MAKALAH PEMILU 1955 DI
INDONESIA
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Atas rahmat dan hidayah-Nyalah kami
dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini yang berjudul“Pemilihan Umum tahun 1995di
Indonesia”.
Makalah yang kami susun ini memiliki aspek tujuan.Tujuan kami adalah untuk memenuhi
persyaratan nilai mata kuliah Sejarah Nasional Indonesia VI. Selain itu, makalah ini diharapkan
dapat bermanfaat untuk menambah wawasan bagi penulis dan para pembaca.
Dalam menyelesaikan makalah ini penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak
yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini:
1. Dra. Hj. Yunani Hasan, M. Pd selaku dosen pengampu mata kuliah Sejarah Kebudayaan.
2. Keluarga dan teman-teman yang memberikan dorongan dan bantuan serta pengertian kepada
penulis, baik selama mengikuti perkuliahan maupun dalam menyelesaikan makalah ini.
3. Semua pihak yang tidak dapat di sebutkan satu-persatu,yang telah memberikan bantuan dalam
penulisan makalah ini
Kami menyadari bahwa makalah kami masih banyak memiliki kekurangan,Oleh karena
itu, kritik dan saran para pembaca sangat kami harapkan untuk memberikan masukan-masukan
yang bersifat membangun guna untuk menyempurnakan pembuatan makalah di waktu yang akan
datang.
Palembang, Maret 2015
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
Daftar isi ii
Bab I Pendahuluan 1
1.1 Latar Belakang Masalah 1
1.2 Perumusan Masalah 1
1.3
Tujuan 2
1.4 Metode Penulisan 2
Bab II Pembahasan
2.1
Sistem Pemilihan Umum Tahun 1955 di Indonesia 3
2.2
Partai Politik Yang Berperan Dalam Pemilihan Umum
Tahun 1955 di Indonesia 6
2.3
Proses Pemilihan Umum Tahun 1955 di Indonesia 9
3.1 Kesimpulan 12
3.2 Saran 12
Daftar Pustaka 13
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pada umumnya bangsa yang baru merdeka biasanya menetapkan pemilihan umum sebagai
program politiknya. Demikian juga Indonesia stelah bebrapa lama berada di bawah kekangan
pemerintah kolonial. Salah satu agenda politik adalah menyelenggarakan pemilihan
umum . Hal ini menunjukan euphoria politik karena sebagai bangsa yang baru merdeka yang
ingin menikmati pesta demokrasi yang belum pernah dialami pada masa- masa sebelumnya.
Pemilihan umum di Indonesia yang pertama diselanggarakan satu setengah bulan setelah
terbentuknya kabinat Burhanuddin Harahap. Sebagai ketua lembaga pemilihan umum adalah
Menteri Dalam Negeri waktu yaitu Mr. Sunaryo, yang berasaskan langsung, umum, bebas dan
rahasia. Dalam pelaksanaanya, puluhan partai politik bersaing memperebutkan kursa dewan
Perwakilan rakyat anggota konstituante. Pada waktu itu wilayah Indonesia dibagi menjadi 16
wilayah pemilihan yang meliputi 208 kabupaten, 2139 ke kecamatan dan 434529 Desa
( Sekretariat NegaraRI, 1986: 88).
1.2
Rumusan Masalah
Agar tidak terjadi kesimpang siuran dalam penyusunan makalah ini, maka kami
merumuskan masalah sebagai berikut :
1.
Jelaskan sistem pemilihan umum di Indonesia pada 1955 di Indonesia ?
2.
Apa saja partai politik yang berperan dalam pemilihan umum 1955 di Indonesia?
3.
Bagaimana proses pemilihan umum di Indonesia pada tahun 1955 di Indonesia ?
4.
Bagaimana persentase hasil pemilihan umum tahun 1955 di Indonesia
.?
1.3
Tujuan dan Manfaat
1.3.1 TujuanPembuatan makalah ini yaitu :
1.
Untuk mengetahui dan memahami sistem pemilu di Indonesia pada 1955 di Indonesia.2.
Untuk mengetahui dan memahami partai politik yang berperan dalam pemilu 1955 di
Indonesia
.3.
Untuk mengetahui dan memahami proses pemilu di Indonesia pada tahun 1955di Indonesia
. 4.Untuk mengetahui dan memahami persentase hasil pemilihan umum tahun 1955 di Indonesia
. 1.3.2 Manfaat pembuatan makalah ini yaitu :1. Memberikan informasi tentang sistem pemilu di Indonesia pada 1955
di Indonesia
.2. Memberikan informasi tentang partai politik yang berperan dalam pemilu 1955
di
Indonesia
.3. Memberikan informasi tentang proses pemilu di Indonesia pada tahun 1955
di
4. Memberikan informasi tentang persentase hasil pemilihan umum tahun 1955
di
Indonesia
.1.4
Metode Penulisan
Metode yang digunakan penulis dalam penyusunan makalah ini adalah menggunakan metode
kepustakaan yaitu memberikan gambaran tentang materi-materi yang berhubungan dengan
permasalahan melalui literatur buku dan jurnal yang tersedia di media masa atau internet.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Sistem Pemilihan Umum Tahun 1955 di Indonesia
pemilu 1955 yang dilaksanakan pada tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota
DPR yang melibatkan lebih dari 39 juta penduduk Indonesia dalam memberikan suaranya dan
tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Dewan Konstituante berada di bawah
rezim hukum konstitusi Pasal 1 Ayat 1, Pasal 35, Pasal 56 s.d. Pasal60, Pasal 134 dan Pasal 135
UUDS 1950 yang kemudian diderivasi dalamUU Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan
Umum. Pemilu tersebut berada dalam konteks sistem ketatanegaraan kabinet parlementer dengan
sistem multi partai (Poesponegoro, dkk. 2008:317).
Pemilihan umum pertama tahun 1955 ini diselenggarakan dengan 100 tanda gambar, hal
ini menunjukan bahwa antosias masyarakat dengan beragam partainya masing-masing cukup
tinggi. Namun setelah diadakan penyederhanaan, akhirnya pemilihan umum ini diikuti 28 partai.
Sebagaimana diketahui bahwa, pemilihan umum ini dapat dilaksanakan sesuai dengan jadual
yang telah di tetapkan. Sejumlah 37.875. 299 penduduk yang berhak menggunakan hak pilihnya,
dari jumlah ini 43. 104. 464 menggunakan hak pilihnya, ini berarti 87,65 persen menggunakan
hak pilihnya ( Rais, 1986: 183).
Dilihat dari persentase rakyat yang menggunakan hak pilihnya, partisifasi rakyat cukup
besar karena situasi dan kondisi pada waktu itu, dimana saranadan prasarananya masih sulit
terutama didaerah pedesaan, dan juga masih banyaknya gerakan-gerakan pengacau keamanan di
berbagai daerah Indonesia seperti Darul Islam (DI). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
pelaksanaan pemilihan umum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pelaksanaan pemilihan
umum tahun 1955 dapat berjalan dengan baik.
2.1.1
Sistem Distrik
Sistem ini merupakan sistem penilaian yang paling tua dan didasarkan atas kesatuan
geografis. Setiap kesatuan geografis ini biasa disebut distrik, yang mencakup suatu wilayah kecil
yang mempunyai satu wakil dalam parlemen.
kabinet tanpa koalisi, pemerintah semacam ini dinamakan minority government. Ciri khas yang
melekat pada sistem distrik ini yaitu kesenjangan antara jumlah suara yang diperoleh suatu partai
secara nasional dan jumlah kursi yang diperolehnya dalam parlemen.
Beberapa keuntungan sistem distrik :
a.
Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih dapat dikenal oleh penduduk distrik sehingga
hubungannya dengan penduduk distrik lebh erat.
b.
Sistem ini lebih mendorong kea rah integrasi partai- partai politik karena kursi yang
diperebutkan dalam sistem distrik pemilihan hanya satu.
c.
Fragmentasi partai atau kecenderungan untuk membentuk partai baru dapat dibendung, malah
sistenm ini dapat mendorong kea rah penyederhanaan partai secara alamiah dan tanpa paksaan.
d.
Lebih mudah bagi suatu partai untuk mencapai kedudukan mayoritas dalam parlemen , sehingga
tidak perlu diadakan koalisis dengan partai lain.
e.
Sistem ini sederhana dan mudah untuk dilksanakan.
Beberapa kelemahan sistem distrik :
a.
System ini kurang memperhitungkan adanya partai- partai kecil dan golongan minoritas, apa
lagi jika golongan ini terpencar dalam beberapa distrik.
b.
Sistem ini kurang refresentatif dalam arti bahwa partai yang calonya kalah dalam suatu distrik,
kehilangan suara yang telah mendukungnya.
c.
Ada kemungkinan seseorang wakil cenderung untuk lebih memperhatikan kepentingan distrik
serta warga distriknya dari pada kepentingan nasional.
d.
Umumnya dianggap bahwa system distrik kurang efektif dalam masyarakat yang heterogen
karena terbagi dalam kelompok etnis, religious, sehingga menimbulkan anggapan bahwa suatu
kebudayaan nasional yang terpadu secara ideologis dan etnis mungkin merupakan pra syarat bagi
suksesnya sistem ini.
2.1.2
Sistem Proporsional
Sistem ini biasanya digunakan untuk menghilangkan beberapa kelemahan dari sistem
distrik. Dalam sistem ini jumlah kursi yang diperoleh oleh suatu golongan atau partai adalah
sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya dari masyarakat.
Sistem proporsional sering dikombinasikan dengan beberapa prosedur antara lain dengan
sistm daftar (list sistem).
Sistem proporsional memiliki beberapa kelebihan, diantaranya yaitu :
a.
Sistem proporsional dianggap lebih demokratis dalam arti lebih egalitarian karena asas one man
one vote dilaksanakan secara penuh, praktis tanpa ada suara yang hilang.
b.
Sistem proporsional diianggap representatife karena jumlah kursi partai dalam parlemen sesuai
dengan jumlah suara yang diperolehnya dari masyarakat dalam pemilihan umum.
c.
Tidak ada distorsi.
Sistem proporsional memiliki beberapa kelemahan, diantaranya yaitu :
a.
Sistem ini mempermudah fragmentasi partai.
b.
Sistem ini kurang mendorong partai-mmpartai untuk berintegrasi satu sama lain dan
memanfaatkan persamaan yang ada.
c.
Sistem proporsional member kedudukan yang kuat pada pimpinan partai melalui Sistem daftar.
d.
Wakil yang terpilih kemungkinan renggang ikatannya dengan warga yang telah memilihnya.
Karena banyaknya partai yang bersaing, sulit bagi satu partai untuk meraih mayoritas
dalam parlemen yang dperlukan untuk membrntuk pemerintah (Sair, 2005: 46).
2.2
Partai Politik Yang Berperan Dalam Pemilihan Umum Tahun 1955 di
Indonesia
Jika diperhatikan perkembangan kehidupan kepartaian di Indoensia, maka segera diketahui
bahwa
pengalaman
berpartai
masyarakat
Indonesia berlumlah begitu lama. sebelum tercapainya kemerdekaan, khususnya pada masa
Hindia Belanda, kaum pergerakan mendirikan sejumlah partai yangantara lain dipakai sebagai
wahanan
untuk
pendidikan
politik
dan
mobilisasi politik dalam rangka perjuangan kemerdekaan. Sebelum tahun 1930kehidupan
kepartaian dapat dicirikan sebagai radikal dan konservatif, dengan pengertian yang berani
menentang Belanda secara terang-terangandan yang lain melakukan perjuangan politik melalui
cara
persuasif
dengan pemerintah kolonial. Tetapi setelah partai komunis dibubarkan pemerintah kolonial
Belanda menyusul pmberontakan yang gagal tahun 1926/1927 olehkomunis, kehidupan
kepartaian mengalami masa suram. Penyesuaian gayakemudian dilakukan disana sini dan baru
mulai menjadi radikal lagi menjelang Jepang mendarat di Indonesia.
pemerintah kolonial (kooperasi) dan yang menolak mamasuki institusi kolonial (non
kooperasi). Seirama dengan ekslarasi perjuangan, beberapa tahun sebelum Jepang mendarat di
Indonesia, terlihat pendekatan partai radikal dengan konservatif atau antara kaum kooperator
dengan non kooperator baik dalam ikatan atasdasar kebangsaan seperti yang terwujud dalam
Gabungan Politik Indonesia (GAPI) maupun atas dasar ideologi keagamaan seperti terlihat pada
majelisIslam Ala Indonesia (MIAI).Pada masa pendudukan militer Jepang, kegiatan kepartaian
dilarang, kecuali MIAI yang diperkenankan terus berdiri edngan cara menyesuaikan AD/ART
nya dengan keinginan perang Asia Timur raya. Namun ternyata MIAI juga tidak dapat
bertahan lama, karena kegiatan-kegiatan MIAIdicurigai Jepang. MIAI lalu dibubarkan dan
pemerintah pendudukan Jepangmenggantikannya dengan Masyumi (1943).Pada awal
proklamasi, PPKI merencanakan membentuk partai tunggal (partai negara) dengan sebutan
Partai Nasional Indonesia yang sama sekali tidak ada hubungan dengan PNI. Gagasan partai
tunggal ini diprakarsai Soekarno sebetulnya tidak begitu disokong oleh Bung
Hatta. Halitu barangkali karena partai tunggal mirip dengan bentuk kepartaian di negarakomunis,
yang dalam aktivitasnya cenderung diktator. Dalam kenyataannya rencana partai tunggal ini juga
terwujud antara lain karena KNIP mampu mengorganisir massa untuk membela
eksistensi proklamasi. Penentangan terhadap gagasan partai tunggal diperlihatkan lagi
dengan usulan politik Badan Pekerja KNIP kepada wakil Presiden. Pemerintah merealisasi usul
Badan Pekerja ini melalui Maklumat Wakil Presiden tanggal 3 November 1945 yang memberi
kesempatan kepada masyarakatuntuk mendirikan partai politik. Sejak itu bermunculanlah
partai politik yang jumlahnya tanpa batas. Keadaan ini menjadi runyam karena sebagian
partai-partai ini menuntut untuk diberi tempat dalam pemerintahan dan KNIP.
Jika melihat jumlah partai yang diwakili dalam parlemen. Sekurang-kurangnya terdapat 27
partai politik. Partai-partai tersebut adalah:
1.
Masyumi (kemudian pecah : PSII menjadi partai politik sendiritahun 1947 dan NU tahun 1952).
2.
Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).
3.
Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (PERTI).
4.
Partai Kristen Indonesia (PARKINDO).
5.
Partai Katolik.
6.
Partai Nasional Indonesia (PNI).
7.
Persatuan Indonesia Raya (PIR).
8.
Partai Indonesia Raya (PARINDRA).
9.
Partai Rakyat Indonesia (PRI).
10.
Partai Demokrasi Rakyat (BANTENG).
11.
Partai Rakyat Nasional (PRN)
12.
Partai Wanita Rakyat (PWR).
19.
Demokrasi Indonesia (WDI.
20.
Partai Komunis Indonesia (PKI).
21.
Partai Sosialis Indonesia (PSI).
22.
Partai Murbaw.
23.
Partai Buruh (dua buah).
24.
Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (PERMAI).
25.
Partai Demokrasi Tionghoa Indonesia (PDTI).
26.
Partai Indo Nasional (PIN).
2.3
Proses Pemilihan Umum Tahun 1955 di Indonesia
2.3.1
Kampanye Partai Politik Tahun 1955
Kampanye Pemilu yang sangat sengit pada tahun 1955 berlangsung lama sekali yang
memperuncing konflik sosial di banyak daerah. Ketiadaan konsensus politik yang mencolok
pada masa kamanye itu menjadi jelas lagi pada masa pasca Pemilu, yaitu pada masa kabinet
Ali Sastroamidjojo kedua (Maret 1956-Maret 1957). Dari empat partai yang keluar sebagai
pemenang dalam Pemilu 1955, PNI, Masyumi, NU dan PKI, semuanya, kecuali PKI, diwakili
dalam kabinet Ali itu.Tetapi, konflik PNI dan Masyumi berjalan terus di dalam kabinet itu,
sehingga kabinet dilihat lemah dan kurang tegas. Hal itu menyuburkan lahan bagi beberapaaktor
politik yang dari dulu merasa diri dikesampingkan oleh sistem demokrasi parlementer. Yang
paling nyata Presiden Soekarno dan pimpinan tentara. Menarik pula perilaku para politikus saat
berkampanye.
Semua politikus, termasuk PM Burhanudin Harahap dan para menteri yang menjadi
calon
anggota DPR, tidak pernah menggunakan fasilitas negara maupun memanfaatkan otoritasnya
sebagai pejabat negara. Mereka juga tidak pernah meminta pejabat di bawahnya
untuk menggiring masyarakat masyarakat pemilih untuk mengambil sikap yang menguntungkan
partainya.
Sebab,
mereka
tak
menganggap
sesama pejabat negara sebagai pesaing yang menakutkan. Selain itu, tak ada gelagat dari pejabat
negara tertentu untuk menghalalkan segala cara selama mengikuti kampanye. Teladan para
pejabat pada masa lalu inilah yang kita rindukan bersama saat ini. Tidak diketahui pasti berapa
lama masa kampanye pada Pemilu 1955.Ditinjau dari pelaksanaannya, pemilihan umum ini
dapat dikatakan berjalan secara bersih, jujur, aman dan tertib (Sair, 2005: 44).
2.3.2
Proses Pemilu
Pada November tahun 1952, Kabinet Wilopo mengajukan rancangan undang-undang
pemilihan umum baru. Sistem perwakilan proporsional diajukan kepada parlemen dan disetujui
secara aklamasi. Undang-undang tersebut membagi Indonesia ke dalam 16 daerah
pemilihan. Pendaftaran pemilih mulai dilaksanakan pada Mei 1994 dan baru selesai pada
November. Ada 43.104.464 warga yang memenuhi syarat masuk bilik suara. Dari jumlah itu,
sebanyak 87,65% atau 37.875.299 yang menggunakan hak pilihnya pada saat itu. Pada
Pemilu pertama tahun1955, Indonesia menggunakan sistem proporsional yang tidak
murni. Proposionalitas penduduk dengan kuota 1; 300.000.Tidak kurang dari 80 partai politik,
organisasi
massa,
dan
TNI-APRI,
juga
menggunakan
hak
pilihnya berdasarkan peraturan yang
berlaku ketika itu. Pada pelaksanaan Pemilu pertama, dibagi menjadi 16
daerahpemilihan yang meliputi 208 daerah kabupaten, 2.139 kecamatan, dan 43.429 desa.
Dengan perbandingan setiap 300.000 penduduk diwakili seorang wakil. Pemilu pertama ini diiku
ti oleh banyak partai politik karena pada saat itu pada saat itu NKRImenganut kabinet multi
partai sehingga DPR hasil Pemilu terbagi kedalam beberapa fraksi (Mustofa, 2013.
Dalam http://www.academia.edu/
3623682/Pemilu_1955_Pesta_
Demokrasi_Pertama_Indonesia,
diakses pada tanggal 17 Maret 2015 Pukul 23.55 WIB).
2.1
Hasil Pemilihan Umum tahun 1955 di Indonesia
2.4.1
Hasil Pemilu Tahap 1 (29 September 1955)
Dari 172 kontestan Pemilu 1955, hanya 28 kontestan (tiga diantaranya perseorangan) yang
berhasil
memperoleh
kursi.
Empat
partai besar secara
berturut-turut memenangkan kursi: Partai Nasional Indonesia (57 kursi/22,3%), Masyumi (57
kursi/20,9%), Nahdlatul Ulama (45 kursi/18,4%), dan Partai Komunis Indonesia (39
kursi/15,4%). Keseluruhan kursi yang diperoleh adalah sebesar 257 kursi. Tiga kursi sisa
diberikan pada wakil Irian Barat yang keanggotaannya diangkat Presiden. Selain itu diangkat
juga 6 anggota parlemen mewakili Tonghoa dan 6 lagi mewakili Eropa. Dengan demikian
keseluruhan anggota DPR hasil Pemilu 1955 adalah 272 orang.
2.4.2
2.4.2 Hasil Pemilu Tahap 2 (15 Desember 1955)
Jumlah kursi anggota Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi diIrian Barat yang
memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan. Maka kursi yang dipilih hanya 514. Hasil pemilihan
anggota Dewan Konstituante menunjukkan bahwa PNI, NU dan PKI meningkat
dukungannya, sementara Masyumi, meski tetap menjadi pemenang kedua, perolehan suaranya
merosot 114.267 dibanding-kan suara yang diperoleh dalam pemilihan anggota DPR.
Sebenarnya hasil pemilihan tahun 1955 itu memperlihatkan keampuhan strategi yang
dikembangkan PKI, yang muncul sebagai pemenang no.4, Ini membuktikan, upaya PKI
,meluaskan pengaruhnya melalui penggalangan masa sangat berhasil. Dari hasil perolehan suara
itu, kekuatan PKI ternyata terdapat di Jawa ( seperti halnya PNI dan NU). Keberhasilan itu juga
karena PKI merangkul bung Karno dalam setiap permasalahan politik. Kebetulan Bung Karno
tidak sejalan dengan pemikiran Hatta dalam masalah politik dan ekonomi sangat
menguntungkan PKI yang memandangmaslah itu dari sudut ediologinya sendiri (Sair, 2005: 44).
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
1955, PNI,Masyumi, NU dan PKI, semuanya, kecuali PKI, diwakili dalam kabinetAli
Sastroamidjojo. Pada November tahun 1952, Kabinet Wilopo mengajukan rancangan
undang-undang pemilihan umum baru. Sistem perwakilan proporsional diajukan kepada parlemen dan
disetujui secara aklamasi. Undang-undang tersebut membagi Indonesia ke dalam 16 daerah
pemilihan. Pendaftaran
pemilih
dilakukanpada Mei 1954 dan baru selesai pada November. Ada 43.104.464 pemilih yangsesuai
dengan syarat masuk bilik suara.
3.2
Saran
Sebagai manusia yang mempunyai kelebihan dan kekurangan kami yakin para pembaca
juga ingin lebih mengerti tentang pemilihan umun pada tahun 1955 di Indonesia, maka kami
menyarankan para pembaca memperbanyak membaca dari sumber-sumber yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.academia.edu/
3623682/Pemilu_1955_
Pesta_Demokrasi_Pertama_Indonesia, diakses
pada tanggal 17 Maret 2015 Pukul 23.55 WIB
Poesponegoro, Marwati Djoened. 2008. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka,
halaman 317.
Sair, Alian. 2005. Sejarah Nasional Indonesia VI. Palembang: Perpustakaan Prodi Sejarah FKIP
Universitas Sriwijaya, halaman 40-50.
Sejarah Pemilu di Indonesia dan Hasil Pemilu Tahun 1955,
1971, 1977, 1982, 1999 dan 2004
15:08:00
Sejarah Pemilu di Indonesia Tahun 1955 - Ini merupakan pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Waktu itu Republik Indonesia berusia 10 tahun. Kalau dikatakan pemilu merupakan syarat minimal bagi adanya demokrasi, apakah berarti selama 10 tahun itu Indonesia benar-benar tidak demokratis? Tidak mudah juga menjawab pertanyaan tersebut. Yang jelas, sebetulnya sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, pemerintah waktu itu sudah menyatakan keinginannya untuk bisa menyelenggarakan pemilu pada awal tahun 1946. Hal itu dicantumkan dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan par-tai-partai politik. Maklumat tersebut menyebutkan, pemilu untuk memilih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Kalau kemudian ternyata pemilu pertama tersebut baru terselenggara hampir sepuluh tahun setelah kemudian tentu bukan tanpa sebab.
Tetapi, berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan oleh Maklumat X, pemilu 1955 dilakukan dua kali. Yang pertama, pada 29 September 1955 untuk memilih anggota-anggota DPR. Yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Dalam Maklumat X hanya disebutkan bahwa pemilu yang akan diadakan Januari 1946 adalah untuk memilih anggota DPR dan MPR, tidak ada Konstituante.
Keterlambatan dan penyimpangan tersebut bukan tanpa sebab pula. Ada kendala yang bersumber dari dalam negeri dan ada pula yang berasal dari faktor luar negeri. Sumber penyebab dari dalam antara lain ketidaksiapan pemerintah menyelenggarakan pemilu, baik karena belum tersedianya perangkat perundang- undangan untuk mengatur penyelenggaraan pemilu maupun akibat rendahnya stabilitas keamanan negara. Dan yang tidak kalah pentingnya, penyebab dari dalam itu adalah sikap pemerintah yang enggan menyelenggarakan perkisaran (sirkulasi) kekuasaan secara teratur dan kompetitif. Penyebab dari luar antara lain serbuan kekuatan asing yang mengharuskan negara ini terlibat peperangan.
Tidak terlaksananya pemilu pertama pada bulan Januari 1946 seperti yang diamanatkan oleh Maklumat 3 Nopember 1945, paling tidak disebabkan 2 (dua) hal:
2. Belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat konflik internal antar kekuatan politik yang ada pada waktu itu, apalagi pada saat yang sama gangguan dari luar juga masih mengancam. Dengan kata lain para pemimpin lebih disibukkan oleh urusan konsolidasi.
Namun, tidaklah berarti bahwa selama masa konsolidasi kekuatan bangsa dan perjuangan mengusir penjajah itu, pemerintah kemudian tidak berniat untuk menyelenggarakan pemilu. Ada indikasi kuat bahwa pemerintah punya keinginan politik untuk menyelenggarakan pemilu. Misalnya adalah dibentuknya UU No. UU No 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 tentang Pemilu. Di dalam UU No 12/1949 diamanatkan bahwa pemilihan umum yang akan dilakukan adalah bertingkat (tidak langsung). Sifat pemilihan tidak langsung ini didasarkan pada alasan bahwa mayoritas warganegara Indonesia pada waktu itu masih buta huruf, sehingga kalau pemilihannya langsung dikhawatirkan akan banyak terjadi distorsi.
Kemudian pada paruh kedua tahun 1950, ketika Mohammad Natsir dari Masyumi menjadi Perdana Menteri, pemerintah memutuskan untuk menjadikan pemilu sebagai program kabinetnya. Sejak itu pembahasan UU Pemilu mulai dilakukan lagi, yang dilakukan oleh Panitia Sahardjo dari Kantor Panitia Pemilihan Pusat sebelum kemudian dilanjutkan ke parlemen. Pada waktu itu Indonesia kembali menjadi negara kesatuan, setelah sejak 1949 menjadi negara serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS).
Setelah Kabinet Natsir jatuh 6 bulan kemudian, pembahasan RUU Pemilu dilanjutkan oleh pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo, juga dari Masyumi. Pemerintah ketika itu berupaya menyelenggarakan pemilu karena pasal 57 UUDS 1950 menyatakan bahwa anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum.
tahun 1949 yang mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung) bagi anggota DPR tidak berlaku lagi.
Patut dicatat dan dibanggakan bahwa pemilu yang pertama kali tersebut berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis. Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari negara-negara asing. Pemilu ini diikuti oleh lebih 30-an partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan.
Yang menarik dari Pemilu 1955 adalah tingginya kesadaran berkompetisi secara sehat. Misalnya, meski yang menjadi calon anggota DPR adalah perdana menteri dan menteri yang sedang memerintah, mereka tidak menggunakan fasilitas negara dan otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk menggiring pemilih yang menguntungkan partainya. Karena itu sosok pejabat negara tidak dianggap sebagai pesaing yang menakutkan dan akan memenangkan pemilu dengan segala cara. Karena pemilu kali ini dilakukan untuk dua keperluan, yaitu memilih anggota DPR dan memilih anggota Dewan Konstituante, maka hasilnya pun perlu dipaparkan semuanya.
Tabel 1
Sumber: http//www.id.wikipedia.org/pemilu_1955
Periode Demokrasi Terpimpin
Sangat disayangkan, kisah sukses Pemilu 1955 akhirnya tidak bisa dilanjutkan dan hanya menjadi catatan emas sejarah. Pemilu pertama itu tidak berlanjut dengan pemilu kedua lima tahun berikutnya, meskipun tahun 1958 Pejabat Presiden Sukarno sudah melantik Panitia Pemilihan Indonesia II.
meminjam istilah Prof. Ismail Sunny -- sebagai kekuasaan negara bukan lagi mengacu kepada democracy by law, tetapi democracy by decree.
Otoriterianisme pemerintahan Presiden Soekarno makin jelas ketika pada 4 Juni 1960 ia membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, setelah sebelumnya dewan legislatif itu menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Presiden Soekarno secara sepihak dengan senjata Dekrit 5 Juli 1959 membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS) yang semua anggotanya diangkat presiden.
Pengangkatan keanggotaan MPR dan DPR, dalam arti tanpa pemilihan, memang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Karena UUD 1945 tidak memuat klausul tentang tata cara memilih anggota DPR dan MPR. Tetapi, konsekuensi pengangkatan itu adalah terkooptasi-nya kedua lembaga itu di bawah presiden. Padahal menurut UUD 1945, MPR adalah pemegang kekuasaan tertinggi, sedangkan DPR sejajar dengan presiden.
Sampai Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS melalui Sidang Istimewa bulan Maret 1967 (Ketetapan XXXIV/MPRS/ 1967) setelah meluasnya krisis politik, ekonomi dan sosial pasca kudeta G 30 S/PKI yang gagal semakin luas, rezim yang kemudian dikenal dengan sebutan Demokrasi Terpimpin itu tidak pernah sekalipun menyelenggarakan pemilu. Malah tahun 1963 MPRS yang anggotanya diangkat menetapkan Soekarno, orang yang mengangkatnya, sebagai presiden seumur hidup. Ini adalah satu bentuk kekuasaan otoriter yang mengabaikan kemauan rakyat tersalurkan lewat pemilihan berkala.
Sejarah
Pemilu Tahun 1971
Sebagai pejabat presiden Soeharto tetap menggunakan MPRS dan DPR- GR bentukan Bung Karno, hanya saja ia melakukan pembersihan lembaga tertinggi dan tinggi negara tersebut dari sejumlah anggota yang dianggap berbau Orde Lama.
Pada prakteknya Pemilu kedua baru bisa diselenggarakan tanggal 5 Juli 1971, yang berarti setelah 4 tahun Soeharto berada di kursi kepresidenan. Pada waktu itu ketentuan tentang kepartaian (tanpa UU) kurang lebih sama dengan yang diterapkan Presiden Soekarno.
UU yang diadakan adalah UU tentang pemilu dan susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Menjelang pemilu 1971, pemerintah bersama DPR GR menyelesaikan UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Penyelesaian UU itu sendiri memakan waktu hampir tiga tahun.
Hal yang sangat signifikan yang berbeda dengan Pemilu 1955 adalah bahwa para pejabat negara pada Pemilu 1971 diharuskan bersikap netral. Sedangkan pada Pemilu 1955 pejabat negara, termasuk perdana menteri yang berasal dari partai bisa ikut menjadi calon partai secara formal. Tetapi pada prakteknya pada Pemilu 1971 para pejabat pemerintah berpihak kepada salah satu peserta Pemilu, yaitu Golkar. Jadi sesungguhnya pemerintah pun merekayasa ketentuan-ketentuan yang menguntungkan Golkar seperti menetapkan seluruh pegawai negeri sipil harus menyalurkan aspirasinya kepada salah satu peserta Pemilu itu.
Jelasnya, pembagian kursi pada Pemilu 1971 dilakukan dalam tiga tahap, ini dalam hal ada partai yang melakukan stembus accoord. Tetapi di daerah pemilihan yang tidak terdapat partai yang melakukan stembus acccord, pembagian kursi hanya dilakukan dalam dua tahap.
Tahap pembagian kursi pada Pemilu 1971 adalah sebagai berikut. Pertama, suara partai dibagi dengan kiesquotient di daerah pemilihan. Tahap kedua, apabila ada partai yang melakukan stembus accoord, maka jumlah sisa suara partai-partai yang menggabungkan sisa suara itu dibagi dengan kiesquotient. Pada tahap berikutnya apabila masih ada kursi yang tersisa masing-masing satu kursi diserahkan kepada partai yang meraih sisa suara terbesar, termasuk gabungan sisa suara partai yang melakukan stembus accoord dari perolehan kursi pembagian tahap kedua. Apabila tidak ada partai yang melakukan stembus accoord, maka setelah pembagian pertama, sisa kursi dibagikan langsung kepada partai yang memiliki sisa suara terbesar.
Namun demikian, cara pembagian kursi dalam Pemilu 1971 menyebabkan tidak selarasnya hasil perolehan suara secara nasional dengan perolehan keseluruhan kursi oleh suatu partai. Contoh paling gamblang adalah bias perolehan kursi antara PNI dan Parmusi. PNI yang secara nasional suaranya lebih besar dari Parmusi, akhirnya memperoleh kursi lebih sedikit dibandingkan Parmusi. Untuk lebih jelasnya lihat tabel di bawah ini.
Tabel 2
Sumber: data pemilu 1971 (LPU); daftar pembagian kursi hasil pemilihan umum anggota DPR RI 1971.
Pemilu Tahun
1977
Pemungutan suara Pemilu 1977 dilakukan 2 Mei 1977. Cara pembagian kursi masih dilakukan seperti dalam Pemilu 1971, yakni mengikuti sistem proporsional di daerah pemilihan. Dari 70.378.750 pemilih, suara yang sah mencapai 63.998.344 suara atau 90,93 persen. Dari suara yang sah itu Golkar meraih 39.750.096 suara atau 62,11 persen. Namun perolehan kursinya menurun menjadi 232 kursi atau kehilangan 4 kursi dibandingkan Pemilu 1971.
PPP berhasil menaikkan 17 kursi dari Sumatera, Jakarta, Jawa Barat dan Kalimantan, tetapi kehilangan 12 kursi di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Secara nasional tambahan kursi hanya 5.
PDI juga merosot perolehan kursinya dibanding gabungan kursi partai- partai yang berfusi sebelumnya, yakni hanya memperoleh 29 kursi atau berkurang 1 kursi di banding gabungan suara PNI, Parkindo dan Partai Katolik.
Selengkapnya perolehan kursi dan suara tersebut bisa dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 3
Hasil Pemilu 1977
Sumber: data pemilu 1977 (LPU); daftar pembagian kursi hasil pemilihan umum anggota DPR RI 1977.
Pemilu Tahun 1982
Tabel 4
Hasil pemilu 1982
Sumber: data pemilu 1982 (LPU); daftar pembagian kursi hasil pemilihan umum anggota DPR RI 1982.
Pemilu Tahun 1987
Pemungutan suara Pemilu 1987 diselenggarakan tanggal 23 April 1987 secara serentak di seluruh tanah air. Dari 93.737.633 pemilih, suara yang sah mencapai 85.869.816 atau 91,32 persen. Cara pembagian kursi juga tidak berubah, yaitu tetap mengacu pada Pemilu sebelumnya.
Hasil Pemilu kali ini ditandai dengan kemerosotan terbesar PPP, yakni hilangnya 33 kursi dibandingkan Pemilu 1982, sehingga hanya mendapat 61 kursi. Penyebab merosotnya PPP antara lain karena tidak boleh lagi partai itu memakai asas Islam dan diubahnya lambang dari Ka'bah kepada Bintang dan terjadinya penggembosan oleh tokoh- tokoh unsur NU, terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Tabel 5
Hasil Pemilu 1987
Sumber: data pemilu 1987 (LPU); daftar pembagian kursi hasil pemilihan umum anggota DPR RI 1987.
Sejarah Pemilu Tahun 1992
Cara pembagian kursi untuk Pemilu 1992 juga masih sama dengan Pemilu sebelumnya. Hasil Pemilu yang pemungutan suaranya dilaksanakan tanggal 9 Juni 1992 ini pada waktu itu agak mengagetkan banyak orang. Sebab, perolehan suara Golkar kali ini merosot dibandingkan Pemilu 1987. Kalau pada Pemilu 1987 perolehan suaranya mencapai 73,16 persen, pada Pemilu 1992 turun menjadi 68,10 persen, atau merosot 5,06 persen. Penurunan yang tampak nyata bisa dilihat pada perolehan kursi, yakni menurun dari 299 menjadi 282, atau kehilangan 17 kursi dibanding pemilu sebelumnya.
Yang berhasil menaikkan perolehan suara dan kursi di berbagai daerah adalah PDI. Pada Pemilu 1992 ini PDI berhasil meningkatkan perolehan kursinya 16 kursi dibandingkan Pemilu 1987, sehingga menjadi 56 kursi. Ini artinya dalam dua pemilu, yaitu 1987 dan 1992, PDI berhasil menambah 32 kursinya di DPR RI.
Tabel 6
Hasil Pemilu 1992
Sumber: data pemilu 1992 (LPU); daftar pembagian kursi hasil pemilihan umum anggota DPR RI 1992.
Sejarah Pemilu Tahun 1997
Sampai Pemilu 1997 ini cara pembagian kursi yang digunakan tidak berubah, masih menggunakan cara yang sama dengan Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, dan 1992. Pemungutan suara diselenggarakan tanggal 29 Mei 1997. Hasilnya menunjukkan bahwa setelah pada Pemilu 1992 mengalami kemerosotan, kali ini Golkar kembali merebut suara pendukungnya. Perolehan suaranya mencapai 74,51 persen, atau naik 6,41. Sedangkan perolehan kursinya meningkat menjadi 325 kursi, atau bertambah 43 kursi dari hasil pemilu sebelumnya.
Sedangkan PDI, yang mengalami konflik internal dan terpecah antara PDI Soerjadi dengan Megawati Soekarnoputri setahun menjelang pemilu, perolehan suaranya merosot 11,84 persen, dan hanya mendapat 11 kursi, yang berarti kehilangan 45 kursi di DPR dibandingkan Pemilu 1992.
Tabel 7
Hasil Pemilu 1997
Sumber: data pemilu 1997 (LPU); daftar pembagian kursi hasil pemilihan umum anggota DPR RI 1997.
Pemilu kali ini diwarnai banyak protes. Protes terhadap kecurangan terjadi di banyak daerah. Bahkan di Kabupaten Sampang, Madura, puluhan kotak suara dibakar massa karena kecurangan penghitungan suara dianggap keterlaluan. Ketika di beberapa tempat di daerah itu pemilu diulang pun, tetapi pemilih, khususnya pendukung PPP, tidak mengambil bagian.
Sejarah Pemilu Tahun 1999
kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru.
Ini berarti bahwa dengan pemilu dipercepat, yang terjadi bukan hanya bakal digantinya keanggotaan DPR dan MPR sebelum selesai masa kerjanya, tetapi Presiden Habibie sendiri memangkas masa jabatannya yang seharusnya berlangsung sampai tahun 2003, suatu kebijakan dari seorang presiden yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Sebelum menyelenggarakan Pemilu yang dipercepat itu, pemerintah mengajukan RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Ketiga draft UU ini disiapkan oleh sebuah tim Depdagri, yang disebut Tim 7, yang diketuai oleh Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid (Rektor IIP Depdagri, Jakarta).
Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya adalah wakil dari partai politik dan wakil dari pemerintah. Satu hal yang secara sangat menonjol membedakan Pemilu 1999 dengan Pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971 adalah Pemilu 1999 ini diikuti oleh banyak sekali peserta. Ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Peserta Pemilu kali ini adalah 48 partai. Ini sudah jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah partai yang ada dan terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM, yakni 141 partai.
Meskipun masa persiapannya tergolong singkat, pelaksanaan pemungutan suara pada Pemilu 1999 ini bisa dilakukan sesuai jadwal, yakni tanggal 7 Juni 1999. Tidak seperti yang diprediksikan dan dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya, ternyata Pemilu 1999 bisa terlaksana dengan damai, tanpa ada kekacauan yang berarti. Hanya di beberapa Daerah Tingkat II di Sumatera Utara yang pelaksanaan pemungutan suaranya terpaksa diundur suara satu pekan. Itu pun karena adanya keterlambatan atas datangnya perlengkapan pemungutan suara. Tetapi tidak seperti pada pemungutan suara yang berjalan lancar, tahap penghitungan suara dan pembagian kursi pada Pemilu kali ini sempat menghadapi hambatan. Pada tahap penghitungan suara, 27 partai politik menolak menandatangani berita acara perhitungan suara dengan dalih Pemilu belum jurdil (jujur dan adil). Sikap penolakan tersebut ditunjukkan dalam sebuah rapat pleno
KPU. Ke-27 partai tersebut adalah sebagai berikut:
Partai yang Tidak Menandatangani
Tabel 8
Karena ada penolakan, dokumen rapat KPU kemudian diserahkan pimpinan KPU kepada presiden. Oleh presiden hasil rapat dari KPU tersebut kemudian diserahkan kepada Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu). Panwaslu diberi tugas untuk meneliti keberatan-keberatan yang diajukan wakil-wakil partai di KPU yang berkeberatan tadi. Hasilnya, Panwaslu memberikan rekomendasi bahwa pemilu sudah sah. Lagipula mayoritas partai tidak menyertakan data tertulis menyangkut keberatan-keberatannya. Presiden kemudian juga menyatakan bahwa hasil pemilu sah. Hasil final pemilu baru diketahui masyarakat tanggal 26 Juli 1999.
Setelah disahkan oleh presiden, PPI (Panitia Pemilihan Indonesia) langsung melakukan pembagian kursi. Pada tahap ini juga muncul masalah. Rapat pembagian kursi di PPI berjalan alot. Hasil pembagian kursi yang ditetapkan Kelompok Kerja PPI, khususnya pembagian kursi sisa, ditolak oleh kelompok partai Islam yang melakukan stembus accoord. Hasil Kelompok Kerja PPI menunjukkan, partai Islam yang melakukan stembus accoord hanya mendapatkan 40 kursi. Sementara Kelompok stembus accoord 8 partai Islam menyatakan bahwa mereka berhak atas 53 dari 120 kursi sisa.
tanpa stembus accoord. Hanya 12 suara yang mendukung opsi pertama, sedangkan yang mendukung opsi kedua 43 suara. Lebih dari 8 partai walk out. Ini berarti bahwa pembagian kursi dilakukan tanpa memperhitungkan lagi stembus accoord.
Berbekal keputusan KPU tersebut, PPI akhirnya dapat melakukan pembagian kursi hasil pemilu pada tanggal 1 September 1999. Hasil pembagian kursi itu menunjukkan, lima partai besar memborong 417 kursi DPR atau 90,26 persen dari 462 kursi yang diperebutkan.
Sebagai pemenangnya adalah PDI-P yang meraih 35.689.073 suara atau 33,74 persen dengan perolehan 153 kursi. Golkar memperoleh 23.741.758 suara atau 22,44 persen sehingga mendapatkan 120 kursi atau kehilangan 205 kursi dibanding Pemilu 1997. PKB dengan 13.336.982 suara atau 12,61 persen, mendapatkan 51 kursi. PPP dengan 11.329.905 suara atau 10,71 persen, mendapatkan 58 kursi atau kehilangan 31 kursi dibanding Pemilu 1997. PAN meraih 7.528.956 suara atau 7,12 persen, mendapatkan 34 kursi.19 http//www.kpu.go.id Di luar lima besar, partai lama yang masih ikut, yakni PDI merosot tajam dan hanya meraih 2 kursi dari pembagian kursi sisa, atau kehilangan 9 kursi dibanding Pemilu 1997. Selengkapnya hasil perhitungan pembagian kursi itu seperti terlihat dalam tabel di bawah.
Tabel 9
Sumber: http//www.kpu.go.id
Pemilu Tahun 2004
orang pemilih terdaftar, 124.420.339 orang (84,07%) menggunakan hak pilihnya. Dari total jumlah suara, 113.462.414 suara (91,19%) dinyatakan sah. Berikut perinciannya:
Tabel 10
Daftar Pustaka Makalah Sejarah Pemilu di Indonesia
PEMILU TAHUN 1955
PEMILU MERUPAKAN
:
1.
Sarana politik untuk mewujudkan kehendak rakyat kepada negara dalam
sistem demokrasi Pancasila adalah melalui Pemilihan Umum (Pemilu).
2.
Rakyat sebagai pemegang kedaulatan berhak menentukan warna dan
bentuk pemerintahan serta tujuan yang hendak dicapai, sesuai dengan
konstitusi yang berlaku.
Dalam pasal 1 ayat 2 UUD1945 disebutkan "Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar"
TUJUAN PEMILU
1.
Melaksanakan kedaulatan rakyat
2.
Sebagai perwujudan hak asasi politik rakyat
3.
Untuk memilih wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR, DPRD, DPD serta memilih
Presiden dan Wakil Presiden
4.
Melaksanakan pergantian personal pemerintahan secara damai, aman, dan tertib
Pemilu tahun 1955, Pemilu pertama kali ini diselenggarakan pada masa sistem
pemerintahan negara berdasarkan demokrasi parlementer dengan konstitusi UUDS 1950,
PELAKSANAAN PEMILU TAHUN 1955
Pemilihan Umum Anggota DPR dan Konstituante Indonesia 1955
Pemilihan Umum Indonesia 1955 adalah pemilihan umum pertama di Indonesia dan
diadakan pada tahun 1955. Pemilu ini sering dikatakan sebagai pemilu Indonesia yang
paling demokratis.
Pemilu ini dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo.
Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala
pemerintahan kemudian dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.
Hasil Pemilu 1955
Peserta pemilu 1955 yang berjumlah 29 partai memperoleh kursi masing-masing sebagai
berikut :
5 besar dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia (PNI) mendapatkan 57 kursi
DPR dan 119 kursi Konstituante (22,3 persen), Masyumi (Majelis Syuro Muslimin
Indonesia) 57 kursi DPR dan 112 kursi Konstituante (20,9 persen), Nahdlatul Ulama (NU)
45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante (18,4 persen), Partai Komunis Indonesia (PKI) 39
kursi DPR dan 80 kursi Konstituante (16,4 persen), dan Partai Syarikat Islam Indonesia
(PSII) 8 kursi DPR dan 16 kursi Konstituante (2,89 persen).
Partai-partai lainnya, mendapat kursi DPR di bawah 10. Yaitu PSII (Partai Syarikat Islam
Indonesia) 8 kursi, Parkindo (Partai Kristen Indonesia) 8 kursi, Partai Katolik 6 kursi, Partai
Sosialis Indonesia (PSI) 5 kursi. Dua partai mendapat 4 kursi (IPKI / Ikatan Pendukung
Kemerdekaan Indonesia dan Perti / Pergerakan Tarbiyah Islamiyah). 6 partai mendapat 2
kursi (PRN / Partai Rakyat Nasional, Partai Buruh, GPPS / Gerakan Pembela Panca Sila,
PRI / Partai Rakyat Indonesia, PPPRI / Persatuan Pegawai Polisi RI, dan Murba). Sisanya,
12 partai, mendapat 1 kursi (Baperki, PIR (Persatuan Indonesia Raya) Wongsonegoro, PIR
(Persatuan Indonesia Raya) Hazairin, Grinda, Permai (Persatuan Rakyat Marhaen
Indonesia), Partai Persatuan Dayak, PPTI (Partai Politik Tarikat Islam), AKUI, PRD
(Persatuan Rakyat Desa), PRIM (Partai Republik Indonesis Merdeka), ACOMA (Angkatan
Comunis Muda) dan R. Soedjono Prawirisoedarso.
Pemilu pertama ini berdasarkan UU No. 7 tahun 1953 dan dilaksanakan dengan PP No. 9
tahun 1954, Pemilu tahun 1955 diadakan dua tahap:
TAHAPA KE I.
tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR ( Parlemen )
TAHAP KE II.
tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante
TUGAS KONSTITUANTE
UNTUK MERUMUSKAN UUD YANG BARU SEBAGAI PENGGANTI UUD S 1950
Pemilu diikuti oleh 28 Partai Politik, jumlah anggota DPR
272 dan anggotakonstituante berjumlah 542.
Perdana Menteri Ali Sastro Atmijayo, sedang berkampaye dari parta Partai Nasional
Indonesia.
Kampanye PSI (Partai Sosialis Indonesia) bersama mantan Perdana
Menteri Sutan Syahrir. Di Bali PSI menjadi partai terbesar kedua setelah PNI (Partai
Nasionalis
Indonesia).
KESIMPULAN
PEMILU TAHUN 1955 MASA ORLA SUKSES DILAKSANAKAN SESUAI DENGAN
ASAS DEMOKRASI, TETAPI TIDAK MEMENUHI HARAPAN RAKYAT
DIKARENAKAN
- TERJADINYA PERTIKAIAN ANTAI PARPOL
- MASING-MASING PARPOL HANYA MENTINGKANKAN KEPENTINGAN SENDIRI
Sejarah Pemilu 1955
Pemilu 1955 merupakan pemilu pertama yang dilakukan oleh pemerintah indonesia
dalam sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia yang baru berusia 10 (sepuluh) tahun. Sebenarnya
sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada 17
Agustus 1945, pemerintah waktu itu sudah menyatakan keinginannya untuk bisa
menyelenggarakan pemilu pada awal tahun 1946. Hal ini ditandai dengan Maklumat Wakil
Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945.
Isi dari maklumat tersebut adalah himbauan untuk melaksanakan pemilu. Adapun bunyi
Maklumat Pemerintah 3 November 1945 adalah sebagai berikut:
1.
Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik, karena dengan adanya partai-partai itulah
dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran paham yang ada dalam masyarakat.
2.
Pemerintah berharap supaya partai-partai itu telah tersusun sebelum dilangsungkan pemilihan
anggota Badan-badan Perwakilan Rakyat. Pemilihan ini diharapkan dapat dilakukan pada bulan
Januari 1946.
Tidak terlaksananya pemilu pertama pada bulan Januari 1946 seperti yang diamanatkan
oleh Maklumat 3 Nopember 1945, paling tidak disebabkan 2 (dua) hal :
1.
Belum siapnya pemerintah baru, termasuk dalam penyusunan perangkat UU Pemilu
2.
Belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat konflik internal antar kekuatan politik yang ada
pada waktu itu, apalagi pada saat yang sama gangguan dari luar juga masih mengancam. Dengan
kata lain para pemimpin lebih disibukkan oleh urusan konsolidasi. Namun, tidaklah berarti
bahwa selama masa konsolidasi kekuatan bangsa dan perjuangan mengusir penjajah itu,
pemerintah kemudian tidak berniat untuk menyelenggarakan pemilu. Ada indikasi kuat bahwa
pemerintah punya keinginan politik untuk menyelenggarakan pemilu.
A. Latar belakang diselenggarakannya pemilu tahun 1955 adalah :
b. Pertikaian internal, baik dalam lembaga politik maupun pemerintahan cukup menguras energi
dan perhatian.
c. Belum adanya UU Pemilu yang mengatur tentang pelaksanaan pemilu (UU Pemilu baru
disyahkan tanggal 4 April 1953 yang dirancang dan disyahkan oleh kabinet Wilopo). Sekalipun
masa kampanye dilakukan pada masa kabinet Ali, namun pemilu baru dapat dilaksanakan oleh
kabinet Burhanuddin Harahap.
Pemilu 1955 bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Jumlah
kursi DPR yang diperebutkan berjumlah 260, sedangkan kursi Konstituante berjumlah 520 (dua
kali lipat kursi DPR) ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah. Sesuai
tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
a.
Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan pada
tanggal
29 September
1955
, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu,
b.
Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini diselenggarakan
pada tanggal
15 Desember
1955
.
Selain pemilihan DPR dan Konstituante, juga diadakan pemilihan DPRD. Pemilu DPRD
dilaksanakan dalam dua tahap, Juni 1957 pemilu untuk Indonesia wilayah Barat, dan Juli 1957
untuk pemilu Indonesia wilayah Timur. Dengan dipisahnya waktu penyelenggaraan pemilu DPR,
Konstituante, dan DPRD, pemilu menjadi fokus. Konstituen pemilih bisa dengan cermat
menyimak materi kampanye dan lebih bisa menilai kualitas calon yang diusung oleh partai
peserta pemilu. Artinya konstituen pemilih memiliki pertimbangan yang lebih rasional sebelum
memilih, tidak sekedar memilih hanya karena kedekatan emosional. Pemilu diselenggarakan
secara sederhana karenanya tidak menyerap biaya negara terlalu besar. Pemilu tahun 1955
memperkenalkan asas jujur dan kebersamaan, langsung, umum, bebas, dan rahasia. Pemilu tahun
1955 menggunakan sistem proporsional yang mendorong multi partai. Pada pelaksanaannya,
pemilu ini diikuti oleh lebih 30 partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon
perorangan.
Pemilu 1955 dilaksanakan dengan asas :
a.
Jujur, artinya bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan per-undangan
yang berlaku
b.
Umum, artinya semua warga negara yang telah memenuhi persyaratan minimal dalam usia,
mempunyai hak memilih dan dipilih.
c.
Berkesamaan, artinya bahwa semua warga negara yang telah mempunyai hak pilih mempunyai
hak suara yang sama, yaitu masing-masing satu suara.
d.
Rahasia, artinya bahwa pemilih dalam memberikan suara dijamin tidak akan diketahui oleh
e.
Bebas, artinya bahwa setiap pemilih bebas menentukan pilihannya menurut hati nura-ninya,
tanpa ada pengaruh, tekanan, paksaan dari siapapun dan dengan cara apapun.
f.
Langsung, artinya bahwa pemilih langsung memberikan suaranya menurut hati nura-ninya, tanpa
perantara, dan tanpa tingkatan.
Diposkan oleh Veni inafariza di 20.49
Organisasi
REGIONAL I
N
o.
Kantor Perwakilan
Dalam Negeri Alamat Kota
Kodep
os Telepon Fax
1.
Provinsi Sumatra
Selatan
Jl. Jend. Sudirman
No. 510 Palembang 30126
(0711)
354188
(0711)
312013
2. Provinsi Bengkulu
Jl. Jend. Ahmad Yani
No. 1 Bengkulu 38116
(0736)
21735
(0736)
21736
3. Provinsi Lampung
Jl. Hasanuddin No.
38 Bandar Lampung 35211 (0721) 486355 (0721) 481131 4. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Jl. Jendral Sudirman
51 Pangkal Pinang 33121 ( 0717)4224 11 (0717) 422311 5. Provinsi Sumatra Barat
Jl. Jend. Sudirman
No. 22 Padang 25128
(0751)
31700
(0751)
27313
6. Provinsi Riau
Jl. Jend. Sudirman
No. 464 Pekanbaru 28126
(0761)
31055
(0761)
31046
7. Provinsi Jambi
Jl. Jend. Ahmad Yani
14, Telanaipura Jambi 36122
(0741) 62277 (0741) 62112 8. Provinsi Kepulauan Riau
Jl. Engku Putri No. 1
Batam Centre Batam 29432
(0778)
462280
(0778)
9.
Provinsi Sumatra
Utara Jl. Balai Kota No. 4 Medan 20111
(061)
4150500
(061)
4152777
10
. Provinsi Aceh
Jl. Cut Meutia No.
15 Banda Aceh
(0651)
33200
(0651)
34116
11
. Lhokseumawe Jl. Merdeka No. 1
Lhokseuma we 24312 (0645) 44000 (0645) 43581 12
. Pematang Siantar
Jl. H. Adam Malik
No. 1 Pematang Siantar 21116 (0622) 26999 (0622) 21555 13 . Sibolga
Jl. Kapten Maruli
Sitorus No. 8 Sibolga 22513
(0631) 22033 (0631) 22383
REGIONAL II
N o. Kantor PerwakilanDalam Negeri Alamat Kota
Kodep
os Telepon Fax
1. Provinsi Jawa Timur Jl. Pahlawan No. 105 Surabaya 60174
(031)
3520011
(031)
3520025
2. Malang
Jl. Merdeka Utara No.
7 Malang
(0341)
366054
(0341)
324820
3. Kediri Jl. Brawijaya No. 2 Kediri 64123
(0354)
682112
(0354)
696655
4. Jember
Jl. Gajah Mada No.
224 Jember 62133
(0331)
485478
(0331)
5. Provinsi Jawa Tengah
Jl. Imam Bardjo SH
No. 4 Semaran g (024) 8310246 (024) 8310339 6. Provinsi D.I. Yogyakarta Jl. Panembahan
Senopati No. 4 - 6
Yogyakart a 55121 (0274) 377755 (0274) 371706 7. Solo
Jl. Jend. Sudirman No.
4 Solo 57111
(0271)
647755
(0271)
647132
8. Purwokerto
Jl. Jend. Gatot
Subroto No. 98
Purwokert o 53116 (0281) 631632 (0281) 632601
9. Tegal Jl. Dr. Sutomo No. 55 Tegal
(0283)
350500
(0283)
356560
10
. Provinsi Jawa Barat Jl. Braga No. 108 Bandung 40111
(022)
4230223
(022)
4237787
11
. Provinsi Banten
Jl. Jayadiningrat
No.16 Serang 42115
(0254) 223788 (0254) 223875 12 . Cirebon
Jl. Yos Sudarso No. 5
-7 Cirebon (0231) 202684 (0231) 209135 13 . Tasikmalaya
Jl. Sutisna Senjaya
No. 19 Tasikmala ya 46112 (0265) 331813 (0265) 333528 14
Provinsi DKI Jakarta Jl. Juanda No. 28
Jakarta Pusat
Jakarta 10120 (021)
3514070
(021)
.
REGIONAL III
N
o.
Kantor Perwakilan
Dalam Negeri Alamat Kota
Kodep
os Telepon Fax
1.
Provinsi Kalimantan
Selatan
Jl. Lambung
Mangkurat No. 15
Banjarmas in 70111 (0511) 4368179 (0511) 3354678 2. Provinsi Kalimantan Timur
Jl. Gajah Mada No.
1 Samarind a 75122 (0541) 741022 (0541) 732644 3. Provinsi Kalimantan Tengah
Jl. Diponegoro No.
11 Palangkar aya 73111 (0536) 3222500 (0536) 3223855 4. Provinsi Kalimantan Barat
Jl. Ahmad Yani No.
2 Pontianak 78124
(0561)
734134
(0561)
732033
5. Balikpapan
Jl. Jend. Sudirman
No. 20 Balikpapa n 76111 (0542) 411355 (0542) 411354
REGIONAL IV
N o. Kantor PerwakilanDalam Negeri Alamat Kota
Kodep
os Telepon Fax
1.
Provinsi Sulawesi
Selatan
Jl. Jend. Sudirman
No. 3 Makassa r 90133 (0411) 3615188 (0411) 3615170 2. Provinsi Sulawesi Utara
Jl. 17 Agustus No.
56 Manado 95117
(0431)
868102
(0431)
3.
Provinsi Sulawesi
Tengah
Jl. Sam Ratulangi
No. 23 Palu
(0451) 421181 (0451) 421180 4. Provinsi Sulawesi Tenggara Jl. Sultan Hasanuddin No.
150 Kendari 93122
(0401) 312655 (0401) 3122718 5. Provinsi Sulawesi Barat
Jl. Andi P. Pettarani
No.1 Mamuju 91511
(0426)
22192
(0246)
21656
6. Provinsi Maluku
Jl. Raya Pattimura
No. 7 Ambon 97124
(0911)
352761
(0911)
356517
7. Provinsi Papua
Jl. Dr. Sam
Ratulangi No. 9 Jayapura
(0957)
534581
(0967)
535201
8. Provinsi Papua Barat Jl. Jogjakarta No.1
Manokw ari 98311 (0986) 216066 (0986) 216063
9. Provinsi Gorontalo
Jl. H. Nani
Wartabone No. 35
Gorontal o 96115 (0435) 824444 (0435) 827993 10
. Provinsi Maluku Utara
Jl. Yos Sudarso No.
1 Ternate (0921) 3121217 (0921) 3124017 11
. Provinsi Bali
Jl. Letda Tantular
No. 4 Renon
Denpasa r 80234 (0361) 248982 (0361) 222988 12 . Provinsi Nusa
Tenggara Barat Jl. Pejanggik No. 2 Mataram 83126
(0370)
623600
(0370)
631793
13