• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis hukum Islam dan Undang-Undang no.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen terhadap praktik jual beli barang kadaluwarsa yang tidak dapat dikembalikan di Toko Hidayah Surabaya.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis hukum Islam dan Undang-Undang no.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen terhadap praktik jual beli barang kadaluwarsa yang tidak dapat dikembalikan di Toko Hidayah Surabaya."

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Olehs Nia Rahmadhani NIM. C02213054

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syari’ah dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Ekonomi Syari’ah Surabaya

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul “Analisis Hukum Islam dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Terhadap Praktik Jual Beli Barang

Kadaluwarsa yang Tidak Dapat Dikembalikan di Toko Hidayah Surabaya” ini

merupakan hasil penelitian kualitatif untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana praktik jual beli barang kadaluwarsa yang tidak dapat dikembalikan di toko Hidayah dan bagaimana hukum Islam dan Undang-Undang No. 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen terhadap jual beli barang kadaluwarsa yang tidak dapat dikembalikan di toko Hidayah Surabaya.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan analisis data menggunakan deskriptif yakni menggambarkan kondisi, situasi atau fenomena yang tertuang dalam data yang diperoleh tentang faktor dan mekanisme jual beli barang kadaluwarsa yang tidak dapat dikembalikan di toko Hidayah Surabaya dan di analisis dengan perspektif hukum Islam. Proses analisis data dalam penelitian ini menggunakan pola pikir deduktif, yaitu menganalisis data praktik jual beli barang kadaluwarsa yang tidak dapat dikembalikan dengan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Hukum Islam.

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: pertama, dalam praktiknya barang kadaluwarsa yang menjadi objek jual beli di toko Hidayah Surabaya tidak boleh dikembalikan ketika konsumen secara langsung memilih barangnya sendiri di toko, sedangkan boleh dikembalikan jika kosumen melakukan order melalui telepon; kedua, praktik jual beli barang kadaluwarsa yang tidak boleh dikembalikan ini tidak diperbolehkan menurut Hukum Islam, karena tidak sesuai

dengan akad jual beli yang di dalamnya terdapat khiya>r, yaitu khiya>r aib, di mana

ketika barang mengalami kecacatan (kadaluwarsa), maka boleh dikembalikan. Selain itu, dalam pasal 8 ayat 4 Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga ditegaskan adanya larangan pelaku usaha untuk memperdagangkan barang kadaluwarsa dan wajib menariknya dari peredaran.

(7)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

viii

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TRANSLITERASI ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 9

C. Rumusan Masalah ... 10

D. Kajian Pustaka ... 10

E. Tujuan Penelitian ... 13

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 13

G. Definisi Operasional ... 14

H. Metode Penelitian ... 15

I. KarakteristikObyekPenelitian ... 19

J. Sistematika Pembahasan ... 20

BAB II TEORI JUAL BELI DAN KHIYA>R MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN ... 22

A. JualBeli ... 22

1. Pengertian ... 22

2. DasarHukum ... 24

(8)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

ix

B. Khiya>r ... 31

1. Pengertian ... 31

2. DasarHukum ... 32

3. Macam-Macam ... 32

C. KetentuanJualBelimenurutUndang-UndangPerlindungan Konsumen ... 37

1. Pengertian JualBeliMenurut UUPK ... 37

2. FilosofiLahirnya UUPK ... 39

3. AsasdanTujuanPerlindunganKonsumen ... 41

4. HakdanKewajibanKonsumen ... 43

5. HakdanKewajibanPelaku Usaha ... 45

6. Perbuatan yang DilarangBagiPelaku Usaha ... 46

7. KetentuanMengenaiSanksiDalam UUPK ... 48

BAB III PRAKTIK PELAKSANAAN JUAL BELI DI TOKO HIDAYAH SURABAYA ... 50

A. Gambaran UmumTokoHidayah ... 50

B. PelaksanaanPraktikJualBeliBarangKadaluwarsa Di Toko Hidayah Surabaya... 52

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PRAKTIK JUAL BELI BARANG KADALUARSA YANG TIDAK DAPAT DIKEMBALIKAN DI TOKO HIDAYAH SURABAYA ... 57

A. AnalisisPraktikJualBeliHukum Islam terhadapbarangkadaluwarsayang tidakdapatdikembalikan di tokoHidayah Surabaya ... 57

B. AnalisisUndang-Undang No 8 tahun 1999

(9)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

x

kadaluwarsayang tidakdapatdikembalikan di tokoHidayah

Surabaya ... 64

BAB V PENUTUP ... 68

A. Kesimpulan ... 68

B. Saran ... 69

(10)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia disebut makhluk sosial dengan artian bahwa manusia

saling membutuhkan satu sama lain baik dalam hal bekerja, bekerja sama

maupun interaksi sosial lain yaitu interaksi tukar menukar sesuatu benda

yang bermanfaat dengan cara yang ditentukan, seperti: jual beli, sewa

menyewa, pinjam meminjam, upah mengupah, perseroan dan bentuk-bentuk

usaha lainnya.

Konsep muamalah merupakan konsep yang mengatur hubungan

antar sesama manusia yang memiliki tujuan untuk menjaga hak-hak manusia,

merealisasikan kemaslahatan dan menjauhkan segala kemudharatan yang

terjadi. Konsep muamalah telah diatur oleh Islam dalam bentuk syariah yang

memuat berbagai hukum, yaitu halal, haram, mubah dan makruh. Di dalam

syariah terdapat prinsip-prinsip Islam yang berkaitan dengan kehidupan, baik

kaitannya dengan hubungan kepada Allah Swt maupun hubungan kepada

sesama manusia. Dalam kegiatan pemenuhan kebutuhan manusia

memerlukan adanya batasan agar mereka tidak cenderung untuk menuruti

hawa nafsu dan batasan tersebut ialah fiqh muamalah.

Fiqh muamalah adalah himpunan hukum-hukum yang mengatur

(11)

kegiatan ekonomi1. Hukum tersebut ditetapkan demi terciptanya rasa aman,

tegaknya Undang-Undang dalam negara atau masyarakat Islam, juga agar

tidak menghilangkan makna taat kepada Allah dan menjaga hak-Nya. Oleh

sebab itu pemahaman dalam bidang fiqh muamalah amatlah penting, karena

fiqh muamalah merupakan pengarah kehidupan hubungan antar sesama

manusia, Sehingga manusia harus senantiasa mengikuti aturan yang

ditetapkan Allah Swt, sekalipun dalam urusan duniawi yang termasuk

kegiatan bermuamalah karena setiap kegiatan manusia kelak akan diminta

pertanggungjawaban di akhirat. Salah satu interaksi sosial saat ini yang

termasuk dalam fiqh muamalah salah satunya ialah jual beli.

Dewasa ini, interaksi yang sering dan banyak terjadi adalah

interaksi jual beli. Kebutuhan jual beli ini tak pernah terputus dan tak

henti-henti selama manusia masih hidup. Tak seorangpun dapat memenuhi hajat

hidupnya sendiri, karena itu manusia dituntut berhubungan dengan lainnya.

Seseorang memberikan apa yang ia miliki untuk kemudian ia dapatkan

sesuatu yang berguna dari orang lain sesuai kebutuhan masing-masing.2

Dalam Islam, interaksi jual beli tersebut merupakan salah satu yang

termasuk dalam muamalah jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian.

Dalam hukum Islam, perjanjian jual beli disebut dengan akad al-bai’ yaitu

pertukaran harta tertentu dengan harta lain berdasarkan keridhaan antara

(12)

keduanya. Islam juga menghalalkan jual beli sebagaimana yang sudah tertera

dalam firman Allah Swt dalam surat al-Baqarah ayat 275, sebagai berikut:3

                                                                        

Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

Dalam ayat di atas, telah ditegaskan bahwa Allah Swt menghalalkan

jual beli dan mengharamkan riba. Dalam kajian fiqh juga sudah dijelaskan

tentang ketentuan yang ada di dalam jual beli. Telah ditentukan

aturan-aturan hukumnya antara lain tentang rukun dan syarat jual beli, serta bentuk

jual-beli yang dilarang oleh syariah. Maka dari itu di dalam praktiknya harus

sesuai syarat dan rukun serta memberi manfaat bagi yang melakukannya.

Orang yang terjun ke dunia usaha seharusnya berkewajiban

mengetahui hal-hal yang dapat mengakibatkan jual beli itu sah atau tidak. Ini

dimaksudkan agar muamalah berjalan sah dan segala sikap dan tindakannya

jauh dari kerusakan yang tidak dibenarkan.

3

(13)

Jual beli memiliki beberapa syarat yang dapat mempengaruhi sah

tidaknya akad jual beli tersebut. Di antaranya adalah syarat untuk barang

yang akan dibeli adalah saling ridha antara penjual dan pembeli. Jual beli

dianggap tidak sah, apabila salah satu dari pihak yang berakad terdapat unsur

paksaan,4dan tak sedikitpun kaum muslimin yang mengabaikan mempelajari

akad jual beli, mereka melalaikan aspek ini, sehingga tak peduli kalau hal ini

adalah hal yang paling penting dalam akad jual beli. Sebab Allah Swt telah

berfirman dalam QS an-Nisa ayat 29:

                                    

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah

maha penyayang kepadamu.5

Dalam ayat tersebut Allah Swt telah mengisyaratkan bahwa

transaksi ekonomi dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia harus dengan

cara yang baik dan benar, yaitu harus saling merelakan dan dengan cara yang

tidak dilarang oleh agama.

Agama Islam adalah agama yang menjaga semua bentuk toleransi.

Islam selalu memperhatikan keadaan dan kemaslahatan umum. Islam selalu

berusaha menghilangkan kesulitan dan kesusahan yang dihadapi umat ini. Di

antara bukti itu adalah aturan Islam tentang jual beli dengan memberikan hak

4Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat (Yoyakarta: UII Press, 2000), 101.

(14)

memilih khiya>r bagi pihak yang melakukan akad. Hal itu diharapkan pihak

yang mengadakan akad tersebut dapat melakukan urusannya dengan leluasa

dan dapat melihat kemaslahatan yang ada di belakang transaksi tersebut.6

Sehingga, Islam dapat mengedepankan hal-hal yang mengandung kebaikan

dan menghindari dari hal-hal yang tidak ada maslahatnya.

Adapun yang dimaksud dengan khiya>r dalam jual beli adalah

memilih dua hal yang terbaik antara meneruskan akad jual beli atau

membatalkannya. Hal ini agar kedua belah pihak (penjual dan pembeli) dapat

memikirkan sejauh mungkin kebaikan berlangsungnya jual beli atau kebaikan

untuk membatalkan jual beli, agar masing-masing pihak tidak menyesal atas

apa yang telah dijualnya atau dibelinya. Sebab penyesalan tersebut bisa

terjadi karena kurang hati-hati, tergesa-gesa, atau karena faktor-faktor

lainnya.

Hak khiya>r ditetapkan syariat Islam bagi orang yang melakukan

transaksi yang mereka lakukan, sehingga kemaslahatan yang dituju dalam

suatu transaksi tercapai dengan sebaik-baiknya. Status khiya>r menurut ulama

fiqh, adalah disyariatkan atau dibolehkan karena suatu keperluan yang

mendesak dalam mempertimbangkan kemaslahatan masing-masing pihak

yang melakukan transaksi. Status khiya>r, menurut ulama fiqh, adalah

disyariatkan atau dibolehkan karena suatu keperluan yang mendesak dalam

(15)

mampertimbangkan kemaslahatan masing-masing pihak yang melakukan

transaksi.7

Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama

Islam. Sehingga sudah seharusnya konsumen muslim mendapatkan

perlindungan atas barang dan/atau jasa sesuai dengan syariat Islam.

Perlindungan tersebut merupakan hak setiap warga negara Indonesia. Hak

khiya>r yang merupakan salah satu bentuk perlindungan konsumen dalam

Islam, tentunya memiliki peranan dalam kegiatan muamalah. Sudah

seharusnya hak khiya>r sebagai salah satu bentuk untuk melindungi hak-hak

konsumen muslim tersebut termuat dalam Undang-Undang Perlindungan

Konsumen.

Negara Indonesia telah memiliki Undang-undang yang tujuan

pembuatannya untuk melindungi warga negaranya termasuk Undang-Undang

yang mengatur tentang perlindungan konsumen yaitu Undang-Undang No. 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.8

Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen jual beli memiliki dua subyek ialah penjual dan pembeli. Penjual

memiliki kedudukan sebagai pelaku usaha yang sifatnya memproduksi atau

mendistribusikan produk yang dibutuhkan konsumen.9

Dalam Undang-Undang tersebut juga menyebutkan bahwa hak

konsumen atau pembeli adalah hak atas kenyamanan, keamanan dan

7

Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah (Jakarta:Gaya Media Pratama,2007), 129.

8Yusuf Sofi, Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi (Jakarta: Galia Indonesia,

2002), 13.

(16)

keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan jasa, Undang-Undang ini

menunjukkan bahwa setiap konsumen, termasuk konsumen muslim yang

merupakan mayoritas konsumen di Indonesia.

Dalam Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen juga dijelaskan bahwa, konsumen berhak untuk memilih dan

mendapatkan kompensasi atau ganti rugi, atau penggantian apabila barang

atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau sebagaimana

mestinya. Begitu pula dengan sebaliknya pedagang atau pelaku usaha dalam

Undang-Undang ini ditegaskan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban

untuk memberikan kompensasi, ganti rugi, dan penggantian apabila barang

atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Akan tetapi, peraturan pemerintah ini tidak berlaku sesuai dengan

yang diharapkan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya pedagang yang

enggan melayani konsumen yang complain dan banyak di temukan di

berbagai toko-toko tulisan “barang yang sudah dibeli tidak dapat

dikembalikan”.

Dalam transaksi jual beli yang saat ini terjadi, banyak didapati

penjual yang menerapkan klausul perjanjian tertulis dalam nota pembelian

yang bertuliskan “Barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan”. Sebagaimana dengan kasus yang terjadi di toko Hidayah ini yaitu terhadap

barang yang sudah kadaluwarsa tidak dapat dikembalikan.

Seperti kasus yang terdapat di toko Hidayah ketika pembeli sudah

(17)

ternyata ada beberapa sosis yang sudah kadaluwarsa, ketika itu pembeli

ingin menukarkan sosis tersebut terhadap penjual dan kenyataanya ditolak

dan alasan dari pihak penjual karena itu bukan kesalahan dari mereka, adapun

bukti yang tertera di nota pembeliannya yang bertulisan dengan “barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan”.

Hal tersebut didapati dari para penjual yang melakukan transaksi

jual beli barang yang tidak hanya di daerah pusat perbelanjaan supermarket

saja, akan tetapi jual beli barang di toko juga telah menerapkan klausul

perjanjian tertulis pada nota pembeliannya.

Fenomena perjanjian tertulis dalam nota pembelian yang bertuliskan

“Barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan” menunjukkan betapa tidak berdayanya pihak pembeli dalam hal ini konsumen dalam transaksi jual

beli tersebut. Kalimat tersebut membuat pemahaman bahwa ketika penjual

atau konsumen mendapati jika barang yang ia beli dari penjual tersebut

terdapat cacat atau kadaluwarsa dan ketika pembeli ingin menukarkan barang

yang telah dibeli tersebut kepada penjual, pihak penjual tidak mau menerima

barang itu kembali atau mengembalikan uang yang telah konsumen berikan.

Di sini jelas terjadi ketidaksepakatan antara penjual dan pembeli,

pembeli ingin menukar ataupun membatalkan kesepakatan terhadap penjual

namun yang terjadi penjual tidak mau menerima complain karena penjual

tetap mempertahankan nota yang telah di kasih kepada si pembeli dengan

(18)

Namun demikian, untuk mengetahui bagaimana praktik

pelaksanaannya dan keadaan yang sebenarnya dalam pandangan hukum Islam

terhadap penerapan klausul perjanjian tertulis dalam nota pembelian yang

bertuliskan “Barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan”. Untuk itu maka penulis mengambil judul “Analisis Hukum Islam Dan Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Terhadap Praktik Jual

Beli Barang Kadaluwarsa yang Tidak Dapat Dikembalikan di Toko Hidayah

Surabaya”.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas terdapat beberapa

masalah dalam penelitian ini. Adapun masalah-masalah tersebut

diidentifikasikan sebagai berikut:

1. Pelaksanaan transaksi jual beli di toko Hidayah

2. Konsep khiya>r dalam akad jual beli di toko Hidayah

3. Konsep perjanjian baku mengenai barang yang sudah dibeli tidak dapat

dikembalikan

4. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

terhadap barang kadaluwarsa yang tidak dapat dikembalikan dalam

transaksi jual beli.

5. Praktik jual beli barang yang kadaluwarsa tidak dapat dikembalikan di

(19)

6. Analisis Hukum Islam dan Undang-Undang No 8 Tahun 1999 mengenai

perlindungan konsumen terhadap jual beli barang kadaluwarsa yang tidak

dapat dikembalikan di Toko Hidayah Surabaya.

Agar menghasilkan penelitian yang lebih fokus, maka diperlukan

batasan masalah dalam penelitian sehingga hanya terbatas pada:

1. Praktik jual beli barang yang kadaluwarsa tidak dapat dikembalikan di

toko Hidayah Surabaya.

2. Analisis Hukum Islam dan Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang

perlindungan konsumen terhadap praktik jual beli barang kadaluwarsa

yang tidak dapat dikembalikan di Toko Hidayah Surabaya.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut ada beberapa permasalahan

yang dirumuskan, sebagai berikut:

1. Bagaimana praktik jual beli barang kadaluwarsa yang tidak dapat

dikembalikan di toko Hidayah Surabaya ?

2. Bagaimana Hukum Islam dan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang

perlindungan konsumen terhadap praktik jual beli barang kadaluwarsa

yang tidak dapat dikembalikan di toko Hidayah surabaya ?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau

(20)

sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan

pengurangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang telah ada.10

1. Skripsi yang ditulis oleh Olivia dengan judul Hak khiya>r Konsumen dan

Sistem Retur Dalam Jual Beli Fashion Hijab Secara Online di Instagram

#Tashaproject (studi komparatif).11 Penulis dengan judul tersebut

memberikan kesimpulan bahwa sistem retur di toko online di instagram

#tashaproject sesuai dengan hukum Islam sesusai dengan pendapat Imam

Malik dan Imam Ahmad dalam riwayatnya sedangkan menurut

Undang-undang pelindungan konsumen #Tashaproject sudah berjalan sesuai

Undang-undang karena barang yang terdapat di toko online tersebut

dapat diretur kembali jika terdapat cacat ataupun produk yang rusak

namun pihak penjual tidak bisa memastikan akan berapa lama

mengembalikkan produknya dikarenakan penjual harus memproduksinya

dahulu.

2. Skripsi yang ditulis oleh Dhasep Aberta Satriadin dengan judul tinjauan

Hukum Islam terhadap Khiya>r Dalam Jual Beli Sistem COD (cash on

delivery).12 Penulis dengan judul tersebut memberikan kesimpulan bahwa

dalam jual beli dengan sistem COD di PT Toko Bagus ini menggunakan

analisis khiya>r yang sesuai hukum Islam dengan praktik khiya>r dalam jual

beli sistem COD (cash on delivery) dilakukan saat penjual dan pembeli

10Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi (Surabaya:

Fakultas Syariah dan Hukum, 2016), 8.

(21)

bertemu di tempat transaksi yang ditentukan sebelum terjadinya akad jual

beli. Dalam skripsi ini juga menjelaskan tentang macam-macam khiya>r

yang dapat dilakukan dalam sistem COD (cash on delivery) yaitu khiya>r

aib dan khiya>r majlis serta penjual dan pembeli mendapatkan hak-haknya

dari khiya>r tersebut.

3. Skripsi yang ditulis oleh Danil Khairul dengan judul Pelaksanaan Khiya>r

Dalam Pasar Selasapanam Pekanbaru Menurut Perspektif fiqh

muamalah.13 Penulis dengan judul tersebut memberikan kesimpulan

bahwa pelaksanaan khiya>r pada pedagang barang pecah belah dan

pedagang pakaian di Pasar Selasa Panam Pekanbaru belum terlaksana

sebagai semestinya. Di mana pedagang mensyaratkan pelaksanaannya

hanya dalam waktu satu hari, di mana apabila ada barang yang dibeli

tidak sesuai atau cacat maka pedagang hanya memberi waktu dalam

penukarannya selama satu hari, hanya bisa menukar barang dan tidak bisa

dikembalikan berbentuk uang. Dalam fiqh muamalah pelaksanaan khiya>r

di pasar selasa ini termasuk kepada khiya>r syarat, di mana adanya

kesepakatan antara pedagang dan pembeli mengenai syarat penukaran

barang. Adapun menurut perspektif fiqih muamalah pelaksanaan khiya>r di

pasar selasa diperbolehkan karena termasuk pada pembagian

macam-macam khiya>r, yaitu khiya>r syarat.

Dalam kaitannya dari kajian terdahulu yang telah peneliti paparkan

bahwa tidak ada karya ilmiah yang mirip dengan kajian yang sedang

13

(22)

dilakukan oleh penulis yang mengkaji tentang, “Analisis Hukum Islam Dan Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Terhadap Praktik Jual Beli Barang Kadaluwarsa Yang Tidak Dapat

Dikembalikan”.

E. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini mempunyai

tujuan sebagai berikut:

1. Mengetahui bagaimana praktik jual beli barang kadaluwarsa yang tidak

dapat dikembalikan di toko Hidayah surabaya.

2. Mengetahui hukum Islam dan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen terhadap praktik jual beli barang kadaluwarsa

yang tidak dapat dikembalikan di toko Hidayah Surabaya.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Dari penelitian yang berjudul “Analisis hukum Islam dan

Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Terhadap

Praktik Jual beli Barang Kadaluwarsa yang Tidak Dapat Dikembalikan di

Toko Hidayah Surabaya”, diharapkan dapat memberikan manfaat serta dapat dipergunakan untuk:

1. Secara teoritik, penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan

(23)

khususnya jurusan muamalah serta menjadi rujukan penelitian berikutnya

terhadap “barang kadaluwarsa yang tidak dapat dikembalikan”.

2. Secara praktis, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan

bagi Toko Hidayah khususnya yang menjadi obyek penelitian, dalam

melayani konsumen dan memperhatikan hak-hak pembeli.

G. Definisi Operasional

Dalam rangka untuk menghindari kesalahpahaman persepsi terhadap

judul ini, maka penulis merasa penting untuk menjabarkan tentang maksud

dari istilah-istilah yang berkenaan dengan judul di atas, dengan kata-kata

kunci sebagai berikut:

1. Hukum Islam adalah seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan

sunnah rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan

diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam, berdasarkan

Al-Qur’an, Hadis dan pendapat para Ulama fiqih mengenai praktik jual beli

dan hak khiya>r. Hukum Islam dalam kasus ini membahas mengenai jual

beli dan khiya>r.

2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk

mewujudkan keseimbangan perlindungan konsumen, perlindungan

kepentingan konsumen dan pelaku usaha agar tercipta perekonomian yang

sehat. Lebih tepatnya dalam kasus ini terdapat pada hak dan kewajiban

(24)

3. Toko Hidayah adalah toko yang menjual sembako dan ATK sebagian,

beralamatkan di Jl. Jemur Ngawinan gang 5 No 14 Surabaya, Jawa Timur

60237.

H. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian lapangan (field research)

yaitu penelitian yang datanya di gali melalui pengamatan-pengamatan dan

sumber data di lapangan dan bukan berasal dari sumber-sumber

kepustakaan,14 Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah penelitian

kualitatif, karena kualitatif memuat tetang prosedur penelitian yang

menghasilkan data deskriptif berupa tulisan atau perkataan dari orang-orang

atau pelaku yang diamati.

Agar penulis skripsi dapat tersusun dengan benar, penulis

memandang perlu menggunakan metode penulisan skripsi sebagai berikut:

1. Data yang dikumpulkan

Data merupakan kumpulan dari keterangan atau informasi yang

benar dan nyata yang diperoleh baik dari sumber primer, maupun

sekunder.15Data adalah bahan keterangan tentang suatu obyek

uraian-uraian, bahkan dapat berupa cerita pendek. Data yang peneliti kumpulkan

diantaranya, yaitu data kualitatif yaitu data yang tidak berbentuk angka,

jenis data yang akan dicari adalah segala kata dan tindakan yang relevan

14Syarifuddin Azwar, Metode Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), 19.

(25)

dengan masalah yang akan diteliti16 yakni mengenai mekanisme “praktik

jual beli barang kadaluwarsa yang tidak dapat dikembalikan”.

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini terdiri atas sumber data primer

dan sumber data sekunder.

a. Sumber data primer

Sumber data primer merupakan sumber data yang diperoleh

secara langsung yakni di Toko Hidayah Surabaya meliputi:

1) Pemilik Toko Hidayah Surabaya.

2) Konsumen atau pelanggan Toko Hidayah Surabaya tersebut.

b. Sumber data sekunder

Sumber data ini diambil dari dokumen dan bahan pustaka

(literature buku) yang ada hubungannya dengan penelitian ini antara

lain:

1) Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Mamalat.

2) Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat ( Hukum Perdata

Islam).

3) Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah.

4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen.

5) Al-Muslih, et al., Fikih Ekonomi Islam.

6) Abdul basith junaidy, asas hukum ekonomi dan bisnis islam.

(26)

7) Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen.

8) Eli Wuria Dewi, Hukum Perlindungan Konsumen.

3. Teknik pengumpulan data

Data dalam penelitian ini diperoleh dengan beberapa teknik

antara lain:

a. Observasi

Observasi data dilakukan dengan cara melakukan pengamatan

pada subyek penelitian atau fenomena-fenomena yang terjadi.17

Dalam hal ini penulis mengadakan pengamatan secara langsung yang

bertujuan untuk memperoleh data mengenai praktik jual beli di Toko

Hidayah Surabaya.

b. Wawancara

Wawancara (Interview) adalah usaha untuk mengumpulkan

informasi dengan cara mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan.

Ciri utama wawancara adalah terjadinya kontak langsung dan bertatap

muka antara pencari informasi dengan sumber informasi, sedangkan

jenis pedoman interview yang akan digunakan oleh penulis adalah

jenis pedoman interview tidak terstruktur, yakni pedoman wawancara

yang hanya memuat garis-garis besar pertanyaan yang akan

diajukan.18 Wawancara ini akan penulis lakukan terhadap pengelola

dan konsumen Toko Hidayah Surabaya.

17Syarifuddin Azwar, Metode Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), 19.

(27)

c. Identitas Responden

Responden dalam penelitian ini adalah konsumen atau

pelanggan pada Toko Hidayah Surabaya. Berdasarkan data dari

responden yang melakukan aktivitas jual beli barang kadaluwarsa di

Toko Hidayah melalui metode pengumpulan data dengan kuesioner

diperoleh kondisi responden tentang jenis kelamin, usia, dan pekerjaan

yaitu:

Nama Jenis Kelamin Usia Pekerjaan

Ibu Dori Perempuan 54 Tahun Wiraswasta

Ibu Kiki Perempuan 37 Tahun Pegawai

Ibu Natus Perempuan 50 Tahun Wiraswasta

Ibu Kevin Perempuan 43 Tahun Pegawai

4. Teknik Pengolahan Data

Pengolahan data merupakan suatu proses dalam memperoleh

data ringkasan atau angka ringkasan dengan menggunakan cara-cara atau

rumus-rumus tertentu. Setelah data terkumpul, maka langkah selanjutnya

adalah mengubah data melalui metode:

a. Organizing, yaitu suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan,

pencatatan, dan penyajian fakta untuk tujuan penelitian.19

b. Editing, yaitu kegiatan memperbaiki kualitas data (mentah) serta

menghilangkan keraguan akan kebenaran/ketepatan data tersebut.20

(28)

5. Teknik Analisis Data

Setelah tahapan pengolahan data, langkah selanjutnya yaitu

menganalisa data. Penelitian ini dianalisa dengan menggunakan teknik

deskriptif kualitatif, yakni menggambarkan kondisi, situasi atau

fenomena yang tertuang dalam data yang diperoleh tentang faktor dan

mekanisme jual beli barang kadaluwarsa yang tidak dapat dikembalikan

di toko Hidayah Surabaya dan dianalisis dengan perspektif hukum Islam.

Proses analisis data dalam penelitian ini menggunakan pola pikir

Deduktif, yaitu menganalisis data dari umum ke khusus tentang praktik

jual beli barang kadaluwarsa yang tidak dapat dikembalikan di toko

Hidayah surabaya yang telah dianalisis dengan Undang-Undang No. 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Hukum Islam.

I. Karakteristik Objek Penelitian

Ada beberapa alasan yang menjadi dasar bagi penulis memilih kasus

praktik jual beli barang kadaluwarsa yang tidak dapat dikembalikan di Toko

Hidayah Surabaya. Alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Terdapat perbincangan antar warga mengenai praktik jual beli barang

kadaluwarsa di Toko Hidayah Surabaya yang tidak dapat dikembalikan

2. Adanya alasan penjual yang menarik ketika sistem di tanyakan, yaitu

ketika jual beli tersebut terjadi di Toko Hidayah maka barang tidak dapat

(29)

dikembalikan, namun ketika pemesanan barang melalui telepon maka

barang dapat dikembalikan.

3. Para konsumen merasa dirugikan namun tidak bisa melakukan apapun

dikarenakan nota sudah dikeluarkan.

J. Sistematika Pembahasan

Dalam rangka mempermudah pembahasan skripsi ini, maka penulis

membuat sistematika pembahasan sebagai berikut:

Bab Pertama, dalam bab ini berisi pendahuluan yang memaparkan

tentang latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan

masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi

operasional, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab Kedua berisi tentang teori jual beli dan teori khiya>r dan

Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terhadap

praktik jual beli barang kadaluwarsa yang tidak dapat dikembalikan di toko

hidayah Surabaya.

Bab ketiga, membahas tentang hasil penelitian yang berisi

gambaran umum dan dekripsi tentang toko hidayah dan menjelaskan

mengenai kasus yang terjadi toko hidayah tersebut.

Bab keempat, Bab ini membahas analisis hukum Islam terhadap

praktik jual beli barang kadaluwarsa yang tidak dapat dikembalikan pada

(30)

1999 tentang Perlindungan Konsumen terhadap praktik jual beli barang

kadaluwarsa yang tidak dapat dikembalikan di toko Hidayah Surabaya.

Bab kelima yang merupakan bagian akhir dari skripsi ini yang

didalamnya berisi tentang kesimpulan dan analisis permasalahan yang

(31)

22

BAB II

TEORI JUAL BELI DAN KHIYA>R MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN

KONSUMEN

A. Jual Beli Dalam Islam

1. Pengertian jual beli dalam Islam

Jual beli dalam istilah fiqh disebut dengan al-bay، yang berarti

menjual, menganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Lafal

al-bay، dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk lawannya, yakni

kata asy-syira (beli). Dengan demikian, kata al-bay، berarti jual, tetapi

sekaligus juga berarti beli.1 Secara etimologi jual beli diartikan:

ٍُءْيَشِبٍءْيَش ةَلَ باَق م

Tukar-menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain.2

Menurut Imam Nawawi dalam kitab Ma>jmu mengatakan bahwa

jual beli adalah tukar-menukar barang dengan maksud memberi

kepemilikan. Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mugni

mendefinisikan jual beli dengan tukar-menukar barang dengan barang

yang bertujuan memberi kepemilikan dan menerima hak milik.3

Secara terminologi, terdapat beberapa definisi jual beli yang

dikemukakan para ulama mazhab yaitu sebagai berikut:

a. Hanafiah memberikan definisi jual beli sebagai berikut.

1Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 111.

2Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat (Jakarta: AMZAH, 2010), 173.

(32)

Jual beli adalah tukar-menukar harta dengan harta menurut cara yang khusus, harta mencakup zat (barang) atau uang.

b. Malikiyah memberikan definisi jual beli sebagai berikut.

Jual beli adalah akad mu’a>wadhah (timbal balik) atas selain manfaat dan bukan pula untuk menikmati kesenangan.”

Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa jual beli

adalah akad mua>wadhah, yaitu akad yang dilakukan oleh dua pihak,

pembeli dan penjual.

c. Syafi’iyah memberikan definisi jual beli sebagai berikut.

Jual beli menurut syara’ adalah suatu akad yang mengandung tukar menukar harta dengan harta dengan syarat yang akan diuraikan nanti untuk memperoleh kepemilikan atas benda atau manfaat untuk waktu selamanya.

d. Hanabilah memberikan definisi jual beli sebagai berikut:

Jual beli menurut syara’ adalah tukar-menukar harta dengan harta, atau tukar-menukar manfaat yang mubah dengan manfaat yang mubah untuk waktu selamanya, bukan riba dan bukan utang.

Dari definisi yang dikemukakan oleh para ulama mazhab

tersebut dapat diambil intisari bahwa:

1) Jual beli adalah akad mua>wadhah, yakni akad yang dilakukan oleh

dua pihak, di mana pihak pertama menyerahkan barang dan pihak

kedua menyerahkan imbalan, baik berupa uang maupun barang.

2) Syafi’iyah dan Hanabilah mengemukakan bahwa objek jual beli bukan

hanya barang (benda), tetapi juga manfaat, dengan syarat

tukar-menukar berlaku selamanya, bukan untuk sementara. Dengan

(33)

manfaat yang digunakan, yaitu selama waktu yang ditetapkan dalam

perjanjian. Demikian pula ija<rah yang dilakukan timbal-balik (saling

pinjam), tidak termasuk jual beli, karena pemanfaatannya hanya

berlaku sementara waktu.4

2. Dasar Hukum Jual Beli

Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama umat

manusia mempunyai landasan yang kuat dalam al-Qur’an yang berbicara

tentang jual beli, di antaranya dalam surat al-Baqarah ayat 275 yang

berbunyi:  ُ  ُ   ُ  ُ  ُ  ُ  ُ   ُ  ُ   ُ   ُ  ُ   ُ  ُ  ُ   ُ   ُ  ُ   ُ   ُ   ُ  ُ   ُ   ُ   ُ  ُ   ُ  ُ  ُ  ُ   ُ  ُ  ُ  ُ  ُ  ُ  ُ   ُ  ُ   ُ  ُ   ُ   ُ  ُ   ُ   ُ  ُ   ُ  ُ  ُ  ُ

Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

Dasar hukum jual beli berdasarkan sunnah Rasulullah Saw. Di

antaranya adalah hadis dari Rifa’ah ibn Rafi’ bahwa:

4

(34)

لِئ س

ُ

ينلا

ُ

ىلص

ُ

ه

ُ

هيلع

ُ

ملسو

ُ

ُ يَأ

ُ

ُِبْسَكْلا

ُ

؟ بَيْطَأ

ُ

لاَقَ ف

ُ:

ُ لَمَع

ُ

ُِل جَرلا

ُ

ُِِدَيِب

ُ

ُ ل كَو

ُ

ٍُعْيَ ب

ُ

ٍُرْو رْ بَم

(

اور

ُ

زازبلا

ُو

ُ

مكاحا

.)

RasulullahSaw. Di tanya salah seorang sahabat mengenai pekerjaan (profesi) apa yang paling baik. Rasulullah ketika itu menjawab: Usaha tangan manusia sendiri dan setiap jual beli

yang diberkati. (HR al-Baz-zar dan al-Hakim).5

Artinya jual beli yang jujur, tanpa diiringi

kecurangan-kecurangan mendapat berkat dari Allah. Dalam hadis dari Abi Sa’id al-Khudri yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi, Ibn Majah dan Ibn Hibban,

Rasulullah Saw. Menyatakan:

)ىقهيبلاُ اور(ُ. ٍضاَرَ تُْنَعُ حْيَ بْلاُاََِإ

Jual beli itu didasarkan kepada suka sama suka.

Dari ayat al-Qur’an dan hadis yang dikemukakan di atas dapat

dipahami bahwa jual beli merupakan pekerjaan yang halal dan mulia.

Para ulama dan seluruh umat Islam sepakat tentang

dibolehkannya jual beli, karena hal ini sangat dibutuhkan oleh manusia

pada umumnya. Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari tidak semua

orang memiliki apa yang dibutuhkannya. Apa yang dibutuhkannya

kadang-kadang berada di tangan orang lain. Dengan jalan jual beli, maka

manusia saling tolong menolong untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Dengan demikian, roda kehidupan ekonomi berjalan dengan positif karena

apa yang mereka lakukan akan menguntungkan kedua belah pihak.6

5Ibn Hajar Al-Asqalani, Panduan Lengkap Masalah-masalah Fiqih, Akhlak, dan Keutamaan

Amal, penterjemahan: Irfan Maulana Hakim (Jakarta: Khazanah, 2010), 216.

(35)

3. Rukun dan syarat jual beli

Jual beli mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi,

sehingga jual beli itu dapat dikatakan sah oleh syara’. Dalam menentukan

rukun jual beli, pendapat perbedaan pendapat ulama Hanafiyah dengan

Jumhur ulama.

Rukun jual beli menurut ulama Hanafiyah hanya satu yaitu ijab

(ungkapan membeli dari pembeli)dan kabul (ungkapan menjual dari

penjual). Menurut mereka rukun dari jual beli hanyalah kerelaan. Kedua

belah pihak untuk melakukan transaksi jual beli. Akan tetapi, karena

unsur kerelaan itu merupakan unsur hati yang sulit untuk diindera

sehingga tidak kelihatan, maka diperlukan indikasi yang menunjukkan

kerelaan itu dari kedua belah pihak. Indikasi yang menunjukkan kerelaan

kedua belah pihak yaitu tergambar dalam ijab dan Kabul, atau melalui

cara saling memberikan barang dan harga barang.

Akan tetapi jumhur ulama menyatakan bahwa rukun jual beli itu

ada empat7, yaitu:

a. Ada orang yang berakad atau al-mutaa>qidain (penjual dan pembeli).

b. Ada s}i>ghat (lafal ijab dan kabul).

c. Ada barang yang dibeli.

d. Ada nilai tukar pengganti barang.

Dalam jual beli terdapat beberapa syarat yang mempengaruhi

sah tidaknya akad tersebut Adalah syarat yang diperuntukkan bagi dua

(36)

orang yang melaksanakan akad dan syarat yang diperuntukkan untuk

barang yang akan dibeli. Jika salah satu darinya tidak ada, maka akad jual

beli tersebut dianggap tidak sah.8

a. Untuk kedua belah pihak yang melakukan akad jual beli terdapat

beberapa syarat:

1) Saling ridha.9

Jual beli dianggap tidak sah hukumnya, jika salah satu

dari penjual atau pembelinya merasa terpaksa yang bukan dalam

hal benar. Sebab Allah Swt telah berfirman dalam QS. An-Nisaa

ayat 29 yang berbunyi:

 ُ  ُ   ُ  ُ   ُ  ُ  ُ   ُ  ُ  ُ  ُ   ُ  ُ   ُ   ُ  ُ  ُ   ُ   ُ  ُ   ُ   ُ  ُ   ُ  ُ  ُُ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu[287]; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.

2) Orang yang melakukan akad jual beli harus berakal.10

Disyaratkan pula orang yang melakukan akad jual beli

harus berakal. Oleh sebab itu, jual beli yang dilakukan anak kecil

yang belum berakal dan orang gila, hukumnya tidak sah.11 Akan

tetapi, Hanafiah tidak mensyaratkan orang yang melakukan akad

8

Saleh Al-Fauzan, Fiqih Sehari-hari (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), 366.

9

Ibid.

10Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat …, 187.

(37)

jual beli harus baligh, dengan demikian, akad yang dilakukan oleh

anak yang mumayyiz (mulai umur tujuh tahun), hukumnya sah.

3) Orang yang melakukan akad harus berbilang (tidak sendirian).

Akad yang dilakukan oleh satu orang yang mewakili dua

pihak hukumnya tidak sah, kecuali apabila dilakukan oleh ayah

yang membeli barang anaknya yang masih dibawah umur dengan

harga pasaran. Hal ini oleh karena dalam jual beli terdapat dua hak

yang berlawanan, yaitu menerima dan menyerahkan. Dan

merupakan hal yang mustahil, pada saat yang sama satu orang

bertindak sebagai penjual yang menyerahkan barang dan sekaligus

menjadi pembeli yang menerima barang.12

b. Syarat yang terkait dengan ijab kabul.

Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa unsur utama dari

jual beli adalah kerelaan kedua belah pihak. Kerelaan kedua belah

pihak dapat dilihat dari ijab dan kabul yang dilangsungkan. Menurut

mereka, ijab dan kabul perlu diungkapkan secara jelas dalam

transaksi-transaksi yang bersifat mengikat kedua belah pihak, seperti

akad jual beli, akad sewa menyewa, dan akad nikah.13

Para ulama fiqh mengemukakan bahwa syarat ijab dan Kabul

itu adalah sebagai berikut:

1) Orang mengucapkannya telah baligh dan berakal.

12Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat…, 188.

(38)

2) Kabul sesuai dengan ijab. Misalnya, penjual mengatakan: saya

jual buku ini seharga Rp. 15.000,- . Lalu pembeli menjawab:

saya beli dengan harga Rp. 15.000,- . Apabila antara ijab dengan

Kabul tidak sesuai, maka jual beli tidak sah.

3) Ijab dan kabul itu dilakukan dalam satu majelis. Artinya, kedua

belah pihak yang melakukan jual beli hadir dan membicarakan

topik yang sama dalam satu waktu. Namun, ulama Hanafiyah dan

Malikiyah mengatakan bahwa antara ijab dan kabul boleh saja

diantarai oleh waktu, yang diperkirakan bahwa pihak pembeli

sempat untuk berfikir, Sedangkan ulama Syafi’iyah dan

Hanabilah berpendapat bahwa jarak antara ijab dan kabul tidak

terlalu lama.

c. Adapun barang atau obyek yang diperjualbelikan juga disyaratkan

memiliki beberapa kriteria:

1) Barang itu harus barang yang halal, tidak sah menjualbelikan

barang najis atau barang haram seperti darah, bangkai dan daging

babi, Karena benda-benda tersebut menurut syariat tidak dapat

digunakan. Di antara bangkai tidak ada yang dikecualikan selain

ikan dan belalan. Dari jenis darah juga tidak ada yang dikecualikan

selain hati (lever) dan limpa.14

(39)

2) Barang itu ada, atau tidak ada ditempat, tetapi pihak penjual

menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang itu.15

Tidak sah menjual barang yang tidak ada atau yang berada di luar

kemampuan penjual untuk menyerahkannya seperti menjual

malaqih, madhamin atau menjual ikan yang masih dalam air,

burung yang masih terbang di udara dan sejenisnya. Malaqih

adalah benih hewan yang masih dalam tulang sulbhi pejantan.

Sementara madhamin adalah jenis hewan yang masih dalam rahim

betina.16

3) Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia. Oleh sebab itu,

bangkai, minuman keras dan darah, tidak sah menjadi obyek jual

beli, karena dalam pandangan syara benda-benda seperti itu tidak

bermanfaat bagi muslim.17

4) Barang yang dijual harus barang yang sudah dimiliki. Dengan

demikian, tidak sah menjual barang yang belum dimiliki oleh

seseorang.18Kecuali pada akad as-salam yakni sejenis jual beli

dengan menjual barang yang digambarkan kriterianya secara jelas

dalam kepemilikan, dibayar dimuka, yakni dibayar terlebih

dahulu, tetapi barang diserahterimakan belakangan.19

15Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah …, 118.

16Al-Muslih, et al., Fikih Ekonomi Islam …, 90.

17Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah …, 118.

18Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat …, 190.

(40)

5) Boleh diserahkan saat akad berlangsung, atau pada waktu yang

disepakati bersama ketika transaksi berlangsung.20

d. Syarat-syarat nilai tukar (harga barang).

1) Harga yang disepakati kedua belah pihak, harus jelas jumlahnya.

2) Boleh diserahkan pada waktu akad.

3) Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan

barang, maka yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang

diharamkan syara’.

B. Khiya>r dalam jual beli

1. Pengertian khiya>r

Dalam jual beli terdapat hak khiya>r. Kata al-khiya>r dalam

bahasa arab berarti pilihan, pembahasan al-khiya>r dikemukakan para

ulama fiqh dalam permasalahan yang menyangkut transaksi dalam bidang

perdata khususnya transaksi ekonomi, sebagai salah satu hak bagi kedua

belah pihak yang melakukan transaksi (akad) ketika terjadi beberapa

persoalan dalam transaksi.21

Khiya>r menurut ulama fiqh, adalah disyari’atkan atau dibolehkan

karena suatu keperluan yang mendesak dalam mempertimbangkan

kemaslahatan masing-masing pihak yang melakukan transaksi.

20Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah …, 118.

(41)

Secara etimologis khiya>r diartikan: hak bagi salah satu pihak atau kedua

pihak yang mengadakan transaksi untuk membatalkan transaksi, hak yang

diberikan untuk memilih dia antara 2 hal yaitu tetap melangsungkan

transaksi dan menetapkannya atau membatalkan transaksi dan

merusaknya sama sekali .22

2. Dasar hukum khiya>r

Khiya>r hukumnya dibolehkan berdasarkan sunnah rasulullah. Di

antara sunnah tersebut adalah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari

dari Ibnu Umar:

ُِنَع

ُِنْبا

ُاُ َلاَقُ:ُ َلاَقُامهنعََُِاُيضرُرَم ع

ََُِاُُينلا

ىَلَص

ُ ََا

ُِهْيَلَع

ُُمُامُِراَيُِِِْْنُاعيبلاُ:َُمَلَسَو

ُْوَأُُُ،ُاَقَرَفَ تَ ي

ُِ:ُهبحُاصلُاَ دَحَأَُلو قَ ي

ُْوَأُ:َلاَقُاَََ رَوُْرَ تْخا

َُنو كَي

َُعْيَ ب

ٍُراَيِخ

Dari Ibnu Umar ia berkata: telah bersabda Nabi : penjual dan

pembeli boleh melakukan khiya>r selagi keduanya belum

terpisah, atau salah seorang mengatakan kepada temannya: pilhlah. Dan kadang-kadang beliau bersabda:atau terjadi jual

beli khiya>r. (HR.Al-Bukhari).23

Dari hadis tersebut jelaslah bahwa khiya>r dalam akad jual beli

hukumnya dibolehkan. Apabila dalam barang yang dibeli terdapat cacat

yang bisa merugikan kepada pihak pembeli.

3. Macam-macam khiya>r

Khiyar dibagi menjadi 4 yaitu:

a. Khiya>r majelis

22Abdul Basith Junaidy, Asas Hukum Ekonomi dan Bisnis Islam (Surabaya: UIN Sunan Ampel

Press,2014), 120.

(42)

Khiya>r majelis yaitu hak pilih bagi kedua belah pihak yang

berakad untuk membatalkan akad, selama keduanya masih berada

dalam majelis akad (di ruangan toko) dan belum berpisah badan.

Artinya, suatu transaksi baru dianggap sah apabila kedua belah pihak

yang melaksanakan akad telah berpisah badan atau salah seorang di

antara mereka telah melakukan pilihan untuk menjual dan atau

membeli. Khiya>r seperti ini hanya berlaku dalam suatu transaksi yang

bersifat mengikat kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi,

jual beli dan sewa menyewa.24

b. Khiya>r syarat

Khiya>r syarat adalah suatu khiya>r di mana seseorang

membeli sesuatu dari pihak lain dengan ketentuan ia boleh melakukan

khiya>r pada masa atau waktu tertentu. Walaupun waktu tersebut

lama, apabila ia menghendaki maka ia bisa melangsungkan jual beli

dan apabila ia menghendaki ia bisa membatalkannya. Dari definisi

tersbut dapat dipahami bahwa khiya>r syarat adalah suatu bentuk

khiya>r dimana para pihak yang melakukan akad jual beli memberikan

persyaratan bahwa dalam waktu tertentu mereka berdua boleh

memilih atau meneruskan atu membatalkannya.25

Ahmad bin Hambali tidak membatasi berapa hari lamanya.

Panjang atau pendek dibolehkan asal dapat ditentukan atas kerelaan

masing-masing pihak yang bersangkutan.

24Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 130.

(43)

Abu Hanifah dan Syafi’i membatasi khiya>r syarat tidak boleh lebih dari tiga hari. Ulama mazhab Maliki berpendapat lama

khiya>r itu bergantung kepada barang yang diperjualbelikan, sesuai

dengan adat kebiasaan yang berlaku.

c. Khiya>r aib

khiya>r aib, yaitu hak untuk membatalkan atau

melangsungkan jual beli bagi kedua belah pihak yang berakad, apabila

terdapat suatu cacat pada objek yang diperjual belikan, dan cacat itu

tidak diketahui pemiliknya ketika akad berlangsung. Dasar hukum

khiya>r aib ini, di antaranya adalah hadis Nabi Saw yang berbunyi:

ُ مْلاُو خَأُ مِلْس مْلاُ لو قَ يَُمَلَسَوُِهْيَلَعُ ََاُىَلَصََُِاَُلو سَرُ تْعََِ

َُ بُِهيِخَأُْنِمَُعٍَُِمِلْس مِلُ لََُِ ََُِمِلْس

ُااعْ ي

ُ هَلُ هَنَ يَ بُ ََِإٌُبْيَعُِهيِف

Sesama muslim itu bersaudara; tidak halal bagi seorang muslim menjual barangnya kepada muslim lain, padahal pada barang terdapat aib/cacat”. (HR Ibn Majah dari Uqbah ibn Amir).

Adapun syarat-syarat berlakunya khiya>r aib, menurut para

pakar setelah diketahui ada cacat pada barang itu, adalah: cacat itu

diketahui sebelum atau setelah akad tetapi belum serah terima barang

dan harga atau cacat itu merupakan cacat lama. Syarat-syarat tersebut

yaitu:

1) Pembeli tidak mengetahui bahwa pada barang itu ada cacat ketika

akad berlangsung.

2) Ketika akad berlangsung, pemilik barang (penjual) tidak

(44)

3) Cacat itu tidak hilang sampai dilakukan pembatalan akad.26

Untuk mengembalikan barang yang dijual harus dipenuhi

beberapa syarat yaitu:

a) Pada umumnya menurut adat kebiasaan, barang yang dijual

selamat (terbebas) dari cacat (aib).

b) Aib tersebut tidak mungkin dihilangkan kecuali dengan susah

payah. Apabila aib bisa dihilangkan dengan mudah maka barang

tidak perlu dikembalikan.

c) Aib (cacat) tersebut harus ada pada barang yang dijual dan barang

tersebut masih ditangan penjual.

d) Penjual tidak mensyaratkan dirinya bebas (tidak bertanggung

jawab) atas aib (cacat) yang timbul pada barang yang dijual.

Apabila penjual mensyaratkan dia bebas (tidak bertanggung

jawab) atas cacat yang timbul pada barang yang dijual maka

barang yang tidak boleh dikembalikan.

e) Aib tersebut tidak hilang sebelum akad dibatalkan. Apabila aib

tersebut hilang sebelum akad di fasakh maka akad tidak fasakh,

karena aib hilang sebelum barang dikembalikan.27

d. Khiya>r ruyah

Khiya>r ruyah adalah hak pembeli untuk membatalkan atau

meneruskan ketika ia melihat obyek akad dengan syarat ia belum

melihatnya ketika berlangsung akad atau sebelumnya ia pernah

26Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah …, 136.

(45)

melihat dalam batas waktu yang memungkinkan telah jadi batas

perubahan atasnya.28

Syarat khiya>r ruyah bagi yang membolehkannya yaitu:

1) Barang yang akan ditransaksikan berupa barang yang secara fisik

ada dan dapat dilihat berupa harta tetap atau harta bergerak.

2) Barang dagangan yang ditransaksikan dapat dibatalkan dengan

mengembalikan saat transaksi.

3) Tidak melihat barang dagangan ketika terjadi transaksi atau

sebelumnya, sedangkan barang dagangan tersebut tidak berubah.

Ada kemungkinan suatu akad jual beli terjadi tanpa terlebih

dahulu barangnya diketahui oleh pembeli, tetapi hanya disebutkan

sifat-sifanya. Setelah akad terjadi, jika tiba-tiba barang bersangkutan

dilihat oleh pembelinya tidak memenuhi sifat-sifat yang dikatakan

oleh penjualnya, pembeli berhak melangsungkan atau mengurungkan

akad yang telah dibuatnya itu. Hak khiya>r yang dipunyai pembeli

karena melihat barang setelah akad terjadi itu disebut khiya>r ru’yah

(khiya>r penglihatan mata atau khiya>r setelah melihat barangnya).29

28Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Konstektual (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), 109.

29Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat (Yogyakarta : UII Press Yogyakarta, 2000)

(46)

C. Ketentuan Jual Beli menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen

1. Pengertian Jual Beli menurut Undang-Undang Perlindungan konsumen

Hukum perlindungan konsumen tidak menyebutkan secara

tersurat definisi mengenai jual beli. Hukum perindungan hanya

menjelaskan siapa saja subyek yang terlibat dalam jual beli dan obyek

dalam jual beli.

a. Subyek Jual Beli

1) Konsumen

Istilah kosumen di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), menyatakan

bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau

jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri

sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak

untuk diperdagangkan. 30

Pengertian kosumen dalam UUPK tidak hanya konsumen

secara individu, juga meliputi pemakaian barang untuk

kepentingan makhluk hidup lain, seperti binatang peliharaan,

tetapi tidak diperluas pada individu pihak ketiga yang dirugikan

atau menjadi korban akibat penggunaan atau pemanfaatan suatu

produk barang atau jasa.

Perlu dikemukakan dalam pengertian konsumen ini

adalah syarat tidak untuk diperdagangkan yang menunjukkan

(47)

sebagai konsumen akhir (end consumer).31 Maksud dari

konsumen akhir adalah setiap orang yang mendapatkan dan

menggunakan barang dan/jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan

kehidupan pribadi, keluarga, orang lain, dan makhluk hidup

lainnya dan tidak untuk diperdagangkan kembali dan/jasa untuk

mencari keuntungan kembali.32

2) Pelaku Usaha

Pengertian pelaku usaha dalam Undang-Undang No. 8

tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa

pelaku usaha adalah Setiap orang perseorangan atau badan usaha,

baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum

yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam

wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun

bersama-sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha

dalam berbagai bidang ekonomi.33

Pengertian pelaku usaha menurut ketentuan UUPK ini,

mempunyai cakupan yang luas karena meliputi penjual grosir,

sampai pada pengecer, Namun dalam pengertian pelaku usaha

tersebut, tidaklah mencakup eksportir atau pelaku usaha di luar

negeri, karena UUPK membatasi orang perseorangan atau badan

usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan

31Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara serta Kendala Implementasinya (Jakarta: Kencana, 2008), 63.

32 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: Lencana, 2013), 18.

(48)

hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan

dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia. Pengertian ini

pelaku usaha dalam UUPK bermakna luas sehingga memudahkan

konsumen korban menuntut ganti kerugian.34

b. Obyek Jual Beli

Yang termasuk obyek jual beli menurut hukum perlindungan

konsumen adalah:

1) Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak

berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan

maupun tidak dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan,

dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.

2) Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi

yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh

konsumen.35

2. Filosofi Lahirnya Undang-undang Perlindungan Konsumen

Kehadiran Undang-Undang Perlindungan Konsumen secara

umum sekurang-kurangnya dapat di lihat dari berbagai perspektif.

Pertama, Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebagai simbol

kebangkiitan hak-hak sipil. Hak-hak konsumen pada asanya juga adalah

hak-hak sipil masyarakat. Karena itu, dengan adanya Undang-Undang

34Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dai Hukum Acara serta

Kendala Implementasinya …, 67.

(49)

Perlindungan Konsumen, berarti hak-hak sipil masyarakat akan terjamin

terlindungi dan terawasi dengan baik.

Kedua, Undang-Undang Perlindungan Konsumen merupakan

penjabaran lebih detail dari Hak Asasi Manusia, lebih khusus lagi hak-hak

ekonomi. Sebagai bagian dari HAM, keberadaan Undang-Undang

Perlindungan Konsumen tidak dapat dilepaskan dari doktrin-doktrin

HAM yang berlaku secara universal.

Ketiga, untuk dapat memahami suatu Undang-Undang, terlebih

dahulu harus mengetahui filosofi yang menjadi dasar dikeluarkannya

produk hukum tersebut. Hal ini, pada umumnya dapat ditemukan dalam

penjelasan bagian umum suatu Undang-Undang.

Dalam Konteks Undang-Undang Perlindungan Konsumen,

landasan filosofi yang dijadikan dasar, anatara lain :

a. Tingkat kesadaran konsumen akan hak-haknya masih sangat rendah.

Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan

konsumen

b. Undang-Undang Perlindungan Konsumen pada dasarnya bukan

merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur Perlindungan

Konsumen. Sebab, sampai terbentuknya Undang-Undang

Perlindungan Konsumen, telah ada beberapa Undang-Undang yang

materinya juga melindungi kepentingan konsumen;

c. Perlindungan Konsumen merupakan paying (umbrella act) yang

(50)

perlindungan konsumen. Jadi, hanya mengatur prinsip-prinsip pokok

perlindungan konsumen, sedangkan peraturan yang leih detail, diatur

dalam Undang-Undang sektoral.36

3. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Dengan lahirnya Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen, maka diharapkan upaya Perlindungan

Konsumen di Indonesia yang selama ini kurang diperhatikan bisa lebih

diperhatikan.

Asas hukum atau prinsip hukum bukanlah peraturan hukum

konkrit melainkan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan

latar belakang dari peraturan konkrit yang terdapat dalam dan di belakang

setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan Undang-Undang dan

putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan

dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut.37

Adapun Asas Perlindungan Konsumen dalam UUPK adalah

a. Asas Manfaat38: Hal ini bermaksud untuk mengamanatkan bahwa

segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan ini harus

memberikan manfaat besar bagi kepentingan konsumen dan pelaku

usaha secara keseluruhan,39

36Sudaryatmo, Memahami Hak Anda sebagai Konsumen (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 5.

37Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1999), 5.

38 Pasal 2 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

(51)

b. Asas Keadilan40: Hal ini bermaksud agar partisipasi seluruh rakyat

dapat di wujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan

kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan

melaksanakan kewajibannya secara adil,41

c. Asas Keseimbangan42: Hal ini bermaksud memberikan keseimbangan

antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintahan dalam

arti materiil ataupun spiritual,43

d. Asas Keamanan44: Hal ini bermaksud untuk memberikan jaminan atas

keamanan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan

pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan,45

e. Asas Keselamatan Konsumen46: Hal ini bermaksud untuk memberikan

jaminan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan,

pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi

atau digunakan,

f. Asas Kepastian Hukum: Hal ini bermaksud agar baik pelaku usaha

maupun konsumen mentaati hukum dam memperoleh keadilan dalam

penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin

kepastian hukumnya.47

Adapun tujuan Perlindungan Konsumen dalam UUPK adalah:

40 Pasal 2 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

41Eli Wuria Dewi, Hukum Perlindungan Konsumen, 11.

42 Pasal 2 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

43Eli Wuria Dewi, Hukum Perlindungan Konsumen, 11.

44 Pasal 2 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

45Eli Wuria Dewi, Hukum Perlindungan Konsumen, 12.

46 Pasal 2 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

(52)

a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen

untuk melindungi diri;

b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara

menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan

dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur

kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk

mendapatkan informasi;

e. Menumbuhk

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis tersebut akan mendukung proses pada tahapan identifikasi kebutuhan bisnis yang akan meng-capture hal-hal yang dibutuhkan dalam aktivitas

Dengan menggunakan Algoritma Greedy pada graph di atas, hasil akhir yang akan didapatkan sebagai jarak terpendek adalah A-C-D-E-F-B.. Hasil jarak terpendek yang

Faktor Peluangnya adalah: 1) Melalui pengembangan agroindustri serat sabut kelapa berkaret (sebutret) akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat petani (kelapa dan karet),

Peningkatan dosis perlakuan limbah cair biogas dan pupuk N, P, K menunjukkan pertumbuhan tinggi bibit yang kurang optimal, hal ini dikarenakan dosis yang diberikan

sedangkan pada perlakuan pupuk organik dan interaksi antara jenis Ubi banggai dengan pupuk organik tidak berpengaruh nyata pada pertumbuhan tinggi tanaman dan

Berdasarkan Peraturan Mentri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 05 Tahun 2013 Tentang Pedoman Pelaksanaan Program Adiwiyata terbagi menjadi 4 komponen yaitu aspek

Perbedaan penelitiannya dari peneliti adalah variabel terikatnya yaitu penelitiannya dengan variabel kenakalan remaja broken home sedangkan peneliti variabel terikatnya

Pada kultur in vitro jahe, penggunaan media cair menghasilkan respon tumbuh yang lebih baik dibandingkan dengan media padat ( MARISKA dan SYAHID , 1992), begitu juga dengan