• Tidak ada hasil yang ditemukan

PREFERENSI HABITAT DAN KARAKTERISTIK LINGKUNGAN KETAM KENARI (Birgus latro) DI PULO PASI, KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PREFERENSI HABITAT DAN KARAKTERISTIK LINGKUNGAN KETAM KENARI (Birgus latro) DI PULO PASI, KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

i

PREFERENSI HABITAT DAN KARAKTERISTIK

LINGKUNGAN KETAM KENARI (Birgus latro) DI PULO

PASI, KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR

SKRIPSI

OLEH:

MINAWATI

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN

DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN

FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2017

(2)

ii

ABSTRAK

MINAWATI. L111 12 007. “Preferensi Habitat dan Karakteristik Lingkungan Ketam Kenari (Birgus latro) di Pulo Pasi, Kabupaten Kepulauan Selayar ” dibawah bimbingan Abdul Haris sebagai Pembimbing Utama dan Muh. Anshar Amran Sebagai Pembimbing Anggota.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui preferensi habitat dan karakteristik lingkungan ketam kenari (Bigrus latro) di Pulo Pasi, Kabupaten Kepulauan Selayar.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November sampai Desember 2016 di Pulo Pasi, Kabupaten Kepulauan Selayar, dengan penangkapan di tiga stasiun yang dilakukan pada malam hari dengan pemberian umpan di sore hari. Data ketam kenari pada tiga stasiun penelitian dianalisis menggunakan metode umum untuk jumlah populasi dan kepadatan relatife sedangkan pengamatan jenis kelamin dilakukan dengan analisis lansung. Melihat adanya perbedaan di antara ketiga stasiun dan didukung dengan pengukuran parameter lingkungan seperti suhu tanah, kelembaban udara dan pH tanah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketam kenari menyukai tekstur substrat pasir halus dengan suhu sekitar 27,7 0c, kelembaban 87,7 %, serta menyukai keasaman pH tanah 7. Ketam kenari menyukai daerah yang lembab dan vegetasi yang tersedia banyak makanan. Pertambahan panjang karapaks lebih cepat dari pertambahan bobotnya.

(3)

iii

PREFERENSI HABITAT DAN KARAKTERISTIK

LINGKUNGAN KETAM KENARI (Birgus latro) DI PULO

PASI, KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR

Oleh :

MINAWATI

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar

Sarjana pada Program Studi Ilmu Kelautan

Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN

DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN

FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

(4)
(5)

v

RIWAYAT HIDUP

Minawati dilahirkan di Pulo Pasi Desa Menara Indah, Kecamatan Bontomatene, Kabupaten Kepulauan Selayar pada tanggal 30 November 1994, yang merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, putri dari pasangan Bapak Aseng dan Bau’ Ati. Jenjang pendidikan yang pernah ditempuh penulis adalah sebagai berikut: Pada tahun 2000-2006 penulis menempuh pendidikan di Sekolah Dasar Negeri Pulo Pasi Selayar, Kecamatan Bonomatene, Kabupaten Kepulauan Selayar. Tahun 2006-2009 melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 6 Bontomatene, Kabupaten Selayar. Tahun 2009-2012 penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Bontomatene, Kabupaten Selayar. Ditahun yang sama (2012), penulis diterima sebagai Mahasiswa di Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin Makassar melalui SNMPTN Jalur Undangan.

Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjabat sebagai Koordinator Divisi Kerohanian pada Himpunan Mahasiswa Ilmu Kelautan dan Perikanan periode 2013-2014.

Penulis melakukan rangkaian tugas akhir yaitu Praktek Kerja Lapang di Dinas Kelautan Dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan, serta melaksanakan program Kuliah Kerja Nyata Reguler Gelombang 90 di Desa Lawallu, Kabupaten Barru. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian tentang “Preferensi Habitat dan Karakteristik Lingkungan Ketam Kenari (Birgus latro) di Pulo

(6)

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Alhamdulillahirabbil Alamin. Segala puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan segala berkah, rahmat dan karuniah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Preferensi Habitat dan Karakteristik Lingkungan Ketam Kenari (Birgus latro) di Pulo Pasi, Kabupaten Kepulauan

Selayar" sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada program studi Ilmu Kelautan.

Awal hingga akhir menjalani kegiatan penelitian hingga penyusunan skripsi tentu tak luput dari peranan berbagai pihak yang telah memberikan banyak bantuan, masukan, arahan maupun bimbingan yang sangat berharga sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Kedua orang tua saya, Ayahanda Aseng dan Ibunda Bau’ Ati atas perjuangan dan pengorbanan kalian yang sangat luar biasa serta selalu memberi kasih sayang, dukungan moral, nasehat, dan doa yang tak pernah putus sehingga memudahkan langkah penulis untuk menyelesaikan studi.

2. Kakak dan adik saya, Hasdar dan Agus Bastian yang selalu memberikan dukungan dan bantuan.

3. Bapak Prof. Dr. Ir Jamaluddin Jompa, M.Sc selaku Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin beserta seluruh stafnya. 4. Bapak Dr. Mahatma Lanuru, ST, M.Si selaku Ketua Departemen Ilmu

(7)

vii 5. Prof. Dr. Ir. Abdul Haris, M.Si sebagai pembimbing utama yang telah membantu, membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyusun rencana penelitian hingga penyelesaian skripsi.

6. Bapak Dr. Muh. Anshar Amran, M.Si selaku pembimbing akademik sekaligus pembimbing anggota yang selalu meluangkan waktunya dan tak pernah bosan memberikan nasehat dan bimbingan kepada penulis sejak dari awal perkuliahan hingga selesainya studi.

7. Kawan-kawan seperjuangan IK ANDALAS (Ilmu Kelautan 2012).

8. Pak Gatot, Pak Ridwan, Pak Sapril dan Ibu Surya, yang banyak membantu dalam pengurusan berkas.

9. Seluruh pihak tanpa terkecuali yang tak bisa penulis tuliskan satu persatu, yang telah banyak membantu penulis dan memberi motivasi yang sangat berharga.

10. Nur Yasser Arafat S.Pd.,M.Pd selaku kakak, yang selalu memberikan dukungan dan dorongan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis memohon maaf bila ada kesalahan dalam penulisan skripsi ini. Kritik dan saran penulis hargai demi penyempurnaan penulisan serupa dimasa yang akan datang. Besar harapan penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan bernilai positif bagi semua pihak yang membutuhkan. Terima Kasih.

Penulis,

MINAWATI

(8)

viii

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... ii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL...ix

DAFTAR GAMBAR...x

DAFTAR LAMPIRAN...xi

I. PENDAHULUAN ...1

A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan Dan Kegunaan ... 2

C. Ruang Lingkup ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

A. Pendahuluan ... 3

B. Klasifikasi dan Morfologi ... 4

C. Siklus Hidup ... 7

D. Makanan dan Cara penangkapan Ketam Kenari (Birgus latro) ... 9

E. Karakteristik Pertumbuhan dan Pergantian Karapaks ... 10

F. Parameter Lingkungan ... 10

III. METODE PENELITIAN ... 14

A. Waktu dan Tempat ... 14

B. Alat dan Bahan ... 14

C. Prosedur Penelitian ... 15

D. Analisis Data ... 18

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20

A. Hasil Analisis Kelas Ukuran Ketam Kenari (Birgus latro) ... 20

B. Hubungan Panjang Karapaks (Cp+r) dengan Bobot Tubuh ... 23

C. Luasan Populasi ... 26

D. Kepadatan Relatif Ketam Kenari ... 27

E. Sex Rasio Jantan dan Betina ... 28

F. Kondisi Lingkungan ... 29

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 34

A. Kesimpulan ... 34

B. Saran ... 34

DAFTAR PUSTAKA ... 35

(9)

ix DAFTAR TABEL

Tabel 1.Karakteristik morfologi Birgus latro berdasarkan jenis kelamin ...16 Tabel 2. Hasil pengukuran parameter lingkungan ...29 Tabel 3. Pengamatan Vegetasi Pada Setiap Stasiun ……….…....33

(10)

x DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Ketam Kenari (Birgus latro) ...4

Gambar 2. Morfologi Ketam Kenari ...7

Gambar 3. Umpan Kelapa Yang Dipakai Untuk Penangkapan ...10

Gambar 4. Peta Lokasi Pengambilaan Sampel ...14

Gambar 5. Ketam Kenari Betina dan Jantan ...16

Gambar 6. Penimbangan Ketam Kenari ...16

Gambar 7. Pengukuran Lebar Karapaks Ketam Kenari ...17

Gambar 8. Kelas Ukuran Panjang Karapaks Ketam Kenari Stasiun I ...20

Gambar 9. Kelas Ukuran Panjang Karapaks Ketam Kenari Stasiun II ...21

Gambar 10. Kelas Ukuran Panjang Karapaks Ketam Kenari Stasiun III ...22

Gambar 11. Hubungan Panjang (Cp+r) Dengan Bobot Pada Stasiun I ...23

Gambar 12. Hubungan Panjang (Cp+r) Dengan Bobot Pada Stasiun II ...25

Gambar 13. Hubungan Panjang (Cp+r) Dengan Bobot Pada Stasiun III ...26

Gambar 14. Jumlah Populasi Setiap Stasiun ...27

(11)

xi DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil Penagkapan Ketam Kenari di Pulo Pasi ...39 Lampiran 2. Data Pengukuran Panjang Karapaks (mm), Lebar Karapaks (mm), dan Berat (g) Ketam Kenari Pada Stasiun I ...40 Lampiran 3. Data Pengukuran Panjang Karapaks (mm), Lebar Karapaks (mm), dan Berat (g) Ketam Kenari Pada Stasiun II ...41 Lampiran 4. Data Pengukuran Panjang Karapaks (mm), Lebar Karapaks (mm), dan Berat (g) Ketam Kenari Pada Stasiun III ...42 Lampiran 5. Nilai LN (Logaritma Of Number) Dari Panjang Karapaks Ketam Kenari Pada Stasiun I ...43 Lampiran 6. Nilai LN (Logaritma Of Number) Dari Panjang Karapaks Ketam Kenari Pada Stasiun II ...44 Lampiran 7. Nilai LN (Logaritma Of Number) Dari Panjang Karapaks Ketam Kenari Pada Stasiun III ...45 Lampiran 8. Hasil Uji Chi-square dari Sex Rasio, Perhitungan Luasan Populasi dan Kepadatan Relatif Ketam Kenari di Pulo Pasi...46 Lampiran 9. Hasil Ayakan Substrat...48 Lampiran 10. Aktifitas dan Cara Penangkapan Ketam Kenari...49 Lampiran 11. Pengukuran Panjang-Lebar Karapaks, dan Berat Ketam Kenari ..50

(12)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ketam kenari (Birgus latro) merupakan salah satu hewan yang hidupnya di sekitar pantai dan lebih aktif mencari makan pada malam hari. Hewan ini merupakan salah satu sumber protein hewani yang mulai banyak digemari masyarakat, karena rasa dagingnya yang lezat dan bergizi tinggi. Ketam kenari adalah salah satu kelompok Decapoda yang banyak menghabiskan waktunya di daratan. Ketam kenari adalah yang paling besar dibandingkan jenis-jenis Crustacea lainnya, sehingga dikenal sebagai Arthropoda daratan terbesar di dunia. Hewan ini berperan dalam perputaran bahan organik tanah. Lemak perutnya dapat berkhasiat sebagai aphrodisiac (perangsang gairah seksual). Berdasarkan cara makan dan jenis pakan yang dimakannya, ketam kenari ini termasuk ketam hama bagi pertanian dan perkebunan karena sering memakan buah dan merusak pohon kelapa, kenari, dan pepaya (PPSDAHP 1987/1988).

Habitat yang paling disenangi Birgus latro adalah vegetasi pantai dan semak-belukar area supralitoral, menghuni gua atau lubang bebatuan dan mencari makan pada malam hari. Tetapi jika keadaan lingkungan aman ketam kenari dapat terlihat pada siang hari dan cenderung bersifat kanibal, namun seringkali membentuk grup yang terdiri dari beberapa individu dalam suatu lubang (nokturnal) (Whitten et al., 1999).

Ketam kenari (Birgus latro) ini banyak ditemukan di daerah-daerah kepulauan di dunia termasuk Indonesia dimana ketam kenari ditangkap dan diperdagangkan. Salah satu daerah penghasil ketam kenari yang dikenal adalah Pulo Pasi. Penangkapan yang dilakukan secara terus menerus tanpa memperhatikan kelestariannya akan menyebabkan populasi ketam kenari ini semakin langka ditemukan (Ahmad dan Aris, 2006).

(13)

2 Meskipun Ketam Kenari ini dilindungi, namun penangkapan yang dilakukan oleh masyarakat Pulo Pasi dibuktikan dengan banyaknya masyarakat yang menyajikan Ketam Kenari sebagai menu favorit. Penangkapan yang dilakukan tanpa melihat kondisi dan karakteristik lingkungan Ketam Kenari, berdasarkan hal itu maka perlu dilakukan pengkajian untuk melihat karakteristik lingkungan dan populasi ketam kenari khususnya di Pulo Pasi, Kabupaten Kepulauan Selayar sebagai daerah yang menjadi tujuan penangkapan ketam kenari.

B. Tujuan dan Kegunaan

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui preferensi habitat dan karakteristik lingkungan ketam kenari (Birgus latro) di Pulo Pasi, Kabupaten Kepulauan Selayar.

Kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai informasi bagi pengelolaan ketam kenari di Pulo Pasi sehingga populasi tersebut dapat dipertahankan kelestariannya serta menjadi bahan informasi bagi dunia pendidikan khususnya dibidang Kelautan dan Perikanan.

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini yaitu meliputi pengukuran panjang karapaks, lebar karapaks dan berat ketam kenari pada setiap stasiun yang berbeda, serta pengamatan secara sekunder dengan membedakan antara ketam kenari jantan dan betina. Dan mengukur parameter populasi yang dihubungkan dengan keadaaan lingkungan seperti suhu tanah, kelembaban udara, keasaman (pH) tanah, tekstur substrat, dan kondisi vegetasi.

(14)

3 II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pendahuluan

Ketam kenari (Birgus latro) adalah salah satu anggota dari ordo Decapoda yang banyak menghabiskan waktunya di daratan. Ketam kenari adalah crustacea yang paling besar dibandingkan dengan jenis-jens crustacea lainnya, sehingga dikenal sebagai Arthtropoda daratan terbesar di dunia (Gambar 1).

Ketam kenari (Birgus latro) merupakan hewan yang hidupnya di sekitar pantai dan lebih aktif mencari makan pada malam hari. Hewan ini merupakan hewan yang dilindungi oleh Pemerintah Republik Indonesia (PP No 9 Tahun 1999), karena populasinya diperkirakan telah menurun dan mulai jarang ditemukan di alam. Kondisi demikian diduga selain sebagai akibat kegiatan penangkapan yang dilakukan secara terus-menerus tanpa memperhatikan aspek pelestariannya, juga diduga sebagai akibat habitat ketam kenari yang telah terkonversi menjadi peruntukan lain. Hewan ini juga telah dimasukan ke dalam “red list” IUCN dengan alasan utama informasi biologinya yang masih sangat terbatas (PPSDAHP, 1987/1988).

Ketam kenari menyebar luas dari lautan Pasifik Barat hingga Samudra Hindia bagian timur. Di daerah tersebut hewan ini menempati pulau-pulau berbatu di kawasan lautan. Selain itu ketam kenari ini juga hidup di daerah pantai yang menyatu dengan daratan kepulauan dan umumnya tidak dijumpai di daerah karang atol karena di wilayah tersebut sumber makanan yang dibutuhkan tidak memadai. Di Aldabra dilaporkan masih terdapat ketam kenari namun di Kepulauan Seychelles diperkirakan sudah tidak ditemukan lagi. Ketam kenari juga tersebar di pulau-pulau kecil di wilayah pantai Tanzania dan Sentinal selatan (Andaman dan Nikobar), Kepulauan Keeling dan Mauritius. Di Filipina dilaporkan hanya terdapat di Pulau Ilongo dan sebagian di Pulau Cebu. Di

(15)

4 kawasan Pasifik ketam kenari dapat dijumpai di Ryukus, Fiji dan Kepulauan Marshall kecuali Kepulauan Hawaii, Wake dan Midway. Di Papua Nugini biota ini dapat ditemukan di Propinsi Manus, yakni di Rantan, Sae dan Los Negros (PPSDAHP, 1987/1988).

Di Indonesia ketam kenari terutama ditemukan di kawasan Indonesia bagian timur yaitu di Pulau-Pulau Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Di Sulawesi, ketam kenari terdapat di wilayah Kepulauan Talaud (Sulawesi Utara) (Boneka, 1990), Pulau Siompu, Tongali, Kaimbulawa dan Liwutongkidi (Sulawesi Tenggara) (Ramli, 1997), Pulau Pasoso (Sulistiono dkk., 2005), sedangkan di Nusa Tenggara terdapat di pantai Pulau Yamdena (Monk dkk., 2000), dan di Kalimantan terdapat di Pulau Derawan (Sulistiono dkk., 2005).

Gambar 1. Ketam kenari (Birgus Latro)

B. Klasifikasi dan Morfologi

Ketam kenari atau Birgus latro termasuk ke dalam Kelas crustasea, Filum Arthropoda darat yang terbesar di dunia. Penduduk Kepulauan Maluku menyebutnya ketam kenari. Ketam kenari ini dikenal karena kemampuannya

(16)

5 mengupas buah kelapa dengan capitnya yang kuat untuk memakan isinya, satu-satunya spesies dari Genus Birgus. Dalam bahasa Inggris dikenal "terrestrial hermit crab" (umang-umang darat) karena penggunaan cangkang oleh umang muda tetapi ada juga umang darat lain yang tidak meninggalkan cangkangnya setelah dewasa. Hewan ini, khususnya Genus Coenobita yang masih berkerabat dekat-biasanya disebut umang-umang darat. Karena dekatnya kekerabatan antara Coenobita dan Birgus maka istilah umang-umang darat ini biasanya mengacu pada anggota Famili Coenobitidae. Untuk Famili Caenobitidae, memiliki sepasang testis dan sepasang ovarium berada pada abdomennya. (Altevogt dan Davis 1975).

Menurut Eldredge (1996) ketam kenari dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Animalia Phylum : Arthropoda Class : Crustacea Order : Decapoda Family : Coenobitidae Genus : Birgus

Species : Birgus latro

Secara morfologis ketam kenari mempunyai abdomen bulat simetris dan terlindung oleh karapaks, ujung abdomennya dapat berfungsi sebagai pemberat ketika berada dalam liangnya yang berada di bawah akar pohon maupun pohon yang roboh. Ketam Kenari dewasa memiliki panjang karapaks kurang lebih 25-40 cm, berat badan berkisar antara 2-4 kg. Capit sebelah kiri biasanya mempunyai ukuran lebih besar dari capit yang sebelah kanan. Ketam kenari ini dilengkapi dengan lima pasang kaki jalan, empat pasang kaki jalan yang jelas terlihat keras dan satu pasang kaki jalan terakhir berukuran kecil dan tersembunyi dibawah karapaks. Semua kaki jalan ditutupi oleh duri serta rambut-rambut halus.

(17)

6 Karapaksnya sangat keras yang disebabkan oleh konsentrasi zat kapur yang lebih tinggi jika dibandingkan jenis kepiting lainnya. Saat menjadi larva ketam kenari ini memiliki abdomen yang lunak dan terlindung dalam cangkang, tetapi cangkang ini akan ditinggalkan ketika menginjak dewasa. Ketam kenari tumbuh dengan cara berganti kulit, sesaat setelah keluar dari cangkangnya lalu mencari tempat yang terlindung dari pemangsanya dan berganti kulit (Motoh, 1980).

Meskipun ketam kenari merupakan tipe kepiting pertapa, tapi juvenilnya menggunakan cangkang untuk melindungi perutnya yang lembut. Juvenil ketam kenari kadang-kadang menggunakan patahan tempurung kelapa untuk melindungi perutnya. Tidak seperti kepiting pertapa lainnya, ketam kenari dewasa tidak membawa cangkang tapi malah mengeraskan terga perutnya dengan memanfaatkan kitin dan kapur. Tidak dibatasi oleh pembatas dinding cangkang yang memungkinkan spesies ini tumbuh jauh lebih besar daripada kepiting pertapa lainnya dalam Famili Coenobitidae (Harms, 1932).

Tubuh ketam kenari dibagi menjadi bagian depan (kepala-dada atau sefalotoraks), dengan 10 kaki, dan abdomen (perut) (Gambar 2). Sepasang kaki terdepan mempunyai capit besar untuk mengupas kelapa, dan cakar (chelae) ini dapat mengangkat benda hingga seberat 29 kg. Dua pasang kaki berikutnya, seperti pada umang-umang lain, adalah kaki berjalan yang besar dan kuat yang memungkinkan Ketam Kenari memanjat pohon (seringkali pohon kelapa) secara vertikal hingga setinggi 6 m. Pasangan kaki ke empat lebih kecil dengan cakar mirip pinset diujungnya, memungkinkan ketam kenari muda berpegangan didalam cangkang atau batok kelapa untuk berlindung. Hewan dewasa menggunakan pasangan kaki ini untuk berjalan dan memanjat. Pasangan kaki terakhir sangat kecil dan hanya digunakan untuk membersihkan organ pernafasannya. Kaki-kaki ini diletakkan dalam karapaks, pada rongga tempat organ pernafasannya berada. Ada beberapa perbedaan warna antara hewan di

(18)

7 Pulau yang satu dengan Pulau yang lain, dari ungu muda, ungu tua hingga cokelat (Altevogt dan Davis, 1975).

Gambar 2. Morfologi ketam kenari (Altevogt dan Davis, 1975)

C. Siklus Hidup

Selama siklus hidupnya, ketam kenari memiliki dua habitat yaitu di darat dan laut. Pada masa inkubasi sampai matang telur berlangsung di darat, sedangkan masa penetasan telur sampai telur menjadi burayak (benih) hidup sebagai planktonik yang hidup bebas di laut kemudian setelah dewasa kembali ke daratan. Fase setelah telur yang baru menetas disebut fase zoea. Fase ini biasanya berlangsung sekitar 30 hari yang terdiri dari lima tahap. Tiap-tiap tahap akan mengalami perubahan bentuk dan ukuran. Tahap zoea pertama berlangsung 5- 6 hari setelah telur menetas dan pergantian ke tahap zoea kedua terjadi pada hari ke empat. Tahap zoea kedua berlangsung sekitar 3 – 15 hari dari kehidupan larva dan selesai dalam waktu 10 hari. Lamanya tahap zoea ketiga ini umumnya 8-9 hari. Pergantian ke tahap keempat dimulai pada hari ke 15 dari kehidupan larva sampai kira-kira hari ke 24. Burayak biasanya mengalami pergantian kulit pada hari ke 18 – 20 dan terjadi sangat aktif. Setelah

(19)

8 selesai berganti kulit, zoea memasuki tahap keempat dan lamanya tahap ini berkisar antara 6 – 12 hari. Ketika usia sekitar 30 hari, fase Zoea akan segera beralih ke fase post larva atau “Glaucothoe” (Schiller et al., 1991).

Fase post larva merupakan fase terpenting dalam pertumbuhan ketam kenari. Pada fase ini, Ketam Kenari mengalami perubahan bentuk seperti hewan amphibi dan sudah mulai dapat berenang dengan menggunakan pleopodanya atau bergerak pelan-pelan di daratan. Setelah tahap ini, Ketam Kenari tersebut menggali lubang dan terjadi pergantian kulit pada hari ke 28. Pada hari ke 36 Ketam Kenari ini telah menjadi kepiting muda dan akan memilih cangkang gastropoda yang kosong sebagai tempat tubuhnya (Pratiwi, 1989).

Biasanya setiap berganti kulit, ketam kenari akan mengganti cangkangnya dengan menyesuaikan pertambahan tubuhnya. Tingkah laku ini menjadikannya sebagai hewan pembawa cangkang yang dapat berlangsung sampai 2,5 tahun, selanjutnya ketam kenari meninggalkan cangkang dan berkembang menjadi ketam kenari dewasa. Ketam kenari muda yang tidak dapat menemukan cangkang untuk ukuran yang tepat, biasanya menggunakan potongan-potongan kelapa rusak (Schiller et al., 1991).

Berdasarkan hasil penelitian (Ramli 1997), ketam kenari pada fase kelomang atau fase dimana dia hidup dalam cangkang Gastropoda, bersifat semi terrestrial dengan karakteristik hidup pada mintakat supra litoral yang. berpasir. Pada siang hari dapat ditemukan dibawah semak-semak dan di antara reruntuhan pohon yang telah mati. (Pratiwi, 1989) mengemukakan bahwa ketam kenari menjadi dewasa setelah berumur 4 tahun, yakni setelah delapan kali mengalami pergantian kulit. Pada usia tersebut, ketam kenari tidak lagi membawa cangkang karena struktur tubuhnya sudah menjadi hewan darat dan akan menghabiskan waktunya di daratan.

(20)

9 Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Schiller et al. (1991) menyatakan bahwa ketam kenari mencapai matang gonad pada umur 3,5 – 5 tahun, dan sudah mulai melakukan aktivitas dan. Umur dari ketam kenari dapat mencapai 30-60 tahun (Altevogt dan Davis, 1975).

D. Makanan dan Cara penangkapan Ketam Kenari (Birgus latro)

Jenis makanan yang biasa dimakan oleh ketam kenari adalah buah kelapa baik dalam bentuk ampas maupun kopra. Oleh karena itu, pemburu ketam kenari biasanya menggunakan buah kelapa yang dibagi menjadi 2 bagian (Gambar 3) dan diletakan pada bagian lubang batu, akar pohon atau rerumputan yang rimbun yang diduga sebagai habitat Ketam Kenari. Umpan tersebut harus diikat pada bagian tertentu agar tidak dibawa atau dipindahkan oleh Ketam Kenari.

Untuk mencari makan, ketam kenari menggunakan organ disebut “estetask” yang terdapat pada antenna untuk membantu ketam kenari dalam mendeteksi bau yang ada disekitarnya. Saat akan ditangkap, ketam kenari menunjukkan beberapa tingkah laku menghindar, seperti menggerakkan pereiopod (capit) seakan-akan melakukan perlawanan (Sulistiono dkk., 2005).

Gambar 3. Umpan kelapa yang dipakai untuk penangkapan (Rondo dan Limbong, 1990)

(21)

10 Penangkapan ketam kenari umumnya dilakukan pada malam hari, karena ketam kenari dipahami oleh masyarakat sebagai biota yang keluar pada malam hari. Hal ini dikuatkan oleh Rondo dan Limbong (1990); Boneka (1990); Sulistiono dkk. (2005); Brown dan Fielder (1991); Abubakar (2009) dan Rafiani (2005) maka penangkapan dilakukan pada malam hari. Umpan biasanya dipasang pada saat sore hari sekitar 16.00-17.00 WIT. Penangkapan Ketam Kenari dilakukan pada malam hari sekitar pukul 20.00 sampai 22.00 WIT dan saat subuh yaitu pukul 04.00 sampai pukul 05.00 WIT. Proses penangkapan dilakukan 3 kali semalam dengan frekuensi waktu tertentu.

E. Karakteristik Pertumbuhan dan Pergantian Karapaks

Tingkat dimana individu tumbuh merupakan salah satu aspek biologi yang paling penting pada suatu spesies. Perbedaan kecepatan di mana individu meningkat dari ukuran telur dan kemudian ukuran asymptotic memiliki implikasi yang signifikan untuk pengelolaan efektif. Penentuan tingkat pertumbuhan ketam kenari (seperti pada Crustasea lainnya) adalah sulit karena exoskeleton hilang ketika hewan mengalami moulting. Hal ini, sangat sulit untuk mengidentifikasi individu yang ditandai sebelum moulting terbarunya. Pertumbuhan Crustacea memiliki dua komponen kenaikan pertumbuhan yaitu di setiap pergantian kulit, dan interval waktu antara setiap episode pergantian. Dari hasil pertumbuhan ketam kenari jantan kecil yang disimpan di penangkaran selama 18 bulan, akan membutuhkan waktu selama lima tahun untuk mencapai ukuran besar (sekitar 1 kg).

F. Parameter Lingkungan

a. Suhu Tanah

Suhu tanah merupakan parameter lingkungan yang sangat menetukan kestabilan lingkungan hidup ketam kenari. Suhu tanah yang disukai ketam kenari

(22)

11 berkisar 27-29 0c. Hal memperkuat daya dukung ketam kenari untuk hidup dan berkembang sepanjang waktu pada daerah tertentu (Ramli, 1997). Sedangkan penelitian Whitten et al. (1999) menyatakan bahwa pada malam hari dengan kisaran suhu 23–26 0

c Birgus latro aktif selama 11 jam. Selanjutnya Birgus latro menghindari aktivitas pada siang hari karena menghindari sinar matahari langsung. Ramli, (1997) mengatakan bahwa ketam kenari dapat hidup pada suhu tanah rata-rata berkisar antara 28-29 0c. Tapilatu (1991) mengatakan pula bahwa ketam kenari melakukan respirasi secara teratur apabila suhu lingkungan berkisar antara 28-30 0c.

Gherardi (1990), menyatakan bahwa besarnya populasi selama beberapa tahun ditentukan oleh pola tahunan periode kelahiran dan kematian. Populasi yang terkontrol menyebabkan sesuatu yang secara teratur mengarah pada kemampuan lingkungan (suhu tanah) untuk mendukung individu-individu. Daya dukung ini bisa berubah menurut waktu karena ketersediaan sumber pendukung menjadi kritis dan perubahan sumber kematian eksternal.

b. Kelembaban Udara

Kelembaban udara merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi aktivitas hidup ketam kenari dan sangat menyenangi daerah yang lembab dan gelap untuk tempat tinggalnya. Serta sebagai faktor pendukung bagi kelangsungan hidup ketam kenari. Hal ini terbukti dengan penelitian Ramli (1997), menyatakan bahwa ketam kenari sangat menyenangi daerah yang lembab dan gelap untuk tempat tinggalnya.

c. Curah Hujan

Curah hujan sebagai faktor yang berpengaruh terhadap kondisi tubuh ketam kenari dalam mencari makanan dan perubahan tingkah laku hidupnya. Waktu yang paling aktif bagi ketam kenari dalam mencari makanan adalah saat hujan gerimis, akan tetapi apabila hujan lebat dapat membahayakan

(23)

12 keselamatan hidupnya, maka ketam kenari akan bersembunyi dalam sarangnya, sebagai bentuk adaptasi tingkah lakunya (Ramli, 1997).

d. Tekstur Substrat

Komposisi substrat yang didominasi debu dan liat, dengan jenis tumbuhan dan vegetasi pohon kelapa yang lebat. Kondisi ini dapat menyediakan tempat perlindungan bagi ketam kenari yang berumur muda karena kepadatan vegetasi pohon kelapa yang baik (Jahidin, 2010).

Keberadaan tekstur substrat akan mempengaruhi kehidupan ketam kenari karena disamping sebagai salah satu tempat penyedia sumber makanan juga sebagai tempat untuk menggali sarang tempat tinggalnya dan mengantisipasi gangguan predator dengan menutup sarang oleh capitnya yang kuat (Boyd et al., 2002).

e. Keasaman (pH) Tanah

Keasaman (pH) tanah merupakan sifat kimia tanah yang penting bagi crustaceae. Keasaman (pH) tanah mempunyai sifat yang menggambarkan aktivitas ion hidrogen. Reaksi tanah dapat mempengaruhi proses kimia lainnya seperti ketersediaan unsur hara dan proses biologi dalam tanah. Sebaliknya keasaman (pH) tanah dipengaruhi oleh berbagai faktor lain seperti kandungan karbonat bebas (Boyd et al., 2002).

Penelitian Agus (2008), yang menyatakan bahwa pH tanah yang berkisar antara 6.5–7.5 masih dalam kategori yang baik. Sedangkan pH tanah kurang dari 5 dapat menyebabkan kematian bagi organisme. Ramli (1997), mengatakan bahwa pH tanah yang ideal untuk kehidupan organisme ketam kenari adalah berkisar 7-7.8.

(24)

13 f. Kondisi vegetasi

Daya dukung vegetasi merupakan sumber makanan ketam kenari menjadi faktor kunci keutuhan dan eksistensi ketam kenari di suatu wilayah. Vegetasi pohon kelapa berbeda-beda antara lokasi yang satu dengan lokasi yang lainnya. ada yang ditemukan kondisi vegetasinya masih padat dan subur (khususnya daerah terisolir yang masih kurang sentuhan pembangunan pemukiman masyarakat) dan juga ditemukan keberadaan vegetasi alamiahnya, sudah diperuntukan untuk kepentingan pengembangan kawasan pemukiman penduduk dan pembukaan areal perkebunan milik masyarakat (Ramli, 1997).

(25)

14 III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan di Pulo Pasi, Desa Menara Indah, Kabupaten Kepulauan selayar pada bulan November-Desember 2016 (Gambar 4

).

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan sampel

B. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan yaitu senter atau lampu cas untuk penerang saat menangkap ketam kenari, kaos tangan untuk menghindari jepitan dari sipit atau duri pada karapaks ketam kenari, hygrometer untuk mengukur kelembaban udara dan suhu tanah, soil Ph meter untuk mengukur pH tanah dan mistar untuk mengukur panjang dan lebar ketam kenari serta timbangan untuk mengukur berat Ketam Kenari, dan transek ukuran 1,5x1,5 m2 untuk membatasi daerah sampel, dan ayakan bertingkat untuk mengayak sedimen, sedangkan bahan yang digunakan yaitu berupa kelapa atau ampas dari kelapa yang digunakan untuk memancing ketam kenari.

(26)

15 C. Prosedur Penelitian

1. Persiapan

Tahap persiapan dalam penelitian ini meliputi studi pustaka sebagai bahan referensi terkait topik penelitian dari berbagai sumber seperti jurnal hasil penelitian, buku dan artikel-artikel ilmiah serta melakukan konsultasi dengan dosen pembimbing.

2. Penentuan Stasiun dan Teknik Penangkapan

Penentuan stasiun ditentukan berdasarkan perbedaan letak atau jarak lokasi dari daerah pemukiman. Stasiun pengambilan sampel ditentukan di 3 (tiga) lokasi penangkapan ketam kenari yaitu stasiun I, II, dan III (Gambar 6) dengan tiga sub stasiun. Stasiun I merupakan area penangkapan pertama dengan kondisi dekat dengan pemukiman, terdapat liang-liang dan beberapa pepohonan besar seperti pohon beringin dengan pepohonan kelapa yang berada disekitar liang serta dengan perladangan masyarakat. Stasiun II yaitu dengan kondisi vegetasi dengan beberapa pohon kelapa, pohon beringin, pohon asam dan semak belukar, sedangkan pada stasiun III merupakan area sampling yang jauh dari pemukiman dengan kondisi batu kerikil dan daerah vegetasi dengan pepohonan besar dan semak belukar.

Proses penangkapan yang dilakukan yaitu pemberian umpan buah kelapa terlebih dahulu yang telah dibagi menjadi dua bagian atau dengan menggunakan ampas dari kelapa kemudian diletakkan pada bagian celah batu atau akar pohon yang diduga sebagai habitat ketam kenari, serta penangkapan dengan menggunakan transek yang ditutupi dengan jaring atau penangkapan lansung. Umpan kelapa tersebut telah dipasang pada saat sore hari dan dilakukan pengontrolan (penangkapan) pada malam hari sekitar pukul 20.00-23.00.

(27)

16 3. Sex Rasio

Penentuan jenis kelamin dilakukan berdasarkan ciri kelamin sekunder. Pada kelamin betina terdapat 3 buah pleopoda yang terdapat pada abdomen. Ciri lain yang membedakan jantan dan betina adalah ukuran tubuh, biasanya betina lebih besar daripada jantan (Gambar 5). Untuk menentukan signifikasi rasio jenis kelamin digunakan metodologi penghitungan langsung.

Gambar 5. (A) Ketam Kenari Betina dan (B) Ketam Kenari Jantan (Abubakar, 2009)

Tabel 1. Karakteristik morfologi Birgus latro berdasarkan jenis kelamin menurut Jahidin (2010).

NO Karakter Morfologi Jantan Betina

1

Ukuran tubuh Lebih kecil

dibandingkan betina

Lebih besar dibandingkan jantan

2 Bentuk karapaks Oval Bulat

3 External ventral

abdomen Tidak terdapat oviger Terdapat oviger

4. Pengukuran Panjang-Lebar Karapaks dan Berat Ketam Kenari

Untuk keperluan analisis potensi, lokasi dibagi atas beberapa stasiun, kemudian dilakukan perhitungan jumlah individu per area sampling dan penimbangan hasil tangkapan dengan menggunakan timbangan dengan ketelitian 0,01 g (Gambar 6), data ini digunakan untuk menghitung potensi ketam kenari setiap km2 dari semua area yang telah diplot.

(28)

17 Gambar 6. Penimbangan ketam kenari (Darmawaty, 2009)

Setelah dilakukan penimbangan maka dilakukan pengukuran lebar karapaks dengan menggunakan mistar dengan ketelitian 0,1 cm (Gambar 7) pada semua hasil tangkapan jika jumlah hasil tangkapan sedikit namun jika hasil tangkapan banyak maka dilakukan pengambilan sampel sebanyak 10% untuk mewakili populasi yang tertangkap.

Gambar 7. Pengukuran lebar karapaks ketam kenari (Darmawaty, 2009)

5. Parameter lingkungan yang di ukur

Parameter yang diukur pada saat pengambilan sampel ketam kenari yaitu suhu tanah dan kelembaban udara dengan menggunakan hygrometer curah

(29)

18 hujan, keasaman (pH) tanah dengan menggunakan soil pH meter. Serta melihat tipe vegetasi apa yang diduga sebagai habitat ketam kenari misalnya pada daerah berkarang yang didominasi semak belukar, atau dengan sedikit pepohonan dan pohon kelapa, dan tekstur substrat dilakukan dengan mengambil tanah tersebut disebutkan sesuai fraksi dengan ayakan berlapis.

D. Analisis Data

Untuk mengetahui sex rasio digunakan metodologi penghitungan langsung, dan untuk mengetahui distribusi kelimpahan dengan metode umum:

a. Rumus Luasan Populasi :

P = S x

Keterangan : P = Populasi

S = Jumlah hasil tangkapan A = Luas daerah penelitian a = Luas transek

b. Rumus Kepadatan relatif

Rdi =

Keterangan :

Rdi = Kepadatan relative pada stasiun ke-I Ni = Jumlah individu pada stasiun I

(30)

19 c. Rasio Kelamin

Rasio kelamin jantan dan betina dapat diduga dengan menggunakan rumus menurut Effendi (1979), dan diuji dengan menggunakan Chi-Square (program SPSS) :

P = A : B keterangan:

P = Rasio kelamin jantan dan betina, A = Jumlah kelamin jantan

(31)

20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

Hasil Analisis Kelas Ukuran Ketam Kenari (Birgus latro)

Hasil analisis kelas ukuran pada tiga stasiun adalah sebagai berikut : a. Kelas ukuran panjang karapaks ketam kenari pada stasiun I

Kelas ukuran panjang karapaks keseluruhan hasil tangkapan pada stasiun I dapat dilihat pada Gambar 8. Jumlah ketam kenari yang diukur pada stasiun I yaitu 28 ekor dengan kisaran panjang 79-138 mm.

Gambar 8. Kelas ukuran keseluruhan panjang karapaks ketam kenari Berdasarkan hasil analisis kelas ukuran ketam kenari pada stasiun I, diperoleh nilai tertinggi pada kisaran 89-98 mm dan 99-108 mm dengan jumlah individu 9 ekor, sedangkan pada kisaran 119-128 mm tidak terdapat ketam kenari. Tidak adanya hasil tangkapan pada kisaran 119-128 mm panjang karapaks ketam kenari, hal ini diduga karena kematian akibat penangkapan yang dilakukan oleh masyarakat di Pulo Pasi.

4 9 9 3 0 3 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 79-88 89-98 99-108 109-118 119-128 129-138 Jumla h Ind iv idu ( ek or)

(32)

21 b. Kelas ukuran panjang karapaks ketam ketam kenari pada stasiun II

Kelas ukuran panjang karapaks keseluruhan pada stasiun II dapat dilihat pada Gambar 9. Jumlah ketam kenari yang diukur pada stasiun II yaitu 25 ekor, dengan kisaran panjang ketam kenari yaitu 76-135 mm.

Gambar 9. Kelas ukuran keseluruhan panjang karapaks ketam kenari Berdasarkan hasil analisis kelas ukuran ketam kenari pada stasiun II, diperoleh nilai tertinggi pada kisaran 96-105 mm dengan banyaknya individu ketam kenari yaitu 10 ekor sedangkan pada kisaran 106-115 mm dan 116-125 mm tidak didapatkan tangkapan ketam kenari pada kisaran panjang tersebut. Tidak adanya hasil tangkapan pada kisaran tersebut, hal ini diduga karena kematian akibat penangkapan yang dilakukan oleh masyarakat di Pulo Pasi yang lebih difokuskan pada ukuran yang lebih besar. Hal ini terbukti dengan sedikitnya atau rendahnya nilai tangkapan pada kisaran panjang karapaks 126-135 mm yaitu sebanyak 4 ekor. Dan diduga adanya perbedaan tingkah laku pada setiap individu. 4 7 10 0 0 4 0 2 4 6 8 10 12 76-85 86-95 96-105 106-115 116-125 126-135 Jumla h Ind iv idu ( ek or)

(33)

22 c. Kelas ukuran panjang karapaks ketam ketam kenari pada stasiun III

Kelas ukuran panjang karapaks keseluruhan pada stasiun III dapat dilihat pada Gambar 10. Jumlah ketam kenari yang diukur pada stasiun III yaitu 16 ekor, dengan kisaran panjang ketam kenari yaitu 70-129 mm.

Gambar 10. Kelas ukuran panjang keseluruhan karapaks ketam kenari Berdasarkan hasil analisis kelas ukuran ketam kenari pada stasiun III, diperoleh nilai tertinggi pada kisaran 70-79 mm dengan banyaknya individu ketam kenari yaitu 6 ekor sedangkan pada kisaran 90-99 mm tidak didapatkan tangkapan ketam kenari pada kisaran panjang tersebut. Tidak adanya hasil tangkapan pada kisaran tersebut, hal ini diduga adanya kematian akibat penangkapan yang dilakukan oleh masyarakat di Pulo Pasi.

6 4 0 4 1 1 0 1 2 3 4 5 6 7 70-79 80-89 90-99 100-109 110-119 120-129 Jumla h Ind iv idu ( ek or)

(34)

23 B. Hubungan Panjang Karapaks (Cp+r) dengan Bobot Tubuh

a. Hubungan panjang karapaks (CP+r) dengan berat tubuh ketam kenari pada stasiun I.

Berdasarkan hasil analisis hubungan panjang karapaks (CP+r) dan berat ketam kenari, diperoleh hubungan panjang berat pada ketam kenari yaitu W = 1,94(CP+r)1,90 dengan nilai R2 sebesar 0,85, diperoleh nilai b < 3. Nilai b tersebut

merupakan indikator pertumbuhan yang menggambarkan hubungan

pertambahan panjang dan berat pada ketam kenari. Menurut Effendi (1979), kriterianya sebagai berikut : Jika b<3, maka pertambahan panjang ketam lebih cepat dari pertambahan beratnya. b>3, maka pertambahan panjang lebih lambat dari pertambahan berat. Sehingga kedua pertumbuhan ini disebut pertumbuhan allometrik. Jika b=3, maka pertumbuhan bersifat isometrik yaitu pertambahan panjang dan berat sama.

Gambar 11. Hubungan panjang (Cp+r) dengan bobot

Keterangan: b = 1,90; a = 1,94; R2 = 0,85; W = a (CP+r)b, sehingga W= 1,94 (CP+r) 1,90; b < 3, = allometrik, maka pertambahan panjang karapaks ketam kenari lebih cepat daripada pertambahan bobotnya.

y = 1.9049x - 1.9387 R² = 0.8454 6.20 6.40 6.60 6.80 7.00 7.20 7.40 7.60 4.30 4.40 4.50 4.60 4.70 4.80 4.90 5.00 B ob ot T ub uh ( Ln W ) Panjang Cp+r (Ln L)

(35)

24 Nilai R2 yang mendekati satu menggambarkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara panjang karapaks (Cp+r) dengan berat tubuh ketam kenari yang ada di Pulo Pasi. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Supyan dkk. (2015) di Pulau Uta Propinsi Maluku Utara, dengan hasil analisis hubungan panjang karapaks (CP+r) dan berat total, diperoleh hubungan panjang berat pada ketam kenari jantan adalah W = 1,93 (CP+r)1,17 dengan nilai R2 sebesar 1,97, sedangkan pada betina adalah W = 1,97 (CP+r)0,97 dengan nilai R2 0,99. Kedua jenis kelamin ketam kenari tersebut sama-sama memiliki nilai b < 3. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa nilai b dapat berbeda menurut spesies, jenis kelamin, umur, musim, dan aktivitas makan. Penelitian lain yang pernah dilakukan oleh Abubakar (2009) dengan lokasi yang berdekatan dengan Pulau Uta yaitu Pulau Yoi menunjukkan hal yang sama. Dalam penelitian itu ditemukan bahwa hubungan panjang berat ketam kenari bersifat allometrik. Hal ini diduga disebabkan oleh karena ketam kenari harus berganti kulit atau moulting sehingga dapat tumbuh (Abubakar, 2009).

b. Hubungan panjang karapaks (CP+r) dengan berat tubuh ketam kenari pada stasiun II.

Berdasarkan hasil analisis hubungan panjang karapaks (CP+r) dan berat ketam kenari, diperoleh hubungan panjang berat pada ketam kenari yaitu W = 1,90(CP+r)1,68 dengan nilai R2 sebesar 0,90, diperoleh nilai b < 3. Nilai b tersebut

merupakan indikator pertumbuhan yang menggambarkan hubungan

pertambahan panjang karapks dan berat pada ketam kenari. Effendi (1979) mengatakan bahwa jika b < 3 maka pertumbuhannya bersifat allometrik negatif yang berarti bahwa pertambahan panjang ketam kenari lebih cepat daripada pertambahan beratnya.

(36)

25 Gambar 12. Hubungan panjang (Cp+r) dengan bobot

Keterangan: b = 1,68; a = 0,90; R2 = 0,90; W = a (CP+r) b , sehingga W = 0,90 (CP+r) 1,68 ; b < 3, = allometrik, maka pertambahan panjang ketam kenari lebih cepat daripada pertambahan bobotnya.

Nilai R2 yang mendekati satu menggambarkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara panjang (Cp+r) dengan berat tubuh ketam kenari yang ada di Pulo Pasi. Penelitian lain yang pernah dilakukan oleh Abubakar (2009) dengan lokasi yang berdekatan dengan Pulau Uta yaitu Pulau Yoi menunjukkan hal yang sama. Dalam penelitian itu ditemukan bahwa hubungan panjang berat ketam kenari bersifat allometrik. Hal ini diduga disebabkan oleh karena ketam kenari harus berganti kulit atau moulting sehingga dapat tumbuh (Abubakar, 2009).

c. Hubungan panjang karapaks (CP+r) dengan berat tubuh ketam kenari pada stasiun III.

Berdasarkan hasil analisis hubungan panjang karapaks(CP+r) dan berat, diperoleh hubungan panjang berat pada ketam kenari adalah W = 1,40(CP+r)1,79 dengan nilai R2 sebesar 0,93, diperoleh nilai b < 3. Nilai b tersebut merupakan indikator pertumbuhan yang menggambarkan hubungan pertambahan panjang dan berat pada ketam kenari. Effendi (1979) mengatakan bahwa jika b < 3 maka

y = 1.6801x - 0.9029 R² = 0.8993 6.20 6.40 6.60 6.80 7.00 7.20 7.40 7.60 4.30 4.40 4.50 4.60 4.70 4.80 4.90 5.00 B ob ot T ub uh ( Ln W ) Panjang Cp+r (Ln L)

(37)

26 pertumbuhannya bersifat allometrik negatif yang berarti bahwa pertambahan panjang ketam kenari lebih cepat daripada pertambahan beratnya.

Gambar 13. Hubungan panjang (Cp+r) dengan bobot

Keterangan: b = 1,79; a = 1,40; R2 = 0,93; W = a (CP+r)b , sehingga W = 1,40 (CP+r) 1,79; b < 3, = allometrik, maka pertambahan panjang karapaks ketam kenari lebih cepat daripada pertambahan bobotnya.

Nilai R2 yang mendekati satu menggambarkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara panjang (Cp+r) dengan berat tubuh ketam kenari yang ada di Pulo Pasi. Penelitian lain yang pernah dilakukan oleh Abubakar (2009) dengan lokasi yang berdekatan dengan Pulau Uta yaitu Pulau Yoi menunjukkan hal yang sama. Dalam penelitian itu ditemukan bahwa hubungan panjang berat ketam kelnari bersifat allometrik. Hal ini diduga disebabkan oleh karena ketam kenari harus berganti kulit atau moulting sehingga dapat tumbuh (Abubakar, 2009).

C. Luasan Populasi

Berdasarkan hasil perhitungan luasan populasi pada setiap stasiun, terdapat jumlah populasi teringgi yaitu pada stasiun II dapat dilihat pada Gambar 14. y = 1.7906x - 1.3953 R² = 0.9326 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 4.20 4.30 4.40 4.50 4.60 4.70 4.80 4.90 B ob ot T ub uh ( Ln W ) Panjang Cp+r (Ln+L)

(38)

27 Gambar 14. Jumlah populasi setiap stasiun

Berdasarkan hasil pehitungan tersebut yaitu stasiun I sebanyak 664 ekor dengan luasan daerah penangkapan 320 m2, stasiun II yaitu 778 ekor dengan luasan daerah penangkapan 420 m2, dan stasiun sebanyak III 475 ekor dengan luasan daerah 400 m2. Stasiun II memiliki jumlah populasi tertinggi dibandingkan stasiun I dan III, hal ini dipengaruhi oleh besarnya luasan daerah penangkapan dengan jumlah tangkapan sedikit sehingga luas area pencarian makan banyak. Karena semakin luas daerah populasi maka akan semakin luas daerah pencarian makan sehingga dalam pencarian makan juga akan jauh. Apabila ketersedian makanan berkurang maka pertumbuhan akan menurun.

D. Kepadatan Relatif Ketam Kenari

Berdasarkan hasil pengukuran kepadatan relatif di Pulo Pasi dari ke tiga stasiun (Gambar, 15), maka dapat diketahui kepadatan relatif ketam kenari di stasiun I lebih tinggi daripada stasiun II dan stasiun III.

664 778 475 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900

Stasiun I Stasiun II Stasiun III

P op ul asi ( ek or)

(39)

28 Gambar 15. Nilai kepadatan relatif pada setiap stasiun

Tingginya nilai kepadatan relatif tersebut disebabkan oleh kondisi lingkungan yang masih mendukung seperti kondisi vegetasi pohon kelapa yang menjadi makanan alami ketam kenari. Selain itu, juga banyak ditemukan ciri habitat yang disenangi oleh ketam kenari seperti tipologi pantai banyak terdapat celah-celah batu (sarang atau gua-gua kecil) yang sering kali kerap menjadi tempat persembunyian ketam kenari dari predator. Serata diidukung oleh parameter lingkungan yang sesuai dengan temperatur suhu yang disukai oleh ketam kenari yaitu berkisar 27,7 0cdengan kelembaban tertinggi yaitu 87,7%. Hal ini sesuai dengan penelitian Sudarwin (2004), yang menyatakan bahwa tinggi rendahnya nilai kepadatan ketam kenari disebabkan karakteristik habitat yang berbeda.

E. Sex Rasio Jantan dan Betina

Rasio kelamin penting diketahui karena berpengaruh terhadap kestabilan populasi spesies ketam kenari. Dari hasil penelitian diperoleh 69 individu ketam kenari yang diamati, 58 individu jantan dan 11 individu betina. Dengan rasio

40.6 36.2 23.2 0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0 40.0 45.0

Stasiun I Stasiun II Stasiun III

K ep ad atan R el atif ( %)

(40)

29 kelamin pada stasiun I 4:1, stasiun II 5:1, dan stasiun III 7:1. Berdasarkan hasil Chi-square pada taraf nyata 0,05 diperoleh bahwa rasio kelamin menujukkan tidak adanya keseimbangan. Hal ini berarti bahwa secara keseluruhan, rasio kelamin jantan dan betina tidak sama dengan 1 : 1 di Pulo Pasi. Berdasarkan hasil uji tersebut maka dapat dikatakan bahwa jumlah ketam kenari jantan dan betina berbeda nyata untuk semua tangkapan. Kondisi ini memberikan hambatan untuk melakukan pemijahan karena pasangannya susah untuk diperoleh. Selain parameter lingkungan yang mempengaruhi rasio kelamin ketam kenari di Pulo Pasi, juga dipengaruhi oleh masyarakat setempat yang kerap menangkap ketam kenari tanpa melihat ukuran dan jenis kelamin ketam kenari. Hal ini sesuai dengan penelitian Sulistiono dkk. (2007), menyatakan bahwa eksploitasi populasi ketam kenari terus berlanjut hingga saat ini, dimana kebiasaan masyarakat yang menangkap ketam kenari, lebih difokuskan pada ukuran yang lebih besar tanpa melihat jenis kelamin ketam kenari.

F. Kondisi Lingkungan

Hasil pengukuran kondisi lingkungan pada tiga stasiun penelitian dapat dulihat pada Tabel 2. dibawah ini :

Tabel 2. Hasil pengukuran parameter lingkungan

Stasiun Suhu (0c) Kelembaban udara (%) pH

I 27,6 87 7 27,9 88 7,2 27,6 88 6,8 II 28,9 83 6,2 28,9 86 6,9 28,7 87 7 III 30,2 82 6,4 30,5 82 6,9 30,5 82 6,9

(41)

30 1. Suhu Tanah

Berdasarkan Tabel 2 di atas terlihat bahwa pada stasiun I dan stasiun II menunjukkan nilai suhu yang tergolong optimal untuk pertumbuhan ketam kenari. Hal ini ditandai dengan lebih banyaknya jumlah ketam kenari yang terdapat pada kedua stasiun penelitian dibandingkan dengan jumlah ketam kenari pada stasiun III yang cenderung lebih sedikit. Hal ini diduga terjadi karena suhu pada stasiun III tergolong cukup tinggi untuk menunjang kelangsungan hidup ketam kenari.

Hasil pengukuran suhu tanah yang diperoleh selama penelitian di Pulo Pasi berkisar antara 27,6-30,5 0c. Perbedaan nilai suhu tanah tersebut disebabkan oleh penetrasi cahaya, ketinggian geografis dan penutupan vegetasi kelapa atau vegetasi lainnya dari pepohonan yang tumbuh disekitarnya. Hal ini didukung oleh penelitian Ramli, (1997) mengatakan suhu tanah sangat menetukan kestabilan lingkungan hidup ketam kenari. Suhu tanah yang disukai ketam kenari berkisar 27-29 oc. Hal ini yang memperkuat daya dukung ketam kenari untuk hidup dan berkembang sepanjang waktu pada daerah tertentu. Tapilatu (1991) mengatakan pula bahwa ketam kenari melakukan respirasi secara teratur apabila suhu lingkungan berkisar antara 28-30 0c.

Suhu merupakan faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap kestabilan hidup ketam kenari. Populasi yang terkontrol menyebabkan sesuatu yang secara teratur mengarah pada kemampuan lingkungan (suhu tanah) untuk mendukung individu-individu. Daya dukung ini bisa berubah menurut waktu karena ketersediaan sumber pendukung menjadi kritis dan perubahan sumber kematian eksternal (Gherardi, 1990).

2. Kelembaban Udara

Berdasarkan hasil pengukuran di atas (Tabel 2) terlihat nilai kelembaban udara tertinggi diantara ketiga stasiun penelitian berada pada stasiun I diperoleh sebesar 87,7%, stasiun II sebesar 85,3%, dan stasiun III diperoleh sebesar 82%.

(42)

31 Nilai kelembaban udara tersebut masih mendukung kestabilan hidup ketam kenari di alam.

Kelembaban udara merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi aktivitas hidup ketam kenari dan sangat menyenangi daerah yang lembab dan gelap untuk tempat tinggalnya. Kelembaban udara merupakan salah satu faktor pendukung bagi kelangsungan hidup ketam kenari. Hal ini terbukti dengan penelitian Ramli (1997), menyatakan bahwa ketam kenari sangat menyenangi daerah yang lembab dan gelap untuk tempat tinggalnya. Lebih jauh Rondo dan Limbong (1990), menyatakan bahwa ketam kenari menyukai daerah yang lembab dan gelap.

3. Keasaman (pH)Tanah

Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa kisaran pH yang diperoleh dari masing-masing stasiun tidak berbeda jauh. Keasaman (pH) tanah merupakan sifat kimia tanah yang penting bagi crustaceae. Keasaman pH tanah mempunyai sifat yang menggambarkan aktivitas ion hidrogen. Reaksi tanah dapat mempengaruhi proses kimia lainnya seperti ketersediaan unsur hara dan proses biologi dalam tanah. Sebaliknya kemasaman (pH) tanah dipengaruhi oleh berbagai faktor lain seperti kandungan karbonat bebas (Boyd et al., 2002).

Hasil pengukuran kemasaman (pH) tanah diperoleh rata-rata pada stasiun penelitian yaitu berkisar antara 6,7-7,0. Kondisi pH tanah tersebut masih mendukung kehidupan ketam kenari. Hal ini terbukti dengan penelitian Agus (2008), yang menyatakan bahwa pH tanah yang berkisar antara 6,5–7,5 masih dalam kategori yang baik. Sedangkan pH tanah kurang dari 5 dapat menyebabkan kematian bagi organisme tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pH tanah setiap stasiun pengamatan mencirikan kemasaman (pH) tanah yang

(43)

32 ditolerir oleh ketam kenari. Ramli (1997), mengatakan bahwa pH tanah yang ideal untuk kehidupan organisme ketam kelapa adalah berkisar 7-7,8.

4. Curah Hujan

Curah hujan sebagai faktor yang berpengaruh terhadap kondisi tubuh ketam kenari dalam mencari makanan dan perubahan tingkah laku hidupnya. Rata-rata curah hujan di Pulau pasi Kabupaten Kepulauan Selayar yaitu 106,08 mm/tahun. Musim penghujan terjadi antara bulan Agustus-November, dan musim pancaroba/peralihan pada bulan Desember dan Mei-Juli, serta dipengaruhi oleh angin musim barat pada bualan Januari-April. Secara umum kondisi curah hujan masih mendukung kehidupan ketam kenari. Terbukti hasil penelitian Sudarwin (2004), mengatakan bahwa waktu yang paling aktif bagi ketam kenari dalam mencari makanan adalah saat hujan gerimis, akan tetapi apabila hujan lebat dapat membahayakan keselamatan hidupnya, maka ketam kenari akan bersembunyi dalam sarangnya, sebagai bentuk adaptasi tingkah lakunya.

5. Tekstur substrat

Hasil analisis tekstur substrat menunjukkan bahwa komposisi substrat pada stasiun I, II dan stasiun III tersusun atas pasir sangat halus dan pasir halus. Berdasarkan hasil analisis tekstur tanah menunjukkan bahwa pada stasiun I memiliki tipe substrat yaitu pasir sangat halus, stasiun II memiliki tipe substrat yaitu pasir sangat halus, sedangkan pada stasiun III memiliki tipe Komposisi substrat yang didominasi pasir halus. Menurut Jahidin (2010), banyak didapatkan jenis tumbuhan dan vegetasi pohon kelapa yang dapat menyediakan tempat perlindungan bagi ketam kenari berumur muda dalam perkembangannya, dikarenakan adanya sistem kepadatan vegetasi pohon kelapa yang baik. Dengan demikian Pulo pasi memiliki tekstur substrat yang layak sebagai habitat ketam kenari.

(44)

33 Keberadaan tekstur substrat akan mempengaruhi kehidupan ketam kenari, karena disamping sebagai salah satu tempat penyedia sumber makanan juga sebagai tempat untuk menggali sarang, hal ini sesuai dengan pernyataan Pratiwi dan Sukardi (1997), menyatakan bahwa ketam kenari akan menggali sarang sebagai tempat tinggalnya dan mengantisipasi gangguan predator dengan menutup sarang oleh capitnya yang kuat.

6. Kondisi Vegetasi

Kondisi vegetasi merupakan salah satu faktor pendukung keberadaan ketam kenari (Haris dkk., 2013). Kondisi vegetasi di Pulo pasi yaitu termasuk formasi hutan pantai dengan jenis vegetasi seperti pohon beringin, kayu hitam, pandan laut, pohon asam, semak belukar dan areal perladangan yang banyak ditumbuhi berbagai jenis tanaman seperti jagung, ubi kayu, labu, dan terong. selain itu, vegetasi pohon kelapa juga terdapat di daerah tersebut, dapat dilihat pada Tabel 3. Kondisi vegetasi pohon kelapa sangat disukai oleh ketam kenari, sehingga ketergantungan ketam kenari pada buah kelapa sangat besar Jahidin (2010).

Tabel 3. Pengamatan vegetasi setiap stasiun

Stasiun Pengamatan Vegetasi

Stasiun I Pohon beringin, pohon kelapa, pohon kayu hitam. Areal perladangan (Labu, terong, dan jagung)

Stasiun II Pohon asam, pohon beringin, pandan laut, pohon kelapa, dan semak belukar

(45)

34

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ketam kenari di Pulo Pasi menyukai tekstur substrat halus dengan suhu sekitar 27,7 0c, kelembaban berkisar 87,7%, dan pH 7. Kondisi vegetasi dan daerah yang lembab dapat mempengaruhi kepadatan populasi ketam kenari. Pertambahan panjang karapaks lebih cepat dari pertambahan beratnya.

B. Saran

Untuk penelitian selanjutnya masih perlu diadakan penelitian mengenai preferensi habitat dan karakteristik lingkungan ketam kenari (Birgus latro) yang dilihat dari ketam kenari mulai menjadi juvenil sampi menjadi ketam kenari dewasa.

(46)

35 DAFTAR PUSTAKA

Abubakar, Y. 2009. Studi Biologi. Reproduksi Sebagai Dasar Pengelolaan Ketam Kelapa (Birgus latro) di Pulau Yoi Kecamatan P. Gebe, Maluku Utara.Tesis magister sains, Sekolah pasca sarjana Institut Pertanian Bogor.

Agus, M. 2008. Analisis Kapasitas Tambak Pada Sentra Budidaya Kepiting Bakau (Scylla sp) di Kabupaten Pemalang. Jawa Tengah. Tesis. Universitas Diponegoro. Semarang 110 hal.

Ahmad, K. dan M. Aris, 2006. Aspek-aspek Biologi dan Prospek Budidaya Kepiting Kelapa (Birgus latro) di Ternate Maluku Utara. Laporan. Penelitian dosen Muda. Universitas Khairun Ternate.

Altevogt R, Davis TA. 1975. Birgus latro: India's monstrous crab. A study and an appeal. Bulletin of the Department of Marine Sciences, University of Cochin. : Kepiting Kelapa. Wikipedia Berbahasa Indonesia. Boneka, F.B. 1990. Mengenal Birgus latro melalui aktivitas penangkapan di

Pulau Salibabu. Jurnal Fakultas Perikanan Unsrat, 1 (2) : 113-11 Boyd, C.E., Wood, C.W., T. Thunjai. 2002. Pond Soil Characteristics and

Dynamics Of Soil Organic Matter and Nutrients. In : K. McElwee, K.Lewis, M. Nidiffer, and P Buitrago (Edition), Ninetent Annual TechnicalReport.PondDynamics/Aquaculture CRSP, Oregon State University, Corvallis, Oregon.

Brown, I.W., Fielder, D.R., 1991. The coconut crab: aspects of Birgus latro biology and ecology in Vanuatu. ACIAR Monograph, 8. Australian Centre for International Agricultural Research, Canberra.

Darmawaty, 2009. An evaluation of coconut crabs (Birgus latro) population in the

kayoa waterways of north Maluku. Universitas Hasanuddin.

Makassar.

Effendi MI. 1979. Metode Biologi Perikanan. Penerbit Yayasan Dewi Sri. Bogor Eldredge LG. 1996. Birgus latro. In: IUCN 2010. IUCN Red List of Threatened

Species. Version 2010.

Gherardi, F. 1990. Competition and Coexistence in two Mediterranean Hermit Crabs, Calcinusornatus and Clibanarius.

Haris A. H, La Sara, dan Ermayanti Ishak 2013. Kepadatan Relatif dan Pola Penyebaran Ketam Kelapa (Birgus latro) di Menui, Kepulauan Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Kampus Hijau Bumi Tridharma Anduonohu Kendari.

Harms JW. 1932. Birgus latro Linné als Landkrebs und seine Beziehungen zu den Coenobiten (in German). Zeitschrift für Wissenschaftliche Zoologie 140: 167–290.

(47)

36 Jahidin, 2010. Estimasi Populasi Ketam Kenari (Birgus latro) di Pulau Siompu.

Dosen Pendidikan MIPA FKIP Universitas Haluoleo. Kendari. Limbong. 1990. Bioekologi ketam Kenari (Birgus latro L) di Pulau Salibabu,

Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Jur.Faperik. Unsrat.

Monk A., De Fretes Y, Reksodihardjo-Liley G. 2000., Ekologi Nusantara dan Maluku. Prenhallindo, Jakarta. 966 hal.

Motoh H. 1980. Field Guide for Edible Crustacea of Philippines. South East Asian

Fisheries Development Centre (SEAFDEC) Aquaculture

Department, Iloilo. Philippines.

PPSDAHP (Proyek Pengembangan Sumber Daya Alam Hayati Pusat). 1987/1988. Deskripsi Biota Laut Langka. Departemen Kehutanan Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Bogor.

Pratiwi R, 1989. Ketam Kelapa Birgus latro (Linnaeus 1767) (Crustacea, Decapoda, Caenobitidae) dan Beberapa Aspek Biologinya. Oseana, 14;Nomor 2; 47-53.

Pratiwi, R., dan Sukardi 1997. Daur Hidup dan Reproduksi Ketam Kelapa (Birgus latro) (Crustacea, Decapoda, Coenobitidae). Jurnal Balai Penelitian dan Pengembangan Biologi Laut.

Rafiani, S. 2005. Karakteristik habitat dan kematangan gonad kepiting kelapa (Birgus latro) dewasa di pulau Pasoso, Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah. Tesis. Insitut Pertanian Bogor.

Ramli, M. 1997. Studi Preferensi Habitat Kepiting Kelapa (Birgus latro L.) Dewasa di Pulau Siompu dan Liwutongki di Buton, Sulawesi Tenggara. Tesis. Institut Pertanian Bogor.

Rondo M dan Limbong D. 1990. Bioekologi Ketam Kenari (Birgus Latro, LINNAEUS 1767) di Pulau Salibabu, Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Jurnal Fakultas Perikanan Unsrat. 2: 87-94.

Schiller C, Fielder DR, Brown IW Obed A. 1991. Reproduction, early life-history and recruitment. In I. W. Brown & D. R. Fielder. The coconut crab: aspects of Birgus latro biology and ecology in Vanuatu. ACIAR Monograph. pp. 13–35. ISBN 1863200541.

Sudarwin, 2004. Studi Kepadatan dan Pola Penyebaran Ketam Kelapa (Birgus latro) di Pulau Labengki Kabupaten Kendari. Skripsi Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian. Universitas Haluoleo. Kendari. Sulistiono, Muslihuddin, S. Refiani. 2005. Teknologi penangkaran kepiting kelapa

(Birgus latro) di Indonesia. Laporan Penelitian. Institut Pertanian Bogor.

(48)

37 Sulistiono, S. Rafiani, F.Y. Tantu dan Muslihuddin. 2007. Kajian awal

penangkaran kepiting kelapa (Birgus latro). Jurnal Akuakultur

Indonesia.

Tapilatu, R. F., 1991. Beberapa Aspek Biologi Ketam Kelapa (Birgus latro) di Kepulauan Padaido Priak Timur Irian Jaya. Universitas Cendrawasih. Irian Jaya.

Whitten AJ, Mustafa M, Henderson GS, 1999. The Ecology of Sulawesi. Penerjemah; G. Tjitrosoepomo. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta, 2: 187–91.

(49)
(50)

39 Lampiran 1. Hasil penangkapan ketam kenari di Pulo Pasi

Jadwal Stasiun I Jantan Betina

I II III 1 3 0 3 5 1 2 2 2 1 5 0 3 2 0 2 3 1 4 2 0 2 3 1 5 1 2 1 4 0 6 2 2 1 3 2 TOTAL 28 23 5

Jadwal Stasiun I Jantan Betina

I II III 1 2 1 1 3 1 2 1 2 1 4 0 3 1 3 0 4 0 4 2 1 1 3 1 5 2 2 1 3 2 6 2 1 1 4 0 TOTAL 25 21 4

Jadwal Stasiun I Jantan Betina

I II III 1 0 2 2 3 1 2 0 0 2 2 0 3 0 0 0 0 0 4 1 1 1 3 0 5 1 1 1 2 1 6 2 1 1 4 0 TOTAL 16 14 2

(51)

40 Lampiran 2. Data pengukuran panjang karapaks (mm), lebar karapaks (mm), dan berat (g) ketam kenari pada stasiun I.

STASIUN I

No Panjang (mm) Lebar (mm) Berat (g)

1 134 84 1800 2 100 61 900 3 82 41 700 4 98 55 800 5 98 54 800 6 80 39 700 7 104 62 900 8 100 60 900 9 98 55 800 10 80 39 700 11 97 53 800 12 101 61 1000 13 106 63 1100 14 131 81 1600 15 102 62 900 16 101 60 900 17 111 71 1200 18 90 60 800 19 102 61 900 20 98 54 800 21 79 40 700 22 109 66 1400 23 103 62 1000 24 90 50 700 25 96 54 800 26 96 53 800 27 112 74 1300 28 131 82 1700 TOTAL 2829 1657 27300 Rata-Rata 101 59 975

(52)

41 Lampiran 3. Data pengukuran panjang karapaks (mm), lebar karapaks (mm), dan berat (g) ketam kenari pada stasiun II.

STASIUN II

No Panjang (mm) Lebar (mm) Berat (g)

1 131 81 1700 2 92 52 800 3 91 50 800 4 76 34 700 5 102 61 900 6 97 55 800 7 90 50 800 8 87 45 700 9 89 47 800 10 92 50 800 11 92 51 800 12 100 60 900 13 130 80 1600 14 100 61 900 15 104 61 900 16 101 60 900 17 98 55 800 18 121 74 1400 19 102 61 900 20 98 55 800 21 131 81 1500 22 80 39 700 23 83 42 700 24 97 53 800 25 80 37 700 TOTAL 2464 1395 23100 Rata-rata 99 56 924

(53)

42 Lampiran 4. Data pengukuran panjang karapaks (mm), lebar karapaks (mm), dan berat (g) ketam kenari pada stasiun III.

STASIUN III No Panjang (mm) Lebar (mm) Berat (g) 1 121 72 1400 2 101 61 900 3 100 60 900 4 80 39 600 5 101 60 900 6 71 33 500 7 70 33 500 8 72 34 600 9 81 40 700 10 111 71 1200 11 100 60 890 12 70 38 400 13 74 32 600 14 80 38 700 15 82 41 700 16 71 33 500 TOTAL 1385 745 11990 Rata-rata 87 47 749

(54)

43 Lampiran 5. Nilai LN (Logaritma of Number) dari panjang karaps dan lebar karapks ketam kenari pada stasiun I.

Panjang (L) Berat (W) Ln L Ln W 134 1800 4,90 7,50 100 900 4,61 6,80 82 700 4,41 6,40 98 800 4,58 6,68 98 800 4,58 6,68 80 700 4,38 6,55 104 900 4,64 6,80 100 900 4,61 6,80 98 800 4,58 6,68 80 700 4,38 6,55 97 800 4,57 6,68 101 1000 4,62 6,91 106 1100 4,66 7,00 131 1600 4,88 7,38 102 900 4,62 6,80 101 900 4,62 6,80 111 1200 4,71 7,09 90 800 4,50 6,68 102 900 4,62 6,80 98 800 4,58 6,68 79 700 4,37 6,55 109 1400 4,69 7,24 103 1000 4,63 6,91 90 700 4,50 6,55 96 800 4,56 6,68 96 800 4,56 6.68 112 1300 4,72 7,17 131 1700 4,88 7,44

(55)

44 Lampiran 6. Nilai LN (Logaritma of Number) dari panjang karapaks dan lebar karapaks ketam kenari pada stasiun II.

Panjang(L) Berat (w) Ln L Ln w 131 1700 4,88 7,44 92 800 4,52 6,68 91 800 4,51 6,68 76 700 4,33 6,55 102 900 4,62 6,80 97 800 4,57 6,68 90 800 4,50 6,68 87 700 4,47 6,55 89 800 4,49 6,68 92 800 4,52 6,68 92 800 4,52 6,68 100 900 4,61 6,80 130 1600 4,87 7,38 100 900 4,61 6,80 104 900 4,64 6,80 101 900 4,62 6,80 98 800 4,58 6,68 121 1400 4,80 7,24 102 900 4,62 6,80 98 800 4,58 6,68 131 1500 4,88 7,31 80 700 4,38 6,55 83 700 4,42 6,55 97 800 4,57 6,68 80 700 4,38 6,55

(56)

45 Lampiran 7. Nilai LN (Logaritma of Number) dari panjang karapaks dan lebar karapas ketam kenari pada stasiun III.

Panjang (L) Lebar (W) Ln L Ln W 121 1400 4,80 7,24 101 900 4,62 6,80 100 900 4,61 6,80 80 600 4,38 6,40 101 900 4,62 6,80 71 500 4,26 6,21 70 500 4,25 6,21 72 600 4,28 6,40 81 700 4,39 6,55 111 1200 4,71 7,09 100 890 4,61 6,79 70 400 4,25 5,99 74 600 4,30 6,40 80 700 4,38 6,55 82 700 4,41 6,55 71 500 4,26 6,21

(57)

46 Lampiran 8. hasil uji chi-square dari sex rasio, perhitungan distribusi kelimpahan, dan kepadatan relatife ketam kenari di Pulo pasi

a.

Hasil uji chi-square dari sex rasio.

Test Statistics jantan betina Chi-Square 9.222a 4.333b df 4 2 Asymp. Sig. .056 .115 b. Luasan populasi Stasiun Luas transek (1,5x1,5) m2 Rata-rata Jumlah Hewan (ind) Kepadatan (ind/m2) Luas Daerah (m2) Estimasi jumlah individu I 2,25 4,67 2,08 320 664 II 2,25 4,17 1,85 420 778 III 2,25 2,67 1,19 400 475 Rumus : Dimana : P = Populasi

S= Jumlah hewan yang didapatkan A = Luas daerah penelitian

a = Luas transek 1. Stasiun I P = 4,67 x = 664 ekor

P = S x

(58)

47 Lampiran 8. Lanjutan 2. Stasiun II P = 4,17 x = 778 ekor 3. Stasiun III P = 2,67 x = 475 ekor c. Kepadatan relatif

Stasiun Jumlah Individu Total

I 28 69 II 25 III 16 Rumus : Rdi = Keterangan =

Rdi = Kepadatan reatif pada stasiun ke I ni = Jumlah individu pada stasiun I N = Jumlah total individu

1. Stasiun I Rdi = = 40,6 % 2. Stasiun II Rdi = = 36,2 % 3. Stasiun III Rdi = = 23,2%

Gambar

Gambar 2. Morfologi ketam kenari (Altevogt dan Davis, 1975)
Gambar 3. Umpan kelapa yang dipakai untuk penangkapan (Rondo dan  Limbong, 1990)
Gambar 4. Peta lokasi pengambilan sampel
Tabel  1.  Karakteristik  morfologi  Birgus  latro  berdasarkan  jenis  kelamin  menurut                Jahidin (2010)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sebagian besar responden dengan postur tubuh tidak simetris memiliki kebiasaan menggunakan tas punggung yang berat hanya pada satu sisi dan sebagian lainnya

Software Jack 6.0, adalah salah satu software ergonomi yang dapat mensimulasikan bagaimana model manusia (virtual human) yang berada pada lingkungan virtual (virtual

Pada penelitian terdahulu menyatakan bahwa karakteristik daerah, yaitu ukuran daerah (size), jumlah SKPD, status daerah, lokasi pemerintah daerah, dan jumlah anggota

Strategi ini memperluas pasar dari bisnis produk/jasa semula atau produk yang.. sudah ada.Pengembangan pasar dapat dilakukan dengan memperluas

Ditengah pandemic yang sedang berlangsung yang semoga saja akan segera berakhir, maka Muda}&gt;rabah adalah solusi untuk tetap memutar uang supaya lebih menjadi

Hasil penelitian Purnamaningsih dan Ika (2008) menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi aluminium (AlCl 3 ) tidak berpengaruh terhadap panjang akar relatif pada

Adapun beberapa saran dalam penelitian ini adalah (1) model pembelajaran discovery learning berbantuan macromedia flash 8 dapat menjadi salah satu alternatif

Setelah melakukan proses ETL dari database sumber (data source) atau data staging, didapatkan data dari hasil data ETL yang disimpan pada MySQL. Hasil pengolahan ETL