• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERUMAHAN MEWAH DIRANCANG SECARA SEKULER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERUMAHAN MEWAH DIRANCANG SECARA SEKULER"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

PERUMAHAN MEWAH DIRANCANG

SECARA SEKULER

Tumbuhnya perumahan mewah yang eksklusif serta memiliki fasilitas lengkap dan memenuhi hajat hidup bagi penghuninya, merupakan gejala di kota-kota besar. Tetapi apakah kebutuhan ruhaninya juga bisa terpenuhi, atau justru sebaliknya, mengingat bahwa faktor duniawi di perumahan mewahm sangat dominan. Lantas bagaimana kehidupan para penghuni perumahan mewah atau perumahan eksklusif tersebut, apakah mereka menempuh kehidupan beragama secara individual, ataukah mereka

mengembangkan jamaah di perumahan elite, bagaimana solusinya? Berikut kita ikuti wawancara Ton Martono dengan Ir. Bobi B. Setiawan, Ph.D. Direktur Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gajah Mada.

Untuk kasus Indonesia, tumbuhnya ruang hunian berkembang melalui dua cara. Pertama berkembang secara liar atau alami, dan yang kedua berkembang melalui pola rancangan. Lebih baik yang mana? Dibiarkan secara alami atau harus dirancang secara ketat?

Di era globalisasi sekarang ini kebutuhan akan lahan untuk hunian semakin meningkat, proses pertumbuhan hunian yang dulu alami, sekarang harus kita kontrol karena beberapa hunian baik yang alami maupun yang ada di kota-kota besar harus kita atur dan kita tata untuk menjaga kepentingan publik. Agar semua kepentingan publik itu bisa terwadahi dan ke depan saya lihat semakin penting untuk penataan serta peraturannya untuk kepentingan publik, dan tidak mematikan kreasi dan inovasi dalam pembangunannya.

Ada gejala menarik. Tumbuhnya ruang hunian atau pemukiman yang berkembang dengan pola rancangan, bisa memunculkan kota mandiri, perumahan mewah dan

eksklusif. Apakah hal ini tidak menyuburkan disintegrasi dan kesenjangan sosial? Apakah mungkin dicari alternatif agar disintegrasi dan kesenjangan dapat di cegah atau

dikurangi?

Jadi ruang hunian yang dibiarkan tumbuh dan tanpa diatur itu justru bisa menimbulkan kesenjangan. Realitasnya akan ada kesenjangan spasial dan pada akhirnya bisa memicu konflik-konflik sosial. Jadi konflik itu bisa terjadi akibat adanya kesenjangan spasial, dan kesenjangan spasial itu terjadi karena pemerintah membangun infrastruktur dan

(2)

komunitas di lingkungannya. Di Malioboro, kenapa tidak pernah terjadi pembakaran, penjarahan dan kerusuhan, karena Malioboro itu ada sebuah simbiose yang menarik antara pemilik toko dengan para pedagang kaki lima di sekitarnya. Bahkan dengan pemukiman di belakangnya memiliki hubungan dan interaksi sosial yang relatif bagus. Sehingga secara spasial tidak terlalu menyolok antara toko di sepanjang Malioboro dengan komunitas lingkungannya. Dulu memang pernah terjadi ketegangan antara Malioboro Mall dengan pedagang kakai lima, dan saya pernah menjadi mediasi untuk memecahkan solusi disana. Salah satu sebab yang menonjol adalah di sepanjang Malioboro Mall tidak boleh ada pedagang kaki lima, sehingga kalau Malioboro itu dibangun Mall-mall yang lain akan menimbulkan konflik besar dan Malioboro akan berubah karena mudah sekali dihancurkan.

Ketika terjadi banjir di Jakarta tempo hari, banyak penduduk miskin di pantai utara marah, kemudian mereka menjebol tembok-tembok yang mengelilingi perumahan mewah dan eksklusif, sebab penduduk disana menganggap bahwa hadirnya perumahan di bekas tanah berawa dengan tembok-temboknya itulah yang menyebabkan banjir dan membuat penduduk miskin menderita. Apakah konflik lingkungan seperti ini

sesungguhnya dapat dicegah? Mengapa selalu penduduk atau rakyat miskin yang menjadi korban dari tumbuhnya hunian berpola rancangan tersebut?

Saya kira intervensi pemerintah yang berbentuk peraturan-peraturan itu bisa

diorientasikan untuk mengarahkan penataan kota atau hunian yang tidak menimbulkan ketimpangan. Orang mau membangun real estate itu harusa mengacu pada aturan 3,6,l artinya setiap membangun satu perumahan mewah harus membangun 3 perumahan menengah dan enam perumahan kelas bawah. Konsep 3,6,l itu adalah konsep yang sangat sederhana, supaya tidak menimbulkan gejolak dan ketimpangan, jadi konsep itu tidak menganaktirikan bagi rakyat biasa, semua mendapatkan kemudahan baik perizinan tanah, fasilitas penerangan air bersih dan lain-lain.

Kasus Malang Selatan dan Bandung Utara, juga kasuis di Semarang Barat, dimana hutan lindung dan tanah yang semula diposisikan sebagai penyerap hutan makin habis karena munculnya perumahan-perumahan mewah yang eksklusif semakin banyak. Hal ini akan berimplikasi dengan berubahnya suhu kota Bandung dan Malang jadi bertambah panas, juga menimbulkan kerawanan banjir. Apakah bencana lingkungan semacam ini masih mungkin untuk dicegah? Lewat solusi apa, solusi hukum atau sosial?

Penanganannya harus holistik, dan harus diupayakan ada sinergi dengan berbagai instrumen-instrumen managemen lahan atau kota, dan kita kelompokkan misalnya instrumen hukum, ekonomi, sosial dan instrumen pendataan langsung dari pemerintah. Selama ini kita hanya mengandalkan instrumen hokum. Asumsinya kota tersebut sudah dibuat rencana sebelumnya, padahal hukum itu kan bisa dibengkokkan. Yang harus diberdayakan adalah instrumen sosial termasuk kontrol sosial, bagaimana protes-protes sosial itu difasilitasi dan diakomodasi. Kemudian yang paling penting lagi adalah

(3)

Apakah mungkin kita merancang dan membangun ruang hunian atau pemukiman yang kondusif bagi pengembangan kehidupan beragama? Dan apa saja syarat-syaratnya?

Kita jangan terjebak, bahwa ibadah itu tidak hanya hubungan vertikal saja. Kalau vertikal saja solusinya agak sulit, karena tidak mungkin satu lingkungan hunian itu bisa homogen, ada mesjidnya, setiap rumah ada mushollanya. Saya kira itu hanya satu dimensi saja dari kehidupan beragama. Menurut saya yang lebih penting adalah di samping yang vertikal juga ada konteks horisontalnya yakni keadilan sosial. Jadi yang lebih penting adalah adanya keadilan sosial daripada membangun masjid, atau tempat ibadah lain. Masjid sudah dibangun besar-besar kalau jama’ahnya sedikit dan kadang kosong kan sia-sia. Saya tidak setuju kalau ada bangunan Masjid di satu hunian hanya sebagai sebuah

monumen. Kenapa tidak kita bangun saja pusat-pusat kegiatan Islam dalam lingkup kecil yang multi fungsi di masing-masing komplek perumahan. Ini yang kami maksud dengan keadilan spasial, buat apa Masjid kita bangun kalau tidak bisa melayani komunitas masyarakat di sekitarnya. Tetapi kalau Masjid itu bisa melayani komunitas

lingkungannya, akan bermanfaat bagi kehidupan di perumahan dan lingkungan hunian sekitarnya.

Apakah ruang hunian yang kondusif bagi pengembangan kehidupan beragama itu harus dirancang secara eksklusif seperti Telaga Kautsar dan Islamic Village. Bagaimana menurut Anda?

Saya agak sangsi dengan rancangan seperti Islamic Village. Sebab sekarang ini kita hidup dalam masyarakat yang pruralis, yang sangat terbuka seluas-luasnya. Bahkan

pembentukan beberapa komunitas dalam bentuk pendidikan yang sangat eksklusif yang berbau agama tertentu, menurut saya justru kurang strategis. Yang paling baik adalah justru kita masuk dan membaur dengan kehidupan masyrakat yang prural, supaya hal-hal yang akan kita dakwahkan itu bisa langsung pada sasaran dan diterima oleh mereka. Kalau kita membuat rancangan komunitas yang Muslim saja, itu malah bisa

menimbulkan suasana eksklusif, walaupun baik tetapi tidak bisa dilihat oleh komunitas lain. Padahal komunitas Islam itu harus bisa merujuk supaya bisa hidup berdampingan dengan masyarakat non Muslim, agar mereka bisa belajar dan bisa meniru bahwa

kehidupan orang Muslim itu bisa dicontoh dan di tiru oleh masyarakat luas tidak terbatas pada orang muslim saja. Tetapi Islamic Village itu juga bagus hanya sebagai kawah condrodimuko saja, setelah berhasil segera berbaur dengan komunitas lingkungannya.

Mengapa banyak pengembang dan perancang ruang hunian yang tidak memperhatikan kebutuhan ruhani penghuninya, tanpa fasilitas tempat ibadah misalnya. Apakah ruang hunian atau pemukiman itu memang dirancang untuk kehidupan warga yang sekuler?

(4)

peribadatan di lokasi atau hunian sangat minim sekali dan terkadang pihak developer mencari lahan sisa yang kurang strategis untuk tempat peribadatan. Tidak secara awal di rancang atau dialokasikan atau di plot untuk tempat ibadah.

Apa yang dapat dilakukan oleh umat Islam ketika harus berdakwah di lingkungan perumahan mewah atau perumahan eksklusif dan tertutup seperti itu, dan bagaimana memahami watak, perilaku dan respon penghuninya agar supaya dakwah menjadi lebih mudah dilakukan?

Sekarang ada kegiatan dakwah melalui internet, yang mengakses adalah para penghuni perumahan-perumahan mewah dan eksklusif. Dan yang menarik lagi adalah bagi kaum selebritis, mereka banyak mengikuti pengajian-pengajian di hotel-hotel atau apartemen mewah sudah cukup marak. Bahkan di kantor-kantor juga di selenggarakan pengajian berkala yang audiennya cukup banyak, mereka bisa mengundang

penceramah-penceramah yang bagus seperti Prof. DR. Nurcholis Madjid, Aa Gym, Syafii Maarif dan lain-lain. Tetapi saya juga mengkritik mereka yang mengadakan pengajian secara

ekslusif, walaupun itu sah-sah saja. Memang di kota-kota besar sekarang ini banyak sekali para eksekutif muda yang telah mengenyam kemakmuran fisik dan materi mengalami kekurangan spiritual, sehingga memerlukan siraman ruhani. Padahal agama itu merupakan multi fungsi mensejahterakan masyarakat secara keseluruhan.

Apakah penghuni perumahan mewah itu hanya mau mengikuti dakwah secara tidak langsung misalnya melalui TV, buku, Radio, keping VCD, Internet, Film dan lain-lain. Ataukah mereka sebenarnya juga membutuhkan sentuhan langsung atau dakwah tatap muka, bisakah lingkungan mereka itu bisa dijadikan lokasi dakwah tatap muka, padahal sebahagian mereka beranggapan bahwa rumah adalah ruang privat yang tidak boleh diterobos orang lain, meski oleh ustadz sekalipun?

Selama ini memang gejalanya demikian, bahwa rumah bagi mereka adalah ruang privasi yang tidak boleh diganggu untuk acara apapun termasuk tertutup bagi tamu atau orang asing yang belum dikenalnya termasuk tamu yang akan promosi sebuah produk misalnya. Jadi mereka lebih senang mengadakan konsinyasi atau pertemuan apa saja termasuk pengajian di hotel-hotel, dan biasanya mereka mengadakan pertemuan atau pengajian dengan teman-teman seprofesinya yang terbatas. Bahkan memang banyak juga yang mengkuti acara pengajian lewat TV, Radio, VCD, Internet dan lain sebagainya. Mereka lebih senang mendengarkan atau melihat VCD untuk siraman ruhaninya. Sekarang ini kan banyak kaset-kaset dan VCD yang berisi ceramah agama yang di isi oleh mubaligh ternama seperti Abdullah Gymnastiar, Syaffi Maarif, Zainuddin MZ, Emha Ainin Nadjib dan lain-lain. Sehingga mereka tidak perlu lagi datang ke majelis pengajian di lingkungan sosialnya. Hal yang demikian sebenarnya secara implisit tidak benar, karena itu menurut saya perlu adanya aturan dari pemerintah agar rancangan perumahan mewah itu ada fasilitas ibadahnya, agar umat beragama yang tinggal di perumahan itu tidak eksklusif dan tertutup dengan komunitas lingkungannya. Ton.

Sumber:

(5)

Referensi

Dokumen terkait

Adapun tujuannya penelitiannya adalah untuk mengetahui dan menganalisa pengaruh dari kualitas pelayanan (service quality) yang terdiri dari reliability dan

Hasil belajar rata-rata diperoleh dari nilai kemampuan membaca pemahaman dengan menggunakan teknik membaca SQ3R mahasiswa Pendidikan bahasa dan Sastra

yang berkaitan dengan latar belakang pertimbangan pengembangan kurikulum pelatihan, (2) data yang berkaitan dengan pihak-pihak yang terlibat dalam pengembangan kurikulum, (3) data

Oleh karena itu, guru sekolah minggu dapat menggunakan model seperti ini dengan membuat proses seperti memberikan pengetahuan baru sehingga anak-anak dapat

Kompetensi bisnis internasional ini akan mendukung kompetensi dalam merencanakan serta melaksanakan perdagangan luar negeri (ekspor dan impor) di era globalisasi dan

Heterokedastisitas adalah variasi residual tidak sama untuk semua pengamat. Salah satu uji penting dalam regresi linear klasik adalah bahwa gangguan yang muncul

Prediksi perolehan genetik dihitung berdasarkan data pengukuran umur 24 bulan setelah tanam dengan variabel berupa tinggi tanaman, diameter setinggi dada (dbh) dan kelurusan

Pada sistem uji triaxial konvensional, specimen mendapatkan beban dari arah axial (maksimum principal stress) dan arah radial (minimum principal stress) sedangkan