• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS YURIDIS TERHADAP EKSEKUSI BENDA JAMINAN GROSSE AKTA PENGAKUAN UTANG | WIRO | Legal Opinion 5969 19873 1 PB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS YURIDIS TERHADAP EKSEKUSI BENDA JAMINAN GROSSE AKTA PENGAKUAN UTANG | WIRO | Legal Opinion 5969 19873 1 PB"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP EKSEKUSI BENDA JAMINAN GROSSE AKTA PENGAKUAN UTANG

OKTAVIANUS WIRO / D 101 09 679

ABSTRAK

Kehidupan manusia tidak luput dari hubungan antara sesame, yang ada kalanya mempunyai akibat hukum, demikian halnya dalam perjanjian utang piutang pada lembaga perbankan dengan jaminan akta pengakuan utang dari debitur. Akta pengakuan utang merupakan pernyataan sepihak debitur yang dibuat dihadapan notaries bahwa debitur mempunyai sejumlah utang tertentu. Akta pengakuan utang pada dasarnya selalu mencantumkan suatu benda tertentu yang dianggap sebagai jaminan yang dapat dijual kreditur manakala debitur wanprestasi, tanpa melalui proses hukum terlebih dahulu.

Kedudukan akta pengakuan utang sebagai akta otentik, memberikan kedudukan istimewa kepada kreditur oleh karena dipersamakan dengan putusan hakim yang berkekuatan tetap karena terdapat prase “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, prase ini yang memberikan nilai eksekutorial.

Kata Kunci : Eksekusi, grosse akta, pengakuan utang

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Akta pengakuan hutang merupakan bentuk perbuatan hukum sepihak secara sukarela dibuat oleh debitur dihadapan notaries untuk menambah keyakinan kreditur dalam perjanjian utang piutang. Utang piutang merupakan suatu perbuatan hukum yang menimbulkan akibat hukum hak dan kewajiban bagi pihak-pihak yang mengadakannya.

Berkaitan dengan akibat hukum para pihak perjanjian utang piutang, termasuk dalam lingkup hukum perjanjian sebagaimana diatur dalam Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya akan disebut KUH Perdata). Buku III KUH Perdata mengatur bentuk dan macam-macam perjanjian, bentuk dan macam perjanjian dimaksud adalah perjanjian baik yang melibatkan dua pihak atau sering disebut dengan perjanjian bersegi dua (timbale balik). Selain perjanjian bersegi dua atau timbal balik dikenal pula perjanjian bersegi satu1.

1

Perjanjian bersegi satu hanya menimbulkan kewajiban pada satu pihak dan tidak menimbulkan hak bagi yang berkewajiban. Berbeda hlmnya dengan perjanjian bersegi dua dimana terdapat hak dan

Bentuk perjanjian yang banyak digunakan dalam hubungan hukum kemasyarakatan sehari-hari adalah bentuk kedua, sehingga diantara pihak terdapat hubungan hukum hak dan kewajiban. Keberadaan lembaga hukum jaminan dalam kehidupan sehari-hari sangat dibutuhkan masyarakat mengingat tidak semua kebutuhan dapat dipenuhi sendiri setiap orang. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sering melakukan perjanjian dalam beragam bentuk dan tujuan dalam rangka memenuhi kebutuhan.

Salah satu bentuk perjanjian yang dilakukan orang dalam rangka memenuhi kebutuhannya adalah perjanjian utang piutang. Perjanjian utang piutang dengan jaminan atau disebut istilah kredit. Perjanjian kredit sekarang semakin meluas dan vital dalam kehidupan masyarakat, hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya lembaga keuangan yang menyediakan dana dengan iming-iming yang menggiurkan calon debitur. Sebagaimana dinyatakan Sri Soedewi Masjchoen Sofwan bahwa;

(2)

“Kegiatan-kegiatan demikian dilakukan oleh warga Negara Indonesia pada umumnya, karena kegiatan-kegiatan tersebut telah menjadi kebutuhan rakyat pada umumnya. Kegiatan-kegiatan tersebut diatas yang akhirnya memerlukan fasilitas kredit dalam usahanya, mensyaratkan adanya jaminan bagi pemberi kredit tersebut demi keamanan modal dan kepastian hukum bagi si pemberi modal. Disini

arti pentingnya lembaga jaminan”2

. Praktek lembaga keuangan dalam penyaluran dana kepada masyarakat pada prinsipnya selalu diikat jaminan berupa hak kebendaan tidak bergerak, bahkan dalam hal tertentu masih ditambah dengan jaminan tambahan. Jaminan tambahan inilah yang sering dibuat dalam bentuk akta pengakuan hutang dari debitur. Bentuk pengakuan hutang dari debitur dapat dibuat dalam bentuk akta dibawah tangan maupun dengan akta otentik. Bentuk akta pengakuan hutang yang dibuat dihadapan notaris akan memberikan kedudukan hukum yang kuat bagi kreditur jika terjadi wanprestasi dari debitur.

Terhadap akta pengakuan hutang dari debitur yang dibuat dihadapan notaries memberikan kedudukan yang istimewa kepada kreditur manakala terjadi wanprestasi. Hal ini disebabkan kreditur dapat meminta kepada notaris untuk menerbitkan grosse aktanya. Dimana kedudukan grosse akta pengakuan hutang telah mendapatkan legalitas hukum pada peraturan perundang-undangan dengan hak yang istimewakan. Kedudukan istimewa grosse akta pengakuan hutang mempunyai kekuatan eksekutorial yang dipersamakan dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inckracht van gewijsde). Artinya bahwa manakala debitur atau si berutang lalai

2

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Huku Jaminan Di Indonesia, Pokok-pokok Huku Jaminan Dan Jaminan Perorangan, Liberty Offset Yogyakarta, 2001, hlm.2.

melakukan prestasi sebagaimana disanggupinya, maka kreditur dapat melakukan permohonan eksekusi tanpa melakukan gugatan ke pengadilan terlebih dahulu.

Kedudukan istimewa akta pengakuan utang sangat penting dan besar perannya dalam perekonomian suatu Negara, demikian pula Indonesia sehingga lambat namun pasti dewasa ini grosse akta pengakuan hutang telah memberikan keyakinan kepada kreditur dalam pelunasan utang debitur. Kemudahan fasilitas yang diberikan oleh undang-undang terhadap grosse akta pengakuan hutang memberikan kepercayaan penuh kepada kreditur untuk dapat dengan mudah melakukan penyelesaian utang-utang debitur yang wanprestasi melaksanakan kewajibannya.

Kreditur dikatakan dengan mudah mendapatkan pelunasan utang, karena dengan grosse akta pengakuan hutang, maka kreditur tidak perlu lagi mengajukan gugatan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan dalam rangka melakukan eksekusi terhadap harta kekayaan atau benda jaminan debitur yang lalai. Melainkan dengan keberadaan grosse akta pengakuan hutang kreditur dapat secara langsung mengajukan permohonan eksekusi kepada kantor lelang manakala debiturnya wanprestasi atas kewajibannya. Dihindari kreditur menyelesaikan perkara wanprestasi dari debitur melalui pengadilan karena membutuhkan waktu lama dengan prosedur yang berbelik-belik serta biaya yang mahal, sehingga keberadaan grosse akta merupakan angin segar bagi lembaga perbankan dan keuangan lainnya.

(3)

mengenai kedudukan hukum grosse akta pengakuan hutang antara lembaga peradilan sebagai pelaksana hukum dengan para praktisi perbankan berkisar pada sudut pandang masing-masing dalam perspektif yang berbeda. Lembaga peradilan sebagai lembaga pelaksana hukum materil menganggap bahwa grosse akta pengakuan hutang hanya mempunyai kekuatan eksekutorial terhadap jumlah hutang yang sudah pasti jumlahnya, sementara lembaga perbankan yang mempunyai kepentingan terhadap keberadaan grosse akta menghendaki kekuatan eksekutorial tanpa suatu beban atau syarat lainnya. Sebab tujuan ditertibkannya grosse akta pengakuan hutang untuk membantu lembaga keuangan (perbankan) dalam melakukan pelunasan utang atas wanprestasi debitur.

Dengan terjadi perbedaan penafsiran mengenai esensi dari keberadaan grosse akta pengakuan hutang dalam hukum perjanjian khususnya perjanjian kredit perbankan, akan membuat gelisah kepada calon kreditur untuk melepaskan uangnya kepada debitur. Hal ini disebabkan jika terjadi wanprestasi maka kreditur akan mengalami kesulitan untuk mengembalikan uang yang telah dilepaskannya. Dengan demikian, perbedaan persepsi mengenai hakikat dari grosse akta pengakuan hutang setidaknya akan menghambat pergerakan ekonomi masyarakat, sebab lembaga perbankan akan mengeluarkan regulasi atau pengetatan dalam pemberian kredit kepada masyarakat. Sementara tujuan dari kehadiran grosse akta pengakuan hutang dalam hukum jaminan untuk membantu kalangan kreditur mengembalikan dengan cepat dana yang dikeluarkan jika debiturnya melakukan wanprestasi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada uraian latar belakang masalah yang sederhana tersebut di atas, maka yang menjadi permasalahan hukum dalam tulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana kekuatan eksekutorial grosse akta pengakuan hutang dalam perjanjian utang piutang ? 2. Bagaimana pelaksana eksekusi

benda jaminan grosse akta pengakuan hutang ?

II. PEMBAHASAN

A. Kekuatan Eksekutorial Grosse Akta

Pengakuan Utang

Peran notaries dalam hukum jaminan semakin penting karena undang-undang memberikan tugas dan tanggung jawab yang maha berat untuk membuat akta-akta otentik dan sekaligus menyimpang minutanya3, termasuk semua protokolnya4 dan dapat memberikan grosse5, serta salinan6 dan petikannya. Selain itu juga notaries masih diberikan tugas untuk melakukan pendaftaran terhadap akta-akta, meng-sahkan salinan dan atau turunan berbagai dokumen baik otentik maupun akta dibawah tangan.

Keterlibatan notaris dalam pembuatan akta-akta yang butuhkan oleh pihak ketiga dalam perbuatan hukum, karena tugas dan wewenang notaris yang diberikan oleh undang-undang bukan karena kepentingannya. Notaris dalam menjalankan tugas hanya membantu membuatkan akta-akta sesuai dengan permintaan klient-klient-nya dan mendapatkan imbalan jasa sebagaimana ditentukan dalam Pasal 36 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2004 ditegaskan bahwa notaris berhak menerima honorarium atas

3

Minuta adalah asli akta notaris lihat Pasal 1 angka 8 UU No. 30 Tahun 2004

4

Protokol notaris adalah kumpulan dokumen yang merupakan arsip Negara harus disimpan dan dipelihara oleh notaris

5

Grosse yang dimaksudkan adalah grosse akta merupakan salah satu salinan akta untuk pengakuan

utang dengan kepala akta “Demi Keadilan berdasarkan

ke- Tuhanan Yang Maha Esa” yang mempunyai kekuatan eksekutorial (Pasal 1 angka 11)

6

Salinan akta adalah salinan kata demi kata dari selutuh akta dan pada bagian bawah salinan akta

(4)

jasa hukum yang diberikan sesuai dengan kewenangannya.

Kehidupan masyarakat modern semakin dibutuhkan dalam pembuatan akta-akta otentik untuk pembuktian terjadinya hubungan hukum yang dilakukan para pihak. Akta-akta otentik yang dapat dibuat atau merupakan kewenangan notaris untuk membuatnya atas permintaan orang perorangan dan badan hukum yang berkepentingan. Notaris sebagai pelayanan jasa masyarakat berwenang membuat akta-akta otentik sebagaimana ditentukan Pasal 15 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2004.

Kewenangan notaris selain membuat akta juga termasuk menyimpan akta yang dibuatnya termasuk menyimpan grosse dari akta-akta yang dibuatnya. Demikian pula dengan akta pengakuan utang sebagai pernyataan sepihak debitur sebagai kelanjutan dari perjanjian utang piutang. Jadi pada dasarnya akta pengakuan utang merupakan perjanjian sepihak yang dibuat khusus oleh debitur untuk menambah keyakinan kepada kreditur dan sifatnya merupakan perjanjian yang acessoir7. Akta pengakuan utang sebagai perjanjian accessoir, tetapi mempunyai peran sangat penting dalam hukum jaminan terutama bagi kreditur pada lembaga keuangan (perbankan).

Pentingya peranan akta pengakuan utang bagi kreditur berkaitan dengan kekuatan eksekutorial yang dimilikinya, kekuatan eksekutorial dari akta pengakuan utang disebabkan adanya

irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan ke

-Tuhanan Yang Maha Esa”. Dengan

adanya irah-irah sebagaimana tersebut, maka kekuatan hukumnya sama dengan suatu putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap8. Artinya dalam hal debiturnya wanprestasi

7

Dikatakan perjanjian acessoir karena merupakan perjanjian sepihak yang sifatnya tambahan belaka.

8

Putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap putusan pengadilan yang tidak ada lagi upaya hukum biasa yang dapat dilakukan

terhadap perjanjian yang disanggupinya, maka krediturnya dapat melakukan penjualan terhadap barang-barang milik debitur setelah memberikan peringatan sebagaimana mestinya. Tidak ditanggapinya peringatan kreditur, maka menurut kelaziman hukum debitur telah wanprestasi dengan itikad tidak baik, maka hal demikian sudah wajar kirana kalau krediturnya melakukan eksekusi.

Dapat tidaknya dilakukan eksekusi terhadap benda-benda yang menjadi jaminan utang piutang bukan karena perjanjian utang piutangnya, melainkan karena akta pengakuan utang yang dibuat sepihak oleh debitur. Sehingga manakala debiturnya telah secara nyata wanprestasi9, maka kreditur tinggal meminta grossenya kepada notaris dimana akta pengakuan utang itu dibuat untuk dilakukan eksekusi. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh J. Satrio bahwa;

Grosse akta pengakuan utang dipersamakan dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang berkaitan dengan pengakuan utang yang dibuat dengan akta yang dibuat dihadapan notaris, dengan demikian kreditur tak perlu melakukan gugatan kepada debitur, tetapi cukup menyodorkan grosse aktanya dan (ia kreditur) sudah cukup dianggap sebagai orang yang menang perkara tagihan yang disebutkan dalam grosse akta yang bersangkutan10.

Berdasarkan pandangan diatas, maka dapat diketahui bahwa terhadap akta pengakuan utang mempunyai kekuatan eksekutorial yang dipersamakan dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Hal ini disebabkan terhadap debitur yang wanprestasi atas kewajibannya, maka

9

Dikatakan secara nyata lalai jika debiturnya telah diperingati tiga kali secara berturut-turut tetapi tidak juga melaksanakan kewajibannya, maka dapat ditafsirkan secara nyata wanprestasi.

10

(5)

kreditur tidak perlu melakukan gugatan lagi ke pengadilan untuk membuktikan keadaan wanprestasi debiturnya. Menjadi pertanyaan hukum disini adalah apakah yang memberikan kedudukan akta pengakuan utang demikian istimewa dalam hukum jaminan ? jawaban hukum pertanyaan tersebut akan dijawab dengan mengemukakan pandangan pakar hukum dari Sudikno Mertokusumo yang menegaskan bahwa;

Apakah ada persyaratannya bagi suatu putusan untuk memperoleh kekuatan eksekutorial ? Peradilan di Indonesia

dilakukan “demi keadilan berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 4 ayat 1 UU No.4 Tahun 200411) dan semua putusan pengadilan di seluruh Indonesia harus diberi kepala dibagian

atasnya yang berbunyi “demi keadilan berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa” (435 RV Jo. Pasal 4 ayat (1) UU No.4 Tahun 2004). Suatu akta nota ril pun akan mempunyai kekuatan yang sama dengan suatu putusan pengadilan apabila dibubuhi kata-kata “demi keadilan berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa” Pasal 224 HIR/258 Rbg/440 Rv). Dapat ditafsirkan dari Pasal 224 HR (258 Rbg) bahwa

mempunyai kekuatan yang sama dengan suatu putusan pengadilan” berarti akta nota ril pun kata-kata

“demi keadilan berdasarkan ke

-Tuhanan Yang Maha Esa dibagian atasnya dapat dilaksanakan atau dijalankan seperti putusan pengadilan yang memang harus mempunyai kepala eksekutorial12.

Hal senada didukung oleh Mahkamah Agung RI sesuai surat yang dikeluarkan Ketua Muda M.A.R.I ULPU BIDKUM DATLIS kepada Notaris/PPAT Tjondro Santoso, S.H. dengan surat No.217/648/89/II/UM-TU/Pdt tanggal 3 Mei 1989 perihal Keterangan Pelaksanaan

11

UU No. 4 Tahun 2004 sekarang sudah diganti dengan UU No 48 Tahun 2009

12

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1998, hlm. 219-220

Eksekusi Hipotek. Yang berisi bahwa : Kekuatan eksekutorial seperti putusan pengadilan yang BHT (berkekuatan hukum tetap) pada grosse akte hipotik dan/atau grosse akte pengakuan utang

terletak pada kepala “Demi Keadilan

Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa”13

.

Penegasan diatas telah menjawab pertanyaan hukum mengenai kedudukan istimewa dari akta pengakuan utang. Jadi kedudukan istimewa akta pengakuan utang yang dalam pergaulan hukum dipersamakan dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap karena dibubuhinya irah-irah “demi keadilan berdasarkan ke- Tuhanan Yang

Maha Esa”, memberikan kedudukan akta

pengakuan utang mempunyai kekuatan eksekutorial sehingga dipersamakan dengan putusan pengadilan. Akta pengakuan utang tidak mempunyai arti sama sekali kalaui tidak diberikan

irah-irah “demi keadilan berdasarkan ke-

Tuhanan Yang Maha Esa” hal ini kembali

dipertegas dalam Pasal 55 ayat (2 dan 3) UU No.30 Tahun 2004 ditegaskan bahwa;

2) grosse akta pengakuan utang yang dibuat dihadapan notaris adalah salinan akta yang mempunyai kekuatan eksekutorial;

3) grosse akta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada bagian kepala

akta memuat frasa “demi keadilan

berdasarkan ke- Tuhanan Yang

Maha Esa” dan pada bagian akhir

atau penutup akta memuat frasa

“diberikan sebagai grosse

pertama”, dengan menyebutkan

nama orang yang memintanya dan untuk siapa grosse dikeluarkan serta tanggal pengeluarannya. Berdasarkan pasal tersebut semakin mempertegas kekuatan eksekutorial grosse akta pengakuan utang yang dipersamakan dengan putusan pengadilan walaupun tidak melalui proses hukum

13

Ahmad Fikri assegaf dan Elijana Tanzah,

(6)

gugatan pada badan peradilan. Grosse akta sebagai akta otentik yang oleh peraturan perundang-undangan diberikan kedudukan yang istimewa dalam rangka memberikan kemudahan bagi kreditur dalam melakukan pelunasan utang debitur yang wanprestasi. Namun demikian keberadaan grosse akta pengakuan utang yang mempunyai kekuatan eksekutorial dikritisi oleh Muhtar Kusuma Atmaja bahwa;

Perkembangan yang cenderung membuat perjanjian utang dalam bentuk grosse acta yang dimodifikasi dalam bentuk acknowledgment of indebtednees, telah mengesampingkan proses beracara melalui gugatan, dalam hal ini telah menyebabkan debitur kehilangan haknya untuk membela diri sesuai dengan yang diberikan undang-undang kepadanya14.

Lebih lanjut ditegaskan menyangkut keberadaan grosse akta pengakuan utang sebagai suatu akta yang mempunyai kedudukan istimewa dalam hukum jaminan tersebut beliau mengeaskan

bahwa, “berdasarkan sejarahnya, pasal

yang mengenai grosse akta tentang pengakuan utang, hanya berlaku untuk simple loan (utang sederhana dan ksecil), oleh karena itu kurang layak diterapkan

pada perjanjian kredit berskala besar”15

. Mengenai penegasan Muhtar Kusuma Atmaja di atas, penulis kurang sependapat, mengingat dalam hukum dagang para kreditur membutuhkan waktu singkat untuk mengembalikan modal terhadap debitur yang wanprestasi. Jika wanprestasinya telah benar-benar nyata. Sehingga sudah tepatlah Pasal 55 ayat (2) UU No.30 Tahun 2004, memberikan pengecualian dan keistimewaan terhadap akta pengakuan utang bagi kreditur. Mengingat jika semua wanprestasi yang dilakukan oleh debitur harus melalui proses pengadilan yang membutuhkan waktu lama, maka akan menghambat

14

Muhtar Kusumaatmaja, dalam M. Yahya Harahap (1), Op Cit, hlm. 607

15

Muhtar Kusumaatmaja, Ibid, hlm. 607.

pertumbuhan ekonomi khususnya perputaran modal usaha bagi pelaku usaha. Belum lagi adanya debitur yang berikat tidak baik yang dengan sengaja melakukan wanprestasi tanpa alas an pembenar16.

Wanprestasinya debitur dalam hukum perjanjian khususnya dalam perjanjian utang piutang pada lembaga perbankan sebagai kreditur yang menyalurkan dana bagi masyarakat yang membutuhkan perlu diperlindungi. Bentuk perlindungan yang paling tepat adalah sebagaimana diatur dalam pasal 55 UU Jabatan Notaris tersebut. Hal ini perlu mendapatkan dukungan dari semua pihak khususnya pelaksana hukum (lembaga peradilan), mengingat akta pengakuan utang merupakan pernyataan sepihak akan kesanggupan debiturnya sendiri. Sementara dalam hukum perdata khususnya hukum perjanjian kepada para pihak dalam melakukan perbuatan hukum diberikan kebebasan melakukan perbuatan-perbuatan hukum sesuai dengan kesepakatan yang dikehendaki, asal tidak melanggar hukum berlaku, melanggar kesusilaan dan ketertiban umum17. Sehingga keberadaan akta pengakuan utang yang dibuat secara sukarela oleh debitur tidak dapat dihalangi untuk dilaksanakan oleh kreditur. Apalagi keberadaan akta pengakuan utang sudah dikehendaki dan diatur oleh peraturan hukum yang berlaku.

Perlu pula dipertegas bahwa kedudukan akta pengakuan utang yang demikian istimewa karena kekuatan eksekutorialnya diberikan penegasan langsung oleh undang-undang. Sehingga keberadaanya tidak perlu diragukan lagi untuk memberikan jaminan kepada

16

Wanprestasi dilakukan dengan sengaja, bukan karena keadaan tidak mampu melaksanakan prestasi sebagaimana disanggupi tetapi memang disengaja tidak melaksanakan kewajibannya tanpa suatu alasan.

17

(7)

kreditur. Berbeda halnya dengan akta otentik yang lainnya walaupun kehadirannya dalam pergaulan hukum masyarakat sehari-hari (misalnya akta jual beli, sertifikat dan lain sebagainya) dikehendaki oleh hukum namun dibuat atas permintaan yang bersangkutan untuk kepentingan yang bersangkutan pula.

B. Pelaksanaan Eksekusi Benda

Jaminan Grosse Akta Pengakuan Utang

Kekuatan eksekutorial akta pengakuan utang yang dipersamakan dengan putusan pengadilan, maka dalam hal debiturnya secara nyata wanprestasi dapat dilakukan eksekusi. Pelaksanaan eksekusi terhadap benda jaminan sebagaimana disebutkan dalam akta pengakuan utang bilamana terjadi wanprestasi dari debitur tidak diperlukan proses hukum lebih lanjut seperti perkara pada umumnya. Sesuai dengan kedudukan istimewa akta pengakuan utang yang dipersamakan dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, maka jika debiturnya wanprestasi kreditur dapat memberikan peringatan dan bila masih tetap tidak melaksanakan prestasi sebagaimana disanggupi dapat dilakukan eksekusi. Bentuk pelaksanaan eksekusi terhadap benda/obyek jaminan sebagaiman disebutkan dalam akta pengakuan utang dengan meminta grossenya pada notaris yang membuatnya, kemudian terhadap barang yang dijadikan jaminan dalam grosse akta tersebut dilakukan penjualan secara lelang pada kantor lelang Negara.

Bentuk pelaksanaan eksekusi terhadap benda jaminan grosse akta pengakuan utang masih simpang siur atau masih silang pendapat sebab dikalangan praktisi perbankan dan notaris menyatakan bahwa terhadap eksekusi benda jaminan akta pengakuan utang tidak pelru lagi campur tangan pengadilan, namun dilain pihak pengadilan berpendapat bahwa terhadap benda jaminan yang dieksekusi harus mendapatkan fiat pengadilan. Dengan demikian para praktisi (kalangan notaris

dan perbankan) menghendaki bahwa terhadap benda jaminan akta pengakuan utang dapat dilakukan parate eksekusi. Sebenarnya mengenai parate eksekusi mengenai benda jaminan akta pengakuan utang tidak ada satu pasalpun yang secara pasti menjelaskannya. Namun para praktisi perbankan yang berkepentingan dalam kedudukannya sebagai kreditur menghendaki pengembalian atau pelunasan utang debitur dengan cepat. Cara pelunasan yang paling cepat adalah dengan melaksanakan parate eksekusi terhadap benda jaminan debitur. Dasar pandangan praktisi perbankan melakukan eksekusi dengan cara parate eksekusi adalam Pasal 1178 Jo. Pasal 1211 KUH Perdata;

Pasal 1178 KUH Perdata ditegaskan;

3. Segala jani dengan mana siberpiutang dikuasakan memiliki benda yang diberikan dalam hipotik, adalah batal;

4. Namun diperkenankanlah kepada siberpiutang hipotik pertama untuk pada waktu diberikannya hipotik dengan tegas diperjanjikan bahwa jika uang pokok tidak dilunasi semestinya atau jika bunga yang terutang tidak dibayar, ia secara mutlak akan dikuasakan menjual persil yang diperikatkan dimuka umum, untuk mengambil pokok, maupun bunga serta biaya, dari pendapatan penjualan itu. Janji tersebut dilakukan menurut cara sebagaimana diatur dalam Pasal 1211.

Pasal 1211 KUH Perdata ditegaskan;

(8)

selanjutnya adalah perlu bahwa orang-orang berpiutang yang telah dibukukan diberitahukan tentang hal itu paling sedikit tiga puluh hari sebelumnya benda yang bersangkutan ditunjuk kepada sipembeli dengan suatu surat juru sita yang harus diberitahukan kepada kota-kota kediaman yang telah dipilih oleh orang-orang yang berpiutang pada waktu

dilakukan pembukuan”.

Berdasarkan bunyi pasal tersebut praktisi perbankan menafsirkan bahwa pemegang akta pengakuan utang dapat melakukan parate eksekusi terhadap benda jaminan manakala debiturnya wanprestasi. Namun dilain pihak lembaga peradilan berpendapat lain, bahwa titel eksekutorial grosse akta pengakuan utang tidak dapat dilakukan parate eksekusi dengan berpedoman pada Pasal 1211 KUH Perdata. Titel eksekutorial grosse akta pengakuan utang dapat dilakukan dengan berpedoman pada pasal 224 HIR/285 Rbg. Campur tangan lembaga peradilan terhadap pelaksanaan eksekusi benda jaminan grosse akta pengakuan utang dapat dilihat dalam putusan Mahkamah Agung RI No.3210 K/Pdt/1984 tanggal 30 Januari 1986 dalam perkara PT. Golden City Textile Industri Ltd vs Kantor Lelang Bandung cs., yang telah membatalkan putusan PT. Bandung dengan alasan:

a. Berdasarkan Pasal 224 HIR, pelaksanaan pelelangan sebagai akibat adanya grosse akta hipotik

dengan memakain kepala “Demi

Keadilan berdasarkan ke- Tuhanan

Yang Maha Esa” yang mempunyai

kekuatan hukum yang sama dengan putusan pengadilan, seharusnya dilaksanakan atas perintah dan pimpinan ketua pengadilan bilamana ternyata tidak terdapat perdamaian; b. Ternyata dalam perkara ini

pelaksanaan pelelangan tidak atas perintah ketua pengadilan negeri, tetapi dilaksanakan sendiri oleh

kepala kantor lelang Negara Bandung atas perintah tergugat asal I (Bank-Kreditur). Oleh karenanya maka lelang umum tersebut adalah bertentangan dengan Pasal 224 HIR sehingga pelelangan tersebut adalah tidak sah18.

Putusan MARI tersebut didukung oleh Buku II Peoman Mahkamah Agung RI yang mengharuskan adanya fiat eksekusi dari pengadilan negeri19.

Berdasarkan putusan Mahkamah Agung dan Buku II Pedoman Mahkamah Agung tersebut, telah membuktikan bahwa pelaksanaan eksekusi suatu benda jaminan grosse akta pengakuan utang harus mendapatkan fiat eksekusi dari Ketua pengadilan Negeri setempat.

Konsekwensi hukum terhadap eksekusi benda jaminan grosse akta pengakuan utang yang dilakukan dengan cara parate eksekusi dianggap suatu eksekusi yang tidak sah menurut hukum. Mengenai diwajibkannya pelaksanaan eksekusi benda jaminan grosse akta pengakuan utang mendapatkan fiat pengadilan negeri setempat M Yahya Harahap menegaskan bahwa :

Akan tetapi pelaksanaan eigenmachtige verkoop yang diberikan Pasal 1178 KUH Perdata tersebut, telah dilumpuhkan putusan Mahkamah Agung No.320 K/Pdt/1980 tanggal 20 Mei 1984. Putusan ini tidak membenarkan pelaksanaan executoriale verkoop berdasarkan klausul executoriale verkoop dilakukan sendiri oeh kreditor tanpa melalui PN, atas alasan :

a. Setiap penjualan lelang (executorial verkoop) berdasarkan Pasal 224 HIR,

18

Mura P Hutagalung, Eksekusi Hipotik dan Kepastian Hukumnya, Majalah Huku dan Pembangunan, EdisiDesember, 1990, Jakarta, hlm. 562.

19

(9)

mesti melalui campur tangan pengadilan;

b. Penjualan lelang tidak sah, jika langsung dilakukan jawatan lelang; c. Sebab yang dimaksud jawatan

umum pada Pasal 1211 KUH Perdata adalah pengadilan, bukan jawatan lelang20.

Pandangan di atas dapat disetujui mengingat tujuan diadakannya akta pengakuan utang yang diberikan kedudukan istimewa sebagai terjadinya utang piutang antara debitur dan kreditur sekaligus memberikan jaminan dan perlindungan hukum bagi kreditur dalam pengembalian utang debitur yang wanprestasi. Sehingga dengan adanya campur tangan dari pengadilan dalam pelaksanaan eksekusi terhadap benda jaminan grosse akta pengakuan utang sedikit banyak akan menghambat perlindungan hukum bagi kreditur dari tindakan debitur yang wanprestasi.

Adanya hambatan akibat intervensi pengadilan dalam pelaksanaan eksekusi benda jaminan grosse akta pengakuan utang, berakibat terhadap menurunnya kepercayaan kreditur terhadap keberadaan akta pengakuan utang sebagai alat bukti adanya utang debitur kepada kreditur. Sehingga putusan Mahkamah Agung No 3210 K/Pdt/1980 tanggal 20 Mei 1984 dan Buku II Pedoman Mahkamah Agung RI telah melemahkan keberadaan Pasal 55 UU No. 30 Tahun 2004 tersebut. Harusnya keberadaan akta pengakuan utang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 55 dalam UUJN tersebut, harus didukung bukannya dilemahkan sebagaimana telah disebutkan dalam Buku II Pedoman Mahmakah Agung. Pelemahan keberadaan akta pengakuan utang sebagai bentuk jaminan dan sekaligus bukti adanya sejumlah uang debitur, maka akta pengakuan utang sudah tidak mempunyai arti lagi dalam hukum jaminan.

20

M. Yahya Harahap-2, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm.196.

Proses persetujuan pengadilan dalam hal pelaksanaan eksekusi benda jaminan grosse akta pengakuan utang, selain memerlukan proses dan procedural yang formalitas juga tidak menutup kemungkinan permohonan persetujuan eksekusinya ditolak pengadilan. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Ahmad Fikri Assegaf dan Elijana Tanzah, bahwa : Dalam praktik, sering kali permohonan eksekusi grosse akte pengakuan utang meskipun grosse akte tersebut telah memakai irah-irah

“Demi Keadilan Berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa” dan pada

bagian penutup terdapat kata-kata

“diberikan sebagai grosse akte

dikeluarkan) serta tanggal pengeluarannya, ditolak oleh ketua pengadilan yang berwenang berdasarkan berbagai alasan, antara lain :

a. Isinya tidak merupakan pengakuan utang sepihak;

b. Jumlahnya tidak pasti karena dalam akte pengakuan utang tersebut ditentukan bunga dan/atau denda;

c. Berdasarkan keberatan secara tertulis dari debitur terhadap eksekusi grosse akte dengan alasan :

 Bahwa jumlahnya tidak pasti karena dari jumlah yang tertera pada grosse akte pengakuan utang sebagian telah dibayar dengan menunjukkan kuitansi tanda terima pembayaran dari kreditur pemohon eksekusi;

(10)

dan lain-lain yang menimbulkan kewajiban pada debitur untuk membayar sejumlah uang tertentu sehingga menurut ketua pengadilan yang menangani permohonan eksekusi tersebut, grosse akte tersebut tidak memenuhi syarat materiil untuk dikabulkan karena isinya bukan pengakuan utang murni/sepihak21. Berdasarkan pendapat diatas, ternyata alasan pengadilan menolak memberikan persetujuan pelaksanaan eksekusi, sebenarnya tidak rasional menurut hukum. Mengingat dalam perjanjian utang piutang dengan suatu jaminan tertentu sebenarnya mempunyai sifat hak kebendaan yang droit de prefence. Artinya jumlah utang pokok beserta bunga dengan segala sesuatunya yang disepakati sepanjang masih sesuai dengan kebijakan berlaku merupakan satu kesatuan yang tidak terpecah-pecah dengan adanya suatu pembayaran (cicilan) setiap bulannya. Jumlah utang dengan segala sesuatunya plus pembayaran angsuran bulanan tidak membuat jumlah utang debitur tidak pasti sebagaimana alasan pengadilan menolak persetujuan pelaksanaan eksekusi obyek jaminan grosse akta pengakuan utang. Sehingga alasan pengadilan dalam pemberian persetujuan eksekusi sangat mengada-ada dan politis sifatnya. Dengan alasan jumlah utang debitur tidak pasti karena ada telah terjadi pembayaran angsuran tidak membuat jumlah utang debitur tidak pasti, sebab dalam hukum jaminan (baik hak tangungan, gadai, fidusia, dan hipotik) sifat utang tidak terbagi-bagi dengan pembayaran suatu angsuran.

Namun dengan terjadinya penolakan persetujuan dari pengadilan untuk pelaksanaan eksekusi grosse akta

21

Ahmad Fikri Assegaf dan Elijana Tanzah, Op Cit, hlm. 4.

sebagaimana dikemukakan diatas, maka sudah makin nyata kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh akta pengakuan utang sebagai bukti jaminan dan adanya utang piutang. Kondisi tersebut sudah tidak dapat memberikan jaminan kepastian hukum kepada pemegang akta pengakuan utang, akibat adanya campur tangan pengadilan dalam pelaksanaan eksekusinya. Apalagi dalam hal campur tangan pengadilan dalam pelaksanaan eksekusi benda jaminan grosse akta pengakuan utang seakan-akan pengadilan mempunyai kewenangan menilai keabsahan dari suatu akta pengakuan utang. Kalaupun eksekusi grosse akta pengakuan utang harus mendapatkan persetujuan pengadilan, maka tidak perlu lagi pengadilan melakukan penilaian sah tidaknya keberadaan suatu akta pengakuan utang sebagai bukti otentik terjadinya utang piutang.

Tidak perlunya turut campur pengadilan dalam pelaksanaan eksekusi grosse akta pengakuan utang, karena akta pengakuan utang merupakan pernyataan sepihak dari debitur yang diotentikkan. Sehingga keberadaan akta pengakuan utang harus dianggap benar dan sah, serta tidak dapat dibantah debitur sebagai pembuat akta tersebut. Kehadiran akta pengakuan utang sebagai bukti utang debitur dalam hukum jaminan merupakan kehendak pribadi yang disahkan oleh peraturan perundang-undangan, dengan demikian kedudukannya dalam hukum pembuktian adalah sempurna.

III. PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Kekuatan eksekutorial yang dimiliki oleh akta pengakuan utang sebagai akta otentik terletak pada adanya irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan

(11)

manakala debitur wanprestasi, maka kreditur dapat meminta minuta akta pengakuan utang pada notaris untuk dilakukan lelang terhadap benda yang dijadikan jaminan utang guna peluansan utang debitur.

2. Prosedur eksekusi akta pengakuan utang sebagai suatu akta otentik sangatlah sederhana, karena memang tujuan diadakannya oleh peraturan perundang-undangan untk memudahkan kreditur mengambil pelunasan piutangnya terhadap debitur yang melakukan wanprestasi. Hanya memohon grosse akta pengakuan utang pada notaris yang membuatnya sebagai bukti adanya utang debitur dan memohon kantor lelang Negara untuk melakukan pelelangan terhadap benda-benda (barang) yang secara khusus disebutkan dalam grosse akta tersebut untk mengambil pelunasan piutangnya. Namun dalam perjalanannya kedudukan grosse akta terusik dengan adanya Buku II pedoman Mahkmah Agung RI untuk pelaksanaan eksekusinya harus dengan seisin pengadilan negeri setempat.

B. Saran

1. Terhadap kekuatan eksekutorial akta pengakuan utang yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan harus tetap dipertahankan, sehingga dapat memberikan rasa aman kepada debitur pada saat uang telah

diterima. Perlunya

mempertahankan kekuatan eksekutorial akta pengakuan utang karena tujuan undang-undangan menghadirkan akta otentik tersebut dalam pergaulan hukum masyarakat untuk memberikan kemudahan kepada kreditur dalam pelunasan piutangnya.

(12)

DAFTAR PUSTAKA

A.Buku-buku

Ahmad Fikri assegaf dan Elijana Tanzah, Penjelasan Hukum Tentang Grosse Akta, Nasional Legal Reform Program (LLRP), Jakarta, 2011.

Habib Adjie, Meneropong Khasanah Notaris dan PAT Indonesia (Kumpulan Tulisan tentang Notaris dan PPAT), Citra Aditya, Bandung, 2009.

---, Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik terhadap UU No.30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung, 2008.

Herowati Poesoko, Parate Eksekusi Obyek Hak Tanggungan, Inkonsistensi, Komplik Norma dan Kesesatan Penalaran Dalam UUHT, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2008.

M. Yahya Harahap (1), Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.

--- (2), Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986.

Mura P. Hutagalung, Eksekusi Hipotik dan Kepastian Hukumnya, Majalah hukum dan Pembangunan, Edisi Desember, Jakarta, 1990.

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan Di Indonesia, Pokok-pokok Hukum Jaminan Dan Jaminan Perorangan, Liberty Offset Yogyakarta, 2001.

Sudikno Mertekusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Lieberty, Yogyakarta, 1998

B.PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian Bahwa perkara perdata dalam putusan No.18/pdt.G/2011/PN Parigi tidak lain merupakan berpangkalmpada adanya sengketa utang piutang antara penggugat

Kekuatan pembuktian akta di bawah tangan sebagai alat bukti dalam proses persidangan di pengadilan yang dihubungkan dengan wewenang notaris dalam

Perbedaan Akta Utang Piutang dengan Akta Pengakuan Utang adalah Akta Utang Piutang dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak di hadapan Notaris yang merupakan