitu bertujuan untuk menjelaskan makna dan pengruh arsitektur, mendudukkan arsitektur dalam konteks sosial budayanya. Dengan kata lain, teori ini berusaha menjelaskan bagaimana arsitektur berfungsi, dipahami dan diproduksi secara sosial dan budaya.15

Sejarah arsitektur Masjid ini erat kaitannya dengan sejarah kesenian lainnya dan merupakan sebagian dari sejarah kebudayaan. Dari sekian banyak hasil kesenian Islam dibidang arsitektur di Indonesia salah satunya adalah Masjid Agung Lamongan. Masjid Agung ini merupakan salah satu bangunan yang mempunyai unsur kebudayaan yang terakulturasi sedemikian rupa di dalamnya.

Hal tersebut mendorong penulis untuk berusaha sekuat tenaga menjadikan salah satu dari hasil kesenian Islam dibidang arsitektur yang bernilai sejarah dalam penulisan proposal ini. Perlu diketahui bahwa pokok pembahasan

dalam proposal ini adalah “Perkembangan Arsitektur Masjid Agung Lamongan”.

B.Rumusan Masalah

15

(17)

8

Sesuai dengan judul di atas, masalah yang akan dikaji dalam penulisan poposal ini adalah mengenai keberadaan Masjid Agung Lamongan. Secara spesifik, pokok masalah ini dirumuskan ke dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana sejarah berdirinya Masjid Agung Lamongan? 2. Bagaimana perkembangan arsitektur Masjid Agung Lamongan?

3. Bagaimana makna arsitektur yang terdapat dalam Masjid Agung Lamongan?

C.Tujuan Penelitian

Secara garis besar, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran secara umum tentang keberadaan Masjid Agung Lamongan yang terletak di daerah Lamongan serta meningkatkan semangat apresiasi terhadap eksistensi segi dimensi kepariwisataan, penelitian ini juga diharapkan dapat berguna sebagai referensi keilmiahan. Namun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui tentang sejarah berdirinya Masjid Agung Lamongan. 2. Untuk mengetahui perkembangan arsitektur Masjid Agung Lamongan.

3. Unuk mengetahui makna arsitektur yang terdapat dalam Masjid Agung Lamongan.

D.Kegunaan Penelitan

Penelitian mengenai Perkembangan Arsitektur Masjid Agung Lamongan mempunyai arti penting untuk diteliti, yaitu :

(18)

9

2. Penelitian ini merupakan gambaran ornamentasi sebagai komponen produk seni yang ditambahkan dan tujuan menghiasnya, sehingga timbul rasa kagum akan kebesaran Allah SWT dengan adanya keindahan itu.

E.Pendekatan dan Kerangka Teoritik

Pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu memakai pendekatan etnografi. Dengan menggunakan pendekatan ini penulis bertujuan mendapatkan deskripsi dan analisis mendalam berkaitan dengan perubahan sosial dan kebudayaan manusia.16Serta menyajikan fakta secara sistematis tentang obyek yang di teliti yaitu Perkembangan Arsitektur Masjid Agung Lamongan. Untuk itu penulis dapat melakukannya dengan teknik penggumpulan data yang utama adalah observasi, partisipasi dan wawancara terbuka dan mendalam. kepada seseorang yang bisa di pertanggung jawabkan kebenaranya.

Sedangkan kerangka teori yang dipakai adalah Continuity and change.Melalui kerangka teori ini penulis dapat menguraikan perkembangan arsitektur masjid agung lamonga.Continuitynyayaitu Masjidnya, yaitu fungsinya tetap tempat beribadah, sedangkan Changeyaituperubahanisi dan bentuknya.

Menurut para ahli untuk mempermudah seorang sejarawan dalam melakukan upaya pengkajian terhadap peristiwa-peristiwa masa lampau maka dibutuhkan teori dan konsep dimana keduanya berfungsi sebagai alat analisis serta sintesis sejarah.17 Teori merupakan pedoman guna untuk mempermudah jalannya

16

James P, Spradley, Metode Etnografi(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), 5.

17

(19)

10

penelitian dan sebagai pegangan pokok bagi peneliti dalam memecahkan masalah penelitian.18

Dalam penelitian ini penulis menggunakan Teori Continuity and Change. Menurut Zamaksyari Dhofir Teori Continuity and Change adalah kesinambungan dan perubahan.19Teori merupakan kreasi intelektual, penjelasan beberapa fakta yang telah diteliti dan diambil prinsip umumnya.20 Menurut Poerwadarminta Teori merupakan asas-asas dan hukum-hukum yang menjadi dasar suatu kesenian atau ilmu pengetahuan.21

Perubahan akan terjadi ketika muncul gaya atau bangunan arsitektur baru yang memiliki nilai lebih indah dan lebih bagus. Namun, perubahan yang sudah ada tidak akan hilang atau hancur dengan bangunan baru, karena bangunan tersebut masih ada kesinambungan yang berkelanjutan dengan bangunan lama. Sehingga proses Continuity and Change masih tetap terlihat dan terjaga hingga saat ini.

Dalam menggunakan teori Continuity and Change ini peneliti berharap agar bisa menggugah suatu bangunan yang terdapat dalam Masjid Agung Lamongan ini, sehingga untuk perubahan selanjutnya Masjid ini mempunyai nilai Islami yang tinggi.

18

Djarwanto, Pokok-Pokok Metode Riset dan Bimbingan Teknik Penelitian Skipsi (Jakarta: Liberty, 1990), 11.

19

Syamsul Arifin, “Pesantren Sebagai Saluran Mobilitas Sosial” Suatu Pengantar Penelitian, (Universitas Muhammadiyah Malang, 2010), 36.

20

Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah Wacana pergerakan Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1996), 63.

21

(20)

11

F. Penelitian Terdahulu

Sebagai bahan rujukan dari penelusuran yang terkait dengan temasaya, peneliti berusaha untuk mencari referensi hasil penelitian yang dikaji oleh peneliti terdahulu sehingga dapat membantu peneliti dalam mengkaji tema yang diteliti.Diantaranya yang sudah dilakukan beberapa mahasiswa melalui skripsinya, antara lain :

1. Skripsi yang ditulis oleh Nur Hamidah, yang berjudul “Arsitektur Masjid Yoni Al-Mubarok di Berbek Nganjuk”, tahun 2002 (Fakultas Adab). Dalam skripsi ini menekankan pada perubahan arsitektur banguna religi Masjid yang merupakan bukti arkeologi dari akulturasi budaya antara islam dan Jawa-Hindu.22

2. Skripsi yang di tulis oleh Aulia Dwi RAchmawati, yang berjudul “MAsjid

Sabilun Najah di Bebekan Timur Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo”,

tahun 2015 (Fakultas Adab). Dalam skripsinya menekankan pada perkembangan pada masjid tersebut serta banguna arsitektur dan kegiatan-kegiatan yang ada di Masjid Sabilun Najah di Bebekan Timur Kecamatan Taman Kabupaten sidoarjo.23

3. Skripsi yang ditulis oleh Muhammad Robi Maulana, yang berjudul “Masjid Agung Baiturrahman Kabupaten Banyuwangi (Studi tentang sejarah dan bentuk arsitektur), tahun 2002 (Fakultas Adab). Dalam skripsi ini menjelaskan

22Nur Hamidah, “

Arsitektur Masjid Yoni Al-Mubarok di Berbek Ngajuk”, (Fakultas Adab : SPI, 2002).

23Aulia Dwi Rachmawati, “Masjid Sabilun Najah di Bebekan Timur Kecamatan Taman

(21)

12

tentang sejarah berdirinya Masjid, gaya arsitektur serta teknik bangunan yang termasuk tata letak dari bangunan tersebut.24

4. Skripsi yang ditulis oleh Indah Sulistyowati, “Arsitektur Masjid Agung

Lamongan (Studi tentang Akulturasi Budaya Dalam Arsitektur Masjid)”,

skripsi ini fokus pembahasannya mengenai kajian tentang unsur-unsur budaya yang telah terakulturasi dalam arsitektur Masjid Agung Lamongan.25

G.Metode Penelitian

Metode disini diartikan suatu cara atau teknis dilakukan dalam penulisan penelitian. Sedangkan penelitian itu sendiri diartikan sebagai upaya dalam bidang ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip dengan sabar dan hati-hati serta sistematis untuk mewujudkan kebenaranya.26 Dalam penulisan penelitian kualitatif, penulis menggunakan dua tahapan metode yaitu metode etnografi dan etnohistory untuk membantu kelangsungan penelitian. Langkah awal yang dilakukan oleh penulis dalam penelitian ini adalah menggunakan metode etnografi. Etnografi berasal dari kata ethos yang berarti bahasa dan graphen yang bertulisan atau uraian. Jadi berdasarkan asal katanya, etnografi berarti tulisan atau uraian. Metode penelitian etnografi adalah suatu uraian yang teratur, yang merupakan kerangka untuk menerangkan prilaku pemilik kebudayaan yang sedang dipelajari secara sistematis untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah yang efektif, dengan tujuan untuk memahami makna kejadian perubahan prilaku sosial dan kebudayaan manusia.

24Muhammad Robi Maulana, “Masjid Agung Baturrahman Kabupaten Banyuwangi, Studi tentang

Sejarah dan Bentuk Arsitekturnya”, (Fakultas Adab : SPI, 2002).

25

Indah Sulistyowati, “Arsitektur Masjid Agung Lamongan (Studi tentang Akulturasi Budaya

Dalam Arsitektur Masjid)”, (Skripsi Uin Sunan Ampel Fakultas Adab, Surabaya, 2015).

26

(22)

13

Dalam mempraktikan metode penelitian etnografi, penulis akan melakukan pengamatan terhadap obyek yang akan diteliti yang sebelumnya sudah diketahui wujud dari obyek tersebut yaitu sebuah masjid, dengan teknik pengumpulan data yang utama adalah observasi, partisipasi dan wawancara dengan daftar pertanyaan yang terstruktur seperti pada penelitian survey.27

1. Observasi atau pengamatan merupakan proses pencarian data atau sumber yang diperoleh melalui pengamatan indrawi. Dalam hal ini proses pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mencatat semua gejala-gejala fenomena atau kejadian pada obyek penelitian secara langsung dilapangan.28

2. Wawancara merupakan metode wawancara yang digunakan adalah, wawancara mendalam (Indepth Interview) yang dilakukan kepada sejumlah informan yang

terdiri atas Ta’mir Masjid serta berbagai informan lainnya yang juga terlibat

mengetahui tentang Masjid Agung. Hal ini dapat dilakukan dengan berinteraksi secara langsung dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dianggap penting, agar memperoleh informasi mengenai data-data yang diperlukan terkait Masjid Agung Lamongan serta arsitektur maupun ornamentasinya.

Dalam tahap kedua yaitu menggunakan metode etnohistory, Etnohistory ialah sejenis etnografi sejarah yang mempelajari jaman baru yang sudah lewat berdasarkan sumber sejarah. Etnohistory juga penting untuk menguji dan mengkonfirmasikan berbagai hipotesis tentang kebudayaan.29 Etnohistory suatu metode untuk mempelajari sejarah suatu kelompok atau suku

27

Ibid., 9.

28

HasanUtsman, MetodologiSejarah,terMinhaj Al-Batsi Al-Tariki (Jakarta: ProyekPembinaanPrasarana Dan Sarana PTA/IAIN, 1986), 15.

29

(23)

14

bangsa yang baru saja terjadi dulu sampai sekarang. Dalam penelitian ini, metode etnohistory untuk membantu penulis mengungkapkan perkembangan arsitektur Masjid Agung Lamongan. Adapun langkah-langkah untuk menyelesaikan dan memperoleh data yang otentik dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Heuristik atau pengumpulan sumber yaitu suatu proses yang dilakukan oleh peneliti untuk mengumpulkan sumber-sumber, data-data, atau jejak sejarah.30

b. Sumber tulisan yaitu data-data yang diambil dari buku-buku, dokumen, dan catatan-catatan lain yang ada hubunganya dengan pembahasan skripsi tersebut, contohnya dokumen sertifikat tanah masjid.

c. Sumber lisan yaitu data yang diperoleh melalui wawancara langsung yang digunakan untuk mengetahui tata letak masjid dan sejarah perkembangannya.

d. Sumber visual yaitu segala sesuatu yang berbentuk dan berwujud, yang dapat membantu sejarawan untuk menjelaskan tentang peristiwa masa lalu manusia. Diantaranya sumber berupa masjid.

1) Interpretasi atau penafsiran adalah upaya untuk melihat kembali pada sumber-sumber yang telah didapat dan telah melalui proses kritik sumber. Setelah melakukan langkah-langkah tersebut kemudian penulis menganalisa berbagai fakta-fakta yang ada yaitu melihat bentuk arsitektur masjid yang telah mengalami akulturasi budaya yaitu unsur

30

(24)

15

Hindu Jawa, Timur Tengah, serta unsur Barat. Unsur Hindu Jawa ditandai oleh adanya tiang soko guru dan bedug, arsitektur budaya Timur Tengah ditandai adanya lengkungan pada Pintu dan juga adanya kaligrafi sedangkan terdapat unsur budaya Barat adalah adanya lampu hias dan jam bergerak. Oleh karena itu analisis terhadap fakta-fakta tersebut diharapkan menjadi suatu sejarah dalam kesenian Islam yang lebih ilmiah khususnya tentang arsitektur dan ornamentasi Masjid Agung Lamongan.

2) Historiografi adalah menyusun atau merekontruksi fakta-fakta yang telah tersusun dari penafsiran peneliti terhadap sumber sejarah dalam bentuk tertulis.

H.Sistematika Pembahasan

(25)

16

dari skripsi ini. Adapun untuk memperjelas sistematika bahasan dalam skripsi ini akan dijabarkan sebagai berikut.

Pada bab pertama, menjelaskan tentang pendahuluan sebagai pembuka sebelum membahas mengenai perkmbangan arsitektur masjid Lamongan. Adapun poin-poin yang ada pada bab pertama adalah Latar Belakang Masalah sebagai pijakan dalam penelitian skripsi ini, kemudian dilanjutkan dengan rumusan masalah, Tujuan Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika Bahasan.

Pada bab kedua, penulis akan membahas mengenai letak geografis dan sejarah berdirinya kota Lamongan. Supaya dalam pembahasan pada bab kedua ini dapat memberikan gambaran terkait dengan kondisi sosial dan budaya di kota Lamongan.

Pada bab ketiga, penulis akan membahas mengenai sejarah berdirinya masjid Agung Lamongan, visi, misi, tujuan, dan struktur kepengursan ta’mir masjid Agung Lamongan.

Pada bab keempat, penulis akan menjelaskan tentang perkembangan dan makna arsitektur masjid Agung Lamongan mulai tahun 1908 sampai 2011. Adapun perkembangannya adalah tahun 1908, 1970, 1982, 2011.

(26)

BAB II

SEJARAH BERDIRINYA MASJID AGUNG LAMONGAN

A.Letak Geografis dan Wilayah Kecamatan Lamongan 1. Letak Geografis

Letak geografis Kabupaten Daerah Tingkat II Lamongan berada antara 6º 51' 54'' dan 7º 23' 6'' garis lintang selatan dan antara 112º 4' 4'' dan 112º 33' 12'' garis bujur timur.31Letak geografis merupakan letak suatu daerah dilihat dari kenyataanya di bumi atau posisi daerah itu pada bola bumi dibandingkan dengan posisi daerah lain. Letak geografis juga ditentukan oleh letak astronomis, geografis, fisioglafis dan sosial budaya.32 Jumlah keseluruhan penduduk loa lamongan sebanyak 1.179,055 yang tediri dari 572.834 laki-laki dan 606.221 perempuan. Penduduk Lamongan rata-rata bermata pencaharian sebagai petani, nelayan, ada juga wiraswasta, TNI/Polri, Pegawai negri sipil, Guru, dokter dan Pegawai Swasta.

Batas-batas Kabupaten Lamongan adalah sebagai berikut : Sebelah utara : Laut Jawa.

Sebelah timur : Kabupaten Gresik.

Sebelah selatan : Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten Jombang. Sebelah barat : Kabupaten Bojonegoro dan Kabupaten Tuban.

31

Agus Syamsudin, Profil Pelayanan Publik Kab. Lamongan (Lamongan: Bupati lamongan ,2005),1.

32

(27)

18

Luas wilayah Kabupaten Lamongan 1.812,8 ��2 atau 181.280,300 Ha, sama dengan 3,78 % luas wilayah Propinsi Jawa Timur. Sebagian wilayah terdiri dari dataran rendah dan bonorowo serta sebagian lagi dataran tinggi sekitar 100 meter dari permukaan laut.Struktur tanah sebagian besar terdiri dari jenis Alufial, Litosal, Grumosol dan Mediterian coklat.

Secara garis besar daratan Kabupaten Daerah Tingkat II Lamongan dapat dibedakan menjadi 3 karakteristik,yaitu :

1. Bagian tengah belahan selatan terdiri dari dataran rendah yang relatif subur,meliputi wilayah Kecamatan Babat, Pucuk, Sukodadi, Lamongan, Kedungpring, Sugio, Kembangbahu, dan Tikung.

2. Bagian tengah belahan utara,terdiri dari daerah bonorowo yang rawan banjir,meliputi wilayah Kecamatan Turi, Sekaran, Karanggeneng, Laren, Kalitengah, Karangbinangun, Glagah dan Deket.

3. Bagian selatan dan utara terdiri dari sebagian berupa pegunungan kapur dan sebagian berupa dataran agak rendah,Kecamatan Mantup, Sambeng, Ngimbang, Bluluk, Modo, Sukorame, Brondong, Paciran, dan Solokuro.

2. Lamongan mempunyai 27 wilayah kecamatan, yaitu:

a. Kecamatan Lamongan,teridir dari 8 Kelurahan dan 12 Desa. b. Kecamatan Tikung,terdiri dari 22 Desa.

c. Kecamatan Kembangbahu,terdiri dari 18 Desa. d. Kecamatan Turi,terdiri dari 19 Desa.

(28)

19

g. Kecamatan Sekaran,terdiri dari 38 Desa. h. Kecamatan Karanggeneng,terdiri dari 18 Desa. i. Kecamatan Pucuk,terdiri dari 17 Desa.

j. Kecamatan Babat,terdiri dari 2 Kelurahan dan 21 Desa. k. Kecamatan Kedungpring,terdiri dari 23 Desa.

l. Kecamatan Modo,terdiri dari 17 Desa. m.Kecamatan Sugio,terdiri dari 21 Desa. n. Kecamatan Ngimbang,terdiri dari 19 Desa. o. Kecamatan Bluluk,terdiri dari 9 Desa. p. Kecamatan Sambeng,terdiri dari 22 Desa. q. Kecamatan Mantup,terdiri dari 15 Desa. r. Kecamatan Sukorame,terdiri dari 9 Desa.

s. Kecamatan Karangbinangun,terdiri dari 21 Desa. t. Kecamatan Kalitengah,terdiri dari 20 Desa. u. Kecamatan Glagah,terdiri dari 30 Desa.

v. Kecamatan Paciran,terdiri dari 1 Kelurahan dan 16 Desa. w.Kecamatan Brondong,terdiri dari 1 Kelurahan dan 9 Desa. x. Kecamatan Laren,terdiri dari 20 Desa.

y. Kecamatan Solokuro,terdiri dari 10 Desa. z. Kecamatan Sarirejo,terdiri dari 9 Desa. aa.Kecamatan Maduran,terdiri dari 17 Desa.33 B.SejarahBerdirinya Kota Lamongan

33

(29)

20

1. Kurun Prasejarah

Keberadaan Lamongan dalam panggung sejarah sangatlah menarik. Dengan letak geografis yang menguntungkan sebagai daerah agraris, yakni keadaan tanah yang subur berupa perbukitan kapur, dataran rendah, rawa-rawa, serta dua sungai (sungai Bengawan Solo dan sungai Lamong) menjadikan wilayah ini tetap eksis tampil dalam panggung sejarah Jawa Timur. Disamping itu Lamongan juga memiliki pantai utara jawa yang merupakan tempat berkembangnya pelabuhan-pelabuhan kuno seperti Sedayu Lawas. Hal ini yang menyebabkan daerah Lamongan memiliki banyak benda cagar budaya dari kurun waktu yang berbeda.

Letak dan keadaan geografis Lamongan yang sangat menarik tentu saja merupakan satu alasan mengapa pada masa lalu Lamongan merupakan suatu wilayah penting dalam perjalanan sejarah di Jawa Timur. Hal ini bisa dilihat dari persebaran benda cagar budaya dalam jumlah banyak yang tersebar di wilayah Lamongan. Keberadaan benda cagar budaya tersebut berkaitan erat dengan sejarah Kabupaten Lamongan.

Besar kemungkinan daerah Lamongan dihuni oleh manusia prasejarah adalah dengan ditemukannya benda-benda kuno berupa kapak corang, candrasa, dan gelang-gelang (perhiasan) kuno di sekitar Desa Mantup Kecamatan Mantup.34 Bukti-bukti lain yang memperkuat bahwa wilayah Lamongan telah dihuni manusia pada era prasejarah adalah ditemukannya fosil

34

(30)

21

manusia, manik-manik, lempengan emas, kalung-kalung emas, benda-benda besi, gerabah, tulang binatang dan lain-lain yang juga terdapat di Desa Kradenanrejo Kecamatan Kedungpring.

Masa klasik di wilayah Lamongan bisa ditarik garis mundur dari masa pemerintahan Airlangga bahkan mungkin jauh sebelum itu. Namun pembuktian secara artefaktual baru bisa memastikan bahwa masa klasik Lamongan dimulai pada masa Airlangga dengan didukung berbagai penemuan prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Airlangga atau pejabat tingginya. Ada sekitar 33 buah prasasti yang dikeluarkan dan sebagian besar ditemukan di wilayah Lamongan.Walaupun ada sebagian bukti arkeologis tersebut yang sudah tidak terbaca dan kondisinya tidak utuh sebagaimana mestinya.

Pada masa klasik, daerah sepanjang alur kali Lamong pada abad ke XI merupakan jalur penting dalam dunia perdagangan dan pemerintahan pada saat itu.Tanah shima semacam pamotan, patakan, lawan, drujugurit, hingga biluluk, mendapat tempat istimewa pada era kerajaan kuno. Daerah-daerah ini pada zaman pemerintahan Raja Airlangga sudah berkembang pesat ditandai dengan jajaran prasasti yang menetapkan tanah-tanah shima karena jasa perorangan maupun penduduknya selama masa konsolidasi pemerintahan yang dilakukan oleh pemerintahan Raja Airlangga.35 Wilayah dari sekitar Mantup, Sambeng, Ngimbang, Bluluk, Modo, Babat, hingga ke wilayah pesisir utara adalah jejak-jejak peradaban kuno yang Berjaya pada zamannya.

35

(31)

22

Bukan hanya temuan pada masa perundagian dan era kerajaan Airlangga, temuan lain yang terkait dengan sejarah pada zaman peradaban Majapahit juga banyak ditemui di Lamongan. Hanya saja selama ini masih minim publikasi. Kajian-kajian terhadap keberadaan prasasti dan situs-situs kuno di Lamongan masih sangat jarang dilakukan, bahkan oleh mereka yang berada di bidangnya.Tidak heran jika kemudian pengetahuan masyarakat terkait dengan keberadaan cagar budaya yang harusnya dilindungi justru luput dari pantauan.

Dengan dalih melindungi atau bahkan melestarikan, disana-sini justru banyak terjadi perusakan dan pencurian benda cagar budaya. Mulai dari motif yang sederhana seperti butuh batu bata untuk membangun rumah hingga yang mencuri prasasti dan arca dengan alasan ekonomi dan koleksi. Motif kepercayaan sedikit banyak juga mempengaruhi terjadinya kerusakan cagar budaya ini, dan semua terjadi karena masih lemahnya pengetahuan akan kesejarahan dan lemahnya jati diri yang ditandai dengan rendahnya kesadaran untuk melindungi hasil kebudayaan leluhur.36

Pengetahuan tidak semata-mata untuk melakukan produksi sosial, tapi juga lebih penting adalah membentuk fondasi bagi terbentuknya tatanan sosial yang lebih baik. Tatanan sosial yang berkarakter akan melahirkan sebuah masyarakat yang kuat dan bermartabat, serta kokoh dalam menghadapi pengaruh negatif dari budaya lain. Kesadaran itulah yang diharapkan akan

36

(32)

23

bersemi dihati kita ketika membaca kebesaran sejarah leluhur sehingga tumbuh sebagai jati diri yang tangguh.

Sistem penguburan dengan menggunakan nekara sebagai wadah jasad manusia dan benda-benda milik si mati, berlaku pada masa perundagian. Kapak corong dan candrasa saat ini disimpan di Museum Mpu Tantular Surabaya di bawah no.4437 dan 4438, begitu juga dengan nekara.

Sementara dari berbagai bukti arkeologi masa klasik bisa ditarik sebuah kesimpulan bahwa Lamongan pada masa itu memiliki peranan yang signifikan dalam panggung sejarah di Jawa Timur. Keberadaan prasasti-prasasti yang berjumlah puluhan (lebih dari 20 prasasti-prasasti), lingga Yoni, dan bekas-bekas reruntuhan candi serta persebaran benda-benda prasasti yang hampir merata di seluruh wilayah, maka tidak dapat diragukan lagi bahwa Wilayah Kabupaten Lamongan pada zaman dahulu (Kerajaan kuno) merupakan wilayah yang telah berkembang dengan sangat pesat dan menempati posisi sentral dalam zaman kejayaan kerajaan-kerajaan kuno tersebut, baik dalam bidang pemerintahan, perdagangan, dan juga keagamaan.37

Puncak dari kejayaan zaman klasik di Kabupaten Lamongan dapat terlihat dari keberadaan prasasti-prasasti yang rata-rata dibuat pada pertengahan abad XI, tepatnya pada era pemerintahan Raja Airlangga Hal ini terbukti dari seluruh prasasti yang terdata oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, data dari BP3 Trowulan, dan data hasil penelusuran LSAPS

37

(33)

24

sebagian dikeluarkan Raja Airlangga, diantaranya; prasasti pasar legi, prasasti Sendang Gede, prasasti Pamotan (Pamwatan), prasasti Drujugurit, prasasti Lemahbang, prasasti Wotan, prasasti Sumbersari, prasasti Kedungwangi, prasasti Sugio, prasasti Sumber sari I, prasasti Sumber Sari II, dan beberapa prasasti yang menurut hasil pembuktian ilmiah merupakan peninggalan Raja Airlangga.

Peranan sentral Wilayah Lamongan dalam perdagangan, pemerintahan, dan keagamaan masih sangat kuat hingga era Majapahit, dengan dua buah sungai besar yang membelah wilayah Lamongan dari Timur ke arah barat, Lamongan menjadi jalur transportasi strategis yang melahirkan tanah-tanah perdikan yang disegani oleh pemerintahan pada saat itu. Ungkapan ini tertuang dalam prasasti Biluluk I-IV yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Kerajaan Majapahit.

Pada masa akhir Pemerintahan Majapahit, kemunduran juga di alami oleh perdikan Biluluk di Lamongan yang berpusat di Wilayah Lamongan selatan, tepatnya sekitar kali Lamong. Namun di wilayah utara Islam justru berkembang dan melahirkan perdikan-perdikan Islam seperti Sedayu, Drajat dan Sendang Dhuwur. Munculnya perdikan pusat Islam ini tak lepas dari berdirinya kerajaan Islam Demak Bintoro dibawah Pemerintahan Raden Patah.

(34)

25

Lamongan tersebut masih tegak berdiri, berupa kompleks Makam dan bangunanannya dikeramatkan oleh penduduk sekitar berarsitektur tinggi yang menggambarkan perpaduan antara kebudayaan Islam Hindu. Bangunan gapura bagian luar berbentuk Tugu Bentar dan gapura bagian dalam berbentuk paduraksa.38

Di wilayah tengah, tepatnya di Tumenggungan dan sekitar wilayah kota sekarang, berkembang pemerintahan dibawah kendali Rangga Hadi yang kemudian bergelar Tumenggung Surajaya ( 1569 - 1607 M). Wilayah Lamongan kota dan sekitarnya termasuk dalam kendali Kasunanan Giri di bawah Kepemimpinan Sunan Giri.

Masa era kolonial, perdagangan VOC sudah berkembang di Lamongan Semenjak tahun 1709 M. Wilayah pantura (Paciran dan Brondong) Lamongan tepatnya disekitar pelabuhan Sedayu Lawas dan Brondong telah menjadi tempat berlabuh bagi kapal-kapal VOC dalam pengangkutan komoditi perdagangan seperti merica, garam, padi dan kayu jati.

Lamongan secara resmi jatuh dalam pangkuan VOC pada 18 Mei 1747 M,39 sesuai dengan isi perjanjian Gianti No.2 tentang penyerahan wilayah, Compagnie sebagai pengganti Sri Baginda, memerintah semua Bupati Pesisir yang adat dan peraturannya seperti sediakala. Tanah pesisir itu adalah ;

Tegal, Brebes, Tuban, Kaliwungu, Lamongan, Sidoarjo, dan Sidayu”.

38

Syamsuddin, Profil Pelayanan Publik Kab. Lamongan,150.

39

(35)

26

Setelah VOC bangkrut pada tahun 1799, secara resmi pemerintah belanda baru mengadakan tindakan pembenahan administratif atas kabupaten Lamongan pada tahun 1824.40 Hal ini terlihat dari adanya hirarki-birokrasi model barat dalam struktur pemerintahan kabupaten tersebut.

Pembentukan Kabupaten Lamongan sebagai daerah otonom bersama 29 kabupaten lainnya di Jawa Timur diawali dengan penerbitan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Djawa Timur. Kemudian pembentukan Propinsi Jawa Timur ditindaklanjuti oleh Pemerintah Pusat dengan pembentukan kabupaten yang ada di wilayah Jawa Timur yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur.41

2. Masa Perkembangan Hindu

Pengaruh agama dan kebudayaan hindu di wilayah Lamongan agaknya cukup luas, hal ini terbukti dengan ditemukannya arca dan lingga -yoni. Arca yang ditemukan di wilayah Lamongan sebanyak 7 buah, tersebar di wilayah kecamatan Lamongan, Paciran, Modo, Sambeng, dan Kembangbahu. Sedangkan lingga dan yoni ditemukan di 3 wilayah Kecamatan, yaitu Kecamatan Ngimbang, Kembangbahu dan Sugio.

40

Ibid.36.

41

(36)

27

Hingga sekarang belum dapat dipastikan sejak kapan pengaruh agama dan kebudayaan hindu tersebut mulai masuk dalam kehidupan masyarakat di wilayah Lamongan, namun munculnya nama wilayah ini dalam panggung sejarah majapahit hingga arti penting wilayah ini bagi kerajaan majapahit adalah pada akhir abad XIV. Peranan wilayah Lamongan dalam Pemerintahan Majapahit ini dapat diketahui dengan ditemukannya 43 buah prasasti peninggalan Majapahit di wilayah Lamongan.

Menilik dari sebaran prasasti yang ada di wilayah Lamongan, dapat dipastikan bahwa eksistensi masyarakat Lamongan dalam bidang politik dan keagamaan disamping merata, juga kuat. Sebaran prasasti itu terdapat di wilayah-wilayah kecamatan meliputi Kecamatan Lamongan sebanyak 2 buah, Mantup 2 buah, Modo 7 buah, Ngimbang 8 buah, Sambeng 9 buah, Bluluk 6 buah, Sugio 2 buah, Deket 1 buah, Turi 1 buah, Sukodadi 1 buah, Babat 1 Buah, Brondong 1 buah, Paciran 2 buah.

(37)

28

dan Pigeaud membahasnya secara mendalam pada bab tersendiri dalam bukunya Java in the 14th Century.

Dari banyaknya prasasti yang ditemukan, diperoleh petunjuk yang kuat bahwa wilayah lamongan merupakan wilayah yang cukup berarti bagi pemerintahan kerajaan majapahit, secara kebudayaan dan agama. Petunjuk lain yang dapat diperoleh ialah bahwa perhubungan antara pusat wilayah kerajaan dengan wilayah Lamongan sudah cukup ramai.

Prasasti biluluk I-IV yang berangkat tahun 1288 – 1317 Saka atau tahun 1366-1395 M merupakan suara atau titah raja yang diturunkan dan tujukan kepada kepada keluarga kerajaan yang memerintah di biluluk dan Tanggulunan.

Isi prasasti itu antara lain;

1. Orang biluluk diberi wewenang untuk menimba air garam pada saat upacara pemujaan sekali setahun, sebagaimana yang telah mereka miliki sejak dulu asal tidak diperdagangkan. Apabila diperdagangkan akan dikenakan cukai. 2. Rakyat biluluk dan tanggulunan memperoleh perlindungan dan restu raja,

(38)

29

3. Memberi kebebasan kepada rakyat biluluk untuk melakukan berbagai pekerjaan seperti ; berdagang , membuat arak, memotong, mencuci, mewarna, memutar (menurut pigeaud, membuat tepung, gula aren, atau tebu), dan membakar kapur tanpa dipungut pajak.

4. Status daerah perdikan biluluk dan tanggulunan ditingkatkan dari daerah shima menjadi daerah swatantra, sebagai daerah swatantra atau otonom dan rakyat yang dicintai oleh raja, mereka bebas dari kewajiban membayar upeti dan memberi jamuan makan seerta bekal kepada para petugas kerajaan yang sedang lewat atau singgah. Mereka juga dibebaskan membayar berbagai macam cukai, seperti perkawinan, dukun bayi, pembakaran jenazah, upacara kematian (nyadran), angkutan, pendirian rumah, pertunjukan, penitipan barang dagangan berupa cabai kemukus, kapulaga, besi, kuali besi, pinggan rotan dan kapas.

5. Petunjuk bahwa daerah bluluk dan tanggulunan diberi status swatantra, agar tidak dikuasai oleh sang katrini (pejabat tinggi negara), melainkan mempunyai kekuasaan terhadap tukang dan pegawai dengan hak-hak pengaturan perekonomian, keamanan dan ketentraman.

(39)

30

Usaha yang juga berkembang di biluluk ialah pencelupan atau pewarnaan kain, penggilingan beras atau tepung, dan bahan-bahan makanan dari tepung umbi atau kentang.

7. Setiap tahun diselenggarakan keramaian atau pasar tahunan yang berfungsi sebagai promosi berbagai macam barang dagangan.42

Menelaah prasasti Biluluk dan memperhatikan persebaran benda peninggalan purbakala di wilayah lamongan sekarang, kata biluluk secara pasti dapat diidentifikasi dengan Bluluk sekarang. Kata tangulunan agaknya tidak lain adalah Tenggulun yang sekarang menjadi sebuah desa diwilayah Kecamatan Paciran berbatasan dengan Kecamatan Laren. Desa ini dalam buku Sejarah Brigade Ronggolawe disebut sebagai desa trenggulunan. Sedangkan kata pepadang agaknya tidak berada dalam wilayah Lamongan, mungkin sekarang Desa Padang di wilayah kecamatan Trucuk, Bojonegoro, yakni sebuah desa di tepian bengawan solo sebelah barat kota Bojonegoro atau mungkin Kecamatan Padangan dekat kota Cepu sekarang.

Dengan demikian wilayah Lamongan pada waktu itu terbagi kedalam dua daerah swatantra atau daerah otonom, yaitu Bluluk dibagian selatan dan barat dan Tanggulunan dibagian utara dan timur wilayah Lamongan sekarang. Tentang adanya wilayah kekuasaan lebih dari satu di Lamongan, juga diperoleh informasi dari de Graaf dan Pigeaud, bahwa pada tahun 1541 dan 1542 Demak mengalahkan para penguasa di Lamongan (zouden de heersers Lamongan).43

42

Faried,Lamongan Memayu Raharjaning Praja, 21.

43

(40)

31

Tentang hubungan prasasti tersebut dengan Majapahit disebutkan

dalam prasasti Biluluk I, yaitu “makanguni kang adapur ing majapahit, siwihos

kuneng yan hanang rubuhakna wangsyaningon kang biluluk, kang tanggulunan

amangguha papa”, artinya “pertama sekali kepada dapur majapahit, tetapi

sekiranya ada yang merugikan rakyatku di Biluluk dan Tanggulunan, maka

mereka itu akan menderita kecelakaan” Kata adapur menurut pigeaud adalah

kelompok pembuat garam. Kelompok pembuat garam ini di Majapahit mendapat pujian dan penghargaan. Dengan demikian wilayah Bluluk dan Tanggulunan langsung atau tidak langsung berada dalam kekuasaan Majapahit.

Dari isi prasasti juga dapat dimengerti kedudukan Lamongan terhadap Majapahit, yakni Lamongan termasuk kategori daerah yang strategis dalam politik Majapahit, karena daerah ini merupakan jalur penting menuju dunia luar dengan Tuban (Sedayu) sebagai Pelabuhan utama.44 Karena pentingnya itu, maka daerah-daerah tersebut diberi hak otonomi yang luas dengan hak-hak istimewa yang menyangkut kewenangan mengatur perangkat pemerintahan, masyarakat, perpajakan, dan perekonomian atau perdagangan. Disamping itu kedua daerah otonom itu memperoleh perlindungan yang memadai dari pemerintahan kerajaan Majapahit. Untuk memantapkan kekuasaan penguasa dan rakyatnya, maka kedua daerah tersebut dipercayakan dan dikuasakan kepada paman raja hayam wuruk sendiri yang bernama Sri Paduka Bathara Parameswara.

Dalam hubunganya dengan kegiatan perekonomian dan perdagangan, Lamongan (Biluluk dan Tanggulunan) agaknya menempati posisi cukup penting,

44

(41)

32

karena jalur utama antara pusat kerajaan Majapahit dengan pelabuhan dagang Tuban harus lewat daerah ini. Jalur perdagangan itu diperkirakan melalui Mojokerto ke utara lewat Kemlagi, terus ke pamotan – Wateswinangun-Lamongrejo- Ngimbang- Bluluk- Modo-Babat-Pucuk-Pringgoboyo-Laren-terus ke Tuban. Dari Tanggulunan ke pusat kerajaan agaknya juga lewat pringoboyo dengan terlebih dahulu menyusuri Bengawan solo.

Desa Pringgoboyo, berdasarkan temuan batu bata kuno, diperkirakan sudah menjadi tempat yang ramai dan menjadi pos penjagaan kerajaan baik untuk kepentingan keamanan pusat kerajaan, maupun untuk kepentingan perbendaharaan kerajaan, yakni tempat memungut cukai barang dagangan yang melewati jalur tersebut (bengawan solo).

Dalam hubunganya dengan kepercayaan keagamaan, berdasarkan temuan arca-arca syiwa yang tersebar di wilayah Lamongan, kiranya kebanyakan masyarakat Lamongan waktu itu beragama hindu aliran syiwa. Betapa agama ini telah demikian dalam dan luas pengaruhnya kedalam kehidupan dan budaya masyarakat Lamongan, dapat dilihat misalnya bentuk bangunan gapura yang berbentuk candi bentar dikompleks masjid sendang dhuwur. Kompleks masjid dan makam dengan gapura tersebut didirikan disuatu bukit yang disebut gunung Amintuno (Gunung pembakaran).

(42)

33

Kecuali yang sudah pernah bersekolah dan belajar sejarah, umumnya mereka tidak pernah menyebut-nyebut agama Hindu atau Zaman Hindu.

3. Sunan Drajat

Di antara penyebar Islam di wilayah Lamongan, yang paling banyak dikenal oleh masyarakat adalah Sunan Drajat, karena beliau masih tergolong Wali dalam jajaran Wali Songo atau Wali Sembilan yang terkenal di kalangan masyarakat Jawa.45

Sunan Drajat bernama kecil Syarifuddin atau Raden Qosim, sedang masyarakat luas juga mengenalnya dengan nama Masih Munat. Beliau putera Sunan Ampel yang terkenal cerdas. Setelah pelajaran agama Islam dikuasai, beliau mengambil tempat di desa Drajat, wilayah Kecamatan Paciran, Kabupaten Daerah Tingkat II Lamongan, sebagai pusat kegiatan dakwahnya.

Beliau sebagai Wali penyebar Islam yang terkenal sosiawan, sangat memperhatikan nasib kaum fakir miskin. Pendekatan dakwahnya memang terutama lebih dititik beratkan kepada dakwah bil-hal, yakni dakwah yang terlebih dahulu mengusahakan kesejahteraan sosial baru memberikan ajaran.

Ajaran beliau yang dihafal orang-orang desa Drajat dan sekitarnya sampai sekarang merupakan rumusan filosofis-sosiologis, antara lain: Menehono teken marang wong kang wuta, menehono mangan marang wong kang luwe, menehono busono marang wong kang wudo, menehono ngiyub marang wong kang kodanan.”

45

(43)

34

Arti secara harfiah ajaran tersebut adalah: Berilah tongkat orang yang buta, berilah makan orang lapar, berilah pakaian orang yang telanjang, dan berilah tempat berteduh orang yang kehujanan. Maksud ajaran itu adalah “Agar memberikan ilmu dan petunjuk kepada orang-orang yang buta hati dan nalarnya; agar menyejahterakan kehidupan orang-orang miskin agar mengajarkan kesusilaan kepada orang-orang yang tidak tahu malu dan agar memberikan perlindungan kepada orang-orang yang menderita.”46

Sunan Drajat di samping mengajarkan agama Islam yang berkenaan dengan kehidupan rohani dan nalar, beliau juga memberikan motivasi yang lebih ditekankan pada etos kerja dan kedermawanan untuk mengentas kemiskinan dan menciptakan kemakmuran. Usaha ke arah itu menjadi lebih mudah, karena Sunan Drajat memperoleh kewenangan untuk mengatur wilayahnya yakni Desa Drajat (dulu bernama Desa Kadrajat) sebagai daerah perdikan atau otonom dari Kerajaan Islam Demak, pada tahun 1475 Saka atau 1553 M.

Sebagai penghargaan atas keberhasilannya menyebarkan agama Islam di pesisir utara Jawa Timur dan usahanya menanggulangi kemiskinan serta menciptakan kehidupan yang makmur bagi warganya, beliau memperoleh gelar Sunan Mayang Madu dari Raden Fatah, sultan Demak I.

Sunan Drajat dalam menyebarkan agama Islam kepada masyarakat di pantai utara Jawa Timur selain menggunakan pendekatan dakwah bilhal juga pendekatan seni budaya. Pendekatan seni budaya dilakukan untuk menarik

46

(44)

35

perhatian masyarakat yang pada waktu itu masih beragama Hindu atau Budha. Sunan Drajat mendekati masyarakat dan memasukkan ajaran agama Islam lewat pertunjukan seni gending dan tembang. Peninggalan Sunan Drajat berupa peralatan gamelan yang tersisa sampai sekarang diberi nama Museum Daerah Drajat, tempat menyimpan benda-benda Singo Mengkok. Disamping itu dalam sejarah, Sunan Drajat juga dikenal sebagai salah seorang Wali pencipta tembang macapat, yakni tembang pangkur. Konon kata pangkur itu menurut keratabasa (menerangkan arti kata-kata berdasarkan etimologi yang direka dari bentuk singkatannya yang cocok dengan akal) dari singkatan pang dan kur

maksudnya ialah pangudi isine Kur’an artinya berusaha mengerti isi Al-Qur’ an. Lagu-lagu tembang tersebut memang diisi ajaran syari’at Islam. Sedangkan kata pangkur sendiri adalah bahasa Jawa kuna yang artinya pejabat kerajaan yang bertugas mengawasi agar perintah raja ditaati termasuk mengawasi pejabat yang dilarang memasuki daerah perdikan.

(45)

36

masing-masing sebagai Panembahan Galomantung dan Panembahan Sepetmadu, tetapi keduanya tidak berhak atas jabatan keprajaan.

Panembahan Agung kawin dengan Raden Ayu Sekarpuri, puteri Adipati Cokroyudo dari Kediri dan beroleh tiga orang putera, yaitu Raden Permadi, Raden Pajarakan dan Raden Pamekso. Setelah Panembahan Agung meninggal dunia, kedudukannya dalam keprajaan digantikan oleh Raden Permadi dengan gelar Panembahan Adikusumo.47

Untuk menghormati jasa-jasa Sunan Drajat sebagai seorang Wali penyebar agama Islam di wilayah Lamongan bagian utara dan untuk melestarikan budaya serta benda-benda bersejarah, Pemerintah Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Lamongan mendirikan Museum Daerah Sunan Drajat di sekitar makam beliau. Museum ini telah diresmikan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur pada tanggal 31 Maret 1992. Sekarang, para peziarah ke makam Sunan Drajat akan dapat melihat dan menghayati benda-benda purbakala peninggalan beliau di Museum tersebut.

4. Ronggo Hadi

Dari cerita yang cukup kuat diyakini oleh masyarakat Lamongan, Sunan Giri menaruh perhatian yang kuat terhadap wilayah Lamongan sebagai pendukung eksistensi Giri. Karena itu penyebaran Islam di wilayah ini layaknya memperoleh prioritas, terbukti dengan pengiriman salah seorang putera sunan Dalem (Sunan Giri II) ke Deket yang dalam silsilah disebut

47

(46)

37

Pangeran Deket dan oleh masyarakat setempat dikenal dengan Mbah Deket atau juga dikenal dengan nama Sunan Lamongan. Di wilayah Mantup

masyarakat juga mengenal cerita tentang “makam” Pangeran Sedamargi.

Sekalipun itu hanya berasal dari cerita tutur, namun bisa diduga bahwa Pangeran Sedamargi memang pernah berdakwah di daerah itu. Di daerah sekitar Mantup, yakni di Tikung dan Kembangbahu juga ditemukan kropak yakni buku rontal yang berisi tembang-tembang tentang kisah para Nabi (serat Arnbiyo) utamanya tentang Nabi Yusuf (serat Yusuf). Kropak-kropak ini sekarang sebagian disimpan di Museum Mpu Tantular Surabaya.

Berdasarkan cerita tutur, Sunan Giri III dikabarkan pernah menugaskan santrinya yang bernama Hadi untuk berdakwah ke wilayah ini. Konon santri Hadi ini cukup berhasil dalam dakwahnya, sehingga dapat mengislamkan orang-orang di beberapa desa di sekitar Gunung Kendeng dan Babat.48

Wilayah Lamongan secara politis sangat berarti bagi Giri baik dalam kedudukannya sebagai pusat Pemerintahan Ulama (menurut istilah Graaf dan

Pigeaud sebagai “Moslim sepriester vorstendom”) maupun sebagai pusat

dakwah Islam. Wilayah ini bisa menjadi benteng dari serangan penguasa di Sengguruh (sisa kerajaan Majapahit di daerah Selatan dekat Malang) untuk kali kedua atau seterusnya, apabila rakyat dan penguasanya sudah beragama Islam. Giri pada tahun 1535 memang pernah diserang oleh Sengguruh dan berhasil menduduki kedaton Giri, sehingga Sunan Dalem dengan persetujuan Syekh

48

(47)

38

Koja (paman Sunan yang bergelar Syekh Menganti) menyingkir ke Gumena. Tentara Sengguruh sempat merusak makam Sunan Giri I Kedudukan Giri baru dirasakan aman dari ancaman serangan tentara Sengguruh tersebut, tatkala sebagian penduduk Lamongan sudah masuk Islam, lebih- lebih setelah dua penguasa di Lamongan yang beragama.

Hindu dapat dikalahkan oleh tentara Demak pada tahun 1541 dan 1542. Tetapi itu semua belum dianggap memadai, karena di Lamongan belum ada penguasa muslim. Oleh sebab itu Sunan Prapen mengangkat santrinya yang bernama Hadi sebagai Ronggo. Karena Ronggo Hadi telah menunjukkan kepatuhan dan prestasinya dalam menyebarkan agama Islam di daerah Lamongan.

(48)

39

Soemoprawiro mantan Carik Desa Wanar, aim. R.Soemowidjojo mantan Guru SRN Bedingin, aim. R. Soemodihardjo mantan Kepala KUA Kecamatan Sugio, dan aim. R. Sirhasjim Kromodihardjo mantan Kepala SRN Kuripan Babat), bahwa Ronggo Hadi itu putera Syekh Koja paman Sunan Dalem (Sunan Giri II), dengan demikian, Ronggo Hadi itu paman Sunan Prapen. Jadi bukan orang lain. Dalam mengemban tugas sebagai Adipati, beliau didampingi oleh Pangeran Deket atau Sunan Lamongan, yakni saudara Sunan Prapen. Penuturan itu berdasarkan naskah rontal yang ikut terbakar tatkala Belanda membakar 176 buah rumah di Desa Wanar pada tanggal 17 April 1949.

Pada masa pemerintahan Tumenggung Surajaya yang berada pada era Giri, perekonomian di daerah Lamongan besar kemungkinan keadaannya lebih baik. Hal ini mengingat saat itu perdagangan dari pelabuhan Gresik dan Jaratan (Giri) makin maju bahkan telah dapat menembus kepulauan Maluku yang kaya dengan rempah-rempah. Pada saat itu perhubungan dari daerah Lamongan ke pelabuhan Jaratan dapat dilakukan lewat jalan darat dan lewat sungai Lamong. Bahwa Lamongan pada waktu itu telah memiliki ketahanan ekonomi, tersirat dalam legenda mbah Alun yang memperhatikan pertahanan pantai utara Lamongan.

5. Padepokan Badu Wanar

(49)

40

berhasil dikalahkan oleh Amangkurat II yang bekerja sama dengan Kompeni Belanda pada tanggal 25 April 1680, Raden Panembahan Agung Singodipuro berhasil meloloskan diri ke desa Kradenanrejo wilayah Kedungpring.

Setelah melewati masa persembunyian di Gunung Liman Nganjuk dan lereng Gunung Wilis, beliau berhasil mempersunting puteri Adipati Magetan yang bernama R.A. Koening. Keduanya kemudian bebadra (mengambil tempat untuk tinggal) di tengah hutan jati di wilayah Lamongan yang kemudian berubah menjadi sebuah padepokan yang diberi nama padepokan Badu Wanar. Dari dusun ini menurut cerita orang-orang tua, agama Islam disebarkan oleh Panembahan Agung Singodipuro dan anak cucu-cucunya ke desa-desa sekelilingnya sampai ke Ngimbang, Jombang, bahkan sampai ke wilayah Bojonegoro.

Untuk mengingat jasanya dalam menyebarkan agama Islam, oleh keturunannya sekarang telah didirikan lembaga pendidikan Madrasah Tsanawiyah Sunan Giri Badu Wanar. Di samping itu di sana masih disimpan dengan baik benda-benda peninggalannya.49

Dapat disimpulkan di bab dua ini, bahwa nama Lamongan berasal dari nama seorng tokoh pada masa silam. Pada zaman dulu, ada seorang ada pemuda bernama Hadi, karena mendapatkan pangkat Rangga, maka ia disbut RanggaHadi. Selain RanggaHadi ia juga mendapat julukan Mbah Lamong, yaitu sebutan yang diberikan oleh rakyatnya dengan alasan karena RanggaHadi pandai Ngemong rakyat, pandai membina daerah seta mahir dalm

49

(50)

41

menyebarkan ajaran agama Islam. Dari kata mbah Lamong inilah kawasan ini kemudian disebut dengan Lamongan. Adapun yang menobatkan Tumenggung Surajaya menjadi Adipati Lamongan yang pertama tidak lain adalah Kanjeng Sunan Giri IV yng bergelar Sunan Prapen. Pelantikan Tumenggung Surajaya bertepatan pada tanggal 0 Dzulhijjah 976 H atau 26 Mei 1569 M. Dengan demikian jelas bahwa perkembangan daerah Lamongan sampai akhirnya menjadi wilayah kabupaten Lamongan.

C.Sejarah Berdirinya Masjid Agung Lamongan

Sehubungan dengan didirikannya Masjid Agung Lamongan pada tahun 1908 oleh Mbah Yai Mahmoed yang terletak di tengah-tengah pusat kota, yang dikelilingi pusat pemerintahan, keamanan dan keadilan. Pada saat itu Lamongan dipimpin oleh Bupati 1 (Adipati Aryo Djojodinegoro) pada tahun 1885-1908. Masjid Agung Lamongan terletak di Jl. KH. Hasyim Asy’ari Lamongan. Dalam pembangunan Masjid Agung Lamongan ini ada kaitannya

dengan sejarah berdirinya Kota Lamongan yang pada waktu itu, yaitu “Masjid

Ambuko Sucining Manembah” yang berarti Masjid yang memiliki gapura model

cina dua genuk atau tempat air yang terdapat di halaman Masjid, serta dua batu pasujudan.50

Kata “Masjid” berasal dari bahasa Arab yang dipinjam dari bahasa

Aramaika berarti tempat atau rumah ibadah, dari kata dasar “Sajada” yang

50

(51)

42

berartitempat bersujud. Sejak abad ke-tujuh, dimana Islam dan bahasa Arab berkembang pesat, kata ini lebih spesifik merujuk pada rumah ibadah Muslim.51

Masjid Agung Lamongan ini merupakan Tanah waqof yang diamanahkan kepada KH. Mastor Asnawi selaku ulama besar di kota Lamongan tetapi beliau sudah lama bermukim di makkah. Dengan berkembangannya syiar Islam waktu itu, kondisi masjid sudah tidak memungkinkan untuk menampung jamaah yang semakin bertambah. Pada tahun 1919 dibentuk panitia pemugaran Masjid. Pada waktu itu KH. Mastoer Asnawi mengusulkan agar posisi Masjid dihadapkan ke arah kiblat, namun banyak kendala waktu itu selain karena tempat yang berdekatan langsung dengan sungai dan sering dilanda banjir, juga dikarenakan faktor pembiayaan yang cukup besar. Akhirnya dari tim panitia menyiasati bahwa pandemen lama yang berada disebelah utara dan sebelah barat hanya ditumpuki saja. Setelah pandemen sudah tinggi tim panitia tidak sanggup meneruskan pembangunan lagi dikarenakan sudah tidak ada biaya lagi.

Pada tahun 1922 pembangunan Masjid diserahkan sepenuhnya kepada KH. Mastoer Asnawi, karena mendapat amanah untuk melanjutkan proses pembangunan Masjid akhirnya beliau berinisiatif untuk mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat Lamongan juga sahabat karibnya. Dari beberapa tokoh-tokoh masyarakat Lamongan dan sahabat karibnya satu diantaranya memiliki mobil pada waktu itu, akhirnya mobilnya lah yang diikhlaskan untuk kepentingan dalam pembangunan Masjid tersebut.

51

(52)

43

Setelah dana tercukupi, akhirnya didatangkanlah empat buah kayu jati yang digunakan sebagai soko guru Masjid. Kayu jati tersebut berasal dari Asembagus, Situbondo, dan Demak Jawa Tengah. Seiring berjalanya waktu akhirnya Masjid Agung ini dipimpin oleh KH. Abdul Aziz Choiri sekitar tahun 80 an, ketika itu dilakukan perluasan tanah Masjid disebelah selatan sampai jalan Basuki Rahmad serta membangun pintu gerbang disebelah selatan. Setelah itu pada tahun 2011 dibangunlah menara kembar setinggi 53 meter. Menara ini mengandung makna tersendiri yaitu menisbatkan pada usia Nabi ketika melakukan hijrah dari Makkah ke Madinah. Dalam pembangunan menara masjid tersebut membutuhkan waktu yang lama yaitu kurang lebih 4 tahun tepat pada tanggal 12 April 2014.

D.Visi, Misi, dan Tujuan Masjid Agung Lamongan : 1. Visi:

Masjid Agung Lamongan ini bertujuan untuk mengembangkan Islam

Ahlussunnah Waljama’ah ala Nahdlatul Ulama serta mewujudkan fungsi masjid sebagai pusat ibadah, pengembangan masyarakat serta persatuan umat dalam rangka meningkatkan keimanan, ketaqwaan, moralitas, intelektualitas umat serta tercapainya masyarakat adil, makmur yang diridhoi Allah Swt.52 2. Misi:

52

(53)

44

a. Menghimpun dan membina umat Islam (Jama’ah Masjid) sesuai dengan sifat dan tujuan serta amaliyah-amaliyah yang diterapkan Masjid Agung Lamongan.

b. Melaksanakan kegiatan-kegiatan dalam berbagai bidang sesuai dengan asas dan tujuan Masjid Agung Lamongan.

c. Mendirikan KBIH, Travel haji dan Umroh.

d. Mendirikan lembaga pendidikan dan pemberdayaan remaja. e. Mendirikan lembaga perekonomian dan lain sebagainya. 3. Tujuan:

a. Menegakkan nilai keislaman untuk masyarakat dalam peningkatan keimanan.

b. Mengembangkan Islam yang berbasis Ahlussunah wal jamaah ala Nahdlotul Ulama.

E. Struktur Ta’mir Masjid Agung Lamongan

Untuk memperlancar suatu mekanisme kerja dalam suatu lembaga, khususnya pada Masjid Agung lamongan sebagai suatu lembaga maka terbentukklah struktur kepengurusan yang merupakan sesuatu yang sangat penting dan diperlukan supaya masing-masing pengurus mengetahui tugas dan tanggung jawabnya. Sehingga akan terhindar dari tumpang tindih atau hambatan dalam melaksanakan tugas antara pengurus yang satu dengan yang lainnya.

(54)

(55)

46

(56)

47

BAB III

PERKEMBANGAN ARSITEKTUR MASJID AGUNG LAMONGAN

A.Perkembangan Arsitektur Masjid Agung Lamongan 1. Pengertian Arsitektur Masjid

Pada awalnya Bangunan masjid muncul sebagai bangunan religi yang merupakan hasil perpaduan antara fungsi bangunan sebagai unsur arsitektur Islam yang berpedoman pada ketentuan-ketentuan yang ada pada syari’at Islam dengan bangunan sebagai pengungkapan nilai-nilai tertinggi yang diwujudkan berbentuk bangunan.53 Ilmu sejarah memandang bahwa arsitektur sebagai ungkapan fisik bangunan dari budaya masyarakat pada tempat dan zaman tertentu, dalam rangka memenuhi kebutuhan ruang untuk suatu kegiatan.54

Sejalan dengan perkembangan Islam yang pesat dan menyebar di berbagai wilayah terutama di pulau jawa, tersebar pula pola-pola yang berhubungan dengan arsitektur Islam yang disebut dengan bangunan masjid.Bangunan masjid diberbagai wilayah mengalami penambahan ornamen-ornamen seni untuk menambah estetik Masjid seperti hiasan kaligrafi pada interior masjid, penambahan menara yang digunakan untuk menyeru orang-orang beriman untuk sholat.Masjid menjadi bangunan yang penting dalam syiar Islam sehingga dalam pengertian ini terdapat pertemuan dua unsur dasar kebudayaan, yakni kebudayaan yang dibawa oleh para penyebar Islam yang terpateri oleh ajaran Islam dan kebudayaan lama yang telah dimiliki oleh

53

Wiryoprawiro, Perkembangan Arsitektur Masjid di Jawa Timur, 155.

54

(57)

48

masyarakat setempat. Dari sinilah terjadi asimilasi yang merupakan keterpaduan antara kecerdasan kekuatan watak yang disertai oleh spirit Islam yang kemudian memunculkan kebudayaan baru yang kreatif, yang menandakan kemajuan pemikiran dan peradabannya. Oleh karenanya keragaman bentuk arsitektur masjid jika dilihat dari satu sisi merupakan bentuk terhadap khasanah arsitektur Islam.55

Ketika Islam masuk di jawa keberadaan arsitektur jawa yang telah berkembang dalam konsep dan budaya jawa tidak dapat dinafikan oleh Islam. Sehingga ketika Islam ingin diterima sebagai agama orang jawa, maka simbol-simbol Islam muncul dalam bingkai budaya dan konsep Jawa yang kemudian memunculkan kreativitas baru sebagai hasil berasimilasinya dua kebudayaan dan sekaligus sebagai pengakuan akan keberadaan keunggulan muslim jawa dalam karya arsitektur.56

Menurut C.F. Pijper Teori tentang arsitektur masjid kuno di Indonesia memiliki ciri khas dan berbeda dengan bentuk-bentuk masjid Indonesia yang berasal dari Pulau Jawa, sehingga orang dapat menyebut masjid tipe Jawa. Ciri khas masjid tipe jawa adalah :

1. Fondasi bangunan yang berbentuk persegi dan pejal yang agak tinggi. 2. Masjid tidak berdiri di atas tiang, seperti rumah di Indonesia model kuno

dan langgar.

55

Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa (Yogyakarta: Gama Media, 2000), 187-188.

56

(58)

49

3. Masjid mempunyai atap tumpang yang terdiri dari dua sampai lima tingkat, dimana semakin keatas maka akan semakin kecil dan lancip.

4. Masjid mempunyai tambahan ruangan kecil disebelah Barat yang dipakai untuk tempat mihrab.

5. Masjid mempunyai serambi di depan maupun di kedua sisinya.

6. Halaman disekeliling masjid dibatasi oleh tembok dengan satu pintu masuk depan yang disebut dengan gapura.

7. Denahnya berbentuk segi empat. 8. Dibangun disebelah barat alun-alun. 9. Arah mihrab tidak tepat kiblat.

10. Dibangun dari bahan yang mudah rusak.

11. Terdapat parit air disekelilingnya atau di depan masjid. 12. Awalnya dibangun tanpa serambi.57

Dari beberapa ciri masjid tipe Jawa ini bukanlah merupakan bangunan yang asing, tetapi bentuk asli yang disesuaikan dengan kebutuhan peribadatan secara Islam. Sehingga lahirlah bentuk masjid yang bermacam ragam itu sesuai dengan kebiasaan dan kemampuan masyarakat yang mendirikannya. D

Referensi

Dokumen terkait

APARTEMEN MAHASISWA INTERNASIONAL DI YOGYAKARTA (PENEKANAN UNSUR-UNSUR BUDAYA TRADISIONAL JAWA).. Diajukan Sebagai Pelengkap dan Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Teknik

Aspek Citra yang akan dimunculkan pada perencanaan proyek Komplek Bangunan Kesenian di Yogyakarta ini adalah unsur arsitektur tradisional jawa dengan penggabungan arsitektur

Masjid ini menunjukkan diri sebagai arsitektur masjid Nusantara, beratap tajug, berlanggam Jawa yang menerima dan memadukan dirinya dengan unsur yang pendatang, seperti

Bentuk budaya arsitektur Jawa lainnya yaitu terdapat pada gai lambang dari dinasti, sedangkan pada zaman sebelumnya yaitu zaman Singaragam hias bunga teratai yang

Perkembangan Arsitektur di Jawa Timur khususnya Masjid Jami‟ Sunan Dalem desa Gumeno Kecamatan Manyar Kabupaten Gresik belum pernah diteliti dan diugkapkan secara Khusus

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh tata ruang dan ornamen arsitektur Tradisional Jawa-Islam, Hindu-Majapahit, Cina, dan Kolonial

Penelitian yang sudah dilakukan penulis, mendapatkan bentuk-bentuk dan fungsi arsitektur Jawa yang diterapkan pada bangunan Masjid Agung Surakarta yang mana bentuk-bentuk dan fungsi