IBRAH
KISAH KONFLIK BANI ISRA
<
’I
<<
L DALAM AL-
QUR’A
<
N
(Telaah Penafsiran Ulama atas Ayat Konflik Bani Isra>’i>l dalam al-Qur’a>>nSurat al-Baqarah ayat 243-252) SKRIPSI
(Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Untuk Memeroleh Gelar Sarjana Dalam Program Studi Tafsir Hadis)
Oleh:
MUHAMMAD FATHUR ROZAQ
NIM: E73212111
PRODI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
ABSTRAK
Muhammad Fathur Rozaq, E73212111, Ibrah Kisah Konflik Bani Isra>’i>l dalam
Al-Qur’a>n (Telaah Penafsiran Ulama atas Ayat Konflik Bani Isra>’i>l dalam al-Qur’a>>n Surat al-Baqarah ayat 243-252)
Stigma dalam benak umat Islam kebanyakan membuat setiap disebut Bani Isra>’i>l maka
akan muncul kesan negatif. Ayat-ayat al-Qur’a>n kebanyakan memang menyebutkan
kefasikan mereka, tetapi perlu digarisbawahi bahwa al- Qur’a>n tidak memukul rata
setiap mereka adalah fasik. Ada di antara mereka orang-orang yang beriman dan memunyai integritas. Terbukti dengan kebangkitan negara Israil pada masa kini yang mampu menjadi salah satu negara maju meskipun baru merdeka pada tahun 1949. Di
antara kisah mereka juga terdapat ibrah positif dengan selaksa hikmah. Dari sini
penelitian tentang bani Israil perlu untuk dilakukan. Demi menyingkap gambaran mereka secara menyeluruh, tidak sebelah mata. Untuk menjawab hal ini dibutuhkan dua pertanyaan mendasar, pertama yakni bagaimana para ulama tafsir menyikapi kisah konflik bani Israil. Kisah konflik dipaparkan karena dalam setiap konflik selalu ada pro dan kontra menanggapi sebuah masalah dari situ duduk perkara akan terlihat secara komperhensif. Pendapat mufasir diperlukan karena mereka dinilai mampu menyingkap
rahasia tentang mereka yang ada dalam al-Qur’an. Kedua adalah tentang bagaimana
ibrah kisah konflik tersebut sehingga dapat dijadikan releksi lebih lanjut. Kisah ini memuat satu tema yang tersusun dari ayat yang berurutan. Sehingga belum terdapat
metode lain selain mengacu pada metode tahlili yang lazim digunakan ulama klasik.
Kaidah tentang qas}as} al-Qur’a>n adalah aspek yang urgen untuk memahami kisah ini
secara komperhensif. Tentu kesemua itu termasuk dalam metode content analysis dan
metode penelitian kualitatif. Kisah ini memuat pergolakan yang terjadi pada Bani
Isra>’i>l hingga mereka memahami apa jalan terbaik bagi mereka. Pemimpin dan segenap
anggotanya dalam kisah ini adalah gambaran ideal untuk dapat diterapkan pada masa kini.
DAFTAR ISI
COVER ... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
PERNYATAAN KEASLIAN ... iii
MOTTO ... iv
PERSEMBAHAN ... v
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI. ... xiv
PEDOMAN TRANSLITERASI ... xvi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 4
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Manfaat Penelitian ... 5
E. Kajian Pustaka ... 5
F. Kerangka Teori... 8
G. Metode Penelitian... 10
H. Sistematika Pembahasan ... 12
BAB II KISAH DALAM ILMU AL-QUR’AN DAN BANI ISRAIL MENURUT ULAMA TAFSIR ... 15
A. Sifat dan Sikap Bani Israil ... 15
B. Justifikasi Terhadap Bani Israil ... 22
BAB III PENAFSIRAN ULAMA ATAS AYAT KONFLIK BANI ISRAIL DALAM SURAT AL- BAQARAH AYAT 242-253 ... 26
B. Penafsiran Ulama atas Surat al-Baqarah Ayat 246 ... 29
C. Penafsiran Ulama atas Surat al-Baqarah Ayat 247-248 ... 34
D. Penafsiran Ulama atas Surat al-Baqarah Ayat 249 ... 44
E. Penafsiran Ulama atas Surat al-Baqarah Ayat 250-252 ... 48
BAB IV IBRAH KISAH KONFLIK BANI ISLRAIL DALAM SURAT AL-BAQARAH AYAT 243-252 ... 54
A. Analisis atas Penafsiran Ulama dalam Surat al-Baqarah Ayat 243-252 ... 54
B. Analisis Ibrah Pada Surat al-Baqarah Ayat 243-252 ... 59
BAB V PENUTUP ... 75
A. Kesimpulan ... 75
B. Saran ... 76
1
BAB I
PENDAHULUAN
IBRAH
KISAH KONFLIK BANI ISRA
<
’I
<<
L DALAM
AL-QUR’A
<
N
(Telaah Penafsiran Ulama atas Ayat Konflik Bani Isra>’i>l dalam al-Qur’a>>n
Surat al-Baqarah ayat 243-252)
A. Latar Belakang
Konflik terjadi disebabkan adanya perbedaan yang timbul dalam sebuah
hubungan.1 Selain itu konflik juga bisa timbul oleh beberapa sebab, di antaranya
adalah provokasi, dominasi, dan klaim kebenaran.2 Konflik merupakan sebuah
keniscayaan di balik adanya sebuah perbedaan. Secara berkala kajian tentang penanganan sebuah konflik terus berkembang. Kajian modern telah mempunyai gagasan untuk mengatur dan mengelola sebuah konflik yang disebut dengan
manajemen konflik.3
Mengelola konflik adalah keniscayaan demi membangun peradaban di masa yang akan datang. Konflik menjadi destruktif jika tidak dikelola dengan baik. Sebaliknya jika konflik dapat dikelola dengan benar maka dari konflik tersebut akan muncul pemahaman yang lebih dalam dari anggota masyarakat tentang peradabannya. Konsep ini menegasikan dampak konflik yang kerap
dijustifikasi sebagai hal negatif tanpa melihat sisi positifnya. Adapunperan agama
dalam hal ini adalah sebagai manajer dari sebuah konflik.4
Al-Qur’a>n mengisahkan Bani Isra>’i>l sebagai kaum yang paling sering
terlibat konflik. Dimulai dengan konflik mereka dengan Fir‘aun yang berakhir
2
dengan keberhasilan mereka lari dari negeri Mesir serta tenggelamnya pasukan yang mengejar mereka. Konflik internal mereka ketika berada dalam eksodus mencari negeri harapan. Hingga konflik mereka dengan raja Jalut yang menjadi
tonggak keberhasilan Bani Isra>’i>l dalam membangun kerajaan terbesar sepanjang
sejarah.
Bani Isra>’i>l mulai disebut dengan sebutan kaum Yahudi setelah mereka
memiliki syariat yang khusus dan kitab suci yang diturunkan kepada mereka. Definisi ini berlaku setelah Musa diangkat menjadi nabi seperti diterangkan dalam al-Qur’a>n.5 Kaum Yahudi dalam beberapa ayat digambarkan memunyai sifat yang
tidak terpuji. Bahkan sementara ulama tafsir memberi catatan bahwa redaksi
al-maghd}ub (yang dimurkai)dalam surat al-Fa>tih}ah adalah kaum Yahudi.6
Sementara beberapa ayat lain menegaskan bahwa Bani> Isra>’i>l disebut
menjadi kaum yang terpilih dengan keunggulan atas yang lain. Penegasan tentang hal ini tersebar di antaranya dalam surat al-Baqarah ayat 47 dan 122, al-Dukha>n ayat 32, serta al-Ja>thiah ayat 16. Mengenai pemaknaan ayat-ayat ini sementara
mufasir menyatakan bahwa keunggulan Bani Isra>’i>l hanya berlaku pada saat itu,
ketika mereka berjaya, bukan dewasa ini.7
Stigma yang ditujukan kepada Bani Isra>’i>l menjadikan mereka
seolah-olah menjadi kaum yang tidak patut untuk dicontoh. Segala tindak tanduk yang
5Mans}u>r ‘Abd al-H}aki>m, Bangsa Ke-13 Sang Penguasa Dunia: Mengungkap Misteri Bangsa yang Hilang, terj. Gina Najjah Hajidah (Bandung: Mizania, 2015), 33.
6 ‘Imad al-Di>n Abi al-Fida>’ Isma>i>l bin Kathi>r al-Dimashqi>, Tafsi>r al-Qur’a>n al
-‘Az}i>m, vol 1 (Cairo: Mu’assasat Qurt}ubat, 2000),225. Lihat juga Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r
al-Qur’a>n al-H}aki>m: Tafsi>r al-Mana>r, vol 1 (Cairo: Dar al-Mana>r, 1947), 97.
7 M. Quraish Shihab, Tafsi>r Al-Mishba>h: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’a>n, vol. 1
3
mereka lakukan bernilai negatif karena mereka adalah kaum yang dibenci Tuhan. Menurut penulis stigma seperti ini sudah selayaknya direduksi.
Ayat tentang perilaku buruk Bani Isra>’i>l memang sangat jelas, tetapi
justifikasi bahwa seluruh anggota dari kaum mereka berperilaku seperti itu
tidaklah tepat. Hal ini berdasar pada surat A<l ‘Imra>n ayat 113 yang secara tegas
menegasikan kalau mereka seluruhnya berperilaku buruk. Di antara mereka masih didapati orang yang tetap berada dalam jalan yang benar sesuai dengan perintah Allah SWT.
Seperti yang dikatakan al-Ra>zi> bahwa muslim secara bahasa adalah orang
yang hanya beribadah kepada Allah, agama dan akidahnya tidak menyimpang
atau bisa dikatakan tidak menyekutukan Allah dengan yang lain.8 Menurut penulis
apabila masih terdapat sebagian Bani Isra>’i>l yang notabene muslim, maka sudah
sepatutnya perbuatan positif yang mereka lakukan dapat diambil ibrahnya.
Hal ini didasari dengan bukti sejarah bahwa sejak zaman Nabi Musa as
Bani Isra>’i>l mengalami berbagai konflik baik eksternal maupun internal. Di mana
konflik-konflik tersebut mampu mereka atasi dengan baik. Hingga pada masa Nabi Sulaiman as terbentuk kerajaan yang makmur di Tanah Harapan. Di masa itu Sulaiman as bahkan dapat negara yang kuat dengan perbatasan-perbatasan yang
jauh lebih luas.9
Al-Qur’a>n dalam beberapa ayatnya menyebut konflik-konflik yang
dialami oleh Bani Isra>’i>l. Adapun kisah konflik Bani Isra’i>l yang menjadi titik
8 Muh}ammad al-Ra>zi> Fakhr al-Di>n, Mafa>tih} al-Ghaib, vol 7 (Beirut: Dar al-Fikr, 1981),
225.
4
kemajuan peradaban mereka adalah yang termaktub dalam surat al-Baqarah ayat 243-252. Di sana disebutkan konflik pada masa raja T}a>lut hingga akhirnya Bani
Isra>’i>l memenangkan peperangan berkat nabi Daud as. Kisah konflik yang
mereka lalui seharusnya bisa menjadi ibrah bagi umat muslim dewasa ini. Di sini
penulis hanya menyuguhkan penjelasan ulama tafsir mengenai ayat-ayat tersebut, tentunya beserta analisa yang memadai. Hal ini karena penulis merasa belum
mempunyai otoritas untuk menafsirkan al-Qur’a>n secara mandiri.
Secara lebih sistematis penelitian ibrah kisah konflik bani Israil ini
dilatarbelakangi oleh beberapa alasan. Pertama, penulis merasa tertarik untuk mengkaji hal ihwal bani Israil yang oleh sementara pengarang muslim hanya disorot dari segi negatif mereka. Sementara bani Israil adalah kaum yang terdapat banyak nabi dari generasi ke generasi. Mengingat dalam Islam terdapat prinsip
tawazun (berimbang) yang mengharuskan setiap muslim untuk tidak melihat sebuah permasalahan secara berimbang dan tidak hanya dari satu sisi.
Kedua, kisah yang dikaji ini dianggap mewakili awal berdirinya
peradaban yang madani dalam sejarah bani Israil. Sehingga ibrah dari kisah ini
dapat berimplikasi luas terhadap proses pembentukan peradaban yang madani. Peradaban madani adalah impian setiap bangsa lebih-lebih negara berkembang
seperti Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Penafsiran Ulama atas ayat-ayat yang berkaitan dengan konflik
5
2. Bagaimana ibrah kisah koflik Bani Isra>’i>l dalam al-Qur’a>n surat
al-Baqarah ayat 246-252?
C. Tujuan Penelitian
1. Menjelaskan pemikiran Mufasir atas ayat-ayat yang berkaitan dengan
konflik yang dialami Bani Isra>’i>l.
2. Menjelaskan ibrah dari kisah konflik Bani Isra>’i>l dalam al-Qur’a>n.
D. Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis menambah khazanah pengetahuan dan refrensi tentang
sejarah konflik bani Israil yang berbasis al-Qur’a>n.
2. Secara praksis dapat menjadi acuan bagi masyarakat untuk menangani
sebuah konflik, sebab masyarakat muslim meyakini bahwa al-Qur’an
merupakan sumber nilai tertinggi dalam kehidupan manusia. Menjadi salah satu pertimbangan dalam merumuskan kebijakan berkenaan dengan masalah penanganan konflik. Memberikan pengetahuan dan saran bagi penentu kebijakan publik, dalam hal ini pemerintah, tentang pentingnya keterlibatan agama dalam menangani sebuah konflik.
E. Kajian Pustaka
Terdapat beberapa sarjana atau penulis yang meneliti tentang Bani
Isra’i>l. Kebanyakan mereka hanya melakukan riset tentang Bani Israil secara
umum, meskipun juga ditemukan beberapa penelitian yang mengorelasikan Bani
6
menjumpai karya yang membahas secara spesifik konflik konflik Bani Isra’i>l
dalam al-Qur’a>n.
Skripsi karya Durarin Nuha Achfama berjudul “Wa’d Allah ‘ala Bani>
Isra>’i>l fi> Wirathat al-Ardh (al-Dira>sat al-Tahli>li>at min Tafsi>r Su>rat al-A‘ra>f a>yat
127”. Skripsi ini memunyai fokus bahasan mengenai janji Allah atas Bani Isra>’i>l tentang pemberian tanah harapan, atau tanah yang dijanjikan. Tujuannya adalah mengetahui kebenaran sesungguhnya dari riwayat tentang tanah yang diwariskan tersebut. Klaim kebenaran kaum Yahudi atas kepemilikan tanah itu juga diukur
dalam skripsi ini dengan menggunakan tafsir al-Qur’a>n. Achfama menyatakan
bahwa tanah warisan tersebut memang hak Bani Isra>’i>l dengan catatn khusus
mereka yang beriman kepada Allah. Adapun Kaum Yahudi dan Nasrani masa kini, seperti yang dikatakan Achfama, adalah kaum kafir yang tidak berhak untuk
menduduki tanah itu.10
Skripsi Achfama di atas menyinggung Bani Isra>’i>l perihal sengketa tanah
yang terjadi di Palestina. Konflik Bani Isra>’i>l jelas tidak dibahas sama sekali
dalam penelitian ini. Sementara Bani Isra>’i>l dalam sejarah peradabannya tidak
pernah lepas dari konflik.
Penelitian Louay Fatoohi dan Shetha al-Dargazelli yang telah dibukukan
berjudul History Testifies to the Infallibility of the Qur’an diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia dengan judul Sejarah Bangsa Israel dalam Bibel dan al-Quran.
Penelitian ini mengemukakan sejarah eksodus Bani Isra>’i>l dalam Bibel dan
10Durarin Nuha Achfama, “Wa’d Allah ‘ala Bani> Isra>’i>l fi> Wirathat al-Ardh: Dira>sat
7
Qur’a>n. Paparan tentang Bibel dan al-Qur’an di sini tidak jauh dari sekedar
perbandingan mana yang lebih dekat, Bibel atau al-Qur’a>n, dengan temuan ahli
arkeologi. Seperti kejadian tentang tenggelamnya Firaun dan bala tentaranya yang di asumsikan oleh peneliti bahwa dalam Bibel secara implisit jasad Firaun tidak
terlihat oleh Bani Isra>’i>l. Implikasi ini tergambar jelas pada reaksi sarjana Bibel
ketika mumi Merneptah tidak ditemukan di Lembah Raja-Raja atau di tempat penyimpanan mumi yang ditemukan pada 1881. Mereka mengklaim bahwa pastilah Meneptah yang yang ditenggelamkan di dasar laut, sehingga badannya telah lenyap. Argumentasi mereka terbantahkan ketika jasad Ramses II ditemukan
dalam kondisi utuh seperti yang tertera dalam al-Qur’a>n.11
Penelitian ini begitu kaya akan kajian tafsir karena perbandingan Bibel
dengan al-Qur’a>n di dalamnya kerap diselingi dengan pendapat Ulama Tafsir.
Tentu penelitian ini menambah khazanah pengetahuan tentang Bani Isra>’i>l,
terlebih tentang Bibel dan tafsir al-Qur’an. Pembahasan tentang konflik Bani
Isra>’il tidak tercakup secara maksimal karena pembahasan hanya berputar pada
bukti arkeologis yang ada. Aspek yang sangat disayangkan dari penelitian ini adalah tidak adanya subtansi dalam bahsannya yang dapat dijadikan sebagai sebuah tindakan.
Buku karya Rizem Aizid berjudul Al-Qur’a>n Mengungkap Tentang
Yahudi.12 Memaparkan ayat-ayat al-Qur’an yang mengindikasikan perilaku tercela kaum Yahudi. Ayat-ayat tersebut dipaparkan apa adanya beserta terjemah bahasa
11 Louay Fatoohi dan Shetha al-Dargazelli, Sejarah Bangsa Israel dalam Bibel dan al-Qur’an, terj.
Munir A. Mu’im (Bandung: Mizania, 2008).203.
8
Indonesia selanjutnya diberi sedikit penjelasan. Buku ini sedikit banyak menumbuhkan sentimen negatif umat terhadap kaum Yahudi. Beberapa ayat
al-Qur’a>n memang menyebut sifat-sifat Kaum Yahudi yang tidak terpuji, tetapi
harus diketahui pula bahwa terdapat ayat yang secara eksplisit menyatakan
keunggulan mereka. Oleh karena itu mengambil ibrah dari kisah Yahudi tidak
boleh dipisah satu sam lain, hanya menyoroti sisi tidak terpuji, sehingga gambaran tentang mereka menjadi utuh.
F. Kerangka Teori
1. Teori tafsir kontemporer
Salah satu teori tafsir menyatakan bahwa taghayyu>r al-tafsir bi
taghayyu>r al-azma>n wa al-amka>n, bahwa perubahan penafsiran di pengaruhi oleh perubahan zaman dan tempat. Berangkat dari teori ini, maka tafsir sebuah produk dialektika antara teks al-Quran dan konteks (realitas) sesungguhnya harus selalu mengalami perkembangan, sesuai dengan gerak perkembangan waktu dan tempat, bahkan juga perubahan lingkungan. Jika dulu tafsir sering
hanya berkutat bagaimana memaknai ayat-ayat secara deduktif –normatif,
bahwa terkesan hanya mengulang-ulang (Qira’ah Mutakarrirah) atas
pemaknaan masa lalu, maka sudah saatnya produk tafsir harus mampu membaca secara produktif dan kreatif, agar bisa menjadi solusi atas problem
sosial keagamaan kontemporer. 13
9
Perlu ditegaskan bahwa penelitian ini tidak mencoba untuk
menafsirkan al-Qur’a>n secara mandiri. Teori tafsir kontemporer di atas
dipaparkan sebagai acuan bahwa alat untuk menganalisa masalah dalam kajian ini adalah produk tafsir kontemporer.
2. Teori qas}as} al-Qur’a>n
Kisah adalah salah satu cara al-Qur’a>n mengantar manusia menuju
arah yang dikehendaki Tuhan. Kata kisah berasal dari kata arab qis}s}at yang
seakar dengan kata qas}s}a yang berarti menelusuri jejak. Sementara ulama
menyatakan bahwa kisah adalah penelurusan peristiwa dengan jalan menceritakan tahap demi tahap sesuai dengan kronologinya. Penyampaian cerita tersebut dapat diuraikan dari awal hingga akhir atau dalam bentuk
bagian episode-episode tertentu. Kisah-kisah dalam al-Qur’a>n dipapakarkan
dengan tujuan agar manusia dapat mengambil pelajaran dari pengalaman
tokoh atau masyarakat yang dikisahkan.14
Ditinjau dari segi waktu terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam al-Qur’a>n, qas}as} al-Qur’a>n dapat dibagi menjadi tiga macam. Pertama, al-qas}as} al-ghuyu>b al-mad}iyah kisah yang menceritakan tentang berita gaib yang sudah tidak mungkin lagi ditangkap oleh panca indera dan terjadi di masa
lampau. Kedua, al-qas}as} al-ghuyu>b al-h}ad}irah kisah yang menerangkan
tentang berita gaib yang konteksnya masih berlaku hingga kini. Ketiga,
10
qas}as} al-ghuyu>b al-mustaqbilah kisah-kisah yang menceritakan peristiwa
yang belum terjadi ketika ayat al-Qur’a>n tersebut diturunkan.15
Ditinjau dari segi materi yang disampaikan kisah dalam al-Qur’a>n
dapat dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, kisah para nabi, mu’jizat, fase-fase
dakwah, serta penentang dan pengikut mereka. Kedua, kisah orang-orang yang belum tentu nabi atau kelompok tertentu di mana kisah mereka dinilai juga
menginspirasi. Ketiga, kisah peristiwa-peristiwa di zaman Rasulullah SAW.16
Ketika kisah tersebut berkaitan dengan tokoh tertentu al-Qur’a>n
menampilkan sisinya yang perlu diteladani. Di sisi lain jika yang ditampilkan adalah kelemahannya maka yang ditonjolkan pada akhir kisah adalah kesadaran yang bersangkutan atau dampak buruk yang dialaminya. Adapun jika yang dikisahkan adalah keadaan masyarakat maka yang disorot adalah sebab jatuh bangunnya masyarakat sehingga pada akhirnya dapat disimpulkan
apa yang dinamakan al-Qur’a>n sebagai sunnatullah, hukum-hukum
kemasyarakatan yang berlaku bagi seluruh masyarakat kapan dan di mana pun. Hukum-hukum yang berkolerasi dengan hukum alam, berkaitan juga dengan hukum-hukum yang berlaku untuk bangkit atau runtuhnya masyarakat. Al-Qur’a>n adalah kitab pertama yang memerkenalkan hukum-hukum
tersebut.17
15Abdul Djalal, Ulumul Qur’an., 296-300.
16 Ibid., 300.
11
G. Metode Penelitian
Sebuah penelitian ilmiah memerlukan metode tertentu untuk menjelaskan objek penelitian. Secara terperinci metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Model dan jenis penelitian
Penelitian ini menggunakan model penelitian kualitatif yang
dimaksudkan untuk mendapatkan data tentang ibrah konflik Bani Israil dalam
al-Qur’a>n melalui riset kepustakaan dan disajikan secara deskriptif-analitis.
Penelitian ini mencoba untuk mendeskripsikan pandangan al-Qur’an dalam
memandang konflik melalui karya ulama tafsir.
2. Sumber Data Penelitian
Data primer dalam penelitian ini adalah produk tafsir ulama kontemporer serta karya tafsir ulama klasik yang mengupas permasalah ini secara menyeluruh. Beberapa karya tafsir yang membahas ayat ini secara detail adalah.
1. Luba>b al-Ta’wi>l fi> Ma‘a>ni> al-Tanzi>l karya al-Khazin, karya tafsir ini
menampilkan kisah tentang bani Israil secara kompleks dalam uraiannya. Di samping itu beliau juga menjelaskan kelemahan atau kebohongan
dalam beberapa tempat di kisah tersebut jika ada.18
12
2. Mafa>ti>h} al-Ghaib karya al-Razi, karya tafsir ini di samping memiliki
kecondongan corak falsafi di dalamnya juga didapati paparan yang detail
terkait kisah bani Israil.19
3. Tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Rida, karya ini termasuk dalam kategori tafsir kontemporer sehingga paparannya lebih
ditekankan pada esensi yang dimaksud al-Qur’an.
Selain data primer penelitian ini juga ditunjang dengan data
sekunder. Seperti kitab Nazm al-Dura>r karya al-Biqa‘i. Adapun }kitab-kitab
tafsir lain yang relevan dengan objek yang dikaji yang menjadi sumber data
sekunder. Seperti Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab, S{afwat
al-Tafa>si>r karya Ali al-Shabuni, Tafsi}r al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r karya
Muh}ammad T}ahi>r Ibn ‘Ashu>r, dan al-Mi>za>n fi Tafsi>r al-Qur’a>n karya
Muh}ammad H}usain Thaba’thaba’i>.
3. Metode Analisis Data
Data yang terkumpul selanjutnya akan diklasifikasi dan dianalisis sesuai dengan sub bahasan yang ditentukan. Setelah itu akan dilakukan telaah
mendalam atas karya-karya yang memuat objek kajian menggunakan content
analysis. Content analysis selanjutnya menjadi alat untuk menganalisa ibrah
konflik yang tersirat dalam al-Qur’a>n.
19
13
Sedikit banyak dalam content analysis di sini akan mengacu pada
pola penafsiran dengan metode tahlili. Metode tahlili berarti menjelaskan
ayat-ayat al-Qur’an dengan meneliti setiap aspeknya dan menyingkap seluruh
artinya, maksud setiap ungkapan, munasabah, asbab al-nuzu>l, hingga
riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi SAW, sahabat, dan tabi’in. 20 Metode ini
menganalisis setiap ayat sesuai dengan urutan mushaf. Adapun dalam analisis tersebut tentu kaidah tafsir akan menjadi perhatian penting. Kaidah tafsir di sini adalah ketetapan-ketetapan yang membantu seorang penafsir untuk
menarik makna al-Qur’an, dan menjelaskan sesuatu yang dinilai sulit dari
kandungan ayat-ayatnya. Hal-hal yang berkaitan dengan kaidah ini secara
keseluruhan telah terangkum dalam disiplin ilmu al-Qur’an.
H. Sitematika Pembahasan
Berdasarkan uraian dan tujuan penelitian ini, maka sistematika pembahasan disusun sebagai berikut. Bab I adalah pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah untuk menjelaskan secara akademik mengapa penelitian ini penting untuk dilakukan. Selanjutnya dirumuskan masalah akademik yang hendak dipecahkan dalam penelitian ini sehingga masalah yang akan dijawab menjadi jelas. Tujuan penelitian dimaksudkan untuk menjelaskan urgensi dari penelitian ini bagi perkembangan keilmuan. Adapun kerangka teori adalah alat yang penulis pakai sebagai pijakan dalam melakukan analisa data. Kajian pustaka untuk memberikan gambaran posisi penulis dan apa hal baru dalam penelitian ini. Sementara metode dimaksudkan untuk menjelaskan bagaimana proses, prosedur,
14
serta langkah-langkah yang akan dilakukan penulis dalam penelitian ini sehingga sampai pada jawaban atas masalah akademik yang menjadi kegelisahan penulis.
Bab II merupakan uraian tentang qas}as} al-Qur’a>n yang berlaku dalam
studi ilmu al-Qur’a>n. Disamping itu juga diuraikan gambaran umum tentang bani
Israil menurut para ulama. Dua hal ini menjadi landasan teori bagaimana menyikapi kisah bani Israil secara berimbang.
Bab III merupakan uraian tentang tafsiran para ulama atas ayat 243 samapi dengan ayat 252 surat al-Baqarah. Dari penafsiran para ulama ini akan
tampak subtansi-subtansi dari al-Qur’a>n yang dapat dijadikan ibrah dewasa ini.
Pada bagian ini penafsiran ulama akan dianalisa dengan menggunakan teori yang
terdapat dalam disiplin ilmu al-Qur’a>n.
Bab IV merupakan penjelasan tentang analisa atas tafsir para ulama. Pembahasan pada bagian ini berfokus pada penafsiran ulama mengenai kisah
tersebut yang telah dibahas pada bab sebelumnya ditinjau dari sisi qas}as}
al-Qur’a>n. Bab ini adalah penjelas akan ibrah yang dapat diimplementasikan pada
masa kini.
Bab V adalah penutup berisi kesimpulan akan jawaban-jawaban dari problem akademik yang menjadi kegelisahan penulis. Selain itu akan ditambahkan saran-saran konstruktif untuk penelitian lebih lanjut.
15
BAB II
KISAH DALAM ILMU AL-
QUR’AN DAN BANI ISRA
<
’I
<
L
MENURUT ULAMA TAFSIR
A. Sifat dan Sikap Bani Isra>’i>l
Pada bab sebelumnya telah disebutkan bahwa dalam al-Qur’an Bani Isra>’i>l
juga disebut Yahudi. Para sejarawan berbeda pendapat mengenai batasan keluarga
dan arti kata Yahudi. Beberapa ayat al-Qur’a>n menyebut bahwa Yahudi dan Bani
Isra>’i>l merupakan kaum Nabi Musa as. Sementara kata Bani Isra>’i>l sendiri jika
merujuk kata Isra>’i>l dalam al-Qur’an berjumlah 43 kata yang tersebar dalam 40 ayat.
Adapun kata Yahudi dalam bentuk ma‘rifat diulang sebanyak delapan kali dan dalam
bentuk nakirah sebanyak satu kali.1
Sering kali Ayat al-Qur’a>n menyoroti Bani Isra>’i>l dari segi sifat dan sikap
mereka. Berikut ini adalah kalsifikasi sifat dan sikap mereka yang tercantum dalam al-Qur’a>n serta tafsiran ulama atas ayat tersebut.
1. Sikap Bani Isra>’i>l tehadap para nabi
Al-Qur’a>n menyebut bahwa Bani Isra>’i>l adalah kaum dengan begitu
banyak nabi yang silih berganti setiap masanya. Mulai dari nabi Ya‘kub as hingga
nabi Isa as telah banyak nabi yang berdakwah di tengah mereka. Di dalam
1 Muhammad Fuad Abdul Ba>qi, al-Mu‘jam al-Mufahras li al-Fa>z} al-Qur’a>n (Cairo: Dar Kutub
16
Qur’a>n sikap mereka terhadap para nabi yang menyerukan dakwah tercatat
dengan jelas dalam surat al-Baqarah ayat 55-64.
َ
ْ ِإ
َ
َْمتُْق
َاي
َ
سوم
َ
نَل
َ
نِمْ ن
َ
كَل
َ
تح
َ
رن
َ
هَلا
َ
ًرْ ج
َ
مُ ْتَ خَأَف
َ
ُةَِعاصلا
َ
َْمتنَأ
َ
َ رُظنت
َ
-٢٢
-Dan (ingatlah) ketika kamu berkata, “Wahai Musa! Kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan jelas,” maka halilintar
menyambarmu, sedang kamu menyaksikan.2
Ayat di atas adalah gambaran umum sikap Bani Israil terhadap nabi yang diutus kepada mereka. Seperti yang dinyatakan oleh Hamka bahwa ayat di atas tidak disebabkan lantaran mereka tidak percaya bahwa Allah itu ada. Mereka memercayai itu, akan tetapi kepada nabi mereka pada waktu itu, Musa as, mereka tidak mau beriman jika tidak dipertemukan dengan Allah seperti halnya Musa. Mengapa hanya Musa yang boleh bertemu dan beraudiensi dengan Allah secara langsung, sementara mereka menggap bahwa seharusnya nakmat Allah itu harusnya merata. Mereka dan juga Musa as adalah keturunan Israil, dari Ishaq dan dari Ibrahim. Mereka mengingini dapat melihat Allah secara langsung karena mereka merasa berhak, selaku keturunan Israil, Ishaq, dan Ibrahim seperti
layaknya Musa as.3
2 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya..., 8.
17
Sikap iri terhadap para nabi ini pula yang mendorong mereka melakukan pembunuhan dan pendustaan terhadap orang-orang yang dipilih Allah untuk berdakwah di tengah mereka. Mereka merasa layak dan pantas melakukan hal tersebut tanpa takut akan hukuman neraka dari Allah, dengan anggapan bahwa mereka adalah orang terpilih dan hanya sebentar saja dimasukkan neraka.
2. Sikap Bani Isra>’i>l kepada Allah.
ِتَلاَق
َ
دو يْلا
َ
دي
َ
ِهّلا
َ
ٌةَلوُْغم
َ
ْتَُغ
َ
ْمِ يِدْيَأ
َ
ْاونِعُل
َ
ا ِب
َ
ْاوُلاَق
َ
ْلب
َ
َادي
َ
َِ اتَطوسْم
َ
قِفني
َ
َفْيَك
َ
ُئاشي
َ
َ ديِيَل
َ
ًرِثَك
َ
م ْنِم
َ
ام
َ
َلِنُأ
َ
َكْيَلِإ
َ
نِم
َ
َكِبر
َ
ًنايْغُط
َ
ًرْفُك
َ
انْيَْلَأ
َ
م نْيب
َ
َ ادعْلا
َ
ئاضْغ ْلا
ََلِإ
َ
ِْوي
َ
ِةمايِْلا
َ
ا َُك
َ
َْا دَقْ َأ
َ
ًران
َ
ِ ْرحِْل
َ
ْطَأ
ا َأَف
َ
هّلا
َ
َ ْوعْسي
َ
يِف
َ
َِ ْرَ ا
َ
ًداسَف
َ
هّلا
َ
ََا
َ
َبِحي
َ
نيِدإسْف ْلا
َ
-٢ض
-Dan orang-orang Yahudi berkata, “Tangan Allah terbelenggu.” Sebenarnya
tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu, padahal kedua tangan Allah terbuka; Dia Memberi rezeki sebagaimana Dia Kehendaki. Dan (al-Quran) yang diturunkan kepadamu dari Tuhan-mu itu pasti akan menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan mereka. Dan Kami Timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari Kiamat. Setiap mereka menyalakan api peperangan, Allah Memadamkannya. Dan mereka berusaha (menimbulkan) kerusakan di bumi. Dan Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan.4
Quraish Shihab menyebut bahwa ayat di atas menunjukkan buruknya keyakinan kaum Yahudi, sebagian Bani Israil, terhadap Allah SWT. Sehingga
18
mereka sampai pada pernyataan bahwa tangan Allah terbelenggu, kikir tidak lagi
meluaskan rizki mereka.5
3. Sikap Bani Isra>’i>l terhadap Malaikat
ْلُق
َ
نم
َ
َ اَك
َ
ًّ دع
َ
َليِرِْجِل
َ
هنِإَف
َ
هَل ن
َ
َع
َ
كَِْق
َ
ِ ْ ِإِب
َ
ِهّلا
َ
ًقِدصم
َ
ا ِل
َ
َنْيب
َ
َِهْيدي
َ
د
َ
رْشب
َ
يِنِمْ ِْل
َ
-٢٢
-َ
نم
َ
َ اَك
َ
ًّ دع
َ
ِهِّل
َ
ِهِتَ ِئ م
َ
ِهِسر
َ
ََليِرِْج
َ
َلاَ يِم
َ
َ ِإَف
َ
هّلا
َ
ٌدع
َ
نيِرِفاَ ِْل
َ
-٢٢
-Katakanlah (Muhammad), “Barangsiapa menjadi musuh Jibril, maka
(ketahuilah) bahwa dialah yang telah menurunkan (al-Quran) ke dalam hatimu dengan izin Allah, membenarkan apa (kitab-kitab) yang terdahulu,
dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang beriman.”
Barangsiapa menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya,
Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah musuh bagi orang-orang kafir.6
Al-Thabari> menyatakan bahwa para mufasir telah sepakat jika ayat ini
diturunkan berkenaan dengan sikap Bani Israil. Ketika mereka menyangka bahwa Jibril adalah musuh sementara Mikail adalah teman mereka. Akan tetapi para
mufasir berbeda pendapat mengenai sebab turu itu sendiri.7
4. Sikap Bani Isra>’i>l terhadap kitab suci
ْمَلَأ
َ
رت
ََلِإ
َ
نيِ َلا
َ
ْاوتْ ُأ
َ
ً يِصن
َ
نِم
َ
َِ اتِ ْلا
َ
َ ْوعْدي
ََلِإ
َ
ِ اتِك
َ
ِهّلا
َ
مُ ْحيِل
َ
َْم نْيب
َ
َمُث
َ
َلوتي
َ
ٌقيِرَف
َ
ْم ْنِم
َ
مَ
َ وضِرْعم
َ
-٣ص
-َ
كِلَ
َ
ْم نَأِب
َ
ْاوُلاَق
َ
نَل
َ
انس ت
َ
رانلا
َ
َاِإ
َ
ًمايَأ
َ
ٍ اد دْعم
َ
َْم رَغ
َ
يِف
َ
مِ ِنيِد
َ
ام
َ
َْاوناَك
َ
َ رتْفي
َ
-٣ض
5 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’a>n vol 3 (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), 177.
6 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya..., 15.
7Abu Ja‘far Muh}ammad bin Jari>r al-Thabari>, Ja>mi‘ al-Baya>n ‘an Ta’wi>l A>y al-Qur’a>n vol 2 (Cairo:
19
Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang telah diberi bagian Kitab (Taurat)? Mereka diajak (berpegang) pada Kitab Allah untuk memutuskan (perkara) di antara mereka. Kemudian sebagian dari mereka berpaling seraya
menolak (kebenaran). Hal itu adalah karena mereka berkata, “Api neraka
tidak akan menyentuh kami kecuali beberapa hari saja.“ Mereka teperdaya
dalam agama mereka oleh apa yang mereka ada-adakan.8
Al-Mawardi al-Nukat wa al-‘Uyun mengutip riwayat dari Ibnu Abbas
yang menyatakan bahwa yang dimaksud dalam ayat ini adalah perintah kepada kaum Yahudi untuk menjalankan hukum dari Taurat. Lebih lanjut Ibn Abbas
menyatakan bahwa ayat ini berhubungan dengan al-Nu‘ma>n bin ‘Aufa dan Bah}ri
bin ‘Amr bin S}urayya, yang termasuk di antara pemimpin kelompok Yahudi Bani
Qunaiqa‘, ketika keduanya berpaling dari hukum zina karena dikabarkan kepada
mereka bahwa pelakunya harus dihukum rajam. Berpaling dari sesuatu berarti
menolak sesuatu tersebut, makna dari redaksi yatawalla berarti berpaling dari
seruan dan menolak sesuatu yang diserukan kepadanya.9
5. Sikap Bani Isra>’i>l terhadap orang yang beriman
َ دِجتَل
َ
َدشَأ
َ
ِ انلا
َ
ً ادع
َ
َنيِ َِل
َ
ْاونمآ
َ
َدو يْلا
َ
نيِ َلا
َ
َْاوُكرْشَأ
َ
َ دِجتَل
َ
َْم برْقَأ
َ
ًدوم
َ
َنيِ َِل
َ
ْاونمآ
َ
َنيِ َلا
َ
َْاوُلاَق
َ
انِإ
َ
راصن
َ
كِلَ
َ
َ َأِب
َ
َْم ْنِم
َ
َيإسيِسِق
َ
ًنا ْ ر
َ
َْم نَأ
َ
َا
َ
َ رِْ تْسي
َ
-٢٣
8 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya..., 53.
9 Abi al-Hasan ‘Ali bin Muh}ammad bin Hubaib al-Mawardi> al-Bas}ri>, al-Nukat wa al-‘Uyu>n Tafsi>r al
20
Pasti akan kamu dapati orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman, ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan pasti akan kamu dapati orang yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang
berkata, “Sesungguhnya kami adalah orang Nasrani.” Yang demikian itu karena di antara mereka terdapat para pendeta dan para rahib, (juga) karena
mereka tidak menyombongkan diri.10
Al-Alusi> menyatakan bahwa ayat ini merupakan justifikasi dari
ayat-ayat sebelumnya tentang kejelekan Yahudi. Penjelasan dari maksud ayat-ayat ini yaitu dua golongan yang sangat memusuhi orang-orang yang beriman. Secara tersurat maksud Yahudi di sini adalah secara umum ketika zaman Nabi SAW, baik itu Yahudi Madinah atau selainnya. Hal ini dikuatkan dengan riwayat yang
dikeluarkan Ibn Mardawaih dari Abi Hurairah, ia berkata: “ Rasulullah SAW
berkata: “Tidaklah orang Yahudi bertemu dengan seorang muslim kecuali ia
sangat ingin untuk membunuhnya.” Bahkan juga dikatakan bahwa sebagaian
madzhab Yahudi mewajibkan untuk berlaku buruk terhadap siapapun yang
menyelisihi mereka dalam perihal agama dengan cara apapun.11
6. Ketidakjujuran Bani Isra>’i>l
اي
َ
ا يَأ
َ
ُلوسرلا
َ
َا
َ
َْحي
كن
َ
نيِ َلا
َ
ََ وعِراسي
َ
يِف
َ
ِرْفُ ْلا
َ
نِم
َ
َنيِ َلا
َ
ْاوُلاَق
َ
انمآ
َ
َْمِ ِ اوْفَأِب
َ
ْمَل
َ
نِمْ ت
َ
ْم بوُُق
َ
نِم
َ
نيِ َلا
َ
َْا داِ
َ
ََ وعا س
َ
ِ ِ َ ِْل
َ
ََ وعا س
َ
َ ْوَِل
َ
نيِرخآ
َ
َْمَل
َ
َكوتْأي
َ
َ وُفِرحي
َ
َمَِ ْلا
َ
نِم
َ
َِدْعب
َ
ِهِعِضاوم
َ
َ وُلوُي
َ
ْ ِإ
َ
َْمتيِت ُأ
َ
اَ ـ
َ
َ ُ َف
َ
10 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya..., 121.
11 Syiha>b al-Din al-Sayyid Mahmu>d al-Alusi> al-Baghda>di, Ru>h} al-Ma‘a>ni> fi Tafsi>r al-Qura>n
21
ِإ
َ
ْمَل
َ
ْوتْ ت
َ
َْا رَ ْحاَف
َ
نم
َ
ِدِري
َ
هّلا
َ
هتنْتِف
َ
نََف
َ
كِْ ت
َهَل
َ
نِم
َ
ِهّلا
َ
ً ْيش
َ
َكِـَلْ ُأ
َ
َنيِ َلا
َ
َْمَل
َ
ِدِري
َ
هّلا
ََأ
َ
رِ َطي
َ
َْم بوُُق
َ
َْم َل
َ
يِف
َ
ايْندلا
َ
ٌَ ْ ِخ
َ
َْم َل
َ
يِف
َ
ِرِخآا
َ
ٌَ اَ ع
َ
ٌَميِظع
َ
-ض٢
-Wahai Rasul (Muhammad)! Janganlah engkau disedihkan karena mereka berlomba-lomba dalam kekafirannya. Yaitu orang-orang (munafik) yang
mengatakan dengan mulut mereka, “Kami telah beriman,” padahal hati
mereka belum beriman; dan juga orang-orang Yahudi yang sangat suka mendengar (berita-berita) bohong dan sangat suka mendengar (perkataan-perkataan) orang lain yang belum pernah datang kepadamu. Mereka mengubah kata-kata (Taurat) dari makna yang sebenarnya. Mereka
mengatakan, “Jika ini yang diberikan kepadamu (yang sudah diubah)
terimalah, dan jika kamu diberi yang bukan ini, maka hati-hatilah.”
Barangsiapa Dikehendaki Allah untuk dibiarkan sesat, sedikit pun engkau tidak akan mampu menolak sesuatu pun dari Allah (untuk menolongnya). Mereka itu adalah orang-orang yang sudah tidak Dikehendaki Allah untuk menyucikan hati mereka. Di dunia mereka mendapat kehinaan dan di akhirat
akan mendapat azab yang besar.12
Menafsirkan ayat di atas al-Baru>sawi> membagi orang-orang yang
bersegera dalam kekafiran menjadi dua bagian yaitu orang munafik dan kaum Yahudi. Mereka mendengarkan kabar dan hadis Nabi SAW untuk mendustakan beliau dengan menambahkan, mengurangi, dan mengubah berita tersebut. Ketika mereka mendengar sesuatu dari Rasulullah SAW kemudian berpisah dengan beliau, mereka akan berkata saya mendengar darinya hal ini dan ini padahal
mereka tidak mendengar hal yang mereka sebut dari beliau.13
12 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya..., 114.
22
B. Justifikasi terhadap Bani> Israil
Gambaran umum terhadap sikap dan sifat Bani Israil di atas mengarah pada
penilaian negatif terhadap mereka. Al-Qur’a>n memang banyak menyinggung perihal
sikap dan sifat buruk mereka. Justifikasi terhadap mereka selayaknya harus melalui
penilaian yang komperhensif dengan menghimpun ayat-ayat al-Qur’a>n yang
berkaitan dengan pembahasan ini. Meskipun tidak banyak ayat yang menerangkan tentang sisi positif mereka. Di dalam sejarah didapati Ada di antara mereka orang-orang yang beriman dan tetap berbuat baik dalam kesehariannya. Hal ini termaktub
dalam al-Qur’a>n surat Ali ‘Imra>n ayat 113.
ْاوسْيَل
َ
ئاوس
َ
ْنِم
َ
ِلْ َأ
َ
ِ اتِ ْلا
َ
ٌةمُأ
َ
ٌة ِئ َق
َ
َ وُْتي
َ
ِ ايآ
َ
ِهّلا
َ
ئانآ
َ
ِلْيَلا
َ
ْمَ
ََ دجْسي
َ
-٢٢ص
-َ
َ ونِمْ ي
َ
َِهّلاِب
َ
ِْويْلا
َ
ِرِخآا
َ
َ رمْأي
َ
ِف رْع ْلاِب
َ
َ ْو ْني
َ
ِنع
َ
َِرَ ن ْلا
َ
َ وعِراسي
َ
يِف
َ
َِ ارْي ْلا
َ
َكِـَلْ ُأ
َ
نِم
َ
يِحِلاصلا
َ
-٢٢ض
-َ
Mereka itu tidak (seluruhnya) sama. Di antara ahli kitab ada golongan yang jujur, mereka membaca ayat-ayat Allah pada malam hari, dan mereka (juga) bersujud (shalat). Mereka beriman kepada Allah dan hari akhir, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar dan bersegera (mengerjakan) berbagai kebajikan. Mereka termasuk
orang-orang saleh.14
Rasyi>d Ridha> menyatakan bahwa redaksi laisu> sawa>’a merupakan kalimat
yang telah sempurna, bermakna, tidak semua ahli kitab memunyai sifat dan perilaku yang buruk yang sebelumnya telah disebutkan. Akan tetapi di antara mereka terdapat
23
orang-orang yang beriman, meskipun jumlahnya sedikit. Di antara mereka juga
terdapat orang yang fasik, dan menjadi mayoritas.15
Sementara al-Razi menambahkan pendapat berkenaan dengan redaksi laisu>
sawa>’a yakni bukanlah kalimat yang sempurna sehingga harus dilanjutkan dengan
redaksi selanjutnya. Sehingga kalimat tersebut dapat dimaknai Mereka itu tidak (seluruhnya) sama di antara ahli kitab ada golongan yang lurus dan golongan yang
menyimpang. Adapun makna redaksi ahli kitab di sini terdapat dua pendapat,
pertama; makna redksi tersebut adalah orang-orang beriman kepada Musa as dan ‘Isa
as. Diriwayatkan ketika ‘Abdullah bin Sala>m dan beberapa sahabatnya masuk Islam
sebagian pembesar-pembesar Yahudi berkata kepada mereka: “sungguh kalian telah
kafir dan merugi”. Maka Allah SWT menurunkan ayat ini untuk menjelaskan
keutamaan mereka. Kedua, redaksi ahli kitab disini dapat juga bermakana setiap
orang dari berbagai agama yang diberikan kepada mereka kitab atau wahyu. Sehingga berdasarkan pendapat ini maka umat Islam masuk dalam kategori tersebut. Adapun riwayat yang menegaskan pendapat ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Ibnu
Mas‘u>d: “sesungguhnya Nabi SAW mengakhirkan salat isak kemudian keluar ke
masjid, sementara para sahabat menanti waktu salat dimulai. Selanjutnya beliau
bersabda, “sesungguhnya tidak ada pemeluk agama lain yang berdzikir kepada Allah
pada saat ini kecuali kalian”, kemudian beliau membaca ayat ini. 16
15 Muha}mmad Rasyi>d Ridha>, Tafsi>r al-Qur’a>n al-H}aki>m / Tafsi>r al-Mana>>r vol 4 (: Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmi>ah, 2011), 59.
24
Mereka dilukiskan oleh ayat di atsa dengan redaksi yusa>ri‘u>na fi
al-khaira>t. Redaksi ini dimaknai oleh Quraish Shihab dengan bersegera mengerjakan pelbagai kebijakan, bukannya bersegera kepada pelbagai kebijakan seperti yang doterjemahkan oleh Departemen Agama. Beliau lebih memilih makna tersebut
dikarenakan redaksi ini tidak menggunakan kata ila> yang berarti menuju ke, tetapi
menggunakan kata fi>yang berarti berada di dalam. Pemilihan kata ini memberi kesan
bahwa sejak bsemula mereka telah berada dalam koridor kebajikan. Mereka berpindah dari satu kebajikan kepada kebajikan yang lain karena sejak semula mereka telah berada di dalamnya, bukan berada di luar koridor tersebut. Jika berada di luar koridor kebajikan berarti mereka dalam kesalahan yang mengharuskan mereka pindah
dari sana menuju kebaikan.17
Quraisy Shihab juga menambahakan bahwa al-Qur’a>n sering kali
menggunakan istilah semacam mereka termasuk orang-orang yang saleh, atau mereka termasuk orang-orang mukmin, dan sebagaginya untuk menggambarkan seseorang masuk ke dalam satu kelompok. Ungkpan semacam ini dinilai oleh para ulama lebih tinggi kualitasnya daripada menyatakan dia adalah orang saleh atau orang mukmin. Hal ini karena dua hal, pertama; bahwa masuknya seseorang dalam sebuah kelompok pilihan menunjukkan kepiawaiannya dalam persoalan atau sifat yang menandai kelompok tersebut. Kedua, untuk menggambarkan sikap kebersamaan yang
17 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’a>n vol 2 (Jakarta:
25
merupakan ciri ajaran ilahi, yang masuk dalam satu kelompok berarti ia tidak sendiri
melaikan bersama dengan semua anggota kelompok tersebut.18
Oleh karena itu pemeluk agama Islam tidak sepatutnya menjustifikasi bahwa pemeluk agama lain lebih buruk dari mereka. Seperti yang telah dikatakan oleh Hamka bahwa umat Islam tidak seharusnya berkeyakinan bahwa mereka lebih diistimewakan daripada pemeluk agama lain. Menganggap bahwa dirinya meskipun melakukan banyak kemaksiatan, dan meninggalkan perintah agama tetap akan dimasukkan ke surga, karena keistimewaan Islam. Jika seorang muslim memunyai
keyakinan demikian, apa ubahnya ia dengan kaum Yahudi.19
Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam kaum Bani Israil terdapat orang-orang yang baik dan taat. Hal ini menjadi acuan agar umat tidak menilai mereka dengan
anggapan negatif semata. Meskipun begitu ayat al-Qur’an menegaskan bahwa
kebanyakan mereka secara faktual memang memunyai perangai negatif. Mereka layak untuk diwaspadai sehingga perangai mereka tidak menjadi ancaman dan membahayakan bagi umat.
18 Ibid.
26
BAB III
PENAFSIRAN ULAMA ATAS AYAT KONFLIK BANI ISRA
<
’I
<
L
DALAM SURAT AL-BAQARAH AYAT 243-252
A. Penafsiran Ulama atas Surat al-Baqarah Ayat 243-245
ْمَلَأ
َ
رت
ََلِإ
َ
َنيِ َلا
َ
ْاوجرخ
َ
نِم
َ
ْمِ ِرايِد
َ
ْم
َ
ٌفوُلُأ
َ
رَ ح
َ
َِ ْو ْلا
َ
َلاََف
َ
م َل
َ
َهّلا
َ
َْاوتوم
َ
مُث
َ
َْم ايْحَأ
َ
ََ ِإ
َ
هّلا
َ
ُ َل
َ
َ لْضَف
َ
َع
َ
َِ انلا
َ
َنِ ـَل
َ
رَثْكَأ
َ
ِ انلا
َ
َا
َ
ََ رُ ْشي
َ
-٣ضص
-َ
َْاوُِتاَق
َ
يِف
َ
ِليِس
َ
ِهّلا
َ
َْاو َْعا
َ
ََ َأ
َ
َهّلا
َ
ٌَعيِ س
َ
ٌَميِع
َ
-٣ضض
-َ
نم
َ
اََ
ِ َلا
َ
ِرْي
َ
هّلا
َ
ًضْرَق
َ
ًنسح
َ
هَفِعاضيَف
َهَل
َ
ًفاعْضَأ
َ
ًرِثَك
َ
هّلا
َ
ضِْي
َ
ُطسْي
َ
ِهْيَلِإ
َ
َ وعجْرت
َ
-٣ض٢
Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halamannya, sedang jumlahnya ribuan karena takut mati? Lalu Allah
Berfirman kepada mereka, “Matilah kamu!” Kemudian Allah
Menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah Memberikan karunia kepada
manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur. Dan berperanglah
kamu di jalan Allah, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. Barangsiapa meminjami Allah dengan pinjaman yang baik maka Allah Melipatgandakan ganti kepadanya dengan banyak. Allah Menahan dan Melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu
dikembalikan.1
Ibn Katsir mengutip riwayat dari ibn Abbas bahwa mereka adalah empat ribu orang yang keluar dari daerahnya melarikan diri dari wabah penyakit. Mereka berkata kami akan mendatangi daerah di mana kami tidak akan ditimpa kematian.
27
Sampai ketika mereka telah sampai pada tempat tersebut Allah berfirman: “matilah
kalian”. Setelah mereka mati, nabi mereka berdoa kepada Tuhan untuk
menghidupkan mereka kembali, maka hiduplah mereka. Beberapa ulama salaf
menyebut bahwa mereka adalah kaum pada zaman bani Israil.2
Sementara al-Qurtubi menyebut riwayat dari al-H}asan bahwa Allah
mematikan mereka sebelum ajal mereka sebagai hukuman. Kemudian
membangkitkan mereka kembali agar mereka sampai pada ajal masing-masing. Dikatakan bahwa hal tersebut terjadi berkat mukjizat Nabi mereka yang bernama
Syam‘u>n. Adapun al-Dhah}h}a>q mengatakan bahwa bahwa mereka lari dari jihad
ketika diperintahkan oleh Allah melalui lisan nabi mereka. Mereka takut mati karena jihad sehingga mereka lari, keluar dari negeri mereka. Kemudian Allah mematikan mereka agar mereka tahu bahwa tidak ada yang dapat menyelamatkan mereka dari kematian. Selanjutnya Allah menghidupkan dan memerintahkan mereka untuk
berperang.3
Ibnu ‘Asyu>r menyatakan bahwa ayat ini bertujuan untuk memberi
semangat perang kepada umat Islam karena ayat ini lekat hubungannya dengan redaksi ayat selanjutnya. Dapat dikatakan ayat ini merujuk pada surat al-Baqarah ayat 216 tentang diwajibkannya orang Islam untuk berperang meskipun hal tersebut merupakan pekerjaan yang sangat dibenci oleh mereka. Didahulukannya ayat ini menjadikan ia sebagai dalil (bukti) sebelum disebutkannya maksud. Jelasnya ayat ini
2 Abu Fida>’ Isma‘i>l Ibn Katsir, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, vol. 1 (Beirut: Da>r al-Fikr, 1981), 534.
28
menggambarkan kisah orang-orang yang ketakutan menghadapi perang. Secara
bahasa redaksi h}adhar al-maut adalah maf‘u>l li ajlih dan amil-nya adalah redaksi
kharaju>. Sehingga jelas bahwa mereka adalah kaum yang lari dari musuh, bersama
mayoritas kaum mereka meninggalkan tempat tinggal selama ini.4
Al-Qurtubi> mengutip pernyataan Ibn ‘At}i>ah yang menyatakan bahwa
melaui kisah ini Allah memberi kabar kepada Nabi Muhammad SAW agar bisa mengambil pelajaran tentang kaum yang keluar dari negeri mereka untuk menghindari maut. Agar umat Nabi mengetahui bahwa sesungguhnya kematian hanya ada di tangan Allah. Sehingga tidak ada gunanya rasa takut dan gentar. Selanjutnya dikutip juga pernyataan al-T{abari> bahwa Allah menjadikan ayat ini
sebagai awal sebelum memerintahkan kaum mukmin untuk berjihad.5
Sejalan dengan yang dikatakan oleh al-Qurtubi>, ibn ‘Asyu>r
menggarisbawahi bahwa ibrah dari kisah ini yaitu mereka merasakan kematian yang
mana mereka lari darinya. Agar mereka mengetahui jika lari dari kematian tidak akan pernah berguna sedikitpun. Kemudian mereka merasakan hidup kembali setelah mati, agar mereka mengetahui bahwa hidup dan mati hanya ada dalam genggaman Allah. Seperti yang telah dikatakan oleh Allah dalam surat al-Ah}za>b ayat 16 bahwa tidak
akan ada manfaatnya berlari jika yang dimaksudkan adalah berlari dari kematian.6
4 Muhammad al-Ta>hir Ibn ‘Asyur, al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r, vol. 2 (Tunisia: Da>r al-Tu>nisi>ah, 1984),
475.
5 Al-Qurt}ubi>, Tafsi>r al-Muni>r., 247.
29
Masih terkait dengan ayat sebelumnya tentang peperangan, al-Biqa>‘i>
menghubungkan pembahasan tentang shadaqah pada ayat 245 dengan pengorbanan
dalam jihad. Redaksi man dza> al-ladzi adalah mereka yang diwajibkan berperang
memerjuangkan jiwa dan harta. Sementara redaksi yuqridhu Allah adalah frase untuk
memberi kemuliaan terhadap orang tersebut. Adapun redaksi qardha menggambarkan
adanya rasa cinta, karena hanya orang yang mencintai yang mau untuk memberikan hutang. Pahala bagi orang yang memberikan hutang lebih besar daripada pahala
orang yang bersedekah.7
B. Penafsiran Ulama atas Surat al-Baqarah Ayat 246
ْمَلَأ
َ
رت
ََلِإ
َ
َإل ْلا
َ
نِم
َ
يِنب
َ
َليِئارْسِإ
َ
نِم
َ
ِدْعب
َ
سوم
َ
ْ ِإ
َ
َْاوُلاَق
َ
ٍيِنِل
َ
َم َل
َ
ْثعْبا
َ
انَل
َ
ً ِم
َ
ْلِتاَن
َ
يِف
َ
ِليِس
َ
ِهّلا
َ
َلاَق
َ
ْل
َ
ْمتْيسع
َِإ
َ
َبِتُك
َ
مُ ْيَع
َ
ُلاتِْلا
َ
َاَأ
َ
ْاوُِتاَت
َ
ْاوُلاَق
َ
ام
َ
انَل
َ
َاَأ
َ
َلِتاَن
َ
يِف
َ
َِليِس
َ
ِهّلا
َ
ْدَق
َ
انْجِرْخُأ
َ
نِم
َ
انِرايِد
َ
انِئ نْبَأ
َ
ا ََف
َ
بِتُك
َ
َمِ ْيَع
َ
ُلاتِْلا
َ
ْاْوَلوت
َ
َاِإ
َ
ًايَِق
َ
ْم ْنِم
َ
هّلا
َ
ٌميِع
َ
َيِ ِلاَظلاِب
َ
-٣ض٢
-َ
Tidakkah kamu perhatikan para pemuka Bani Israil setelah Musa wafat,
ketika mereka berkata kepada seorang nabi mereka, “Angkatlah seorang raja untuk kami, niscaya kami berperang di jalan Allah.” Nabi mereka menjawab, “Jangan-ja-ngan jika kamu diwajibkan atasmu berperang,
kamu tidak akan berperang juga?” Mereka menjawab, “Mengapa kami
tidak akan berperang di jalan Allah, sedangkan kami telah diusir dari
kampung halaman kami dan (dipisahkan dari) anak-anak kami?” Tetapi
ketika perang itu diwajibkan atas mereka, mereka berpaling, kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang zalim.
7 Burhanuddi>n Abi al-Hasan Ibrahi>m bin ‘Umar Al-Biqa>’i,Naz}m Dura>r fi Tana>sub a>ya>t wa
30
Ayat ini menurut al-Khazin mengisahkan bani Israil dengan latar belakang
setelah wafatnya Musa. Nabi Musa digantikan oleh Yu>sya‘ bin Nu>n yang tetap
menjalankan perintah Allah pada bani Israil dan menjalankan hukum berdasarkan Taurat hingga Allah mewafatkannya. Kemudian digantikan oleh Ka>lib bin Yu>qana>. Setelah itu digantikan oleh H}azqiyal. Adapun sepeninggal H}azqiyal mayoritas bani
Israil mulai melupakan perjanjian dengan Allah, mereka menyembah berhala-berhala. Hingga kemudian Allah mengutus Ilyas sebagai nabi dan menyeru mereka kepada
Allah.8
Para nabi setelah Musa diutus untuk mengingatkan apa yang mereka lupakan dari Taurat dan menghimbau mereka untuk beramal dengan hukum kitab
tersebut. Ilya>s digantikan oleh al-Yasa‘ dan ketika al-Yasa‘ telah mangkat mereka
banyak melakukan dosa. Bersamaan debgan banyaknya dosa yang mereka lakukan muncul pula musuh yang datang kepada mereka yakni kaum Jalut. Mereka menempati pesisir pantai di antara Mesir dan Palestina. Para raksasa ini kemudian menyerang bani Israil dan mengalahkan mereka, merebut sebagian besar tanah mereka, serta menjadikan mereka budak. Kaum Jalut juga menetapkan pajak kepada mereka. Tindakan selanjutnya adalah mengambil Taurat mereka dan memberikan mereka siksaan yang berat. Sementara belum ada bagi mereka nabi yang mengatur
permasalahan ini.9
8 Al-Khazin, Luba>b al-Ta’wi>l fi> Ma‘a>ni> al-Tanzi>l, vol. 1 (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmi>ah, 2004), 178.
31
Garis kenabian telah hilang kecuali hanya satu orang perempuan yang tengan hamil. Setelah anak dalam rahimnya telah lahir dan tumbuh besar, ibunya
menyerahkannya kepada seorang syaikh agar dia dapat memelajari Taurat di bait
al-Maqdis. Hingga kemudian Jibril mendatanginya dan menyuruhnya untuk datang kepada kaumnya dan menyampaikan risalah Tuhan. Di sini dinyatakan bahwa dia telah diutus untuk menjadi seorang nabi. Ketika ia menjumpai kaumnya mereka tidak begitu saja memercayainya dan berkata, jika ia memang benar-benar nabi, untuk mengangkat seorang raja bagi mereka. Sehingga mereka bisa berperang di jalan Allah
sebagai tanda dari kenabiannya.10
Al-Razi menyatakan bahwa kata al-mala’ adalah orang yang mulia dari
masyarakat. Kata tersebut adalah isim jamak seperti kaum atau pasukan, bentuk
jamaknya adalah amla>’. Mengutip dari al-Zujja>j al-mala’ berarti al-ru’asa>’, para
pemimpin. Dinamakan demikian karena mereka mengisi hati dengan apa yang
dikehendaki, memengaruhi pemikiran masyarakat. Adapun dalam redaksi idz qa>lu> li
al-nabiy lahum ib‘ats lana> terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, ayat ini bersangkutan dengan ayat sebelumnya tentang perintah untuk berperang dengan diceritakannya kisah bani Israil. Hal ini karena ketika mereka diperintahkan untuk berperang mereka enggan dan menolak maka Allah menghukum mereka dan
menjadikan mereka kedalam kedhaliman.11
10 Ibid.
32
Kedua, tentang nabi mereka. Ada yang menyatakan bahwa nabi tersebut
adalah Yu>sya‘ bin Nu>n bin Ifra>yim bin Yu>suf, dalil tentang ini adalah redaksi min
ba‘d mu>sa>. Pendapat ini dinilai oleh al-Razi lemah. Dikutip dari al-Sudi> dinyatakan
bahwa nabi tersebut adalah Syam‘u>n, ia dinamakan seperti itu oleh ibunya. Hal ini karena ketika ibunya berdoa kepada Allah agar dikaruniakan anak, Allah
mengabulkan doanya. Sehingga ia menamakan anaknya Syam‘u>n, yang berarti
doanya didengarkan. Adapun huruf si>n menjadi syin dalam bahasa Ibrani. Sementara
ia, Syam‘u>n adalah putera La>wi bin Ya‘qu>b.12
Ketiga, tentang bani Israil pada waktu itu. Al-Razi mengutip Wahab dan al-Kalabi> bahwa orang-orang yang berdosa dan berlaku maksiat terlampau banyak
dalam kaum bani Israil. Kemudian mereka dikalahkan oleh musuh sehingga banyak kehilangan keturunan. Dari situ mereka meminta kepada nabi mereka raja yang dapat memenuhi permintaan mereka dan melaksanakan kebutuhan perkara mereka. Adapun perkara terpenting adalah memerjuangkan keadaan mereka dengan berjihad melawan
musuh.13
Adapun al-Zamakhsyari ketika menafsrikan kata nuqa>til yakni jadikan
raja tersebut bagi kami orang yang mengatur peperangan. Kemudian dilanjutkan
seakan nabi mereka menjawab: “apa yang kalian kehendaki dari raja tersebut”. Maka
mereka menjawab nuqa>til , kami akan berperang.14
12 Ibid.
13 Ibid.
14 Abu al-Qa>sim Mah}mu>d bin ‘Umar Al-Zamakhsyari>, Tafsi>r al-Kasya>f (Beirut: Da>r al-Ma‘rifah,
33
Redaksi alam tar ila al-mala’i menurut Muhammad Thahir Ibn ‘Asyu>r
adalah lanjutan dari redaksi alam tar ila al-ladzina kharaju> yang menurutnya
mengarah kepada perintah perang pada redaksi ayat wa qa>tilu> fi sabi>lilla>hi dalam
surat al-Baqarah ayat 190. Didahulukannya redaksi alam tar ila al-ladzina kharaju>
yang kemudian disusul dengan redaksi alam tar ila al-mala’i menunjukkan motivasi
berperang bani Israil pada masing-masing masa. Redaksi pertama menggambarkan tentang orang-orang yang menyerah dan menganggap bahwa mereka lemah sehingga terpaksa keluar dari negeri mereka. Sementara redaksi yang kedua menggambarkan keadaan orang-orang yang telah mengetahui manfaat dari perang, dengan bukti
bahwa mereka meminta untuk berperang.15
Pada redaksi fa lamma kutib ‘alaihim al-qita>l menurut al-Khazin terdapat
pernyataan yang dihilangkan. Adapun perkiraan dari pernyataan tersebut adalah bahwa nabi mereka meminta kepada Allah apa yang mereka minta dan diangkatlah
seorang raja. Sementara ketika diwajibkan atas mereka untuk berperang, tawallau,
mereka berpaling dari seruan jihad dan menyia-nyiakan perintah Allah. Illa qali>la
minhum yakni tidak berpaling dari jihad mereka yang menyeberang melewati sungai
bersama Thalut yang terdapat dalam lanjutan kisah pada ayat selanjutnya. Wa Allah
‘ali>m bi al-dza>limi>n yakni Dia Maha mengetahui siapa saja orang yang berlaku
dhalim, tidak menaati perintah Tuhannya dan tidak memenuhi apa yang ia ucapkan.16
15Ibn ‘Asyur, al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r., 475.
34
Menurut al-Biqa‘i gambaran tentang bani Israil pada ayat ini adalah
bentuk peringatan bagi para sahabat Rasulullah yang pada saat itu sedang menghadapi orang-orang kafir. Peringatan agar jangan sampai meniru perilaku meminta untuk berperang sementara ketika telah diwajibkan untuk berperang perintah
tersebut diabaikan. Hal ini menunjukkan lemahnya tekad dan labilnya pendirian.17
C. Penafsiran Ulama atas Surat al-Baqarah Ayat 247-248
َلاَق
َ
ْم َل
َ
ْم يِن
َ
َ ِإ
َ
َهّلا
َ
ْدَق
َ
َثعب
َ
ْمُ َل
َ
َ وُلاَط
َ
ً ِم
َ
ْاوُلاَق
َنَأ
َ
َُ وُ ي
َهَل
َ
َكْ ْلا
َ
انْيَع
َ
نْحن
َ
قحَأ
َ
ِكْ ْلاِب
َ
هْنِم
َ
َْمَل
َ
َ ْ ي
َ
ًةعس
َ
نِم
َ
ِلا ْلا
َ
َلاَق
َ
ََ ِإ
َ
هّلا
َ
َاَفَطْصا
َ
َْمُ ْيَع
َ
َدا
َ
ًةَطْسب
َ
يِف
َ
ِمِْعْلا
َ
َِمْسِجْلا
َ
َهّلا
َ
يِتْ ي
َ
هَ ْم
َ
نم
َ
ُئاشي
َ
َهّلا
َ
ٌَعِسا
َ
ٌَميِع
َ
-٣ض٢
-َ
َلاَق
َ
ْم َل
َ
َْم يِِن
َ
ََ ِإ
َ
َةيآ
َ
ِهِ ْم
ََأ
َ
َمُ يِتْأي
َ
َ وباتلا
َ
ِهيِف
َ
ٌةنيِ س
َ
نِم
َ
ْمُ ِبر
َ
ٌةيِب
َ
ا ِم
َ
كرت
َ
ُلآ
َ
سوم
َ
ُلآ
َ
َ را
َ
هُِ ْحت
َ
ُةَ ِئ ْلا
َ
َ ِإ