• Tidak ada hasil yang ditemukan

Orientasi Politik Kelas Menengah Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Orientasi Politik Kelas Menengah Jakarta"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

ORIENTASI POLITIK KELAS MENEGAH JAKARTA TERHADAP

KEBIJAKAN GUBERNUR AHOK 2014-2015

UNIVERSITAS INDONESIA

Oleh:

Andy Ilman Hakim

Hasbi Rofiqi

Nofia Fitri

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPOK

(2)

ORIENTASI POLITIK KELAS MENEGAH JAKARTA TERHADAP

KEBIJAKAN GUBERNUR AHOK 2014-2015

1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Masalah

Eksistensi kelas menengah di Indonesia saat ini sebenarnya bukanlah hal baru. Bank Dunia merilis laporan statistik tentang meningkatnya pertumbuhan kelas menengah di Indonesia yang kini berjumlah sekitar 135 juta orang diukur berdasarkan tingkat pengeluaran belanja 2 hingga 20 dollar sehari.1

Melalui kolom dialog Prisma, Marzuki Darusman memberikan pandangan mengenai data kelas menengah yang dirilis oleh Bank Dunia di atas. Ia menilai kelas menengah seringkali dikaitkan dengan pelbagai isu seperti demokrasi, hak asasi, dan perubahan.

Kategorisasi mengenai siapa saja yang termasuk di dalam kelas menengah sesungguhnya masih membuka celah perdebatan, mengingat tidak adanya kriteria maupun karakteristik baku mengenai klasifikasi kelas tersebut.

2

Menurut Francisia secara implisit dan eksplisit, peranan kelas menengah berkaitan dengan apa yang disebutnya sebagai agen perubahan sosial. Dalam konteks ini, kelas menengah dianggap sebagai agen pembawa modernisasi dan demokratisasi.3 Sejarawan ekonomi, seperti Adelman & Morris, dan Landes menyatakan bahwa kelas menengah adalah kekuatan pendorong (driving force) bagi proses pembangunan ekonomi yang lebih cepat di Inggris dan daratan Eropa pada abad ke-19.4

Muhammad Afdi Nizar

5

1 Kolom Dialog Majalah Prisma, Kelas Menengah Indonesia: Apa yang Baru?, (Jakarta: LP3ES,

2012), h.66.

2 Marzuki Darusman, Kelas Menengah yang Tak Sadar, dan Tanpa Disiplin, dalam Majalah

Prisma, Vol.31, No.1, 2012, h.66.

3 Francisia SSE Seda, Kelas Menengah Indonesia: Gambaran Umum Konseptual, dalam Majalah

Prisma, Vol.31, No.1, 2012, h.3.

4

Easterly, W. (2001). The Middle Class Consensus and Economic Development. Journal of

Economic Growth. Vol. 6 (4). pp. 317 – 336.

5 Peneliti, Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI,

Jakarta.

(3)

$20 per kapita per hari.6 Persebaran penduduk kelas menengah ini sebagian terbesar berada di perkotaaan (urban). Bila dalam tahun 1999 jumlah kelas menengah di perkotaan hanya sekitar 44,1% dari total penduduk, maka dalam tahun 2009 jumlahnya meningkat menjadi 62,0% dari total penduduk.7 Artinya, dalam kurun waktu 10 tahun tersebut peningkatan jumlah masyarakat menengah di Indonesia meningkat sekitar 18%.

Grafik 1. Sebaran Penduduk Kelas Menengah Indonesia, 1999-20098

Peningkatan jumlah kelas menengah yang diperkirakan terjadi dalam beberapa tahun ke depan tersebut membawa beberapa implikasi penting, seperti mendorong naiknya konsumsi rumah tangga, pada gilirannya mendorong peningkatan konsumsi nasional, selanjutnya mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, serta kemudian diikuti oleh penambahan daya serap pasar atas tenaga kerja.

Sumber: Asian Development Bank, 2010

9

6 Muhammad Afdi Nizar, Kelas Menengah (Middle Class) dan Implikasinya Bagi Perekonomian

Indonesia, Research Gate, Februari 2015.

7 Dikutip dari Data Asian Development Bank tahun 2010, dalam Muhammad Afdi Nizar, h.7. 8 Ibid.

9 Muhammad Afdi Nizar, Op. cit., h.13.

(4)

Perkembangan kuantitas dan kokohnya posisi kelas menengah dalam bidang ekonomi dan politik tersebut juga akan mendorong permintaan dalam negeri kuat. Dalam keadaan seperti ini, kelas menengah bukan tidak mungkin akan memiliki peranan sentral dalam beberapa sektor pertumbuhan nasional, baik ekonomi maupun politik. Majalah Prisma misalnya, dalam kolom survei mempublikasikan suara kelas menengah dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012. Kelas menengah di Jakarta telah menjadi penggerak utama mesin ekonomi dan politik Jakarta, bahkan nasional. Meskipun elit politik dan ekonomi menjadi faktor menentukan dalam hampir semua urusan strategis, namun mereka sangat bergantung pada peran kelas menengah.10

Berdasarkan Sensus Penduduk BPS 2010, penduduk Jakarta diperkirakan mencapai 9,6 juta jiwa. 11

Bersumber kepada data diatas dan mempertimbangkan peran dan posisi kelas menengah yang menjadi semacam tumpuan harapan bagi sebuah perubahan yang didambakan kelas-kelas sosial dibawahnya, di sinilah letak pentingnya kelas menengah kota Jakarta dalam seluruh proses dan jejaring ekonomi dan politik yang begitu kompleks.

Berbeda dengan struktur demografi daerah lain, 73% penduduk Jakarta berusia di bawah 40 tahun. Katakanlah yang memiliki hak pilih adalah yang berusia 17 tahun ke atas, maka pemilih Pilkada DKI sangat didominasi kalangan muda, yaitu 65,6% untuk penduduk yang berusia 17 – 40 tahun. Dari sisi sosial ekonomi, penduduk Jakarta juga berbeda dengan karakteristik penduduk Indonesia secara umum. Bila GDP perkapita penduduk Indonesia tahun 2011 sebesar US$ 3,542, maka GDP per kapita Jakarta sebesar kurang lebih US$ 10,000. Dengan GDP per kapita sedemikian besar, maka penduduk Jakarta secara strata sosial ekonomi didominasi oleh kelas menengah.

12

10

Majalah Prisma, op.cit, h.74.

11Data Sensus Penduduk 2010 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik/BPS, diunduh melalui

laman https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1268

12 Majalah Prisma, op.cit., h.75.

(5)

Dalam kurun waktu 2014 hingga 2015 misalnya, kebijakan gubernur Ahok seperti relokasi warga Kampung Pulo atau dikenal dalam isu publik sebagai penggusuran, dan pelarangan sepeda motor lewat jalan protokol,13 tidak banyak menimbulkan reaksi yang keras di kalangan masyarakat menengah, justru masyarakat bawah yang terlibat lebih aktif. Kebijakan reklamasi contohnya, yang memperlihatkan puluhan warga nelayan turun ke jalan menolak reklamasi.14

1.2 Pertanyaan Penelitian

Dengan demikian, eksistensi dan orientasi kelas menengah dalam konteks ini menarik untuk diulas lebih mendalam dalam makalah ini.

Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, maka pertanyaan penulisan dalam makalah ini adalah bagaimana orientasi politik kelas menengah di Jakarta terhadap kebijakan gubenur Basuki Tjahya Purnama atau Ahok selama kempimpinan satu tahunnya di 2014-2015?

2. Kerangka Konseptual

2.1 Kelas Menengah dalam Terminologi Stratifikasi Sosial Masyarakat

Max Weber

Membahas tentang terminologi kelas tidak bisa dilepaskan dari gagasan yang dikemukakan oleh Max Weber. Hal tersebut diperlukan untuk memahami ap adan bagaimana kelas sosal di dalam masyarakat. Weber berpendapat bahwa membicarakan kelas tidak bisa hanya melihat ia sebagai sebuah komunitas semata, namun harus lebih jauh daripada itu. Weber menjelaskan bahwa ada tiga hal yang terkadung dalam pengertian kelas sosial yaitu: pertama, adanya bagian dari masyarakat yang memiliki spesifikasi kesadaran yang khas, yang mempengaruhi pola kehidupan mereka sehari-hari. Kedua, adanya unsur kepemilikan terhadap modal dan barang, serta pengaruhnya terhadap pendapatan sehari-hari. Ketiga, adanya pekerjaan/profesi yang dimunculkan di sana15

13 Lihat http://megapolitan.kompas.com/read/Kebijakan.Kontroversial.Ahok.di.2015?

14 Lihat

http://metro.news.viva.co.id/news/read/757529-tolak-reklamasi-teluk-jakarta-puluhan-nelayan-demo-di-ptun

15 Max Weber, Selections from Economy and Society, vols. 1 and 2; and General Economic

History dalam Classes, Power, and Conflict: Classical and ConTemporery Debates (California:

University of California Press, 1982), hlm. 61.

(6)

ini menggunakan beberapa kata kunci tentang kelas yaitu kesadaran yang khas, kepemilikan terhadap modal dan barang, ekonomi, dan profesi/pekerjaan.

Konsepsi diatas nantinya akan sangat membantu dalam memahami apa dan siapa kelas menengah itu. Dalam pemahaman yang singkat kelas menengah secara enteng dikategorikan dengan sekelompok manusia dengan pendapatan atau pengeluaran tertentu. Pemahaman tetang kelas menengah yang sebatas komunitas ini tidak akan banyak membantu untuk memahami konteks politik. Padahal dalam berbagai fenomena politik, kelas menengah sangat dihitung sebagai salah satu aktor (dalam konteks kelas) politik yang berpengaruh. Salah satu contoh, kita akan dengan mudah menyepakati bahwa arab spring yang terjadi pada medio 2011an dipicu oleh gerakan kelas menengah melalui media sosial. Dalam konsepsi Weber, hal tersebutlah yang dimaksud dengan kesadaran yang khas.

Weber sendiri juga telah mencoba mendefinisikan kelas menengah, ia berpendapat kelas menengah atau middle classes dapat disebut juga sebagai

commercial classes. Commercial classes ini dibagi dalam dua bagian besar yakni

entrepreneurs dan laborers16. Mereka yang disebut sebagai entrepreneurs adalah yang bekerja sebagai merchants, shipowners, industrial, bankers, financiers,

lawyer, physicians, artists, dan sebagainya. Sedangkan mereka yang disebut

sebagai laborers adalah mereka yang bekerja dengan pendapatan tetap dengan kategori skilled, semi-skilled, dan unskilled17

Dalam konsepsi Weber ini kelas menengah cenderung memiliki kesadaran politik yang baik. Hal tersebut karena kelas menengah membutuhkan kondisi politik yang ideal untuk melangsungkan pekerjaan/bisnis mereka. Dengan kata lain Weber memberi pondasi relasi antara kelas menengah dengan demokrasi, bahwa dengan segala pekerjaan/bisnisnya, kelas menengah akan selalu mengusahakan situasi yang demokratis demi kelangsungan hidup mereka

.

18

16

Ibid., hlm. 70

17 Ibid., hlm. 71.

18 A Ranggabumi Nuswantoro, Middle Class and Deliberative Conditions,Tesis Ilmu Komunikasi

UGM hlm. 18

(7)

Michael Mann19

Dalam konteks Asia, ada penelitian tentang kelas menengah dalam buku berjudul The New Rich in Asia pada tahun 1996 yang dilakukan oleh Richard Robison & David S.G. Goodman. Studi tersebut menjelaskan bahwa tipologi kelas menengah di Asia termasuk unik karena para kelas meengah ini memiliki kemampuan finansial cukup kuat dan menjadi faktor penting dalam proses pembangunan di asia. Tumbuhnya kelas baru di asia telah menumbuhkan ekspektasi besar bangsa barat terhadap Asia. Kelas ini memberikan kepastian bahwa asia perlahan-lahan akan tumbuh menyerupai Eropa, yang mengagungkan rasionalitas, modernitas, dan demokrasi

yang menyebutkan bahwa stabilitas politik dan sosial merupakan suatu kondisi pra-politik yang diinginkan oleh kelas menengah. Mereka memerlukan kondisi yang stabil demi tercapainya cita-cita hidup mereka masing-masing.

2.2 Kelas Menengah di Asia

20

Robison & Goodman menambahkan bahwa kelas baru ini memiliki pengaruh yang signifikan untuk bersekutu dengan pemodal besar dan mampu membawa gerbong kapitalisme ke Negara nya. Militer atau tentara juga bisa dimasukkan ke dalam kategori kelas ini apabila ia bersekutu dengan pemodal besar untuk memunculkan investasi di negaranya. Menurut Robison dan Goodman, munculnya kelas menengah yang bersekongkol dengan para kapitalis tersebut membawa beberapa implikasi sosial politik, salah satunya adalah gagasan untuk menumbangkan praktek-praktek otoritarianisme agar investasi para kapatalis ini bisa dengan mudah masuk ke Negara tersebut

.

21

Ariel Heryanto ketika menyoroti soal tumbangnya otoritarianisme di Asia, khususnya Asia Tenggara, menyinggung soal kelas menengah. Baginya kelas menengah adalah kelas yang unik sebab bukan kelas atas namun memiliki kekuatan konsumsi yang signifikan, sekaligus pengaruh sosial-kultural yang

.

19 Michael Mann, The Social Cohesion of Liberal Democracy dalam Classes, Power, and Conflict:

Classical and ConTemporery Debates (California: University of California Press, 1982), hlm. 387.

20 Richard Robison & David S.G. Goodman, The New Rich in Asia: Mobile Phones, McDonalds

and Middle-class Revolution (London & New York: Routledge, 1996), hlm. 2.

(8)

besar.22

Heryanto menegaskan bahwa kelas menengah pada umumnya memiliki unsur-unsur berikut: tinggal di perkotaan, memiliki pekerjaan dan pendidikan modern, serta selera budaya. Secara ekonomi kelas ini menduduki posisi yang jelas berbeda dengan mereka yang lazim disebut sebagai kelas pekerja. Namun ia juga mengklasifiksikan kelas menengah kedalam dua kelompok yaitu apolitis dan oportunis. Kelas menengah apolitis dicontohkan seperti pejabat negara peringkat tengah (birokrat) dan perwira menengah. Kelas menengah yang politis dan kritis adalah jurnalis, akademisi, dan seniman

Heryanto menjelaskan tentang kelas menengah, kelas ini bukan kelas pekerja, bukan pula kelas borjuis. Tingkat pendidikan dan ketrampilannya menyerupai kelas borjuis, namun kepemilikan modalnya minim seperti kelas bawah. Tingkat konsumsi yang besar hanya untuk barang-barang yang mendukung gaya hidupnya. Kelas ini menyukai demokrasi, karena baginya demokrasi memberi kepastikan hukum. Rata-rata dari komponen kelas ini juga melek politik.

23

Kedua klasifikasi kelas ini memiliki perbedaan dinamika kultural dan politik. Heryanto cenderung meyakini kelas menengah yang memainkan peran penting dalam peta politik Indonesia dewasa ini adalah kelas menengah golongan kedua, yakni kaum cerdik pandai, jurnalis, dan seniman. Mereka bekerja dengan otonomi, inovasi, integritas, dan kreativitas, serta terkadang subversi. Mereka berbeda, dan membedakan diri, dari sosok pejabat militer, pejabat negara, atau kaum profesional dalam dunia usaha.

.

24

Jadi kelas menengah Heryanto adalah kelas menengah yang menguasai produksi karya- karya intelektual dan kultural, dan menguasai posisi sebagai intelektual publik. Dengan demikian bahasan kelas menengah dan intelektual dalam bahasannya memiliki posisi yang sama, yakni berwujud konsep-konsep diskursif, ideologis, dan mistis ketimbang sebagai deskripsi yang murni empiris dari sejumlah individu yang secara biologis ada dengan nama, profesi, pola-pola

22

Ariel Heryanto & Sumit K. Mandal, Challenging Authoritarianism in Southeast Asia:

Comparing Indonesia and Malaysia (New York: Routledge, 2003), hlm. 27.

(9)

konsumsi atau afiliasi kelembagaan yang spesifik25

Namun lebih jauh, kelas apolitis dan politis-kritis tersebut mempunyai kelemahan yakni kecenderungan kelas ini menginginkan suatu kondisi yang ideal dalam hidupnya terutama dari sisi ekonomi: karir cemerlang, finansial kuat, tingkat konsumsi tinggi, keluarga sejahtera, dan terdapat kepastian hukum bagi hidupnya, pada konteks inilah dia menyebut sebagai kelas menengah dengan ideology oportunistik, hal tersebut juga sejalan dengan konsepsi Robinson & Godman.

.

26

3. Pembahasan

3.1 Pergeseran Ideologi Kelas Menengah dan Perubahan Orientasi Politik

Perkembangan studi kelas menengah di Indonesia cukup menarik perhatian banyak ilmuan dunia. Prof Gerry van Klinken, peneliti senior dari Netherlands Institute for Southeast Asian and Caribbean Studies (KITLV) dalam bukunya “In Search of Middle pendekatan etnografi tentang masyarakat penyangga di menengah yang hidup di kota-kota kecil dengan kemampuan sektor informal dan jaringan komunitas lokal. Menurut Gerry dalam buku tersebut, populasi kelas menengah di Indonesia semakin berkembang pesat dan pengaruhnya bertambah besar memiliki karakteristik senang dengan politik dan memiliki kecenderungan beragama yang konservatif.27

Menurut Peneliti LIPI Wasisto Raharjojati dalam artikelnya “Politik Digital dan Kelas Menengah” kesadaran politik kelas menengah yang salama ini kita saksikan lewat berbagai media sebenarnya masih fluktuatif, “bergantung seberapa besar isu itu disokong oleh media sehingga menjadi masalah bersama. Selain bergantung pada media, kesadaran politik itu juga bergantung seberapa

25 Ariel Heryanto (ed.)., Op. Cit., hlm 56-57 26 Ibid

27

(10)

intensisu dibicarakan dan kemudian menyinggung kepentingan mereka sehingga berkembang menjadi gerakan moral.” 28

Bambang Setiawan melalui artikel riset Litbang Kompas yang bertajuk “Kelas Menengah Menggantung Asa pada Negara” mengatakan bahwa tumbangnya rezim presiden Soeharto yang ditandai sebagai peristiwa besar Reformasi 1998, memperlihatkan situasi dimana pengadopsian demokrasi dengan menerapkan prosedur-prosedur yang menjamin kebebasan memilih seolah menggambarkan pesatnya perubahan ideologi kelas menengah dari konservatif menjadi liberal.29

“Semakin tinggi kelas sosial, semakin banyak mereka mengoleksi semua ornamen dan aktivitas gaya hidup. Di satu sisi, masyarakat berlomba menaikkan citra kelasnya dengan berusaha mengadopsi gaya hidup konsumerisme. Di sisi lain, mereka cenderung menanggalkan nilai-nilai demokrasi dan kembali menarik bandul politik ke arah otoritarianisme.”

Survei Litbang Kompas yang dilakukan pada bulan Maret-April 2012 tersebut memperlihatkan perkembangan kelas menengah yang berbeda kini dibandingkan dengan kelas menengah pasca reformasi, tepatnya 14 tahun yang lalu:

30

Orientasi berfikir yang “mainstream” pun menjadi karakteristik kelompok kelas menengah kini. Dalam memandang demokrasi misalnya, kelas menengah di Indonesia sudah turut terjebak dalam penjara mayoritas dan minoritas, dimana mereka melihat demokrasi sebagai perwujudan kepentingan mayoritas, sehingga kepentingan minoritas bisa saja terabaikan dalam demokrasi. Dari survey Kompas, 14 tahun pasca reformasi tersebut, menyimpulkan bahwa “kelas menengah dan menengah atas lebih menggantungkan harapan kepada kewenangan negara untuk memperbaiki apa yang buruk, mengambil jarak dengan problem-problem sosial, dan menempatkan dirinya sebagai ”penonton” berbagai

28 Wasisto Raharjojati dalam Kompas, “Politik Digital dan Kelas Menengah”, edisi 7 Januari

2016. Hal: 6, atau dapat diunduh melalui laman http://lipi.go.id/lipimedia/single/politik-digital-dan-kelas-menengah/12388

29

Bambang Setiawan, “Kelas Menengah Menggantungkan Asa pada Negara” Jumat, 8 Juni 2012, http://nasional.kompas.com/read/2012/06/08/1200246/kelas.menengah.menggantung.asa.pada.neg ara.

(11)

peristiwa. Kedua kelas ini hanya sebatas sebagai ”kelas penceloteh” yang ramai menanggapi sejenak tetapi ragu bertindak.31

Dalam satu perspektif akademis, sebagaimana konsepsi kelas menengah yang dikemukakan oleh William Liddle, berpendapat bahwa kelas menengah di Indonesia berkembang pesat pada era orde baru

32

Apabila diteliti secara mendalam, menggunakan konsepsi kelas menengah Heryanto sebagaimana dijelaskan dalam kerangka konseptual makalah ini, sesungguhnya berbeda dengan Robison & Goodman dan juga dengan William Liddle. Robison & Goodman cenderung memposisikan kelas menengah, sebagai kelas yang bergantung pada negara. Kelas ini umumnya oportunis dan egois. Kalaupun kelas ini menghendaki demokrasi, maka demokrasi yang dimaksud adalah demokrasi yang disokong penuh oleh negara yang kecenderungannya militeristik. Dengan demikian kelas menengah Indonesia secara politis tidak bisa diharapkan berbuat lebih karena kelahiran mereka disokong pemerintah orde baru. Selain itu, cukup banyak masyarakat yang masuk kelas ini beretnis Cina yang kurang tertarik atau kurang terlatih pemahamannya tentang politik

. Walau akhirnya ikut menumbangkan, namun kelas menengah di Indonesia kelahirannya banyak dibantu oleh orde baru. Dijelaskan oleh Liddle bahwa ideologi pembangunan di era orde baru telah memunculkan kelas baru, yakni kelas menengah, yakni kelas menengah hasil dari masuknya kapitalisasi yang telah dijelaskan di atas. Liddle juga menambahkan bahwa kelas menengah juga tumbuh seiring masuknya kapitalisme global ke Indonesia. Gelombang ini menciptakan ribuan pekerjaan baru yang tingkat kesejahteraan sosial-ekonominya tinggi, dan dalam perkembangannya justru kelompok inilah yang mendorong terbukanya era politik baru di Indonesia, yang kemudian menemukan momentum pada saat reformasi 1998.

33

Konsepsi Heryanto sebaliknya sejalan juga dengan apa yang dimaksud .

31 Ibid.

32 R. William Liddle, The Middle Class and New Order Legitimacy dalam The Politics of Middle

Class Indonesia (Victoria: Monash University Press, 1992), hlm., 50-52.

33 Ariel Heryanto (ed.), Popular Culture in Indonesia: Fluid Identities in Post-Authoritarian

(12)

oleh Gerry van Klinken dalam buku In Search of Middle Indonesia: Middle

Classes in Provincial Towns:

“The natural setting for the middle classes who provided the political steam

pressure for both democracy and decentralization was not the globalized

metropolis, but the provincial town – a place that foreign researchers rarely

visit. The selfemployed medium scale entrepeneurs, the private and public

sector clerks, the Golkar apparatchiks, the teachers – and the youth

aspiring to these positions – who populate this book, belong to a world of

their own. They are only partly assimilated with the national bourgeoisie.

They may share elite global consumerist aspirations, but their economic

interests differ. Their incomes are less secure, their networks of relations

more local (where they may be more intense than in the big city), their

religion more conservative – in short, their horizon is more parochial. Yet

their control of the towns gives them a national clout that belies their

relative lack of affluence.”34

Menganalisa persoalan kelas menengah di Jakarta dengan menggunakan teori kelas Marx, makalah ini mengacu kepada pemikiran Marx yaitu hanya ada dua kelas dalam struktur masyarakat, yaitu kelas atas yang mendominasi dan kelas Berdasarkan pemaparan panjang lebar di atas, maka dalam penelitian ini, penulis lebih sepakat dengan konsepsi kelas menengah yang dikemukakan oleh Heryanto yang juga dikuatkan oleh Klinken. Karena dia lebih lengkap dan paling mendekati fenomena kelas menengah dan politik di Indonesia. Pemahaman dasar ini yang akan menuntun penulis kepada analisis kelas kelas menengah di Jakarta dan orientasi politik yang berubah seiring waktu. Namun demikian dalam memahami orientasi politik itu sendiri, makalah ini menggunakan analisis Marxian sebagai alat bantu dalam menjelaskan fenomena yang ada.

3.2 Analisis Kelas Menengah Jakarta dan Orientasi Politik

34

Gerry van Klinken & Ward Berenschot (ed.), In Search of Middle Indonesia: Middle Classes in

Provincial Towns (Leiden-Boston: KITLV-Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and

(13)

proletar yang tidak dominan dalam struktur produksi. Ariel Heryanto menyebut bahwa Indonesia tidak hanya terdiri dari kelas kapitalis dan proletar sebagaimana tradisi Marx. Tapi ada corak produksi yang lain. Sehingga pencarian kelas menengah, tidak melulu ada di antara kelas atas dan kelas bawah. “Kelas menengah dapat dikonsepsikan sebagai terdiri dari beberapa kelas atas dari beberapa tata produksi yang kurang dominan. Kelas menengah bukan suatu kelompok sosial yang berada di antara kelas atas dan kelas bawah dalam suatu tata produksi,”35

Upaya membandingkan kelas menengah di Indonesia dengan kelas menegah di negara lain, dapat dilakukan untuk melihat apa sebetulnya faktor yang membentuk orientasi politik kelas menengah di Jakarta. Mengutip dari Ashoka Siahaan, ketua umum Pusat Kajian Ideologi Pancasila, bahwa “kelas menengah di Eropa memiliki rasionalitas sedang kelas menengah Indonesia masih belum rasional sehingga bagai pisau bermata dua.”

dikarenakan bukan kelas atas dan juga bukan kelas bawah, maka kelas menengah pada hakikatnya tidak mewakili kepentingan dua kelas dalam tradisi Marxist, mereka sehinggatidak menghamba pada kapitalis dan juga tidak benar-benar berpihak kepada proletar. Asumsi inilah yang menurut kami menumbuhkan sikap oportunis dan pragmatisme politik yang kental pada kelas menengah di Jakarta.

36

Lembaga-Lembaga survey di Indonesia seakan mempunyai kesepakatan bersama dalam mendifinisikan kelas menengah, yakni mereka yang berpedidikan SLTA ke atas, memiliki akses terhadap sumber ekonomi yang baik, akses yang Sehingga dalam satu sisi, kelas menengah di Indonesia mampu menjadi agent of change dalam memperjuangkan kelas bawah dihadapan pemerintah, namun disisi lain dia menjadi pihak yang mengambil bagian dari kebijakan dan peran pemerintah dalam menindas kelas bawah.

3.3 Politik Oportunis: Respon Politik Kelas Menengah Jakarta terhadap

Kebijakan Gubernur Ahok

35

Richard Tanter & Keneth Young “Politik Kelas Menengah Indonesia,” Jakarta: LP3ES , 1994. Hal 13.

36 Ashoka Siahaan, “Konservatisme dan Pengalaman Beragama Kelas Menengah Indonesia.”

(14)

baik terhadap media baik konvensional maupun sosial dan hal menunjang lainnya37

1. Pembatasan Jalur Sepeda Motor

. Dalam Konteks Jakarta, tulisan ini akan menggunakan definisi kelas menengah yang rata-rata digunakan oleh lembaga surey tersebut untuk kepentingan penilaian terhadap perspektif masyarakat kelas menengah atas kebijakan Gubernur Ahok.

Rata-rata lembaga Survey termasuk juga Litbang Kompas sepakat bahwa jumlah kelas menengah di Jakarta paling banyak dibandingkan dengan daerah-daerah lain, hal tersebut dilihat dari jumlah orang yang berpendidikan SLTA ke atas, memiliki pendapatan per kapita rata-rata mencapai 10 ribu dollar per tahun, jauh di atas angka nasional (sekitar 3-4 ribu dollar), dan, ekspos pada berita di media massa paling tinggi dibanding daerah lain. Definisi ini tidak bertentangan dengan yang telah dijelaskan sebelumnya pada kerangka koseptual diatas, hanya saja pada definisi ini tidak tergambarkan dengan jelas aspek kesadaran yang dimaksud oleh Heryanto ataupun lebih jauh oleh Weber.

Penulis berasumsi bahwa kesadaran politik kelas menengah yang dimaksudkan oleh Heryanto nantinya bisa dijelaskan dari kecenderungan pola orientasi mereka melihat sebuah masalah politik melalui hasil-hasil survey yang dilakukan. Hasil survey yang digunakan untuk kepentingan penelitian ini adalah hasil survey tentang Gubernur Ahok yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakannya pada tahun 2014 – 2016 berdasarkan litbang Kompas.

Chapter ini akan melihat bagaimana pola orieantasi kesadaran politik kelas menengah di Jakarta, intrumen yang digunakan adalah hasil survey masyarakat yang berkaitan dengan Kebijakan Gubernur Ahok yang Populis. Tulisan ini dibatasi hanya melihat dua kebijakan Ahok yang populis dan Kontroversial: Pelarangan sepeda motor melalui Jalan protokol dan Reklamasi Jakarta.

Penetapan kebijakan yang membatasi para pengguna sepeda motor melintas di beberapa kawasan jalan protokol ibu kota diatur dalam Perda No. 5 Tahun 2014, menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat, khususnya

37 Lihat pembagian kelas atas, menengah dan bawah versi, Lingkaran Survey Indonesia (LSI),

(15)

masyarakat yang menggunakan sepeda motor sebagai transportasi utama sehari-hari. Pembatasan diberlakukan di sepanjang Jalan MH Thamrin menuju Jalan Merdeka Barat kemudian menghembuskan wacana yang terakhir beredar di masyarakat yakni, akan dilakukannya perluasan area pelarangan tersebut, antara lain di Jalan Industri, Jalan Angkasa, Jalan Garuda, Jalan Bungur Selatan, Jalan Otista, Jalan Minangkabau, Jalan Dr. Soepomo, dan Jalan Jenderal Sudirman.

Penggunaan sepeda motor di DKI Jakarta sudah menjadi moda angkutan utama masyarakat, khususnya para kelas menengah-bawah dalam melakukan perjalanan. Selain murah, Motor juga efisien untuk membelah kemacetan di Jakarta. Gubernur Ahok berdalih kebijakan tersebut dibuat untuk mengurangi kesemrawutan di Jalan, karena Motor dianggap salah satu biang utamanya. Pengguna motor terkesan tidak tertib seperti menerobos lampu merah, sering abai terhadap rambu-rambu lalu lintas, menggunakan trotoar sebagai jalan alternative kemacetan dan ditambah lagi tingginya angka kecelakaan kendaraan roda dua.

Meskipun demikian Gubernur Ahok berpendapat bahwa pelarangan motor akan diikuti oleh penambahan fasilitas kendaraan umum, seperti penyediaan bus tingkat, penambahanan armada bus way dan angkuta umum lainnya. Secara tidak langsung kebijakan tersebut ingin mengalihkan pengguna Motor menjadi pengguna moda transportasi umum untuk mengurangi kemacetan. Sebetulnya dalih mengurangi kemacetan tidaklah begitu tepat karena pada saat yang sama pemerintahan Jokowi-JK melanjutkan program mobil murah atau Low Cost Green Car (LCGC). Menurut data dari ASEAN Automotive Federation (AFF), Indonesia menempati urutan pertama penjualan mobil di tahun 2014. Dari 2.380.683 unit yang terjual, 923.943 unit diantaranya masuk ke Indonesia yang hampir setengahnya lebih terjual di Jakarta (Kompas, 18 Desember 2014). Sehingga, terkesan bahwa kebijakan tersebut sangat pro terhadap orang-orang yang mempunyai mobil dibandingkan dengan mereka yang menggukanan motor. Tulisan ini tidak sedang membahas baik-buruknya kebijakan tersebut, yang dibahas disini adalah bagaimana penilaian kelas menengah terhadap hal itu.

(16)

yang menggunakan mobil dan kelas menengah adalah orang-orang yang meggunakan motor. Menurut hasil survey Kompas38

2. Reklamasi

tentang kebijakan ini, 80% lebih pengguna mobil setuju atas kebijakan ini, sedangkan 66% pengguna motor mengaku tidak setuju karena menyulitkan mereka. Alasan terkuat responden yang menyetujui kebijakan ini adalah mereka merasa jalan yang tidak dilalui motor lebih tertib dan lancar.

Gambaran hasil survey tersebut menguatkan apa yang dimasudkan oleh Heryanto tentang ideology oportunistik kelas menengah, mereka cenderung memilih kebijakan yang menguntungkan mereka saja. Dalam hal ini kelas menengah-atas bisa dikatakan tidak perduli terhadap kesulitan akses yang dialami oleh kelas menengah yang menggunakan motor. Kondisi angkutan umum yang belum sepenuhnya memadai dan belum terkoneksi dengan baik juga menambah kesulitan para pengguna motor bila ingin berpindah ke moda transportasi umum. Dengan pola seperti ini, bukan tidak mungkin nantinya, apabila diterapkan kebijakan yang merugikan kelas menengah-atas yang semuala 80% mendukung akan menjadi berbalik menjadi menolak, meskipun dengan alasan yang sama untuk ketertiban lalu-lintas.

Reklamasi ini menjadi pembahasan yang cukup menarik, secara kasat mata proyek ini terlihat sarat akan kepentingan politik dan bisnis dalam sekala besar. Aktor-aktor bisnis yang terlibat termasuk pemain-pemain bisnis kelas kakap properti di Indonesia, sebut saja ada Tommy Winata dan Ariesman Widjaja. sejak pertama kali dilantik 19 November 2014, Gubernur Ahok telah menerbitkan sebanyak 4 (empat) izin pelaksanaan reklamasi, masing-masing: a. Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 2238 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G Kepada PT Muara Wisesa Samudra terbit pada tanggal 23 Desember 2014;

38

Lihat di

(17)

b. Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 2268 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau F Kepada PT Jakarta Propertindo, terbit pada tanggal 22 Oktober 2015;

c. Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 2269 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau I Kepada PT Jaladri Kartika Pakci, terbit pada tanggal 22 Oktober 2015;

d. Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 2485 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau K Kepada PT Pembangunan Jaya Ancol, Tbk, terbit pada tanggal 17 November 2015.

Kontroversipun terjadi, banyak pihak yan pro terhadap kebijakan tersebut namun tidak sedikit pula yang kontra, bahkan berapa menteri kabinet presiden Jokowidodo secara umum menyatakan bahwa Kebijakan reklamasi tersebut salah. Analisis yang dilakukan oleh LBH dan Walhi Jakarta menyatakan bahwa ada beberapa hal yang dilanggar Gubernur Ahok dalam kebijakan reklamasi yaitu:39

39 Reklamasi sarat penggusurah, press release diakses dari

http://knti.or.id/wp-content/uploads/2016/04/Kertas-Kasus-Reklamasi-Jakarta.pdf

1. Menerbitkan izin reklamasi diluar kewenangannya. Karena Jakarta telah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional maka kewenangan pengelolaa dan pemanfaatannya berada di Pemerintah Pusat.

2. Menerbitkan izin reklamasi tanpa adanya Perda Rencana Zonasi. Berdasarkan UU No. 27 Tahun 2007 sebagai aturan yang secara khusus mengatur pengelolaan sumber daya dan wilayah pesisir laut dibawah 12 mil. Ketentuan Pasal 9 UU No. 27 Tahun 2007 memandatkan adanya Peraturan Zonasi sebagai arahan pemanfaatan sumber daya di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Peraturan tersebut untuk meminimalkan konflik pemanfaatan sumber daya.

(18)

4. Menerbitkan Izin Reklamasi dengan penilaian lingkungan hidup secara parsial tanpa melalui kajian kawasan terpadu dan kajian yang dilakukan secara holistik. 5. Menerbitkan Izin Reklamasi Tanpa Mengikuti Prosedur perizinan lingkungan hidup berdasarkan PP No. 27 Tahun 2007. Perizinan lingkungan hidup berupa Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup, Izin Lingkungan dan Dokumen AMDAL (terdiri dari Kerangka Acuan ANDAL, ANDAL dan RKL/RPL) tidak pernah diumumkan kepada masyarakat luas termasuk yang terdampak langsung: nelayan tradisional.

6. Pelanggaran prosedur hukum terbitnya reklamasi. Prosedur perizinan reklamasi adalah Izin Lokasi dan Izin Pelaksanaan Reklamasi. Izin Lokasi tidak hanya terkait lokasi reklamasi, termasuk juga izin lokasi untuk wilayah sumber daya material untuk melakukan reklamasi.

Tulisan ini tidak hendak mengkaji secara mendalam tentang kebijakan tersebut benar atau salah, namun yang akan dilihat disini adalah bagaimana respon kelas menengah menilai kebijakan ini. Ada temuan menarik menurut survey yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia yang mengukur dampak popularitas Ahok pasca kebijakan Reklamasi. Hasil survey Kompas40

Apabila Angka-angka tersebut diterjemahkan ke dalam pola pikir kelas menengah sesuai yang telah dijelaskan pada konsepsi tentang kelas menengah, maka ada beberapa kesimpulan yang bisa ditarik, Pertama, karena kebijakan tersebut tidak langsug berdampak pada kelas menengah secara langsung maka atensinya pun tidak sebesar kedua isu sebelumnya. Hal ini menunjukkan pola oportunistik kelas menengah sesuai yang dikemukakan oleh Heryanto. Namun, ada pula anomali dari oportunistik kelas menengah, dalam konsepsi Heryanto, hal

menunjukkan bahwa yang terkategorikan warga kelas menengah di Jakarta cenderung acuh terhadap masalah ini hal tersebut dibuktikan dengan 40% lebih responden mengaku tidak tahu tentang polemik reklamasi teluk Jakarta. Selanjutnya, dari 60% yang mengikuti isu tersebut, 56,5% tidak setuju dengan reklamasi Teluk Jakarta dan sisanya mendukung kebijakan tersebut.

40

Lihat di

(19)

tersebut ditunjukkan angka 56,5% kelas menengah yang tidak setuju dengan proyek.

Hal ini menjelaskan bahwa ternyata kelas menengah masih memikirkan kelas bawahnya dalam hal ini nelayan yang dirugikan karena jelajah tangkap ikannya semakin sempit dan kerusakan lingkungan yang disebabkannya. Konsepsi ini berarti melegitimasi konsepsi Ashoka Siahaan yang menjelaskan dualitas kelas menengah di Indonesia yang salah satu nya mereka bisa berperan sebagai agent of

change dalam memperjuangkan kelas bawah dihadapan pemerintah. Hal tersebut

semakin dikuatkan dengan protes dan demonstrasi yang dilakukan oleh berbagai LSM seperti Walhi, LBH dan sebagainya atas kebijakan reklamasi. Padahal sebelumnya LSM-LSM seperti ini cenderung sepakat dengan kebijakan Ahok dalam mewujudkan birokrasi yang bersih dan transparan serta mendukung sepak terjang Ahok dalam melawan DPRD DKI Jakarta yang secara common sense menjadi musuh masyarakat karena dinilai sebagai eksekutor kepentingan-kepentigan politik praktis.

4. Kesimpulan

Kelas menengah adalah suatu terminologi baku yang digunakan dalam ilmu sosiologi, khususnya berkenaan dengan stratifikasi sosial, dimana kelas menengah dipahami sebagai orang-orang yang menempati tingkat kedua dari keseluruhan anggota masyarakat yang ada. Tingkat pertama ialah kelas atas yang menempati puncak tertinggi bangunan stratifikasi sosial. Tingkat ketiga adalah kelompok masyarakat yang berada di lapisan bawah. Dalam perkembangannya, istilah kelas menengah ini pun mengambil posisi keilmuan sendiri dalam kajian ekonomi dan politik yang berdiri sendiri-sendiri, namun demikian juga memiliki definisi yang varian dalam tradisi keilmuan ekonomi-politik.

(20)

informal. Hal tersebut benar namun dalam batasan-batasan tertentu yang dimaksud adalah apabila proses demokrasi tersebut dinilai tidak merugikan kelas menengah.

Berdasarkan penilaian tentang dua kebijakan diatas, rasionalitas kelas menengah di Jakarta cenderung rasionalitas yang oportunistik seperti yang disampaikan oleh Heryanto. Namun pada saat yang lain ada juga kesadaran sebagai agen perubahan dalam memperjuangkan kelas bawah dihadapan pemerintah.

5. Daftar Pustaka

Buku:

Easterly, W. 2001. The Middle Class Consensus and Economic Development.

Journal of Economic Growth. Vol. 6, No.4.

Heryanto, Ariel & Sumit K. Mandal. 2003. Challenging Authoritarianism in

Southeast Asia: Comparing Indonesia and Malaysia. New York: Routledge.

Heryanto, Ariel (ed.). 2008. Popular Culture in Indonesia: Fluid Identities in

Post-Authoritarian Politics. London & New York: Routledge Media.

Klinken, Gerry van & Ward Berenschot (ed.). 2014. In Search of Middle

Indonesia: Middle Classes in Provincial Towns. Leiden-Boston:

KITLV-Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies. Liddle, R. William .1992. The Middle Class and New Order Legitimacy dalam

The Politics of Middle Class Indonesia. Victoria: Monash University Press.

Majalah Prisma. 2012. Kelas Menengah Indonesia: Apa yang Baru?. Jakarta: LP3ES.

Mann, Michael. 1982. The Social Cohesion of Liberal Democracy dalam Classes,

Power, and Conflict: Classical and ConTemporery Debates. California:

University of California Press.

Nizar, Muhammad Afdi. 2015. Kelas Menengah (Middle Class) dan Implikasinya

Bagi Perekonomian Indonesia. Research Gate, Februari 2015.

(21)

Robison, Richard & David S.G. Goodman. 1996. The New Rich in Asia: Mobile

Phones, McDonalds and Middle-class Revolution. London & New York:

Routledge.

Tanter, Richard & Keneth Young. 1994. Politik Kelas Menengah Indonesia. Jakarta: LP3ES.

Weber, Max. 1982. Selections from Economy and Society, vols. 1 and 2; and

General Economic History dalam Classes, Power, and Conflict: Classical

and ConTemporery Debates. California: University of California Press.

Website:

Badan Pusat Statistik, Data Sensus Penduduk 2010 diunduh melalui laman https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1268

Bambang Setiawan, “Kelas Menengah Menggantungkan Asa pada Negara”

Jumat, 8 Juni 2012, diunduh melalui laman

http://nasional.kompas.com/read/2012/06/08/1200246/kelas.menengah.men ggantung.asa.pada.negara.

Gerry van Klinken pada diskusi “Konservatisme dan Pengalaman Beragama Kelas Menengah Indonesia” di Centre for Dialogue and Cooperation

among Civilisations (CDCC), Kamis 10 Maret 2016. Dari laman Tempo

https://nasional.tempo.co/read/news/2016/03/10/078752298/kelas-menengah-indonesia-semakin-berpengaruh.

Kebijakan Kontroversi Ahok, diunduh dalam laman http://megapolitan.kompas.com/read/Kebijakan.Kontroversial.Ahok.di.2015 Reklamasi sarat penggusurah, press release diakses dari

http://knti.or.id/wp-content/uploads/2016/04/Kertas-Kasus-Reklamasi-Jakarta.pdf

Reklamasi Teluk Jakarta, diunduh dari laman

Survey Warga dalam Pelarangan Sepeda Motor, diunduh dari laman

(22)

Tolak Kebijakan Reklamasi diunduh melalui laman

http://metro.news.viva.co.id/news/read/757529-tolak-reklamasi-teluk-jakarta-puluhan-nelayan-demo-di-ptun

Gambar

Grafik 1. Sebaran Penduduk Kelas Menengah Indonesia, 1999-20098

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dilakukan penelitian ini adalah merancang dan membangun sistem usulan rujukan pembentukan SOP, berupa kerangka kerja pengukuran trafik internet yang terpadu,

Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) adalah semua kegiatan kurikuler yang harus dilakukan oleh mahasiswa praktikan, sebagai pelatihan untuk menerapkan teori

Pseudomonas cepacia S2 mampu menggunakan ABS sebagai sumber karbon utama dan dapat tumbuh pada kondisi asam, sehingga biakan tersebut berpotensi untuk dapat

Numa yang baru itu mendengar nama Nangapinoh menjadi heran. Aku menumpang pera'hu yang lalu lalang se- panjang Sungai Mel'awai Hilir. Sesampai di pinggiran

Abstrak: Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui terjadinya peningkatan kemampuan siswa dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Dengan Menggunakan Media

Pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan observasi, wawancara mendalam, dan diskusi, sedangkan metode analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui kualitas

S pomočjo anket sem pridobila mnenje lokalnega prebivalstva o njihovi soseski, izvedela sem, kakšno je njihovo zadovoljstvo s sosesko kot celoto, stanovanjem, prebivalci,