• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kelapa Sawit

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) pertama kali diperkenalkan di indonesia oleh pemerintah kolonial belanda pada tahun 1848. Ketika itu ada empat batang bibit kelapa sawit yang dibawa dari Mauritius dan Amsterdam untuk ditanam di kebun raya Bogor.Tanaman kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial pada tahun 1911.Perintis usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah Adrien Haller, seorang berkebangsaan Belgia yang telah belajar banyak tentang kelapa sawit di Afrika.

Budidaya yang dilakukannya diikuti oleh K. Schadt yang menandai lahirnya perkebunan kelapa sawit di Indonesia.Sejak saat itu perkebunan kelapa sawit di Indonesia mulai berkembang.Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh.Luas areal perkebunannya saat itu sebesar 5.123 ha. Indonesia mulai mengekspor minyak sawit pada tahun 1919 sebesar 576 ton ke negara-negara eropa, kemudian tahun 1923 mulai mengekspor minyak inti sawit sebesar 850 ton (Fauzi, 2006).

Indonesia adalah produsen terbesar CPO di seluruh dunia dengan luas areal tanam sawit terus bertambah setiap tahunnya. Berdasarkan data BPS, total luas areal perkebunan kelapa sawit pada 2017 diperkirakan mencapai 12,30 juta hektar (ha) atau meningkat 17,48% dari 2010 dikutip CNBC Indonesia. Provinsi Riau menjadi berada di posisi teratas di daftar daerah yang memiliki kebun sawit terluas di Indonesia, yakni mencapai 2,26 juta ha pada tahun 2017. Capaian itu disusul oleh Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah masing-masing sebesar 1,5juta ha dan 1,36 juta ha.Hal ini adalah perkembangan yang positif bagi dunia perkebunan kelapa sawit Indonesia, dimana kondisi iklimnya juga mendukung pertumbuhan kelapa sawit dalam menghasilkan CPO yang optimal.

2.2 Gulma

Gulma adalah tumbuhan yang tumbuh pada areal yang tidak dikehendaki yakni tumbuh pada areal pertanaman.Gulma secara langsung maupun tidak langsung merugikan tanaman budidaya.Gulma dapat merugikan tanaman budidaya karena bersaing dalam mendapatkan unsur hara, cahaya matahari, dan air.Pengenalan suatu jenis gulma dapat dilakukan dengan melihat keadaan morfologi, habitat, dan bentuk pertumbuhanya (Gupta, 1984).

(2)

Kehadiran gulma pada pertanaman akan menimbulkan kompetisi yang sangat serius dalam mendapatkan air, hara, cahaya matahari dan tempat tumbuh, dampaknya hasil tanaman tidak mampu menunjukkan potensi yang sebenarnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa besarnya pengaruh kompetisi dengan gulma sangat ditentukan oleh lokasi atau kesuburan tanah, tanaman budidaya, jenis gulma, tingkat kelembaban tanah, tingkat pengelolaan lahan, pupuk, stadia tanaman, dan tingkat populasi gulmanya (Madkar dkk., 1986).

Menurut Utomo dkk (1986), biaya tenaga kerja untuk penyiangan gulma bisa mencapai 65% dari total biaya produksi. Besarnya kerugian atau kehilangan hasil yang diakibatkan oleh gulma berbeda-beda untuk setiap jenis tanaman tergantung dari jenis tanaman, jenis gulma dan faktor-faktor pertumbuhan yang mempengaruhinya (Chozin, 2006). Menurut Smith (1985) dan Madkar dkk, (1986) dalam Kilkoda, (2015), kehilangan hasil akibat gulma pada tanaman budidaya ditentukan oleh efisiensi kompetisi antara tanaman dan gulma, jenis gulma, tingkat kesuburan tanah, varietas, alelopati, pengelolaan air, jarak tanam, kepadatan gulma dan cara tanam.

Banyak spesies gulma menimbulkan kerugian dalam budidaya tanaman yang berakibat pada berkurangnya jumlah dan kualitas hasil panen.Rice (1984) mencatat 59 spesies gulma yang memiliki potensi alelopati. Inderjit dan Keating (1999) melaporkan 112 spesies gulma, bahkan Qasem dan Foy (2001) menambahkannya hingga 239 spesies. Selain itu, Qasem dan Foy (2001) mencatat 64 spesies gulma yang bersifat alelopati terhadap gulma lain, 25 spesies gulma yang bersifat autotoxic/autopathy, dan 51 spesies gulma aktif sebagai antifungi atau antibakteri. Jenis gulma yang memberikan pengaruh negatif alelopati pada tanaman berkontribusi pada berkurangnya jumlah dan kualitas panen tanaman melalui alelopati dan juga kompetisi sarana tumbuh.

2.2.1 Kerugian Akibat Gulma

Dalam pertanian gulma merupakan tumbuhan yang memberikan dampak negatif terhadap tanaman yang dibudidayakan baik secara langsung maupun tidak.Gulma yang mengganggu tanaman pokok pada masa pertumbuhan dan perkembangan hidup tanaman merupakan salah satu masalah penting yang dapat menurunkan produksi tanaman. Kerugian akibat gulma terhadap tanaman budidaya bervariasi, tergantung dari jenis

(3)

tanamannya, iklim, jenis gulmanya, dan tentu saja praktek pertanian di samping faktor lain. Disamping itu gulma dapat mengeluarkan zat allelopati yang mengakibatkan sakit atau matinya tanaman pokok.Masalah gulma dipertanaman kelapa sawit masih merupakan kendala yang besar dalam kaitannya dengan kehilangan hasil tanaman tersebut. Hasil penelitian menunjukan, bahwa apabila gulma tumbuh pada pertanaman selama masa pertumbuhannya, maka hasil tanaman akan menurun hingga 45 % (Warisno, 1998 dalam Susanti, 2015).

Gulma dapat merugikan karena menyebabkan penurunan kuantitas dan kualitas hasil panen.Penurunan kuantitas hasil panen yaitu pengurangan jumlah hasil yang dapat dipanen dan penurunan jumlah individu tanaman yang dipanen (Kilkoda, 2015).Penurunan hasil tersebut diakibatkan karena gulma bersaing dengan tanaman dalam hal unsur hara, air, cahaya dan ruang tumbuh (Zimdahl, 1993 dalam Susanti, 2015).Tanaman kelapa sawit juga mudah terpengaruh oleh gulma, terutama sewaktu masih muda. Apabila pengendalian gulma diabaikan sama sekali, maka kemungkinan besar usaha tanaman perkebunan itu akan rugi total.

2.3 Ageratum conyzoides L 2.3.1 Botani

Babandotan (Ageratum conyzoides L) merupakan gulma yang banyak tumbuh di Indonesia.Babandotan berasal dari Amerika tropic karena itulah pada daerah tropis mampu hidup dan berkembang menjadi banyak sekali.Persebaran babandotan dimulai dari Amerika Utara hingga ke- Amerika Tengah meskipun awalnya gulma ini berasal dari amerika Tengah dan Karibia. Untuk di Indonesia menemukan gulma ini sangat mudah kareba hamper disetiap daerah ada dan gulma ini masih kurang termanfaatkan. Gulma ini mudah ditemukan di lading, kebun, pekarangan tepi, jalan atau saluran air pada ketinggian 1-2100 m dpl (Dalimartha, 2002). Tumbuhan gulma babandotan Ageratum conyzoides Lmemiliki klasifikasinya adalah:

Division : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Asterales Famili : Asteraceae Genus : Ageratum

(4)

2.3.2. Morfologi a. Daun

Daun babandotan berukuran bulat telur dengan daun sebuku dengan pangkal membulat dan bagian tepi ujung runcing, tepi, bergerigi. Panjang daun babandotan 5-13 cm dan lebar 0,5-6 cm. kedua permukaan daun di tumbuhi bulu atau rambut (trichome) (Dalimartha,2002).Untuk melihat lebih jelas contoh dari daun gulma babadotan (Ageratum conyzoides L) dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Daun Ageratum conyzoides L (Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2019)

b. Batang

Batang babandotan berbentuk bulat yang ditumbuhi rambut panjang dan memiliki cabang. Tingginya berkisar dari 25cm-50cm. Pada ketiak daun tumbuh tunas yang membentuk cabang. Apabila bagian batang menyentuh tanah maka mengeluarkan akar dan baru tumbuh (Kardinan, 1999).Untuk melihat lebih jelas batang babadotan dapat dilihat pada Gambar 2.2.

(5)

Gambar 2.2. Batang Ageratum conyzoides L (Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2019)

c. Bunga

Bunga babadotan berada di ketiak daun (aksiler), bongkol menyatu menjadi karangan dengan panjang 6-8 mm dengan tangkai berambut, kelopak berbulu, mahkota berbentuk lonceng dengan warna putih atau ungu. Bunga merupakan bunga majemuk yang berkumpul lebih dari tiga kuntum (Dalimartha, 2002).Untuk melihat lebih jelas bunga babadotan dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3. Bunga Ageratum conyzoides L (Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2019)

d. Buah

Buah babadotan berbentuk bulat panjang persegi lima dan berwarna hitam. Pada buah kering akan membentuk struktur 14 sayap sehingga mudah diterbangkan angin (Kardinan, 1999). Biji babadotan berbentuk ramping dan kecil memiliki panjang 1,5-2 mm berwarna hitam. Bersifat fotoblastik positif dengan viabilitas mencapai 12 bulan dengan temperature optimum 20-25◦C (Ming, 1999) dalam (Darmayanti, 2006).Untuk melihat lebih jelas bunga babadotan dapat dilihat pada Gambar 2.4.

(6)

Gambar 2.4. Buah Ageratum conyzoides L (Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2019)

e. Akar

Akar babadotan (Ageratum conyzoides L) merupakan akar tunggang, perakarannya dangkal, sedikit dan tidak kuat sehingga mudah dicabut, akarnya berwarna putih kekuning-kuningan, terdapat sedikit bulu-bulu halus.Untuk melihat melihat lebih jelas akar babadotan dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5. Akar Ageratum conyzoides L (Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2019)

2.4 Pengendalian Gulma

Terdapat beberapa metode/cara pengendalian gulma yang dapat di praktekkan di lapangan. Sebelum melakukan tindakan pengendalian gulma sangat penting bagi kita mengetahui cara-cara tersebut guna memilih cara yang paling tepat untuk suatu jenis tanaman budidaya dan gulma yang tumbiuh di suatu daerah (Sukman dan Yakup, 2002). Tehnik pengendalian yang tersedia adalah:

a. Pengendalian dengan upaya preventif (pembuatan peraturan perundangan, karantina, sanitasi, dan peniadaan sumber invasi).

b. Pengendalian secara mekanis/fisik (pengerjaan tanah, penyiangan, pencabutan, pembabatan, penggenangan).

c. Pengendalian secara kultur-teknis (penggunaan bibit unggul terhadap gulma, pemilihan saat tanam, cara tanam-rapatan jarak tanam/heavy seeding, tanaman sela, rotasi tanaman dan penggunaan mulsa).

(7)

d. Pengendalian secara hayati (pengadaan musuh alami, manipulasi musuh alami dan pengelolaan musuh alami yang ada di suatu daerah).

e. Pengendalian secara kimiawi (herbisida dengan berbagai formulasi, surfaktan, alat aplikasi dan sebagainya).

f. Pengendalian dengan upaya memanfaatkannya (untuk berbagai keperluan seperti sayur, bumbu, bahan obat, penyegar, bahan kertas atau karton, pupuk, dan makanan ternak).

2.5 Tehnik Pengendalian Secara Kimiawi

Secara Kimiawi (Chemist) Pengendalian gulma secara kimiawi atau Chemist adalah pengendalian gulma dengan pemberian zat-zat kimia tertentu pada gulma yang dimana zat-zat tersebut bersifat racun/toksin yang dapat merusak jaringan tanaman/gulma.Bahan kimiawi yang digunakan untuk mengendalikan gulma sering disebut dengan istilah Herbisida.Herbisida berasal dari kata herba (gulma) dan sida (membunuh). Jadi dapat disimpulkan bahwa herbisida tersebut adalah bahan kimia yang diberikan dengan tujuan untuk membunuh gulma atau herbisida adalah senyawa atau material yang disebarkan pada lahan pertanian untuk menekan atau memberantas tumbuhan yang menyebabkan penurunan hasil yang disebabkan oleh gulma (Suhardi,2007).

2.6 Asam Cuka (Asam Asetat)

Nama asam asetat berasal dari kata Latin “asetum”.Asam asetat, asam etanoat atau asam

cuka adalah senyawa kimia asam organik yang merupakan asam karboksilat yang paling penting di perdagangan, industri, dan laboraturium dan dikenal sebagai pemberi rasa asam dan aroma dalam makanan.Asam asetat memiliki rumus kimia CH3COOH. Asam asetat merupakan asam lemah yang terionisasi sebagian dalam air, walaupun demikian, keasaman asam asetat tetap lebih tinggi dibanding dengan keasaman air (Hardoyo et al., 2007)

Bentuk murni dari asam asetat ialah asam asetat glacial. Asam asetat glacial mempunyai ciri-ciri tidak berwarna, mudah terbakar (titik beku 17°C dan titik didih 118°C) dengan bau menyengat, dapat bercampur dengan air dan banyak pelarut organik. Dalam bentuk cair atau uap, asam asetat sangat korosif terhadap kulit dan jaringan lain. Suatu molekul asam asetat mengandung gugus OH dan dengan sendirinya dapat membentuk ikatan hidrogen dengan air. Karena adanya ikatan hidrogen ini, maka asam asetat yang

(8)

mengandung atom karbon satu sampai empat dan dapat bercampur dengan air (Hewitt, 2003).Untuk melihat lebih jelas struktur kimia asam asetat dapat kita lihat pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6. Struktur Kimia Asam Asetat (Sumber: Master pendidikan, 2016)

Aplikasi asam asetat yang ditemukan di tanah (menjadi biomassa mikroba atau diserap ke partikel tanah) sekitar 26% dalam bentuk COOH dan 36% sebagai CH3.Mikroba menggunakan secara khusus C-CH3 sebagai pertumbuhan mereka, sedangkan kelompok C-COOH cenderung dekarboksilasi. Asam asetat dalam tanah menyediakan sumber karbon untuk proses dekomposisi dalam memproduksi karbon dioksida. Mikroorganisme menggunakan CH3 sebagai bahan anabolisme.Selama pertumbuhan mereka, penyerapan C dari CH3 bukan dari COOH karena C hampir sepenuhnya teroksidasi (Fischer dan Kuzyakov, 2010).

Menurut Chinery (2002), cuka makanan dapat digunakan sebagai bioherbisida, namun penelitian yang mendukung masih terbatas. Sejak laporan tersebut, para ilmuwan mulai meneliti daya racun asam asetat sebagai herbisida organik (Johnson et al., 2003).

Mekanisme kerja dari asam asetat adalah mirip dengan paraquat dimana asam asetat menyebabkan pembubaran cepat keutuhan membran sel yang mengakibatkan pengeringan jaringan daun, dan akhirnya kematian tumbuhan.Hasil penelitian Dayan et al. (2009) menunjukkan bahwa larutan asam asetat (10-20%) mampu mengendalikan lebih dari 80% gulma muda.

2.7 Adjuvant

Adjuvant adalah bahan yang ditambahkan dalam formulasi herbisida untuk memperbaiki atau menambah aktivitas herbisida atau sifat sifat aplikasi.Bahan-bahan pembantu yang sering ditambahkan pada formulasi adalah soulvent atau bahan pelarut, contohnya adalah xylol, alcohol dan berbagai produk minyak bumi (Tjitrosoedirdjo et al., 1984).

(9)

Adjuvant adalah bahan kimia yang dapat dicampur dalam formulasi pestisida,atau ditambahkan ke campuran tangki, dan mempunyai fungsi untuk meningkatkan efektivitas dan keamanan serta kestabilan formulasi pestisida. Adjuvant umumnya tidak berpengaruh pada hama secara langsung.

Bentuk-bentuk adjuvants yaitu terdiri dari molekul yang menghubungkan permukaan dari 2 fase:

a. Surfactan

 Cair – cair : Emulsifying agent  Cair – udara : Pembentuk busa  Cair – padat : Wetting agent b. Tickening/sticking agent

Berfungsi sebagai penambah daya pekat semprotan herbisida dipermukaan daun. c. Bahan Emulsi

Berfungsi untuk menstabilkan emulsi formulasi herbisida. d. Water Softener

Berfungsi untuk mencegah pengendapan molekul herbisida.

Bahan – bahan pembantu yang sering ditambahkan pada formulasi adalah detergen. e. Detergen

Detergen adalah salah satu produk komersial yang digunakan untuk menghilangkan kotoran pada pencucian pakaian.Dalam detergen mengandung bahan yang mempunyai sifat aktif permukaan (surfaktan). Surfaktan ini digunakan untuk proses pembahasan dan pengikatan kotoran, sehingga sifat dari detergen dapat berbeda tergantung jenis surfaktannya (Kirk dan Othmer, 1982). Komposisi kimia detergen dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu zat aktif permukaan (surfaktan) berkisar 20 - 30%, bahan penguat (builders) merupakan komponen terbesar dari detergen berkisar 70- 80% dan bahan-bahan lainnya (pemutih, pewangi, bahan penimbul busa, (optical brightener) sekitar 2 - 8%, dimana surfaktan merupakan bahan pembersih utama dalam detergen. Untuk melihat lebih jelas struktur kimia Linear Alkylbenzene Sulfonate dapat dilihat pada Gambar 2.7.

(10)

Gambar 2.7. Struktur Kimia Linear Alkylbenzene Sulfonate

(Sumber: Resep Kimia, 2015)

Berdasarkan bahan dasar (surfaktan) detergen dibedakan menjadi 4 kelompok besar yaitu detergent nonionic, kationik, anionik dan amphoterik.Jenis surfaktan yang umumnya digunakan pada detergen adalah tipe anionic dalam bentuk sulfat (SO42) dan sulfonat (SO3-).Berdasarkan rumus bangun kimianya, detergent golongan sulfonat dibedakan menjadi jenis bercabang yaitu Alkyl Benzene Sulfonate (ABS) dan jenis rantai lurus adalah Linear Alkylbenzene Sulfonate (LAS).

Gambar

Gambar 2.1. Daun Ageratum conyzoides L  (Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2019)  b.  Batang
Gambar 2.2. Batang Ageratum conyzoides L  (Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2019)  c.  Bunga
Gambar 2.4. Buah Ageratum conyzoides L  (Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2019)  e.  Akar

Referensi

Dokumen terkait

Adalah rasio yang digunakan untuk mengukur tingkat ketersediaan kas untuk mengukur tingkat ketersediaan kas untuk membayar utang dan biaya-biaya yang berkaitan

1) Memiliki sikap patriotisme (cinta kepada tanah air, bangsa dan negara). 2) Mempunyai penghargaan dan pengertian terhadap nilai-nilai, pranata, dan praktik

[r]

Semua pendapatan yang berbentuk uang, barang langsung atau tidak langsung yang diterima karyawan sebagai imbalan atas jasa yang diberikan kepada perusahaan.  Menurut

Nilai efisiensi pakan tertinggi diperoleh pada perlakuan D 150 mg/kg pakan dengan hasil 63,31±1046 %, dan yang paling rendah perlakuan kontrol yaitu tidak ada

Ketrampilan etika yang dibutuhkan dalam pelayanan publik menekankan empat hal: (i) tingkat kesadaran penalaran moral sebagai dasar pengambilan keputusan etis; (ii) kemampuan

Berdasarkan dari tabel 2 di atas dapat dilihat bahwa kelompok umur 15-64 paling banyak memanfaatkan Puskesmas pada bulan Januari-Juni 2014 di era JKN adalah

Dalam Kolb (1992), konflik dapat saja terjadi karena timbulnya perbedaan dalam minat, pola pikir, dan tujuan. Lebih jauh dinyatakan bahwa konflik dapat terjadi karena