• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN HAKIM DALAM KASUS PENGGUNAAN BAHAN PELEDAK DALAM MENANGKAP IKAN : STUDI PUTUSAN PENGADILAN TINGGI PALU NO. 72/PID.SUS/2015/PT PAL.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN HAKIM DALAM KASUS PENGGUNAAN BAHAN PELEDAK DALAM MENANGKAP IKAN : STUDI PUTUSAN PENGADILAN TINGGI PALU NO. 72/PID.SUS/2015/PT PAL."

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI OLEH:

ZAM ZAM AULIYAH AKHMAD NIM. C73212082

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

JURUSAN HUKUM PUBLIK ISLAM PRODI HUKUM PIDANA ISLAM

(2)

SKRIPSI

Diajukan Kepada UIN Sunan Ampel Surabaya

Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu Program Studi Hukum Pidana Islam

Oleh:

ZAM ZAM AULIYAH AKHMAD NIM. C73212082

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM JURUSAN HUKUM PUBLIK ISLAM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(3)
(4)
(5)
(6)

Dalam Kasus Penggunaan Bahan Peledak Dalam Menangkap Ikan (Studi Putusan Pengadilan Tinggi Palu No. 72/Pid.Sus/2015/PT PAL) adalah hasil penelitian pustaka untuk

menjawab pertanyaan tentang 1)Bagaimana pertimbangan hakim terhadap tindak pidana

penggunaan bahan peledak dalam menangkap ikan pada putusan Nomor

72/Pid.Sus/2015/PT.PAL. 2)Bagaimana analisis hukum pidana Islam terhadap pertimbangan hakim dalam tindak pidana penggunaan bahan peledak dalam menangkap ikan dalam putusan Nomor 72/Pid.Sus/2015/PT.PAL.

Data ini dihimpun dengan mempelajari dokumen, berkas-berkas perkara dan bahan

pustaka, yang selanjutnya data diolah dan dianalisis dengan metode deskriptif analisis dan

polah pikir deduktif.

Hasil studi ini adalah dasar hukum yang digunakan sebagai pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman tindak pidana penggunaan bahan peledak dalam menangkap ikan adalah tuntutan banding jaksa penuntut umum Pasal 84 Ayat (1) UU No. 31 Tahun 2004 tentang perikanan Jo UU No. 45 tahun 2009 tentang perubahan atas UU No 31 Tahun 2004 tentang perikanan Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP yaitu 6 Tahun dan denda paling banyak sebesar Rp. 1.200.000.000,- ( satu miliar dua ratus juta rupiah ) dan dijatuhi hukuman pidana penjara 2 (dua) tahun dan denda Rp.10.000.000 (sepuluh juta rupiah) subsidar 2 bulan penjara dirasa kurang memberikan efek jera kepada pelaku untuk mengulangi perbuatannya di masa mendatang .

Dalam hukum pidana Islam tindak pidana penggunaan bahan peledak dalam

menangkap ikan masuk dalam kategori jarimah ta’zir kemaslahatan umum karena tidak ada

ketentuan nash mengenai tindak pidana ini. Dalam hal ini hakim diberi kewenangan penuh

untuk menjatuhkan hukuman bagi pelaku jarimah ta’zir. Karena perusakan lingkungan

termasuk dalam jarimah ta’zir yang berkaitan dengan hak Allah yaitu segala sesuatu yang

(7)

SAMPUL DALAM... i

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 12

G. Definisi Operasional ... 12

H. Metode Penelitian... 13

I. Sistematika Pembahasan ... 17

BAB II JARIMAHTA ’ZI>R DALAM HUKUM ISLAM ... 19

A. Pengertian Jarimah ... 19

B. Macam-macam JarimahTa’zi>r>... 26

C. Macam-macam HukumanTa’zi>r... 27

BAB III PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN PT. PALU No. 72/Pid.Sus/2015/PT PAL TENTANG TINDAK PIDANA PENGGUNAAN BAHAN PELEDAK DALAM MENANGAP IKAN ... 36

(8)

C. Putusan Hakim PT. PALU No. 72/Pid.Sus/2015/PT. PAL... 50

BAB IV ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM PENGADILAN TINGGI PALU No. 72/Pid.Sus/2015/PT. PAL TENTANG TINDAK PIDANA PENGGUNAAN BAHAN PELEDAK DALAM MENANGKAP IKAN ... 54

A. Pertimbangan Hakim Pengadilan Tinggi Palu dalam putusan No. 72/Pid.Sus/2015/PT.PAL tentang Tindak Pidana Penggunaan Bahan Peledak Penangkapan Ikan ... 54

B. Analisis Hukum Pidana Islam terhadap Pertimbangan Hakim Pengadilan Tinggi Palu dalam putusan No. 72/Pid.Sus/2015/PT.PAL... 60

BAB V PENUTUP ... 69

A. Kesimpulan ... 69

B. Saran ... 70

(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan, terdiri dari pulau-pulau dengan

dikelilingi oleh lautan yang luas. Terdiri dari sekitar 13.667 pulau, dengan

luas daratan 1.922.570 km2 dan luas perairan lautannya mencapai 3.257.483

km2. Panjang garis pantainya mencapai 81.497 km2. merupakan garis pantai

terpanjang di dunia. Jika ditambah dengan ZEE maka luas perairan Indonesia

sekitar 7,9 juta km2 atau 81% dari luas keseluruhan.1

Keadaan tersebut menjadikan Indonesia termasuk ke dalam Negara

yang memiliki kekayaan sumber daya perairan yang tinggi dengan sumber

daya hayati perairan yang sangat beragam. Keanekaragaman sumber daya

perairan Indonesia meliputi sumber daya ikan maupun sumber daya trumbu

karang. Trumbu karang yang dimiliki Indonesia luasnya sekitar 7000 km2 dan

memiliki lebih dari 480 jenis karang yang telah berhasil dideskripsikan. Luas

daerah karang yang ada menjadikan Indonesia sebagai Negara yang memiliki

keragaman ikan yang tinggi khususnya ikan-ikan karang yaitu lebih dari

1.650 jenis spesies ikan.

Perairan laut yang luas dan kaya akan jenis-jenis maupun potensi

perikanannya, dimana potensi perikanan bidang penangkapan 6,4 juta

ton/tahun, potensi perikanan umum sebesar 305.650 ton/tahun serta potensi

kelautan kurang lebih 4 miliar USD/tahun.

1

(10)

Kekayaan akan sumber daya laut yang melimpah membuat sebagian

nelayan ingin menangkap ikan dalam jumlah banyak melalui cara merusak

(destructive fishing). Beberapa praktik penangkapan ikan dengan cara

merusak antara lain penggunaan pukat harimau (trawl), penggunaan bom

(dynamite fishing). Penggunaan bom ikan dapat menghabiskan populasi ikan,

serta dapat mengakibatkan kerusakan ekosistem di sekitar (terumbu karang)

dan juga dapat membahayakan keselamatan nelayan. Aktivitas destructive

fishing ini mengancam 88% terumbu karang Asia Tenggara khususnya di

wilayah perairan Indonesia.2

Salah satu contoh kasusnya yang pernah disidangkan di Pengadilan

Negeri Parigi. pada bulan maret 2015 terjadi kasus penangkapan ikan

menggunakan bom ikan berdaya ledak tinggi dilaut Desa Kasimbar

Kecamatan Kasimbar,Kab. Parigi. perahu penggebom ikan beroperasi dengan

cara berhenti di laut Desa Kasimbar Kecamatan Kasimbar yang terdapat

banyak sumber ikan. Bom digunakan untuk menangkap ikan di lokasi yang

terdapat banyak sumber ikan. Akibat kegiatan menggunakan bom ikan,

terumbu karang mengalami kerusakan yang parah serta banyak biota laut

yang terancam punah akibat dari penggunaan bom ikan.3

Kurangnya kesadaran akan pentingnya menjaga dan melestarikan

sumber daya laut membuat nelayan ingin memperoleh hasil tangkapan yang

besar secara singkat dengan menggunakan alat penangkap ikan yang dilarang

2

Mirsangazali,“Materi Penyuluhan Penangkapan Ikan Yang Merusak Dan Tidak Ramah Lingkungan”, https://mirsangazali.wordpress.com/20014/02/18/materi-penyuluhan-penangkapan-ikan-yang-merusak-dan-tidak-ramah-lingkungan,diakses pada 1 maret 2016.

3

(11)

tanpa memikrkan akibat yang ditimbulkan setelah penggunaan bom tersebut.

Penggunaan bom ikan menimbulkan dampak dan kerugian yang sangat

banyak baik secara langsung maupun tidak langsung, baik berupa kerugian

materiil maupun kerugian non materiil, dari aspek ekonomi, ekologi, maupun

sosial.

Kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh timbulnya masalah-masalah

lingkungan dapat mencapai ratusan juta. Secara umum dapat digambarkan

kerugian-kerugian ekonomi dari penggunaan bahan peledak dalam

menangkap ikan berupa biaya penanaman kembali terumbu karang yang

hancur akibat penggunaan bahan peledak serta melemahkan upaya

pemerintah untuk mendorong peningkatan daya saing produk perikanan.

Panggilan untuk mewujudkan sistem terpadu bidang lingkungan

sebenarnya telah dimulai tahun 2009. Kementrian Negara Lingkungan Hidup

menempatkan urusan bidang kelautan, kehutanan, pertambangan, dan

perkebunan dalam lingkungan hidup pada tahun 2009. Hal ini tampak pada

kebijakan penggelolaan lingkungan hidup pada tahun 2009. Khusus nya pada

sektor kelautan untuk meningkatkan pengawasan dan pengendalian sumber

daya kelautan dan perikanan.4

Usaha untuk mencegah pengurasan sumber daya alam sehingga sumber

daya alam tetap tersedia. Tanpa adanya usaha pencegahan terkurasnya

sumber daya alam, maka lambat laun, tapi pasti, sumber daya alam hayati

kan habis suatu saaat. Langkah-langkah di bidang konservasi adalah

4

(12)

menetapkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan menurut jenis atau

kelompok jenis sumberdaya alam hayati disebagian atau seluruh Zona

Ekonomi Ekslusif (ZEE) indonesia. Untuk kepentingan pelestarian sumber

daya alam hayati di laut, pasal 6 PP No.15 Tahun 1984 melarang

penangkapan ikan di ZEE Indonesia dengan menggunakan bahan peledak,

listrik, racun, dan bahan atau alat lain yang berbahaya.

Pada pasal 3 ayat (2) UU No. 9 Tahun 1985 tentang perikanan

menyatakan, bahwa: pemerintah melaksanakan pengelolaan sumber daya ikan

secara terpadu dan terarah dengan melestarian sumber daya ikan beserta

lingkungan bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Dalam

rangka melaksanakan kebijakan pengelolaan dan pelestarian sumber daya

ikan, pemerintah menetapkan ketentuan-ketentuan mengenai: (1) alat-alat

penangkapan ikan. (2) syarat-syarat teknis penangkapan ikan yang harus

dipenuhi oleh kapal perikanan. (3) jumlah penangkapna ikan, jenis dan serta

ukuran ikan yang tidak boleh ditangkap, (4) daerah, jalur dan waktu atau

musim penangkapan ikan, (5) pencegahan pencemaran dan kerusakan,

rehabilitasi dan penebaran jenis ikan baru, (6) pembudidayaan ikan dan

perlindungannya, (7) pencegahan dan pemberantasan hama serta penyakit

ikan dan (8)hal lain yang perlu.5Dalam litelatur masalah-masalah lingkungan

hanya dikelompokkan ke dalam dua bentuk dapat dilihat dalam

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

(UULPH). UULPH juga hanya mengenal dua bentuk masalah lingkungan

5

(13)

hidup, yaitu: pencemaran lingkungan dan perusakan lingkungan. Dalam pasal

1 butir 12 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, yakni:

Masuknya atau dimasukannya makhluk hidup, zat, energi, dan/ atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan, sehingga kualitasnya turun sampai ketingkat tertentu yang menyebabkan

lingkungan hidup tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.6

Pengertian perusakan lingkungan sebagaimana dirumuskan dalam pasal

1 butir 14, yaitu:

Tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan /atau hayati yang mengakibatkan lingkungan

hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan

berkelanjutan.7

Salah satu bentuk tindakan pencegahan adalah memberikan peringatan

kepada semua orang, baik sebagai pengusaha, pemilik kapal, nahkoda kapal

untuk menghindari penggunaan bahan peledak dan semacamnya dalam usaha

penangkapan ikan.

Hal ini telah diatur dalam Pasal 8 ayat 1 UU No.45 Tahun 2009

perubahan atas Undang-Undang Nomor UU No.31 Tahun 2004 yang

menyatakan:

Setiap orang dilarang melakukan penangkapan ikan dan/ atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik

Indonesia.8

6

Pasal 1 butir 12 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 7

Takdir Rahmadi,Hukum Lingkungan di Indonesia, (Jakarta: RajawaliPers, 2012), 2.

8

(14)

Penggunaan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat atau

cara, atau bangunan untuk penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diperbolehkan hanya untuk penelitian

(ayat 5). Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan bahan biologis, bahan

kimia, bahan peledak, alat atau cara, atau bangunan sebagai mana dimaksud

pada ayat (5), diatur dengan peraturan pemerintah (ayat 6).

Berkatian dengan pengaturan pelarangan menggunakan bahan peledak

untuk melakukan penangkapan ikan, akan berdampak besar terhadap

keberadaan habitat ikan dan sumber daya ikan itu sendiri, sebab secara

alamiah penggunaan bahan peledak dan semacamnya akan mematikan semua

jenis ikan tanpa terkecuali, termasuk di dalamnya plankton-plankton yang

menjadi makanan dari ikan itu sendiri.

Sementara itu, dalam pasal 9 UU No. 45 Tahun 2009 tentang

perubahan atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang perikanan. menyatakan

bahwa:

Setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penagkap ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang menggangggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri ayat(2).9

Adapun hukuman penggunaan bahan peledak dalam menangkap ikan

dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perikanan pasal 84

menyebutkan:

9

(15)

Setiap orang yang dengan sengaja memiliki, di wilayah pengelolaan

Republik Indonesia melakukan penagkapan ikan dan/atau

pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1). Dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun penjara dan denda paling banyak Rp.1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta

rupiah).10

Islam mengajarkan agar umat manusia senantiasa menjaga lingkungan,

Allah SWT melarang manusia membuat kerusakn dimuka bumi.

Dalam surah al a’raf ayat 56 Allah berfirman:

11

Artinya : Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepadanya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.

Dalam surah ini di jelaskan bahwa Allah SWT menciptakan bumi

beserta isi nya untuk diolah dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, bukan

malah sebaliknya dirusak. Merusak lingkungan hidup bisa berdampak yang

sangat besar oleh karena itu Islam sangat melarang umatnya melakukan

kerusakan. Masyarakat Indonesia belum sadar bahwa krisis multidimensi dan

bencana yang datang bertubi-tubi seperti tanah longsor, banjir, kekeringan,

kebakaran hutan, dan lainnya adalah karena ulah manusia sendiri.12

10

Pasal 84 ayat (1) Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. 11

Departemen Agama RI,alQuran dan Terjemahan,(Surabaya: Mega Jaya Abadi), 334. 12

(16)

Dalam surah Ar Rum ayat 41 Allah SWT berfirman :

13

Artinya : Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

Dalam hal ini penggunaan bom ikan dalam menangkap ikan termasuk

dalam kejahatan yang didalamnya terkait dengan harta dan lingkungan .

Menurut Hukum Islam penggunaan bahan peledak dalam penangkapan

ikan digolongkan pada jarimah kemaslahatan umum karena penggunaan

bahan peledak dalam menangkap ikan dapat menimbulkan kerusakan besar

bagi lingkungan serta dapat mengganggu kemaslahatan masyarakat.

Hukum Islam sangat melarang adanya perbuatan yang merugikan serta

menggangu ketentraman masyarakat dan hukumannya adalah ta’zir. Ta’zir

adalah sanksi yang tidak ditentukan oleh al Quran dan Hadis berkaitan

dengan kejahatan yang melanggar hak Allah dan hak hambanya. Ta’zir

bersifat memberikan pelajaran kepada pelaku tindak kejahatan dan koreksi

mencegahnya yang sifatnya memperbaiki perilaku tersalah.14

Oleh karena itu penulis merasa perlu untuk mengangkat masalah ini

menjadi karya ilmiah skripsi dengan judul Analisis Hukum Pidana Islam

terhadap Putusan hakim dalam kasus Penggunaan bahan peledak dalam

13

Departemen Agama RI,alQuran dan…, 354. 14

(17)

menagkap ikan (Studi Putusan Pengadilan Tinggi Palu No.

72/Pid.Sus/2015/PT PAL).

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas terdapat beberapa masalah dalam

penelitian ini, adapun masalah-masalah tersebut dapat diidentifikasi sebagai

berikut:

1. Faktor penyebab penggunaan bahan peledak dalam menangkpan ikan.

2. Dampak dari penggunaan bahan peledak dalam menangkapn ikan.

3. Pertimbangan yang digunakan oleh hakim dalam putusan Pengadilan

Tinggi Palu No.72/Pid.Sus/2015/PT.PAL terhadap tindak pidana

penggunaan bahan peledak dalam menangkap ikan.

4. Dasar hukum hakim dalam Pengadilan Tinggi Palu

No.72/Pid.Sus/2015/PT.PAL terhadap tindak pidana penggunaan bahan

peledak dalam menangkap ikan.

5. Analisis hukum pidana Islam terhadap tindak pidana penggunaan bahan

peledak dalam menangkap ikan.

Masalah penggunaan bahan peledak dalam menangkap ikan memuat

suatu masalah yang bersifat umum, sehingga diperlukan suatu pembatasan

masalah dalam pembahasannya. Dalam hal ini pembatasan masalah adalah :

1. Pertimbangan hakim terhadap tindak pidana penggunaan bahan peledak

dalam menangkap ikan dalam putusan Pengadilan Tinggi Palu

(18)

2. Analisis Hukum Pidana Islam terhadap pertimbangan hakim Pengadilan

Tinggi Palu dalam tindak pidana penggunaan bahan peledak dalam

menangkap ikan di Pengadilan Tinggi Palu.

C. Rumusan Masalah

Dari apa yang diuraikan dalam latar belakang diatas, maka permasalah

yang diambil dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pertimbangan hakim terhadap tindak pidana penggunaan

bahan peledak dalam menangkap ikan pada putusan No.

72/Pid.Sus/2015/PT.PAL?

2. Bagaimana analisis Hukum Pidana Islam terhadap pertimbangan hakim

dalam tindak pidana penggunaan bahan peledak dalam menangkap ikan

dalam putusan No.72/Pid.Sus/2015/PT.PAL?

D. Kajian Pustaka

Permasalahan penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan

sebernarnya sudah pernah dikaji oleh para penulis lainnya. diantaranya :

1. Asep Maulana R. yang berjudul “Ilegal Fishing Perspektif Hukum

Islam” skripsi ini membahas tentang bagaimana pandangan hukum

islam terhadap illegal fishing dan solusi alternative pemberantasan

illegal fishing dalam tinjauan prespektif hukum islam.

2. Hasanah Fifin Inbatun. Yang berjudul berjudul “Analisis Hukum Islam

Terhadap putusan Mahkamah Agung Nomor: 84 pk/pid/2005 tentang

pembuktian illegal fishing”. Skripsi ini membahas tentang Bagaimana

(19)

perkara illegal fishing dan bagaimana analisis yuridis terhadap putusan

Mahkamah Agung Nomor: 84 pk/pid/2005 tentang pembuktian illegal

fishing.

3. Nurul Huda yang berjudul ”Illegal Fishing Perspektif Hukum Islam dan

Hukum Positif” skripsi ini membahas tentang analisis gagasan atau

konsep, yakni konsep hukum untuk menentukan status hukum ilegal

fishing dalam hukum islam yang kemudian dikomparasikan dengan

konsep hukum positif Indonesia.

E. Tujuan Peneitian.

Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka peneliti

mempunyai tujuan penelitian sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam putusan

No.72/Pid.Sus/2015/PT.PAL tentang tindak pidana penggunaan bahan

peledak dalam menangkap ikan yang menyebabkan kerusakan pada

lingkungan.

2. Untuk mengetahui analisis hukum pidana Islam terhadap pertimbangan

hukum dalam putusan hakim tentang tindak pidana penggunaan bahan

peledak dalam menangkap ikan dalam putusan No.

(20)

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Dari hasil penelitian diharapkan bermanfaat dan berguna untuk:

1. Teoritis

Hasil penelitian diharapkan berguna bagi perkembangan kerangka

berfikir para ilmuan dalam disiplin ilmu pengetahuan agar bisa lebih

maju lagi, serta dapat menjadi sumber informasi yang jelas kepada

masyarakat tentang akibat penggunaan bahan peledak dalam

menangkap ikan.

2. Praktis

Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat menjadi pertimbangan

bagi penerapan ilmu di lingkungan masyarakat dalam mencari solusi

yang dapat dilakukan agar tidak terjadi penangkapan ikan menggunakan

bahan peledak, serta menjadi masukan kepada penegak hukum

khususnya polair dalam proses penyelesaian kasus penggunaan bahan

peledak dalam menangkap ikan di Indonesia.

G. Definisi Operasional

Untuk mempermudah pembahasan dalam skripsi ini perlu adanya

definisi operasional dan untuk menghindari kesalahpahaman sehubungan

dengan judul yang diangkat penulis. Yaitu:

1. Hukum Pidana Islam : Hukum syarak yang berkaitan dengan masalah

perbuatan yang dilarang dan hukumannya yang dimaksud dalam

penelitian ini adalah hukuman ta’zir karena berkaitan dengan tindak

(21)

menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan. Syariat Allah

yang mengandung kemaslahatan bagi kehidupan manusia, terutama

syariat Allah yang mengatur tindakan-tindakan kejahatan yang

mengganggu ketertiban umum, serta mengatur tindakan melawan

perarturan-peraturan yang bersumber dari al-Quran dan Hadis.

2. Putusan Hakim pada Kasus penggunaan bahan peledak dalam

penangkapan ikan : putusan Hakim pada kasus ini adalah sebuah

keputusan yang sudah diputuskan di Pengadilan Tinggi Palu No.

72/Pid.Sus/2015/PT.PAL.

H. Metode penelitian.

Metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam

mengumpulkan data penelitiannya15. Agar dalam penyusunan skripsi ini

mencapai hasil yang maksimal, metode dalam penulisannya yaitu :

1. Jenis penelitian

Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian kepustakaan

(library resaerch) yaitu penelitian yang objek utamanya adalah

buku-buku dan data-data yang diperoleh dari studi pustaka, baik berupa buku-buku

maupun laporan hasil penelitian dari peneliti terdahulu, jenis penelitian

ini digunakan untuk mengkaji dan menelusuri pustaka-pustaka yang

berkaitan dengan persoalan yang dikaji oleh penulis sehingga penulis

15

(22)

dapat memahami, mencermati dan menganalisa berdasarkan data yang

di peroleh tersebut.

2. Data yang dikumpulkan

Data yang dikumpulkan adalah data yang berkaitan dengan tindak

pidana Penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan pada

putusan Pengadilan Tinggi Palu No. 72/Pid.Sus/2015/PT PAL.

3. Sumber data

Data adalah catatan atas kumpulan fakta.16 Data yang digunakan

adalah sebagai berikut:

a. Sumber Primer

Sumber yang diperoleh secara langsung. Sehingga

dimungkinkan memperoleh informasi yang berhubungan dengan

penelitian ini, diantaranya berasal dari: putusan Pengadilan Tinggi

Palu No. 72/Pid.Sus/2015/PT PAL

b. Sumber Sekunder

Sumber yang diperoleh peneliti dari sumber yang sudah ada

Dalam hal ini data yang digunakan peneliti antara lain:

1) N.H.T.Siahaan, Hukum Lingkungan Hidup dan Ekologi

Pembangunan, edisi II, Jakarta:Erlangga, 2004.

2) Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, Jakarta:

Rajawali Pers, 2012

16

(23)

3) Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana

Islam,Jakarta: Sinar Grafika, 2004

4) Djazuli, Fiqh Jinayah, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997

5) Gufron. Rekonstruksi Paradigma Fikih Lingkungan (Analisis

Problematika Ekologi di Indonesia dalam perspektif

fiqhalbi’ah). Surabaya: IAIN SA Press, 2012.

4. Teknik Pengumpulan Data

a. Telaah Dokumen

Penulis mencari dan mengumpulkan data yang berasal dari

catatan atau arsip-arsip yang berkaitan dengan penelitian ini,

sehingga penulis dapat memahami, mencermati dan menganalisa

berdasarkan data yang di peroleh tersebut.

b. Telaah pustaka

Penulis mencari dan mengumpulkan data yang berasal dari

buku-buku yang berkaitan dengan penelitian ini untuk mendukung

penelaahan yang lebih mendalam terhadap masalah yang menjadi

objek penelitian sehingga penulis mendapatkan referesi yang tepat

untuk memahami, mencermati dan menganalisa kasus mengenai

penggunaan bom ikan dalam menangkapikan berdasarkan data yang

di peroleh tersebut.

5. Teknik Pengolahan Data

Setelah seluruh data terkumpul kemudian dianalisis dengan

(24)

a. Editing, yaitu pemeriksaan kembali terhadap semua data yang

telah diperoleh terutama dari segi kelengkapan, kevalidan,

kejelasan makna, keselarasan dan kesesuaian antara data primer

dan sekunder tentang analisis penggunaan bahan peledak dalam

penangkapan ikan pada putusan Pengadilan Tinggi Palu

No.72/Pid.Sus/2015/PT PAL perspektif Hukum Pidana Islam.

b. Organizing, yaitu menyusun dan mensistematiskan data-data yang

telah diperoleh tentang analisis penggunaan bahan peledak dalam

penangkapan ikan pada putusan Pengadilan Tinggi Palu

No.72/Pid.Sus/2015/PT PAL perspektif Hukum Pidana Islam.

c. A nalyzing, yaitu memberikan analisis dari data-data mengenai

unsur-unsur yang terdapat dalam penggunaan bahan peledak, dan

unsur-unsur hukuman yang dikenakan kepada penggunaan bahan

peledak dalam penangkapan ikan.

6. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan upaya mencari dan menata secara

sistematis catatan hasil observasi sesuai dengan arah studi yang telah

dipilih oleh penulis, teknik analisis data yang digunakan berupa metode

deskriptif analisis yaitu mendeskrisikan data yang berhasil dihimpun

sehingga tergambar obyek masalah secara terperinci dan menghasilkan

pemahaman yang kongkrit dan jelas. Sedangkan pola pikir yang dipakai

disini adalah pola pikir deduktif yang berangkat dari faktor yang umum,

(25)

Pengadilan Tinggi Palu No. 72/Pid.Sus/2015/PT.PAL, kemudian ditarik

kedalam hal yang sifatnya lebih khusus.

I. Sistematika Pembahasan

Bab I, adalah uraian pendahuluan yang menjelaskan langkah-langkah yang dilakukan dalam pembahasan skripsi ini meliputi : latar belakang

masalah, identifikasi dan pembatasan masalah, rumusan masalah, kajian

pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional,

metode penelitian, dan sub bab terakhir adalah sistematika pembahasan.

Bab II, bab ini secara umum menguraikan tinjauan umum hukum pidana Islam terhadap penggunaan bahan peledak dalam menangkap ikan atau

landasan teori mengenai konsepta’zirdalam hukum pidana Islam.

Bab III, bab ini berisi data tentang uraian putusan yang diperoleh di Pengadilan Tinggi Palu No. 72/Pid.Sus/2015/PT PAL, dasar pertimbangan

hukum yang digunakan untuk menjerat pelaku penggunaan bahan peledak

dalam menangkap ikan.

Bab IV, bab ini menguraikan tentang analisis hukum pidana Islam terhadap putusan pengadilan yang di jadikan landasan dan pertimbangan

hukum oleh hakim dalam memutuskan sanksi pidana bagi pelaku tindak

pidana pengunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan pada putusan

Pengadilan Tinggi Palu No. 72/Pid.Sus/2015/PT PAL.

(26)

ini dijelaskan rumusan masalah kesimpulan dari keseluruhan bahasan sebagai

jawaban yang ada pada rumusan masalah, dengan disertai saran yang

(27)

BAB II

JARIMAHTA’ZI>RDALAM HUKUM ISLAM

A. Pengertian Jarimah 1. Jarimah

Jarimah berasal dari bahasa Arab ﺔﻣﯾرﺟyang berarti perbuatan dosa

dan atau tindak pidana. Dalam terminologi hukum Islam, jarimah

diartikan sebagai perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh menurut syara

dan ditentukan hukumannya oleh Tuhan, baik dalam bentuk sanksi-sanksi

yang sudah jelas ketentuannya(had)maupun sanksi-sanksi yang belum

jelas ketentuannya oleh Tuhan(ta’zi>r).1

Menurut pengertian tersebut suatu perbuatan yang dianggap sebagai

tindak pidana, apabila bertentangan dengan undang-undang dan diancam

dengan hukuman. Apabila perbuatan itu tidak bertentangan dengan

hukum (undang-undang), artinya hukum tidak melarangnya dan tidak ada

hukumannya dalam undang-undang maka perbuatan itu tidak dianggap

sebagai tindak pidana.2

Ditinjau dari segi berat hukumannya, jarimah dapat dibagi menjadi

tiga bagian antara lain:

a. Jarimah hudud, adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had.

Hukuman had adalah hukuman yang telah di tentukan oleh syarak

dan menjadi hak Allah (hak masyarakat). Jarimah hudud ini ada

1

Wikipedia, “Jarimah”, https://id.wikipedia.org/wiki/Jarimah diakses pada 10 Juni 2016.

2

Ahmad Wardi Muslich,Pengantar dan A sas-A sas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, (Jakarta:

(28)

tujuh macam antara lain sebagia berikut: Zina, Qazaf,

Meminum-minuman keras, Mencuri, Melakuakn hirabah (gangguan keamanan),

Murtad, Pemberontak.

b. Jarimah qisas, adalah jarimah yang diancam dengan hukuman

qishash atau diat. Jarimah qisas dan diat ini ada dua macam, yaitu

pembunuhan dan penganiayaan.

c. Jarimah ta’zi>r, jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zi>r.

Hukuman ta’zi>r adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak

pidana) yang belum di tentukan oleh syara’.

Abdul Qadir Audah mengemukakan bahwa unsur-unsur umum

jarimah untuk jarimah itu ada 3 macam, yaitu:3

a. Unsur formal(al-rukn al-syar’i), yaitu adanya nash (ketentuan) yang

melarang perbuatan dan mengancamnya dengan hukuman,

b. Unsur material (al-rukn al-madi), yaitu adanya tingkah laku yang

membentuk jarimah, baik berupa perbuatan nyata (positif) maupun

tidak berbuat nyata (negatif),

c. Unsur moral (al-rukn al-adabi), yaitu bahwa pelaku adalah orang

yang mukallaf, yakni orang yang dapat dimintai pertanggung

jawaban atas tindak pidana yang dilakukannya.

Pengertian jarimah menurut syarak yang telah dikemukakan di atas,

pada lahirnya agak berbeda dengan pengertian jarimah atau tindak pidana

menurut hukum positif dalam kaitan dengan masalah hukuman ta’zi>r.

3

(29)

Menurut hukum Islam hukuman ta’zi>r adalah hukuman yang tidak

tercantum ketentuannya dalam nash dan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah,

dengan ketentuan yang pasti dan terperinci.6 Hukuman ta’zi>r

dimaksudkan untuk mencegah kerusakan dan menolak timbulnya bahaya.

Sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. al-A’raaf: 85.

Artinya: dan (kami telah mengutus) kepada penduduk Mad-yan4

saudara mereka, Syu’aib. ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. yang demikian itu lebih baik bagimu jika

betul-betul kamu orang-orang yang beriman".5

2. HukumanTa’zi>r

Menurut arti bahasa, lafaz ta’zi>r beasal dari kata : ر ﱠﺰ َﻋ yang

sinonimnya: َﻊ َﻨ َﻣ ﱠد َر َو (yang artinya mencegah atau menolak); َب ﱠدَا (yang

artinya mendidik); َﻢ َﻈ َﻋ ﱠق َو َو (yang artinya mengagungkan atau

menghormati); َن ﺎَﻋ َا َق َو ى ﱠو َﺮ َﺼ َﻧ َو (yang artinya membantu, menguatkan dan menolong). Dari keempat pengertian tersebut, yang paling relevan adalah

4

Mad-yan adalah nama putera Nabi Ibrahim a.s. kemudian menjadi nama kabilah yang terdiri dari anak cucu Mad-yan itu. Kbilah ini diam di suatu tempat yang juga dinamai Mad-yan yang terletak di pantai laut merah di tenggara gunung Sinai.

5

(30)

pengertian pertama ( mencegah atau menolak).6 Akan tetapi menurut

istilah imam al mawardi sebagaimana yang telah dikutip oleh M.Nurul

Irfan menjelaskan bahwa ta’zi>radalah hukuman bagi tindak pidana yang

belum ditentukan hukumannya oleh syarak yang bersifat mendidik.7

Maksud dari kata “mendidik” disini adalah untuk mencegah terjadinya

maksiat pada masa yang akan datang.

Wahbah Zuhaili mendefinisikan ta’zi>r yang mirip dengan definisi

Al Mawardi: Ta’zi>r adalah hukuman yang ditetapkan atas perbuatan

maksiat atau jinayah yang tidak dikenakan hukuman had dan tidak pula

kifarat.

Sedangkan Ibrahim Unais dan kawan-kawan mendefinisikan ta’zi>r

sebagai berikut: Ta’zi>radalah hukuman pendidikan yang tidak mencapai

hukuman had da syar’i.

Dari definisi-definisi yang dikemukakan diatas, jelaslah bahwa

ta’zi>r adalah suatu istilah untuk hukuman jarimah-jarimah yang

hukumanya belum ditetapkan oleh syara’ dinamakan dengan jarimah

ta’zi>r. Jadi, istilah ta’zi>r digunakan untuk huku]man dan bisa digunakan

untuk jarimah (tindak pidana).

Dari definisi tersebut, juga dipahami bahwa jarimah ta’zi>r terdiri

atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had dan

tidak pula kifarat. Dengan demikian, inti jarimahta’zi>radalah perbuatan

maksiat. Di samping itu juga hukumanta’zi>rdapat dijatuhi apabila hal itu

6

Ahmad Wardi Muslich,Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 248.

7

(31)

dikehendaki oleh kemaslahatan umum, meskipun perbuatanya bukan

maksiat, melainkan pada awalnya mubah. Perbuatan–perbuatan yang

termasuk kelompok ini tidak bisa ditentukan, karena perbuatan tersebut

tidak diharamkan karena zatnya, melainkan karena sifatnya. Apabila sifat

tersebut ada maka perbuatanya diharamkan, dan (illat) dikenakannya

hukuman atas perbuatan tersebut adalah membahayakan atau merugikan

kepentingan umum.

Apabila dalam suatu perbuatan terdapat unsur merugikan

kepentingan umum maka perbuatan tersebut dianggap jarimah dan pelaku

dikenakan hukuman. Akan tetapi apabila dalam perbuatan tersebut tidak

terdapat unsur merugikan kepentingan umum maka perbuatan tersebut

bukan jarimah dan pelakunya tidak dikenakan hukuman. Penjatuhan

hukumanta’zi>runtuk kepentingan umum ini didasarkan kepada tindakan

Rasulullah saw yang menahan seorang laki-laki yang diduga mencuri

unta. Setelah diketahui ia tidak mencurinya, Rasulullah saw

melepaskanya.8

Analisa terhadap tindakan Rasulullah saw tersebut adalah bahwa

penahanan merupakan hukuman ta’zi>r, sedangkan hukuman hanya dapat

dikenakan terhadap suatu jarimah yang telah dapat dibuktikan. Apabila

pada peristiwa tersebut tidak terdapat unsur pidana maka artinya

Rasulullah saw mengenakan hukuman penjara/ penahanan hanya karena

tuduhan semata-mata.

8

(32)

Hal ini mengandung arti bahwa Rasulullah saw membolehkan

penjatuhan hukuman terhadap seseorang yang berada di posisi tersangka,

meskipun ia tidak melakukan perbuatan yang dilarang. Tindakan yang

diambil Rasulullah tersebut dibenarkan oleh kepentingan umum, sebab

membiarkan si tersangka hidup bebas sebelum dilakukan penyelidikan

tentang kebenaran tuduhan terhadap dirinya bisa mengakibatkan ia lari,

dan bisa juga menyebabkan dijatuhkan vonis yang tidak benar terhadap

dirinya, atau menyebabkan tidak dapat dijalankannya hukuman yang

telah diputuskan.

3. Dasar hukumTa’zi>r

Ta’zi>radalah hukuman yang bersifat mendidik atas perbuatan dosan

yang belum dutetapkan oleh syarak atau hukuman yang di serahkan

kepada hakim dasar hukum ta’zi>r adalah pertimbangan kemaslahatan

dengan mengacu pada prinsip keadilan. Dalam menetapkan jarimahta’zi>r

prinsip utama yang menjadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan

umum dan melindungi masyarakat dari kemadharatan. Disamping itu

penegakan jarimahta’zi>rharus sesuai dengan prinsip syar’i.

Pada jarimah ta’zi>ral quran dan al hadis tidak menerapkan secara

terperinci, baik dari segi bentuk jarimah maupun hukumannya9 Dasar

hukum disyariatkannya saknsi bagi pelaku jarimahta’zi>radalah at –ta’zi>r

yadurru ma’a maslahah. Artinya hukuman ta’zi>r didasarkan pada

pertimbangan kemaslahatan dengan tetap mengacu kepada prinsip

9

(33)

keadilan dalam masyarakat.10 Mengenai hukuman ta’zi>rbanyak terdapat

dalam beberapa hadis antara lain hadis Nabi yang diriwayatkan oleh

Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah:

.

)

(

Artinya: Dari‘Aisyah bahwasanya Nabi saw bersabda:

”Ampunkan-lah gelinciran orang-orang yang baik-baik kecuali had-had.”

(Riwayat Ahmad, Abu Daud, An-Nasai, dan Baihakki).11

Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Bahz ibn Hakim :

,

)

(

Artinya: Dari Bahz ibn Hakim dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi saw menahan seseorang karena disangka melakukan kejahatan. (Hadits diriwayatkan oleh Abu Daud, Turmudzi, Nasa’i, dan

Baihaqi, serta dishahihkan oleh Hakim).12

Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Burdah :

:

.

)

(

A rtinya:Dari Abu Burdah Al Anshari r.a., katanya dia mendengar

Rasulullah saw bersabda : “Sesorang tidak boleh didera lebih dari

sepuluh kali, melainkan hukuman yang telah nyata ditetapkan Allah, seperti hukuman bagi orang berzina dan sebagainya.” (Riwayat Muslim).13

10

Makhrus Munajat, Reaktualisasi Pemikiran Hukum Pidana Islam, (Yogyakarta: Cakrawala,

2006), 182-183.

11

Al-Asqalany Ibnu Hajar,Terjemah Bulughul Maram, Cet. 26, (Bandung: CV. Penerbit

Diponegoro, 2002), 576-577.

12

Teuku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy,Koleksi Hadis-Hadis Hukum, Juz IX, (Semarang: PT.

Pustaka Rizki Putra, 2001), 202.

13

(34)

B. Macam-macam JarimahTa’zi>r

Menurut Abd Qodir Awdah, jarimahta’zi>r terbagi menjadi tiga:14

Pertama, Jarimah ta’zi>r yang berasal dari jarimah-jarimah hudud dan

qishash, tetapi syarat-syarat tidak terpenuhi, atau ada syubhat, seperti

pencurian yang tidak mencapai nishab, atau oleh keluarga sendiri. Kedua,

Jarimahta’zi>ryang jenisnya disebutkan dalam syara’ tetapi hukumnya belum

ditetapkan, seperti riba, suap, dan mengurangi takaran dan timbangan.Ketiga

Jarimah ta’zi>r yang baik jenis maupun sanksinya belum ditetapkan oleh

syarak. Jenis ketiga ini sepenuhnya diserahkan kepada ulil amri, seperti

pelanggaran disiplin pegawai pemerintah.

Para Ulama membagi jarimahta’zi>rmenjadi dua bagian, yaitu:

1. Jarimahta’zi>ryang berkaitan dengan hak Allah.

2. Jarimahta’zi>ryang berkaitan hak individu.

Dari segi sifatnya, jarimahta’zi>rdapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu:

1. Ta’zi>rkarena melakukan perbuatan maksiat.

2. Ta’zi>r karena melakukan perbuatan yang membahayakan kepentingan

umum.

3. Ta’zi>r yang melakukan pelanggaran (mukhalafah) Di samping itu,

dilihat dari segi dasar hukum (penetapanya).

Abdul Aziz Amir membagi jarimah ta’zi>rsecara rinci kepada beberapa

bagian, yaitu:

1. Jarimahta’zi>ryang berkaitan dengan pembunuhan.

14

(35)

2. Jarimahta’zi>ryang berkaitan dengan pelukaan.

3. Jarimah ta’zi>r yang berkaitan dengan kejahatan terhadap kehormatan

dan kerusakan akhlak.

4. Jarimahta’zi>ryang berkaitan dengan harta.

5. Jarimahta’zi>ryang berkaitan dengan kemaslahatan individu.

6. Jarimahta’zi>ryang berkaitan dengan kemaslahatan umum.

C. Macam-macam HukumanTa’zi>r

Hukuman-hukuman ta’zi>r banyak jumlahnya, yang dimulai dari

hukuman paling ringan sampai hukuman yang yang terberat. Hakim diberi

wewenang untuk memilih diantara hukuman hukuman tersebut, yaitu

hukuman yang sesuai dengan keadaan jarimah serta diri pembuatnya.

Macam-macam Hukumanta’zi>rantara lain:15

1. Hukuman Mati

Pada dasarnya menurut syari’ah Islam, hukuman ta’zi>r adalah

untuk memberikan pengajaran (ta’dib) atau mendidik . Oleh karena itu,

dalam hukum ta’zi>r tidak boleh ada pemotongan anggota badan atau

penghilangan nyawa. Akan tetapi beberapa fuqoha memberikan

pengecualian dari aturan umum tersebut, yaitu diperbolehkannya

hukuman mati jika kepentingan umum menghendaki demikian, atau

kalau pemberantasan tidak bisa terlaksana kecuali dengan jalan

membunuhnya, seperti mata mata, pembuat fitnah, penyebar aliran

sesat yang menyimpang dari al Quran dan asSunah, residivis yang

15

(36)

membahayakan. namun menurut sebagian fuqoha yang lain, di dalam

jarimahta’zi>rtidak ada hukuman mati. Hanafiyah membolehkan kepada

ulil amri untuk menerapkan hukuman mati sebagai ta’zi>r dalam

jarimah-jarimah yang jenisnya diancam dengan hukuman mati apabila

jarimah tersebut dilakukan berulang-ulang. Contohya pencurian yang

dilakukan oleh kafir dzimi, meskipun setelah itu ia masuk Islam.

Malikiyah juga membolehkan hukuman mati sebagai ta’zi>runtuk

jarimah-jarimah ta’zi>r tertentu, seperti spionase dan melakukan

kerusakan dimuka bumi. Pendapat ini juga dikemukakan oleh sebagian

para fuqaha Hanabilah, seperti Imam Ibn Uqail.

Sebagian ulama syafi’iyah membolehkan hukuman mati sebagai

ta’zi>runtuk jarimah-jarimahta’zi>rdalam kasus penyebaran aliran sesat

yang mennyimpang dari ajaran al Quran dan asSunah. Demikiam pula

hukuman mati bisa diterapkan kepada pelaku homo seksual dengan

tidak membedakan antaramukhsandan ghairu muhshan.

Dari uraian tersebut jelas bahwa hukuman mati untuk jarimah

ta’zi>r, hanya dilakssanakaan dalam jarimah-jarimah yang sangat berat

dan berbahaya, dengan syarat-syarat sebagai berikut:

a. Bila pelaku adalah residivis yang tidak mempan oleh

hukuman-hukuman hudud selain hukuman-hukuman mati.

b. Harus dipertimbangkan betul-betul dampak kemaslahatan

terhadap masyarakat dan pencegahan terhadap kerusakan yang

(37)

Adapun alat yang digunakan untuk melaksanakan hukuman mati

sebagai ta’zi>r tidak ada keterangan yang pasti. Ada yang mengatakan

boleh dengan pedang ada pula yang mengatakan dengan alat yang lain,

namum kebanyakan ulama memilih pedang sebagai alat eksekusi,

karena pedang mudah digunakan dan tidak menganiaya terhukum,

karena kematian terhukum dengan pedang lebih cepat.

2. Hukuman Jilid

Dikalangan fuqoha terjadi perbedaan tentang batas tertinggi

hukuman jilid dalam ta’zi>r. Menurut pendapat yang terkenal di

kalangan ulama’ Maliki, batas tertinggi diserahkan kepada penguasa

karena hukuman ta’zi>r didasarkan atas kemaslahatan masyarakat dan

atas dasar berat ringannya jarimah. Imam Abu Hanifah dan Muhammad

berpendapat bahwa batas tertinggi hukuman jilid dalamta’zi>radalah 39

kali, dan menurut Abu Yusuf adalah 75 kali.

Sedangkan di kalangan madzhab Syafi’i ada tiga pendapat.

Pendapat pertama sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan

Muhammad. Pendapat kedua sama dengan pendapat Abu Yusuf.

Sedangkan pendapat ketiga, hukuman jilid pada ta’zi>rboleh lebih dari

75 kali, tetapi tidak sampai seratus kali, dengan syarat bahwa jarimah

ta’zi>r yang dilakukan hampir sejenis dengan jarimah hudud. Dalam

madzhab Hambali ada lima pendapat. Tiga di antaranya sama dengan

pendapat madzhab Syafi’i di atas. Pendapat ke empat mengatakan

(38)

menyamai hukuman yang dijatuhkan terhadap jarimah lain yang sejenis,

tetapi tidak boleh melebihi hukuman jarimah lain yang tidak sejenisnya.

Pendapat ke lima mengatakan bahwa hukuman ta’zi>r tidak boleh lebih

dari 10 kali.

Adapun sifat atau cara pelaksanaan hukuman jilid masih

diperselisihkan oleh para fuqaha. Menurut hanafiyah, jilid sebagaita’zi>r

harus dicambukkan lebih keras dari pada jilid dalam had agar dengan

ta,zir orang uang terhukum akan menjadi jera, disamping karna

jumlahnya yang lebih sedikit daripada dalam had. Alasan yang lain

adalah bahwa semakin keras cambukan itu semakin menjerahkan. Akan

tetapi, ulama Hanafiyah menyamakan sifat jilid dalam ta’zi>r dengan

sifat jilid dalam had dan hudud.16

Apabila orang yang dihukm ta’zi>r itu laki laki maka baju yang

menghalangi sampainya cambuk ke kulit harus dibuka. Akan tetapi,

apabila terhukum itu seorang perempuan maka bajunya tidak boleh

dibuka, karena jika demikian terbukalah auratnya.

Pukulan atau cambukan tidak boleh diarahkan ke muka, farji, dan

kepala melainkan kebagian punggung. Imam Abu Yusuf menambahkan

tidak boleh mencambuk bagian dada dan perut, karena pukulan ke

bagian tersebut bisa membahayakn keselamatan orang yang terhukum,17

Selain itu, hukuman jilid tidak boleh sampai menimbulkan cacat

dan membahayakan organ-organ tubuh orang yang terhukum, apalagi

16

H. A. Djazuli,Fiqh Jinayah, Cet. 2, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), 196-197.

17

(39)

sampai membahayakan keselamatannya, karena tujuannya adalah

member pelajaran dan pendidikan kepadanya.

Alat yang digunakan untuk hukuman jilid ini adalah cambuk yang

pertengahan (sedang, tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil) atau

tongkat.

3. Hukuman- Kawalan (Kurungan atau Penjara)

Ada dua macam hukuman kawalan dalam hukum Islam.

Pembagian ini didasarkan pada lama waktu hukuman. Pertama,

Hukuman kawalan terbatas. Batas 30 terendah hukuman ini adalah satu

hari, sedang batas tertinggi, ulama berbeda pendapat. Menurut pendapat

beberapa ulama menetapkan batas tertingginya satu tahun, karena

mereka mempersamakannya dengan pengasingan dalam jarimah zina.

Sementara ulama’ ulama’ lain menyerahkan semuanya pada penguasa

berdasarkan maslahat. Kedua, Hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah

disepakati bahwa hukuman kawalan ini tidak ditentukan masanya

terlebih dahulu, melainkan berlangsung terus sampai terhukum mati

atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman ini

adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang berulang-ulang

melakukan jarimah-jarimah yang berbahaya.

4. Hukuman Pengasingan

Hukuman pengasingan merupakan salah satu jenis hukumanta’zi>r.

(40)

dalam praktiknya, hukuman tersebut diterapkan juga sebagai hukuman

ta’zi>r.

Hukuman pengasingan ini dijatuhakn kepada pelaku jarimah yang

dikhawatirkan berpengaruh kepada orang lain sehingga pelakunya harus

dibuang (diasingkan) untuk menghindarkan dari pengaruh-pengaruh

tersebut.

Lamanya (masa) pengasingan juga tidak ada kesepakatan

dikalangan fuqaha. Menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, masa

pengasingan tidak boleh lebih dari satu tahun agar tidak melebihi masa

pengasingan dalam jarimah zina yang merupakan hukuman had.

5. Hukuman Salib

Sanksi ini berlaku dalam suatu kondisi, yaitu jika sanksi bagi

pelaku kejahatan adalah hukuman mati. Maka boleh dijatuhi hukuman

salib. Pelaku tidak dilarang makan minum, tidak dilarang mengerjakan

wudhu, tetapi dalam menjalankan salat cukup dengan isyarat. Dalam

penyaliban ini, menurut fuqaha tidak lebih dari tiga hari. Diantara sumber

hukumnya adalah sunnah fi’liyah, di mana Nabi pernah menjatuhkan

hukuman salib sebagai ta’zir yang dilakukan di suatu pegunungan Abu

Nab.18

6. Hukuman Pengucilan

Hukuman pengucilan merupakan salah satu jenis hukuman ta’zi>r

yang disyari’atkan oleh Islam. Dalam sejarah, Rasulullah pernah

18

(41)

melakukan hukuman pengucilan terhadap tiga orang yang tidak ikut

serta dalam perang Tabuk, yaitu Ka’ab bin Malik, Miroroh bin Rubai’ah,

dan Hilal bin Umaiyah. Mereka dikucilkan selama lima puluh hari tanpa

diajak bicar.

7. Hukuman Denda (tahdid)

Hukuman Denda ditetapkan juga oleh syari’at Islam sebagai

hukuman jarimah ta’zi>r. Antara lain mengenai pencurian buah yang

masih tergantung dipohonnya, hukumannya didenda dengan lipat dua

kali harga buah tersebut, disamping hukuman lain yang sesuai dengan

perbuatannya tersebut. Hukuman yang sama juga dikenakan terhadap

orang yang menyembunyikan barang hilang.

Disamping hukuman-hukuman yang telah disebutkan, terdapat

hukuman-hukuman ta’zi>r yang lain. Hukuman-hukuman tersebut adalah

sebagai berikut.

1. Peringatan keras.

2. Dihadirkan di hadapan sidang.

3. Nasihat.

4. Celaan.

5. Pengucilan.

6. Pemecatan.

7. Pengumuman kesalahan secara terbuka.

Hukuman-hukuman diatas bisa diterapkan untuk semua jenis jarimah

(42)

tidak bisa diterapkan pada setiap jarimah ta’zi>r. Diantara hukuman tersebut

adalah hukuman pemecatan dari jabatan atau pekerjaan, pencabutan hak-hak

tertentu, perampasan alat-alat yang digunakan untuk melakukan jarimah, dan

lain-lain.

Dalam hukum pidana Islam kasus penggunaan bahan peledak dalam

menangkap ikan masuk dalam jarimah ta’zir kemaslahatan umum karena

berkaitan dengan perusakan lingkungan termasuk dalam jarimah ta’ziryang

berkaitan dengan hak Allah yaitu segala sesuatu yang yang berkaitan dengan

kemaslahatan umum. Islam mengajarkan agar umat manusia senantiasa

menjaga lingkungan, karena Allah SWT menciptakan bumi beserta isi nya

untuk diolah dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, bukan malah

sebaliknya dirusak. Merusak lingkungan hidup bisa berdampak yang sangat

besar, oleh karena itu Islam sangat melarang umatnya melakukan kerusakan

lingkungan. Masyarakat Indonesia belum sadar bahwa krisis multidimensi

dan bencana yang datang bertubi-tubi seperti tanah longsor, banjir,

kekeringan, kebakaran hutan, dan lainnya adalah karena ulah manusia

sendiri.19

Salah satu contoh kegiatan yang merusak lingkungan yaitu menangkap

ikan dengan menggunakan bahan peledak, penggunaan bahan peledak dalam

menangkap ikan sangat dilarang karena dapat merugikan perekonomian dan

merusak ekosistem laut seperti rusaknya terumbu karang yang menjadi

19

(43)

habitat bagi ikan, trumbu karang akan hancur apabila terkena bahan peledak

dan untuk memulihkan kembali terumbu karang yang rusak butuh waktu

yang sangat lama antar 6-24 bulan dan juga membutuhkan biaya yang banyak

untuk melakukan penanaman kembali terumbu karang yang rusak, selain

rusaknya terumbu karang, penggunaan bahan peledak juga dapat

menyebabkan matinya biota laut lainnya yang bukan target dari penangkapan

padahal keberadaan biota laut, terutama ikan sangat diperlukan untuk

memenuhi kebutuhan protein masyarakat, apabila penggunaan bahan peledak

dalam menangkap ikan terus dilakukan maka lambat laun akan terjadi

penurunan populasi biota laut seperti alga, protozoa terutama ikan dan

populasinya akan punah jika hal itu terus terjadi. Akibat dari penggunaan

bahan peledak dalam menangkap ikan tingkat pendapatan nelayan dan

(44)

BAB III

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN PT. PALU No. 72/Pid.Sus/2015/PT PAL TENTANG TINDAK PIDANA PENGGUNAAN

BAHAN PELEDAK DALAM MENANGAP IKAN

A. Deskripsi Dasar Hukum yang Digunakan untuk Pertimbangan Hakim dalam Putusan PT. PALU No. 72/Pid.Sus/2015/PT PAL tentang Penggunaan Bahan Peledak Dalam Menangkap Ikan

Dalam UU Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup Pasal 1

angka 14 UULPH menyatakan bahwa unsur-unsur dari perbuatan perusakan

lingkungan hidup tersebut adalah sebagai berikut:

1. Adanya tindakan

2. Yang menimbulkan perbuatan langsung atau sifat fisik dan/atau

hayati lingkungan

3. Yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi

dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan. Perbuatan

lain yang melanggar ketentuan perundang undangan yang

berlaku.

Kemudian pada bagian ketiga pasal 53 UULPH ayat 1 bahwa setiap

orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup

wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan

lingkungan hidup. Pada pasal 54 ayat 1 juga dijelaskan bahwa setiap orang

yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib

(45)

Salah satu bentuk tindakan pencegahan adalah memberikan

peringatan kepada semua orang, baik sebagai pengusaha, pemilik kapal,

nahkoda kapal untuk menghindari penggunaan bahan peledak dan

semacamnya dalam usaha penangkapan ikan.

Hal ini telah diatur dalam Pasal 8 ayat 1 UU No.45 Tahun 2009

perubahan atas Undang-Undang Nomor UU No.31 Tahun 2004 yang

menyatakan:

Setiap orang dilarang melakukan penangkapan ikan dan/atau

pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis,

bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan

dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau

lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.

Adapun ancaman hukuman bagi pelaku penggunaan bahan peledak

dalam menangkap ikan diatur dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009

tentang perikanan pasal 84 menyebutkan:

Setiap orang yang dengan sengaja memiliki, di wilayah pengelolaan

Republik Indonesia melakukan penagkapan ikan dan/atau pembudidayaan

ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat

dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau

membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya

sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1). Dipidana dengan pidana

penjara paling lama 6 (enam) tahun penjara dan denda paling banyak

(46)

Kasus putusan penggadilan tinggi palu ini berawal pada saat terjadinya

tindak pidana penggunaan bahan peledak dalam menangkap ikan yang

dilakukan oleh terdakwa I Sardin alias Papa Bohang dan terdakwa II Keke

alias Papa Ingin bersama terdakwa lain yang disidangkan terpisah Munu N

alias Herman melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan

peledak berdaya ledak tinggi.1 berawal pada hari Senin tanggal 23 Maret

2015 sekitar jam 07.00 wita saksi Munu N alias Herman melakukan perakitan

bom ikan sendiri dirumahnya. Munu N alias Herman merakit bom ikan

dengan cara menyiapkan bahan-bahan berupa Macis ( korek api kayu),

benang, kabel panjang, Acu, Botol, Balon Senter, Pupuk Matahari, Bensin,

Sabun Cap Tangan, Anti nyamuk Bakar, Macis / Korek api Gas, sandal yang

sudah dibentuk menjadi penutup botol, timah rokok dan juga plastik.

Kemudian saksi Munu N alias Herman membuat / merakit alat-alat tersebut

menjadi bahan peledak dengan cara:

1. Dopis / Pemicu Api

Awalnya saksi Munu N alias Herman menghaluskan serbuk

korek api kayu dengan menggunakan pisau, kemudian saksi Munu N

alias Herman juga menghaluskan pemicu api yang terdapat pada kedua

sisi kotak korek api kayu tersebut sehingga menjadi halus dan

dicampurkan dengan serbuk korek api kayu yang sudah halus dan

kemudian saksi Munu N alias Herman merakit / membuat dua jeni

Dopis yang jumlah keseluruhanya adalah 9 buah Dopis yaitu :

1

(47)

a. Dopis dengan sistem Kontak.

Campuran serbuk korek api dan pemicu api pada sisi kotak

macis / korek api kayu di masukkan kedalam balon senter sebagai

pemicu api yang sudah dipecahkan kacanya kemudian dibungkus

dengan menggunakan kertas timah pembungkus rokok setelah itu,

balon senter yang sudah dirakit menjadi Dopis tersebut di bungkus

lagi dengan menggunakan plastik agar pada saat digunakan

didalam laut Dopis tersebut tidak masuk air yang dapat

menyebabkan Dopis tidak bisa berfungsi.

b. Dopis dengan sistem Sumbu Bakar.

Campuran serbuk korek api dan pemicu api tersebut

dibungkus dengan menggunakan kertas timah pembungkus rokok

yang sudah di bentuk / di modifikasi kemudian diikat dengan

menggunakan benang, setelah itu dopis tersebut dibungkus lagi

menggunakan plastik kemudian diikat mengunakan benang.

2. Campuran Pupuk Matahari.

Awalnya saksi Munu N alias Herman menyiapkan pupuk

matahari sebanyak 2 (dua) kilogram, kemudian saksi Munu N alias

Herman mencampurkan pupuk matahari tersebut dengan menggunakan

Bensin. Setelah itu saksi Munu N alias Herman memasukkan campuran

Pupuk matahari tersebut kedalam botol Sprite sebanyak 9 Botol yan

sudah diisi dengan pasir dengan maksud mengurangi Volume dari boto

(48)

3. Cara merakit Bom.

a. Cara merakit Bom dengan system Bakar.

Awalnya campuran pupuk matahari di masukkan kedala Botol

Sprite sebagai Casing / Wadah dari bom, setelah itu botol tersebut

ditutup dengan menggunakan sandal yang sudah dilobangi ditengah

kemudian lobang pada sandal tersebut di isi dengan Dopis system

Bakar, Kemudian ditutup dengan menggunakan Plastik dan diikat

menggunakan benang. Cara kerja bom tersebut yaitu Sumbu bom

yang terbuat dari Timah Rokok / Dopis di bakar dengan

menggunakan Anti nyamuk Bakar setelah itu di buang ke laut dan

akan terjadi Ledakan.

b. Cara merakit Bom dengan system Kontak.

Awalnya campuran pupuk matahari dimasukkan kedalan Botol

Sprite, setelah itu botol tersebut ditutup dengan menggunakan

Sandal yang sudah di bentuk dan dilobangi di tengah kemudian di

lobang tersebut diletakkan Dopis dengan system Kontak kemudian

di rekatkan dengan menggunakan sabun cap tangan agar tidak

masuk air dan dibungkus menggunakan plastik setelah itu di ikat

dengan menggunakan benang. Cara kerja Bom tersebut adalah

menyambungkan kabel ke Dopis Balon pada botol bom kemudian

kabel tersebut di kontak ke Acu sebagai power untuk memicu Dopis

(49)

menjadi bom ikan, maka hasil racikan tersebut menjadi 9 (sembilan)

buah bom ikan.2

Sekitar jam 08.00 wita setelah bom selesai dibuat oloeh terdakwa, lalu

saksi Munu N alias Herman memanggil terdakwa I dan terdakwa II

kerumahnya untuk menemani saksi Munu N alias Herman untuk melaut dan

pada saaat itu saksi Munu N alias Herman mengatakan kepada terdakwa I

dan terdakwa II“kita turun jam 2, pigi ba bom”, kemudian pada pukul 02.00

wita tepatnya pada tanggal 24 maret 2015 dini hari para terdakwa berangkat

kelaut dari Ds. Poli, Kec. Tinombo selatan menuju laut Ds. Kasimbar, Kec.

Kasimbar dengan menggunakan perahu milik saksi Munu N alias Herman

untuk menangkap ikan dengan membawa bahan peledak berdaya ledak tinggi

yang telah disisapkan untuk menangkap ikan.

Saksi Munu N alias Herman bersama terdakwa I dan terdakwa II

berangkat dari Desa Poli Kec. Tinombo Selatan menuju laut Ds. Kasimbar,

Kec. Kasimbar, setelah sampai di daerah yang diperkirakan banyak ikannya

oleh terdakwa, lalu saksi Munu N alias Herman menyuruh Terdakwa II Keke

alias Papa Ingin untuk menyelam ikan, setelah menyelam lalu Terdakwa II

Keke alias Papa Ingin naik kembali ke perahu dan menyampaikan “ada ikan”,

kemudian saksi Munu N alias Herman menurunkan bom kontak yang telah

saksi Munu N alias Herman persiapkan lalu saksi Munu N alias Herman

meledakkan bom tersebut dari atas perahu, kemudian setelah bom meledak

terdakwa I dan terdakwa II menyelam untuk mengambil ikan yang mati

2

(50)

terkena bom, setelah ikan selesai diambil oleh terdakwa I dan terdakwa II

kemudian terdakwa I dan terdakwa II kembali naik ke atas perahu selanjutnya

saksi Munu N alias Herman kembali menurunkan bom ikan kedua kalinya

setelah bom meledak terdakwa I dan terdakwa II menyelam untuk mengambil

ikan yang mati terkena bom.

Setelah ikan selesai diambil oleh terdakwa I dan terdakwa II kemudian

terdakwa I dan terdakwa II kembali naik ke atas perahu, selanjutnya saksi

Munu N alias Herman kembali menurunkan bom ikan ketiga kalinya

dankembali terdakwa I dan terdakwa II menyelam untuk mengambil ikan

yang mati terkena bom, jumlah ikan yang di dapat pada saat itu sebanyak 76

(tujuh puluh enam) ekor, kemudian sekitar jam 04.00 wita datang petugas

kepolisian bersama dengan masyarakat Ds. Kasimbar menangkap terdakwa,

yang pada saat itu terdakwa I dan terdakwa II masih menyelam untuk

mengambil ikan, kemudian setelah itu saksi Munu N alias Herman bersama

dengan terdakwa I dan terdakwa II di bawa ke kantor kepolisian sektor

Kasimbar bersama dengan barang bukti yang digunakan untuk melakukan

pengeboman ikan3. Dari tindakan tersebut terdakwa I dan terdakwa II Sardin

alias Papa Bohang dan Keke alias Papa Ingin dituntut oleh jaksa penuntut

umum, diancam dengan pasal Pasal 84 Ayat (1) UU No. 31 Tahun 2004

tentang perikanan Jo UU No. 45 tahun 2009 tentang perubahan atas UU No

31 Tahun 2004 tentang perikanan Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP yaitu 6

3

(51)

Tahun dan denda paling banyak sebesar Rp. 1.200.000.000,- ( satu milyar dua

ratus juta rupiah ).

Dilihat dari dakwaan tersebut, Pengadilan Negeri Parigi menjatuhkan

putusan No. 85/Pid.Sus/2015/PN.Prg pada tanggal 08 September 2015, yang

amarnya berbunyi, bahwa terdakwa I dan II Sardin alias Papa Bohang dan

Keke alias Papa Ingin telah terbukti telah melakukan tindak pidana

“penggunaan bahan peledak dalam menangkap ikan”. Dan menjatuhkan

pidana penjara terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 8 (delapan)

bulan.

Terhadap putusan Pengadilan Negeri Parigi diatas Jaksa Penuntut

Umum mengajukan banding. setelah Pengadilan Tinggi mempelajari berkas

perkara, turunan resmi Putusan Pengadilan Negeri Parigi Nomor 85/

Pid.Sus/2015/PN.Prg, tanggal 08 September 2015 dan memori banding,

Pengadilan Tinggi sependapat dengan pertimbangan hukum dan amar

putusan Majelis Hakim Tingkat Pertama yang menyatakan Para Terdakwa

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

melakukan penangkapan ikan diwilayah perairan Indonesia dengan

menggunakan bahan peledak yang dilakukan oleh nelayan kecil serta pidana

yang dijatuhkan terhadap para Terdakwa, karena pertimbangan Majelis

Hakim Tingkat Pertama dalam perkara ini telah tepat dan benar sesuai

dengan ketentuan hukum yang berlaku, oleh karenanya pertimbangan

tersebut disetujui dan diambil alih oleh Pengadilan Tinggi dan dijadikan

(52)

Selain itu Majelis Hakim Pengadilan Negeri Parigi telah tepat dalam

merumuskan kualifikasi mengenai tindak pidana yang telah terbukti tersebut.

Mengenai tuntutan yang diajukan oleh Jaksa penuntut umum,

Pengadilan Tinggi sependapat dengan tuntutan yang diajukan, karena dinilai

sepadan dengan akibat yang ditimbulkan dari perbuatan terdakwa.

Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas maka putusan Pengadilan Negeri

Parigi yang telah disempurnakan yang dimintakan banding tersebut dapat

dipertahankan oleh karena itu harus dikuatkan. Memperhatikan, Pasal-Pasal

100 b UU No. 45 tahun 2009 tentang perubahan atas UU No. 31 tahun 2004

tentang perikanan Jo. Pasal 8 UU No.31 tahun 2004 tentang perikanan Jo.

Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana serta peraturan, Pengadilan Tinggi menjatuhkan

putusan No. 72/ Pid.Sus/2015/PT.PAL yang amarnya adalah Menerima

Permintaan banding dari Jaksa penuntut umum tersebut Menguatkan Putusan

Pengadilan Negeri Parigi Nomor 85/Pid.Sus/2015/PN.PRG tanggal 08

September 2015 yang dimintakan banding tersebut Menetapkan masa

penahanan yang telah dijalani para terdakwa dikurangkan seluruhnya dari

pidana yang dijatuhkan memerintahkan para terdakwa tetap berada dalam

tahanan.

Dari putusan Pengadilan Tinggi tersebut, terdakwa menerima dan

(53)

B. Pertimbangan Hakim Terhadap putusan Pengadilan Tinggi Palu No. 72/Pid.Sus/2015/PT PAL

Berdasarkan pada akta tentang permintaan banding No.

05/Akta.Pid/2015/PN.PRG, bahwa tanggal 15 sptember 2015 Jaksa penuntut

umum mengajukan memori banding dan permintaan banding dari Jaksa

Penuntut Umum telah disampaikan kepada terdakwa pada tanggal 17

September 2015, sbagaimana akta permintaan banding No.

05/Akta.Pid/2015/PN.PRG Jaksa Penuntut Umum telah mengajukan memori

Banding pada tanggal 09 Oktober 2015 yang diterima Panitera Pengadilan

Negeri yang diberitahukan kepada terdakwa tanggal 20 Oktober 2015 bahwa

penuntut umum mengajukan permintaan banding terhadap putusan

Pengadilan Negeri Parigi.

Adapun alasan-alasan yang dikemukakan oleh Jaksa penuntut umum

dalam memori bandingnya sebagai berikut:

1. Bahwa perbuatan para terdakwa telah memenuhi unsur-unsur yang

terkandung dalam pasal kedua Primair dimana dalam teorinya bahwa

pasal yang diletakkan dalam pasal primair adalah pasal dengan ancaman

pidananya lebih tinggi sedangkan pasal yang lebih rendah ancaman

pidananya diletakkan pada pasal subsidair, sehingga dalam pasal kedua

primair tersebut adalah pasal 84 Ayat (1) UU No. 31 Tahun 2004

tentang perikanan Jo UU No. 45 tahun 2009 tentang perubahan atas UU

No 31 Tahun 2004 tentang perikanan JoPasal55 Ayat (1) Ke-1 KUHP,

Referensi

Dokumen terkait

ANALISIS KOMPETENSI PEKERJA LULUSAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN SEBAGAI IMPLEMENTASI PROGRAM PRAKTEK KERJA INDUSTRI.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Himpunan A dikatakan himpunan bagian (subset) dari himpunan B, jika setiap anggota dari A juga merupakan anggota dari B, ditulis A B... Kesamaan

Seseorang yang mempunyai kemampuan interpersonal memadai akan menjadi pelaku tari yang baik. Ini disebabkan seperti Edi Sedyawati katakan bahwa rasa indah yang dihayati kemudian

Five of them ( single letters can replace words, single digits can replace words, a single letter or digit can replace a syllable, combinations, and abbreviations ) were the

Penguasaan konsep siswa di kelas eksperimen yang menggunakan model pembelajaran berbasis praktikum dengan pendekatan inkuiri dan di kelas kontrol dengan menggunakan

Judul Tesis Analisis Pemanfaatan Ruang Kawasan Pesisir Teluk Lampung Propinsi Lampung.. Aminudin 98426

Saran, para guru dapat menggunakan software CNC Bubut KELLER Q plus sebagai media pembelajaran program diklat mesin bubut CNC karena siswa lebih mudah dalam memahami materi

1) Syarat edukatif yaitu; a) pembuatan APE disesuaikan dan dengan memperhatikan program kegiatan pembelajaran atau kurikulum yang berlaku, b) pembuatan APE disesuaikan