SKRIPSI
Olehs Nia Rahmadhani NIM. C02213054
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syari’ah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Ekonomi Syari’ah Surabaya
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
ABSTRAK
Skripsi yang berjudul “Analisis Hukum Islam dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Terhadap Praktik Jual Beli Barang
Kadaluwarsa yang Tidak Dapat Dikembalikan di Toko Hidayah Surabaya” ini
merupakan hasil penelitian kualitatif untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana praktik jual beli barang kadaluwarsa yang tidak dapat dikembalikan di toko Hidayah dan bagaimana hukum Islam dan Undang-Undang No. 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen terhadap jual beli barang kadaluwarsa yang tidak dapat dikembalikan di toko Hidayah Surabaya.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan analisis data menggunakan deskriptif yakni menggambarkan kondisi, situasi atau fenomena yang tertuang dalam data yang diperoleh tentang faktor dan mekanisme jual beli barang kadaluwarsa yang tidak dapat dikembalikan di toko Hidayah Surabaya dan di analisis dengan perspektif hukum Islam. Proses analisis data dalam penelitian ini menggunakan pola pikir deduktif, yaitu menganalisis data praktik jual beli barang kadaluwarsa yang tidak dapat dikembalikan dengan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Hukum Islam.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: pertama, dalam praktiknya barang kadaluwarsa yang menjadi objek jual beli di toko Hidayah Surabaya tidak boleh dikembalikan ketika konsumen secara langsung memilih barangnya sendiri di toko, sedangkan boleh dikembalikan jika kosumen melakukan order melalui telepon; kedua, praktik jual beli barang kadaluwarsa yang tidak boleh dikembalikan ini tidak diperbolehkan menurut Hukum Islam, karena tidak sesuai
dengan akad jual beli yang di dalamnya terdapat khiya>r, yaitu khiya>r aib, di mana
ketika barang mengalami kecacatan (kadaluwarsa), maka boleh dikembalikan. Selain itu, dalam pasal 8 ayat 4 Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga ditegaskan adanya larangan pelaku usaha untuk memperdagangkan barang kadaluwarsa dan wajib menariknya dari peredaran.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
viii
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TRANSLITERASI ... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 9
C. Rumusan Masalah ... 10
D. Kajian Pustaka ... 10
E. Tujuan Penelitian ... 13
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 13
G. Definisi Operasional ... 14
H. Metode Penelitian ... 15
I. KarakteristikObyekPenelitian ... 19
J. Sistematika Pembahasan ... 20
BAB II TEORI JUAL BELI DAN KHIYA>R MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN ... 22
A. JualBeli ... 22
1. Pengertian ... 22
2. DasarHukum ... 24
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
ix
B. Khiya>r ... 31
1. Pengertian ... 31
2. DasarHukum ... 32
3. Macam-Macam ... 32
C. KetentuanJualBelimenurutUndang-UndangPerlindungan Konsumen ... 37
1. Pengertian JualBeliMenurut UUPK ... 37
2. FilosofiLahirnya UUPK ... 39
3. AsasdanTujuanPerlindunganKonsumen ... 41
4. HakdanKewajibanKonsumen ... 43
5. HakdanKewajibanPelaku Usaha ... 45
6. Perbuatan yang DilarangBagiPelaku Usaha ... 46
7. KetentuanMengenaiSanksiDalam UUPK ... 48
BAB III PRAKTIK PELAKSANAAN JUAL BELI DI TOKO HIDAYAH SURABAYA ... 50
A. Gambaran UmumTokoHidayah ... 50
B. PelaksanaanPraktikJualBeliBarangKadaluwarsa Di Toko Hidayah Surabaya... 52
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PRAKTIK JUAL BELI BARANG KADALUARSA YANG TIDAK DAPAT DIKEMBALIKAN DI TOKO HIDAYAH SURABAYA ... 57
A. AnalisisPraktikJualBeliHukum Islam terhadapbarangkadaluwarsayang tidakdapatdikembalikan di tokoHidayah Surabaya ... 57
B. AnalisisUndang-Undang No 8 tahun 1999
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
x
kadaluwarsayang tidakdapatdikembalikan di tokoHidayah
Surabaya ... 64
BAB V PENUTUP ... 68
A. Kesimpulan ... 68
B. Saran ... 69
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia disebut makhluk sosial dengan artian bahwa manusia
saling membutuhkan satu sama lain baik dalam hal bekerja, bekerja sama
maupun interaksi sosial lain yaitu interaksi tukar menukar sesuatu benda
yang bermanfaat dengan cara yang ditentukan, seperti: jual beli, sewa
menyewa, pinjam meminjam, upah mengupah, perseroan dan bentuk-bentuk
usaha lainnya.
Konsep muamalah merupakan konsep yang mengatur hubungan
antar sesama manusia yang memiliki tujuan untuk menjaga hak-hak manusia,
merealisasikan kemaslahatan dan menjauhkan segala kemudharatan yang
terjadi. Konsep muamalah telah diatur oleh Islam dalam bentuk syariah yang
memuat berbagai hukum, yaitu halal, haram, mubah dan makruh. Di dalam
syariah terdapat prinsip-prinsip Islam yang berkaitan dengan kehidupan, baik
kaitannya dengan hubungan kepada Allah Swt maupun hubungan kepada
sesama manusia. Dalam kegiatan pemenuhan kebutuhan manusia
memerlukan adanya batasan agar mereka tidak cenderung untuk menuruti
hawa nafsu dan batasan tersebut ialah fiqh muamalah.
Fiqh muamalah adalah himpunan hukum-hukum yang mengatur
kegiatan ekonomi1. Hukum tersebut ditetapkan demi terciptanya rasa aman,
tegaknya Undang-Undang dalam negara atau masyarakat Islam, juga agar
tidak menghilangkan makna taat kepada Allah dan menjaga hak-Nya. Oleh
sebab itu pemahaman dalam bidang fiqh muamalah amatlah penting, karena
fiqh muamalah merupakan pengarah kehidupan hubungan antar sesama
manusia, Sehingga manusia harus senantiasa mengikuti aturan yang
ditetapkan Allah Swt, sekalipun dalam urusan duniawi yang termasuk
kegiatan bermuamalah karena setiap kegiatan manusia kelak akan diminta
pertanggungjawaban di akhirat. Salah satu interaksi sosial saat ini yang
termasuk dalam fiqh muamalah salah satunya ialah jual beli.
Dewasa ini, interaksi yang sering dan banyak terjadi adalah
interaksi jual beli. Kebutuhan jual beli ini tak pernah terputus dan tak
henti-henti selama manusia masih hidup. Tak seorangpun dapat memenuhi hajat
hidupnya sendiri, karena itu manusia dituntut berhubungan dengan lainnya.
Seseorang memberikan apa yang ia miliki untuk kemudian ia dapatkan
sesuatu yang berguna dari orang lain sesuai kebutuhan masing-masing.2
Dalam Islam, interaksi jual beli tersebut merupakan salah satu yang
termasuk dalam muamalah jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian.
Dalam hukum Islam, perjanjian jual beli disebut dengan akad al-bai’ yaitu
pertukaran harta tertentu dengan harta lain berdasarkan keridhaan antara
keduanya. Islam juga menghalalkan jual beli sebagaimana yang sudah tertera
dalam firman Allah Swt dalam surat al-Baqarah ayat 275, sebagai berikut:3
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
Dalam ayat di atas, telah ditegaskan bahwa Allah Swt menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba. Dalam kajian fiqh juga sudah dijelaskan
tentang ketentuan yang ada di dalam jual beli. Telah ditentukan
aturan-aturan hukumnya antara lain tentang rukun dan syarat jual beli, serta bentuk
jual-beli yang dilarang oleh syariah. Maka dari itu di dalam praktiknya harus
sesuai syarat dan rukun serta memberi manfaat bagi yang melakukannya.
Orang yang terjun ke dunia usaha seharusnya berkewajiban
mengetahui hal-hal yang dapat mengakibatkan jual beli itu sah atau tidak. Ini
dimaksudkan agar muamalah berjalan sah dan segala sikap dan tindakannya
jauh dari kerusakan yang tidak dibenarkan.
3
Jual beli memiliki beberapa syarat yang dapat mempengaruhi sah
tidaknya akad jual beli tersebut. Di antaranya adalah syarat untuk barang
yang akan dibeli adalah saling ridha antara penjual dan pembeli. Jual beli
dianggap tidak sah, apabila salah satu dari pihak yang berakad terdapat unsur
paksaan,4dan tak sedikitpun kaum muslimin yang mengabaikan mempelajari
akad jual beli, mereka melalaikan aspek ini, sehingga tak peduli kalau hal ini
adalah hal yang paling penting dalam akad jual beli. Sebab Allah Swt telah
berfirman dalam QS an-Nisa ayat 29:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah
maha penyayang kepadamu.5
Dalam ayat tersebut Allah Swt telah mengisyaratkan bahwa
transaksi ekonomi dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia harus dengan
cara yang baik dan benar, yaitu harus saling merelakan dan dengan cara yang
tidak dilarang oleh agama.
Agama Islam adalah agama yang menjaga semua bentuk toleransi.
Islam selalu memperhatikan keadaan dan kemaslahatan umum. Islam selalu
berusaha menghilangkan kesulitan dan kesusahan yang dihadapi umat ini. Di
antara bukti itu adalah aturan Islam tentang jual beli dengan memberikan hak
4Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat (Yoyakarta: UII Press, 2000), 101.
memilih khiya>r bagi pihak yang melakukan akad. Hal itu diharapkan pihak
yang mengadakan akad tersebut dapat melakukan urusannya dengan leluasa
dan dapat melihat kemaslahatan yang ada di belakang transaksi tersebut.6
Sehingga, Islam dapat mengedepankan hal-hal yang mengandung kebaikan
dan menghindari dari hal-hal yang tidak ada maslahatnya.
Adapun yang dimaksud dengan khiya>r dalam jual beli adalah
memilih dua hal yang terbaik antara meneruskan akad jual beli atau
membatalkannya. Hal ini agar kedua belah pihak (penjual dan pembeli) dapat
memikirkan sejauh mungkin kebaikan berlangsungnya jual beli atau kebaikan
untuk membatalkan jual beli, agar masing-masing pihak tidak menyesal atas
apa yang telah dijualnya atau dibelinya. Sebab penyesalan tersebut bisa
terjadi karena kurang hati-hati, tergesa-gesa, atau karena faktor-faktor
lainnya.
Hak khiya>r ditetapkan syariat Islam bagi orang yang melakukan
transaksi yang mereka lakukan, sehingga kemaslahatan yang dituju dalam
suatu transaksi tercapai dengan sebaik-baiknya. Status khiya>r menurut ulama
fiqh, adalah disyariatkan atau dibolehkan karena suatu keperluan yang
mendesak dalam mempertimbangkan kemaslahatan masing-masing pihak
yang melakukan transaksi. Status khiya>r, menurut ulama fiqh, adalah
disyariatkan atau dibolehkan karena suatu keperluan yang mendesak dalam
mampertimbangkan kemaslahatan masing-masing pihak yang melakukan
transaksi.7
Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama
Islam. Sehingga sudah seharusnya konsumen muslim mendapatkan
perlindungan atas barang dan/atau jasa sesuai dengan syariat Islam.
Perlindungan tersebut merupakan hak setiap warga negara Indonesia. Hak
khiya>r yang merupakan salah satu bentuk perlindungan konsumen dalam
Islam, tentunya memiliki peranan dalam kegiatan muamalah. Sudah
seharusnya hak khiya>r sebagai salah satu bentuk untuk melindungi hak-hak
konsumen muslim tersebut termuat dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen.
Negara Indonesia telah memiliki Undang-undang yang tujuan
pembuatannya untuk melindungi warga negaranya termasuk Undang-Undang
yang mengatur tentang perlindungan konsumen yaitu Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.8
Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen jual beli memiliki dua subyek ialah penjual dan pembeli. Penjual
memiliki kedudukan sebagai pelaku usaha yang sifatnya memproduksi atau
mendistribusikan produk yang dibutuhkan konsumen.9
Dalam Undang-Undang tersebut juga menyebutkan bahwa hak
konsumen atau pembeli adalah hak atas kenyamanan, keamanan dan
7
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah (Jakarta:Gaya Media Pratama,2007), 129.
8Yusuf Sofi, Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi (Jakarta: Galia Indonesia,
2002), 13.
keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan jasa, Undang-Undang ini
menunjukkan bahwa setiap konsumen, termasuk konsumen muslim yang
merupakan mayoritas konsumen di Indonesia.
Dalam Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen juga dijelaskan bahwa, konsumen berhak untuk memilih dan
mendapatkan kompensasi atau ganti rugi, atau penggantian apabila barang
atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau sebagaimana
mestinya. Begitu pula dengan sebaliknya pedagang atau pelaku usaha dalam
Undang-Undang ini ditegaskan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban
untuk memberikan kompensasi, ganti rugi, dan penggantian apabila barang
atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Akan tetapi, peraturan pemerintah ini tidak berlaku sesuai dengan
yang diharapkan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya pedagang yang
enggan melayani konsumen yang complain dan banyak di temukan di
berbagai toko-toko tulisan “barang yang sudah dibeli tidak dapat
dikembalikan”.
Dalam transaksi jual beli yang saat ini terjadi, banyak didapati
penjual yang menerapkan klausul perjanjian tertulis dalam nota pembelian
yang bertuliskan “Barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan”. Sebagaimana dengan kasus yang terjadi di toko Hidayah ini yaitu terhadap
barang yang sudah kadaluwarsa tidak dapat dikembalikan.
Seperti kasus yang terdapat di toko Hidayah ketika pembeli sudah
ternyata ada beberapa sosis yang sudah kadaluwarsa, ketika itu pembeli
ingin menukarkan sosis tersebut terhadap penjual dan kenyataanya ditolak
dan alasan dari pihak penjual karena itu bukan kesalahan dari mereka, adapun
bukti yang tertera di nota pembeliannya yang bertulisan dengan “barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan”.
Hal tersebut didapati dari para penjual yang melakukan transaksi
jual beli barang yang tidak hanya di daerah pusat perbelanjaan supermarket
saja, akan tetapi jual beli barang di toko juga telah menerapkan klausul
perjanjian tertulis pada nota pembeliannya.
Fenomena perjanjian tertulis dalam nota pembelian yang bertuliskan
“Barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan” menunjukkan betapa tidak berdayanya pihak pembeli dalam hal ini konsumen dalam transaksi jual
beli tersebut. Kalimat tersebut membuat pemahaman bahwa ketika penjual
atau konsumen mendapati jika barang yang ia beli dari penjual tersebut
terdapat cacat atau kadaluwarsa dan ketika pembeli ingin menukarkan barang
yang telah dibeli tersebut kepada penjual, pihak penjual tidak mau menerima
barang itu kembali atau mengembalikan uang yang telah konsumen berikan.
Di sini jelas terjadi ketidaksepakatan antara penjual dan pembeli,
pembeli ingin menukar ataupun membatalkan kesepakatan terhadap penjual
namun yang terjadi penjual tidak mau menerima complain karena penjual
tetap mempertahankan nota yang telah di kasih kepada si pembeli dengan
Namun demikian, untuk mengetahui bagaimana praktik
pelaksanaannya dan keadaan yang sebenarnya dalam pandangan hukum Islam
terhadap penerapan klausul perjanjian tertulis dalam nota pembelian yang
bertuliskan “Barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan”. Untuk itu maka penulis mengambil judul “Analisis Hukum Islam Dan Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Terhadap Praktik Jual
Beli Barang Kadaluwarsa yang Tidak Dapat Dikembalikan di Toko Hidayah
Surabaya”.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas terdapat beberapa
masalah dalam penelitian ini. Adapun masalah-masalah tersebut
diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Pelaksanaan transaksi jual beli di toko Hidayah
2. Konsep khiya>r dalam akad jual beli di toko Hidayah
3. Konsep perjanjian baku mengenai barang yang sudah dibeli tidak dapat
dikembalikan
4. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
terhadap barang kadaluwarsa yang tidak dapat dikembalikan dalam
transaksi jual beli.
5. Praktik jual beli barang yang kadaluwarsa tidak dapat dikembalikan di
6. Analisis Hukum Islam dan Undang-Undang No 8 Tahun 1999 mengenai
perlindungan konsumen terhadap jual beli barang kadaluwarsa yang tidak
dapat dikembalikan di Toko Hidayah Surabaya.
Agar menghasilkan penelitian yang lebih fokus, maka diperlukan
batasan masalah dalam penelitian sehingga hanya terbatas pada:
1. Praktik jual beli barang yang kadaluwarsa tidak dapat dikembalikan di
toko Hidayah Surabaya.
2. Analisis Hukum Islam dan Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen terhadap praktik jual beli barang kadaluwarsa
yang tidak dapat dikembalikan di Toko Hidayah Surabaya.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut ada beberapa permasalahan
yang dirumuskan, sebagai berikut:
1. Bagaimana praktik jual beli barang kadaluwarsa yang tidak dapat
dikembalikan di toko Hidayah Surabaya ?
2. Bagaimana Hukum Islam dan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen terhadap praktik jual beli barang kadaluwarsa
yang tidak dapat dikembalikan di toko Hidayah surabaya ?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau
sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan
pengurangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang telah ada.10
1. Skripsi yang ditulis oleh Olivia dengan judul Hak khiya>r Konsumen dan
Sistem Retur Dalam Jual Beli Fashion Hijab Secara Online di Instagram
#Tashaproject (studi komparatif).11 Penulis dengan judul tersebut
memberikan kesimpulan bahwa sistem retur di toko online di instagram
#tashaproject sesuai dengan hukum Islam sesusai dengan pendapat Imam
Malik dan Imam Ahmad dalam riwayatnya sedangkan menurut
Undang-undang pelindungan konsumen #Tashaproject sudah berjalan sesuai
Undang-undang karena barang yang terdapat di toko online tersebut
dapat diretur kembali jika terdapat cacat ataupun produk yang rusak
namun pihak penjual tidak bisa memastikan akan berapa lama
mengembalikkan produknya dikarenakan penjual harus memproduksinya
dahulu.
2. Skripsi yang ditulis oleh Dhasep Aberta Satriadin dengan judul tinjauan
Hukum Islam terhadap Khiya>r Dalam Jual Beli Sistem COD (cash on
delivery).12 Penulis dengan judul tersebut memberikan kesimpulan bahwa
dalam jual beli dengan sistem COD di PT Toko Bagus ini menggunakan
analisis khiya>r yang sesuai hukum Islam dengan praktik khiya>r dalam jual
beli sistem COD (cash on delivery) dilakukan saat penjual dan pembeli
10Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi (Surabaya:
Fakultas Syariah dan Hukum, 2016), 8.
bertemu di tempat transaksi yang ditentukan sebelum terjadinya akad jual
beli. Dalam skripsi ini juga menjelaskan tentang macam-macam khiya>r
yang dapat dilakukan dalam sistem COD (cash on delivery) yaitu khiya>r
aib dan khiya>r majlis serta penjual dan pembeli mendapatkan hak-haknya
dari khiya>r tersebut.
3. Skripsi yang ditulis oleh Danil Khairul dengan judul Pelaksanaan Khiya>r
Dalam Pasar Selasapanam Pekanbaru Menurut Perspektif fiqh
muamalah.13 Penulis dengan judul tersebut memberikan kesimpulan
bahwa pelaksanaan khiya>r pada pedagang barang pecah belah dan
pedagang pakaian di Pasar Selasa Panam Pekanbaru belum terlaksana
sebagai semestinya. Di mana pedagang mensyaratkan pelaksanaannya
hanya dalam waktu satu hari, di mana apabila ada barang yang dibeli
tidak sesuai atau cacat maka pedagang hanya memberi waktu dalam
penukarannya selama satu hari, hanya bisa menukar barang dan tidak bisa
dikembalikan berbentuk uang. Dalam fiqh muamalah pelaksanaan khiya>r
di pasar selasa ini termasuk kepada khiya>r syarat, di mana adanya
kesepakatan antara pedagang dan pembeli mengenai syarat penukaran
barang. Adapun menurut perspektif fiqih muamalah pelaksanaan khiya>r di
pasar selasa diperbolehkan karena termasuk pada pembagian
macam-macam khiya>r, yaitu khiya>r syarat.
Dalam kaitannya dari kajian terdahulu yang telah peneliti paparkan
bahwa tidak ada karya ilmiah yang mirip dengan kajian yang sedang
13
dilakukan oleh penulis yang mengkaji tentang, “Analisis Hukum Islam Dan Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Terhadap Praktik Jual Beli Barang Kadaluwarsa Yang Tidak Dapat
Dikembalikan”.
E. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini mempunyai
tujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui bagaimana praktik jual beli barang kadaluwarsa yang tidak
dapat dikembalikan di toko Hidayah surabaya.
2. Mengetahui hukum Islam dan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen terhadap praktik jual beli barang kadaluwarsa
yang tidak dapat dikembalikan di toko Hidayah Surabaya.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Dari penelitian yang berjudul “Analisis hukum Islam dan
Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Terhadap
Praktik Jual beli Barang Kadaluwarsa yang Tidak Dapat Dikembalikan di
Toko Hidayah Surabaya”, diharapkan dapat memberikan manfaat serta dapat dipergunakan untuk:
1. Secara teoritik, penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan
khususnya jurusan muamalah serta menjadi rujukan penelitian berikutnya
terhadap “barang kadaluwarsa yang tidak dapat dikembalikan”.
2. Secara praktis, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan
bagi Toko Hidayah khususnya yang menjadi obyek penelitian, dalam
melayani konsumen dan memperhatikan hak-hak pembeli.
G. Definisi Operasional
Dalam rangka untuk menghindari kesalahpahaman persepsi terhadap
judul ini, maka penulis merasa penting untuk menjabarkan tentang maksud
dari istilah-istilah yang berkenaan dengan judul di atas, dengan kata-kata
kunci sebagai berikut:
1. Hukum Islam adalah seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan
sunnah rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan
diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam, berdasarkan
Al-Qur’an, Hadis dan pendapat para Ulama fiqih mengenai praktik jual beli
dan hak khiya>r. Hukum Islam dalam kasus ini membahas mengenai jual
beli dan khiya>r.
2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen
adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
mewujudkan keseimbangan perlindungan konsumen, perlindungan
kepentingan konsumen dan pelaku usaha agar tercipta perekonomian yang
sehat. Lebih tepatnya dalam kasus ini terdapat pada hak dan kewajiban
3. Toko Hidayah adalah toko yang menjual sembako dan ATK sebagian,
beralamatkan di Jl. Jemur Ngawinan gang 5 No 14 Surabaya, Jawa Timur
60237.
H. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian lapangan (field research)
yaitu penelitian yang datanya di gali melalui pengamatan-pengamatan dan
sumber data di lapangan dan bukan berasal dari sumber-sumber
kepustakaan,14 Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah penelitian
kualitatif, karena kualitatif memuat tetang prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa tulisan atau perkataan dari orang-orang
atau pelaku yang diamati.
Agar penulis skripsi dapat tersusun dengan benar, penulis
memandang perlu menggunakan metode penulisan skripsi sebagai berikut:
1. Data yang dikumpulkan
Data merupakan kumpulan dari keterangan atau informasi yang
benar dan nyata yang diperoleh baik dari sumber primer, maupun
sekunder.15Data adalah bahan keterangan tentang suatu obyek
uraian-uraian, bahkan dapat berupa cerita pendek. Data yang peneliti kumpulkan
diantaranya, yaitu data kualitatif yaitu data yang tidak berbentuk angka,
jenis data yang akan dicari adalah segala kata dan tindakan yang relevan
14Syarifuddin Azwar, Metode Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), 19.
dengan masalah yang akan diteliti16 yakni mengenai mekanisme “praktik
jual beli barang kadaluwarsa yang tidak dapat dikembalikan”.
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terdiri atas sumber data primer
dan sumber data sekunder.
a. Sumber data primer
Sumber data primer merupakan sumber data yang diperoleh
secara langsung yakni di Toko Hidayah Surabaya meliputi:
1) Pemilik Toko Hidayah Surabaya.
2) Konsumen atau pelanggan Toko Hidayah Surabaya tersebut.
b. Sumber data sekunder
Sumber data ini diambil dari dokumen dan bahan pustaka
(literature buku) yang ada hubungannya dengan penelitian ini antara
lain:
1) Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Mamalat.
2) Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat ( Hukum Perdata
Islam).
3) Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah.
4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen.
5) Al-Muslih, et al., Fikih Ekonomi Islam.
6) Abdul basith junaidy, asas hukum ekonomi dan bisnis islam.
7) Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen.
8) Eli Wuria Dewi, Hukum Perlindungan Konsumen.
3. Teknik pengumpulan data
Data dalam penelitian ini diperoleh dengan beberapa teknik
antara lain:
a. Observasi
Observasi data dilakukan dengan cara melakukan pengamatan
pada subyek penelitian atau fenomena-fenomena yang terjadi.17
Dalam hal ini penulis mengadakan pengamatan secara langsung yang
bertujuan untuk memperoleh data mengenai praktik jual beli di Toko
Hidayah Surabaya.
b. Wawancara
Wawancara (Interview) adalah usaha untuk mengumpulkan
informasi dengan cara mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan.
Ciri utama wawancara adalah terjadinya kontak langsung dan bertatap
muka antara pencari informasi dengan sumber informasi, sedangkan
jenis pedoman interview yang akan digunakan oleh penulis adalah
jenis pedoman interview tidak terstruktur, yakni pedoman wawancara
yang hanya memuat garis-garis besar pertanyaan yang akan
diajukan.18 Wawancara ini akan penulis lakukan terhadap pengelola
dan konsumen Toko Hidayah Surabaya.
17Syarifuddin Azwar, Metode Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), 19.
c. Identitas Responden
Responden dalam penelitian ini adalah konsumen atau
pelanggan pada Toko Hidayah Surabaya. Berdasarkan data dari
responden yang melakukan aktivitas jual beli barang kadaluwarsa di
Toko Hidayah melalui metode pengumpulan data dengan kuesioner
diperoleh kondisi responden tentang jenis kelamin, usia, dan pekerjaan
yaitu:
Nama Jenis Kelamin Usia Pekerjaan
Ibu Dori Perempuan 54 Tahun Wiraswasta
Ibu Kiki Perempuan 37 Tahun Pegawai
Ibu Natus Perempuan 50 Tahun Wiraswasta
Ibu Kevin Perempuan 43 Tahun Pegawai
4. Teknik Pengolahan Data
Pengolahan data merupakan suatu proses dalam memperoleh
data ringkasan atau angka ringkasan dengan menggunakan cara-cara atau
rumus-rumus tertentu. Setelah data terkumpul, maka langkah selanjutnya
adalah mengubah data melalui metode:
a. Organizing, yaitu suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan,
pencatatan, dan penyajian fakta untuk tujuan penelitian.19
b. Editing, yaitu kegiatan memperbaiki kualitas data (mentah) serta
menghilangkan keraguan akan kebenaran/ketepatan data tersebut.20
5. Teknik Analisis Data
Setelah tahapan pengolahan data, langkah selanjutnya yaitu
menganalisa data. Penelitian ini dianalisa dengan menggunakan teknik
deskriptif kualitatif, yakni menggambarkan kondisi, situasi atau
fenomena yang tertuang dalam data yang diperoleh tentang faktor dan
mekanisme jual beli barang kadaluwarsa yang tidak dapat dikembalikan
di toko Hidayah Surabaya dan dianalisis dengan perspektif hukum Islam.
Proses analisis data dalam penelitian ini menggunakan pola pikir
Deduktif, yaitu menganalisis data dari umum ke khusus tentang praktik
jual beli barang kadaluwarsa yang tidak dapat dikembalikan di toko
Hidayah surabaya yang telah dianalisis dengan Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Hukum Islam.
I. Karakteristik Objek Penelitian
Ada beberapa alasan yang menjadi dasar bagi penulis memilih kasus
praktik jual beli barang kadaluwarsa yang tidak dapat dikembalikan di Toko
Hidayah Surabaya. Alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Terdapat perbincangan antar warga mengenai praktik jual beli barang
kadaluwarsa di Toko Hidayah Surabaya yang tidak dapat dikembalikan
2. Adanya alasan penjual yang menarik ketika sistem di tanyakan, yaitu
ketika jual beli tersebut terjadi di Toko Hidayah maka barang tidak dapat
dikembalikan, namun ketika pemesanan barang melalui telepon maka
barang dapat dikembalikan.
3. Para konsumen merasa dirugikan namun tidak bisa melakukan apapun
dikarenakan nota sudah dikeluarkan.
J. Sistematika Pembahasan
Dalam rangka mempermudah pembahasan skripsi ini, maka penulis
membuat sistematika pembahasan sebagai berikut:
Bab Pertama, dalam bab ini berisi pendahuluan yang memaparkan
tentang latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan
masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi
operasional, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab Kedua berisi tentang teori jual beli dan teori khiya>r dan
Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terhadap
praktik jual beli barang kadaluwarsa yang tidak dapat dikembalikan di toko
hidayah Surabaya.
Bab ketiga, membahas tentang hasil penelitian yang berisi
gambaran umum dan dekripsi tentang toko hidayah dan menjelaskan
mengenai kasus yang terjadi toko hidayah tersebut.
Bab keempat, Bab ini membahas analisis hukum Islam terhadap
praktik jual beli barang kadaluwarsa yang tidak dapat dikembalikan pada
1999 tentang Perlindungan Konsumen terhadap praktik jual beli barang
kadaluwarsa yang tidak dapat dikembalikan di toko Hidayah Surabaya.
Bab kelima yang merupakan bagian akhir dari skripsi ini yang
didalamnya berisi tentang kesimpulan dan analisis permasalahan yang
22
BAB II
TEORI JUAL BELI DAN KHIYA>R MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN
KONSUMEN
A. Jual Beli Dalam Islam
1. Pengertian jual beli dalam Islam
Jual beli dalam istilah fiqh disebut dengan al-bay، yang berarti
menjual, menganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Lafal
al-bay، dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk lawannya, yakni
kata asy-syira’ (beli). Dengan demikian, kata al-bay، berarti jual, tetapi
sekaligus juga berarti beli.1 Secara etimologi jual beli diartikan:
ٍُءْيَشِبٍءْيَش ةَلَ باَق م
Tukar-menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain.2
Menurut Imam Nawawi dalam kitab Ma>jmu’ mengatakan bahwa
jual beli adalah tukar-menukar barang dengan maksud memberi
kepemilikan. Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mugni
mendefinisikan jual beli dengan tukar-menukar barang dengan barang
yang bertujuan memberi kepemilikan dan menerima hak milik.3
Secara terminologi, terdapat beberapa definisi jual beli yang
dikemukakan para ulama mazhab yaitu sebagai berikut:
a. Hanafiah memberikan definisi jual beli sebagai berikut.
1Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 111.
2Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat (Jakarta: AMZAH, 2010), 173.
Jual beli adalah tukar-menukar harta dengan harta menurut cara yang khusus, harta mencakup zat (barang) atau uang.
b. Malikiyah memberikan definisi jual beli sebagai berikut.
Jual beli adalah akad mu’a>wadhah (timbal balik) atas selain manfaat dan bukan pula untuk menikmati kesenangan.”
Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa jual beli
adalah akad mu’a>wadhah, yaitu akad yang dilakukan oleh dua pihak,
pembeli dan penjual.
c. Syafi’iyah memberikan definisi jual beli sebagai berikut.
Jual beli menurut syara’ adalah suatu akad yang mengandung tukar menukar harta dengan harta dengan syarat yang akan diuraikan nanti untuk memperoleh kepemilikan atas benda atau manfaat untuk waktu selamanya.
d. Hanabilah memberikan definisi jual beli sebagai berikut:
Jual beli menurut syara’ adalah tukar-menukar harta dengan harta, atau tukar-menukar manfaat yang mubah dengan manfaat yang mubah untuk waktu selamanya, bukan riba dan bukan utang.
Dari definisi yang dikemukakan oleh para ulama mazhab
tersebut dapat diambil intisari bahwa:
1) Jual beli adalah akad mu’a>wadhah, yakni akad yang dilakukan oleh
dua pihak, di mana pihak pertama menyerahkan barang dan pihak
kedua menyerahkan imbalan, baik berupa uang maupun barang.
2) Syafi’iyah dan Hanabilah mengemukakan bahwa objek jual beli bukan
hanya barang (benda), tetapi juga manfaat, dengan syarat
tukar-menukar berlaku selamanya, bukan untuk sementara. Dengan
manfaat yang digunakan, yaitu selama waktu yang ditetapkan dalam
perjanjian. Demikian pula ija<rah yang dilakukan timbal-balik (saling
pinjam), tidak termasuk jual beli, karena pemanfaatannya hanya
berlaku sementara waktu.4
2. Dasar Hukum Jual Beli
Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama umat
manusia mempunyai landasan yang kuat dalam al-Qur’an yang berbicara
tentang jual beli, di antaranya dalam surat al-Baqarah ayat 275 yang
berbunyi: ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
Dasar hukum jual beli berdasarkan sunnah Rasulullah Saw. Di
antaranya adalah hadis dari Rifa’ah ibn Rafi’ bahwa:
4
لِئ س
ُ
ينلا
ُ
ىلص
ُ
ه
ُ
هيلع
ُ
ملسو
ُ
ُ يَأ
ُ
ُِبْسَكْلا
ُ
؟ بَيْطَأ
ُ
لاَقَ ف
ُ:
ُ لَمَع
ُ
ُِل جَرلا
ُ
ُِِدَيِب
ُ
ُ ل كَو
ُ
ٍُعْيَ ب
ُ
ٍُرْو رْ بَم
(
اور
ُ
زازبلا
ُو
ُ
مكاحا
.)
RasulullahSaw. Di tanya salah seorang sahabat mengenai pekerjaan (profesi) apa yang paling baik. Rasulullah ketika itu menjawab: Usaha tangan manusia sendiri dan setiap jual beli
yang diberkati. (HR al-Baz-zar dan al-Hakim).5
Artinya jual beli yang jujur, tanpa diiringi
kecurangan-kecurangan mendapat berkat dari Allah. Dalam hadis dari Abi Sa’id al-Khudri yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi, Ibn Majah dan Ibn Hibban,
Rasulullah Saw. Menyatakan:
)ىقهيبلاُ اور(ُ. ٍضاَرَ تُْنَعُ حْيَ بْلاُاََِإ
Jual beli itu didasarkan kepada suka sama suka.
Dari ayat al-Qur’an dan hadis yang dikemukakan di atas dapat
dipahami bahwa jual beli merupakan pekerjaan yang halal dan mulia.
Para ulama dan seluruh umat Islam sepakat tentang
dibolehkannya jual beli, karena hal ini sangat dibutuhkan oleh manusia
pada umumnya. Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari tidak semua
orang memiliki apa yang dibutuhkannya. Apa yang dibutuhkannya
kadang-kadang berada di tangan orang lain. Dengan jalan jual beli, maka
manusia saling tolong menolong untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dengan demikian, roda kehidupan ekonomi berjalan dengan positif karena
apa yang mereka lakukan akan menguntungkan kedua belah pihak.6
5Ibn Hajar Al-Asqalani, Panduan Lengkap Masalah-masalah Fiqih, Akhlak, dan Keutamaan
Amal, penterjemahan: Irfan Maulana Hakim (Jakarta: Khazanah, 2010), 216.
3. Rukun dan syarat jual beli
Jual beli mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi,
sehingga jual beli itu dapat dikatakan sah oleh syara’. Dalam menentukan
rukun jual beli, pendapat perbedaan pendapat ulama Hanafiyah dengan
Jumhur ulama.
Rukun jual beli menurut ulama Hanafiyah hanya satu yaitu ijab
(ungkapan membeli dari pembeli)dan kabul (ungkapan menjual dari
penjual). Menurut mereka rukun dari jual beli hanyalah kerelaan. Kedua
belah pihak untuk melakukan transaksi jual beli. Akan tetapi, karena
unsur kerelaan itu merupakan unsur hati yang sulit untuk diindera
sehingga tidak kelihatan, maka diperlukan indikasi yang menunjukkan
kerelaan itu dari kedua belah pihak. Indikasi yang menunjukkan kerelaan
kedua belah pihak yaitu tergambar dalam ijab dan Kabul, atau melalui
cara saling memberikan barang dan harga barang.
Akan tetapi jumhur ulama menyatakan bahwa rukun jual beli itu
ada empat7, yaitu:
a. Ada orang yang berakad atau al-muta’a>qidain (penjual dan pembeli).
b. Ada s}i>ghat (lafal ijab dan kabul).
c. Ada barang yang dibeli.
d. Ada nilai tukar pengganti barang.
Dalam jual beli terdapat beberapa syarat yang mempengaruhi
sah tidaknya akad tersebut Adalah syarat yang diperuntukkan bagi dua
orang yang melaksanakan akad dan syarat yang diperuntukkan untuk
barang yang akan dibeli. Jika salah satu darinya tidak ada, maka akad jual
beli tersebut dianggap tidak sah.8
a. Untuk kedua belah pihak yang melakukan akad jual beli terdapat
beberapa syarat:
1) Saling ridha.9
Jual beli dianggap tidak sah hukumnya, jika salah satu
dari penjual atau pembelinya merasa terpaksa yang bukan dalam
hal benar. Sebab Allah Swt telah berfirman dalam QS. An-Nisaa
ayat 29 yang berbunyi:
ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُُ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu[287]; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
2) Orang yang melakukan akad jual beli harus berakal.10
Disyaratkan pula orang yang melakukan akad jual beli
harus berakal. Oleh sebab itu, jual beli yang dilakukan anak kecil
yang belum berakal dan orang gila, hukumnya tidak sah.11 Akan
tetapi, Hanafiah tidak mensyaratkan orang yang melakukan akad
8
Saleh Al-Fauzan, Fiqih Sehari-hari (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), 366.
9
Ibid.
10Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat …, 187.
jual beli harus baligh, dengan demikian, akad yang dilakukan oleh
anak yang mumayyiz (mulai umur tujuh tahun), hukumnya sah.
3) Orang yang melakukan akad harus berbilang (tidak sendirian).
Akad yang dilakukan oleh satu orang yang mewakili dua
pihak hukumnya tidak sah, kecuali apabila dilakukan oleh ayah
yang membeli barang anaknya yang masih dibawah umur dengan
harga pasaran. Hal ini oleh karena dalam jual beli terdapat dua hak
yang berlawanan, yaitu menerima dan menyerahkan. Dan
merupakan hal yang mustahil, pada saat yang sama satu orang
bertindak sebagai penjual yang menyerahkan barang dan sekaligus
menjadi pembeli yang menerima barang.12
b. Syarat yang terkait dengan ijab kabul.
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa unsur utama dari
jual beli adalah kerelaan kedua belah pihak. Kerelaan kedua belah
pihak dapat dilihat dari ijab dan kabul yang dilangsungkan. Menurut
mereka, ijab dan kabul perlu diungkapkan secara jelas dalam
transaksi-transaksi yang bersifat mengikat kedua belah pihak, seperti
akad jual beli, akad sewa menyewa, dan akad nikah.13
Para ulama fiqh mengemukakan bahwa syarat ijab dan Kabul
itu adalah sebagai berikut:
1) Orang mengucapkannya telah baligh dan berakal.
12Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat…, 188.
2) Kabul sesuai dengan ijab. Misalnya, penjual mengatakan: saya
jual buku ini seharga Rp. 15.000,- . Lalu pembeli menjawab:
saya beli dengan harga Rp. 15.000,- . Apabila antara ijab dengan
Kabul tidak sesuai, maka jual beli tidak sah.
3) Ijab dan kabul itu dilakukan dalam satu majelis. Artinya, kedua
belah pihak yang melakukan jual beli hadir dan membicarakan
topik yang sama dalam satu waktu. Namun, ulama Hanafiyah dan
Malikiyah mengatakan bahwa antara ijab dan kabul boleh saja
diantarai oleh waktu, yang diperkirakan bahwa pihak pembeli
sempat untuk berfikir, Sedangkan ulama Syafi’iyah dan
Hanabilah berpendapat bahwa jarak antara ijab dan kabul tidak
terlalu lama.
c. Adapun barang atau obyek yang diperjualbelikan juga disyaratkan
memiliki beberapa kriteria:
1) Barang itu harus barang yang halal, tidak sah menjualbelikan
barang najis atau barang haram seperti darah, bangkai dan daging
babi, Karena benda-benda tersebut menurut syariat tidak dapat
digunakan. Di antara bangkai tidak ada yang dikecualikan selain
ikan dan belalan. Dari jenis darah juga tidak ada yang dikecualikan
selain hati (lever) dan limpa.14
2) Barang itu ada, atau tidak ada ditempat, tetapi pihak penjual
menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang itu.15
Tidak sah menjual barang yang tidak ada atau yang berada di luar
kemampuan penjual untuk menyerahkannya seperti menjual
malaqih, madhamin atau menjual ikan yang masih dalam air,
burung yang masih terbang di udara dan sejenisnya. Malaqih
adalah benih hewan yang masih dalam tulang sulbhi pejantan.
Sementara madhamin adalah jenis hewan yang masih dalam rahim
betina.16
3) Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia. Oleh sebab itu,
bangkai, minuman keras dan darah, tidak sah menjadi obyek jual
beli, karena dalam pandangan syara’ benda-benda seperti itu tidak
bermanfaat bagi muslim.17
4) Barang yang dijual harus barang yang sudah dimiliki. Dengan
demikian, tidak sah menjual barang yang belum dimiliki oleh
seseorang.18Kecuali pada akad as-salam yakni sejenis jual beli
dengan menjual barang yang digambarkan kriterianya secara jelas
dalam kepemilikan, dibayar dimuka, yakni dibayar terlebih
dahulu, tetapi barang diserahterimakan belakangan.19
15Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah …, 118.
16Al-Muslih, et al., Fikih Ekonomi Islam …, 90.
17Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah …, 118.
18Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat …, 190.
5) Boleh diserahkan saat akad berlangsung, atau pada waktu yang
disepakati bersama ketika transaksi berlangsung.20
d. Syarat-syarat nilai tukar (harga barang).
1) Harga yang disepakati kedua belah pihak, harus jelas jumlahnya.
2) Boleh diserahkan pada waktu akad.
3) Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan
barang, maka yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang
diharamkan syara’.
B. Khiya>r dalam jual beli
1. Pengertian khiya>r
Dalam jual beli terdapat hak khiya>r. Kata al-khiya>r dalam
bahasa arab berarti pilihan, pembahasan al-khiya>r dikemukakan para
ulama fiqh dalam permasalahan yang menyangkut transaksi dalam bidang
perdata khususnya transaksi ekonomi, sebagai salah satu hak bagi kedua
belah pihak yang melakukan transaksi (akad) ketika terjadi beberapa
persoalan dalam transaksi.21
Khiya>r menurut ulama fiqh, adalah disyari’atkan atau dibolehkan
karena suatu keperluan yang mendesak dalam mempertimbangkan
kemaslahatan masing-masing pihak yang melakukan transaksi.
20Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah …, 118.
Secara etimologis khiya>r diartikan: hak bagi salah satu pihak atau kedua
pihak yang mengadakan transaksi untuk membatalkan transaksi, hak yang
diberikan untuk memilih dia antara 2 hal yaitu tetap melangsungkan
transaksi dan menetapkannya atau membatalkan transaksi dan
merusaknya sama sekali .22
2. Dasar hukum khiya>r
Khiya>r hukumnya dibolehkan berdasarkan sunnah rasulullah. Di
antara sunnah tersebut adalah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari
dari Ibnu Umar:
ُِنَع
ُِنْبا
ُاُ َلاَقُ:ُ َلاَقُامهنعََُِاُيضرُرَم ع
ََُِاُُينلا
ىَلَص
ُ ََا
ُِهْيَلَع
ُُمُامُِراَيُِِِْْنُاعيبلاُ:َُمَلَسَو
ُْوَأُُُ،ُاَقَرَفَ تَ ي
ُِ:ُهبحُاصلُاَ دَحَأَُلو قَ ي
ُْوَأُ:َلاَقُاَََ رَوُْرَ تْخا
َُنو كَي
َُعْيَ ب
ٍُراَيِخ
Dari Ibnu Umar ia berkata: telah bersabda Nabi : penjual dan
pembeli boleh melakukan khiya>r selagi keduanya belum
terpisah, atau salah seorang mengatakan kepada temannya: pilhlah. Dan kadang-kadang beliau bersabda:atau terjadi jual
beli khiya>r. (HR.Al-Bukhari).23
Dari hadis tersebut jelaslah bahwa khiya>r dalam akad jual beli
hukumnya dibolehkan. Apabila dalam barang yang dibeli terdapat cacat
yang bisa merugikan kepada pihak pembeli.
3. Macam-macam khiya>r
Khiyar dibagi menjadi 4 yaitu:
a. Khiya>r majelis
22Abdul Basith Junaidy, Asas Hukum Ekonomi dan Bisnis Islam (Surabaya: UIN Sunan Ampel
Press,2014), 120.
Khiya>r majelis yaitu hak pilih bagi kedua belah pihak yang
berakad untuk membatalkan akad, selama keduanya masih berada
dalam majelis akad (di ruangan toko) dan belum berpisah badan.
Artinya, suatu transaksi baru dianggap sah apabila kedua belah pihak
yang melaksanakan akad telah berpisah badan atau salah seorang di
antara mereka telah melakukan pilihan untuk menjual dan atau
membeli. Khiya>r seperti ini hanya berlaku dalam suatu transaksi yang
bersifat mengikat kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi,
jual beli dan sewa menyewa.24
b. Khiya>r syarat
Khiya>r syarat adalah suatu khiya>r di mana seseorang
membeli sesuatu dari pihak lain dengan ketentuan ia boleh melakukan
khiya>r pada masa atau waktu tertentu. Walaupun waktu tersebut
lama, apabila ia menghendaki maka ia bisa melangsungkan jual beli
dan apabila ia menghendaki ia bisa membatalkannya. Dari definisi
tersbut dapat dipahami bahwa khiya>r syarat adalah suatu bentuk
khiya>r dimana para pihak yang melakukan akad jual beli memberikan
persyaratan bahwa dalam waktu tertentu mereka berdua boleh
memilih atau meneruskan atu membatalkannya.25
Ahmad bin Hambali tidak membatasi berapa hari lamanya.
Panjang atau pendek dibolehkan asal dapat ditentukan atas kerelaan
masing-masing pihak yang bersangkutan.
24Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 130.
Abu Hanifah dan Syafi’i membatasi khiya>r syarat tidak boleh lebih dari tiga hari. Ulama mazhab Maliki berpendapat lama
khiya>r itu bergantung kepada barang yang diperjualbelikan, sesuai
dengan adat kebiasaan yang berlaku.
c. Khiya>r aib
khiya>r aib, yaitu hak untuk membatalkan atau
melangsungkan jual beli bagi kedua belah pihak yang berakad, apabila
terdapat suatu cacat pada objek yang diperjual belikan, dan cacat itu
tidak diketahui pemiliknya ketika akad berlangsung. Dasar hukum
khiya>r aib ini, di antaranya adalah hadis Nabi Saw yang berbunyi:
ُ مْلاُو خَأُ مِلْس مْلاُ لو قَ يَُمَلَسَوُِهْيَلَعُ ََاُىَلَصََُِاَُلو سَرُ تْعََِ
َُ بُِهيِخَأُْنِمَُعٍَُِمِلْس مِلُ لََُِ ََُِمِلْس
ُااعْ ي
ُ هَلُ هَنَ يَ بُ ََِإٌُبْيَعُِهيِف
Sesama muslim itu bersaudara; tidak halal bagi seorang muslim menjual barangnya kepada muslim lain, padahal pada barang terdapat aib/cacat”. (HR Ibn Majah dari Uqbah ibn Amir).
Adapun syarat-syarat berlakunya khiya>r aib, menurut para
pakar setelah diketahui ada cacat pada barang itu, adalah: cacat itu
diketahui sebelum atau setelah akad tetapi belum serah terima barang
dan harga atau cacat itu merupakan cacat lama. Syarat-syarat tersebut
yaitu:
1) Pembeli tidak mengetahui bahwa pada barang itu ada cacat ketika
akad berlangsung.
2) Ketika akad berlangsung, pemilik barang (penjual) tidak
3) Cacat itu tidak hilang sampai dilakukan pembatalan akad.26
Untuk mengembalikan barang yang dijual harus dipenuhi
beberapa syarat yaitu:
a) Pada umumnya menurut adat kebiasaan, barang yang dijual
selamat (terbebas) dari cacat (aib).
b) Aib tersebut tidak mungkin dihilangkan kecuali dengan susah
payah. Apabila aib bisa dihilangkan dengan mudah maka barang
tidak perlu dikembalikan.
c) Aib (cacat) tersebut harus ada pada barang yang dijual dan barang
tersebut masih ditangan penjual.
d) Penjual tidak mensyaratkan dirinya bebas (tidak bertanggung
jawab) atas aib (cacat) yang timbul pada barang yang dijual.
Apabila penjual mensyaratkan dia bebas (tidak bertanggung
jawab) atas cacat yang timbul pada barang yang dijual maka
barang yang tidak boleh dikembalikan.
e) Aib tersebut tidak hilang sebelum akad dibatalkan. Apabila aib
tersebut hilang sebelum akad di fasakh maka akad tidak fasakh,
karena aib hilang sebelum barang dikembalikan.27
d. Khiya>r ru’yah
Khiya>r ru’yah adalah hak pembeli untuk membatalkan atau
meneruskan ketika ia melihat obyek akad dengan syarat ia belum
melihatnya ketika berlangsung akad atau sebelumnya ia pernah
26Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah …, 136.
melihat dalam batas waktu yang memungkinkan telah jadi batas
perubahan atasnya.28
Syarat khiya>r ru’yah bagi yang membolehkannya yaitu:
1) Barang yang akan ditransaksikan berupa barang yang secara fisik
ada dan dapat dilihat berupa harta tetap atau harta bergerak.
2) Barang dagangan yang ditransaksikan dapat dibatalkan dengan
mengembalikan saat transaksi.
3) Tidak melihat barang dagangan ketika terjadi transaksi atau
sebelumnya, sedangkan barang dagangan tersebut tidak berubah.
Ada kemungkinan suatu akad jual beli terjadi tanpa terlebih
dahulu barangnya diketahui oleh pembeli, tetapi hanya disebutkan
sifat-sifanya. Setelah akad terjadi, jika tiba-tiba barang bersangkutan
dilihat oleh pembelinya tidak memenuhi sifat-sifat yang dikatakan
oleh penjualnya, pembeli berhak melangsungkan atau mengurungkan
akad yang telah dibuatnya itu. Hak khiya>r yang dipunyai pembeli
karena melihat barang setelah akad terjadi itu disebut khiya>r ru’yah
(khiya>r penglihatan mata atau khiya>r setelah melihat barangnya).29
28Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Konstektual (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), 109.
29Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat (Yogyakarta : UII Press Yogyakarta, 2000)
C. Ketentuan Jual Beli menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen
1. Pengertian Jual Beli menurut Undang-Undang Perlindungan konsumen
Hukum perlindungan konsumen tidak menyebutkan secara
tersurat definisi mengenai jual beli. Hukum perindungan hanya
menjelaskan siapa saja subyek yang terlibat dalam jual beli dan obyek
dalam jual beli.
a. Subyek Jual Beli
1) Konsumen
Istilah kosumen di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), menyatakan
bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau
jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak
untuk diperdagangkan. 30
Pengertian kosumen dalam UUPK tidak hanya konsumen
secara individu, juga meliputi pemakaian barang untuk
kepentingan makhluk hidup lain, seperti binatang peliharaan,
tetapi tidak diperluas pada individu pihak ketiga yang dirugikan
atau menjadi korban akibat penggunaan atau pemanfaatan suatu
produk barang atau jasa.
Perlu dikemukakan dalam pengertian konsumen ini
adalah syarat tidak untuk diperdagangkan yang menunjukkan
sebagai konsumen akhir (end consumer).31 Maksud dari
konsumen akhir adalah setiap orang yang mendapatkan dan
menggunakan barang dan/jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan
kehidupan pribadi, keluarga, orang lain, dan makhluk hidup
lainnya dan tidak untuk diperdagangkan kembali dan/jasa untuk
mencari keuntungan kembali.32
2) Pelaku Usaha
Pengertian pelaku usaha dalam Undang-Undang No. 8
tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa
pelaku usaha adalah Setiap orang perseorangan atau badan usaha,
baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum
yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun
bersama-sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha
dalam berbagai bidang ekonomi.33
Pengertian pelaku usaha menurut ketentuan UUPK ini,
mempunyai cakupan yang luas karena meliputi penjual grosir,
sampai pada pengecer, Namun dalam pengertian pelaku usaha
tersebut, tidaklah mencakup eksportir atau pelaku usaha di luar
negeri, karena UUPK membatasi orang perseorangan atau badan
usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan
31Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara serta Kendala Implementasinya (Jakarta: Kencana, 2008), 63.
32 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: Lencana, 2013), 18.
hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan
dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia. Pengertian ini
pelaku usaha dalam UUPK bermakna luas sehingga memudahkan
konsumen korban menuntut ganti kerugian.34
b. Obyek Jual Beli
Yang termasuk obyek jual beli menurut hukum perlindungan
konsumen adalah:
1) Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak
berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan
maupun tidak dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan,
dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.
2) Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi
yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh
konsumen.35
2. Filosofi Lahirnya Undang-undang Perlindungan Konsumen
Kehadiran Undang-Undang Perlindungan Konsumen secara
umum sekurang-kurangnya dapat di lihat dari berbagai perspektif.
Pertama, Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebagai simbol
kebangkiitan hak-hak sipil. Hak-hak konsumen pada asanya juga adalah
hak-hak sipil masyarakat. Karena itu, dengan adanya Undang-Undang
34Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dai Hukum Acara serta
Kendala Implementasinya …, 67.
Perlindungan Konsumen, berarti hak-hak sipil masyarakat akan terjamin
terlindungi dan terawasi dengan baik.
Kedua, Undang-Undang Perlindungan Konsumen merupakan
penjabaran lebih detail dari Hak Asasi Manusia, lebih khusus lagi hak-hak
ekonomi. Sebagai bagian dari HAM, keberadaan Undang-Undang
Perlindungan Konsumen tidak dapat dilepaskan dari doktrin-doktrin
HAM yang berlaku secara universal.
Ketiga, untuk dapat memahami suatu Undang-Undang, terlebih
dahulu harus mengetahui filosofi yang menjadi dasar dikeluarkannya
produk hukum tersebut. Hal ini, pada umumnya dapat ditemukan dalam
penjelasan bagian umum suatu Undang-Undang.
Dalam Konteks Undang-Undang Perlindungan Konsumen,
landasan filosofi yang dijadikan dasar, anatara lain :
a. Tingkat kesadaran konsumen akan hak-haknya masih sangat rendah.
Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan
konsumen
b. Undang-Undang Perlindungan Konsumen pada dasarnya bukan
merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur Perlindungan
Konsumen. Sebab, sampai terbentuknya Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, telah ada beberapa Undang-Undang yang
materinya juga melindungi kepentingan konsumen;
c. Perlindungan Konsumen merupakan paying (umbrella act) yang
perlindungan konsumen. Jadi, hanya mengatur prinsip-prinsip pokok
perlindungan konsumen, sedangkan peraturan yang leih detail, diatur
dalam Undang-Undang sektoral.36
3. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Dengan lahirnya Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, maka diharapkan upaya Perlindungan
Konsumen di Indonesia yang selama ini kurang diperhatikan bisa lebih
diperhatikan.
Asas hukum atau prinsip hukum bukanlah peraturan hukum
konkrit melainkan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan
latar belakang dari peraturan konkrit yang terdapat dalam dan di belakang
setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan Undang-Undang dan
putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan
dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut.37
Adapun Asas Perlindungan Konsumen dalam UUPK adalah
a. Asas Manfaat38: Hal ini bermaksud untuk mengamanatkan bahwa
segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan ini harus
memberikan manfaat besar bagi kepentingan konsumen dan pelaku
usaha secara keseluruhan,39
36Sudaryatmo, Memahami Hak Anda sebagai Konsumen (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 5.
37Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1999), 5.
38 Pasal 2 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
b. Asas Keadilan40: Hal ini bermaksud agar partisipasi seluruh rakyat
dapat di wujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan
kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan
melaksanakan kewajibannya secara adil,41
c. Asas Keseimbangan42: Hal ini bermaksud memberikan keseimbangan
antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintahan dalam
arti materiil ataupun spiritual,43
d. Asas Keamanan44: Hal ini bermaksud untuk memberikan jaminan atas
keamanan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan,45
e. Asas Keselamatan Konsumen46: Hal ini bermaksud untuk memberikan
jaminan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi
atau digunakan,
f. Asas Kepastian Hukum: Hal ini bermaksud agar baik pelaku usaha
maupun konsumen mentaati hukum dam memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin
kepastian hukumnya.47
Adapun tujuan Perlindungan Konsumen dalam UUPK adalah:
40 Pasal 2 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
41Eli Wuria Dewi, Hukum Perlindungan Konsumen, 11.
42 Pasal 2 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
43Eli Wuria Dewi, Hukum Perlindungan Konsumen, 11.
44 Pasal 2 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
45Eli Wuria Dewi, Hukum Perlindungan Konsumen, 12.
46 Pasal 2 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen
untuk melindungi diri;
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan
dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi;
e. Menumbuhk