• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karya Tulis Pelaksanaan Tugas BPD

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karya Tulis Pelaksanaan Tugas BPD"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Studi Kasus tentang Badan Perwakilan Desa di Kecamatan Bantan Pada Tahun 2002

Oleh : Muhammad Fadhli

A. Latar Belakang

Era reformasi sekarang ini tidak berarti hanya mengganti kepemimpinan semata, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah reformasi ketentuan perundang-undangan yang selama ini melahirkan sistem-sistem yang ternyata telah menimbulkan kekurang berdayaan masyarakat. Reformasi yang terus bergulir telah mendorong untuk mengavaluasi dan melihat jauh kebelakang tentang bagaimana wajah desa yang sesungguhnya selama ini. Pengaturan dan pembangunan desa dan masyarakatnya telah dilakukan lebih dari 30 tahun disepanjang Orde Baru sepertinya telah menghasilkan Desa dengan wajah cukup memprihatinkan.

Munculnya ketergantungan masyarakat kepada Pemerintah sekaligus retaknya ikatan sosial dalam masyarakat desa dan terbentuknya perilaku birokrasi pemerintah, sampai ke Pemerintahan Desa yang lebih mengedepankan kekuasaan sering menimbulkan situasi konflik kepentingan antara masyarakat pada satu pihak dengan pemerintah desa di lain pihak, dan pada gilirnnya telah menyebabkan masyarakat bersifat apatis serta kurang partisipasinya dalam kegiatan pembangunan.

(2)

Situasi antar warga dalam suatu wilayah lingkungan Rukun Tetangga ( RT ), Rukun Warga ( RW ), Desa/Kelurahan seperti hilang dan yang muncul adalah siapa lu, siapa gua “. Solidaritas sosial sepertinya hilang dan yang muncul adalah perilaku menyimpang sesama warga.

Jika mengulas balik mengapa terjadi keadaan sedemikian itu mungkin dapat dirujuk pada dua hal yaitu:

1. Peraturan perundang-undangan serta kebijakan pembangunan yang dibuat dalam mengatur desa sudah baik, tetapi pelaksanaannya tidak konsisten, karena mengandung penafsiran yang berbeda pada tingkat desa. 2. Peraturan perundang-undangan serta kebijakan

(3)

Demikian pula halnya dengan UU. No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintah Desa juga terjadi prubahan.

Dampak dari pemutlakan akibat legimitasi power dalam perumusan program-program pembangunan masyarakat desa pada tahap implementasinya adalah munculnya berbagai penyimpangan program yang bersifat struktural. Misalnya masyarakat tidak berdaya ditengah situasi conflict of interenst atas akses pembangunan ketika berhadapan dengan pihak-pihak dari luar desa seperti halnya aparat pemerintah maupun kalangan pengusaha swasta maupun pihak-pihak dari dalam desa itu sendiri yaitu elit desa. Masyarakat seolah-olah menjadi objek swasta. Pengentasan kemiskinan dijadikan label oleh berbagai instansi pemerintah untuk memperbesarkan anggaran tanpa berupaya mengoptimalkan output khususnya tingkat kesejahteraan masyarakat.

(4)

lembaga ketahanan masyarakat desa telah menjadikannya lebih dominan dalam memberikan arah dan menurunkan garis kebijaksanaan yang telah ditentukan sebelumnya dari atas, sehingga yang terjadi bukan botton up tetapi top down. Tendensi ini di perkuat lagi oleh pernyataan bahwa pada prakteknya hampir semua anggota Lembaga Musyawarah Desa dan lembaga ketahanan masyarakat desa adalah hasil penunjukkan dari kepala desa, sehingga tidak ada lembaga kontrol yang sesungguh-sungguh efektif terhadap kepala desa.

Secara teoritis, dengan adanya Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa dan Lembaga Musyawarah Desa akan terjadi proses pembangunan bottom-up tetapi kenyataan selama ini menunjukkan bahwa lembaga tersbeut kurang berhasil mengartikulasikan aspirasi masyarakat desa dalam pembangunan. Padahal telah dikeluarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 4 tahun 1981 tentang Mekanisme Pengendalian pelaksanaan program masuk desa yang menetapkan suatu kebijaksanaan umum tentang perencanaan dari bawah tersebut. Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa sebagai basic institution serta bertanggung jawab diatas pengkodinasian dan pengawasan implementasi proyek-proyek pembangunan tingkat desa. Ini berarti Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa menjadi forum rakyat desa sendiri yang menjadi forum rakyat desa untuk berparisipasi dalam pembangunan lokal. Dalam pengertian ini terkandung pengertian bahwa masyarakat desa sendiri yang menjadi subjek atau determinan dalam proses pembagunan desanya.

(5)

sering program pembangunan desa yang ada bukan lagi program yang diusulkan oleh rakyat desa, melainkan program-program seperti yang didefenisikan olen instansi lain diatasnya.

Kebijakan dan proses pembangunan yang dilakukan tidak terpadu, parsial, dengan pendekatan yang berdasarkan pada cara berfikir, sikap dan prilaku pasa material, sehingga pelaku-pelaku pembangunan hanya mengejar pengeluaran ( output ) hasil target materi sebagai ukuran keberhasilan pembangunan negara, komunikasi, keluarga bahkan dirinya, yang menjadikan individual, dan menumpukkan aset finansial yang tidak bermanfaat. Jika antara empiris kehidupan politik yang berlangsung dari atas sampai ke dusun adalah sistem politik model penguasa briokrasi yang benar, rakyat harus menerima. Hal ini bisa dilihat dalam kelembagaan sejak dari Majelis Permusyawaratan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat, Daerah Tingkat I/II, Unit Daerah Kerja Pembangunan dan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa. Lembaga-lembaga ini lebih didominasi oleh orang-orang yang dekat dengan penguasa, ketimbang yang mewakili aspirasi rakyat banyak, apalagi rakyat miskin. Unit Daerah Kerja Pembangunan ( UDKP ) sebenarnya merupakan forum untuk pengusulan proyek-proyek pembangunan tingkat kecamatan namun kenyataannya yang sering terjadi adalah forum kepala-kepala desa dan pejabat kantor Kecamatan, ditambah dengan jumlah tokoh informal yang kenal baik dengan camat. Hal ini berakibat pada perencanaan dan pelaksanaan kegiatan program pembangunan masyarakat dari musyawarah pembangunan desa-desa yang sering didominasi oleh kepentingan kepala desa dan unit daerah kerja pembangunan akan didominasi oleh pikiran dan kepentingan camat.

(6)

pembangunan-pembangunan seluruh departemen. Di dalam upaya meningkatkan partisipasi masyarakat ada beberapa kendala, yaitu kendala-kendala yang berasal dari agen-agen pelaksana (Impementing agency) dalam masyarakat sendiri, serta dalam kelembagaan masyarakat yang lebih luas ( the broader intitutation of society ). Kendala yang berasal dari agen-agen pelaksana ( pihak yang membuat keputusan ) mencakup sikap nilai dan keterampilan serta sistem evaluasi. Kendala dalam masyarakat sendiri mencakup kekurang seriusan organisasi lokal, kurangnya kemampuan organisasional, kurangnya fasilitas komunikasi, serta perbedaan kepentingan ekonomi yang terjadi antara golongan masyarakat. Kendala-kendala lainnya yang ditemui dalam peningkatan pertisipasi masyarakat adalah berkaitan dengan unsur politik birokrasi.

Pasa era otonomi daerah sekarang ini yang ditandai dengan diberlakukan Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, kondisi Pemerintah desa juga mengalami perubahan. Lembaga Musayawarah desa diganti menjadi suatu lembaga yang diberi nama badan perwakilan desa. Posisi lembaga ketahanan masyarakat desa belum tergantikan namun perannya semakin kecil dengan munculnya badan Perwakilan Desa.

Menurut R. Amin ( 2003 : 3 ) dalam makalah Prospek badan perwakilan desa terhadap penyelenggaraan pemerintah desa, mengembangkan otonomi desa dan perwujudan demokrasi pancasila di desa dibentuk Badan Perwakilan Desa yang disingkat BPD. Hal yang menarik dari skema bari dari pemerintah desa adalah kehadiran BPD yang berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat peraturan desa, manampung ada menyalurkan aspirasi masyarakat serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintah desa (pasal 104, UU No. 22 Tahun 1999, Permendagri No. 64 Tahun 1999).

(7)

reformasi sekarang ini merupakan momentum yang tepat untuk menata desa yang sekaligus memberi arah pembangunan masyarakat desa yang mengacu community development.

Upaya memperkuat desa selalu mengalami banyak persoalan hambatan dan dilema. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah kurang berperannya lembaga desa dalam menyambut perubahan yang ada. Beberapa upaya reformasi dan penataan ulang dari semangat dan aturan lama menuju ke semangat dan aturan baru tidak sepenuhnya dapat berjalan mulus. Secara internal pemerintah desa belum menemukan jati diri yang sebenarnya diera otonomi desa, dimana desa merupakan wilayah yang otonom dari pemerintah yang lebih atas sehingga desa mampu mengambil inisiasi, kreasi dan inovasi sesuai dengan semangat perubahan otonomi yang ada.

(8)

Tatanan pemerintah yang demokratis-partisipasif bisa diwujudkan hanya melalui otonomi pada level grass roots diberikan dan perilaku dibudayakan. Dalam rangka itulah prinsip subsidiaritas dikampanyekan dimana-mana. Satu urusan harus diberikan kepada unit pemerintahan paling rendah ( yang artinya paling mudah dikelola secara partisipasif ). Level pemerintahan yang lebih tinggi diharapkan mengurusi persoalan-persoalan yang tidak bisa atau tidak akan optimal kalau ditangani oleh level yang lebih rendah. Semakin tinggi jenjang pemerintah, semakin jauh dari jangkauan partisipasi masyarakat, dan oleh karenanya semakin abstrak perannya. Peran pemerintah pada level paling tinggi adalah mengembangkan dan memelihara tatanan atau sistem yang memungkinkan berbagai aktivitas yang terdesentralisasikan berjalan secara optimal.

Campur tangan terhadap tata kehidupan dan penyelenggaraaan pemerintahan di desa, kini telah membudaya. Bukan hanya pihak yang melakukan campur tangan memiliki justifikasi heroik ( misalnya memajukan desa ) mengatasi ketertinggalan, modernisasi desa, dan sebagainya. Masyarakat desa sendiri tidak merasa urusannya di campuri. Hampir setiap tokoh telah terbiasa untuk memperlakukan desa sebagai sasaran dan objek, oada saat yang bersamaan, masyarakat desa sendiri juga banyak yang telah menikmati peran sebagai sasaran ataupun sebagai objek. ( Purwo santoso, kedaulatan rakyat, 20 mei 2003 ).

(9)

B. Permasalahan

Penulis bermaksud untuk mengkajinya dalam konteks tertentu, yakni pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang badan perwakilan desa dalam rangka pelaksanaan desa di Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis.

C. Pemecahan Masalah

Untuk melihat perubahan politik yang terjadi di desa dapat dilihat pada kejadian berikut ini. Pada pertegahan bulan Juli 2002, datanglah rombongan dari Desa Teluk Lancar Kecamatan Bantan ke Kantor Camat Bantan. Rombongan tersebut ternyata adalah Kepala Desa bersama dengan perangkat desa. Mereka sebelumnya telah meminta diberhentikan saja sebagai perangkat desa. Hal itu disebabkan karena sudah tidak tahan lagi dengan sikap beberapa orang anggota Badan perwakilan Desa ( BPD ) yang menginginkan mereka dinonaktifkan. Karena merasa terisnggung perangkat tersebut ingin meletak jabatannya selaku perangkat desa. Disini badan perwakilan desa belum mengetahui tugas dan fungsinya secara jelas. Sebagaimana yang diatur didalam Perda Kabupaten Bengkalis Nomor 18 tahun 2000. Permasalahan tersebut tidak hanya terjadi di Desa Teluk Lancar saja, di desa-desa yang lain juga terdapat permasalahan antara pemerintah desa dengan Badan Perwakilan Desa.

Menurut analisa penulis, pergesekan ini terjadi berkemungkinan besar disebabkan miscommunication atau kesalahan pahaman terhadap suatu permasalahan, sebagai contoh kasus penonaktifkan Kepala Desa Telak Lancar oleh Badan Perwakilan Desa.

(10)

Tindakan-tindakan ang dilakukan lembaga ini terkadang membuat situasi di desa semakin memanas.

Melihat gejolak diatas, apakah sebenarnya yang telah terjadi ? Era reforemasi yang ditandai dengan diberlakukannya Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, membawa perubahan ke segenap lapisan pemerintahan. Perubahan ini juga dialami oleh pemerintahan desa. Dengan keluarnya Undang nomor 22 tahun 1999 ini maka Undang-Undang nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dinyatakan tidak berlaku lagi.

Organisasi/lembaga yang ada di Desa juga berubah, Lembaga masyarakat Desa yang dulunya dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 , dirubah menjadi Badan Perwakilan Desa. Apakah perubahan ini hanya kulitnya saja, hal ini tidaklah demikian. Angin reformasi juga menghembus di Desa , transparansi dan demokratisasi juga didengungkan di desa-desa. Namun suatu hal yang sering terjadi yaitu reformasi yang salah arah. Sehingga muncul argumen-argumen, tindakan-tindakan yang sering keluar dari ketentuan-ketentuan yang berlaku.

(11)

Badan perwakilan desa dibentuk berdasarkan Undang-Undang nomor 22 tahun 1999, pada pasal 102 ayat ( 1 ) dinyatakan bahwa “ dalam melaksanakan tugas dan kewajiban, kepala desa bertanggung jawab kepada rakyat melalui badan perwakilan desa”. Selanjutnya hal ini diatur pada Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 64 tahun 1999 tentang Pedoman umum pengaturan mengenai desa. Untuk Kabupaten Bengkalis, dasar pembentukan Badan Perwakilan Desa ( BPD ) adalah Peraturan Daerah Kabupaten Bengkalis Nomor 18 tahun 2000 tentang pedoman pembentukan Badan Perwakilan Desa, yang telah diundangkan pada tanggal 2 Januari 2001.

Sampai saat ini belum satupun Badan Perwakilan Desa yang dapat menghasilkan peraturan desa, hal ini perlu pembinaan yang teratur dan terarah dari pemerintah kabupaten maupun kecamatan. Kurangnya pembinaan dari pemerintah kabupaten dan pemerintah tingkat atas akan memperlambat peningkatan kinerja badan perwakilan desa.

Sebagai suatu organisasi yang baru tumbuh di desa, badan perwakilan desa memulai semuanya dari nol. Perlu pembenahan dan pembinaan dari perintah tingkat atas seperti pemerintah kecamatan dan kabupaten. Kalau diamati secara seksama yang dibina ( develop) bukan hanya organisasinya akan tetapi juga termasuk orangnya (sikap, persepsi dan motivasinya ).

Jadi dapat dikatakan bahwa Badan Perwakilan Desa sebagai sebuah lembaga yang baru didirikan di desa, berdasarkan Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tersebut, harus melalui proses perencanaan jangka panjang dalam pembinaannya, sehingga nantinnya badan perwakilan desa ini diharapkan mencapai efektifitas yang dibutuhkan oleh masyarakat desa khususnya dan pemerintah umumnya.

(12)

operasional sebesar Rp. 12.000.000,- pertahunnya. Tanpa uang gaji dan penghasilan yang tetap anggota badan perwakilan desa dituntut untuk kerja dengan beban tugas yang berat.

Fasilitas kantorpun belum disediakan oleh pemerintah kabupaten ,kantor yang merupakan sarana mutlak bagi suatu lembaga belum sepenuhnya terealisir, baru 2 desa yang memiliki kantor badan perwakilan desa sedangkan sisanya sebanyak 7 Desa, kantor badan perwakilan desa kadang kadang berkantor dirumah Ketua Badan Perwakilan Desa.

D. KESIMPULAN

Bahwa dengan kejadian penonaktifan Kepala Desa Lek Lancar dan mogoknya seluruh aparat Pemerintah Desa Teluk Lancar yang ingin meletakkan jabatannya dapat disipulkan anatara lain : 1. Bahwa konflik politik yang selama ini terjadi pada level

pemerintahan tingkat atas (Kabupaten, Provinsi dan Pusat), sekarang sudah menjalar pada level Desa.

2. Badan Perwakilan Desa secara structural merupakan sutau kekauatan baru yang ada di desa dan bisa menjadi oposisi di desa. 3. Badan Perwakilan Desa merupakan sarana demokrasi yang ada di

desa, maka dari saat ini pelaksanaan Pemerintahan Desa harus transparan, Kepala Desa tidak bisa lagi sendirian bekerja “ One Man Show”.

4. Supaya pelajaran demokrasi di desa lebih terarah dan sesuai dengan jalurnya maka aparat pemerintahan Desa secepat mungkin harus dibekali dan dilatih tentang manajemen Pemerintahan Desa. Sehingga nantinya di desa bukan lagi tempat untuk salaing menjatuhkan antara BPD dan Kepala Desa, karena tentulah hal ini akan merugikan masyarakat desa.

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Muhammad, Makalah Prospek Badan Perwakilan Desa terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Pekanbaru, 2003.

Heri, Z, dkk, Parlemen Desa, Universitas Riau, Pekanbaru, 2003.

Lapera, Otonomi Pemberian Negara, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, 2001.

Widjaja, HAW, Otonomi Desa Merupakan Otonomi Yang Asli dan Utuh, Raja Grafindo Persada, Jakarta,2003

(14)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

H. Muhammad Fadhli, S.Sos, M.Si bin

Bachrumsyah, dengan panggilan hari-hari IIK, lahir

di Bengkalis pada tanggal 07 Januari 1972. Menikah

tanggal 8 Agustus 1997 dengan seorang wanita yang

bernama Hj. Dian Darayanti Binti Ajbar Elwalid,

dikarunia 3 (tiga) orang cahaya mata yaitu: (1) Siti

Fahma Diani, (2) Muhammad Fandi Fadhli, dan (3)

Muhammad Fatahilah Fadhli . Menamatkan SD,

SMP

dan SMA di Bengkalis. Menamatkan pendidikan

Diploma 3 (D3) STPDN Jatinangor Jawa Barat tahun 1994, pendidikan

Srata 1 (S1) di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera

Utara (Fisipol USU) Tahun 1999 di Medan. Dengan Rahmat Allah Yang

Maha Kuasa pernah bekerja sebagai sebagai Kasubsi Perekonomian dan

Produksi kantor Camat Bukit Batu Kabupaten Bengkalis selama dua

tahun, berkarir sebagai Pegawai Negeri Sipil di Subbag Mutasi Pegawai

pada Bagian Kepegawaian Setda Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau

Tahun 1999-2001. Menamatkan pendidikan Strata 2 (S2) di Program

Magister pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Riau (Fisipol

UNRI) pada tahun 2005 . Memperoleh kesempatan menjabat Sekretaris

Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis (Eselon IV/a) dari Tahun 2002

sampai dengan 2003. Tanggal 3 Oktober 2005 sampai dengan Desember

2007 dipromosikan menjabat Camat Siak Kecil Kabupaten Bengkalis

Provinsi Riau.Camat Bukit Batu pada tahun 2007 – 2008 dan Camat

Bengkalis tahun 2008. Menjabat sebagai Kepala Bagian Tata

Pemerintahan Setda Kabupaten Bengkalis (Eselon III/a) akhir Desember

Tahun 2008 sampai dengan 17 September 2010. Kemudian menjadi

fungsional di Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa

Kabupaten Bengkalis selama satu tahun, staf pada Badan Penelitian

Pengembangan dan Statistik selama 1 tahun dan pada tanggal 8 Juni 2012

dipindahkan ke Badan Diklat dan Kepegawaian Kab. Bengkalis sebagai

Referensi

Dokumen terkait

Analisis kualitas situs web pemesanan pizza online pada penelitian ini menggunakan Structural Equation Model dengan pengukuran menggunakan metode webqual.. Hasil analisis pada

Berdasarkan hasil wawancara diatas dapat peneliti paparkan maksud dari Bapak B.H.R bahwa strategi pemasaran yang di lakukan oleh Bank Muamalat Indonesia KC

Pada usia tersebut, anak-anak cenderung membutuhkan dan lebih menyukai sebuah karakter yang mampu membawa perhatian mereka ke materi penyuluhan dari segi postur,

Dari hasil kajian studi kasus ini diharapkan dapat dijadikan dasar dalam pengembangan kopi liberika di lahan gambut Kabupaten Tanjung Jabung Barat

Observasi dilakukan oleh teman sejawat. Dari hasil observasi tersebut diperoleh data mengenai perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, dan minat siswa dalam

onFocus Dibangkitkan bila sebuah elemen form menerima focus masukan; yaitu bila pengguna mengklik elemen form tersebut atau menekan tombol <tab> sehingga

Fakta lain yang perlu diperhatikan adalah, bahwa Pulau Sebatik merupakan sebuah pulau yang dimiliki oleh dua negara, yaitu Indonesia dan Malaysia karena di pulau ini

Rotasi suatu titik pada struktur adalah sama dengan turunan pertama energi regangan dalam struktur terhadap momen yang bekerja pada titik tersebut dengan arah yang