• Tidak ada hasil yang ditemukan

FORDA - Jurnal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "FORDA - Jurnal"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

SEBAGAI SUATU UPAYA MENGATASI RISIKO DALAM REDD

Community-based Fire Management as an Effort to Solve the REDD Risk

Acep Akbar

Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru

Jl. Sei Ulin No.28 B. Banjarbaru 70714, Telp. (0511) 4772085, Facs. (0511) 4773222 Kalimantan Selatan

Naskah masuk : 3 Juni 2008 ; Naskah keluar Oktober 2008

ABSTRACT

Currently, most of forest fires phenomena occur outside state forest. Fires usually come from small scale shifting cultivation, abandoned land and grass burning of animal husbandry area in the vicinity of villages. To overcome this fire issue, in every village should be established local fire brigade for implementation of prevention and early control. Considering the successful achievement of current community fire care groups such as local Fire Countrol Brigade (RPK), Community Based Fire Groups (PKBM), and Fire Countrol Team (TSA) in Sumatera and Kalimantan, development af such community based fire group in high fire risk provinces of Indonesia is encouraged. Its the fires produce Co2 that lead to global warming. Establishment of such CBF groups will have potency to reduce GHG emission.

Keyword : PKHBM, REDD, forest fire

ABSTRAK

Saat ini peristiwa kebakaran lahan sebagian besar berada di luar kawasan hutan. Api biasanya berasal dari perladangan berskala kecil dalam jumlah banyak, lahan tidur dan peremajaan rumput pakan ternak di sekitar perkampungan. Untuk mengatasi kondisi kebakaran seperti tersebut diatas maka di setiap desa hendaknya dibentuk regu-regu Pengendali Kebakaran desa sehingga implementasi upaya pemadaman dini dan pencegahan kebakaran dapat diterapkan. Kebakaran hutan dan lahan selama ini telah memproduksi gas karbon dioksida(CO ) di atmosfer, sehingga terjadi efek rumah kaca yang salah satunya 2

adalah terjadinya pemanasan global. Upaya mitigasi emisi di Negara-negara berkembang seperti Indonesia diistilahkan dengan REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation). Melihat keberhasilan organisasi-organisasi masyarakat peduli api seperti RPK, PKBM, PAK, dan TSA di desa selama ini, maka pengembangan eksistensi organisasi kebakaran hutan dan lahan tersebut menuju wilayah-wilayah propinsi rawan kebakaran disarankan.

(2)

I. PENDAHULUAN

Hasil pemantauan citra satelit NOAA-AVHRR (National Oceanic Atmospheric Administration-Advanced Very High Resolution Radiometer) menunjukkan bahwa kejadian kebakaran lahan berdasarkan data hotspot sebagian besar berada di luar kawasan hutan. Jika pada tahun 2002 hingga tahun 2005, luasan lahan terbakar 60-70% berada di luar kawasan hutan, maka pada tahun 2006 terjadi peningkatan menjadi 76% kebakaran terjadi diluar kawasan hutan. Kebakaran tersebut telah memusnahkan berbagai tanaman milik masyarakat, mengganggu transportasi dan perekonomian masyarakat dan meningkatkan penderita penyakit ISPA akibat asap.

Fenomena kebakaran hutan telah terbukti sangat berhubungan dengan kesengajaan pembakaran lahan untuk berladang, peremajaan rumput pakan ternak, pembakaran lahan tidur untuk tujuan kepemilikan di lahan rawa gambut dan kegemaran bermain dengan api (fire maniac) (Akbar, 2004; Saharjo, 2006; Usup, 2006). Umumnya titik panas (hotspot) berada pada zona-zona pemanfaatan intensif lahan untuk pertanian dan perladangan khususnya di luar Jawa. Kini kejadian kebakaran sebagian besar terjadi pada lahan-lahan masyarakat dan bukan lagi di kawasan hutan. Demikian luasnya lahan-lahan tidur yang dimiliki oleh para Pengusaha dan Kelompok Masyarakat Mampu lainnya yang tidak digarap, telah menjadikan tempat tersebut sebagai muara dari api-api liar yang berasal dari pembakaran ladang dan peremajaan rumput. Pada kejadian kebakaran yang luas, api juga sering bermula dari kebiasaan membakar lahan tidur di areal rawa gambut. Lahan-lahan tidur tersebut jika terbakar akan menghasilkan kabut asap tebal mencemari lingkungan. Lahan-lahan tidur tanpa penghuni sering dianggap kawasan hutan oleh masyarakat awam, padahal jika lahan tersebut akan dijadikan tempat pembangunan rumah, perkantoran atau bangunan lainnya oleh pemerintah, Pemilik lahan akan keluar dari persembunyiannya dan akan menuntut ganti rugi lahan yang akan digunakan tersebut. Jika melihat contoh kasus di Kalimantan Selatan dan Tengah, setiap tahun lahan-lahan tidur tersebut utamanya di lahan rawa gambut kiri kanan jalan raya Trans Kalimantan dibakar dengan tujuan agar tidak menjadi hutan dan menunjukkan kepemilikan jika ada pembeli. Selama kebiasaan buruk ini masih dipelihara di masyarakat maka sesungguhnya peristiwa kebakaran tidak akan berakhir. Di sisi lain tidak siaganya perusahaan-perusahaan perkebunan besar dalam mematikan api dini dari api liar yang masuk, telah meningkatkan luas areal terbakar, terlebih lagi jika bahan bakar potensial bawah tanaman perkebunan sangat rapat akibat tidak dipelihara.

Akibat dari kebakaran lahan dan hutan telah terjadi pelepasan senyawa karbon ke udara. Dengan meningkatnya senyawa karbon (CO2) sebagai gas rumah kaca, maka efek rumah kaca pun meningkat. Efek terpenting yang sangat tidak diharapkan dalam kehidupan makhluk di dunia adalah terjadinya peningkatan pemanasan bumi secara global (global warming) pada lapisan biosfer. Meningkatnya emisi gas-gas rumah kaca ternyata terjadi juga di Negara-negara berkembang termasuk Indonesia sehingga perlu ada upaya penurunan emisi. Upaya penurunan emisi karbon di negara-negara berkembang akibat kebakaran hutan, deforestasi dan degradasi selama ini disebut REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) (Emil Salim, 2007; Masripatin, 2007). Isu-isu perubahan iklim dan upaya-upaya mitigasi emisi gas rumah kaca menjadi agenda Sidang UNFCCC (United Nation Framework Convension on Climate Change) yang diselenggarakan di Bali pada bulan Desember 2007.

(3)

mengatasi Risiko dalam REDD

Acep Akbar

II. METODOLOGI

Metode yang dipakai dalam kajian ini adalah kombinasi dari berbagai pendekatan untuk mendapatkan informasi tentang kondisi yang sebenarnya dari upaya-upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan berbasis masyarakat untuk mengatasi risiko dalam REDD. Beberapa teknik prosedural yang dipergunakan secara umum adalah melakukan eksplorasi baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan melakukan wawancara, studi referensi, penelaahan secara bertahap, klasifikasi dan tabulasi data, penjaringan informasi serta pendapat dari diskusi dengan narasumber dan perolehan informasi dari dokumen lain yang dapat dipercaya dalam menunjang informasi yang berhubungan dengan kebakaran hutan dan lahan.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Potret Kebakaran di Masa Lalu

Peristiwa kebakaran hutan dalam skala luas awalnya terjadi pada tahun 1982/1983 yang telah memusnahkan 2,4 - 3,6 juta ha hutan dan lahan di Kalimantan Timur. Api umumnya berasal dari areal-areal perladangan dalam skala kecil (0,5 - 2 ha) yang didukung oleh Gejala alam El-Nino. Akibat dari kebakaran tersebut, terdapat api permukaan yang masuk ke dalam lapisan batubara yang berada di bawah permukaan tanah. Hingga kini api bawah permukaan tersebut menyala terus baik saat musim kemarau maupun hujan. Setelah itu kebakaran hutan terjadi terus dan meluas ke daerah lain dengan interval waktu tahun 1987, 1991, 1994, 1997/1998 dan 2000 (Saharjo, 2004; Wibowo, 2003). Pada tahun 1997/1998 kebakaran lebih didukung juga oleh datangnya gejala alam El-Nino yang mempengaruhi arus laut di Samudera Pasifik yang telah berdampak pada kekeringan panjang di wilayah Asia Tenggara. Kekeringan inilah yang telah menyebabkan kebakaran hutan di berbagai wilayah di Indonesia. Pada tahun 2002, peristiwa kebakaran hutan kembali mencuat khususnya di Kalimantan. Kebakaran ini diikuti dengan asap tebal yang telah melumpuhkan berbagai aktifitas perekonomian dan sosial yaitu aktifitas penerbangan, transportasi darat dan sungai, kegiatan sekolah dan aktifitas sosial lainnya (Tampubolon, 2002). Di bidang kesehatan, kebakaran tahun 2002 telah menyebabkan 2800 orang mengalami infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di Kalimantan Tengah (Kompas, 11,13, 21 September 2002). Terakhir tahun 2006, kebakaran lahan dan hutan terjadi lagi dengan intensitas yang cukup besar. Peritiwa kebakaran tahun 2006 meluas ke provinsi-provinsi yang sebelumnya bukan unggulan penghasil hotspot yaitu Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan. Demikian hebatnya kebakaran tahun 2006, sampai-sampai Indonesia terpaksa menyewa pesawat pemadam Rusia BE.200 dengan harga Rp. 50 Milyar untuk waktu kurang lebih 45 hari saja. Sebenarnya keberhasilan aksi pesawat tersebut sangat rendah, namun akibat telah datangnya musim penghujan, maka seolah-olah cara ini dianggap berhasil.

(4)

Data pada Gambar 2 menunjukkan bahwa ada 8 propinsi unggulan penghasil hotspot di Indonesia dalam 10 tahun terakhir. Walaupun tidak persis bahwa titik panas (hotspot) yang ditunjukkan oleh hasil citra satelit NOAA-AVHR merupakan kejadian kebakaran, namun ternyata luas kejadian kebakaran umumnya paralel dengan jumlah hotspot yang terdeteksi, bahkan pada periode tertentu areal terbakar lahan dan hutan lebih luas daripada jumlah hotspot yang terdeteksi (WWF, 2007). Mungkin saja tidak semua kejadian kebakaran terdeteksi oleh satelit.

Pada kejadian kebakaran yang luas dan intensitas api besar, peralatan canggih serta regu pemadam trampil tidak menjamin mampu mematikan api kebakaran. Biasanya api padam hanya karena bahan bakarnya habis. Pada kejadian kebakaran luas di lahan gambut penyebab matinya api adalah turunnya hujan 2 minggu yang hampir berturut-turut. Api-api kebakaran yang terlanjur besar tersebut biasanya jauh dari akses jalan raya atau jalan lain yang dapat dimasuki kendaraan roda empat. Api yang sering muncul ketika masih kecil biasanya berada di areal-areal perladangan, lahan tidur di sekitar pemukiman dan akses-akses jalan desa. Berdasarkan fakta di lapangan, pada dasarnya Tim Pemadam Kebakaran hanya mampu mematikan api ketika masih kecil hingga sedang (tinggi api hingga 3 meter) di areal yang masih dapat dijangkau kendaraan roda 4 (menggunakan kendaraan pemadam unit pick-up) pada radius 100-200 meter. Untuk areal lebih jauh dari 200 meter, umumnya harus ditempuh berjalan kaki dengan menggunakan alat-alat pemadam sederhana seperti kepyok/swater pemukul api dan semprot punggung pemadam, yang diikuti dengan bak air portable (Akbar, 1995)

Gambar (Figure) 1. Persentase jumlah titik panas (hot spot) dalam hutan dan lahan di Indonesia (Hotspot in and outside forest land in Indonesia)

Sumber/Source : Tampubolon (2002), Wibowo (2003), Saharjo (2004) setelah dimodifikasi/after modified

0 10 20 30 40 50 60 70 80

(%)

2002 2005 2006

Tahun/Year

Dalam Kawasan Hutan Luar Kawasan Hutan inside forest area

(5)

Acep Akbar

Jumlah Emisi CO2 (CO2 emissions) No. Lokasi Propinsi

(Province)

Kebakaran Tajuk (crown fire) (gram CO2 / m2

Kebakaran

Permukaan (ground fire) (gram CO2/m2

Kebakaran Bawah (underground fir e) (gram CO2/m2

1. Riau 631,08 2246,96 529,59

2. Sumatera Selatan 539,19 1895,53 599,64

Gambar (Figure) 2. Jumlah hotspot panas dari tahun 1997s/d 2006 berdasarkan provinsi di Indonesia (Number of hotspot 1997/2006 in several province in Indonesia)

Sumber/Source : WWF Indonesia

B. Kontribusi Emisi Karbon di Udara dari Kebakaran

Penelitian di beberapa daerah telah menggambarkan adanya kuantitas dampak kebakaran terhadap emisi karbon di udara. Kebakaran tahun 1998 yang didukung El-Nino tahun 1997/1998 telah merugikan negara sebesar 10,066 triliun rupiah setelah lahannya terbakar seluas 507.239,5 Ha. Kebakaran hutan yang luas yang terjadi pada tahun 1997 telah melepaskan karbon dioksida (CO ) ke udara sebesar 0,81-2,57 Gt 2

dimana sebagian besar berasal dari lahan gambut (Page, 2002). Sementara itu, pendugaan emisi yang dilakukan di lahan gambut Taman Nasional Berbak, Sumatera menyebutkan bahwa di areal tersebut telah teremisi karbon sebesar 7 juta ton (Murdiyarso et al., 2002). Estimasi emisi karbon dioksida (CO ) berdasarkan 2

pendekatan model pembentukan biomassa oleh tanaman hutan dalam satu tahun dengan menggunakan perangkat program komputasi visual Fox Pro menunjukkan adanya jumlah emisi karbon yang dihasilkan dari kebakaran hutan dan lahan di Riau dan Sumatera Selatan sebagaimana ditampilkan pada Tabel 1 (Slamet L. dan Haryanto, 2006). Pembentukan biomassa tersebut menggunakan persamaan Ochi et al. (1997).

Tabel (Table) 1. Jumlah emisi karbon dioksida (CO2) akibat kebakaran di dua provinsi di Indonesia (Carbon emission in two provinces of Indonesia)

(6)

Pada bagian lain terdapat pendugaan kandungan karbon hutan tropis yaitu sebesar 220 ton karbon/hektar dan saat terjadi kebakaran semuanya lepas ke atmosfer (Waring &Schlesinger, 1985 dalam Schroeder et al., 1993). Karbon (CO2) yang teremisi merupakan hasil proses pembakaran dalam kebakaran hutan atau reaksi kimia dari bahan bakar alami seperti serasah, tumbuhan bawah, daun, ranting dan kayu dengan oksigen, sehingga memproduksi karbon dioksida, air dan panas. Reaksi kimia ini merupakan kebalikan dari proses fotosintesis yang digambarkan sebagai berikut (Luke dan Mc. Arthur, 1978).

C H O (Selulosa) + 6 O 6 10 5 2 6 CO + 5H O + Panas2 2

C. Hambatan Aktual Pengendalian Kebakaran yang Sering Dialami

Pada umumnya kebakaran diketahui setelah api menyebar secara luas. Pada kondisi tersebut upaya pemadaman sulit dilakukan. Daya jangkau selang pada umumnya antara 100-200 meter saja. Untuk lokasi kebakaran yang jauh dari badan jalan, penggunaan alat pompa statis bertekanan tinggi tidak lagi efektif, demikian pula dengan kendaraan pemadam slip-on tank yang tidak bisa memasuki lokasi kebakaran. Akibatnya kebakaran tidak dapat dimatikan. Lokasi kebakaran tersebut sebagian besar terjadi di lahan-lahan tidur milik masyarakat baik di lahan gambut maupun lahan kering. Dengan demikian pada saat api kecil hanya masyarakat di tataran kampung dan desa yang mengetahui dari mana api berasal.

(7)

Acep Akbar

Padahal masyarakat desa sekitar hutan dan lahan paling mengetahui lebih awal adanya kejadian kebakaran ketika intensitasnya masih kecil. (13) Sarana dan prasarana serta pendanaan masih sangat terbatas terutama tidak ada kebijakan Pemda setempat untuk membangun bak-bak penampungan air buatan pada areal-areal rawan kebakaran guna melakukan pemadaman api lahan dan hutan di saat musim kering/kemarau.

D. Prospek Keberhasilan Pengendalian Kebakaran Berbasis Masyarakat

1. Prospek

Dengan berulangnya peristiwa kebakaran di beberapa wilayah propinsi unggulan, dari pihak masyarakat pemerhati lingkungan dan masyarakat peduli api telah timbul inovasi-inovasi baru tentang pengendalian kebakaran lahan dan hutan. Pemikiran baru tersebut adalah bahwa kebakaran lahan harus ditangani oleh masyarakat yang berdekatan dengan kejadian api awal. Api yang selama ini timbul adalah berasal dari api kecil yang disulut manusia pengguna api di lahan. Sedangkan lahan yang telah terbukti mengalami pembakaran setiap tahun adalah lahan-lahan pertanian dan perladangan. Mungkin sebagian kecil saja adanya kebakaran akibat kelalaian buang puntung rokok, akibat asap mesin alat berat dan penyebab kelalaian lainnya. Demikian pula adanya kebakaran akibat gesekan alami, halilintar dan batubara sangat sulit dibuktikan di daerah tropis (Akbar, 1995).

Dengan dasar api awal dari luasan-luasan kecil di desa-desa maka upaya pemberdayaan masyarakat desa bahkan kampung menjadi penentu keberhasilan pencegahan terjadinya kebakaran. Pertimbangan lain yang mendasari perlunya pengendalian kebakaran berbasis masyarakat desa adalah sebagai berikut (Marbyanto, 2004) :

1. Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia umumnya disebabkan oleh faktor manusia. Oleh karenanya peran serta masyarakat dalam pencegahan kebakaran akan mengurangi munculnya kebakaran hutan dan lahan. 2. Kelompok yang paling dirugikan oleh adanya kebakaran hutan dan lahan umumnya adalah masyarakat

yang tinggal di lokasi kebakaran. Oleh karenanya sudah sewajarnya bila mereka terlibat secara aktif dalam upaya pengelolaan kebakaran hutan dan lahan

3. Masyarakat mempunyai potensi sumberdaya (tenaga, natura/barang) yang sangat besar untuk menunjang kegiatan pengelolaan kebakaran sebagai pelengkap dari sumberdaya Pemerintah yang masih terbatas. 4. Masyarakat biasanya banyak berdomisili di daerah-daerah yang berdekatan dengan areal rawan kebakaran

sehingga mereka sangat fotensial untuk melakukan serangan dini (initial attack) dalam pengendalian kebakaran. Initial attack tersebut sangat penting untuk mencegah terjadinya kebakaran besar dan luas. 5. Masyarakat di Kalimantan dan Sumatera mempunyai budaya menggunakan api untuk membuka lahan

pertaniannya sehingga untuk menerapkan zero burning (tanpa pembakaran) masih sangat sulit. Suatu kompromi yang paling mungkin saat ini adalah ”bagaimana melakukan pengelolaan api” agar api yang dibuat tidak berdampak negatif yang besar pada lingkungan.

Jika dilihat dari jumlah desa pada wilayah-wilayah provinsi unggulan dalam kejadian kebakaran lahan dan hutan berdasarkan data administrasi pemerintahan desa di Indonesia, maka secara kasar dapat diprediksi jumlah penurunan emisi karbon saat musim kebakaran. Jika masyarakat desa sekitar lahan dan hutan dapat mencegah kebakaran, maka reduksi emisi karbon dapat diketahui dengan beberapa asumsi berikut : (1) jumlah simpanan karbon hutan adalah 32,2 ton karbon/ha, (2) Luas hutan desa dianggap 60% dari luas desa, (3) Pada saat seharusnya hutan terbakar tetapi dengan Sistem Pengendalian Berbasis Masyarakat kebakaran dapat dicegah (4) hitungan di lahan gambut , maka jumlah prediksi karbon yang tidak jadi teremisi ke atmosfer adalah 382,86 juta ton (Tabel 2).

(8)

Tabel (Table) 2. Kisaran potensi pengurangan emisi karbon ke atmosfer apabila desa-desa di propinsi unggulan kebakaran dapat mencegah terjadinya kebakaran hutan (Potency of carbon emission reduction to atmosphere if villages in priontized provices can prevent forest fires)

Asumsi-asumsi/assumption

Jumlah emisi yang dapat diturunkan jika tidak terjadi kebakaran hutan 382,86

Sumber (Source) : Jumlah dan rata-rata luasan desa diambil Data Administrasi Pemerintahan tahun 2003 (www.wikipedia.org) retrieved November 2007

2. Capaian keberhasilan

Beberapa desa yang telah teridentifikasi mencapai keberhasilan didalam mencegah dan mengendalikan kebakaran lahan dan hutan di wilayah desanya, disajikan dalam Tabel 2. Organisasi-organisasi Pengendali Kebakaran Desa yang telah terbentuk ternyata berawal dari dua cara. Pertama, di masyarakat desa telah terbentuk suatu organisasi bersifat kearifan lokal pengendalian kebakaran yang telah menjadi kebiasaan turun temurun. Sekanjutnya ada fasilitasi dari pihak Pemda setempat atau Lembaga lain yang tertarik dengan masalah kebakaran hutan dan lahan. Kedua, di masyarakat desa belum terbentuk suatu organisasi tradisional tetapi minat untuk berorganisasi sangat tinggi. Selanjutnya pihak Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) baik yang bersifat Nasional maupun internasional memfasilitasi pembentukan Regu Pengendali Kebakaran (RPK) desa. Dari kedua mekanisme terbentuknya Masyarakat Peduli Api di tataran desa ternyata telah menghasilkan kondisi masyarakat desa yang berdisiplin dalam mengendalikan api lahan dan memiliki jiwa korsa untuk mempertahankan desanya dari kebakaran. Salah satu pemicu timbulnya jiwa berorganisasi umumnya adanya fasilitasi pakaian seragam, pelatihan pengendalian kebakaran, pemberian alat pemadam dan dana pendampingan.

(9)

Acep Akbar

Tabel (Table) 2. Desa-desa yang telah berhasil menerapkan pola pengendalian kebakaran berbasis masyarakat (Villages that applied the pattern of community Base Fire Management successfully)

No. Nama 2. Ujoh Halang Kab. Kutai Barat PKBM, adanya kearifan lokal

tidak terjadi kebakaran

Adanya peraturan desa tentang kebakaran 3. Mawangi Loksado, HSS Kalsel MPA Desa, memiliki kearifan

lokal. Organisasi tumbuh 4. Loksado Loksado, HSS, Kalsel MPA Desa, memiliki kearifan

lokal. Organisasi tumbuh

Sumber (Source): Marbyanto E. (2004); Apriyanto D. (2004); Akbar A. (2004), Setijono D. (2003); Akbar A. (2007). Setelah dimodifikasi oleh Penulis. (modified by author)

Mekanisme pembentukan regu-regu pengendali kebakaran di desa umumnya dimulai dengan tahapan : (1) Datang ke desa dan tinggal sementara bersama penduduk desa, (2) Memahami mereka dari segi kebutuhan dan aspirasinya, (3) Mengikuti senang dan sedihnya mereka, (4) Mulai menunjukkan cara-cara berorganisasi kepada mereka,(5) Memulai dengan apa yang mereka ketahui, (6) Bertindak dengan apa yang mereka miliki, (7) Meningkatkan keterampilan mereka, (8) Bekerja sambil belajar, (9) Membimbing dengan peragaan dan contoh, (10) Memfasilitasi sarana minimal sesuai kebutuhan. Mekanisme terbentuknya Regu-regu Pengendali Kebakaran Desa dari proses identifikasi karakteristik masyarakat peduli api hingga tahap memfasilitasi dapat dilihat dalam Gambar 3.

(10)

Gambar (Figure) 3. Mekanisme terbentuknya Masyarakat Peduli Api (Mechanism of fire forest community establishment)

Masalah yang timbul dari pembentukan Regu Pengendali Kebakaran di Desa adalah bagaimana lembaga yang dibentuk sebagai koordinator kebakaran di Desa mendapat sebagian peran didalam kepengurusan desa. Dengan terbentuknya organisasi kebakaran di tingkat desa maka kesinambungan aktivitas pengelolaan kebakaran sangat diperlukan. Untuk itu diperlukan alokasi dana Pemerintahan Desa guna kepentingan operasional regu.

IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

1. Potret kejadian kebakaran di masa lalu khususnya lima tahun terakhir menunjukkan bahwa sebagian besar pemicu kebakaran berada di luar kawasan hutan yaitu di lahan-lahan tidur masyarakat, areal pertanian dan perladangan dan peternakan sistem lepas sehingga profil-profil manusia disinilah yang dapat dijadikan obyek pembinaan pencegahan kebakaran dengan cara memberdayakannya menjadi regu pengendali kebakaran.

2. Upaya pemberdayaan masyarakat melalui pengendalian kebakaran berbasis masyarakat di sekitar hutan dan lahan merupakan pola alternatif pengelolaan kebakaran yang menjanjikan karena kejadian kebakaran selama ini banyak dipicu oleh kebiasaan pembakaran lahan masyarakat berskala kecil tetapi banyak, yang dilakukan setiap tahun di desa-desa dan ladang sekitar hutan.

3. Keberhasilan dalam mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang luas merupakan keberhasilan mengatasi risiko dalam REDD karena terjadinya peningkatan emisi salah satunya adalah akibat proses pembakaran bahan bakar hutan menjadi karbon dioksida (CO2) dan air (H2O) yang disertai panas.

4. Model-model pengendalian kebakaran berbasis masyarakat seperti PKBM (Pengendalian kebakaran berbasis masyarakat) di Kalimantan Timur, TSA (Tim Serbu Api) desa di Kalimantan Tengah, RPK (Regu Pengendali Kebakaran) Desa di Kalimantan Tengah dan Selatan, PAK (Pos Api Kampung) dan MPA (Masyarakat Peduli Api) di Kalimantan Selatan, Regu Pemadam Kebakaran Desa di Sumatera merupakan contoh pengendalian kebakaran berbasis masyarakat yang berhasil dalam mengendalikan kebakaran hutan dan lahan di desa-desa.

KBM,PHBM Kerjasama

RPK,PAK,TSA,P

Prinsip kebakaran

Kesepakatan desa : pengandalian

Kebakaran (RPK)

Program : Sarana Prasarana

Regu Pengendali

Desa keterampilan

Pengetahuan dan Pemeritah

Fasilitasi dari kondisi awalIdentifikasi

(11)

Acep Akbar

5. Sistem pengendalian kebakaran berbasis masyarakat dan kearifan lokal perlu dikembangkan ke seluruh desa rawan kebakaran dengan membentuk Regu Pengendali Kebakaran (RPK) Desa yang difasilitasi institusi terkait melalui musyawarah desa. Institusi tersebut juga memfasilitasi adanya pelatihan keterampilan pemadaman, pengetahuan lingkungan, pembuatan aturan Desa dan alat-alat pemadam sederhana yang dapat digunakan secara praktis dan efektif.

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, A. 1995. Api Hutan dan Strategi Pemadamannya. Kehutanan Indonesia. Th. 1994/1995. 6: 9- 13. Akbar, A., Rahayu S., I. Anwar. 2004. Kajian Sistem Pengaturan Pembakaran Lahan Masyarakat dalam rangka

Mengurangi Risiko Kebakaran pada Hutan Tanaman. Laporan Hasil Penelitian BP2HT-IBT. Banjarbaru.

Akbar, A. 2007. Rencana Pengendalian Kebakaran di Kawasan Hutan Konservasi Wilayah Kerja BOSF Program Mawas, Kalteng, Kerjasama BOSF Mawas dengan CV Indofire Kalimantan. Banjarbaru Apriyanto, D., Rahayu, S., Yafis H., I. Anwar, Junaidi. 2003. Kajian Sosioantropologis Penyebab Kebakaran

Hutan di Kalimantan. Laporan Hasil Penelitian. Balai Litbang Hutan Tanaman Indonesia Bagian Timur. Care Internasional Indonesia. 2003. Pengendalian Kebakaran Lahan dan Hutan di Tingkat Desa. Draf Laporan

Lembaga Care. Palangkaraya

Luke, R.H. dan Mc Arthur A.G. 1978. Bushfires in Australia. CSIRO. Div. Of Forest Research. AGPS Canberra.

Limin, S. 2003. Strategi Mencegah Kebakaran Hutan di Kalimantan Tengah. Kalteng Pos. Ed. April 2003. Palangkaraya.

Masripatin, N. 2007. Pengurangan Emisi dari Deforestasi di Negara Berkembang (REDD). Badan Litbang Kehutanan (Materi presentasi). Jakarta.

Murdiyarso, D., Widodo, M., dan Suyanto, D. 2002. Fire Risks in Forest Carbon Project in Indonesia. Science in China (Series C). Vol. 45. Supp : 65-74.

Marbyanto, E. 2003. Pengembangan Program Pengelolaan Kebakaran Berbasis Masyarakat. Pengalaman Proyek IFFM di Kalimantan Timur. Prosiding Workshop Kerjasama SCKPFP-EU dan Pemda Banjar. Martapura.

Page, S.E, Siegert, F., Rielay, J.O., Boehm H.D.V., Jaya, A. 2002. The Amount of Carbon Released from Peat and Forest Fire in Indonesia during 1997. Nature. 4202.61-65.

Rousykin, H. 2004. Resolusi Konflik Sosial dan Lahan Melalui HTI Pola PHBM di PT Finantara Intiga Propinsi Kalimantan Barat. Prosiding Seminar Ilmiah Revitalisasi Pembangunan Hutan Tanaman di Kalimantan. Pusat Litbang Bioteknologi Pemuliaan Tanaman Hutan. Balai Litbang Hutan Tanaman Indonesia Bagian Timur. Banjarbaru Hal 34-48.212.

Saharjo, B.H. 2004. Profil Daerah Potensial Penghasil Hotspot dan Sumbernya menurut RTRWP di Propinsi Kalimantan Selatan Periode Juni-Desember 2003. South and Central Kalimantan Production Forest Project (SCKPFP). Draft Prosiding Kampanye Pengendalian Kebakaran Hutan. Banjarmasin.

Saharjo, B.H. 2006. Teknologi Pengelolaan dan Pengolahan Tanah Gambut Tanpa Pembakaran di Lahan Masyarakat. Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan IPB. Draf Makalah Seminar Nasional Tentang Pencegahan, Penanggulangan dan Penindakan Pelaku Pembakaran Hutan, Lahan dan Pekarangan. Palangkaraya.

Salim, E. 2007. Forest Issues in UNFCCC and Its Relevancy to Indonesia. National Workshop. Indonesia Forest Climate Alliance. Jakarta.

(12)

Schroeder, P.E., R.K. Dixon & J.K. Winjum. 1993. Forest Management and Agroforestry to Sequester and Conserve Atmospheric Carbon Dioxide. An Assessment of Promising Forest Management Practices and Technologies, including Site-level costs, for Enhanching The Conservation and sequestration of Atmospheric Carbon. Unasylva 173 Vol. 44.p 52-60.

Slamet, S.L. dan A. Haryanto. 2006. Estimasi Emisi CO2 dari Kebakaran Hutan (Sebuah Simulasi dan Aplikasi dengan Menggunakan VisualFox Pro). Prosiding Semiloka Teknik Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi. Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. Bandung.

Sutijono, D. 2003. Kehidupan Masyarakat dan Kaitannya dengan Kebakaran Lahan Rawa/Gambut di Kabupaten Ogan Komering Ilir-Propinsi Sumatera Selatan. Prosiding Semiloka, Kebakaran di Lahan Rawa/Gambut di Sumatera, Masalah dan Solusi. CIFOR. Jakarta.

Tampubolon, A., T.S. Hadi., A. Akbar, D. Rachmanadi, Norliani. 2002. Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Terpadu. Prosiding Gelar Teknologi Balai Litbang Hutan Tanaman Indonesia Bagian Timur. Banjarbaru.

Usup, A. 2006. Strategi Pencegahan dan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Berbasis Masyarakat. Makalah Seminar Nasional tentang Pencegahan , Penanggulangan dan Penindakan Pelaku Pembakaran Hutan, lahan dan Pekarangan. Palangkaraya.

Wibowo, A. 2003. Permasalahan dan Pengendalian Kebakaran Hutan di Indonesia. Review Hasil Litbang. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.

Gambar

Gambar (Figure) 1. Persentase jumlah titik panas (hot spot) dalam hutan dan lahan di Indonesia (Hotspot in and outside forest land in Indonesia)Sumber/Source : Tampubolon (2002), Wibowo (2003), Saharjo (2004) setelah dimodifikasi/after modified
Tabel (Table) 1. Jumlah emisi karbon dioksida (CO2) akibat kebakaran di dua provinsi di Indonesia (Carbon emission in two provinces of Indonesia)
Tabel (Table) 2. Desa-desa yang telah berhasil menerapkan pola pengendalian kebakaran berbasis masyarakat (Villages that applied the pattern of community Base Fire Management successfully)
Gambar (Figure) 3. Mekanisme terbentuknya Masyarakat Peduli Api (Mechanism of fire forest community establishment)

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

TF menceritakan bahwa proses penentuan kepala madrasah di Kemenag Kabupaten Jombang menggu- nakan kriteria PDLT yaitu Prestasi Dedikasi (punya kemampuan dan keinginan

Kemenangan pasangan kandidat presiden dan wakil presiden Susilo Bambang Yudhoyono- Jusuf Kalla yang berhadapan dengan pasangan Megawati-Hasyim Muzadi dalam pemilihan umum

Setelah didapatkan marka SSR yang polimorfik selanjutnya dilakukan uji kemurnian genetik benih F1 hibrida dengan menggunakan 2 varietas Hibrida (Hipa 6 dan Hipa 7). Sebanyak

Pengujian pertama dilakukan pada kondisi pompa hidup, kecepatan aliran air kurang dari samadengan 10 liter/menit dan jarak permukaan air kurang dari setpoint,

Untuk menggambarkan inheritance atau pewarisan di dalam pemro- graman, pada saat Anda menggunakan kembali atau mengganti method dari class yang sudah ada, serta ketika

(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal Surat, tanggal Pemotongan atau Pemungutan sebagaimana dimaksud pada

Hasil analisis lanjutan menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan skor kecemasan pada pengukuran pertama antara kelompok intervensi dan kontrol (p value =

IMANDA KARTIKA SARI, D1214038, PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI NON REGULER, KOTA KREATIF DESAIN DALAM MEDIA KOMUNIKASI (Strategi Penggunaan Media Komunikasi