• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tipologi Kepemimpinan Politik Gus Dur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tipologi Kepemimpinan Politik Gus Dur"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

1

TIPOLOGI KEPEMIMPINAN POLITIK GUS DUR Abu Naim

Institut Agama Islam Darussalam (IAIDA) Banyuwangi email: naju.xpt@gmail.com

Abstrak

Gus Dur juga menjadi presiden negara yang sangat unik dan fenomenal, bagaimana tidak, dalam kurun waktu yang tidak lebih dari dua tahun ketika menjabat sebagai presiden, Gus Dur mampu me-reshuflle lebih dari sepuluh menteri yang berada dalam jajaran kabinetnya tersebut. Tidak hanya itu, beberapa tokoh menteri tersebut justru merupakan tokoh-tokoh besar dari partai yang berpengaruh dalam perpolitikan pada waktu itu. Hal yang menarik untuk diketahui adalah bagaimana pola kepemimpinan politik yang sebenarnya dilakukan oleh Gus Dur, bagaimana bisa seorang Gus Dur yang selama ini dianggap raja kontroversial serta nyleneh, ternyata di mata masyarakat begitu besar pengorbananya, dimanakah letak kebajikan yang telah diberikan oleh Gus Dur, serta bagaimana pula tipe kepemimpinan yang baik itu menurut kacamata masyarakat. Menggunakan pendekatan penelitian kualitatif untuk mendapatkan data yang konfrehensif tentang tipologi kepemimpinan politik Gus Dur dihasilkan kesimpulan penelitian bahwa tipologi kepemimpinan Politik Gus Dur adalah pemimpin kharismatik-transformasional, hal ini berdasarkan beberapa fakta dan data-data politik yang dilakukan Gus Dur lebih mengarah pada pola perilaku kharismatik- transformasional.

Kata Kunci: Demokrasi, Negara-negara Muslim

A. Latar Belakang Masalah

Semanjak menjadi presiden RI, Gus Dur sesungguhnya memiliki sejarah besar membangun demokrasi, kebebasan pers dan berbicara, serta perjuangan hak-hak kaum minoritas. Gus Dur selama berkuasa (1998-2001) telah memberikan wacana yang menarik bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Paling tidak selama kurang dua tahun menjadi presiden banyak sekali sumbangan Gus Dur bagi bangsa. Bahkan proyek deskralisasi istana, supermasi sipil, deformalisasi Islam, perebutan tafsir konstitusi (konfliknya dengan parlemen) menjadi wacana politik yang menakjubkan di masanya.

Namun, banyak pula fenomena politik yang menarik dan unik pada saat Gus Dur memegang tampuk kepemimpinan sebagai ketua Dewan Syuro PKB dan Presiden Republik Indonesia. Kaitanya dengan pengaruh Gus Dur terhadap PKB bisa dilihat manakala setiap terjadi suksesi kepemimpinan dalam tubuh partai, gus Dur selalu menggunakan tekanan-tekanan kepada beberapa tokoh partai sebelumnya, sehingga tidak heran jika dalam sejarah partai berhasil mencatat bahwa mulai dari Matori Abdul Jalil, Alwi Shihab, Khoirul Anam sampai dengan Muhaimin Iskandar selalu terjadi konflik dengan Gus Dur.

(2)

2

Tidak jauh beda dengan fenomena kepartaian tersebut, Gus Dur juga menjadi presiden negara yang sangat unik dan fenomenal, bagaimana tidak, dalam kurun waktu yang tidak lebih dari dua tahun ketika menjabat sebagai presiden, Gus Dur mampu me-reshuflle lebih dari sepuluh menteri yang berada dalam jajaran kabinetnya tersebut. Tidak hanya itu, beberapa tokoh menteri tersebut justru merupakan tokoh-tokoh besar dari partai yang berpengaruh dalam perpolitikan pada waktu itu.

Dalam konteks ini, Gus Dur sebenarnya telah membuktikan gagasan progresifnya, terutama ketika masyarakat diminta untuk bersikap independen dan tidak tergantung pada negara. Bagi Gus Dur Negara tidak mesti mengatur seluruh aktivitas warga negaranya, sehingga dalam pemerintahanya, kebebasan masyarakat benar-benar berlangsung. Manuver dan aksi politik pun dilakukan secara terbuka. Hal ini terlihat dengan jelas dari konflik yang berlangsung antara presiden dengan DPR hingga ia harus dilengserkan dalam SI MPR. Liberalisasi politik benar-benar terjadi. Dan, semua pihak secara objektif mengawasi kinerja lembaga-lembaga tinggi negara; presiden, DPR, MPR dan MA. Tidak saja pengawasan masyarakat secara individual, tetapi juga Lambaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan pers ikut secara aktif mengawasi semua perangkat kenegaraan tersebut.

Namun sejarah Gus Dur di panggung kekuasaan berakhir setelah Megawati Soekarno Putri dilantik menjadi Presiden RI ke-5 dalam SI MPR. Barangkali itulah politik; harus rela menghadapi resiko dijatuhkan oleh lawan-lawan politiknya. Dan, Gus Dur sudah mendapat resiko paling buruk, dilengserkan dari kursi kepresidenan.

Dari fakta sosial itulah mengapa penulis tertarik untuk mengamati bagaimana pola kepeminpinan politik yang sebenarnya dilakukan oleh Gus Dur, bagaimana bisa seorang Gus Dur yang selama ini dianggap raja kontroversial serta nyleneh, ternyata di mata masyarakat begitu besar pengorbananya, dimanakah letak kebajikan yang telah diberikan oleh Gus Dur, serta bagaimana pula tipe kepemimpinan yang baik itu menurut kacamata masyarakat. Bahkan akhir-akhir ini banyak bermunculan wacana bahwa Gus Dur harus diangkat menjadi Pahlawan nasional karena banyak kontribusi yang telah dia berikan bagi bangsa ini, khususnya perjuanganya dalam penerapan pluralisme bagi bangsa ini, meskipun dari pihak keluarga Gus Dur pun sempat menyatakan bahwa Gus Dur sama sekali tidak memerlukan jabatan maupun gelar-gelar seperti itu.

Tulisan-tulisan tentang Gus Dur lebih banyak membahas tentang cerita-cerita humor yang dia sampaikan (mungkin karena sense of humor Gus Dur begitu menarik), kemudian banyak juga yang terkait dengan kumpulan artikel-artikel Gus Dur, jarang yang kemudian mencoba menganalisis sosok kepemimpinan Gus Dur jika harus dilihat dari aspek

(3)

3

komunikasi politiknya, yang ada justru banyak tulisan yang mencoba mengkritik kebijakan-kebijakan beliau, namun yang pasti semua data-data itu akan menjadi masukan bagi penelitian ini, karena peneliti mencoba menganalisis dari aspek yang jarang dilakukan oleh peneliti yang lain.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, rumusan masalah yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah tentang bagaimana tipologi kepemimpinan politik KH. Abdurrahman Wahid?

C.Tujuan Penelitian

Sejalan dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tipologi kepemimpinan politik KH. Abdurrahman Wahid.

D. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih pemahaman terhadap pendidikan politik serta realitas sosial yang terjadi, diantaranya adalah :

1. Secara Teoritik :

Secara Teoritik kegunaan penelitian ini diharapkan mampu untuk menambah wawasan pengetahuan dan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan ilmu politik yakni mengetahui tentang tipologi kepemimpinan jika ditinjau dari aspek teori-teori kepemimpinan serta ilmu politik.

2. Secara Praktis :

Secara praktis kegunaan penelitian ini diharapkan mampu untuk menjadi rujukan para elit politik yang ingin memahami tipe kepemimpinan berdasarkan teori-teori kepemimpin dalam ilmu politik yang efektif.

E.Telaah Pustaka

1. Dalam melakukan kajian terkait dengan kepemimpinan, perlu adanya pembedaan yang signifikan antara kepemimpinan yang bersifat struktural atau administratif, dengan kepemimpinan yang lebih mengarah pada kepemimpinan politik. Oleh karena itu perlu di tegaskan kembali dalam penelitian ini bahwa selain harus memahami pengertian tentang kepemimpinan, harus dipahami pula pengertian tentang kepemimpinan politik.

(4)

4

Pada dasarnya kepemimpinan menjadi bagian dari kekuasaan, tetapi tidak sebaliknya. mirip dengan kekuasaan, kepemimpinan merupakan suatu hubungan antara pihak yang memiliki pengaruh dan orang yang dipengaruhi, dan juga merupakan kemampuan menggunakan sumber pengaruh secara efektik. Berbeda dengan kekuasaan yang terdiri atas banyak jenis sumber pengaruh, kepemimpinan lebih menekankan pada kemampuan menggunakan persuasi untuk mempengaruhi pengikut. Selain itu, tidak seperti kekuasaan yang belum tentu menggunakan pengaruh untuk kepentingan bersama antara pemilik kekuasaan dan yang dikuasai, kepemimpinan merupakan upaya untuk melaksanakan suatu tujuan yang menjadi kepentingan bersama pemimpin maupun para pengikut.

Oleh karena itu, kepemimpinan politik juga berbeda dengan elit politik, kerena seperti yang dikemukakan oleh Pareto, elit ialah orang-orang yang yang memiliki nilai-nilai yang paling dinilai tinggi dalam masyarakat, seperti prestise, kekayaan, ataupun kewenangan. memiliki kekuasaan politik berbeda dengan memiliki kepemimpinan politik, karena dua hal, yaitu jenis sumber pengaruh yang digunakan dan tujuan penggunaan pengaruh.

Sebutan politik dalam kepemimpinan politik menunjukkan kepemimpinan berlangsung dalam suprastruktur politik (lembaga-lembaga pemerintahan), dan yang berlangsung dalam infrastruktur politik (partai politik dan organisasi kemasyarakatan). Oleh karena itu, pemimpin poltik juga berbeda dengan kepala suatu instansi pemerintahan karena yang terakhir ini lebih menggunakan kewenangan dalam mempengaruhi bawahanya. Tidak seperti kepala instansi yang cenderung menggunakan hubungan-hubungan formal dan impersonal dalam menggerakkan bawahanya, pemimpin politik lebih menggunakan hubungan-hubungan informal dan personal dalam menggerakkan pengikutnya untuk mencapai tujuan tertentu.

Selain itu, kepemimpinan politik juga dapat dipahami dalam tiga perspektif: (1) kepemimpinan sebagai pola perilaku; (2) kepemimpinan sebagai kualitas personal; (3) kepemimpinan sebagai nilai politik. Sebagai pola perilaku, kepemimpinan terkait sekali dengan kemampuan untuk mempengaruhi orang lain dalam mengupayakan tujuan yang diharapkan. Kata kuncinya adalah mempengaruhi. Sebagai kualitas personal, kepemimpinan berkaitan dengan charisma. Sedangkan sebagai nilai politik, kepemimpinan berkaitan dengan kemampuan untuk menggerakkan orang lain dengan otoritas moral atau pandangan ideologis.

(5)

5

2. Sebelum penelitian ini, ada beberapa penelitian terdahulu yang membahas masalah yang hampir sama dengan penelitian yang terkait dengan tipologi kepemimpinan politik, yang kemudian menjadi bahan telaah dalam penelitian ini, baik itu dari buku, jurnal, maupun catatan tulisan lainya :

a. Tjipta Lesmana menulis buku tentang komunikasi politik presiden-presiden RI: dari Sukarno Sampai SBY? terbitan Gramedia. Salah satunya bicara juga soal Gus Dur. Seperti yang telah peneliti sampaikan pada latar belakan di atas, dalam karya ini Prof Dr Tjipta Lesmana lebih meyoroti pada kelemahan fisik dari Gus Dur, sehingga terdapat sedikit ketidak objektifan dalam penilaianya terhadap sosok kepemimpinan Gus Dur, selain itu juga dalam karyanya tersebut, Prof Dr Tjipta Lesmana tidak terfokus pada satu pemimpin saja, sehingga ruang lingkup pembahasanya masih sedikit general.

b. Karya Greg Barton yang menulis tentang biografi Gus Dur (The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid)? bebicara tentang perjalanan hidup Gus Dur mulai dari kelahiran sampai dengan lengsernya Gus Dur dari kursi kepemimpinan republik Indonesia, membahas juga tentang kebijakan-kebijakan politik yang pernah disampaiakan oleh Gus Dur.

c. Karya Muhammad Syafi’i Antonio yang menulis buku berjudul ?Muhammad SAW The Super Leader Super Manager? membahas tentang keteladanan Rasulullah Muhammad SAW ditinjau dari segala aspek disiplim keilmuwan, termasuk dari sudut pandang teori kepemimpinan atau leadership.

d. Artikel karya Sismanto yang berjudul? Tipologi Kepemimpinan Gus Dur?(Primagama Educational Trendsetter), berbicara tentang gaya kepemimpinan Gus Dur dengan menggunakan pendekatan tipe-tipe serta gaya dalam teori kepemimpinan.

e. Artikel karya Daniel Ronda yang berjudul ?Telaah Kepemimpinan Gus Dur?(Kompasiana; 02/01/2010), membahas tentang gaya kepemimpinan Gus Dur secara umum.

f. Opini Ahmad Najib Burnani yang berjudul? Gus Dur, Pemimpin Klenik atau Spiritualistik??(Media Indonesia; 06/02/2010), menerangkan tentang kepemipinan Gus Dur dari sudut pandang tassawuf dan spiritual Gus Dur.

g. Karya Khamami Zada yang berjudul ?Neraca Gus Dur di Panggung Kekuasaan? menerangkan tentang kritik-kritik serta kontribusi Gus Dur terhadap bangsa Indonesia ketika menjabat sebagai Presiden RI.

(6)

6

h. Karya Abdurrahman Nusantri yang berjudul? Ummat Menggugat Gus Dur? menganalisa tentang segala kebijakan Gus Dur dari sudut pandang syariat Islam. i. Karya Laode Ida dan A. Tantowi Jauhari yang berjudl ?Gus Dur Diantara

Keberhasilan dan Kenestapaan? menjelaskan tentang langkah politik serta pemikiran ormas NU dan Gus Dur yang telah mewarnai dinamika bangsa ini.

j. Karya Umaruddin Masdar, berjudul ?Membaca Pikiran Gus Dur dan Amin Rais Tentang Demokrasi? menjelaskan tentang pemikiran-pemikiran Gus Dur dan Amin Rais terkait dengan Demokrasi serta berusaha mencari titik temu dan merunut kompatibilas Islam dan demokrasi.

k. Karya LKIS yang berjudul dan berisi tentang ?Kumpulan Kolom dan Artikel Abdurrahman Wahid Selama Era Lengser?

l. Karya Zainuddin HM yang berjudul tentang ?Prospek Gerakan Oposisi dalam Era Pemerintahan Gus Dur-Megawati? menjelaskan tentang bagaimana prospek serta cara dalam melakukan gerakan opsisi, terutama ketika awal pemerintahan Gus Dur. m. Karya M. Alfan Alfian yang berjudul tentang ?Menjadi Pemimpin Politik? yang

menjelaskan secara mendalam dan serius tentang kepemimpinan (leadership) dan kekuasaan (power), dalam buku ini juga kita akan menemukan teori politik dan kepemimpinan bukan lagi sekedar gagasan tapi aksi politik itu sendiri.

Dari hasil referensi yang ditemukan oleh penulis di atas, belum ada penelitian yang mendalam terkait dengan tipologi kepemimpinan politik Gus Dur ditinjau dari sudut pandang sejarah serta kebijakan-kebijakan politik jika dikaitkan dengan teori-teori kepemimpinan.

Oleh karena itu, penulis mencoba meneliti tipologi kepemimpinan politik Gus Dur secara mendalam dengan upaya untuk kelanjutan dan pelengkap bagi beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.

F. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif untuk mendapatkan data yang konfrehensif tentang tipologi kepemimpinan politik KH. Abdurrahman Wahid. Pendekatan penelitian ini sengaja penulis gunakan dengan tujuan untuk memahami suatu fenomena secara mendalam. Disamping itu juga, pendekatan untuk menganalisisnya juga dapat menggunakan analisis deskriptif – analitis, yakni analitis dalam pengertian historis dan filosofis, artinya penelitian ini berusaha untuk mendeskripsikan tentang kerangka ideologis dan epistimologis, asumsi-asumsi metodologis, pendekatan serta langkah-langkah yang bisa menentukan bahwa atas rasa kemanusiaan (Arikunto: 1998: 19).

(7)

7

Selain itu, dalam penelitian ini, jenis yang digunakan dalam penelitian ini adalah library research, yaitu jenis penelitian yang kajian penelitianya seluruhnya berdasarkkan pada kajian dari pustaka atau literature yaitu dengan memilih, membaca, menelaah, dan meneliti buku-buku atau sumber tertulis lainya yang relevan dengan judul penelitian yang terdapat dalam sumber-sumber pustaka.

2. Sumber Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini bersumber dari dokumen perpustakaan yang terdiri dari atas dua jenis sumber, yakni primer dan sekunder.

Sumber primer adalah rujukan utama yang akan dipakai yaitu : a. Tuhan Tidak Perlu Dibela? karya KH. Abdurrahman Wahid.

b. Kumpulan kolom dan Artikel Abdurrahman Wahid selama Era Lengser? karya LKis. c. Islam Ku, Islam anda, Islam Kita? karya KH. Abdurrahman Wahid.

d. Pembangun Demokrasi? karya KH. Abdurrahman Wahid. e. Gus Dur Bertutur? karya Gus Dur Foundation.

Sedangkan sumber sekunder yang dijadikan sebagai pelengkap dalam penelitian ini antar lain:

a. Pemimpin dan Kepemimpinan? karya DR. Kartini Kartono.

b. Karya Greg Barton yang menulis tentang Biografi Gus Dur (The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid)?

c. Karya Tjipta Lesmana tentang Komunikasi Politik Presiden-presiden RI: Dari Sukarno Sampai SBY?terbitan Gramedia.

d. Karya Moh. Mahfud MD yang menulis tentang ?Setahun bersama Gus Dur (Kenangan menjadi menteri di saat sulit)?

e. Karya Muhammad Syafi’i Antonio yang menulis buku berjudul ?Muhammad SAW The Super Leader Super Manager?

f. Karya M Alfan Alfian yang menulis buku berjudul? Menjadi Pemimpin Politik?

g. Artikel karya Sismanto yang berjudul? Tipologi Kepemimpinan Gus Dur?(Primagama Educational Trendsetter)

h. Artikel karya Daniel Ronda yang berjudul ?Telaah Kepemimpinan Gus Dur?(Kompasiana; 02/01/2010.)

i. Opini Ahmad Najib Burnani yang berjudul ?Gus Dur, Pemimpin Klenik atau Spiritualistik??(Media Indonesia; 06/02/2010).

j. Gus Dur ?Asyik Gitu Loh? Karya Maia Rosida.

(8)

8

l. Gus Dur Diantara Keberhasilan dan Kenestapaan? karya Laode Ida dan A. Tantowi Jauhari.

m. Umat Menggungat Gus Dur? karya Abdurrahman Nusantari.

n. Membaca Pikiran Gus Dur dan Amin Rais tentang Demokrasi?karya Umaruddin Masdar.

o. Prospek Gerakan Oposisi dalam Era Pemerintahan Gus Dur-Megawati? karya Zaenuddin HM.

p. Gus Dur Yang Saya Kenal (Catatan Transisi Demokrasi Kita) ? karya Muhaimin Iskandar.

q. Kepemimpin Dalam Manajemen (Suatu Pendekatan Perilaku)? Karya Miftah Thoha. r. Kepemimpinan Dalam Manajemen? karya DR. Winardi SE.

s. Teori-teori Komunikasi, Perspektif Mekanistis, Psikologis, Interaksional, dan Pragmatis? karya B. Aubrey Fisher.

t. Undang-Undang Dasar 1945?

u. Human Comunication, Prinsip-Prinsip Dasar? karya Stewart L. Tubbs-Sylvia Moss. 3. Metode Pengumpulan Data

Adapun tekhnik pengumpulan data yang digunakan adalah tekhnik dokumenter atau dalam bahasan Lexy J. Meoleong (2005: 159) adalah sumber tertulis yaitu tekhnik yang digunakan untuk mencari data-data tentang hal-hal yang berkaitan denga masalah yang sedang diteliti berupa buku-buku, artikel, majalah, jurnal ataupun makalah yang berhubungan dengan objek penelitian, kemudian mencatat dan mengklasifikasi data yang ada lalu dihimpun dan digunakan sebagai bahan dalam karya ilmiah ini.

4. Metode Analisis Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode analisis isi, yaitu semua data yang terkumpul, baik primer maupun sekunder diklasifikasi dan dianalisis sesuai dengan sub bahasan masing-masing. Selanjutnya dilakukan telaah mendalam atas karya-karya yang memuat objek penelitian dengan menggunakan analisis yang telah penulis sebutkan di atas, yaitu suatu tekhnik sistematik untuk menganalisis isi pesan dan mengolahnya dengan tujuan menangkap pesan yang tersirat dari satu atau beberapa pernyataan (Noeng Muhadjir, 1993: 76-77).

G.Pembahasan

Dalam berbagai literatur dapat diketemukan aneka macam tipologi, setiap penulis mengemukakan tipologi yang berbeda, perbedaan tipologi itu timbul karena sudut tinjauanya

(9)

9

berbeda, meskipun yang dipelajari dalam prosesnya sama yaitu tentang hal-hal yang terkait dengan kepemimpinan.

Dalam hubungan ini, hendaknya dimaklumi bahwa istilah tipe mengandung pengertian yang tidak fixed dan definitive, tetapi lebih bersifat arbitrair, oleh karena garis batas antara tipe-tipe itu tidak jelas, tipe-tipe itu tumpang tindih satu dengan yang lainya, artinya tipe-tipe itu mengandung ciri-ciri yang tidak seluruhnya berlainan. Ciri-ciri tertentu yang terkandung dalam suatu tipe mungkin juga terdapat pada tipe-tipe yang lain, meskipun dalam rangkaian ciri-ciri lain yang berbeda.

Menurut pengamatan, setiap pemimpin mempunyai kecenderungan untuk mempergunakan jenis kepemimpinan tertentu, penonjolan dapat dilihat dengan jelas pada saat ia mempergunakan jenis kepemimpinan yang tidak tepat pada situasi tertentu, itupun telah dilakukanya tanpa melawan kecenderungan pribadi, misalnya dalam keadaan darurat ia mempergunakan kepemimpinan yang demokratis. Dalam hubungan ini jenis kepemimpinan yang diterapkan itu dikatakan tidak tepat, oleh karena pada hematnya yang penting untuk saat itu ialah usaha-usaha untuk menguasai situasi dan untuk ini dibutuhkan penerapan ciri-ciri atau kepemimpinan yang dapat menjamin situasi itu. Dengan kata lain kepemimpinan lebih diarahkan kepada penguasaan situasi dan pengikut, bukan sekedar memuaskan kecenderungan pribadi.

Dari pemahaman itulah kemudian peneliti dalam hal ini dapat menyimpulkan bahwa tipe kepemimpinan Gus Dur adalah Kharismatik - Transformasional, hal ini didasarkan pada beberapa fakta serta data-data yang mengarah pada kecenderungan pola komunikasi serta dominasi tindakan yang pernah dilakukan Gus Dur pada saat menjabat dalam struktur politik.

Latar belakang munculnya term tersebut didasari pada komunikasi yang dibangun oleh Gus Dur pada saat menjabat sebagai seorang pemimpin politik cenderung mengarah pada pola komunikasi kharismatik yang dimiliki oleh seorang kiyai atau ulama, sebanyak apapun pengalaman oraganisasi serta latar belakang pendidikan yang dimiliki oleh Gus Dur, tetap saja bahwa sosok Gus Dur merupakan sosok yang paling penting dalam perkembangan suatu organisasi (dalam hal ini NU) keagamaan terbesar di Indonesia, hal ini dikarenakan dari latar belakang keluarga Gus Dur lahir dari dua tokoh besar (KH. Hasyim Asyari dan KH. Bisri Syansuri) pendiri organisasi tersebut, sehingga dalam pola komunikasi yang dibangun cenderung mengarah pada pola komunikasi kharismatik.

Dari berbagai macam teori-teori tentang kepemimpinan itulah kemudian penulis mencoba untuk menganalisis serta menyimpulkan bahwa secara langsung atau tidak langsung sosok Gus Dur akan tetap menjadi sosok yang berkharisma dan sangat dihormati sehingga

(10)

10

dalam kondisi apapun dan dimanapun pola komunikasi yang terbangun tentunya akan tetap seperti pola komunikasi antara seorang kiyai dan santrinya.

Hal inilah yang kemudian menyebabkan Gus Dur ketika menjabat sebagai seorang pemimpin dalam struktur politik cenderung berkomunikasi dengan mengandalkan bentuk komunikasi kharismatik yang dimilikinya, kharisma yang dimiliki oleh Gus Dur dimanfaatkan semaksimal mungkin sebagai upaya untuk memotivasi para bawahan serta kolega yang berada pada struktur dibawahnya dengan membuat mereka menyadari pentingya hasil tugas yang akan dicapai.

Yang dimaksud dengan tipe kharismatik itu sendiri adalah tipe kepemimpinan yang merujuk pada kepribadian seseorang yang memiliki daya tarik dalam berpenampilan dan berkomunikasi. Seseorang yang berkharisma memiliki daya pikat yang luar biasa, bahkan kadang dianggap memiliki kemampuan supranatural. Pemimpin semacam ini sangat percaya diri, tegas, menonjol dalam banyak hal, otentik, fokus, serta memiliki keahlian berpidato yang membuat audiensinya seakan-akan tersihir oleh manteranya.

Menurut sosiolog Max Weber, kharisma merujuk pada sebuah kualitas yang melekat pada pribadi, sosok ini punya nilai-nilai atau kelebihan tertentu yang membuat orang awam memperlakukanya secara istimewa. Dan kelebihan itu dipandang tidak dapat diakses oleh orang biasa, kecuali oleh para alite (pemimpin).

Bagi Pierre Bourdieu, penjelasan Weber sudah cukup, ia hanya perlu menekankan bahwa seorang pemimpin yang berkharisma hadir hanya ketika yang lain dapat menerima atau mengakuinya, menurut filsuf ini, kharisma selalu terkait dengan upacara (inaugural act). Kharisma telah dipandang sebagai ciri yang melekat pada seseorang sehingga ia memliki daya pikat yang kuat, dan daya pikat itu ditunjukkannya baik melalui komunikasi verbal maupun non-verbal. Setidaknya ada tiga ciri pada pemimpin yang kharismatis, pertama, memiliki kepekaan emosi yang tinggi, kedua, mampu mempengaruhi yang lain secara luar biasa, dan ketiga, tidak mudah terpengaruh oleh orang lain.

Seperti yang telah kita pahami bersama, bahwa untuk memahami serta melakukan studi penelitian tentang kepemimpinan tidak bisa kemudian hanya menggunakan satu sudut pandang saja, karena yang dimaksud dengan teori kepemimpinan adalah penggeneralisasian satu seri perilaku pemimpin dan konsep-konsep kepemimpinannya, dengan menonjolkan latar belakang historis, sebab-musabab timbulnya kepemimpinan, persyaratan menjadi pemimpin, tugas pokok dan fungsinya, serta etika profesi kepemimpinan (Kartono, 1998: 27).

Oleh karena itu, Analisis yang digunakan oleh peneliti dalam menganalisis tipe kepemimpinan politik Gus Dur, yang pertama adalah dengan menggunakan teori-teori

(11)

11

kepemimpinan yang berhubungan dengan latar belakang historis Gus Dur, serta sebab musabab timbulnya kepemimpinan Gus Dur, data ini juga dapat digunakan sebagai penguat bahwa Gus Dur secara historis juga mempunyai latar belakang pemimpin yang kharismatis.

Mengenai timbulnya seorang pemimpin, oleh para ahli teori kepemimpinan telah dikemukakan beberapa teori yang berbeda-beda. Namun demikian, apabila berbagai teori itu dianalisa, akan terlihat adanya tiga teori yang menonjol, ketiga teori itu ialah ; Pertama, teori Genetis (hereditary theory) yang mempunyai arti bahwa Inti dari pada ajaran teori ini tersimpul dalam sebutan yang mengatakan “leaders are born and not made”. Para penganut teori ini mengetengahkan pendapat yang mengatakan pendapat bahwa seseorang pemimpin akan menjadi pemimpin karena ia telah dilahirkan dengan bakat-bakat kepemimpinan. Dalam keadaan yang bagaimanapun seseorang yang ditempatkan, karena ia telah ditakdirkan menjadi pemimpin, satu kali kelak ia akan timbul sebagai pemimpin.

Kemudian yang kedua adalah teori Sosial yang Inti ajaran teori sosial ini ialah baahwa “leaders are made and not born”, merupakan kebalikan inti teori genetis. Para penganut teori ini mengetengahkan pendapat yang mengatakan bahwa setiap orang bisa menjadi pemimpin apabila diberikan pendidikan dan pengalaman yang cukup. Sedangkan yang ketiga, adalah teori ekologis yang pada intinya berarti bahwa seseorang hanya akan berhasil menjadi pemimpin yang baik apabila ia pada waktu lahirnya telah memiliki bakat kepemimpinan, bakat-bakat mana kemudian dikembangkan melalui pendidikan yang teratur dan pengalaman-pengalaman yang memungkinkan untuk mengembangkan lebih lanjut bakat-bakat yang memang telah dimiliki itu.

Dari ketiga teori tersebut, jika melihat latar belakang biografi kehidupan Gus Dur, mulai dari latar belakang keluarga, riwayat pendidikan serta pengalaman organisasi Gus Dur, peneliti menyimpulkan bahwa dalam teori tentang sejarah latar belakang ini, tipologi kepemimpinan Gus Dur lebih kepada teori ekologis, hal ini diperkuat dengan berbagai macam latar belakang Gus Dur, yaitu dia dilahirkan dari keluarga ulama Nahdlatul Ulama (NU), mulai dari kakeknya yaitu KH. Hasyim Asyari dan ayahnya yang juga pernah menjabat sebagai menteri agama yaitu KH. Wahid Hasyim, dari keluarga ibunya juga berasal dari kalangan ulama yaitu KH. Bisri Syansuri.

Meskipun demikian, selain secara genetis dia berasal dari keluarga yang memang menjadi para pemuka agama, namun Gus Dur dalam perjalanan kehidupanya tidak pernah berdiam diri dan hanya menunggu warisan jabatan dari ayah dan kakeknya, tapi Gus Dur juga memupuk pola pikir dan kemampuan memimpinya dari berbagai pengalaman pendidikan dan pengalaman organisasinya. Tercatat pendidikan yang di tempuh Gus Dur bisa dikatakan

(12)

12

cukup luar biasa, karena selain mengasah kemampuan intelektulnya dalam negeri, Gus Dur juga pernah menempuh pendidikan di Mesir, Baghdad, Belanda, sampai dengan Jerman dan Perancis.

Sedangkan untuk pengalaman organisasinya, Gus Dur juga pernah berkiprah dalam berbagai macam organisasi, mulai dari organisasi keagamaan, sampai dengan organisasi politik, sebagai contoh Gus Dur pernah aktif terlibat dengan Asosiasi Pelajar Indonesia dan menjadi jurnalis majalah asosiasi tersebut, selain itu banyak pula pengalaman-pengalaman organisasi yang pernah Gus Dur ikuti, yang paling menarik dan penuh tantangan tentunya ketika Gus Dur secara berturut-turut dalam tiga periode menjadi ketua umum PBNU.

Dari latarbelakang itulah kemudian seorang sosok Gus Dur dapat dikenal dan dijadikan panutan oleh sebagian besar warga NU, hal itu mau tidak mau didasarkan pada fakta sosial bahwa Gus Dur merupakan tokoh besar yang dilahirkan dari tokoh besar dan mampu menjawab tantangan sosial dengan mencari pengalaman-pengalaman organisasi serta politiknya sendiri.

Sedangkan yang dimaksud dengan tipe transformasional adalah tipe pemimpin yang mencoba mengubah dan memotivasi para pengikut dengan membuat mereka menyadari pentingnya hasil tugas, membujuk mereka untuk mendahulukan kepentingan tim dan organisasi, mengaktifkan kebutuhan mereka yang lebih tinggi.

Pola transformasional biasanya dipakai oleh pemimpin-pemimpin yang mempunyai kharisma yang tinggi serta mempunyai pengaruh yang optimal terhadap pengikutnya, sehingga motivasi yang diberikan untuk menyelesaikan tugas akan menjadi efektif. Gus Dur sebagai seorang pemimpin yang mempunyai pengaruh dan kharisma yang besar tentunya tidak ingin menyia-nyiakan momentum tersebut, sehingga banyak sekali perubahan-perubahan yang dinilai Gus Dur cukup baik untuk perkembangan bangsa dijadikan suatu kebijakan yang harus dilaksanakan oleh struktur yang ada di bawahnya.

Dari berbagai alasan itulah kemudian Gus Dur dapat dikatakan sebagai sosok pemimpin yang kharismatik, seperti yang telah peneliti sampaikan di atas, bahwa sosok Gus Dur merupakan sosok seorang pemimpin yang berasal dari tokoh besar, sehingga awal kemunculanya pun sudah menjadi nilai tersendiri bagi para pengikutnya. Selanjutnya dalam proses perkembangan politiknya, Gus Dur juga merupakan sosok yang bisa dikatakan sebagai sosok yang transformasional. Hal ini didasarkan pada perubahan-perubahan yang diimplementasikan Gus Dur dalam bentuk kebijakan-kebijakan politik sehingga dapat mendeskripsikan tipe kepemimpinan politik Transformasional, diantaranya :

(13)

13

Gebrakan pertama Gus Dur ketika menjabat sebagai Presiden ke-4 RI adalah menghapus eksistensi Departemen Penerangan (Deppen) dan Departemen Sosial (Depsos). Kebijakan ini cukup penting untuk menumbuhkan budaya demokrasi dengan memberi free public sphere sekaligus pemberdayaan civil society yang selama ini dikooptasi oleh negara. Kebijakan ini akhirnya mendapatkan sorotan keras dari para politisi di parlemen.

Keputusan Gus Dur membubarkan Deppen dan Depsos dilakukan di atas pertimbangan yang cukup jelas, pembentukan departemen untuk mengurusi sebuah bidang persoalan menunjukkan besarnya peranan negara dalam urusan yang bersangkutan. Maksudnya bahwa aspek-aspek penerangan dan sosial biarlah menjadi urusan masyarakat sendiri. Negara hanya akan mengambil peran minimal. Dengan kata lain negara tentu tidak akan melepaskan tanggung jawab sama sekali, melainkan mengambil peran yang terbatas. Dari kebijakan tersebut, dapat dipahami bahwa Gus Dur mempunyai tiga sifat dasar kepemimpinan dari delapan sifat dasar kepemimpinan yang disampaikan oleh Warren Bennis dalam Syafi’i (2007: 23) yaitu Vissioner, berkemauan kuat (passion), dan berani (courage). Dalam hal ini Warren Bennis mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Vissioner adalah mempunyai ide yang jelas tentang apa yang diinginkan. Kemudian yang dimaksud dengan berkemauan kuat (passion) adalah mempunyai kesungguhan dalam menjalani kehidupan dan pekerjaan. Sedangkan, berani (courage) mempunyai arti yaitu seorang pemimpin yang mempunyai sifat berani dalam mengambil setiap resiko yang harus dihadapi.

Selain itu, jika menggunakan pendekatan teori situasional (The Situational Theory), dalam kebijakan ini, Gus Dur mencoba untuk menyesuaikan diri terhadap tuntutan situasi, lingkungan sekitar dan zamanya. Factor lingkungan itu harus dijadikan tantangan untuk di atasi. Maka Gus Dur harus mampu menyelesaikan masalah-masalah aktual dewasa ini. Sebab permasalahan-permasalahan hidup dan saat-saat krisis yang penuh pergolakan dan ancaman bahaya, selalu akan memunculkan satu tipe kepemimpinan yang relevan bagi masa itu. Meskipun di satu sisi banyak permasalahan juga yang muncul ketika kebijakan tersebut dimunculkan.

2. Membuka Hubungan Dagang Dengan Israel

Kebijakan yang tidak kalah kontroversial dalam perjalanan kepemimpinan politik Gus Dur salah satunya adalah ide tentang membuka hubungan dagang dengan Israel, hal ini disampaiakan oleh Gus Dur pada acara “Indonesia Next” di Jimbaran Bali 3 hari setelah terpilih sebagai presiden RI ke-4, Oktober 1999. Sontak, gagasan ini langsung mendapatkan perlawanan yang hebat dari berbagai kalangan Islam. Bahkan mereka

(14)

14

cenderung membawa kasus ini pada “isu agama”, bukan lagi sebagai isu ekonomi dan kerjasama bilateral antara dua negara berdaulat.

Kebijakan ini kemudian menimbulkan berbagai macam kecaman dari pihak-pihak yang mengatasnamakan perwakilan agama, sehingga banyak sekali kontroversi yang terjadi pada saat itu, bagaimanapun juga pendapat yang dikemukakan oleh seorang presiden, bisa menjadi sebuah kebijakan manakala seluruh elemen yang ada di sekitar pemimpin tersebut mendukung dan menerima keputusan tersebut.

Gus Dur dalam hal ini mencoba untuk menjadi seorang pemimpin yang mempunyai fungsi kepemimpinan sebagai seorang perintis (pathfinding), pada konsep ini Stephen Covey dalam Syafi’i (2007: 21) menyatakan bahwa bagaimana upaya sang pemimpin memahami dan memenuhi kebutuhan utama para stakeholder- nya, misi dan nilai-nilai yang dianutnya, serta yang berkaitan dengan visi dan strategi, yaitu gimana organisasi akan dibawa dan bagaimana caranya agar sampai pada tujuanya.

Namun yang terjadi pasca munculnya kebijakan tersebut adalah berbagai macam pro-kontra yang terjadi di negara ini, akhirnya keinginan untuk mewujudkan hubungan dagang dengan Negara Israel dihentikan, hal ini dikarenakan Gus Dur lebih memilih keutuhan dan kondusifitas Republik Indonesia, sehingga kebijakan ini setelah diperdebatkan oleh beberapa kalangan hanya menjadi isu kebijakan nasional yang tidak pernah terlaksana.

Hal ini yang kemudian dalam teori kepemimpinan Gus Dur dapat dikatakan sebagai seorang pemimpin yang mampu menerapkan teori kelompok pada proses kepemimpinanya, hal ini dapat dilihat dari upaya Gus Dur dalam mencapai tujuanya, maka Gus Dur mencoba untuk mengambil pertukaran yang positif diantara pemimpin dan pengikutnya sehingga masih ada pertimbangan dalam mengeluarkan serta menetapkan kebijakan.

3. Pemisahan TNI-POLRI

Pada masa pemerintahan Gus Dur, muncul kebijakan yang kontroversial dikalangan militer, kebijakan tersebut adalah pemisahan antara TNI dan POLRI. Alasan mendasar yang dilakukan Gus Dur dalam kebijakan ini adalah selain untuk semaksimal mungkin melakukan pengurangan sistemik terhadap hak-hak progresif militer yang telah lama dikembangkan di masa orde baru, juga jika TNI dianggap mewakili tanggung jawab keamanan secara militer, maka sesungguhnya POLRI seharusnya menangani keamanan di wilayah sipil. Pengembalian fungsi-fungsi yang demikian ini merupakan langkah-langkah penting untuk mendudukkan kembali organ-organ sipil pada posisi semula.

(15)

15

Jika menganalisis kebijakan ini, Gus Dur bisa dikatakan sebagai seorang pemimpin yang mampu menjadi seorang penyelaras (aligning), konsep ini menekankan pada kemampuan seorang pemimpin dalam menyeleraskan keseluruhan sistem dalam organisasi (negara) agar mampu bekerja dan saling mengisi. Meskipun pada awal kebijakam ini timbul berbagai pro-kontra dikalangan militer, namun pada tahap selanjutnya kebijakan ini mampu menempatkan posisi masing-masing institusi tersebut dalam suatu sistem kenegaraan yang ideal.

4. Seringnya melakukan reshuflle kabinet

Keputusan yang cukup menghebohkan dan menggemparkan perpolitikan pada saat pemerintahan Gus Dur juga bisa menjadi alasan kalau Gus Dur adalah pemimpin yang benar-benar kontroversial, bagaimana tidak, dari catatan peneliti terdapat lebih dari sepuluh menteri yang pernah di reshuflle oleh Gus Dur, bahkan beberapa menteri tersebut adalah orang-orang yang berpengaruh dalam partai politik yang bisa menjadi boomerang dalam pemerintahanya Gus Dur.

Jika melihat kebijakan ini, teori kepemimpinan yang dapat digunakan untuk melakukan analisis adalah teori sifat (The Trait Theory), hal ini dikarenakan dalam kebijakan yang terkait dengan pencopotan, pemberhentian, dan pemilihan susunan kabinet adalah hak preogatif seorang presiden. Oleh karena itu, dalam memutuskan kebijakan tersebut, perlu adanya analisis mendalam terkait dengan apa yang menjadi keinginan pemimpin tersebut. Gus Dur merupakan sosok pemimpin yang sangat tidak sepakat dengan hal-hal yang berkaitan dengan korupsi, pelanggaran HAM, dan hal lainya yang kontra terhadap perkembangan demokrasi, oleh karena itu, ketika ada indikasi pada susunan cabinet Gus Dur dalam melakukan pelanggaran tersebut, maka Gus Dur dengan tgas segera memberhentikan menteri yang berada di bawah komandonya tersebut.

Namun jika di lihat dari sudut pandang yang lain, dalam memahami kebijakan ini dapat juga menggunakan pendekatan teori otokratis, Dilihat dari segi persepsinya, seorang pemimpin yang otokratik adalah seseorang yang egois. Egoismenya yang sangat besar akan mendorongnya memutarbalikkan kenyataan yang sebenarnya sehingga sesuai dengan apa yang secara subjektif diinterpretasikannya sebagai kenyataan. Dengan egoisme yang besar demikian, seorang pemimpin yang otokratik melihat peranannya sebagai sumber segala sesuatu dalam kehidupan organisasional seperti kekuasaan yang tidak perlu dibagi dengan orang lain dalam organisasi, ketergantungan total para anggota organisasi mengenai nasib masing-masing dan lain sebagainya.

(16)

16

Memasuki tahun baru 2001, perseteruan antara Presiden dan DPR semakin memanas. DPR tidak dapat di rem untuk menyelenggarakan sidang paripurna guna mengeluarkan memorandum, sedangkan Presiden (Gus Dur) semakin keras melakukan perlawanan. Bagi Gus Dur, selain kasus Bulog dan Brunei itu omong kosong, menjatuhkan Presiden di tengah jalan dengan cara mengeluarkan memorandum adalan inkonstitusional. Oleh sebab itu, sebuah tindakan inkonstitusional bisa dihalangi dengan sebuah dekrit sebelum keadaan menjadi lebih buruk.

Ide mengeluarkan dekrit ini juga semakin menegaskan bahwa kepemimpinan yang dijalankan oleh Gus Dur dalam kapasitasnya sebagai seorang presiden sedikit melukiskan bahwa Gus Dur benar-benar teguh pada pendirian. Meskipun pendapat Gus Dur tentang dekrit merujuk pada pendapat ahli hukum tatanegara, Harun Alrasid, yang mengatakan bahwa di dalam sistem presidensiil masa jabatan Presiden itu sudah fixed dan ia tidak bisa dijatuhkan, tapi dunia politik tidak seperti apa yang diinginkan oleh Gus Dur, secara tidak langsung ketika Gus Dur menginginkan adanya dekrit, para pengamat politik dan masyarakat akan menganggap bahwa keputusan Gus Dur cenderung otoriter dan hanya ingin mempertahankan kekuasaan saja.

6. Kunjungan Kerja ke Luar Negeri

Gus Dur merupakan sosok Presiden yang sangat kontroversial, hal ini dapat dilihat dari sikap Gus Dur yang terlalu sering melakukan perjalanan ke luar negeri. Bagaimana tidak, kondisi bangsa yang baru saja mengalami masa transisi dalam sistem kenegaraannya, seharusnya mendapatkan perhatian lebih dari Gus Dur, tapi kenapa justru Gus Dur justru memilih untuk melakukan kunjungan ke luar negeri, tidak kemudian berdiam di dalam negeri dan melaksanakan kegiatan-kegiatan yang dapat berdampak positif pada negara.

Tercatat lebih dari sepuluh negara yang pernah dikunjungi Gus Dur pada saat dia menjabat sebagai presiden, diawali pada tahun 2000 Gus Dur melakukan perjalanan ke luar negerinya ke Swiss untuk menghadiri Forum Ekonomi Dunia dan mengunjungi Arab Saudi dalam perjalanan pulang menuju Indonesia. Pada Februari, Wahid melakukan perjalanan luar negeri ke Eropa lainnya dengan mengunjungi Inggris, Perancis, Belanda, Jerman, dan Italia. Dalam perjalanan pulang dari Eropa, Gus Dur juga mengunjungi India, Korea Selatan, Thailand, dan Brunei Darussalam. Pada bulan Maret, Gus Dur mengunjungi Timor Leste. Di bulan April, Gus Dur mengunjungi Afrika Selatan dalam perjalanan menuju Kuba untuk menghadiri pertemuan G-77, sebelum kembali melewati Kota Meksiko dan Hong Kong. Pada bulan Juni, Gus Dur sekali lagi mengunjungi

(17)

17

Amerika, Jepang, dan Perancis dengan Iran, Pakistan, dan Mesir sebagai tambahan baru ke dalam daftar negara-negara yang dikunjunginya.

7. Konflik Internal PKB

Konflik yang terjadi dalam internal PKB dimulai ketika Matori Abdul Jalil sebagai ketua PKB hadir dalam sidang istimewa MPR yang bertujuan untuk memakzulkan Gus Dur, hal ini yang kemudian membuat geram Gus Dur, akhirnya sebagai Dewan Penasihat partai, Gus Dur menjatuhkan posisi Matori sebagai ketua PKB pada tanggal 15 agustus 2001 dan melarangnya ikut serta dalam aktivitas partai sebelum mencabut keanggotaan Matori pada bulan November.

Tidak hanya sampai disitu, setelah adanya konflik antara Gus Dur dengan Matori yang pada saat itu menjadi ketua partai, pada Muktamar yang diselenggarakan di Surabaya (Oktober 2005) dan Semarang (April 2005) menjadi konflik antara kubu Alwi Shihab dan Muhaimin Iskandar yang mendapatkan dukungan penuh oleh Gus Dur, yang pada akhirnya kasus ini berujung di ranah hukum dan kemudian menjadikan Muhaimin Iskandar sebagai ketua yang sah.

Terakhir Gus Dur sebelum meninggal juga masih sempat berbeda pendapat dengan Gus Dur terkait dengan posisi ketua partai, kali ini yang didukung oleh Gus Dur adalah pihak dari Ali Maskur Moesa dan tidak mengakui kubu Muhaimin Iskandar sebagai pengurus partai.

Beberapa kebijakan itulah yang kemudian menunjukkan bagaimana sangat berpengaruhnya Gus Dur dalam setiap momen politik yang terjadi, mulai dari kebijakan Gus Dur sebagai seorang presiden maupun ketika menjabat sebagai ketua dewan penasihat dalam suatu partai. Gaya kepemimpinan yang kemudian muncul adalah bahwa Gus Dur cenderung menggunakan kharismanya untuk membuat kebijakan dan harus dilaksanakan oleh struktur yang ada di bawahnya.

Selanjutnya, jika melihat beberapa kebijakan seperti yang telah disebutkan di atas, gaya kepemimpinan yang kemudian dapat mendeskripsikan beberapa kebijakan yang dilakukan dan diambil oleh Gus Dur pada masa pemerintahanya, peneliti dapat menyimpulkan bahwa dari beberapa kebijakan yang diambil oleh Gus Dur, lebih cenderung kepada gaya kepemimpinan yang transformasional, yaitu dengan memberikan motivasi kepada para bawahanya dengan menggunakan kharismatik yang dimilikinya, namun Gus Dur juga tidak menyadari bahwa tidak bisa hanya dengan mengandalkan sebuah kharisma yang dimiliki sehingga mampu memotivasi para bawahanya, sikap pragmatisme yang sudah menjadi budaya pada bangsa juga mampu menjadi blunder terhadap Gus Dur sendiri. Di satu sisi Gus

(18)

18

Dur merasa bahwa apa yang dikatakanya akan menjadi motivasi pada bawahanya untuk melaksanakan tugas, tapi di sisi lain kebencian terhadap Gus Dur akan semakin meningkat manakala hanya kharismatik personal saja yang ditonjolkan oleh Gus Dur.

Setidaknya, ada tiga kelemahan Gus Dur yang bisa dijadikan rujukan untuk menganalisa tipe kepemimpinan Gus Dur, tiga hal ini disampaikan oleh Mahfud MD (2003: 100-101) yang juga pernah menjabat sebagai salah satu menterinya, tiga kelemahan kepemimpinan Gus Dur itu diantaranya adalah. Pertama, Gus Dur tidak suka pada detail dan tekhnis dari persoalan, begitu menggariskan sesuatu dia tidak lagi mengurus kelanjutan dan masalah tekhnisnya. Kedua, Gus Dur acapkali menyederhanakan persoalan. Ucapan-ucapannya yang sangat popular, “begitu saja kok repot”, menjadi bukti dari kebiasaanya untuk mudah menyederhanakan dan menganggap enteng masalah. Padahal, banyak masalah yang terlihat enteng dan sederhana tetapi di dalam politik bisa menjadi masalah besar. Ketiga, Gus Dur tidak suka dilawan dan tidak mau melakukan kompromi jika ia merasakan bahwa kompromi itu merugikan dirinya dalam politik. Padahal kompromi dan pendekatan terhadap lawan merupakan bagian penting di dalam pergulatan politik.

Selain itu, menurut Tjipta Lesmana (2009: 1995) salah satu watak Gus Dur adalah terlalu cepat percaya pada “bisikan” pembantunya. Bukan itu saja, setelah mendapat “bisikan”, rupanya tanpa melakukan check-and-recheck, Gus Dur kerap langsung melemparkanya kepada publik dalam bentuk pernyataan-pernyataan yang kontroversial. Akibatnya, publik pun heboh dan menjadikan isu yang dilempar Gus Dur sebagai agenda publik.

Hal ini yang kemudian terlihat bahwa setiap apapun yang menjadi kebijakan publik mekanisme pengambilan keputusannya cenderung terlihat personal, yang pada akhirnya menganggap bahwa Gus Dur secara personality sebagai pemimpin bangsa. Dan orang-orang yang berada dalam sekeliling Gus Dur cenderung memanfaatkan hal ini, karena berada pada posisi yang tidak terlihat, dan susah untuk kemudian di cari.

Beberapa hal itulah yang dapat dianalisis oleh peneliti dalam mendeskripsikan tipe kepemimpinan politik Gus Dur jika dilihat dari kebijakan politik yang dibuat oleh Gus Dur dengan menggunakan teori-teori kepemimpinan serta gaya kepemimpinan.

H. Kesimpulan

Berangkat dari hasil pemaparan di atas dikemukakan kesimpulan penelitian bahwa tipologi kepemimpinan Politik KH. Abdurrahman Wahid adalah seorang pemimpin

(19)

19

kharismatik - transformasional, hal ini berdasarkan beberapa fakta dan data-data politik yang dilakukan Gus Dur lebih mengarah pada pola perilaku kharismatik - transformasional.

Pola transformasional yang muncul sebenarnya berdasarkan kebijakan Gus Dur yang cukup visioner, seperti pembubaran Departemen Penerangan dan Departemen Sosial, membuka hubungan dagang dengan Israel, Pemisahan TNI-POLRI, Seringnya melakukan reshuflle kabinet, mengeluarkan Dekrit Presiden, seringnya melakukan kunjungan ke luar negeri, serta seringnya konflik Internal PKB.

Meskipun Gus Dur dalam mengambil kebijakan tersebut cenderung mengandalkan sikap kharismatik yang dimilikinya, namun Gus Dur tidak pernah melakukan tekanan serta ancaman dengan menggunakan kekerasan atau kekuatan militer, namun sikapnya yang terlalu berani (courage) serta kemauan kuatnya (passion) dalam memutuskan kebijakan yang dalam perspektifnya dianggap paling benar, hal itu merupakan bentuk tindakan yang telah membuat Gus Dur harus merelakan jabatanya karena kesalahannya sendiri dalam bertindak.

Sehingga perlu digaris bawahi, bahwa kharismatik - transformasional yang dimaksud dalam gaya kepemimpinan Gus Dur menurut penulis lebih mengarah pada pembenaran pribadi yang kuat oleh Gus Dur sehingga menjadi egoisme politik yang kemudian mengarah pada kebijakan yang kontroversial, kharisma yang dimiliki Gus Dur justru tidak dapat menjadi motivasi bagi para bawahanya untuk melaksanakan tugas. Akhirnya perubahan-perubahan yang diimplementasikan Gus Dur dalam bentuk kebijakan-kebijakan menjadi sebuah kebijakan yang kontroversial manakala pola yang dibangun pada bawahannya hanya dengan menonjolkan kharismatik personal Gus Dur saja.

Kepercayaan diri yang terlalu kuat itulah yang mengarahkan pada kesimpulan bahwa pola komunikasi yang dibangun oleh Gus Dur lebih cenderung ke arah pola komunikasi dalam kehidupan tradisonal pesantren, yaitu pola kharismatik seorang santri terhadap kiainya, dan dalam hal ini Gus Dur menempatkan dirinya sebagai seorang kiai yang harus selalu dipatuhi.

I.Daftar Pustaka

BUKU-BUKU

Alfian, M Alfan. 2009. Menjadi Pemimpin Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Antonio, Muhammad Syafi’i. 2007. Muhammad SAW The Super Leader Super Manager, Jakarta: PLM.

Arikunto, Suharsini. 1998. Metode Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta.

Barton, Greg. 2002. Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, Yogyakarta: Lkis.

(20)

20

Hasbullah, Muhammad Wahab. 2010. Ngakak Bareng Gus Dur, Yogyakarta: PT. Bintang Pustaka Abadi.

Iskandar, Muhaimin. 2004. Gus Dur Yang Saya Kenal; Catatan Transisi Demokrasi Kita, Yogyakarta; Lkis.

Kartono, Kartini. 1998. Pemimpin dan Kepemimpinan, Jakarta : PT. Raja Grafindo.

Lesmana, Tjipta. 2009. Dari Soekarno Sampai SBY; intrik dan lobi politik para penguasa, Jakarta: Gramedia.

MD, Mahfud. 2010. Gus Dur; Islam, politik, dan kebangsaan, Yogyakarta: Lkis.

___________. 2003. Setahun Bersama Gus Dur; kenangan menjadi menteri di saat sulit, Jakarta: LP3ES.

Meleong, Lexi J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdan Karya.

Muhadjir, Noeng. 1993. Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin. SE, Winardi. 1990. Kepemimpinan dalam Manajemen, Jakarta: Rineka Cipta.

Siagian, Sondang P. 1994. Toeri dan Praktek Kepemimpinan, Jakarta: Rineka Cipta.

Sunindhia, Yw. dan Widiyanti, Ninik. 1993. Kepemimpinan Dalam Masyarakat Modern, Jakarta: PT. Rineka cipta.

Surbakti, Ramlan. 1999. Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Grafindo.

Suryabrata, Sumadi. 2003. Metodologi Penelitian, Jakarta : Raja Grafindo Persada. Terry, George R. 1993. Prinsip-prinsip Manajemen, Jakarta: Bumi Aksara.

Thoha, Miftah. 1995. Kepemimpinan dalam Manajemen, Jakarta: PT. Raja Grafindo. Wahid, Abdurrahman. 1999. Tuhan Tidak Perlu Dibela, Yogyakarta: Lkis.

ARTIKEL DAN MEDIA LAIN

Artikel karya Sismanto yang berjudul “Tipologi Kepemimpinan Gus Dur” (Primagama Educational Trendsetter)

Artikel karya Daniel Ronda yang berjudul “Telaah Kepemimpinan Gus Dur” (Kompasiana; 02/01/2010.)

Opini Ahmad Najib Burnani yang berjudul “Gus Dur, Pemimpin Klenik atau Spiritualistik?” (Media Indonesia; 06/02/2010).

www. Geek Inside, “Leadership: Teori Kepemimpinan” (Siutao Community: Surabaya, 13 Maret 2010)

www. Wikimedia-Ensiklopedia bebas.com, Abdurrahman Wahid, (Surabaya, 14 April 2010). http://Nusantaranews.Wordpress.Com/2009/12/30, gus dur selamat jalan pahlawan

demokrasi. (Surabaya; 24 Juni 2010).

WWW. Gus Dur. Net, Latar belakang keluarga Gus Dur, (Surabaya: 14 Maret 2010)

www. Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, “Abdurrahman Wahid” (Surabaya, 14 Maret 2010)

Referensi

Dokumen terkait

Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam menentukan nilai eigen tak dominan suatu matriks Hermit menggunakan metode pangkat invers dengan nilai shift adalah

Karakteristik limbah cair domestik sebelum terjadi pengolahan di Perumahan Green Tombro Kota Malang yaitu memiliki pH = 9, kandungan COD sebesar 296,45 mg/l, dan kandungan BOD sebesar

Tercapainya pengelolaan dan pemeliharaan sarana rumah sakit dengan baik, bermutu, profesional dan memuaskan sesuai dengan standar operasional prosedur yang berlaku

Kuliner Indonesia mempunyai keanekaragaman yang sangat banyak dan setiap daerah mempunyai ciri yang berbeda antara satu daerah dengan daerah yang

Merupakan perbaikan dari prosedur quenching dan digunakan untuk mengurangi distorsi dan chocking selama pendinginan. Caranya benda kerja dipanaskan sampai ke

Nilai kerapatan relatif, frekuensi relatif dan dominansi relatif dari jenis tanaman Tengkawang disajikan pada Tabel 1 dan nilai kerapatan relatif, frekuensi relatif dan

Dewa Ketut Puspaka,

Dengan memanfaatkan penyedot debu portebel sebagai mesin utama penghisapnya ditunjang dengan motor DC sebagai motor penggerak roda belakang alat ini, servo