• Tidak ada hasil yang ditemukan

MACAM MACAM MUDHARABAH DAN PENDAPAT PARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MACAM MACAM MUDHARABAH DAN PENDAPAT PARA"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

MACAM-MACAM MUDHARABAH DAN PENDAPAT PARA ULAMA

Dosen Pengampu Imam Mustofa,S.H.I.,M.S.I

Disusun oleh

Susi Sumanti :1502100312 Semester / Kelas : III/ A

JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM PRODI S1 PERBANKAN SYARIAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) JURAI SIWO METRO

(2)

Abstrak

Makalah ini membahas tentang Mudharabah. Dalam makalah ini lebih

ditekankan kepada Macam-macam mudharabah dan Pandangan ulama. Kajian

tentang mudharabah penting untuk disajikan pada kelas Perbankan Syariah

karena mudharabah salah satu pembahasan yang ada dalam akad perbankan

syari,ah juga banyak diungkap dalam kitab-kitab fiqh klasik. Dewasa ini, wacana

tentang mudharabah menjadi semakin mencuat seiring dengan perkembangan

perbankan syari’ah. Dalam lembaga perbankan syariah itu, mudharabah menjadi

salah satu kunci penting dalam kajian-kajian lebih komprehensif mengenai

perbankan syari’ah. Apa yang dikenal dengan sistem bagi hasil sebagai alternatif

sistem bunga dalam perbankan sistem konvensional. Kajian dalam makalah ini

berdasarkan kajian dalam kitab, buku dan jurnal yang berkaitan langsung dengan

masalah mudharabah.

Pembahasan dalam makalah ini dimulai dari macam-macam

mudharabah dan pandangan ulama. Kita sepakat bahwa mudharabah

mengandung nilai-nilai luhur kemanusiaan dan perwujudan prinsif keadilan dalam

usaha ekonomi. Heterogenitas tingkat kemakmuran hidup manusia bagian dari

realitas kehidupan yang tak terbantahkan sepanjang masa. Mudharabah ada

untuk memberikan kesempatan agar heterogenitas itu tidak terlampau curam

menghubungkan golongan kaya dengan masyarakat miskin. Namun, eksistensi

dalam dunia modern belum menampakkan kontribusi yang signifikan. Perbankan

syari’ah sebagai penopang mudharabah tidak dapat berbuat banyak untuk

memberdayakannya. Pengertian mudharabah menurut al-Juzairi sebagaimana

dikutip oleh Zaenal Arifin dari segi etimologi (bahasa) Mudharabah adalah Suatu

perumpamaan (ibarat) Seseorang yang memberikan (menyerahkan) Harta

Benda (modal) kepada orang lain agar di gunakan perdagangan yang

menghasilkan keuntungan bersama dengan syarat-syarat tertentu dan jika

rugi,maka kerugian di tanggung pemilik modal.Mudharabah mempunyai landasan

dari Al-Qur,an, Al-Sunnah, ijma dan qiyas.

Ada dua macam mudharab ah. Kedua jenis tersebut adalah (taqi usmani,

t.th):

al-mudharabah al-muqayyadah atau mudharabah yang terbatas apabila

Rabb-ul mal menentukan bahwa mudarib hanya boleh berbisnis dalam bidang

(3)

bisnis di bidang tersebut dan tidak boleh pada bisnis di bidang yang lain.

Maksudnya yaitu si mudharib dibatasi dengan batasan batasan jenis usaha,

waktu, atau tempat usaha. Adanya pembatasan ini seringkali mencerminkan

kecenderungan umum si shahibul maal dalam memasuki jenis usaha.

al-mudharabah al-muthlaqah atau mudharabah yang mutlak atau tidak

terbatas apabila rabb-ul mal menyerahkan sepenuhnya kepada pertimbangan

mudarib untuk ke dalam bidang bisnis apa uang rabb-ul mal akan ditanamkan.

Secara umum transaksi mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerja

sama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan

tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Dalam

pembahasan fiqih ulama salafus saleh seringkali dicontohkan dengan ungkapan

if’al ma syi’ta (lakukanlah sesukamu) dari shahibul maal ke mudharib yang

memberi kekuasaan sangat besar.

Menurut mayoritas ulama termasuk Abu Hanifah, Imam Malik dan

kalangan Zaidiyah, pengelola modal berhak mendapatkan nafkah (living cost)

saat menjalankan usahanya, termasuk tempat tinggal, makan dan keperluan

lainnya. Hanya saja dia tidak berhak atas nafkah tersebutsaat dirumah atau

sedang tidak menjalankan usaha. Biaya nafkah tersebut bisa diambil dari modal

maupun dari keuntungan. Sementara menurut kalangan hambaliyah pengelola

modal diperbolehkan mensyaratkan adanya nafkahatau meminta nafkah kepada

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

Makalah ini membahas tentang Mudharabah. Dalam makalah ini lebih

ditekankan kepada Macam-macam mudharabah dan Pandangan ulama. Kajian

tentang mudharabah penting untuk disajikan pada kelas Perbankan Syariah

karena mudharabah salah satu pembahasan yang ada dalam akad perbankan

syari,ah juga banyak diungkap dalam kitab-kitab fiqh klasik. Dewasa ini, wacana

tentang mudharabah menjadi semakin mencuat seiring dengan perkembangan

perbankan syari’ah. Dalam lembaga perbankan syariah itu, mudharabah menjadi

salah satu kunci penting dalam kajian-kajian lebih komprehensif mengenai

perbankan syari’ah. Apa yang dikenal dengan sistem bagi hasil sebagai alternatif

sistem bunga dalam perbankan sistem konvensional. Kajian dalam makalah ini

berdasarkan kajian dalam kitab, buku dan jurnal yang berkaitan langsung dengan

masalah mudharabah.

Pembahasan dalam makalah ini dimulai dari macam-macam

mudharabah dan pandangan ulama. Kita sepakat bahwa mudharabah

mengandung nilai-nilai luhur kemanusiaan dan perwujudan prinsif keadilan dalam

usaha ekonomi. Heterogenitas tingkat kemakmuran hidup manusia bagian dari

realitas kehidupan yang tak terbantahkan sepanjang masa. Mudharabah ada

untuk memberikan kesempatan agar heterogenitas itu tidak terlampau curam

menghubungkan golongan kaya dengan masyarakat miskin. Namun, eksistensi

dalam dunia modern belum menampakkan kontribusi yang signifikan. Perbankan

syari’ah sebagai penopang mudharabah tidak dapat berbuat banyak untuk

(5)

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Mudharabah

Mudharabah adalah bahasa penduduk Irak dan qiradh atau muqaradhah

bahasa penduduk Hijaz1

. Namun pengertian qiradh dan mudharabah adalah satu

makna.

Mudharabah berasal dari kata al-dharb, yang berarti secara harfiah adaah

bepergian atau berjalan. Sebagai firman Allah SWT:

“Dan yang lainnya, bepergian di muka bumi mencari karunia Allah

(Al-Muzamil:20)”

Mudharabah menurut ilmu Fiqh Syafi’iyah adalah pemberian modal dari

pemilik dana kepada pengelola dana dengan tujuan agar dijalankan suatu usaha

karena keuntungan yang dapat dibagi sesuai dengan perjanjian akad di muka.

Hal ini sesuai dengan al-Qur’an surat al-Baqarah : 198,2

“Tiada dosa bagimu untuk mencari keuntungan dari Tuhanmu”

Mudharabah juga pernah dilaksanakan oleh Rosulullah, sebagai mana

dalam Hadist nabi (Nashiruddin, 1972),

“Dan sesungguhnya Rosulallah saw telah melaksanakan mudharabah,

karena telah meminjam harta dari Khadijah untuk berdagang ke Negara Syam

yang ditemani pembantunya Khadijah, yaitu Maisarah.”

Perlu diketahui bahwa akad mudharabah itu dilaksanakan antara pemilik

dana dan pengelola dana, maka antara keduanya diperbolehkan untuk

membatalkan. Mudharabah itu hukumnya Sunnah, karena mudharabah

1 Al-syaikh bajuri ibrahim sebagaimana dikutip oleh Hendi suhendi,Fiqh Muamalah,

(Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada,2010)

(6)

merupakan akad untuk saling membantu antara yang tidak mampu dan tidak

punya keahlian. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT (Nashiruddin, 1972):3

“Tolong-menolonglah dalam hal kebaikan dan ketakwaan”4

Pengertian mudharabah menurut al-Juzairi sebagaimana dikutip oleh

Zaenal Arifin dari segi etimologi (bahasa) Mudharabah adalah Suatu

perumpamaan (ibarat) Seseorang yang memberikan (menyerahkan) Harta

Benda (modal) kepada orang lain agar di gunakan perdagangan yang

menghasilkan keuntungan bersama dengan syarat-syarat tertentu dan jika

rugi,maka kerugian di tanggung pemilik modal.5

B. Dasar Hukum Mudharabah

Mudharabah mempunyai landasan dari Al-Qur,an, Al-Sunnah, ijma dan

qiyas . landasan dari Al-Qur,an adalah sebagai berikut:

- Firman Allah dalam surat Al-jumu’ah ayat 10

“Apabila salat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu dimuka

bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak

supaya kamu beruntung”.

Pada dasarnya ayat diatas tidak scara langsung menjelaskan atau

melegitimasi akad mudharabah, hanya saja secara maknawi mengandung arti

3 Nashrudin sebagaimana dikutip oleh Atieq Amjadallah Alfie,Khanifah,Analisis

Kepatuhan Pembiayaan Mudharabah Dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (Psak No.59) Terhadap Aspek Syariah Ilmu Fiqih Syafi’iyah,Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol. 2 No. 3, April( 2007),h.30

4 Atieq Amjadallah Alfie,Khanifah,Analisis Kepatuhan Pembiayaan Mudharabah Dalam

Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (Psak No.59) Terhadap Aspek Syariah Ilmu Fiqih Syafi’iyah,Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol. 2 No. 3, April( 2007),h.30

5 Zaenal Arifin, “Realisasi Akad Mudharabah dalam Rangka Penyaluran Dana Dengan

(7)

kegiatan ekonomi melalui mudharabah. Dengan demikian, ayat-ayat tersebut

bisa dijadikan landasan hukum akad mudharabah.6

Landasan dari Al-Sunnah antara lain adalah sebagai berikut:

1. Hadis riwayat imam Baihaqi dari Ibnu ‘Abbas:

“Dari Ibnu Abbas, bahwa Abbas bin Abu Muththalib jika memberikan

dana ke mitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar

dananyatidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya,

atau membeli ternak. Jika menyalahi aturan tersebut, maka yang bersangkutan

bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut

kepda Rosulullah saw. Pun, membolehkannya.”7

2. Hadist riwayat Ibnu Majah

“Dari Shuhaib, ra, :”bahwasanya Rosulullah saw. Bersabda: “ ada tiga hal

yang didalamnya berisi berkah, yaitu: “jual beli dengan kontan, menyerahkan

permodalan dan mencampur gandum dengan sya’ir untuk keperluan rumah

tangga, bukan untuk dijual ”.

Hadis diatasa dengan jelas menyinggung masalah mudharabah. Riwayat

yang pertama merupakan Al-Sunnah al-taqririyah atau persetujuan Rosulullah

terhadap prilaku atau tindakan sahabat yang mempraktikkan mudharabah.

Sementara hadist kedua secara tegas menyebut akad mudharabah, hanya saja

menggunakan istilah muqaradah. Kedua hadist ini menjadi landasan

diperbolehkan dan disyari’atkannya mudharabah.8

C. Macam-Macam Mudharabah Dan Pandangan Ulama

a. Macam-macam Mudharabah

6 Imam mustofa,fiqih muamalah kontemporer,(jakarta:PT.Rajagrafindo

persada,2016),h.151-152

7abu bakar ahmad bin Ali al-baihaqi sebagaimana dikutip oleh Imam mustofa,Fiqih

Muamalah kontemporer,(Jakarta:PT.Rajagrafindo persada,2016),h.152

(8)

Ada dua macam mudharabah. Kedua jenis tersebut adalah (taqi usmani,

t.th):

1. Al-mudharabah al-muqayyadah(restriced mudharabah)

Disebut al-mudharabah al-muqayyadah atau mudharabah yang terbatas

apabila Rabb-ul mal menentukan bahwa mudarib hanya boleh berbisnis dalam

bidang tertentu. Berarti mudarib hanya boleh menginvestasikan uang rabb-ul mal

pada bisnis di bidang tersebut dan tidak boleh pada bisnis di bidang yang lain.

Maksudnya yaitu si mudharib dibatasi dengan batasan batasan jenis usaha,

waktu, atau tempat usaha. Adanya pembatasan ini seringkali mencerminkan

kecenderungan umum si shahibul maal dalam memasuki jenis usaha.9

2. Al-mudharabah al-muthlaqah (unrestriced mudharabah)

Disebut al-mudharabah al-muthlaqah atau mudharabah yang mutlak atau tidak

terbatas apabila rabb-ul mal menyerahkan sepenuhnya kepada pertimbangan

mudarib untuk ke dalam bidang bisnis apa uang rabb-ul mal akan ditanamkan.10

Secara umum transaksi mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerja

sama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan

tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Dalam

pembahasan fiqih ulama salafus saleh seringkali dicontohkan dengan ungkapan

if’al ma syi’ta (lakukanlah sesukamu) dari shahibul maal ke mudharib yang

memberi kekuasaan sangat besar.11

Sistem bagi hasil tidak dapat memastikan keuntungan di muka, karena

harus memperhitungkan hasil atau pendapatan dari proyek yang dibiayai.Secara

finansial tidak dapat dipastikan sistem bagi hasil lebih besar atau lebih kecil dari

sistem bunga dan sebaliknya.12

9 Sutan remy sjahdeini,Perbankan syariah : produk-produk dan aspek-aspek

hukumnya,Jakarta:Kencana 2014,h.206

10Ibid.,

11Muhammad syafi,i antonio,Bank syariah:dari teori dan praktik,Jakarta:Gema

insani,2001,h.97

(9)

Menurut Atang abd. Hakim mudharabah terbagi menjadi dua: pertama,

mudharabah muthlaqat (investasi tidak terikat), yaitu mudharabah yang

jangkauannya luas. Transaksi ini tidak dibatasai oleh spesifikasi jenis usaha,

waktu dan wilayah bisnis. Disini shahib al-mal memberikan keleluasaan kepada

mudharib untuk melakukan usaha sesuai dengan kehendaknya tetapi sesuai

dengan prinsip syari’ah, dengan modal yang diberikan kepadanya. Pada usaha

perbankan syari’ah, mudharabah bentuk ini diaplikasikan pada tabungan dan

deposito. Kedua,mudharabah muqayyadat, yaitu kebalikan dari jenis mudharabat

yang pertama. Dalam mudharabah jenis ini, mudharib terikat oleh persyaratan

yang diberikan oleh shahib al-mal didalam meniagakan modal yang dipercayakan

kepadanya. Persyaratan bisa berupa jenis usaha, tenggang waktu melakukan

usaha, dan atau wilayah niaga.13

Sedangkan dalam buku Fiqh ekonomi syariah: fiqh muamalah DR.

Mardani menjelaskan mudharabah terbagi menjadi dua jenis,yaitu:

1. Mudharabah muthlaqah yaitu bentuk kerja sama antara shahib al-mal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi

jenis usaha, waktu dan daerah bisnis. Dalam pembahasan fiqh ulama

Salafus Saleh sering kali dicontohkan dengan ungkapan if’al maa syi’ta

(lakukan sesukamu) dari shahib al-mal yang memberi kekuasaan yang

sangat besar.

2. Mudharabah Muqayyadah disebut juga dengan istilah restricted mudharabah|specified mudharabah adalah kebalikan dari mudharabah

muthlaqah. Si mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu atau

tempat usaha. Adanya batasan ini seringkali mencerminkan

kecenderungan umum si shahib al-mal dalam memasuki jenis dunia

usaha.14

b. Pandangan para Ulama

Menurut ulama syafi’iyah, rukun-rukun qiradh ada enam, yaitu:

13 Atang abd.hakim,fiqih Perbankan Syariah transormasi fiqih muamalah kedalam

peraturan perundang-undangan,(bandung:PT.Refika Aditama,2011),h.215

14 Mardani,fiqh ekonomi syariah fiqh muamalah,(jakarta:Kencana Frenada Media

(10)

a. Pemilik barang yang menyerahkan barang-barangnya;

b. Orang yang bekerja, yaitu mengelola barang yang diterima dari pemilik barang;

c. Aqad mudharabah, dilakukan pemilik dengan pengelola barang;

d. Mal, yaitu harta pokok atau modal;

e. Amal, yaitu pekerjaan pengelolaan harta sehingga menghasilkan laba;

f. Keuntungan.15

Menurut sayyid sabiq, rukun mudharabah berhubungan dengan

rukun-rukun mudharabah itu sendiri, syarat-syarat sah mudharabah adalah sebagai

berikut:

a. Modal atau barang yang diserahkan itu berbentuk uang tunai. Apabila barang itu berbentuk emas atau perak batangan (tabar), emas hiasan

atau barang dagangan lainnya, mudharabah tersebut batal.

b. Bagi orang yang melakukan akad disyaratkan mampu melakukan tasharruf, maka dibatalkan akad anak-anak yang masih kecil, orang gila,

dan orang-orang yang berada dalam pengampuan.

c. Modal harus diketahui dengan jelas agar dapat dibedakan antara modal yang diperdagangkan dengan laba atau keuntungan dari perdagngan

tersebut yang akan dibagikan kepada kedua belah pihak sesuia dengan

perjanjian yang telah disepakati.

d. Keuntungan yang akan menjadi milik pengelola dan pemilik modal harus jelas persentasenya, umpamanya setengah, sepertiga, seperempat.

e. Melafazkan ijab dari pemilik modal, misalnya aku serahkan uang ini kepadamu untuk dagang jika ada keuntungan akan dibagi dua dan kabul

dari pengelola.

f. Mudharabah bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat pengelola harta untuk berdagang di negara tertentu, pada waktu-waktu tertentu,

(11)

sementara diwaktu lain tidak karena persyaratan yang mengikat sering

menyimpang dari tujuan akad mudharabah, yaitu keuntungan.16

Menurut pendapat al-Syafi’i dan Malik Bila dalam mudharabah ada

persyaratan-persyaratan, maka mudharabah tersebut menjadi rusak (fasid),

sedangkan menurut Abu Hanifah dan Ahmad Ibn Hanbal, Mudharabah tersebut

sah.17

Menurut Ibrah im al-Nakha’i dan Hasan al-Basriberpendapat bahwa

pengelola modal berhak atas nafkah atau biaya hidup, baik saat bepergian,

menjalankan usaha maupun saat dirumah.18

Al-‘Allaamah Ibnu Qayyim berkata, “mudharib (pihak pekerja) adalah

orang yang dipercaya, orang yang diupah, wakil dan mitra kongsi bagi pemilik

modal. Ia sebagai orang yang dipercaya ketika memegang harta pemiliknya; ia

sebagai wakil ketika ia mengembangkan harta tersebut; ia sebagai orang yang

diupah dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan untuk mengembangkan harta

tersebut; dan ia sebagai mitra kongsi ketika ada laba dari harta yang

dikembangkan tersebut. Dan, untuk sahnya mudharabah ini disyaratkan agar

bagia pekerja ditentukan, karena ia berhak menerima bagian dari laba

berdasarkan kesepakatan.19

Ibnu Mundzir berkata,”para ulama sepakat bahwa pekerja harus

mensyaratkan kepada pemilik modal bahwa ia mendapatkan sepertiga atau

setengah dari laba, atau berdasarkan kesepakatan keduanya setelah laba

tersebut diketahui bagian-bagiannya. Seandainya ditetapkan untuk semua laba,

sejumlah dirham yang telah diketahui sebelumnya atau bagian yang tidak

diketahui, maka kongsi ini tidak sah.20

16Ibid.,

17 Imam mustofa sebagaimana dikutip dari wahbah al-zuhaili,al-fiqih al-islami wa

adillatuh,(Beirut:Dar al-fikr,2004),h.159

18Ibid.,

(12)

Para imam mahzab sepakat diperbolehkannya mudharabah atau qiradh

menurut bahasa orang Madinah, yaitu seorang menyerahkan modal kepada

orang lain untuk diperdagangkan dan keuntungannya dibagi bersama. Apabila

seseorang memberikan barang kepada orang lain, seraya mengatakan

kepadanya: juallah barang ini, dan harganya(uangnya) jadikan qiradh, maka

qiradh-nya rusak (tidak sah). Demikian menurut Maliki, Syafi’i, dan Hambali.

Hanafi:Qiradh-nya adalah sah. Telah terjadi perbedaan pendapat dikalangan

para ulama tentang ber-qiradh dengan mata uang. Para Imam Mahzab tidak

mengesahkannya, sedangkan Ashab dan Abu Yusuf membolehkannya, kalau

mata uang tersebut masih berlaku.

Menurut pendapat umumnya para ulama, apabila pelaksana pekerjaan

telah mengambil harta qiradh dengan persaksian, tidak terlepas ia daripadanya

ketika terjadi pertengkaran, kecuali dengan persaksian. Para ulama Irak: diterima

pengakuan pekerjaan tersebut dengan sumpah.21

Apabila modal telah diserahkan kepada pelaksana pekerjaan (amil), lalu

dibelikan barang, kemudian modalnya habis sebelum diserahkan kepada

penjual, ia tidak dapat kembali meminta modal untuk membayar barang tersebut

kepada pemberi modal. Dan barang menjadi milik pelaksana kerja, dan ia wajib

membayarnya sendiri. Demikian menurut pendapat Maliki, syafi’i dan hambali.

Hanafi : ia meminta kembali kepada pemilik modal.22

Qiradh tidak boleh ditentukan batas waktunya, yang tidak menjadi batal

sebelum datangnya, atau sudah sampai temponya. Kemudian, diakhiri hak

menjual dan membeli. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i, dan Hambali.

Hanafi: dibolehkan yang demikian itu.23

Apabila pemilik modal memberikan syarat kepada pelaksana kerja, yaitu

jangan membeli sesuatu kecuali dari si fulan, qiradh-nya. Menjadi batal (tidak

sah). Demikian menurut pendapat Maliki dan Syafi’i. Hanafi dan Hambali: sah

qiradh-nya.24

21 ‘Abdullah Zaki Alkaf,Fiqih Empat Mahzab,(Bandung:Hasyimi,2012),h.275-277 22Ibid.,

(13)

Apabila qiradh tidak sah, lalu pemilik modal bekerja, dan mendapat

keuntungan (laba), pelaksana berhak upah sebanding dengan pekerjaannya,

sedangkan laba hak dari pemilik modal (investor), dan kerugian menjadi

tanggung jawabnya. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Syafi’i.25

Maliki mempunyai pendapat yang berbeda, yaitu laba dikembalikan

kepada qiradh, baik terjadi keuntungan maupun kerugian. Al-Qadhi Abdul

Wahab: dikembalikan kepada qiradh bila terjadi kerugian. Pendapat Maliki

lainnya: Pelaksana diberi upah, sebagaimana pendapat Mazhab Hanafi dan

Syafi’i.26

Apabila pelaksana kerja bepergian untuk kepentingan perdagangan yang

memerlukan biaya, belanjanya (keperluannya) diambilkan dari harta qiradh

tersebut. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Maliki. Hambali: ditanggung

sendiri, bahkan ongkos kendaraan.

Syafi’i mempunyai dua pendapat, dan pendapatnya yang paling jelas

adalah belanjanya dari miliknya sendiri. Barang siapa yang membuat qiradh

dengan dasar semua keuntungan diperuntukkan baginya (investor) dan ia tidak

dikenakan kerugian, hal ini diperbolehkan. Demikian menurut pendapat Maliki.27

Para ulama Irak: Modal menjadi utang baginya. Syafi’i: pelaksana

mendapat upah yang bisa diterima orang lain, dan keuntungan menjadi milik

investor. Pelaksana qiradh mendapat untung dengan jalan pembagian, bukan

karena semata-mata memperoleh laba. Demikian menurut pendapat Syafi’i yang

paling sahih dan Maliki. Hanafi: ia mendapat laba dengan semata-mata

mendapat keuntungan. Seperti ini juga pendapat Syafi’i lainnya.28

Para imam mahzab pun berbeda pendapat, apabila pemilik modal

membeli sesuatu dengan modal qiradh, yang menurut pendapat Maliki dan Abu

25Ibid., 26Ibid.,

(14)

yusuf sah , menurut pendapat syafi’i tidak sah. Seperti ini juga salah satu

pendapat Hambali yang paling kuat.29

Jika pelaksana menyatakan bahwa pemilik modal mengizinkan dirinya

dalam menjual dan membeli dengan kontan dan tidak kontan, sedangkan pemilik

modal(investor) bawa ia tidak mengizinkan kepadanya menjual atau membeli

kecuali dengan kontan saja, yang diterima adalah perkataan pelaksana dengan

sumpahnya. Demikian menurut pendapat Hanifi, Maliki, dan Hambali. Syafi’i:

yang diterima adalah perkataan investor (pemilik modal) dengan sumpahnya.30

Apabila pelaksana bermudharabah (qiradh) dengan orang lain, lalu ia

menyerahkan modal kepada orang tersebut, kemudian mendapat keuntungan ,

kerja sama tersebut tidak diperbolehkan. Adapun kalau ia telah berbuat

demikian, keuntungannya diberikan kepada qiradh yang pertama. Demikian

menurut pendapat Hambali.31

sedang tidak menjalankan usaha. Biaya nafkah tersebut bisa diambil dari modal

maupun dari keuntungan. Sementara menurut kalangan hambaliyah pengelola

modal diperbolehkan mensyaratkan adanya nafkah atau meminta nafkah kepada

pemilik modal. Persyaratan ini dibuat saat akad.32

Ketentuan mudharabah menurut kompilasi hukum ekonomi syariah

32wahbah al-zuhaili sebagaimana dikutip oleh Imam mustofa,Fiqih Muamalah

kontemporer,(Jakarta:PT.Rajagrafindo Persada,2016),h.159

33 Mardani sebagaimana dikutip oleh Sri Abidah Suryaningsih, “Aplikasi Mudharabah

dalam Perbankan Syariah di Indonesia”, dalam Jurnal Ekonomika-Bisnis Vol. 4 No.1 Bulan Januari Tahun 2013. (h. 13-24) h. 15-17

(15)

1. status benda yang berada ditangan mudharib yang diterima dari shahibul mal adalah modal,

2. mudharib berkedudukan sebagai wakil shahib al-mal dalam menggunakan modal yang diterimanya,

3. keuntungan yang dihasilkan dalam mudharabah menjadi milik bersama.

Pasal 239:35

1. mudharib berhak membeli barang yang dengan maksud menjualnya kembali untuk memperoleh untung,

2. mudharib berhak menjual dengan harga tinggi atau rendah baik dengan tunai atau non tunai,

3. mudharib berhak menerima pembayaran dari harga barang dengan pengalihan piutang,

4. mudharib tidak boleh menjual barang dalam jangka waktu yang tidak biasa dilakukan oleh para pedagang.

Ketentuan yang lain ada dalam pasal 240:36

mudharib tidak boleh menghibahkan, meyedekahkan, dan atau

meminjamkan harta kerjasama, kecuali bila mendapat izin dari pemilik modal.

Pasal 241:37

1. mudharib berhak memberi kuasa kepada pihak lain untuk bertindak sebagai wakilnya untuk membeli dan menjual barang jika telah disepakati

dalam akad mudharabah,

2. mudharib berhak menginvestasikan harta kerjasama dengan sistem syariah,

3. mudharib berhak menghubungi pihak lain untuk melakukan jual beli barang sesuai kesepakatan dalam akad.

35Ibid.,

(16)

Pasal 242: 38

1. mudharib berhak atas keuntungan sebagai imbalan pekerjaannya yang disepakati dalam akad,

2. mudharib tidak berhak mendapatkan imbalan jika usaha yang dilakukan rugi.

Pasal 243:39

1. pemilik modal berhak atas keuntungan berdasarkan modalnya yang disepakati dalam akad,

2. pemilik modal tidak berhak mendapatkan keuntungan jika usaha yang dilakukan oleh mudharib merugi.

Pasal yang lain pasal 252:40

Kerugian usaha dan kerusakan barang dagangan dalam kerja sama

mudharabah yang terjadi bukan karena kelalaian mudharib, dibebankan pada

pemilik modal.

Pasal 253:41

akad mudharabah berakhir dengan sendirinya jika pemilik modal

meninggal dunia, atau tidak cakap melakukan perbuatan hukum.

Pasal 254:42

1. pemilik modal berhak melakukan penagihan terhadap pihak-pihak lain berdasarkan bukti dari mudharib yang telah meninggal dunia,

2. kerugian yang diakibatkan oleh meninggalnya mudharib, dibebankan pada pemilik modal.

38Ibid., 39Ibid., 40Ibid.,

(17)

Akad mudharabah menjadi batal apabila ada beberapa perkara sebagai berikut:

1. tidak terpenuhinya salah satu syarat mudharabah,43

2. pengelola dengan sengaja meninggalkan tugasnya atau bertentangan

dengan tujuan akad sebagai pengelola modal maka harus

bertanggungjawab jika terjadi kerugian karena mudharib menjadi

penyebab kerugian,44

3. apabila pelaksana atau pemilik modal meninggal dunia, akad mudharabah

menjadi batal. Perkara tersebut menjadi penyebab akad mudharabah

tidak bisa dilanjutkan walaupun sebelumnya sudah disepakati antara

pihak shahibul mal dengan mudharib.45

Prinsip mudārabah sebagai prinsip operasional dalam perbankan syari’ah,

berdasarkan kajian sebelumnya juga menyimpan permasalahan hukum,

khususnya dalam kaitannya dengan nilai keadilan. Ketidakadilan yang muncul

dalam prinsip mudārabah.ini dapat dilihat dari adanya jaminan yang

diperjaminkan oleh pihak bank syari’ah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21

Tahun 2008, tentang Perbankan Syari’ah, Pasal 1 ayat (2) di atas, kegiatan bank

menghimpun dana dari masyarakat dan meyalurkan kembali kepada masyarakat

apabila dikaitkan dengan prinsip mudārabah, maka dapat dijelaskan seperti

berikut:

1. Nasabah menyimpan atau menabung uangnya di bank syari’ah,

berdasarkan prinsip mudārabah. Nasabah bertindak sebagai

kreditur/șahib al-māl, sedangkan bank bertindak sebagai debitur/mudārib.

Kreditur dan debitur merupakan mitra kerja yang meletakkan kepecayaan

sebagai landasan hubungan kerja. Atas dasar kepercayaan ini kreditur

tidak meminta jaminan apapun kepada pihak debitur/mu dārib dalam

melakukan akad kerjasama pengembangan uang simpanan atau

tabungannya.

43Ibid.,

(18)

2. Pihak bank sebagai debitur/mudārib, menjalankan uang tabungan atau

simpanan dengan pihak nasabah lain berdasarkan prinsip mudārabah

juga.

Di sini, pihak bank bertindak sebagai kreditur/șahīb al-māl dan nasabah

sebagai debitur/mudārib. Pihak bank sebagai kreditur/ șahīb al-māl dan pihak

nasabah sebagai debitur/mudārib merupakan mitra kerja yang meletakkan

kepecayaan sebagai landasan hubungan kerja. Atas dasar kepercayaan ini

semestinya kreditur tidak meminta jaminan apapun kepada pihak

debitur/mudārib dalam melakukan akad kerjasama untuk pengembangan uang

simpanan atau tabungannya, sebagaimana ketika bank bertindak sebagai

debitur/mudārib dalam hal menghimpun dana dari masyarakat (nasabah kreditur/

șahīb al-māl)46 .

(19)

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Pengertian mudharabah menurut al-Juzairi sebagaimana dikutip oleh

Zaenal Arifin dari segi etimologi (bahasa) Mudharabah adalah Suatu

perumpamaan (ibarat) Seseorang yang memberikan (menyerahkan) Harta

Benda (modal) kepada orang lain agar di gunakan perdagangan yang

menghasilkan keuntungan bersama dengan syarat-syarat tertentu dan jika

rugi,maka kerugian di tanggung pemilik modal.Mudharabah mempunyai landasan

dari Al-Qur,an, Al-Sunnah, ijma dan qiyas.

Ada dua macam mudharab ah. Kedua jenis tersebut adalah (taqi usmani,

t.th):

al-mudharabah al-muqayyadah atau mudharabah yang terbatas apabila

Rabb-ul mal menentukan bahwa mudarib hanya boleh berbisnis dalam bidang

tertentu. Berarti mudarib hanya boleh menginvestasikan uang rabb-ul mal pada

bisnis di bidang tersebut dan tidak boleh pada bisnis di bidang yang lain.

Maksudnya yaitu si mudharib dibatasi dengan batasan batasan jenis usaha,

waktu, atau tempat usaha. Adanya pembatasan ini seringkali mencerminkan

kecenderungan umum si shahibul maal dalam memasuki jenis usaha.

al-mudharabah al-muthlaqah atau mudharabah yang mutlak atau tidak

terbatas apabila rabb-ul mal menyerahkan sepenuhnya kepada pertimbangan

mudarib untuk ke dalam bidang bisnis apa uang rabb-ul mal akan ditanamkan.

Secara umum transaksi mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerja

sama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan

tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Dalam

pembahasan fiqih ulama salafus saleh seringkali dicontohkan dengan ungkapan

if’al ma syi’ta (lakukanlah sesukamu) dari shahibul maal ke mudharib yang

memberi kekuasaan sangat besar.

Menurut mayoritas ulama termasuk Abu Hanifah, Imam Malik dan

kalangan Zaidiyah, pengelola modal berhak mendapatkan nafkah (living cost)

(20)

lainnya. Hanya saja dia tidak berhak atas nafkah tersebutsaat dirumah atau

sedang tidak menjalankan usaha. Biaya nafkah tersebut bisa diambil dari modal

maupun dari keuntungan. Sementara menurut kalangan hambaliyah pengelola

modal diperbolehkan mensyaratkan adanya nafkahatau meminta nafkah kepada

pemilik modal. Persyaratan ini dibuat saat akad.

2. Saran

Dalam penyusunan makalah ini tentu terdapat berbagai kekeliruan dan

kekurangan baik dari segi penulisan, materi, maupun analisis yang saya lakukan

sebagai fitrah seorang manusia, tempat salah dan lupa. Oleh karena itu, dengan

setulus hati kami mengharapkan apresiasi pembaca sekalian untuk

(21)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Zaki Alkaf,Fiqih Empat Mahzab,Bandung:Hasyimi,2012

Atang abd.hakim,fiqih Perbankan Syariah transormasi fiqih muamalah kedalam peraturan perundang-undangan,bandung:PT.Refika Aditama,2011

Atieq Amjadallah Alfie,Khanifah,Analisis Kepatuhan Pembiayaan Mudharabah Dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (Psak No.59) Terhadap Aspek Syariah Ilmu Fiqih Syafi’iyah,Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol. 2 No. 3, April,2007

Driya Primasthi, studi komparasi kualitas tabungan akad wadiah yad dhamanah dan mudharabah mutlaqah di bri syariah dan bni syariah,malang,2015

Hendi suhendi,Fiqh Muamalah,(Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada,2010)

Imam mustofa, fiqih muamalah kontemporer, jakarta: PT.Rajagrafindo persada,2016

Mardani,fiqh ekonomi syariah fiqh muamalah,jakarta:Kencana Frenada Media Group,2012

Muhammad syafi,i antonio,Bank syariah:dari teori dan praktik,Jakarta:Gema Saleh Al-fauzan,Fiqh sehari-hari,Jakarta:Gema Insani,2005

Sri Abidah Suryaningsih, “Aplikasi Mudharabah dalam Perbankan Syariah di Indonesia”, dalam Jurnal Ekonomika-Bisnis Vol. 4 No.1 Bulan Januari Tahun 2013.

Sutan remy sjahdeini,Perbankan syariah : produk-produk dan aspek-aspek hukumnya,Jakarta:Kencana 2014

Suwandi Dan Khoirul Hidayah, Prinsip Ibāhah Sebagai Solusi Hukum Terhadap Kelemahan Prinsip Wadī’ah Dan Mudārabah Dalam Undang-Undang Perbankan Syari’ah, Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum,vol.48,No.1,2014

Referensi

Dokumen terkait

Pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) sektor pertanian dalam arti sempit (Tanaman Pangan, Perkebunan dan Peternakan) tahun 2005 turun menjadi hanya 1.62 persen jauh

Perlakuan jumlah benih per lubang tanam dan paket pupuk berpengaruh nyata sampai sangat nyata terhadap komponen hasil terutama jumlah polong dan jumlah biji per tanaman

Penyelesaian sengketa dalam akad mudharabah antara pemilik modal dengan mudharib dapat diselesaikan dengan perdamaian dan atau pengadilan. 15 Hal ini sesuai dengan

2 Titik skema mudharabah adalah adanya berbagi hasil diantara pihak penyedia modal (shohibul maal) dan pengelola (mudharib) dari keuntungan yang diperolah sesuai dengan

Skema akad mudharabah yaitu adanya dua pihak dimana satu pihak bertindak sebagai pemilik dana (shohibul maal) dan pihak lainnya sebagai pngelola (mudharib). Keuntungan

Melalui kegiatan berdiskusi, siswa mampu membuat peta pikiran mengenai urutan peristiwa dengan memperhatikan latar cerita pada teks nonfiksi dengan benar.. Dengan melakukan

Apakah anda sudah memiliki keinginan untuk membeli produk Carvil saat sudah membandingkan harga dengan produk lain?. Ketika akan membeli sepatu atau sandal, apakah Carvil menjadi

Untuk mendapatkan hasil analisis, peneliti akan mengkaji satu persatu puisi tersebut berdasarkan struktur fisik dan struktur batin yang terdapat dalam puisi,