• Tidak ada hasil yang ditemukan

POST DURAL PUNCTURE HEADACHE. Oleh : Bintang Dwi Oktaviani dr. Tjahya Aryasa E.M.,SpAn

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POST DURAL PUNCTURE HEADACHE. Oleh : Bintang Dwi Oktaviani dr. Tjahya Aryasa E.M.,SpAn"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

1

POST DURAL PUNCTURE HEADACHE

Oleh :

Bintang Dwi Oktaviani dr. Tjahya Aryasa E.M.,SpAn

BAGIAN/SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF RSUP SANGLAH / FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

(2)

3

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Anatomi dan Fisiologi... 3

2.2 Patofisiologi ... 4 2.3 Insiden ... 6 2.4 Diagnosis... 8 2.5 Diagnosis Banding ... 10 2.6 Penatalaksanaan ... 11 2.7 Prognosis ... 16

BAB III SIMPULAN ... 17

(3)

4 BAB I

PENDAHULUAN

Post dural puncture headache (PDPH) atau nyeri kepala pasca-blok

lumbal atau blok spinal adalah sakit kepala yang sering berlokasi di daerah frontal dan oksipital, terjadi akibat adanya kebocoran dari cairan serebrospinal melalui lubang di duramater akibat penusukan jarum anestesi. PDPH pertama kali dideskripsikan oleh August Bier tahun 1898 dan didefinisikan sebagai nyeri kepala setelah intervensi terapeutik dan diagnostik ruang epidural atau spinal.

International Headache Society mendefinisikan PDPH sebagai nyeri

kepala yang terjadi dalam 7 hari setelah pungsi dural dan menghilang dalam 14 hari namun PDPH telah dilaporkan dapat terjadi kemudian dan berlangsung lebih lama dari waktu tersebut dan dianggap sebagai penyebab nyeri kepala ortostatik yang ditandai dengan peningkatan derajat nyeri kepala jika pasien bergerak dari posisi berbaring ke posisi tegak. PDPH merupakan komplikasi yang umum terjadi pada anestesi spinal dan epidural.1,2 Penusukan lumbal disebut juga sebagai penusukan spinal yang melibatkan penusukan jarum pada dinding sakus dura ke dalam ruang subarahnoid yang berisikan cairan serebrospinal di regio lumbal. PDPH merupakan penyebab morbiditas iatrogenik yang diikuti dengan penusukan lumbal.3

Kejadian PDPH diperkirakan antara 30-50% setelah lumbal pungsi diagnostik atau terapeutik, 0-5% setelah anestesi spinal, dan hingga 81% setelah pungsi dural yang tak disengaja selama insersi epidural pada ibu hamil.4 Post-dural puncture headache berkembang dari 16%–86% kasus setelah mencoba blok epidural dengan jarum ukuran besar. Penembusan apapun pada dura mungkin akan menghasilkan PDPH. Penembusan ini dapat terjadi secara spontan atau iatrogenik. PDPH dapat terjadi selama 48 jam setelah prosedur. Keluarnya cairan serebrospinal secara spontan sangat jarang yaitu 1:50.000 orang.5

Sampai saat ini ada dua teori mengenai terjadinya PDPH. Teori pertama menyebutkan bahwa kebocoran yang berkelanjutan dari cairan serebrospinal menyebabkan berkurangnya cairan dari kompartmen intrakranial. Teori yang

(4)

5

kedua menyebutkan bahwa kebocoran cairan serebrospinal menyebabkan terjadinya hipotensi intrakranial, yang menyebabkan tubuh berkompensasi dengan melakukan vasodilatasi.1 Penanganan pada PDPH ini dapat secara konservatif dan invasif. Dalam dua dekade terakhir, banyak penelitian baru mengenai pencegahan dan pengobatan dari PDPH seperti intrathecal kateter, morpin epidural dan gabapentin intravenous.6

Oleh karena itu, melalui laporan ini penulis akan membahas mengenai bagaimana PDPH terjadi beserta penanganan yang dapat dilakukan.

(5)

6 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Fisiologi

Cairan serebrospinal (CSS) merupakan hasil ultrafiltrasi plasma yang jernih tidak berwarna, tidak berbau dan berada dalam ventrikel otak, sisterna otak, dan ruang subarakhnoid sekitar otak dan medula spinalis. Volume CSS pada orang dewasa rata-rata memproduksi sekitar 500 ml CSS/hari, atau 21 ml/jam (0,3 ml/kgBB/jam), dengan 90 % berasal dari pleksus koroid di ventrikel lateral, dan 10% dari substansi otak itu sendiri. Dengan berat jenis CSS 1.002 – 1.009, pH 7,32 dan 50 ml berada dalam ruang intrakranial. Cairan ini mengalir melalui foramina interventrikular masuk ke ventrikel ketiga, dan dari tempat ini akan masuk ke ventrikel keempat melalui aquaduktus. CSS kemudian bersirkulasi melalui foramen Luschka dan Magendi menuju ruang subarakhnoid dan vili arakhnoid dari sinus dura mater (badan Pacchionian), dan dari tempat ini akan masuk ke dalam sinus venosus.1,7

Aliran CSS melalui sistem ini dipermudah oleh faktor-faktor sirkulasi dan postural yang menimbulkan tekanan pada sistem saraf pusat (SSP) sebesar 10 mmHg. Penurunan tekanan akibat pengeluaran hanya beberapa ml CSS selama lumbal pungsi untuk analisis laboratorium dapat menimbulkan nyeri kepala yang hebat. Melalui proses pembentukan, sirkulasi dan reabsorpsi yang terus menerus, seluruh volume CSS digantikan lebih dari tiga kali sehari. Meningen spinalis terdiri atas 3 lapis, yaitu : dari lapisan terluar sampai terdalam, dura mater, arakhnoid, piamater. Ruang antara lapisan arakhnoid dan piamater di bawahnya disebut ruang subarakhnoid, terisi oleh CSS. Secara anatomis, dura mater spinalis memanjang dari foramen magnum ke segmen kedua sakrum. Ini terdiri dari matriks jaringan ikat padat kolagen dan serat elastis.Sebanyak sekitar 150 ml CSS beredar pada satu waktu dan diserap oleh vili arakhnoid.1,7

(6)

7 Gambar 1. Potongan sagital vertebra lumbal1

2.2 Patofisiologi

Penyebab PDPH tidak sepenuhnya pasti. Penjelasan terbaik adalah bahwa hasil tekanan rendah CSS dari kebocoran CSS melalui robekan dural dan arakhnoid, sebuah kebocoran melebihi tingkat produksi dari CSS. Sedikitnya hilang 10% volume CSS dapat menyebabkan sakit kepala ortostatik.1,5 Ada dua mekanisme dasar teoritis untuk menjelaskan PDPH. Salah satunya adalah refleks vasodilatasi dari pembuluh meningeal karena menurunnya tekanan CSS.1 Spinal duramater adalah lapisan paling luar dari meningen yang mengelilingi otak dan spinal cord. Ketika duramater berlubang, CSS akan bocor melewatinya sampai tertutup baik dengan intervensi atau penyembuhan. Penyembuhan duramater melalui fasilitasi dengan proliferasi fibroblastik disekitar jaringan dan bekuan darah.5

Mekanisme berkurangnya CSS menyebabkan sakit kepala yang tidak jelas, namun terdapat dua kemungkinan yang dapat menjelaskan keadaan tersebut. Pertama, tekanan CSS yang berkurang akan menyebabkan traksi pada struktur sensitif nyeri intrakranial dalam posisi tegak. Tekanan CSS pada lumbal bervariasi sesuai dengan posisi. Posisi berbaring, tekanan antara 5-15 cm H2O.

Saat posisi duduk , tekanan meningkat menjadi lebih dari 40 cm H2O. Traksi pada

(7)

8

Traksi pada saraf kranial kelima menyebabkan sakit kepala frontal. Nyeri di daerah oksipital ini disebabkan oleh traksi pada saraf kranial kesembilan dan kesepuluh.1 Kedua, menurunan volume CSS pada kranium menyebabkan kompensasi berupa vasodilatasi melalui doktrin monro-kelly.6 Monroe-Kelly menyatakan bahwa total volume elemen dari rongga intrakranial (darah, CSS, dan jaringan otak) tetap konstan. Konsekuensi kehilangan CSS adalah vasodilatasi yang mengkompensasi hilangnya volume dalam rongga intrakranial, sehingga sakit kepala dialami oleh pasien setelah kebocoran CSS.1 Selain itu penurunan

CSS juga menghasilkan nyeri melalui reseptor adenosin yang memediasi vasodilatasi cerebral. Penelitian menunjukkan berkurangnya level substansi neuropeptida yang berhubungan dengan hasil inflamasi memiliki risiko tiga kali lebih besar mengalami sakit kepala setelah lumbal pungsi.3

Gambar 2. Penusukan epidural 4

Efek menguntungkan dari obat vasokontriktor otak termasuk kafein, teofilin, dan sumatriptan mendukung etiologi vaskuler untuk PDPH. Ganggguan visual terjadi di mana tercatat bahwa mereka yang menerima anestesi spinal terjadi penurunan tekanan intrakranial. Diplopia adalah gejala pada mata yang paling umum diakibatkan dari penurunan tekanan intrakranial dan disebabkan oleh traksi pada saraf abducens (saraf kranial keenam), yang memiliki jalan terpanjang dalam rongga intrakranial. Gejala yang berhubungan dengan pendengaran, disebabkan disfungsi saraf kedelapan, kadang-kadang dapat terjadi ketulian unilateral atau bilateral. Insiden kehilangan pendengaran berhubungan dengan ukuran dan jenis jarum yang digunakan dan telah didokumentasikan untuk menanganinya dengan patch darah epidural. Efek pada pendengaran adalah

(8)

9

resultan dari perubahan tekanan CSS, yang ditransmisikan ke sirkulasi getah bening endocochlear dalam kanalis semisirkularis, dan hasil dalam kondisi sementara mirip dengan hidrops pada penyakit Meniere.2,8

2.3 Insiden

Insiden PDPH diperkirakan 30 – 50% pada diagnostik atau terapi lumbal pungsi, 0 – 5% anestesi spinal dan 81% kejadian pungsi dural selama insersi epidural pada wanita hamil. PDPH sering terjadi pada dewasa muda termasuk pasien obstetri dengan insiden sebanyak 14%.1 Wanita, selama kehamilan dan setelah persalinan pervaginam, dianggap berisiko tinggi terhadap PDPH.

Kejadian PDPH tertinggi antara usia 18 dan 30 tahun dan menurun pada anak-anak di bawah 13 tahun dan orang dewasa lebih dari 60 tahun. Kejadian PDPH meningkat pada pasien dengan indeks massa tubuh yang rendah. Wanita yang mengalami obesitas atau tidak sehat sebenarnya memiliki kejadian PDPH yang rendah. Penurunan kejadian ini disebabkan oleh peningkatan tekanan intraabdomen yang dapat pengikat perut sehingga membantu menutupi defek pada dura dan mengurangi hilangnya CSS. Wanita yang lebih muda mungkin memiliki risiko lebih besar karena peningkatan elastisitas serat dural untuk menjaga defek dura yang paten dibandingkan dengan dura yang kurang elastis pada pasien yang lebih tua. Pasien yang memiliki riwayat sakit kepala setelah lumbal pungsi dan riwayat PDPH sebelumnya juga berisiko tinggi.5

Kejadian PDPH meningkat dengan penggunaan jarum spinal yang berukuran besar dan komplikasi berkurang dengan penggunaan jarum pencil –

tripped needles.Insiden PDPH secara langsung berkaitan dengan diameter jarum

yang menembus duramater. Diagnostik lumbal pungsi memerlukan jarum 22-gauge untuk memfasilitasi pengukuran tekanan terbuka dan penarikan CSS dalam waktu yang cukup singkat. Dengan jarum yang lebih kecil dari ukuran 22-gauge, menampung 2 mL CSS yang mungkin memakan waktu 6 menit atau lebih dan pengukuran tekanan CSS mungkin kurang akurat. Tambahan pada pedoman praktik American Academy of Neurology (AAN) menganjurkan penggunaan jarum 22-gauge , namun dilaporkan pada serangkaian kasus dimana jarum 25-gauge digunakan dengan sukses.5

(9)

10

Meskipun tusukan jarum diameternya kecil digunakan untuk blok subarakhnoid mengurangi resiko PDPH, jarum ini secara teknis sulit untuk digunakan dan berkaitan dengan tingkat keberhasilan yang rendah dari anestesi spinal, terutama di tangan yang kurang berpengalaman. Hal ini disebabkan oleh kegagalan dalam mengenali pungsi dural sekunder untuk memperlambat aliran melalui jarum kecil, menyebabkan tusukan berganda dan berulang. Insiden dari PDPH dengan jarum Whitacre 25-gauge (tidak tajam) kurang daripada jarum Quincke 27-gauge (tajam). Morbiditas terkait dengan lumbal pungsi dapat dikurangi dengan pemilihan sebuah pengukur jarum yang tepat dan konfigurasi ujung jarum.1,5

Gambar 3. Jenis-jenis jarum spinal8

Penggunaan anestesi spinal telah aktif dalam usaha mengurangi kejadian sakit kepala postspinal. Mengurangi ukuran jarum spinal telah memberi dampak signifikan pada kejadian sakit kepala pasca spinal. Insidennya adalah 40% dengan jarum 22G; 25% dengan jarum 25G; 2% ± 12% dengan jarum Quincke 26G; dan <2% dengan jarum 29G. Namun, keterbatasan teknis yang menyebabkan kegagalan anestesi spinal sering terjadi pada jarum suntik 29G atau lebih kecil.

Sejak digunakan jarum pencil point pada anestetik obstetrik, yang paling umum menyebabkan sakit kepala adalah tusukan dural tanpa disengaja dengan jarum Tuohy selama penempatan epidural. Dalam penelitian, Choi dkk. Menunjukkan bahwa pasien memiliki risiko 1,5% dan dari itu sekitar 50%

(10)

11

berkembang menjadi PDPH. Penelitian lain menunjukkan bahwa setelah tusukan dural dengan jarum Tuohy, kejadian PDPH bisa lebih besar dari 70%.6

Gambar 4. Hubungan ukuran jarum dan insiden PDPH8

2.4 Diagnosis

Tanda dan gejala PDPH biasanya bermanifestasi sebagai sakit kepala, postural frontal, frontotemporal, atau oksipial dan menyebar keleher dan bahu, memberat saat kepala digerakan dan posisi tegak dan membaik dalam posisi terlentang. PDPH terjadi dalam 48 jam setelah pungsi dural. Sakit kepala dan sakit punggung merupakan gejala dominan yang berkembang setelah pungsi dural. Sembilan puluh persen sakit kepala akan terjadi dalam 3 hari setelah prosedur berlangsung, dan 66% mulai dalam 48 jam. Jarang, sakit kepala berkembang antara 5 sampai 14 hari setelah prosedur.8

Gejala-gejala yang menyertai biasanya mual, muntah dan leher kaku. Gejala lainnya yaitu keluhan mata seperti fotofobia dan diplopia, dan keluhan pendengaran seperti tinitus, vertigo dan hiperakusis. Kasus pertama diplopia setelah pungsi dural dilaporkan oleh Quincke lebih dari 100 tahun yang lalu. Diplopia atau kelumpuhan otot luar mata setelah pungsi dural telah dilaporkan, terutama dalam literatur neurologi dan oftalmologi. Diplopia biasanya terjadi 4 – 10 hari setelah pungsi dural tetapi dapat bermanifestasi sampai akhir minggu ketiga. Pemulihan secara umum dapat diharapkan dalam dua minggu sampai delapan bulan, meskipun kasus menetap jarang dilaporkan.1 Intrakranial subdural

(11)

12

hematoma, cerebral herniasi dan kematian merupakan komplikasi dari pungsi dural.

Riwayat adanya pungsi dural dan gejala seperti sakit kepala pasca pungsi dural, kekakuan pada leher dan adanya tanda neurologis mengkonfirmasikan diagnosis PDPH. Bila terdapat keraguan dalam mendiagnosis PDPH, tes tambahan dapat mengkonfirmasi secara klinis. Diagnosis lumbal pungsi dapat terlihat dengan menurunnya tekanan CSS, protein CSS yang sedikit meningkat dan peningkatan jumlah limfosit CSS. Pada pemeriksaan MRI menunjukkan peningkatan difuse dural dengan bukti adanya “sagging brain” pada descent

brain, optic chiasm, dan brain stem dan pembesaran kelenjar pituitari. Pada CT

myelography, retrograde radionuclide myelography, dan cisternography dapat digunakan menglokalisir CSS yang bocor pada spinal.3,8

Gambar 5. Kriteria diagnosis PDPH berdasarkan International Classification of Headache Disorder9

Naulty et al membagi PDPH menjadi dua fase. Yang pertama adalah PDPH yang relatif ringan. Biasanya timbul 36 – 48 jam setelah anestesi. Fase kedua, atau yang disebut juga sebagai PDPH klasik, timbul 3 – 4 hari setelah anestesi, dengan nyeri kepala berat yang tidak bisa hilang dengan analgesik. Sedangkan Lybecker et al membagi PDPH menjadi ringan, moderat dan berat.1,2

(12)

13

a) Mild PDPH : Sakit kepala sedikit mengganggu aktivitas sehari-hari, pasien tidak perlu beristirahat total di tempat tidur dan tidak ditemukan gejala yang berhubugan dengan PDPH.

b) Moderat PDPH : Sakit kepala yang mengganggu aktivitas sehari-hari dengan signifikan, pasien menghabiskan sebagian besar waktu di tempat tidur dan dapat ditemukan gejala yang berhubungan dengan PDPH.

c) Severe PDPH: Sakit kepala yang sangat berat, pasien tidak dapat beraktivitas, ada gejala yang berhubungan dengan PDPH.

2.5 Diagnosis Banding

Diagnosis sakit kepala pasca pungsi dural sering kali jelas dari riwayat pungsi dural dan adanya nyeri postural yang berat. Namun, penting untuk mempertimbangkan diagnosis banding karena patologi intracranial yang serius mirip sebagai sakit kepala pasca pungsi dural. Seorang dokter harus ingat bahwa hipotensi intrakranial dapat menyebabkan perdarahan intrakranial melalui bridging dural veins apabila terlambat mendiagnosis dan melakukan penanganan dapat menjadi kasus yang berbahaya. Diagnosis yang mirip dengan PDPH meliputi tumor intrakranial, hematoma intrakranial, trombosis vena serebral, migrain, meningitis dan sakit kepala yang tidak spesifik.3,8

(13)

14 2.6 Penatalaksanaan

2.6.1 Konservatif

Setelah dilakukan eksklusi komplikasi dari sistem saraf pusat dan mengkonfirmasi diagnosis PDPH, penanganan awal yang dapat diberikan untuk 24 jam pertama sampai 48 jam adalah konservatif karena lebih dari 85% PDPH akan membaik dengan terapi konservatif. Penanganan konservatif meliputi tirah baring dengan posisi terlentang akan meningkatkan kenyamanan pasien dan menghindari efek yang memperparah dengan posisi tegak. Namun, dalam penelitian tidak ditemukan tirah banding dapat mencegah PDPH. Berbaring dengan posisi telengkup juga dapat meningkatkan tekanan intraabdomen, dimana akan mengubah transmisi ke ruang subarahnoid untuk meningkatkan tekanan CSS, tetapi posisi ini tidak nyaman untuk kebanyakan pasien pasca operasi. Selain tirah baring, terapi cairan juga dapat dilakukan ketika terjadi dehidrasi namun tidak ada bukti yang pasti bahwa hidrasi berlebihan itu efektif.2,9,10

2.6.2 Terapi Farmakologi

a. Analgetik : analgetik sederhana sebaiknya diberikan pada semua pasien dengan PDPH. Paracetamol reguler dan non steroid antiinflamasi (NSAID) dapat mengontrol gejala secara adekuat. Opioid juga dapat diberikan namun efek samping mual muntah dari opioid dapat memperparah PDPH. Epidural dan morfin intratekal juga terbukti mencegah PDPH dan mengurangi kebutuhan akan epidural blood patch (EBP). Perlu diketahui bahwa morfin intratekal atau epidural dapat menyebabkan depresi pernapasan yang terjadi beberapa jam setelah injeksi sehingga perlu dilakukan monitoring secara ketat dan bila perlu sediakan noloksin sebagai antagonis opioid.2,4,9

b. Kafein : kafein pertama kali dilaporkan sebagai pengobatan untuk PDPH pada tahun 1949. Kafein adalah stimulan sistem saraf pusat dan diperkirakan mempengaruhi PDPH dengan menginduksi vasokonstriksi serebral. Dosis dari 75 - 500 mg telah diteliti dan kafein diberikan secara oral, intramuskular dan intravena. Di Inggris yang dilakukan pada tahun 2005 menemukan bahwa 30% unit persalinan memberikan kafein untuk mengobati PDPH dan banyak ahli anestesi obstetrik menganjurkan cairan yang mengandung kafein. Ada bukti

(14)

15

yang rendah bahwa kafein memberikan manfaat sementara pada PDPH, namun sebuah tinjauan dari konsensus Amerika baru-baru ini menyimpulkan bahwa kafein bermanfaat bagi PDPH tidak beralasan. Kafein dikaitkan dengan kejadian buruk termasuk aritmia jantung dan kejang ibu. Dalam dosis tinggi (> 300mg) kafein bisa masuk ke ASI dan berpotensi menyebabkan iritabilitas neonatal. 2,4,9

c. Gabapentin : Struktur analog asam gamma-aminobutyric dan modulasi keluarnya eksitasi neurotransmiter berikatan dengan voltage-dependent

calcium channels. Gabapentin menurunkan keparahan dari PDPH yang tidak

berespon terhadap EBP. Sebagai tambahan menurunkan nyeri, mual dan muntah akan menurun dibandingkan ergotamine tartrate dan kafein. Ero, dkk. melaporkan hasil dari suatu studi acak, tersamar ganda, dengan kontrol plasebo pada 20 pasien PDPH yang diberikan gabapentin 900 mg, 3 kali sehari selama 4 hari yang menunjukkan bahwa skor VAS nyeri secara bermakna lebih rendah pada kelompok terapi gabapentin (p<0,05).1,2

d. Cosyntropin, bentuk sintesis dari hormon adrenokortikotropik, telah digunakan

dalam pengobatan PDPH refraktori. Hormon adrenokortikotropik diyakni bekerja dengan merangsang kelenjar adrenal untuk meningkatkan produksi CSS dan produksi -endorfin. Harus hati-hati digunakan pada pasien diabetes.5 e. Sumatripan : Jenis serotonin 1-d reseptor agonis (sumatriptan) efektif dalam

pengobatan PDPH, dengan gejala lengkap. Obat ini mahal dan efek samping termasuk rasa sakit di tempat suntikan dan dada terasa sesak. Pasien yang menerima sumatriptan 6 mg melalui rute subkutan, selama satu jam berikut harus dilakukan pemantauan terhadap elektrokardiografi, tekanan darah dan

pulse oxymetri . Pengobatan menggunakan sumatriptan pada pasien dengan

penyakit jantung iskemik harus mendapat perhatian. Percobaan terkontrol diperlukan untuk mengevaluasi lebih lanjut penggunaan sumatriptan untuk pengobatan PDPH. Tren dari manajemen konservatif untuk blood patch telah muncul dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini didasarkan pada ketidakefektifan dari pengobatan konservatif. Sebagai contoh lebih dari 80% pasien postpartum yang konservatif diobati masih akan merasakan sakit kepala dalam satu minggu.1

(15)

16 2.6.3 Terapi Invasif

Pasien yang tidak respon terhadap terapi konservatif selama 48 jam membutuhkan intervensi yang agresif dan invasif dilakukan penanganan sebagai berikut

a. Epidural Blood Patch (EBP)

EBP pertama kali dijelaskan oleh Gormley tahun 1960 untuk digunakan dalam PDPH dan kemudian dipopulerkan oleh Crul dkk dan DiGiovanni dan Dunbar. Bekuan darah yang dihasilkan dapat mempunyai efek patch pada robekan dura dan volume darah yang ditransfusikan ke dalam ruang epidural meningkatkan tekanan intrakranial dan menurunkan kebocoran cairan serebrospinal. Meskipun waktu yang optimal untuk memberikan terapi EBP tampaknya adalah 24 jam setelah pungsi dura, terdapat laporan kasus PDPH yang mempunyai durasi lebih dari 1 tahun yang berhasil dengan EBP.2

Peningkatan tekanan subarahnoid dan epidural bertahan hanya 20 menit. Bukti MRI mengkonfirmasi efek masa setelah injeksi darah epidural dengan resolusi bertahap selama 7 jam. Tidak seperti saline, dextran atau cairan lain, darah tidak dapat berpindah dengan cepat dari ruang epidural dan berpotensi menimbulkan efek tampon untuk jangka waktu yang lama. Darah ini dianggap membentuk bekuan fibrin diatas dura yang memungkinkan volume dan tekanan CSS normal kembali.1,3,9

EBP telah menjadi “gold standar” dalam pengobatan PDPH. EBP melibatkan injeksi darah autologus (darah pasien sendiri) ke dalam ruang epidural, dengan volume optimal 10-20 mL.3 Pasien posisi lateral dengan kepala tertekuk serta pinggul dan lutut tertekuk. Di bawah tindakan pencegahan aseptik jarum epidural diperkenalkan perlahan ke dalam ruang epidural. Tidak perlu mengenalkannya ke lokasi yang tepat dimana tusukan dural dilakukan. 20-30 ml darah diambil dari vena cubital pasien sendiri dan segera dimasukkan perlahan ke dalam ruang epidural melalui jarum epidural. Darah akan menyebar ke ruang epidural melalui beberapa segmen tulang belakang yang superior dan inferior. Setelah prosedur, pasien harus tetap berbaring selama 1-2 jam. Prosedur ini memiliki tingkat keberhasilan 70- 98% dan dapat diulang jika gagal atau gejala tidak menghilang

(16)

17

pada percobaan pertama. Namun adanya sakit kepala berat yang terus-menerus, penyebab lain harus dipertimbangkan.3

Dekstran dan NaCl 0,9% diberikan secara bolus 30 – 60 ml diberikan 6 jam untuk 4 dosis disuntikan ke dalam ruang epidural, sementara meningkatkan tekanan dalam ruang epidural, yang kemudian mengurangi kebocoran CSS dan mengembalikan tekanan subarakhnoid. Patch epidural dengan zat bukan darah, misalnya saline atau koloid, tidak efektif untuk digunakan dalam jangka panjang.1,5 Kontraindikasi EBP meliputi demam, sepsis, koagulopati, dan

penolakan pasien. Sebaiknya tidak dilakukan jika ada leukositosis atau demam karena risiko meningitis. Komplikasi minor meliputi nyeri punggung, nyeri leher, dan bradikardi sementara, sedangkan komplikasi mayor, meskipun jarang, meliputi meningitis, hematoma subdural, kejang, araknoiditis, paraparesis spastik, pungsi dura, sindrom kauda equina.1,8

b. Epidural saline atau dextran 40 infusion

Epidural infus salin atau dextran 40 dapat meningkatkan tekanan pada ruang subarahnoid dengan menekan thecal sac dan menurunkan kebocoran CSS. Penanganan ini digunakan pada PDPH dengan kesuksesan yang bervariasi. Penelitian mengenai efek injeksi saline caudal yang berulang pada PDPH akan menurunkan mayoritas pasien dengan injeksi saline melalui sakit kepala yang tidak hilang dengan sempurna. Sedangkan sejumlah cairan, kristaloid atau koloid, telah diinfuskan ke dalam ruang epidural dan menyebabkan peningkatan tekanan serebrospinal sehingga dapat menghilangkan nyeri kepala sementara. Efek jangka panjang partikel koloid dalam ruang epidural belum diketahui.2,9

c. Morphine epidural

Suatu studi acak kecil menemukan bahwa morphine epidural 3 mg dapat menurunkan terjadinya PDPH dan kebutuhan EBP setelah pungsi epidural yang tidak disengaja.2

d. Fibrin glue

Merupakan agen alternatif darah seperti fibrin glue telah diusulkan untuk memperbaiki perforasi spinal dural. Perforasi cranial dural merupakan salah satu yang sukses dengan fibrin glue. Pada kasus perforasi lumbal dural, fibrin glue

(17)

18

diletakkan begitu saja atau menggunakan CT-guided percutaneous injection. Bagaimanapun ada risiko pertumbuhan aseptik meningitis dari prosedur ini. Selain itu, produsen baru baru ini diperingatkan terhadap beberapa tipe aplikasi jaringan glue yang mungkin terpapar dengan jaringan saraf.3

e. Intrathecal catheters

Setelah perforasi dural yang disengaja dengan jarum tuohy, disarankan agar penempatan kateter spinal melalui perforasi dapat memicu reaksi inflamasi yang akan menutup lubang. Penelitian histopatologi pada hewan dan manusia dengan intrathecal kateter yang berkepanjangan ditemukan reaksi inflamasi pada tempat kateter. Namun komplikasi neurologis seperti sindroma cauda equina dan infeksi harus dieklusi dengan penggunaan kateter itrathecal.9

f. Pembedahan

Terdapat laporan kasus mengenai kebocoran CSS yang persisten yang tidak respon teradap terapi lain, sehingga ditangani dengan penutupan operasi perforasi dural. Dan ini merupakan penanganan terakhir pada PDPH.2

(18)

19 2.7 Prognosis

Meskipun PDPH biasanya dapat sembuh secara spontan, tetapi sangat tidak menyenangkan, dan dapat memperpanjang masa rawat di rumah sakit. Pengobatan yang efektif terbatas sehingga tindakan termasuk penggunaan jarum yang cocok dan perolehan ketrampilan yang tepat dalam melakukan pungsi spinal dan epidural sangat penting untuk mengurangi kejadian PDPH.1 Pada penelitian yang lama, 53 % sakit kepala akan sembuh dalam 4 hari, 72 % pada 7 hari dan 85 % dalam waktu 6 minggu. Pada sebagian kecil kasus, gejala dapat menetap selama berminggu-minggu, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Jarang sakit kepala ini menjadi kronis. Saat PDPH mulai membaik, keparahan sakit kepala akan menurun, mobilisasi pasien akan meningkat dan dibutuhkan waktu yang panjang pada sakit kepala yang diikuti dengan perubahan perkembangan postural.5

(19)

20 BAB III

SIMPULAN

Post dural puncture headache (PDPH) atau Nyeri kepala pasca-pungsi dural

merupakan salah satu komplikasi lumbal pungsi yang sering terjadi. Patogenesis PDPH diperkirakan akibat kebocoran cairan serebrospinal ke dalam ruang epidural melalui robekan dura yang dapat menyebabkan penurunan tekanan intrakranial. Meskipun PDPH biasanya hilang spontan, tetapi PDPH dapat mengganggu aktivitas pasien pascapungsi dural, sehingga perlu dilakukan pencegahan dan penanganan. Penggunaan jarum dan teknik insersi yang baik dapat membantu mengurangi kejadian PDPH. Metode terapi meliputi penatalaksanaan konservatif dengan tirah baring dan hidrasi, penatalaksanaan medis secara farmakologi dapat berupa pemberian analgetik, kafein, gabapentin dan cosyntropin sedangkan berdasarkan terapi invasif dapat berupa epidural blood patch, epidural saline, morpine epidural, fibrin glue, intrathecal kateter hingga pembedahan. Dengan penggunaan peralatan teknik injeksi, dan metode terapi yang tepat, maka PDPH dapat dicegah dan diterapi dengan prognosis yang baik dengan pemulihan yang cepat.

(20)

21 Daftar Pustaka

1. Kassiuw,J.E.M., Nugroho, P. Post Dural Puncture Headache (PDPH). Semarang. 2015:1-11

2. Kristiningrum,E. Terapi Post-dural Puncture Headache. Medical Departement: Jakarta. 2014:41(12):907-910

3. Shaikh,S.I., Ramesh, N.K. Perioperative Management of Post Dural

Puncture Headache. International Journal of Biomedical and Advance

Research. 2015; 6(02): 78-83

4. Campbell, N.J. Effective Management of the Post Dural Puncture

Headache. Anaesthesia Tutorial of the Week 181. 2010. 1-7

5. Ghaleb, A., Khorasani, A., Mangar, D. Post-dural puncture headache. International Journal of General Medicine. 2012; 5; 45-51

6. Nguyen , T., Robin R., Walters. Standardizing Management of Post-Dural

Puncture Headache in Obstetric Patients: A Literature Review. Open

Journal of Anesthesiology, 2014, 4, 244-253

7. Dagmar Oberhofer et al.Incidence and clinical significance of post-dural

puncture headache in young orthopaedic patients and parturients.

Periodicum Biologorum. 2013. Vol. 115, No 2, 203–208

8. Turnbull, D.K., Shepherd, D. B. Post-dural puncture headache:

pathogenesis, prevention and treatment. British Journal of Anaesthesia 91

(5): 718±29 (2003) DOI: 10.1093/bja/aeg231

9. Olufemi Babatunde Omole & Gboyega Adebola Ogunbanjo (2015)

Postdural puncture headache: evidence-based review for primary care,

South African Family Practice, 57:4, 241-246, DOI:

10.1080/20786190.2015.1014154

10.George , S. Guidelines for the Diagnosis, Treatment and Prevention of

Gambar

Gambar 1. Potongan sagital vertebra lumbal 1  2.2 Patofisiologi
Gambar 2. Penusukan epidural  4
Gambar 4. Hubungan ukuran jarum dan insiden PDPH 8
Gambar  5.  Kriteria  diagnosis  PDPH  berdasarkan  International  Classification of Headache Disorder 9
+3

Referensi

Dokumen terkait

4. Membuat kisi–kisi instrumen penelitian dengan penentuan aspek dan indikator terhadap variabel yang bersangkutan berdasarkan pada kajian teori yang ada.. Menyusun urutan

Pengaruh struktur kepemilikan terhadap luas pengungkapan tanggung jawab sosial (csr disclosure) pada laporan tahunan perusahaan: studi empiris pada

Rumusan Masalah pada penelitian ini adalah apakah terdapat perbedaan pengamalan karakter patriotisme yang terjadi antara etnis Melayu dengan etnis Tionghoa siswa

Penelitian ini diharapkan dapat memperdalam kajian Teori Media Relations yang berkaitan dengan audit media relations serta diharapkan memberikan kontribusi bagi

Investasi dalam kelompok dimiliki hingga jatuh tempo adalah aset keuangan non-derivatif dengan pembayaran tetap atau telah ditentukan dan jatuh temponya telah ditetapkan,

Hal ini menunjukan bahwa dengan penambahan atom galium-boron pada nanorod ZnO tidak mengubah struktur kristal nanorod ZnO[12].Pola yang dihasilkan menunjukan bahwa

Budaya organisasi sangat berpengaruh terhadap perilaku para karyawan, sehingga jika budaya organisasi pada suatu organisasi atau instansi baik, maka tidak

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa sebagian besar bakteri penyebab ISK pada anak di RSMH masih sensitif terhadap amikasin dan imipenem, tetapi sebagian