PENERIMAAN AYAH YANG MEMILIKI ANAK AUTIS
SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Dalam
Bidang Psikologi
Oleh :
MAJIDAH B37209008
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
INTISARI
Majidah. B37209008. Skripsi Program Studi Psikologi UIN Sunan Ampel Surabaya. Penerimaan Ayah yang Memiliki Anak Autis.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penerimaan ayah yang memiliki anak autis, faktor-faktor penerimaan ayah yang memiliki anak autis, serta aspek-aspek penerimaan ayah yang memiliki anak autis. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu penelitian yang mencoba menjelaskan atau mengungkap makna konsep atau fenomena pengalaman yang didasari oleh kesadaran yang terjadi pada beberapa individu. Penelitian ini dilakukan dalam situasi yang alami, sehingga tidak ada batasan dalam memaknai atau memahami fenomena yang dikaji khusus. Subyek penelitian ini terdapat dua orang ayah dari kalangan keluarga yang berbeda, namun sama-sama memiliki anak penyandang autis. Adapun prosedur analisis data yang digunakan adalah dari Creswell, terdiri dari enam tahapan yaitu: (1) Mengolah data dan mengintrepetasikan data, (2) Membaca keseluruhan data,(3) Menganalisis lebih detail dan mengkoding data,(4) Menerapkan proses koding, (5) Menunjukkan deskripsi dan bagaimana tema-tema ini akan disajikan kembali dalam narasi atau laporan kualitatif, (6) Mengintrepretasikan atau memaknai data. Hasil temuan dari penelitian ini adalah subjek pertama bersikap positif dalam menyikapi kondisi putranya yang autis, subjek pertama mengekspresikan perhatian dan kasih sayangnya secara maksimal dengan mencari dokter terbaik untuk putranya, mencari terapi yang tepat untuk putranya dengan membeli buku-buku berbahasa inggris di luar negeri, memanggil guru privat melukis dan mengaji untuk putranya, sehingga putranya pun sekarang ahli dalam melukis dan membaca surat-surat Al-qur’an, mendampingi putranya disegala kesempatan seperti menemani putranya bepergian kuliner, membaca majalah, hingga mengajarkan toilet training. Berbeda dengan subjek kedua, yang memberikan sikap negatif dengan tidak cepat mencari dokter ahli untuk mendiagnosa putranya di usia pertama putranya, sbujek kedua juga tidak pernah menemani putranya bermain, kegiatan sehari-hari putranya banyak diluangkan bersama ibunya. Subjek kedua juga mengakui malu mempunyai putra penyandang autis. Faktor-faktor penerimaan ayah yang memiliki anak autis Terdapat pula aspek-aspek penerimaan ayah yang memiliki anak autis seperti memberikan perhatian, simpati dan memberikan kasih sayang yang memiliki dampak terhadap perkembangan anak autis itu menjadi lebih cepat pulih seperti orang-orang yang normal, dan faktor-faktor penerimaan ayah yang memiliki anak autis seperti kemampuan keuangan, latar belakang agama, status perkawinan yang harmonis, pendidikan, dan sikap para ahli yang mendiagnosa. Semua hal tersebut memiliki dampak yang luar biasa terhadap perkembangan fisik dan psikis anak autis termasuk perkembangan emosional yang lebih baik dimasa depan seperti pada putra dari subjek pertama sudah mulai bisa hidup mandiri di usia remaja, mampu melakukan berbagai hal sendiri seperti makan, mandi, mengenakan pakaian, mampu sholat lima waktu dengan tepat waktu, hafal surat-surat pendek, dan memiliki banyak karya melukis. Berbeda dengan putra subjek kedua, yang di usia remaja masih membutuhkan banyak bantuan dari ibunya dalam melakukan berbagai hal sehari-hari.
A. Pendekatan dan Tipe Penelitian ... 32
B. Kehadiran Peneliti ... 35
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 43
A. Setting Penelitian ... 43
1. Deskripsi Hasil Temuan Penelitian ... 49
2. Hasil Analisis Data ... 77
C. Pembahasan ... 89
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...99
A. Kesimpulan...99
B. Saran ...102
DAFTAR PUSTAKA ...103
DAFTAR TABEL
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kehadiran anak merupakan saat yang ditunggu-tunggu dan sangat
mengembirakan bagi pasangan suami istri. Kehadiran seorang anak bukan hanya
sebagai generasi penerus keluarga saja, namun juga dapat mempererat tali cinta
pasangan suami istri. Setiap orang tua menginginkan anaknya berkembang
sempurna. Namun demikian sering terjadi keadaan di mana anak memperlihatkan
ketidaksempurnaan atau masalah dalam perkembangan sejak usia dini. Salah satu
contoh masalah yang dapat terjadi pada anak – anak adalah autisme (Rachmayanti
& Zulkaida, 2007). Pada umumnya gangguan autisme yang terjadi pada
anak-anak, memerlukan perhatian ekstra dari kedua orang tua ayah dan ibu. Hal
tersebut sering sekali terabaikan oleh seorang ayah.
Di Lapangan, pada anak gangguan autis ini, cenderung ibu lebih dominan
dalam merawat, mendidik, serta dalam memberikan kasih sayang kepada anaknya,
berbeda dengan ayah. Terbukti dengan (hasil wawancara pada tanggal 27 Oktober
2013) bahwa seorang ibu dari anak autis mengakui bila anaknya lebih dekat
dengan dirinya dikarenakan ayah dari anak autis tersebut sibuk dengan
pekerjaannya. Setiap pagi untuk pergi ke sekolah juga ibu yang mengantar dan
menjemput anak autis tersebut. Sehingga, anak autis tersebut akhirnya tidak mau
2
teriak sesaat ayahnya mendekat. Sang ayah juga menjadi pendiam selama
mengetahui anaknya mengalami gangguan autis.
Harapan seorang ayah mengenai anak perempuannya sejak pertama lahir
hingga tumbuh dewasa dalam proses pertumbuhan adalah sangat besar, seorang
ayah berharap memiliki anak yang bisa dibanggakan, seorang ayah ingin memiliki
anak yang sempurna meski di dunia ini tidak ada manusia yang sempurna namun
seorang ayah punya kaca mata sendiri bahwa anak perempuannya harus
sempurna. Sempurna dalam arti paling tidak mampu mengerjakan apa yang ayah
juga bisa kerjakan, singkat kata mirip ayahnyalah. Ketika ditanya apabila seorang
ayah memiliki anak yang tidak sempurna secara fisik dan mental apa yang akan
ayah rasakan dan apa yang akan dilakukan. Ayah menjelaskan tidak tahu dan
jangan sampai mempunyai anak yang tidak sempurna dalam arti cacat fisik atau
cacat mental. Apabila Tuhan menganugerahkan seorang anak yang tidak
sempurna, perasaan seorang ayah tersebut sedih, dan kecewa (hasil wawancara
pada tanggal 27 Mei 2013).
Melihat fenomena di atas rasa kecewa dan harapan dari seorang ayah atas
keturunan yang dimiliki masih banyak orang tua termasuk ayah yang belum
mengetahui apa itu autis dengan segala dampaknya. Istilah “Autis” sekarang ini
bukan lagi merupakan hal asing di masyarakat. Beberapa tahun belakangan ini
autis sangat ramai dibicarakan baik di media cetak maupun media elektronika,
bahkan juga sering diadakan seminar dan pelatihan seputar gangguan autis.
Tempat-tempat terapi autis juga sudah banyak tersebar di berbagai kota di
3
Berdasarkan data yang diperoleh Harnowo (2013) delapan dari 1000 orang di
Indonesia adalah penyandang autis. Autis saat ini bukan menjadi permasalahan
orang tua dan anak saja, namun juga menjadi permasalahan global. Gangguan ini
merupakan gangguan yang paling cepat perkembangannya bahkan melebihi
perkembangan penyakit AIDS, kanker, diabetes, dan penyakit berbahaya lainnya.
Menurut data dari Unesco pada tahun 2011, terdapat 35 juta orang penyandang
autisme di seluruh dunia. Rata-rata, enam dari 1000 orang di dunia telah
mengidap autisme. Di Amerika Serikat, autisme dimiliki oleh 11 dari 1000 orang.
Sedangkan di Indonesia, perbandingannya delapan dari setiap 1000 orang. Angka
ini terhitung cukup tinggi mengingat pada tahun 1989, hanya dua orang yang
diketahui mengidap autisme.
Menurut Mulyadi (2012) psikiater dari RS Omni Hospital Alam Sutera Jakarta
dalam acara peluncuran jurnal Communicare mengenai anak berkebutuhan khusus
di kampus STIKOM London School of Public Relation, untuk mencari sebuah
penyebab pasti yang mengakibatkan seorang anak menyandang autis adalah tidak
dapat dipastikan, menurut beliau penyebab autis terdapat banyak faktor. Dapat
dikarenakan oleh kontaminasi makanan yang mengandung logam berat,
lingkungan dari timbal kendaraan bermotor yang menyerang ibu hamil saat
trisemester pertama. Bahkan diduga dapat juga karena faktor keturunan dan
sampai detik ini penelitian masih saja dilakukan oleh para ahli untuk mencari
penyebab atau faktor apa yang dapat memicu autisme.
Menurut Dwianto Dikutip dalam tabloid NOVA Selasa, 02 April 2013
4
ditemukan pravelensi anak dengan autisme 1 : 88. Kalau di Indonesia sendiri
belum ada data secara khusus mengenai anak yang terkena autis. Sedangkan di
Amerika penyandang autis kini di tahun 2013 1 : 50. Begitu cepat perkembangan
gangguan autis di dunia tidak hanya di Indonesia. Menurut Pamoedji(Masyarakat
Peduli Autis Indonesia) mengatakan gangguan autis meliputi keterlambatan
berkomunikasi, kurangnya kemampuan dalam hal interaksi sosial, dan secara
perilaku mereka cenderung sulit untuk mengerti bahasa tubuh. Beliau juga
mengatakan penyandang autis memiliki kecenderungan untuk menunjukkan
perilaku-perilaku berulang-berulang (repetitive), terbatas (restricted), dan khas
(stereotype).
Gejala Autisme sendiri biasanya dapat diketahui ketika anak berusia kurang
dari tiga tahun. Hal yang paling menonjol dari gejala ini diantaranya adalah tidak
adanya kontak mata dengan orang lain Happe (1994 dalam Oktaviana, 2009).
Gejala lainnya adalah ketidakpedulian pada lingkungan, seolah-olah anak itu
hidup di dalam dunianya sendiri, sehingga sering sekali terjadi anak autis tidak
menengok saat dipanggil, dan tidak merespon walau ditarik sekalipun, juga tidak
ada kontak mata ketika di ajak berbicara. Beberapa anak autis tampak begitu
menikmati ketika ia memutar-mutar bola atau kelereng, ada yang sealalu
memilin-milin rok yang di pakainya, ada pula yang berlari-lari bolak-balik atau
berteriak-teriak. Anak autis lebih sering memutar-mutar roda pada mobil-mobilan. Semua
gerakan itu di ulang-ulang puluhan bahkan bisa ratusan kali. Gejala umum anak
autis yang bisa di amati adalah komunikasi satu arah, gangguan pola tidur dan
5
Autisme berbeda dengan jenis gangguan yang lain, seperti mental retarded,
down’s syndrome, dan lain sebagainya. Anak autis pada umumnya tidak mampu
mengenali emosi orang lain seperti marah, sedih, gembira, mereka juga tidak
mampu memahami makna bahasa non verbal dan yang paling menyedihkan
banyak anak autis yang tidak mampu membedakan orang tuanya dengan orang
lain. Hal-hal seperti inilah yang menimbulkan beban stress yang berat bagi para
orang tua mengenai bagaimana mendidiknya dan cara pengasuhannya. Karena
untuk berkomunikasi saja merupakan hal yang sangat sulit dan membutuhkan
kesabaran yang sangat luar biasa (Monika, 2000).
Kehadiran anak penyandang autis dalam suatu keluarga sudah tentu akan
mempengaruhi kehidupan seluruh anggota keluarga lainnya. Orang tua dan
saudara kandung seperti kakak dari anak autis akan mempunyai hubungan yang
relatif lebih lama dan lebih intensif dengan anak penyandang autis, dari mulai
masa kecil, remaja, sampai dewasa. Tidak seperti hubungan interpersonal lainnya,
hubungan ini melibatkan ikatan fisik dan emosional pada tahap-tahap kritis
sepanjang kehidupan mereka ( Octaviana, 2009).
Reaksi pertama orang tua dari anak yang menyandang autis inilah yang
menjadi hal utama anak autis tersebut akan mendapatkan treatment yang
maksimal atau tidak. Menurut Thurstone (1969 dalam Walgito, 1987) menyatakan
bahwa individu dalam mengartikan suatu masalah akan bertindak positif bila
masalah tersebut menimbulkan perasaan senang, sehingga individu bersikap
menerima. Tetapi dapat bersikap negatif jika masalah tersebut menimbulkan
6
Menurut Mangunsong (1998 dalam Febri 2012) reaksi pertama orang tua
ketika anaknya dikatakan bermasalah adalah tidak percaya (shock), mengalami
goncangan batin, terkejut, dan tidak mempercayai kenyataan yang menimpa anak
mereka. Tidak mudah bagi orang tua yang anaknya menyandang autisme untuk
mengalami fase ini, sebelum pada akhirnya sampai pada tahap penerimaan.
Studi yang ada menunjukkan bahwa sangat sering orang tua memiliki sikap
negatif terhadap anak mereka yang autis. Orang tua merasa pesimis, memusuhi
dan malu dengan kehadiran anak mereka yang autis tersebut. Penyangkalan,
menyalahkan, rasa bersalah, kesedihan, penarikan, penolakan, dan penerimaan,
adalah reaksi-reaksi yang sering muncul pada orang tua. Beberapa orang tua juga
mengalami ketidakberdayaan, perasaan tidak mampu, kemarahan, dan rasa
bersalah sementara serta menyalahkan diri sendiri menurut Gupta (1997 dalam
Febri, 2012).
Penerimaan ayah yang memiliki anak autis erat kaitannya dengan
pola pengasuhan atau yang disebut parenting style dari berbagai literatur
mencakup beberapa hal yaitu yang pertama adalah rasa peduli orang tua terhadap
seorang anak. Rasa peduli ini membentuk sikap positif dan sikap negatif. Sikap
positif di atas termasuk di dalamnya adalah acceptance atau penerimaan dan juga
kehangatan. Sedangkan sikap negatif termasuk di dalamnya adalah rejection atau
penolakan dan kritik. Kemudian yang kedua adalah kontrol terhadap seorang
anak. Kontrol ini pun bersumber dari sikap positif dan juga sikap negatif. Sikap
7
promotion of autonomy atau promosi otonomi (Meestres & Brakel (2003 dalam
Xiayun, 2012).
Pada umumnya ketika orang tua memiliki atau dianugerahi oleh Tuhan
seorang anak dalam kondisi apapun, orang tua akan memunculkan sikap
acceptance (menerima) atau rejection (menolak). Ini adalah bagian dari rasa
kepedulian orang tua terhadap anaknya. Begitu pula dengan orang tua yang
memiliki anak autis. Rasa kepedulian orang tua kepada anaknya yang autis
ditunjukkan dengan sikap menerima atau menolak anak autis tersebut. Kedua
sikap inilah yang mempengaruhi interaksi orang tua dan anak autis dalam
keseharian. Sehingga dua hal di atas menjadi catatan penting bagi orang tua ibu
maupun ayah untuk bersikap wajar dan tetap peduli terhadap anaknya dalam
kondisi apapun.
Penerimaan orang tua khususnya ayah dalam menerima kondisi anaknya yang
mengalami autis itu penting dikarenakan beberapa fakta di lapangan anak autis
rentan sekali beresiko mendapat kekerasan, hal ini disebabkan karena anak autis
memiliki banyak hambatan pada sosial skil. (Zablotsky, Bradshaw, dkk 2012).
Melihat kondisi tersebut peran ayah sangat dibutuhkan, agar anak autis terhindar
dari ancaman serta tindak kekerasan. Fakta yang lain adalah pada umumnya anak
autis sering sekali mengalami sulit untuk tidur. Satu dari banyak orang tua dari
anak autis mengeluh bahwa anaknya sulit sekali untuk tidur. Padahal tidur adalah
sebuah proses aktif yang berdampak pada fungsi keseharian individu serta
8
tersebut, juga diperlukan penerimaan seorang ayah serta bagaimana ayah harus
berperan.
Selanjutnya, fakta di Lapangan kehidupan nyata di dalam dunia artis dan
sekaligus di dunia politik seperti contohnya Ruhut Sitompul yang juga berprofesi
sebagai pengacara, telah dikaruniai seorang putra bernama Christian Sitompul,
Christian Sitompul adalah anak Ruhut Sitompul dengan Anna Rudhiantiana
Legawati yang di akui Ruhut Christian adalah anaknya namun di luar pernikahan.
Christian Sitompul anak kandung Ruhut Sitompul tersebut penyandang
tunagrahita. Meski Ruhut mengakui bahwa Christian adalah anak kandungnya
namu Ruhut Sitompul tidak mencamtumkan nama Christian di dalam biografi
anggota DPR. Sehingga membuat Anna ibu dari Christian geram (Rtya, 2011).
Faktor Christian penyandang tunagrahita inilah yang perlu diteliti lebih lanjut,
apakah Ruhut sebagai orang tua dan sebagai ayah kandung memiliki beban sosial
tersendiri merasa malu dengan keadaan anaknya atau ada alasan lain. Dalam hal
ini masih belum terungkap kenyataan dan kejelasannya. Dari fakta dan fenomena
Ruhut Sitompul tersebut menjadi fakta paling kuat mengapa peneliti tertarik untuk
meneliti penerimaan ayah yang memiliki anak autis.
Fakta berikutnya menurut Mazrieva (2013) kini di Amerika seorang ayah
semakin terlibat dalam pekerjaan rumah tangga, ini merupakan bagian dari
identitas personal seorang ayah di Amerika. Banyak waktu yang diluangkan
seorang ayah untuk anaknya setiap harinya. Ayah pun juga melakukan pekerjaan
rumah tangga yang biasa ibu lakukan seperti mencuci pakain, mencuci piring,
9
kepada bayi mereka. Hal ini disebabkan seorang ibu di Amerika merupakan
pencari nafkah 40 persen keluarga Amerika. Ketika ibu bekerja secara otomatis
ayahlah yang lebih banyak waktu bersama anak-anak di rumah. Ini sudah menjadi
kesepakatan bersama ayah dan ibu di Amerika untuk saling membagi tugas dalam
urusan rumah tangga.
Meski banyak penelitian berpendapat bahwa sikap pemeliharaan seorang ibu
lebih memberi dampak positif bagi kesembuhan anak berkebutuhan khusus,
namun beberapa ditemukan bahwa ayah juga memiliki dampak yang sama
besarnya pada penyesuaian anak. Yang artinya meski selama ini kedekatan serta
peran ibu dengan anak sangat member dampak positif terhadap perkembangan
dan penyesuaian anak tersebut, namun ditemukan fakta dalam beberapa penelitian
kedekatan dan peran seorang ayah juga memberikan dampak yang luar biasa pada
perkembangan penyesuain anak. Sehingga kelekatan, kedekatan, serta peran ibu
dan ayah dapat dikatakan sama besarnya dampaknya terhadap perkembangan
penyesuaian anak. (Verbeek & de Graaf (2007 dalam Xiayun, 2012).
Berikut penjelasan arti penerimaan diri ayah terhadap anaknya. Pada
umumnya penerimaan orang tua terhadap anaknya adalah bagian dari kedekatan
orang tua dengan anak-anak mereka. Kedekatan tersebut terlihat secara fisik,
verbal maupun perilaku dalam bentuk simbol. Ini adalah ekspresi dari perasaan
orang tua terhadap anaknya. Kemudian penolakan orang tua terhadap anaknya
terlihat dari perilaku orang tua yang yang menyakitkan secara fisik maupun
10
Melihat fakta-fakta yang ada di atas, pada penelitian ini peneliti akan meneliti
mengenai penerimaan ayah yang memiliki anak autis. Peneliti ingin tahu
bagaimana gambaran penerimaan seorang ayah yang memiliki anak autis, apa saja
aspek-aspek penerimaan seorang ayah yang memiliki anak dengan gangguan autis
serta apa sajakah faktor-faktor penerimaan ayah yang memiliki anak autis.
Sehingga peneliti dan masyarakat dapat mengetahui apakah seorang ayah yang
memiliki anak dengan gangguan autis akan menerima apa saja kondisi anaknya
dan dapat berinteraksi dengan baik terhadap anaknya dengan kondisi ayah sebagai
kepala keluarga yang mencari nafkah, atau bahkan menolak sehingga interaksi
ayah dengan anaknya yang mengalami gangguan autis menjadi tidak baik dan
sebagainya. Peneliti juga ingin tahu seberapa jauh dampak seorang ayah dapat
meningkatkan kesembuhan anaknya untuk menjadi lebih baik dalam
mengembangkan potensi dalam dirinya.
B. Fokus Penelitian
Fokus dari penelitian yang menjadi ruang lingkup dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana gambaran penerimaan ayah yang memiliki anak autis?
2. Apa faktor-faktor penerimaan ayah yang memiliki anak autis dan apa saja
aspek-aspek penerimaan ayah yang memiliki anak autis?
C. Keaslian Penelitian
Beberapa hasil riset terdahulu yang mengungkap tentang penerimaan yang
memiliki anak autis antara lain yang pertama adalah penelitian Febri (2012
11
yaitu dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi harga diri yang dimiliki oleh
seorang ayah maka penerimaan ayah terhadap anak autis semakin baik, sedangkan
semakin rendah harga diri maka penerimaan ayah terhadap anak autis semakin
tidak baik. Hasil penelitian di atas berdasarkan teori Klass dan Hodge (1979, hal
701) mengemukakan bahwa harga diri merupakan hasil penilaian yang dibuat dan
dipertahankan oleh individu tentang dirinya. Proses penilaian tersebut berasal dari
interaksi individu dengan lingkungan, serta hal menyangkut aspek-aspek seperti
penerimaan, perilaku dan penghargaan orang lain terhadap dirinya.
Menurut Krcitner dan Kinicki (dalam Dewi, 2005, hal. 15) individu dengan
harga diri rendah cenderung memandang dirinya negatif, merasa dirinya tidak
baik, cenderung mempunyai masalah dalam menjalin hubungan dengan orang lain
dan dihalangi keraguan. Individu dengan harga diri tinggi cenderung memandang
dirinya patut diperhatikan, merasa mampu dan diterima oleh lingkungan. Ayah
yang memiliki harga diri tinggi merasa bahwa dirinya berharga dan merasa
sebagai bagian dari lingkungan, mereka merasa mampu melakukan sesuatu yang
penting dan merasa diterima lingkungan, mereka dapat menerima dirinya dengan
baik serta keadaan orang lain dengan baik pula.
Rasa penerimaan yang baik dari lingkungan membuat ayah merasa berharga
bagi sekellingnya sehingga memandang dirinya dengan positif. Hal tersebut
berakibat ayah dapat memandang sekelilingnya dengan positif juga dan dapat
menerima kehadiran orang lain dengan baik termasuk kehadiran anaknya yang
menderita autis. Ayah yang dapat menerima bearti dapat memberikan kasih
12
memberikan pendidikan yang terbaik dan mengusahakan kesembuhan anak
tersebut.
Penelitian Zulkaida & Rachmayanti mengenai (2007) “Penerimaan Diri Orang
Tua Terhadap Anak Autisme dan Peranannya dalam Terapi Autisme” yaitu
menyimpulkan bahwa ketiga subjek (orang tua dari anak yang menyandang autis)
dalam penelitian ini dapat menerima sepenuhnya kondisi anak mereka yang
didiagnosis menyandang autisme. Beberapa tahap yang dilalui oleh ketiga subjek
dalam proses penerimaan terhadap anaknya yang didiagnosa menyandang autisme
yaitu tahap denial, anger, bargaining, depression, dan acceptance. Namun ketiga
subjek melalui tahapan yang beda karena kondisi anak mereka
berbeda-beda.
Ketiga subjek cukup berperan serta dalam penanganan anak mereka yang
menyandang autisme, mulai dari memastikan diagnosis dokter, membina
komunikasi dengan dokter, mencari dokter lain pabila dokter yang bersangkutan
dianggap tidak kooperatif, berkata jujur saat melakukan konsultasi mengenai
perkembangan anak, memperkaya pengetahuan dengan membeli buku-buku atau
majalah yang di dalamnya terdapat pengetahuan mengenai autisme, dan
mendampingi anak saat melakukan terapi. Namun ketiga subjek tidak memiliki
banyak waktu untuk bergabung dalam parent support group dan kurangnya
informasi tentang hal tersebut.
Penelitian Oktaviana (2009) mengenai “Penerimaan Kakak Remaja Awal
13
mempengaruhi munculnya penerimaan saudara kandung (kakak) terhadap adik
autis yaitu persepsi terhadap individu yang menyandang autis, kesiapan individu
dalam menghadapi anak autis, hubungan antar anggota keluarga, pola asuh orang
tua, dan komunikasi yang digunakan antar anggota keluarga. Dari kelima faktor
tersebut yang paling menonjol pada faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya
penerimaan adalah faktor persepsi terhadap individu yang menyandang autis dan
pola asuh orang tua mempunyai intensitas kuat. Faktor persepsi terhadap individu
ini yang mempengaruhi semua faktor eksternal dari kelima faktor di atas. Dan
kelima faktor tersebut muncul pada ketiga subjek dan dari faktor-faktor tersebut
dapat menunjukkan perilaku penerimaan yaitu pemberian perhatian, simpati, kasih
sayang, dan memberi bantuan terhadap adik autis.
Berdasarkan penelitian diatas, persamaan dari penelitian yang telah ada
dengan penelitian yang akan dilakukan adalah sama-sama akan meneliti tentang
penerimaan diri terhadap anak autis. Sedangkan untuk perbedaannya penelitian
yang telah ada dengan penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Subjek
Penelitian yang telah ada menggunakan subjek orang tua yang meliputi
ayah dan ibu dari anak autis, kemudian menggunakan subjek remaja awal
yang mempunyai adik perempuan penyandang autis. Sedangkan penelitian
yang akan dilakukan saat ini adalah menggunakan subjek seorang ayah
14
2. Metode Penelitian
Penelitian sebelumnya, sebagian menggunakan metode kuantitatif.
Sedangkan Penelitian yang akan dilakukan kali ini menggunakan metode
kualitatif deskriptif.
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan dalam penelitian ini yaitu untuk yaitu untuk mengetahui gambaran
penerimaan ayah yang memiliki anak autis.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor penerimaan ayah yang memiliki anak
autis serta aspek-aspeknya.
E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini yaitu:
1. Secara teoritis memberikan sumbangan pada ilmu psikologi terutama
psikologi klinis
2. Secara praktis penelitian ini berguna bagi orang tua yang memiliki anak
autis khususnya para ayah agar dapat memiliki penerimaan diri yang baik
dan positif apabila dikaruniai seorang anak dengan gangguan autisme.
F. Sistematika Pembahasan
Hasil pelaporan dari penelitian ini terbagi dalam beberapa bab, yaitu bab I
sampai dengan bab V. Bab I berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang
masalah, fokus penelitian, keaslian penelitian, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, serta sistematika pembahasan.
Bab II adalah kajian pustaka yang di dalamnya berisi teori-teori yang
15
ini pembaca dapat mengetahui pengertian autisme, simtom autisme, klasifikasi
autisme, penyebab autisme, pengertian ayah, pengertian penerimaan, penerimaan
ayah terhadap anak autis, faktor-faktor penerimaan ayah yang memiliki anak
autis dan aspek-aspek penerimaan ayah yang memiliki anak autis.
Bab III adalah metode penelitian yang memuat uraian tentang metode dan
langkah-langkah penelitian secara operasional yang menyangkut pendekatan dan
jenis penelitian, kehadiran peneliti, lokasi penelitian, sumber data, analisis data,
dan pengecekan keabsahan data.
Bab IV adalah hasil penelitian dan pembahasan yang memuat uraian
tentang data dan temuan yang diperoleh dengan metode dan prosedur yang
diuraikan dalam bab sebelumnya. Hal-hal yang dipaparkan dalam bab ini meliputi
setting penelitian, hasil penelitian, serta pembahasan.
Bab V adalah penutup yang memuat temuan pokok atau kesimpulan, serta
16
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.Autisme
1. Penegrtian Autisme
Kata autis di ambil dari kata Yunani “Autos” yang artinya “Aku” dalam
pengertian non-ilmiah yaitu bahwa semua anak yang bersikap sangat mengarah
kepada dirinya sendiri karena sebab apapun, disebut autis. Istilah autisme ini
diperkenalkan sejak tahun 1943 oleh Leo Kanner, seorang psikiatris Amerika, ia
menemukan sebelas anak yang memiliki ciri-ciri yang sama, yaitu tidak mampu
berinteraksi, dan berkomunikasi dengan individu lain dan sangat tak acuh
terhadap lingkungan di luar dirinya, sehingga perilakunya tampak seperti hidup
dalam dunianya sendiri (Aisyiyah. 2007).
Definisi Autisme menurut Maslim (2003) adalah merupakan sebuah gangguan
perkembangan pervasif yang ditandai oleh adanya kelainan atau hendaya
perkembangan yang muncul sebelum usia 3 tahun, dan ciri kelainan fungsi dalam
tiga bidang yaitu dalam bidang interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku yang
terbatas dan berulang. Sedangkan menurut Mercer, Creighton, Holden, & Lewis
(2006) ada kesamaan dengan Maslim dalam mengartikan anak autis adalah sebuah
gangguan perkembangan saraf yang kompleks dengan banyak penyebab biologis,
termasuk genetik, sindromik, dan lingkungan. Dan juga gangguan autisme
17
hambatan dalam komunikasi dan juga interaksi sosial, maupun sikap pola yang
repetitive (pengulangan) dan steorotyped (khas).
Autisme merupakan kelainan perkembangan sistem syaraf pada seseorang
yang dialami sejak lahir ataupun saat masa balita. Karakteristik yang menonjol
pada seseorang yang mengidap kelainan ini adalah kesulitan membina hubungan
sosial, berkomunikasi secara normal maupun memahami emosi serta perasaan
orang lain. Autisme bukanlah penyakit kejiwaan karena ia merupakan suatu
gangguan yang terjadi pada otak sehingga menyebabkan otak tersebut tidak dapat
berfungsi selayaknya otak normal dan hal ini termanifestasi pada perilaku
penyandang autisme (Wikipedia. 2013).
Menurut DSM IV (Diacnostic Statistical Manual yang dikembangkan oleh
para psikiater Amerika) mendefinisikan anak autis sebagai berikut :
1. Terdapat paling sedikit enam pokok dari kelompok a, b, dan c meliputi
sekurang-kurangnya satu item dari kelompok a, sekurang-kurangnya satu
item dari kelompok b, sekurang-kurangnya satu item dari kelompok c.
a. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang ditunjukkan oleh
paling sedikit dua diantara berikut :
1. Memiliki kesulitan dalam menggunakan berbagai perilaku non
verbal seperti, kontak mata, ekspresi muka, sikap tubuh, bahasa
18
2. Memiliki kesulitan dalam mengembangkan hubungan dengan
teman sebaya atau teman yang sesuai dengan tahap perkembangan
mentalnya.
3. Ketidakmampuan untuk berbagi kesenangan, minat, atau
keberhasilan secara spontan dengan orang lain (seperti, kurang
tampak adanya perilaku memperlihatkan, membawa atau menunjuk
objek yang menjadi minatnya.
4. Ketidakmampuan dalam membina hubungan sosial atau emosi
yang timbal balik.
b. Gangguan kualitatif dalam berkomunikasi yang ditunjukkan oleh
paling sedikit satu dari yang berikut :
1. Keterlambatan dalam perkembangan bicara, tidak berusaha
berkomunikasi non verbal.
2. Bagi individu yang mampu bicara, tapi tidak untuk komunikasi
atau egoisentris.
3. Pemakaian bahasa yang berulang-berulang, aneh, atau yang disebut
steorotip.
4. Cara bermain kurang variatif, imajinatif, kurang imitasi sosial.
c. Pola minat perilaku yang terbatas, repetitive, dan steorotype seperti
yang ditunjukkan oleh paling tidak satu dari yang berikut :
1. Keasikan dengan satu atau lebih pola-pola minat yang terbatas dan
19
2. Tampak tidak fleksibel atau kaku denga rutinitas atau ritual yang
khusus, atau yang tidak memiliki manfaat.
3. Perilaku motorik yang steorotipe dan berulang-ulang seperti :
memukul-mukulkan atau menggerakkan tangannya atau
mengetuk-ngetukkan jarinya, atau menggerakkan seluruh tubuhnya.
4. Keasikan yang menetap dengan bagian-bagian dari benda (objek).
2. Perkembangan Abnormal atau terganggu sebelum usia tiga tahun seperti
yang ditunjukkan oleh keterlambatan atau fungsi yang abnormal.
3. Sebaiknya tidak dikelompokkan ke dalam Rett Disorder , chillhood,
Integrative Disorder, atau Asperger syndrome.
Jadi autisme adalah anak yang mengalami gangguan perkembangan yang
kemudian memiliki hambatan dalam berinterkasi, berkomunikasi, berperilaku juga
minat yang tidak biasa, dan gangguan ini sudah dapat terlihat pada anak sebelum
usia tiga tahun.
2. Simtom Autisme
Autisme merupakan suatu gangguan yang sangat berat dengan tiga simtom utama,
yaitu :
a. Simtom pertama, anak yang menderita autisme kurang responsif
terhadap orang lain dan sekitarnya. Terlihat hidup di dalam dunianya
sendiri.
20
c. Simtom ketiga adalah aktivitas-aktivitas dan minat-minat yang terbatas
dan diulang-ulang. Anak autis juga lebih menyukai keteraturan
berkenaan dengan stimulus-stimulus lingkungan. Sering kali ia secara
kaku menempatkan barang-barang secara teratur dan akan merasa
kebingungan bila kebiasaan itu diubah (Semiun. 2006).
3. Klasifikasi Autisme
Menurut Veskarisyanti (2008), ada beberapa klasifikasi autisme, diantaranya :
a. Aloof (Jauh)
Anak dengan autisme tipe ini senantiasa berusaha menarik diri dari kontak
sosial dan cenderung untuk memojokkan diri pada sudut-sudut ruangan.
b. Passive (Pasif)
Anak dengan autisme tipe ini tidak berusaha untuk mengadakan kontak
sosial, melainkan hanya menerima saja. Autistik jenis ini merupakan grup
yang paling mudah ditangani
c. Active but Odd (Aktif tetapi aneh)
Anak dengan autisme tipe ini cenderung akan melakukan pendekatan,
namun hanya bersifat satu sisi yang bersifat repetitive dan aneh.
Kemampuan bicara pada autistik jenis ini seringkali lebih baik bila
21
4. Penyebab Autisme
Penelitian tentang penyebab autisme pada mulanya masih dalam
perdebatan. Tak ada penyebab khusus yang diyakini oleh para ahli seorang anak
menyandang autisme. meski pernah di era 50-an sampai 60-an, dikatakan
penyebabnya adalah akibat dari pengaruh perlakuan orang tua di masa
kanak-kanak. Pada mulanya di tahun 40-an dr.Leo Kanner pernah melaporkan
temuannya bahwa orang tua dari anak yang autisme, ternyata kurang merasa
memiliki kehangatan dalam membesarkan anaknya. Namun sampai sekarang
belum ada data yang bisa dipertanggung jawabkan untuk membuktikan kebenaran
teori penyebab autisme adalah karena perilaku orang tua (Yatim. 2007).
Pendapat yang sudah menjadi konsensus bersama para ahli belakangan ini
mengakui bahwa autisme diakibatkan terjadi kelainan fungsi luhur di daerah otak
masih menurut Yatim (2007). Kelainan fungsi ini bisa disebabkan berbagai
macam trauma seperti :
1. Sewaktu bayi dalam kandungan misalnya, karena keadaan keracunan
kehamilan, infeksi virus rubella, dan lain-lain.
2. Kejadian segera setelah lahir (perinatal) seperti kekurangan oksigen
(anoksia).
3. Keadaan selama kehamilan seperti pembentukan otak yang kecil, misalnya
vermis otak kecil yang lebih kecil (mikrosepali) atau terjadi pengerutan
22
4. Mungkin karena kelainan metabolism seperti pada penyakit Addison
(karena infeksi tuberkolosa, dimana terjadi bertambahnya pigment tubuh
dan kemunduran mental).
5. Mungkin karena kelainan chromosom seperti pada syndrome chromosoma
X yang fragil seperti diberitakan belakangan ini tinggi insidennya di
Gunung Kidul , Daerah Istimewa Yogyakarta dan sindroma chromosom
XYY.
6. Mungkin ada faktor lain. Menurut Yatim (2007) pula Pemeriksaan CT
scanning dan pneumo encephalogram pada anak autisme, yang tampak
adalah Ventrikel lateral otak tidak normal, terutama daerah temporal dana
juga terlihat pelebaran ventrikel lateral otak.
7. Pada pemeriksaan histopatologi yang terlihat sebagai berikut pembentukan
sel-sel di daerah hippocampus terlihat tidak normal dan amygdale di kedua
sisi otak.
8. Pada pemeriksaan EEG yang terlihat sebagai kelainan tidak khas.
9. Secara laboratorium yang terlihat adalah diduga ada kaitannya dengan
banyaknya pembuangan zat phenil keton melalui air seni (phenil
ketonuria). Jadi, kelihatannya autisme disebabkan oleh gabungan dari
berbagai penyebab tersebut (Yatim. 2007).
Namun, menurut Wikipedia Indonesia Ensiklopedia Bebas 2013 hasil dari
riset para ahli menghasilkan hipotesa yakni ada dua hal yang diyakini sebagai
pemicu autisme adalah faktor genetik atau keturunan dan faktor lingkungan
23
B. Penerimaan Ayah
1. Pengertian Ayah
Definisi ayah menurut Abdillah & Syarifuddin (1999) arti ayah adalah
orang tua kandung laki-laki atau bapak. Orang tua laki-laki yang bukan orang tua
adat atau hokum diakui sebagai ayah karena mengambil dan menganggap
seseorang sebagai anaknya sendiri dengan segala hak dan kewajiban yang
berhubungan dengan kedudukan itu.
Ayah merupakan gelar yang diberikan kepada seorang pria apabila ia telah
memiliki anak, terlepas apakah itu anak kandung atau anak angkat. Kata ayah
disebut juga dengan kata bapa, papah atau father dalam bahasa inggris yang
mengandung banyak pengertian.. dalam hubungan kekeluargaan kata ayah
memberikan pengertian sebagai kepala keluarga yang diharapkan membawa
kesejahteraan bagi keluarganya (Tambunan. 1985)
2. Pengertian Penerimaan
Defenisi penerimaan menurut Abdillah & Syarifuddin (1999) adalah proses,
cara, perbuatan menerima. Apabila penerimaan diri menurut Hurlock (1973)
adalah suatu tingkat kemampuan dan keinginan individu untuk hidup dengan
segala karakteristik dirinya. Individu yang dapat menerima dirinya diartikan
sebagai individu yang tidak bermasalah dengan dirinya sendiri, yang tidak
memiliki beban perasaan terhadap diri sendiri sehingga individu lebih banyak
24
Menurut Kolb (1984 dalam Febri, 2012) penerimaan merupakan pencerminan
perasaan senang berhubungan dengan kenyataan yang ada pada dirinya.
Sedangkan menurut Johnson dan Medinus (1976) penerimaan merupakan
pemberian rasa cinta tanpa syarat yang tercermin melalui adanya perhatian yang
kuat, cinta kasih serta sikap yang penuh kebahagian. Dan menurut
Poerwadarminto (1991) Penerimaan adalah penyambutan dan perbuatan
menerima.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan pengertian penerimaan
adalah ungkapan rasa senang yang memunculkan sikap memberikan perhatian dan
kepedulian yang begitu besar terhadap dirinya maupun kepada hal lain selain
dirinya.
C. Penerimaan Ayah Terhadap Autis
Semua anak di dunia dengan perbedaan budaya, gender, usia, serta status
ekonomi memiliki satu kesamaan yaitu butuh pengasuhan dari setiap orang tua
dengan rasa cinta dan kehangatan demi kesehatan sosial dan perkembangan emosi
mereka. Pada umumnya penerimaan orang tua terhadap anaknya adalah bagian
dari kedekatan orang tua dengan anak-anak mereka. Kedekatan tersebut terlihat
secara fisik, verbal maupun perilaku dalam bentuk simbol. Ini adalah ekspresi dari
perasaan orang tua terhadap anaknya. Kemudian penolakan orang tua terhadap
anaknya terlihat dari perilaku orang tua yang yang menyakitkan secara fisik
25
Penerimaan ayah menurut Cinthia & Jorie (2008) terhadap anaknya adalah
segala keterlibatan ayah di dalam aktivitas anak mereka. Penerimaan adalah
bentuk keterlibatan, memberikan kehangatan serta selalu memantau aktivitas apa
saja yang dilakukan oleh anak mereka. Ketika ayahnya sukses memantau segala
suatu tindakan, aktivitas yang dilakukan anak, kedekatan antara ayah dan anak
akan terjalin.
Sedangkan pengertian penerimaan orang tua yaitu suatu efek psikologis dan
perilaku dari orang tua pada anaknya seperti rasa sayang, kelekatan, kepedulian,
dukungan dan pengasuhan dimana orang tua tersebut bisa merasakan dan
mengekspresikan rasa sayang kepada anaknya (Hurlock. 1973).
Hurlock (1966) juga menyatakan bahwa penerimaan ayah terhadap anak
autis ditandai dengan perhatian yang besar dan kasih sayang pada anaknya
tersebut. Ayah akan tetap memperhatikan perkembangan kemampuan anaknya
dan memperhatikan minat anaknya meskipun anak tersebut menderita autisme.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa penerimaan ayah terhadap anak autis
adalah sikap positif ayah terhadap anak yang menderita autisme yang ditunjukkan
dengan segala ekspresi rasa cinta yang besar memperhatikan Sang anak
memenuhi segala kebutuhan dan keinginan Sang anak serta terlibat langsung
26
1. Faktor-faktor Penerimaan
Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan ayah terhadap anak autis
menurut Hurlock (1978) adalah sebagai berikut :
a. Konsep anak idaman, yang terbentuk sebelum kelahiran anak yang sangat
diwarnai romantisme dan didasarkan gambaran anak ideal dari orang tua.
b. Pengalaman awal dengan anak mewarnai sikap orang tua terhadap
anaknya memperlakukan anaknya.
c. Nilai budaya mengenai cara terbaik memperlakukan anak, secara otoriter,
demokratis maupun permisif, aku mempengaruhi sikap ayah dan cara
memperlakukan anaknya.
d. Ayah yang menyukai peran, merasa bahagia dan mempunyai penyesuaian
yang baik terhadap perkawinan dan mencerminkan penyesuaian yang baik
terhadap anak.
Menurut Sarasvati (2004) terdapat tujuh faktor yang mempengaruhi
penerimaan ayah terhadap anak autis, antara lain :
a. Dukungan keluarga besar, semakin kuatnya dukungan keluarga besar,
orang tua akan terhindar dari merasa sendirian, sehingga menjadi lebih
kuat dalam menghadapi cobaan, karena dapat bersandar pada keluarga
besar mereka.
b. Kemampuan keuangan, dengan kemampuan finansial yang lebih baik,
27
memberikan beberapa terapi sekaligus, sehingga proses penyembuhan juga
semakin cepat.
c. Latar belakang agama, kepercayaan yang kuat kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa membuat orang tua yakin bahwa mereka diberikan cobaan sesuai
dengan porsi yang mampu mereka hadapi. Dengan keyakinan tersebut,
mereka mengupayakan yang terbaik untuk anak mereka, dan percaya
bahwa suatu saat, anak tersebut akan mengalami kemajuan.
d. Sikap para ahli yang mendiagnosa anaknya. Dokter ahli yang simpatik dan
berempati, akan membuat orang tua merasa khusunya ayah merasa
dimengerti dan dihargai. Dan orang tua menjadi merasa tidak sendirian
serta merasa mendapat dukungan dalam menghadapi cobaan ini.
e. Tingkat pendidikan ayah dan ibu. Semakin tinggi tingkat pendidikan,
relatif makin cepat pula orang tua menerima kenyataan dan segera mencari
penyembuhan.
f. Status perkawinan, status perkawinan yang harmonis, memudahkan suami
istri untuk bekerja saling bahu membahu dalam menghadapi cobaan hidup
yang mereka alami.
g. Sikap masyarakat umum. Di mana pada masyarakat yang sudah lebih
menerima, mereka akan berusaha memberikan dukungan secara tidak
berlebihan (pada saat berhadapan dengan anak-anak dengan kebutuhan
28
h. Usia, bahwa usia yang matang dan dewasa pada pasangan suami istri,
memperbesar kemungkinanorang tua untuk menerima diagnosa dengan
relatif tenang.
2. Aspek-Aspek Penerimaan
Coopersmith (Buss, 1995 dalam Febri, 2012). 2012, aspek-aspek penerimaan ayah
terhadap anak autis :
a. Pemberian perhatian
Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan suatu hal secara tulus, tanpa
syarat dan tidak mengharapkan balasan.
b. Simpati
Mempunyai rasa kasih dan menerima keadaan anak apa adanya.
c. Kasih sayang
Memberikan rasa sayang kepada anak melalui suatu tindakan-tindakan
nyata maupun tidak nyata.
d. Mencoba membantu dalam situasi apapun
Memberikan bantuan dan turut andil dalam situasi dan kondisi yang
dialami oleh anaknya yang menderita autis.
Menurut Kristi (1992 dalam Monika, 2000) aspek-aspek penerimaan ayah
terhadap anak autis antara lain adalah :
a. Adanya perhatian dan kasih sayang
Merupakan sesuatu yang tulus, tanpa syarat apapun dan tidak
29
b. Adanya kepercayaan
Hal ini dapat ditunjukkan dengan memberikan kepercayaan kepada anak
agar anak tersebut akan merasa bahwa dirinya dapat diterima oleh orang
lain.
c. Adanya penghargaan dan penghormatan
Penghargaan dan penghormatan yang diberikan akan menjadi tolak ukur
yang sangat penting bagi individu yang menerimanya untuk mengetahui
tingkat penerimaan yang mereka peroleh.
d. Adanya bantuan dan kesedihan
Melalui bantuan dan kesedihan yang didapat dari orang lain, tersebut akan
merasa dirinya dapat diterima.
D. Kerangka Teoritik
Kerangka teoritik dalam penelitian ini adalah menguraikan pandangan
subjektif dan posisi peneliti. Peneliti sebagai orang yang meneliti suatu fenomena
yang terjadi. Saat ini banyak anak dengan kondisi berkebutuhan khusus seperti
anak autis yang mengalami hambatan dalam berinteraksi, dalam bersosialisasi,
serta dalam komunikasi. Penerimaan serta peran orang tua sangat dibutuhkan
dalam tumbuh kembang Si anak. Sudah banyak penelitian serta fakta yang ada
penerimaan ibu yang memiliki anak autis lebih banyak diteliti serta bagi sebagian
orang, menganggap mayoritas seorang ibu lebih menerima, lebih bisa memahami,
serta menyangi anak dengan kondisi autis. Namun dalam penelitian kali ini,
peneliti ingin meneliti dinamika penerimaan seorang ayah yang memiliki anak
30
Dalam teori psikologi kepribadian, dari tokoh Alfred Adler, Adler
mengatakan untuk membentuk individu yang memiliki kepribadian dan jiwa yang
sehat, dalam fase perkembangan semenjak lahir hingga dewasa sangatlah penting
peran ayah dan ibu. Pengaruh peran ayah dan ibu begitu besar dalam
perkembangan jiwa seorang anak (Alwisol. 2009). Hal ini sesuai dengan pola
pengasuhan orang tua. Dalam jurnal psychology yang berjudul Father’s Parenting
and Children Adjusment: The Mediating Role of Father-Child Conflict yang di
teliti oleh Xiayun dan Linyan (2012) mengatakan bahwa di dalam parenting style
atau yang disebut pola pengasuhan atau gaya mengasuh anak terdapat dua hal
yang penting yaitu dalam mengasuh seorang anak harus dengan rasa cinta dan
kehangatan.
Dari rasa cinta dan kehangatan tersebut akan muncul proses penerimaan dari
orang tua khususnya ayah terhadap anaknya. Dan di dalam penerimaan terdapat
aspek-aspek penerimaan orang tua atau ayah terhadap anaknya. Aspek-aspek
penerimaan ini adalah dalam bentuk pemberian perhatian, pemberian kasih
sayang, pemberian rasa simpati, serta mencoba membantu anak dalam situasi
apapun atau terlibat langsung dalam segala aktivitas anak (Coopersmith (Buss,
1995 dalam Febri, 2012). Dalam aspek-aspek penerimaan ayah ini secara otomatis
akan terjalin rasa peduli, kedekatan serta kelekatan diantara ayah dan anak. Dari
hal di atas menunjukkan peran ayah dijalankan.
Kondisi-kondisi anak autis yang tidak hanya butuh kasih sayang, perhatian,
simpati, serta bantuan dari seorang ibu, namun juga sangat membutuhkan
31
Sehingga diharapkan seorang ayah ketika mengetahui kenyataan bahwa memiliki
anak autis dapat menerima serta memperlakukan anak autis tersebut seperti ketika
ia memiliki anak tidak autis atau normal, karena kasih sayang, simpati, perhatian,
dukungan, dari seorang ayah juga dibutuhkan oleh anak autis untuk membantu
32
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif. Bogdan dan taylor (1975, dalam Moleong, 2009) mendefinisikan
metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dari individu tersebut secara holistik
(utuh).
Menurut Denzin & Licoln (dalam Noor, 2012), kata kualitatif menyiratkan
penekanan pada proses dan makna yang tidak dikaji secara ketat atau belum
diukur dari kuantitas, jumlah, intensitas, atau frekuensinya.
Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan
untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah
eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan
data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan
hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi
(Sugiyono, 2010).
Istilah penelitian kualitatif menurut Kirk dan Miller (1986, dalam
Moleong, 2009) pada mulanya bersumber pada pengamatan kualitatif yang
dipertentangkan dengan pengamatan kuantitatif. Pengamatan kuantitatif
melibatkan pengukuran tingkatan suatu ciri tertentu. Untuk menemukan sesuatu
33
Untuk itu pengamat mulai mencatat atau menghitung dari satu, dua, tiga, dan
seterusnya. Di pihak lain kualitas menunjuk segi alamiah yang dipertentangkan
dengan kuantum atau jumlah tersebut. Atas dasar pertimbangan itulah maka
kemudian penelitian kualitatif tampaknya diartikan sebagai penelitian yang tidak
mengadakan perhitungan.
Moleong (2009) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif dapat
dimanfaatkan untuk beberapa keperluan. salah satunya yaitu untuk memahami
isu-isu rinci tentang situasi dan kenyataan yang dihadapi seseorang.
Sedangkan jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
fenomenologi. Husserl (1999, dalam Moleong, 2009) mengartikan fenomenologi
sebagai: 1) pengalaman subjektif atau pengalaman fenomenologikal; 2) suatu
studi tentang kesadaran dari perspektif pokok dari seseorang.
Menurut Bogdan dan Biklen (1982) peneliti dengan pendekatan
fenomenologis berusaha memahami makna dari suatu peristiwa dan saling
pengaruhnya dengan manusia dalam situasi tertentu (Alsa, 2004).
Pendekatan fenomenologi didasari atas pandangan dan asumsi bahwa
pengalaman manusia diperoleh melalui hasil interpretasi. Objek, orang-orang,
situasi, dan peristiwa-peristiwa tidak mempunyai arti dengan sendirinya
melainkan melalui interpretasi mereka. Arti yang diberikan oleh seseorang
terhadap pengalamannya dan proses interpretasi sangat penting, dan hal itu bisa
memberikan arti khusus (Danim, 2002).
Istilah fenomenologi sering digunakan sebagai anggapan umum untuk
34
ditemui. Dalam arti yang lebih khusus, istilah ini mengacu pada penelitian
terdisiplin tentang kesadaran dari perspektif pertama seseorang (Moleong, 2009).
Fenomenologi merupakan pandangan berpikir yang menekankan pada
fokus kepada pengalaman-pengalaman subjektif manusia dan
interpretasi-interpretasi dunia. Dalam hal ini, para fenomenologis ingin memahami bagaimana
dunia muncul kepada orang lain (Moleong, 2009).
Fenomenologi memiliki riwayat yang cukup panjang dalam penelitian
sosial termasuk psikologi, sosiologi, dan pekerjaan sosial. Fenomenologi
merupakan pandangan berpikir yang menekankan pada fokus kepada
pengalaman-pengalaman subjektif manusia dan interpretasi-interpretasi dunia (Moleong,
2009).
Penelitian fenomenologi mencoba menjelaskan atau mengungkap makna
konsep atau fenomena pengalaman yang didasari oleh kesadaran yang terjadi pada
beberapa individu. Penelitian ini dilakukan dalam situasi yang alami, sehingga
tidak ada batasan dalam memaknai atau memahami fenomena yang dikaji (Noor,
2012).
Dalam penelitian ini, jenis penelitian fenomenologi dipilih karena
pengalaman-pengalaman yang dirasakan oleh seorang ayah yang memiliki anak
autis, dapat dikatakan selalu berbeda. Hal yang membuat berbeda adalah antara
seorang ayah yang satu ayah lainnya memiliki gambaran berbeda dalam
menerima kenyataan mempunyai anak penyandang autis, dan aspek-aspek serta
35
B. Kehadiran Peneliti
Melakukan penelitian fenomenologi pada hakekatnya adalah untuk
memahami dan mendeskripsikan pengalaman-pengalaman subjektif manusia dan
interpretasi-interpretasi dunia. Di samping itu, peneliti merupakan instrumen
utama. Oleh sebab itu kehadiran dan keterlibatan peneliti pada latar penelitian
sangat diperlukan karena pengumpulan data harus dilakukan dalam situasi
sesungguhnya.
Kehadiran peneliti sebatas sebagai pengamat penuh yang mengobservasi
berbagai kegiatan yang dilakukan subyek penelitian. Namun, untuk memperjelas
dan memahami apa yang dilakukan subyek maka dilaksanakan pula wawancara
secara mendalam. Berkaitan dengan hal ini tentu saja kehadiran peneliti ini akan
diketahui oleh subyek.
C. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian berada di daerah pinggiran kota Surabaya. Penelitian ini
dilakukan di rumah masing-masing subjek untuk hal-hal yang bersifat rahasia dan
membutuhkan suasana yang kondusif. Demikian juga dengan significantother.
Rumah kedua subjek penelitian terdapat di pinggir kota Surabaya, yang
dekat dengan sekolah swasta islam ternama di Surabaya yaitu SD dan SMP
Muhamadiyah 5 Pucang. Jarak rumah kedua subjek tidak jauh dari sekolah
tersebut. Tidak ada alasan khusus atas pemilihan kota atau tempat yang dijadikan
sebagai lokasi penelitian ini. Secara umum lokasi penelitian ini juga tidak jauh
36
Secara geografis lokasi penelitian ini mudah dijangkau karena letaknya
dekat dengan jalan raya utama menuju Surabaya Pusat yaitu Kota Madya. Melihat
kondisi rumah-rumah penduduk maupun fasilitas umum seperti masjid, musholla,
sekolah, yang ada di lokasi ini tampak ramai akan hilir mudik anak-anak yang
hendak ke sekolah.
D. Sumber Data
Data yang diperlukan dalam penelitian lapangan sebagai kerangka
penulisan skripsi ini tentulah data kualitatif. Bungin (2001) menjelaskan bahwa
data kualitatif diungkapkan dalam bentuk kalimat serta uraian-uraian, bahkan
dapat berupa cerita pendek.
Sesuai dengan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian
skripsi kali ini, maka sebagai sumber primer adalah data hasil observasi dan
wawancara yang diperoleh dari seorang ayah yang memiliki anak autis. Subyek
nantinya menjadi informan utama. Sedangkan sumber sekunder adalah hasil
wawancara yang diperoleh dari seorang ibu yang menjadi significant other yang
nantinya menjadi informan penguat.
E. Prosedur Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu
wawancara dan observasi. Penjelasannya adalah:
1. Wawancara
Menurut Hadi (2004) wawancara merupakan metode pengumpulan data
dengan tanya jawab sepihak yang dikerjakan dengan sistemis dan berlandaskan
37
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu
dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang menagjukan
pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas
pertanyaan itu (Moleong, 2009).
Wawancara merupakan sebuah percakapan antara antara dua orang atau
lebih, yang pertanyaannya diajukan oleh peneliti kepada subjek atau
sekelompok subjek penelitian untuk dijawab (Danim, 2002).
Danim (2002) menambahkan bahwa pada penelitian kualitatif,
wawancara mendalam dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, wawancara
sebagai strategi utama dalam mengumpulkan data. Pada konteks ini, catatan
data lapangan yang diperoleh berupa transkrip wawancara. Kedua, wawancara
sebagai strategi penunjang teknik lain dalam mengumpulkan data, seperti
observasi partisipan, analisis dokumen, dan fotografi.
Dalam penelitian ini wawancara digunakan untuk menggali informasi
tentang penerimaan diri seorang ayah yang memiliki anak penyandang autis.
Serta digunakan untuk mengklarifikasi informasi yang sudah didapat dengan
keterangan dari significant others.
2. Observasi
Hadi (2004) mengemukakan bahwa observasi adalah pengamatan dan
pencatatan dengan sistemis atas fenomena-fenomena yang diteliti. Observasi
dalam penelitian ini digunakan untuk mengamati lingkungan sosial subjek
38
Teknik ini menuntut adanya pengamatan dari peneliti baik secara
langsung maupun tidak langsung terhadap objek penelitian. Instrumen yang
dapat digunakan yaitu lembar pengamatan, panduan pengamatan. Beberapa
informasi yang diperoleh dari hasil observasi antara lain: ruang (tempat),
pelaku, kegiatan, objek, perbuatan, kejadian atau peristiwa, waktu, dan
perasaan (Noor, 2012).
F. Analisis Data
Penelitian kali ini adalah penelitian menggunakan pendekatan induktif.
Moleong (2009) menjelaskan bahwa pendekatan induktif jelas pada beberapa jenis
analisis data dalam penelitian kualitatif sebagai yang digambarkan oleh beberapa
penulis penelitian kualitatif. Pendekatan induktif dimaksudkan untuk membantu
pemahaman tentang pemaknaan dalam kata yang rumit melalui pengembangan
tema-tema yang diikhtisarkan dari kata kasar. Pendekatan ini jelas dalam analisis
data kualitatif. Ada yang menjelaskan secara gamblang secara induktif dan
lainnya menggunakan pendekatan tanpa memberikan nama yang eksplisit.
Moleong (2009) menambahkan bahwa Proses koding induktif dimulai
dari:
1. Pembacaan yang teliti tentang teks dan pertimbangan dari makna jamak
yang terdapat dalam teks.
2. Peneliti kemudian mengidentifikasikan segmen-segmen teks yang berisi
satuan-satuan makna, dan menciptakan label untuk kategori baru ke
39
3. Tambahan segmen teks ditambahkan pada kategori yang relevan. Pada
tahap itu peneliti dapat mengembangkan deskripsi makna awal dari
kategori dan dengan menuliskan catatan tentang kategori.
Menurut Creswell (2010) terdapat beberapa langkah dalam menganalisis data
sebagai berikut :
a. Mengolah data dan mengintrepetasikan data untuk dianalisis langkah ini
melibatkan transkrip wawancara, menscaning materi, mengerti data
lapangam atau memilah-milah dan menyusun data tersebut ke dalam
jenis-jenis yang berbeda tergantung sumber informasi.
b. Membaca keseluruhan data. Dalam tahap ini, menulis catatan-catatan
khusus atau gagasan-gagasan umum tentang data yang diperoleh.
c. Menganalisis lebih detail dengan mengkoding data. koding merupakan
proses mengolah materi atau informasi menjadi segmen-segmen sebelum
memaknainya.
d. Menerapkan proses koding untuk mendiskripsikan setting, orang-orang,
kategori, dan tema-tema yang akan dianalisis.
e. Menunjukkan bagaimana diskripsi dan tema-tema ini akan disajikan
kembali dalam narasi atau laporan kualitatif.
f. Menginterpretasi atau memaknai data .
Beberapa langkah dalam analisis data kualitatif di atas, akan diterapkan dalam
penelitian ini. Dalam penelitian ini data yang didapat ditulis dalam transkrip
wawancara, lalu dikoding, dipilah tema-tema sebagai hasil temuan, dan
40
Metode analisis data yang digunakan dalam studi ini juga berguna untuk
meningkatkan pemahaman terhadap masalah, misalnya mengerti apa jenis
pengalaman yang dipersepsikan oleh Subjek dan bagaimana mereka
mengalaminya. Metode ini diharapkan akan membuat subjek mendeskripsikan
pengalaman hidup mereka, sehingga karakteristik dan esensi dari fenomena dapat
dideskripsikan dengan pemahaman yang lebih baik. Selain itu, analisis dengan
metode ini merupakan prosedur pengolahan data dengan ketat (rigorious
procedure) untuk tetap menjaga netralitas empatik sehingga hasil olahan data
akan lebih kredibel.
G. Pengecekan Keabsahan Data
Untuk memperoleh temuan interpretasi data yang absah (trustworthiness)
maka perlu adanya upaya untuk melakukan pengecekan data atau pemeriksaan
data yang didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu.
Menurut Moleong (2009), ada empat kriteria yang digunakan dalam
pengecekan keabsahan data. Yaitu derajat kepercayaan (credibility), keteralihan
(transferability), kebergantungan (dependability), dan kepastian (confirmability).
1. Kredibilitas data
Kriteria ini digunakan dengan maksud data dan informasi yang
dikumpulkan peneliti harus mengandung nilai kebenaran (valid).
Kredibilitas data bertujuan untuk membuktikan apakah yang teramati oleh
peneliti sesuai dengan apa yang sesungguhnya ada dalm dunia kenyataan,
dan apakah penjelasan yang diberikan tentang dunia kenyataan tersebut
41
Untuk memperoleh keabsahan data, Moleong (2009) merumuskan
beberapa cara, yaitu : 1) perpanjangan keikusertaan, 2) ketekunan
pengamatan, 3) triangulasi, 4) pengecekan sejawat, 5) kecukupan
referensial, 6) kajian kasus negatif, dan 7) pengecekan anggota. Dari ketujuh
cara tersebut peneliti hanya menggunakan tiga cara yang disesuaikan
dengan tujuan penelitian, tiga cara tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, triangulasi. Yaitu merupakan teknik pemeriksaan
keabsahan data dengan melakukan pengecekan atau perbandingan terhadap
data yang diperoleh dengan sumber atau kriteria yang lain diluar data itu,
untuk meningkatkan keabsahan data. Denzin mengatakan empat uji
triangulasi data yaitu: triangulasi sumber, metode, peneliti, dan teori. Pada
penelitian ini, triangulasi yang digunakan adalah: a) triangulasi sumber,
yaitu dengan cara membandingkan apa yang dikatakan oleh subjek dengan
yang dikatakan informan dengan maksud agar data yang diperoleh dapat
dipercaya karena tidak hanya diperoleh dari satu sumber saja yaitu subjek
penelitian, tetapi juga data diperoleh dari beberapa sumber lain. b)
triangulasi metode, yaitu dengan cara membandingkan data hasil
pengamatan dengan data hasil wawancara dan membandingkan hasil
wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan. Dalam hal ini peneliti
berusaha mengecek kembali data yang diperoleh melalui wawancara.
Kedua, menggunakan bahan referensi yaitu referensi yang utama
42
dimaksudkan agar data yang diperoleh memiliki dukungan dari teori-teori
yang telah ada.
Ketiga, pengecekan anggota. Hal ini dimaksudkan selain untuk
mereview data juga untuk mengkonfirmasikan kembali informasi atau
interpretasi peneliti dengan subjek penelitian maupun informan. Dalam
pengecekan anggota ini semua subjek atau informan diusahakan dilibatkan
kembali, tetapi untuk informan hanya kepada mereka yang oleh peneliti
dianggap representatif (Moleong, 2009).
2. Ketegasan (confirmabilitas)
Kriteria ini digunakan untuk mencocokkan data observasi dan data
wawancara atau data pendukung lainnya. Dalam proses ini temuan-temuan
penelitian dicocokan kembali dengan data yang diperoleh lewat rekaman
atau wawancara. Apabila diketahui data-data tersebut cukup koheren, maka
temuan penelitian ini dipandang cukup tinggi tingkat konfirmabilitasnya.
Untuk melihat konfirmabilitas data, peneliti meminta bantuan kepada para
ahli terutama kepada para pembimbing. Pengecekan hasil dilakukan secara
berulang-ulang serta dicocokkan dengan teori yang digunakan dalam
43
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
A. Setting Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama kurang lebih empat minggu mulai dari
tanggal 10 Januari sampai dengan 11 Februari 2014. Pengambilan data berupa
wawancara dan observasi mulai dari awal hingga akhir dilakukan oleh peneliti di
rumah masing-masing subyek begitu pula dengan significant others. Rumah
masing-masing subyek berada dalam wilayah yang berbeda dengan peneliti,
sehingga kemungkinan besar semua data yang diberikan para subyek adalah dari
diri masing-masing.
Dalam proses pengambilan data berupa wawancara dan observasi, serta
penulisan laporan penelitian secara keseluruhan peneliti banyak dibantu oleh
dosen pembimbing juga teman sejawat. Pelaksanaan penelitian juga mengalami
beberapa kendala. Diantaranya yaitu subjek sering berada di luar rumah, saat
jadwal observasi dan wawancara sudah dijadwalkan. Berikut gambaran subjek
pertama dan kedua.
1. Subjek Pertama
Subjek pertama ini disebut AC, seorang kepala rumah tangga
dengan dua putra yang tinggal bersama dengan istri dan putra pertamanya,
sedangkan putra keduanya tinggal di Jakarta sedang menuntut ilmu sarjana
kedokteran di salah satu universitas swasta. AC dilihat dari fisik tidak