• Tidak ada hasil yang ditemukan

MASALAH PERDAGANGAN DAN PENYELUNDUPAN SA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MASALAH PERDAGANGAN DAN PENYELUNDUPAN SA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH EKONOMI LINGKUNGAN

MASALAH PERDAGANGAN DAN PENYELUNDUPAN SATWA LIAR

SECARA ILEGAL DARI TINJAUAN EKONOMI

DISUSUN OLEH:

LIANY DIANITA SUWITO

(2)

MASALAH PERDAGANGAN DAN PENYELUNDUPAN SATWA LIAR

SECARA ILEGAL DARI TINJAUAN EKONOMI

PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara tropis yang terkenal akan sumber daya alam hayatinya yang

sangat unik dan beragam hingga terkenal sebagai negara mega-biodiersiy. Keanekaragaman

hayati tersebut baik tumbuhan ataupun hewan merupakan kekayaan alam yang dapat memberi manfaat sebagai salah satu modal dasar pembangunan nasional (Suhartini, 2009).

Hingga tahun 2010 tercatat bahwa Indonesia memiliki 38000 jenis tumbuhan, 515 spesies mamalia, 511 spesies reptilian, 2827 jenis binatang tak bertulang, kupu-kupu

sebanyak 121 spesies, 480 spesies hard corals, 1400 spesies ikan air tawar, 270 spesies

amfibi, 1531 spesies burung, serta 240 spesies langka sebagai jumlah spesies langka terbanyak di dunia. Indonesia juga memiliki tumbuhan palma sebanyak 477 spesies dan sekitar 3000 jenis spesies tumbuhan penghasil bahan berkhasiat sebagai obat. Hal inilah yang membuat Indonesia berada di peringkat kedua setelah Brasil sebagai negara dengan tingkat biodversitas tertinggi (Daryanto & Suprihatin, 2013).

Tentunya dengan kekayaan alam yang begitu besar Indonesia harus memiliki berbagai peraturan dan kebijakan untuk menjaga dan melestarikan sumber daya alam ini. Peranan pemerintah pusat maupun daerah memiliki peranan penting dalam perumusan bebagai kebijakan pengelolaan sumber daya alam. Hal ini sangat diperlukan terlebih dalam melindungi sumber daya alam atau spesies-spesies langka yang terancam kepunahan. Saat ini perlindungan terhadap sumber daya alam hayati di Indonesia adalah UU No.5 tahun 1990 mengenai Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Selain itu untuk menghindari kepunahan spesies-spesies tertentu, pada tanggal 3 Maret 1973, sekitar 80 negara menyepakati sebuah naskah konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa langka (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) atau yang terkenal dengan CITES. Indonesia sebagai salah satu negara yang telah meratifikasi berhak menghadiri konferensi para pihak (Conference of the Parties atau COP) yang dilaksanakan setiap dua atau tiga tahun sekali.

PERMASALAHAN

(3)

penyelundupan kukang ke Filipina dan Thailand. Kemudian pada awal bulan Oktober 2015 ini diberitakan adanya upaya penyelundupan lobster seharga 500 juta yang digagalkan di Yogyakarta. Berbagai kasus penyelundupan seperti ini masih terus terjadi meski pihak pemerintah dengan bantuan Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) sudah berusaha melakukan pencegahan.

Sebuah publikasi dari USAID (2015) pun mengatakan bahwa saat ini perdagangan ilegal satwa liar merupakan industri yang besar. Kejahatan terhadap satwa liar yang didefinisikan sebagai perburuan liar, kepemilikan atau perdagangan spesies ilegal yang dilarang oleh hukum internasional dan/atau nasional, merupakan suatu industri global yang dilakukan pada skala industry. Biasanya kegiatan perdagangan ini terjadi karena didorong oleh adanya permintaan akan bagian-bagian tubuh satwa untuk digunakan sebagai obat-obatan atau pengaruh status sosial yang didapat dari kepemilikan akan satwa tertentu. Hal ini jugalah yang menjadikan industri perdagangan satwa liar sebagai industri kriminal terbesar ke-4 setelah narkotika, penipuan, dan perdagangan manusia.

Perdagangan satwa liar pun diperkirakan terus meningkat dengan munculnya

perdagangan secara online khususnya melalui media sosial yang memudahkan proses jual

beli di masyarakat sehingga semakin menyulitkan penegakan hukum. Upaya penegakan hukum dan sosialisasi melalui kampanye-kampanye pun dinilai belum efektif dalam memberantas perdagangan satwa liar, khususnya terhadap satwa yang dilindungi (USAID, 2015).

Diketahui juga bahwa perburuan dan perdagangan satwa juga menjadi salah satu faktor terbesar dalam berkurangnya populasi satwa liar yang dapat berujung pada kepunahan. Sedangkan kepunahan suatu spesies diketahui juga pastinya akan berdampak buruk pada ekosistem di lingkungan. Sayangnya dampak perdagangan ini terhadap aspek sosial ekonomi masih kurang diketahui secara jelas saat ini meski diketahui memiliki dampak yang cukup besar (USAID, 2015).

(4)

besar ini tentunya harus dicegah dan dihindari apabila kita tetap ingin menjadi negara yang bertanggung jawab akan keanekaragaman hayati yang kita miliki.

Tidak hanya terjadi di Indonesia, hampir setiap bagian benua di bumi juga terlibat dalam sindikat perdagangan dan penyelundupan satwa liar. Negara-negara maju dan berkembang seperti Amerika, Tiongkok, serta berbagai negara di Asia Tenggara juga menjadi salah satu tujuan utama para penyelundup satwa liar. Oleh karena itu fenomena yang sudah menjadi permasalahan banyak negara ini harus segera diatasi dan diselesaikan. Tak hanya para pelaku namun para pembeli pun harus segera ditindak. Maka dari itu perlu dilakukan pembahasan lebih lanjut untuk mengupas fenomena ini dari berbagai aspek, khususnya aspek ekonomi yang menjadi bukti kerugian bagi banyak negara yang dicuri sumber daya hayatinya seperti Indonesia.

TUJUAN

Diketahui bahwa pemahaman akan berbagai faktor penyebab serta dampak perdagangan satwa liar secara ilegal masih terbatas. Padahal diperlukan pemahaman yang tepat sebelum kita dapat bergerak untuk melakukan pencegahan dan upaya penanggulangan. Kampanye dan sosialisasi yang kurang tepat sasaran adalah salah satu bukti dari kurangnya pemahaman akan perdagangan satwa liar ini sendiri. Salah satu aspek yang perlu didalami lebih lanjut adalah aspek ekonomi yang terdapat dalam fenomena ini mengingat besarnya jumlah kerugian yang harus ditanggung oleh negara. Oleh karena itu dalam tulisan ini akan dilakukan pembahasan ebih lanjut mengenai permasalahan perdagangan dan penyelundupan satwa liar secara illegal dengan kajian ekonomi.

Pada nantinya diharapkan pemahaman yang lebih mendalam akan hal ini dapat membantu dalam pencegahan dan upaya pemerintah dalam mengurangi kecenderungan masyarakat untuk memburu dan menyelundupkan satwa-satwa liar. Selain itu juga diharapkan upaya perlindungan terhadap satwa liar semakin efektif sehingga tidak ada lagi satwa-satwa liar yang terancam kepunahan akibat perdagangan ilegal.

PEMBAHASAN

Perdagangan gelap satwa liar dapat didefinisikan sebagai segala kejahatan lingkungan

(5)

banyak pihak, yaitu pemburu gelap, para oknum aparat negara, sindikat grup kriminal internasional dan institusi yang korup lintas negara serta para pemain yang terlibat di negara-negara tujuan penyelundupan (Lawson & Vines, 2014). Wyler dan Sheikh (2008) juga menambahkan adanya konsumen-konsumen atau klien yang bersedia membayar mahal sebagai salah satu pelaku penting dalam industri ini.

Keuntungan yang didapatkan dari perdagangan dan penyelundupan satwa liar ini biasanya digunakan untuk membiayai aktivitas atau transaksi ilegal lainnya, termasuk bentuk lain dari organisasi kejahatan transaksional. Biasanya transaksi ini dilakukan oleh kelompok-kelompok kriminal yang beroperasi lintas perbatasan. Mereka tertarik oleh tingginya keuntungan dan rendahnya resiko yang diasosiasikan dengan pemerintahan yang lemah dan kurangnya penerapan hukuman atau denda (UNEP Year Book, 2014). Oleh karena itu banyak penyelundupan dimulai dari negara-negara berkembang yang masih belum cukup stabil dalam penerapan hukumnya.

Penyebab

Seperti yang dijelaskan dalam permasalahan, bahwa industri perdagangan satwa liar ini tidak akan ada tanpa adanya permintaan dari para kolektor, konsumen, ataupun klien yang memesan dan melakukan pembelian. Namun seringkali juga ditemukan bahwa kemiskinan dan rendahnya kesempatan bekerja ataupun kurangnya pendapatan juga mendorong para pelaku mulai memburu satwa dan berusaha menjualnya untuk mencari tambahan pendapatan.

Demand (Permintaan)

Meski penangkapan akan para pelaku perdagangan terus dilakukan, tetap saja sindikat ini tetap berjalan. Hal ini tak lain dan tak bukan adalah akibat dari besarnya tingkat permintaan akan produk-produk dari satwa liar. Berbagai produk dari bagian tubuh satwa seringkali dimanfaatkan sebagai bahan ramuan pengobatan tradisional di Asia bagian Timur, selain juga sebagai simbol penunjuk status sosial atau sekedar untuk dipelihara. Budaya masyarakat turut berperan penting dalam hal ini (Dalberg, WWF Report).

(6)

kilogramnya. Cula badak dihargai sekitar 12 juta sampai 500 juta rupiah per kilogramnya hampir sama dengan harga seekor orangutan yang masih hidup.

Permintaan akan satwa liar secara ilegal ini ada dimana-mana. Beberapa sumber mengasumsikan bahwa negara yang memiliki tingkat permintaan tertinggi adalah Amerika Serikat, diikuti oleh Tiongkok dan Uni Eropa (Wyer & Sheikh, 2008). Alasan dibalik adanya permintaan berbeda-beda bagi masing-masing negara dan daerah. Di Asia, permintaan biasanya didasari oleh adanya kebutuhan akan bagian tubuh dari satwa tertentu untuk digunakan dalam praktek pengobatan tradisional, untuk konsumsi manusia dan sebagai simbol kekayaan. Di Afrika, permintaan akan satwa liar secara ilegal dikarenakan adanya kebutuhan akan konsumsi daging di daerah pedesaan dan pedalaman.

Di bagian benua lain seperti di Eropa dan Amerika Utara, diketahui juga bahwa permintaan akan beragam produk dari satwa liar digunakan sebagai aitem fashion yang mahal, souvenir, serta hewan peliharaan dan konsumsi untuk manusia (Wyler & Sheikh, 2008). Semakin suatu produk sulit untuk dicari atau langka maka akan semakin besar permintaan dan harga yang akan dibayarkan oleh konsumen. Hal inilah yang terus mendorong para pelaku perdagangan pun memburu satwa-satwa liar yang dilindungi atau bahkan satwa yang langka sehingga membuat satwa-satwa liar pun semakin terancam kepunahan.

Latar belakang ekonomi masyarakat

Segala sesuatu yang ilegal atau bersifat kriminal dan melawan hukum biasanya tidak akan dilakukan tanpa adanya keterpaksaan. Sama seperti halnya dalam perdagangan satwa liar secara ilegal. Meski ada permintaan akan produk-produk satwa liar, bila masyarakat sudah hidup dengan sejahtera maka tentunya mereka tidak akan berusaha melawan hukum dengan memburu dan menyelundupkan satwa liar. Behr, et al. (2010) mengatakan bahwa orang-orang miskin atau kekurangan yang masih terombang-ambing oleh resesi global cenderung untuk membunuh satwa liar sebagai salah satu jalan untuk mendapatkan uang agar dapat memberi makan keluarga mereka. Besarnya keuntungan yang didapatkan dari tindakan yang sudah tergolong pidana ini membuat banyak orang lupa diri dan tidak lagi memikirkan dampak perbuatan mereka di masa depan.

(7)

industri ini karena adanya pembagian keuntungan nantinya. Oleh karena itu tingkat pendapatan atau ekonomi suatu negara ataupun masyarakat turut berperan penting dalam perdagangan dan penyelundupan satwa liar (Dalberg, WWF Report). Kurang meratanya kesejahteraan penduduk ini turut memicu munculnya perburuan dan perdagangan ilegal.

Di sisi lain, Lawson dan Vines (2014) mengatakan bahwa kemiskinan tidak selalu menjadi faktor utama dari perburuan liar. Kekayaan sebenarnya memiliki kontribusi yang lebih besar dalam peningkatan permintaan akan satwa liar. Kekayaan dan kemakmuran terkadang membuat seseorang menjadi serakah dan tamak untuk memiliki sesuatu yang tidak dapat dimiliki orang lain. Hal ini dapat dikaitkan juga dengan status sosial yang didapat dengan memiliki atau memelihara satwa liar tertentu.

Internet

Salah satu hal yang mendorong peningkatan perdagangan gelap satwa liar adalah internet (Behr, et al., 2010). Kemunculan internet dan media sosial membuat perdagangan satwa liar mengalami peningkatan. Mudahnya akses dan pemesanan

yang dilakukan secara online membuat semakin banya orang tertarik untuk membeli.

Para pedagang pun mulai berjualan secara online karena melihat kemudahan dan

resikonya yang terbilang lebih kecil daripada berjualan langsung di pasar atau bertemu langsung dengan pembeli. Adanya internet membuat para pedagang dapat meminimalkan pengeluaran mereka dalam menjual satwa. Mereka dapat berjualan dari rumah dan berhubungan dengan calon pembeli lewat internet. Sulitnya pelacakan pelaku di internet oleh pihak yang berwenang juga menjadikan internet wadah favorit dalam bertransaksi satwa liar secara ilegal.

(8)

Dampak Ekonomi

Tidak seperti tindakan perdagangan gelap lannya seperti obat-obatan terlarang yang mengeksploitasi sumber daya yang dapat diperbaharui dan tidak terbatas, perdagangan satwa liar secara ilegal secara drastis menghabiskan biaya yang tidak dapat ditebus atau diganti dari segi kemanusiaan dan ekologi dunia. Sekali spesies langka punah di tangan para pemburu gelap, mereka hilang dan seringkali tidak ada cara untuk membuat mereka kembali (Brown, 2011).

Sebuah laporan publikasi dari WWF Internasional menuliskan bahwa satu dampak langsung dari perdagangan satwa liar secara ilegal pada negara berkembang adalah habisnya aset berharga secara cepat dan tak mungkin dikembalikan. Dalam hal ini pemerintah tidak menerima pemasukan dari pajak untuk mendukung aktivitas ekonomi dan negara kehilangan sumber daya hayatinya yang berharga. Dampak lainnya terkait dengan korupsi yang terjadi dalam penyelundupan dan perdagangan ilegal satwa liar. Korupsi secara langsung berdampak pada kekayaan suatu negara. Korupsi melemahkan ekonomi makro dan stabiltas fiskal, mengurangi tingkat investasi dan menghambat pertumbuhan ekonomi.

Pada permasalahan pun sudah dijelaskan bahwa menurut data Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Indonesia mengalami kerugian lebih dari 9 triliun rupiah tiap tahunnya akibat perburuan dan perdagangan satwa yang dilindungi. Angka kerugian ini sangatlah besar bagi negara kita yang kesejahteraan masyarakatnya pun belum merata. Bila kerugian ini bisa dicegah, dana sebanyak itu bisa digunakan oleh negara untuk membantu masyarakat miskin atau melestarikan sumber daya alam yang ada.

Cara Penanganan dan Alternatif Pencegahan

Terdapat beberapa alternatif metode yang dapat digunakan dalam mencegah dan memberantas perdagangan satwa liar secara ilegal, yaitu;

 Sosialisasi dan Penegakan Hukum

(9)

peraturan yang berlaku dan mengatur hal ini pun perlu disebarkan dan disosialisasikan karena penegakan hukum juga merupakan salah satu solusi dalam memberantas perdagangan liar.

Oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab harus diselidiki dan mendapat hukuman, begitu juga bila ada suap-menyuap atau koruptor yang bermain. Setiap pelaku harus diberi hukuman yang sesuai dengan undang-undang yang berlaku agar dapat memberi efek jera dan tidak megulangi perbuatannya.

Berbagai usaha penyadaran dan sosialisasi akan satwa liar juga sedang dilakukan oleh pemerintah dan organisasi-organisasi non pemerintah. Beberapa laporan mengindikasikan bahwa kampanye dan penyadartahuan publik ini akan segera menunjukkan hasilnya. Berbagai metode atau strategi juga harus digunakan untuk meningkatkan ketertarikan dan mengundang keingintahuan publik. Saat ini kampanye banyak dilakukan juga melalui media sosial dan video-video singkat yang berdampak.

Contohnya seperti kampanye mengenai dampak pembelian sirip hiu di Asia, dilaporkan bahwa ada penurunan permintaan sebesar 50-70% di beberapa pasar. Namun bagaimanapun juga dampak dan hasilnya dalam jangka panjang masih menjadi pertanyaan. Diharapkan hasil dari kampanye-kampanye ini tidak hanya membawa dampak sementara pada perubahan kebiasaan dan budaya di masyarakat (Wyler & Sheikh, 2008).

Selain itu masyarakat juga harus dikenalkan akan jasa ekologi bagi kehidupan di bumi. Memang jasa ekologi ini sampai sekarang masih belum diperhitungkan harga pasarnya di dunia dan diukur dalam GDP (Gross Domestic Product). Hal ini menyebabkan manusia masih bertindak semena-mena terhadap alam dan setiap organisme di dalamnya karena dianggap tidak memiliki nilai dan manfaat bagi kehidupan manusia. Padahal setiap organisme sudah dirancang sedemikian rupa dengan peran mereka masing-masing yang mendukung keberlanjutan ekosistem di alam. Oleh karena itu manfaat dan jasa setiap spesies ini juga harusnya disosialisasikan pada masyarakat sebagai pemahaman dan menumbuhkan kesadaran untuk menjaga dan memelihara setiap spesies sebagai titipan Sang Pencipta yang sangat berharga bagi bumi.

 Perubahan budaya dan tradisi

(10)

mengkonsumsi atau memakai bagian-bagian dari satwa liar untuk berbagai keperluan. Seperti contohnya dipakainya gading gajah dalam proses adat pernikahan di NTT atau penggunaan organ dari harimau untuk obat-obatan di Tiongkok. Kebiasaan dan budaya yang berlaku di masyarakat memang sulit untuk diubah. Namun melihat semakin menurunnya populasi dan ancaman kepunahan maka perubahan patut untuk dilakukan. Oleh karena itu penyadaran publik pun harus disertai dengan jalan tengah yang menguntungkan semua pihak. Misalnya dengan mencarikan bahan lain yang dapat dipakai dalam pengobatan tertentu dengan memanfaatkan teknologi dan sumber daya alam lain yang dapat diperbaharui. Begitu juga dengan budaya-budaya masyarakat daerah dapat diberikan alternatif sumber daya lain yang dapat digunakan dalam proses adat mereka.

 Pemerataan pendapatan

Satu hal yang juga tidak dapat dilupakan adalah adanya pemerataan kesejahteraan masyarakat di setiap daerah sehingga tidak muncul pemburu-pemburu dan pedagang ilegal yang didorong oleh kebutuhan ekonomi. Masyarakat juga perlu diedukasi akan keterampilan-keterampilan yang dapat mendukung kehidupan mereka. Selain itu masyarakat juga dapat diberi pemahaman akan potensi-potensi sumber daya alam yang ada di sekitar mereka yang dapat dimanfaatkan dengan tidak merugikan satwa-satwa yang dilindungi. Misalnya dengan pemanfaatan lahan sebagai lahan pertanian, perkebunan, atau peternakan. Berbagai alternatif untuk memenuhi kebutuhan ekonomi ini dapat diberikan pada masyarakat sehingga setiap pihak pada akhirnya saling diuntungkan.

(11)

KESIMPULAN & SARAN

Perdagangan dan penyelundupan satwa liar secara ilegal membawa dampak kerugian yang sangat besar bagi negara. Tidak hanya kerugian materiil tetapi juga non-materiil karena satwa liar juga merupakan aset sumberdaya hayati bagi negara. Banyaknya permintaan oleh konsumen, kurang tegasnya penegakan hukum dan belum meratanya kesejahteraan penduduk menjadi salah satu penyebab utama maraknya perdagangan ini. Namun hal ini dapat dicegah dan diatasi dengan terus memberikan sosialisasi mengenai dampak membeli satwa liar secara ilegal pada masyarakat serta dampaknya pada ekologi serta ekosistem di bumi. Kemudian juga perlu dilakukan penegakan hukum bagi oknum-oknum yang terlibat serta adanya edukasi bagi masyarakat untuk memanfaatkan sumber daya lain untuk mendukung pendapatan mereka. Pemberian pemahaman yang tepat juga dapat mendorong masyarakat untuk mengubah kebiasaan atau budaya yang tidak mendukung kelestarian satwa dan alamnya menjadi budaya yang mendukung ekosistem di alam.

(12)

DAFTAR PUSTAKA

Behr, P., et al. 2010. Wildlife Smuggling: Can Disappearing Species be Saved from

Poachers? Global Researcher, Vol.4, Number 10:235-262.

Brown, V. F. 2011. The Disappearing Act: The Illicit Trade in Wildlife in Asia. Foreign

Policy at Brookings.

Dalberg. WWF International Report: Fighting Illicit Wildlife Trafficking, a Consultation with Governments.

Daryanto & A. Suprihatin. 2013. Pengantar Pendidikan Lingkungan Hidup. Penerbit Gaya

Media: Yogyakarta.

Lawson, K., A. Vines. 2014. Global Impacts of the Illegal Wildlife Trade: The Cost of Crime,

Insecurity and Institutional Erosion. London: Chatham House.

Suhartini. 2009. Peran Konservasi Keanekaragaman Hayati dalam Menunjang Pembangunan

yang Berkelanjutan. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan, dan

Penerapan MIPA.

UNEP. 2014. UNEP Year Book Emerging Issues Update: Illegal Trade in Wildlife.

USAID. 2015. Proyek Perubahan untuk Keadilan (Changes for Justice) Kejahatan terhadap Satwa Liar di Indonesia: Penilaian Cepat Terhadap Pengetahuan, Tren, dan Prioritas Aksi Saat Ini. Diakses tanggal 24 September 2015.

Wyler, L., P. A. Sheikh. 2008. CRS Report for Congress: International Illegal Trade in Wildlife, Threats and U. S. Policy.

http://kkji.kp3k.kkp.go.id

Referensi

Dokumen terkait

Seismik stratigrafi daerah penelitian dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) unit, yaitu Unit 1 diinterpretasikan sebagai batuan intrusi, Unit 2 yang dekat dengan Pulau Jawa

Kebijakan puritanisme oleh sultan Aurangzeb dan pengislaman orang-orang Hindu secara paksa demi menjadikan tanah India sebagai negara Islam, dengan menyerang berbagai praktek

Merupakan struktur yang dibentuk oleh mineral yang equidimensional sehingga terdiri alas butiran - butiran (granular), dapat dijumpai pada batuan hornfelsa. Foliasi

Dalam hal terjadi pembubaran sebagaimana dimaksud pada Pasal 51, maka penyelesaian kewajiban perseroan kepada anggota dewan komisaris dan/atau anggota direksi, pegawai dan/atau

Terkusus tanaman Anggrek cattleya yang akan digunakan dalam penelitian pada tugas akhir ini memiliki kebutuhan intensitas pencahayaan 20-30%... 8 2.1.2 Suhu

Tujuan laporan keuangan adalah menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja, serta perubahan posisi keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi

Terkat mengena hak khusus bag tenaga kerja wanta dalam memberkan ASI eksklusf yang sudah datur dalam Pasal 129 ayat (1) UU Kesehatan yang djabarkan ke dalam PP

LineTo adalah fungsi yang terdapat dalam TCanvas yang digunakan untuk membuat sebuah garis dari PenPos (posisi TPen) sampai dengan suatu titik tertentu yang direpresentasikan