• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggung Jawab Kuasa Pengguna Anggaran Terhadap Keuangan Negara Dalam Proses Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (Studi Kasus Pengadaan Alat Kesehatan di RSU dr.F.L.Tobing Sibolga)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tanggung Jawab Kuasa Pengguna Anggaran Terhadap Keuangan Negara Dalam Proses Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (Studi Kasus Pengadaan Alat Kesehatan di RSU dr.F.L.Tobing Sibolga)"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

HUKUM KEUANGAN NEGARA DAN PENGADAAN BARANG/ JASA PEMERINTAH

A. Konsep Pengelolaan Keuangan Negara

Perkembangan hukum keuangan Negara dimulai pada akhir abad kedua puluh tatkala Negara telah berupaya mencampuri urusan/ kepentingan warganya. Pada saat itu Negara memiliki tipe yang membedakan dengan Negara klasik yang disebut sebagai Negara kesejaheraan modern (welfare state modern). Istilah ini digunakan pula di Indonesia yang tercermin dalam Undang – Undang Dasar 1945 (UUD 1945) sebagai suatu Negara yang memilki kedaulatan sehari setelah diproklamasikan kemerdekaannya. Meskipun UUD 1945 telah mengalami perubahan dengan cara amandemen dari tahun 1999 sampai tahun 2002, ternyata tetap menganut tipe Negara kesejahteraan modern.

(2)

Pengelolaan keuangan Negara tidak pernah luput dari pemberitaan media massa dewasa ini, baik dari segi positif yakni peningkatan pendapatan sektor pajak dan non-pajak, maupun pemberitaan dari segi negatif yakni terkait penyimpangan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan Negara atau lebih lazim disebut tindak pidana korupsi. Kondisi demikian disebakan oleh banyaknya persepsi atau pemahaman perihal konsep pengelolaan keuangan Negara tersebut, baik dari segi pejabat publik sebagai pengelola keuangan Negara maupun dari sudut pandang penegak hukum dan masyarakat secara umum. Akibatnya kekeliruan pun tak tehindarkan.

1. Defenisi Keuangan Negara

a. Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan

Istilah atau pendefenisian perihal keuangan Negara, sesuai hirearkinya, diatur dalam :

1.

Dalam kedudukan tinggi hirearki peraturan perUndang-undangan, istilah keuangan Negara tercantum dalam pasal 23 ayat 4 Undang – Undang Dasar pra-amandemen yang berbunyi “Hal Keuangan Negara Selanjutnya Diatur Dengan Undang – Undang”. Nebilik bunyi pasal 23 Undang – Undang Dasar 1945 pasca amandemen, terjadi beberapa penambahan.

Undang – Undang Dasar 1945

(3)

Dapat dilihat pasal 23 C mengamanahkan kepada peraturan perundangan di bawahnya, yakni Undang – Undang untuk segera melakukan pengaturan terkait dengan pengelolaan hak dan kewajiban. Amanah ini dituangkan dalam Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keungan Negara. Di samping itu dalam dictum Undang – Undang tersebut juga disebutkan latar belakang penyelenggaraan pemerintahan Negara untuk mewujudkan tujuan bernegara yang menimbulkan hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang.38

Defenisi keuangan Negara menurut Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2003 adalah39

Dengan demikian pengertian keuangan Negara di atas meliputi hal – hal sebagai berikut :

“semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.”

40

a) Hak Negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;

b) Kewajiban Negara untuk melakukan tugas layanan umum pemerintahan Negara dan membayar tagihan pihak ketiga;

c) Penerimaan Negara; d) Pengeluaran Negara; 38

Soepomo, Pemahaman Keuangan Negara, http://www.djkn.depkeu.go.id/ di unduh pada tanggal 16 Sepetember 2014

39

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara 40

(4)

e) Penerimaan Daerah; f) Pengeluaran Daerah;

g) Kekayaan Negara/ kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak – hak lain yang dapat dinilai dengan uang termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan Negara;41

h) Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/ atau kepentingan umum;

i) Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.

Pendekatan yang digunakan dalam meumuskan keuangan Negara pada Undang – Undang nomor 17 Tahun 2003 adalah dari sisi objek, subjek, proses, dan tujuan.

Dari sisi objek, yang dimaksud dengan keuangan Negara meliputi semua hak dan kewjiban Negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan Negara yang

41

(5)

dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uan, maupun barang yang dapat dijadikan milik Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Dari sisi subjek, yang dimaksud dengan keuangan Negara meliputi seluruh objek sebagaiman tersebut di atas yang dimiliki Negara dan atau dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan Negara/ daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan Negara.

Dari sisi proses, keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan objek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban.

Dari sisi tujuan, keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan atau penguasaan objek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan Negara.42

3.

Sebagaimana amanah pasal 23 ayat (5) UUD 1945 pra-Amandemen, maka Badan Pemeriksa Keuangan didudukkan pada posisi dan fungsinya sebagai suatu Badan Pemeriksa Keuangan Negara yang dituangkan dalam Undang – Undang No. 5 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.

Undang – Undang Badan Pemeriksa Keuangan

42

(6)

Perubahan ketiga Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan salah satu reformasi atas ketentuan pasal 23 ayat (5) tentang Badan Pemeriksa Keuangan telah meperkokoh keberadaan dan kedudukan BPK yaitu sebagai satu lembaga Negara yang bebas dan mandiri. Kedudukan BPK sebagai lembaga Negara pemeriksa keuangan Negara perlu dimantapkan disertai dengan memperkuat peran dan kinerjanya. Kemandirian dan kebebasan dari ketergantungan kepada pemerintah dalam hal kelembagaan, pemeriksaan, dan pelaporan sangat diperlukan oleh BPK agar dapat melaksanakan tugas yang diamanatkan oleh Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.43 Terkait reformasi atas ketentuan pasal 23 ayat (5), Undang – Undang No. 5 tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan sudah tidak sesuai dengan perkembangan system ketataNegaraan, baik pada pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah,44

4.

maka dibentuklah Undang – Undang No. 15 Tahun 2006 sebagai pengganti.

Istilah mengenai keuangan Negara dicantum dalam pasal 1 angka 7 Undang – Undang No. 15 Tahun 2006 sebagai “semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.

43

Penjelasan Umum UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. 44

(7)

Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dituangkan dalam Undang – Undang No. 3 Tahun 1971 sebagaimana telah diubah oleh Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang – Undang No. 20 Tahun 2001.

Istilah keuangan Negara tercantum dalam undang – undang ini antara lain pasal 2 ayat (1) dan pasal 3. Adapun pengertian perihal keuangan Negara didefenisikan pada penjelasan umum Undang – Undang tersebut, yakni “ seluruh kekayaan Negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan Negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena: (a) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik tingkat pusat maupun di daerah; (b) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal Negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.”

b. Berdasarkan Pendapat Ahli Hukum di Indonesia

Terdapat beberapa ahli hukum di Indonesia memberikan kontribusi pemikiran terhadap tatanan hukum keuangan publik, khususnya terhadap hukum tentang keuangan Negara, antara lain:45

45

(8)

1.

Penafsiran dilakukan dengan beberapa metode penafsiran terhadap pengertian dan ruag lingkup keuangan Negara pra dan pasca amandemen UUD 1945. Adapun metode penafsiran yang digunakan yaitu metode interpretasi teleologis (teleologische interpretatie),

Arifin. P. Soeria Atmadja

46

Pertama, dalam arti sempit. Sudut pandang yang digunakan ditinjau dari pengurusan dan/atau pengelolaan serta pertanggungjawaban sebagaimana diatur antara lain pada ICW, Undang-Undang tentang APBN dan Undang-Undang tentang Perbendaharaan Negara. Keuangan Negara adalah urat nadi Negara, tanpa uang Negara tidak dapat menjalankan hidupnya. Keuangan dari rumah tangga Negara ini dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Adapun hakikat atau falsafah APBN itu menurut Rene Stourm adalah kedaulatan. Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 pra-Amandemen memiliki hak begrooting Dewan Perwakilan disamping interpretasi sistematik (systematische interpretative), interpretasi gramatikal (grammaticale interpretatie), dan interpretasi sejarah (historische interpretatie). Keuangan Negara dapat didefiniskan secara garis besar dalam dua makna yaitu dalam arti sempit dan arti luas, tergantung dari sudat pandang yang digunakan.

46

(9)

Rakyat (DPR), yang menyatakan bahwa dalam hal menetapkan pendapatan dan belanja, kedudukan DPR lebih kuat dari pemerintah. Hal ini tanda kedaulatan rakyat.

Pertanggungjawaban Keuangan Negara dapat dilihat dari dua pandangan, yakni secara horizontal dan vertikal. Pertanggungjawaban Keuangan Negara secara horizontal adalah pertanggungjawaban pelaksanaan APBN yang diberikan pemerintah kepada DPR, sedangkan Pertanggungjawaban Keuangan Negara secara vertikal adalah pertanggungjawaban keuangan yang dilakukan oleh setiapotorisator atau ordonator dari setiap Kementerian atau Lembaga Negaranon-kementerian yang menguasai bagian anggaran. Tampak dari konseppertanggungjawaban tersebut di atas bahwa pertanggungjawaban atas Keuangan Negara merupakan pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN.

Terkait pertanggungjawaban tersebut di atas, tersirat pula pada pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 15 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, bahwa apa yang disebut sebagai tanggung jawab pemerintah tentang keuangan Negara adalah APBN.Definisi dalam arti sempit hanya meliputi setiap badan hukum yang berwenang mengelola dan mempertanggungjawabkannya.

(10)

sistem pengawasan atau pemeriksaan pertanggungjawaban, maka pengertian keuangan Negara itu adalah termaksud di dalamnya keuangan yang berada dalam APBN, APBD, BUMN serta BUMD.

Pengertian keuangan Negara di atas sebagai hasil amandemen ketiga UUD 1945 atas pasal 23 dan Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 yang mendistorsi pengertian keuangan Negara menjadi kabur dan cenderung mereduksi pengertian keuangan daerah, keuangan BUMN (Persero) dan BUMD, bahkan keuangan badan lain yang memperoleh fasilitas dari pemerintah, dimana pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangannya telah diatur secara rinci dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. Distorsi arti keuangan Negara demikian hanya mengaburkan esensi otonomi daerah dan mengurangi kemandirian yang menjadi ciri dasar suatu badan hukum dan badan usaha.

(11)

BUMN (Persero) menjadi tidak jelas karena BUMN (Persero) masuk dalam tataran hukum publik, padahal berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang No. 19 tahun 2003 tentang BUMN, pengelolaan BUMN (Persero) dilakukan dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 (kini Undang-Undang-Undang-Undang No. 40 Tahun 2007) tentang Perseroan Terbatas dan peraturan pelaksanaannya.

Kondisi demikian pun telah diadopsi oleh pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa “BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab Keuangan Negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola Keuangan Negara.” Secara yuridis, pemberian fungsi pemeriksaan BPK untuk memeriksa pengelolaan keuangan Negara melalui pasal 23E ayat (1) UUD 1945 justru melemahkan kedudukannya sebagai lembaga Negara. Apabila mendasarkan pada konsep hukum administrasi Negara, BPK telah berubah dari bentuk organisasi Negara menjadi organisasi administrasi Negara.

2.

Penafsiran dilakukan atas pasal 23 UUD 1945 pra-amandemen. Untuk dapat menentukan apakah kata-kata keuangan Negara sebagaimana tercantum dalam ayat (5) pasal 23 UUD 1945 tersebut harus diartikan APBN semata-mata ataukah APBN “plus” lainnya. Terdapat 2 (dua) konstruksi hukum yang dapat digunakan untuk menjelaskan definisi keuangan Negara sebagaimana tercantum dalam UUD 1945.

(12)

Konstruksi pertama: Ayat (1) menetapkan APBN harus ditetapkan dengan Undang – Undang. Ayat (5) menetapkan BPK diadakan untuk memeriksa tanggung jawab pemerintah tentang Keuangan Negara. Penjelasan ayat (5) menyebutkan untuk memeriksa tanggung jawab pemerintah tentang tata mempergunakan uang belanja yang sudah disetujui DPR itu, perlu adanya BPK. Jadi, meskipun di dalam ayat (5) sendiri tidak disebut APBN melainkan hanya keuangan Negara, tetapi penjelasan ayat tersebut menunjukan kepada APBN. Dengan demikian, yang dimaksud dengan keuangan Negara adalah APBN.

Konstruksi kedua: Ayat (1) menyatakan APBN harus ditetapkan dengan Undang – Undang dan ayat (4) menetapkan hal keuangan Negara harus diatur dengan Undang-Undang. Pengertian keuangan Negara dan APBN perlu dikaji kembali sebab apabila keduanya memiliki arti yang sama tidak perlu diatur dalam ayat terpisah. Pengertian kata ditetapkan pada ayat (1) berarti Undang – Undang tersebut bersifat formal, sedangkan pada ayat (4) pengertian diatur berarti Undang – Undang tersebut bersifat material disamping formal.

(13)

dimaksud dengan keuangan Negara ialah antara lain APBN. Dengan kata lain, pengertian keuangan Negara meliput i APBN “plus” lainnya.

Pendapat yang menggunakan penafsiran historis dan integralistik ini dikaitkan dengan penjelasan pasal 2 dan 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1973 tentang BPK. Penjelasan pasal ini mengartikan keuangan Negara tidak hanya APBN melainkan juga APBD dan anggaran perusahaan milik Negara. Dilihat dari teknik perundang-undangan, dicantumkannnya pengertian tentang keuangan Negara di dalam penjelasan Undang – Undang tersebut adalah tidak tepat, karena semestinya berada pada batang tubuh. Namun secara substansi pengertian tersebut dipandang tepat sebab pengawasan APBD yang dilaksanakan oleh DPRD merupakan pengawasan oleh pemerintah daerah terhadap dirinya sendiri. Begitu pula dengan pengawasan yang dilakukan oleh Satuan Pengawasan Internal (SPI) suatu perusahaan milik Negara yang praktis merupakan bagian dari badan usaha bersangkutan.

Sehingga pendapat ini memandang bahwa keuangan Negara pada hakikatnya adalah seluruh kekayaan dan/atau asset Negara.

2. Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara

Dalam pasal 23 ayat (1) UUD 1945 pasca Amandemen dinyatakan bahwa APBN merupakan perwujudan dari pengelolaan keuangan Negara yang pelaksanaannya diperuntukan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.47

47

Bunyi pasal tersebut dikritik oleh Arifin Soeria Atmadja sebagai suatu retorika dangkal dan bombastis yang tidak bermakna dari sudut filosofi anggaran. Hal demikian disebabkan pada dasarnya

(14)

Undang keuangan Negara mendefinisikan APBN sebagai rencana keuangan tahunan pemerintahan Negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.48

Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan Negara, pengelolaan keuangan Negara perlu diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggungjawab sesuai dengan aturan pokok yang telah Dalam hukum tentang keuangan Negara telah ditentukan pihak – pihak yang terkait dengan pengelolaan keuangan Negara tersebut beserta tanggung jawab yang berbeda-beda sesuai dengan kewenangan dan kewajibannya masing – masing.

Pengelolaan keuangan Negara dalam hukum tentang keuangan Negara memiliki berbagai sebutan atau penamaan yang berbeda-beda. Perbedaan penyebutan atau penamaan bagi pegelola keuangan Negara didasarkan pada kewenangan dan kewajiban yang diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Para pihak yang terlibat dalam pengelolaan anggaran keuangan Negara meliputi Presiden, Menteri Keuangan, Pimpinan para Lembaga/Menteri, Bendahara, dan Pegawai Non-Bendahara.

Bidang pengelolaan keuangan Negara yang demikian luas dapat dikelompokan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter dan sub bidang pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan.

APBN bukan sekedar perwujudan pengelolaan keuangan Negara. Akan tetapi, mempunyai makna yang lebih dalam lagi, yakni merupakan wujud kedaulatan rakyat yang tercermin dari hak budget DPR yang tidak dimiliki oleh MPR (dahulu) sekalipun. Soeria Atmadja, Loc.Cit.,hlm. 73.

48

(15)

ditetapkan dalam Undang – Undang Dasar. Sesuai dengan amanat pasal 23 C UUD 1945, Undang – Undang tentang keuangan Negara perlu menjabarkan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang – Undang Dasar tersebut ke dalam asas – asas umum yang meliputi baik asas – asas yang telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan Negara, seperti asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas maupun asas – asas baru sebagai pencerminan best practises (penerapan kaidah – kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan Negara, antara lain :49

- Akuntabilitas berorientasi hasil - Profesionalitas

- Proporsionalitas

- Keterbukaan dalam pengelolaan keuangan Negara

- pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri

Asas-asas umum tersebut diperlukan pula guna menjamin terselenggaranya prinsip-prinsip pemerintahaan daerah sebagaimana telah dirumuskan dalam Bab VI UUD 1945. Dengan dianutnya asas – asas umum tersebut di dalam Undang – Undang tentang keuangan Negara, pelaksanaan Undang – Undang ini selain menjadi acuan dalam reformasi manajemen keuangan Negara, sekaligus dimaksudkan untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia.50

49

Penjelasan UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. 50

(16)

Sebelum diberlakukannya Undang – Undang No. 17 Tahun 2003, Belanja Negara dibedakan atas pengeluaran rutin51 dan pengeluaran pembangunan52( dual-budgeting). Pemisahan anggaran rutin dan anggaran pembangunan tersebut semula dimaksudkan untuk menekankan arti pentingnya pembangunan, namun dalam pelaksanaannya telah menunjukan banyak kelemahan.53

Pertama, duplikasi antara belanja rutin dan belanja pembangunan oleh karena kurang tegasnya pemisahan antara kegiatan operasional organisasi dan proyek, khususnya proyek – proyek non-fisik. Kedua, penggunaan dual budgeting mendorong dualisme dalam penyusunan daftar perkiraan mata anggaran keluaran (MAK) karena untuk satu jenis belanja, ada MAK yang diciptakan untuk belanja rutin dan ada MAK lain yang ditetapkan untuk belanja pembangunan. Ketiga, analisis belanja dan biaya program sulit dilakukan karena anggaran belanja rutin tidak dibatasi pada pengeluaran untuk operasional dan belanja anggaran pembangunan tidak dibatasi pada pengeluaran untuk investasi. Keempat, proyek yang menerima anggaran pembangunan diperlakukan sama dengan satuan kerja, yaitu sebagai entitas akuntansi, walaupun proyek hanya bersifat sementara. Jika proyek sudah selesai atau dihentikan tidak ada kesinambungan dalam pertanggungjawaban terhadap asset dan

51

Pengeluaran rutin didefinisikan sebagai pengeluaran untuk keperluan operasional untuk menjalankan kegiatan rutin pemerintahan. Pengeluaran rutin mencakup belanja pegawai, belanja barang, pembayaran bunga, subsidi dan belanja lain-lain.

52

Pengeluaran pembangunan didefinisikan sebagai pengeluaran yang menghasilkan nilai tambah aset, baik fisik maupun non fisik, yang dilaksanakan dalam periode tertentu (pengeluaran berkaitan dengan proyek-proyek yang meliputi belanja modal dan belanja penunjang).

53

(17)

kewajiban yang dimiliki proyek tersebut. Hal ini selain menimbulkan ketidakefisienan dalam pembiayaan kegiatan pemerintahan, juga menyebabkan ketidakjelasan keterkaitan antara output /outcome yang dicapai dengan penganggaran organisasi.

Selanjutnya, sebagaimana diamanatkan oleh Undang – Undang No.17 Tahun 2003, maka sistem penganggaran mengacu pada praktek – praktek yang berlaku secara internasional. Menurut GFS (Government Financial Statistics) Manual 2001, sistem penganggaran belanja Negara secara implisit menggunakan sistem unified budget, dimana tidak ada pemisahan antara pengeluaran rutin dan pembangunan, sehingga klasifikasi menurut ekonomi akan berbeda dari klasifikasi sebelumnya.54

Pertama, dalam format dan struktur I-account yang baru, belanja Negara tetap dipisahkan antara belanja pemerintah pusat dan belanja untuk daerah, karena pos belanja untuk daerah yang berlaku selama ini tidak dapat diklasifikasikan ke dalam salah satu pos belanja Negara sebagaimana diatur dalam Undang – Undang No.17 Tahun 2003; Kedua, semua pengeluaran Negara yang sifatnya bantuan/subsidi dalam Dalam melaksanakan perubahan format dan struktur belanja Negara telah dilakukan dengan melakukan penyesuaian – penyesuaian, namun tetap mengacu GFS Manual 2001 dan Undang – Undang No. 17 Tahun 2003. Beberapa catatan penting berkaitan dengan perubahan dan penyesuaian format dan struktur belanja Negara yang baru antara lain:

54

(18)

format dan struktur baru diklasifikasikan sebagai subsidi; dan Ketiga, semua pengeluaran Negara yang selama ini “mengandung‟ nama lain – lain yang tersebar di hampir semua pos belanja Negara, dalam format dan struktur baru diklasifikasikan sebagai belanja lain – lain.55

Menteri Teknis

Selaku Pengguna Anggaran

Sistem administrasi keuangan Negara sesuai dengan Undang – Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangaan Negara dan Undang – Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, mengatur pemisahan fungsi pejabat pengelola keuangan Negara yang terdiri dari : Menteri Keuangan selaku manajer Keuangan Negara dan Bendahara Umum Negara (BUN), serta pimpinan kementerian/lembaga selaku pengguna anggaran.

Struktur organisasi dan pejabat yang berwenang dalam pengelolaan Keuangan Negara dapat digambarkan sebagai berikut :

Menteri Keuangan

Selaku Bendahara Umum Negara

(BUN)

Pembuat Komitmen

Pengujian & Pembebanan

Perintah pembayaran

Pengujian & Pembebanan

Perintah Pencairan Dana

55

(19)

Pengurusan Administrasi

Administrasi beheer

Pengurusan Komptabel

Comptabel beheer

Sumber : Pusdiklatwas BPKP, Pedoman Pelaksanaan Anggaran II, Diklat Pembentukan Auditor

Ahli, Edisi VI, 2010, hlm. 11

Tabel 2.1

Struktur Organisasi Pengelola Keuangan Negara

Anggaran secara teknis dilaksanakan oleh kementerian dan lembaga terkait dengan menteri/pimpinan lembaga sebagai pengguna anggaran/pengguna barang. Pada awal tahun anggaran, menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran menetapkan para pejabat di lingkungannya. Pejabat tersebut diantaranya yang akan memverifikasi pelaksanaan pembayaran dalam proses Pengadaan Barang/Jasa pemerintah. Pejabat – pejabat dimaksud ditunjuk sebagai :

1) Kuasa Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Barang (KPA/KPB);

2) Pejabat yang bertugas melakukan pemungutan penerimaan Negara (PNBP);

3) Pejabat yang melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja Negara;56

56

(20)

5) Bendahara penerimaan untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran penerimaan;

6) Bendahara pengeluaran untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran belanja.

Selanjutnya merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 606/PMK/2004 tentang Pedoman Pembayaran dalam Pelaksanaan APBN tahun 2005 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor SE-050/PB/2004 bahwa menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran menerbitkan keputusan tentang penunjukan :57

4) Pejabat yang diberi kewenangan untuk menerbitkan dan menandatangani SPM. 1) Kuasa Pengguna Anggaran;

2) Pejabat yang melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran;

3) Bendahara pengeluaran;

58

B. KONSEP DASAR PENGADAAN BARANG/ JASA PEMERINTAH

Pembelanjaan Negara yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa meliputi jumlah yang sangat besar. Ini menjadi salah satu alasan penting bagi setiap pemerintah dalam menata perekonomian nasional khususnya penyusunan sistem

57

Ibid., hlm. 9 58

(21)

pengadaan nasional.Dalam kaitan inilah dibutuhkan landasan untuk membangun aturan dan prosedur yang diperlukan dalam rangka menciptakan sistem pengadaan barang yang tidak saja efisien tetapi juga berorientasi pada perlindungan keamanan publik (public safety).

1. Beberapa Ketentuan Internasional Tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah59

Badan – badan internasional memberi perhatian serius terhadap pengembangan prinsip dan aturan hukum dalam pengadaan oleh pemerintah. Disamping GPA sebagai plurilateral agreement yang merupakan bagian dari WTO dan model hukum UNCITRAL, Bank Dunia juga menerbitkan pedoman terkait Pengadaan Barang/Jasa, yakni Guidelines Procurement Under IBRD Loans and IDA Credits serta Guidelines ASelection and Employment of Consultants by World Bank Borrowers.

Diperhatikan pula Directive Uni Eropa yang merupakan state of the art dalam bidang pengadaan barang. Dalam keempat bahan hukum ini prinsip transparansi diletakan sebagai dasar yang utama dalam penyusunan setiap aturan dan prosedur.

a.

Sejarah lahirnya GPA dimulai dengan diskusi panjang International Trade Organization (ITO) pada tahun 1946 untuk membahas suatu kesepakatan

Agreement on Government Procurement (GPA 1994)

59

(22)

internasional tentang Pengadaan Barang/Jasa oleh pemerintah. Penggagas usulan ini adalah Amerika Serikat yang mengusulkan pemberlakuakn prinsip – prinsip umum non-diskriminasi dalam hal perdagangan dan kontrak. Namun usulan tersebut kemudian ditolak oleh para anggota yang hadir karena dianggap tidak berpihak kepada kebijakan perdagangan nasional mereka.60

Usaha untuk menyusun persetujuan internasional dalam bidang pengadaan oleh pemerintah kemudian dimulai lagi oleh the Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) sejak awal tahun 1960-an. Setelah melakukan diskusi yang cukup panjang anggota-anggota OECD menghasilkan rancangan yang disebut the Draft Instrument on Governement Purchasing Policies, Procedures and Practices pada tahun 1973. Rancangan inilah yang kemudian menjadi bahan baku bagi GATT dalam mempersiapkan rancangan persetujuan tentang pengadaan oleh pemerintah. Melalui negosiasi yang cukup lama akhirnya dalam putaran Tokyo tahun 1978 rancangan ini mencapai hasil final. Selanjutnya melalui negosiasi oleh 19 Negara anggotanya, forum GATT menyetujui untuk menjadi penandatangan GPA pada tahun 1979.61

GPA lebih lanjut memperoleh penyempurnaan sebagai hasil dari putaran Uruguay pada tahun 1994 yang kemudian dinegosiasikan kembali pada tahun 2007.

60

Patrick F.J Macrory, Arthur E. Appleton, dan Michael G. Plummer, The World Trade Organization: Legal, Economic And political Analysis-Volume I, E-book by Springer. Chapter 23: The Agreement on Government Procurement. P. 1125

61

(23)

GPA akhirnya menjadi plurilateral agreement, dalam arti persertujuan ini tidak seperti persetujuan lain yang menjadi bagian yang menyatu dari GATT yang mengikat seluruh anggota WTO, GPA hanya mengikat Negara – Negara yang menandatanganinya. Cakupan persetujuan ini meliputi pula pengadaan oleh pemerintah daerah (lokal), badan publik dan perusahaan Negara yang berada di bawah kontrol atau pengaruh pemerintah. Objek yang diatur tidak saja menyangkut pengadaan barang dan jasa, tetapi juga jasa konstruksi.

Prinsip dasar yang terdapat dalam GPA adalah transparansi dan non-diskriminasi. Persetujuan ini mewajibkan para anggotanya untuk menciptakan transparansi dalam prosedur pengadaan guna menjamin tercapainya persaingan terbuka dan sehat di antara para pemasok. Panitia pengadaan (procuring entity) dengan demikian diwajibkan untuk menyebarluaskan informasi secara terbuka dalam proses pengadaan secara keseluruhan. Panitia ini harus mempublikasikan pengumuman tentang pengadaan ini yang di dalamnya termuat tanggal batas akhir (closing date), syarat – syarat dan ketentuan kontrak (terms and conditions of the contract) berikut rincian spesifikasi teknis dan prosedur dalam hal terjadi penyimpangan dalam proses tender dan prosedur guna penyampaian keberatan berikut penyediaan informasi yang terkait dengan setiap kontrak yang akan dibuat.

(24)

penjabaran lebih lanjut dari prinsip transparansi yang ditegaskan dalam Artikel XVII. Substansi yang diatur di dalamnya meliputi kewajiban lembaga (pemerintah) dalam kaitan dengan publikasi pengumuman, kewajiban anggota untuk mempublikasikan Undang – Undang, regulasi, keputusan pengadilan, ketentuan administratif dan setiap prosedur yang diperlukan termasuk pula klausula baku yang akan dituangkan dalam kontraknya. Di samping itu, Negara anggota diwajibkan juga untuk memberikan aturan yang terkait dengan prosedur pengajuan keberatan.

Yang menarik dari GPA ini adalah pemberian perlakuan khusus dalam hal prinsip non-diskriminasi untuk Negara-Negara berkembang (special and differential treatment for develpoing country). Bahkan terdapat pula klasul tentang perlakuan khusus bagi Negara terbelakang (the last-develpoed country).62

b.

UNCITRAL merupakan Komisi PBB yang dibentuk oleh Majelis Umum (General Assembly) pada tanggal 17 Desember 1966 melalui Resolusi 2205 (XXI). Tujuannya untuk melakukan harmonisasi dan unifikasi aturan dalam rangka memperlancar perdagangan internasional, antara lain dengan cara mengurangi berbagai hambatan (obstacles) dan kesenjangan peraturan (disparities) di masing – masing Negara anggota PBB. Dalam perjalanannya UNCITRAL berkembang menjadi legal body PBB yang berwenang menangani berbagai isu terkait

Model Hukum UNCITRAL

62

(25)

perdagangan internasional. Organ tertinggi dari UNCITRAL adalah the Commission, terdiri dari perwakilan Negara – Negara anggota yang hadir dalam Sidang UNCITRAL, yang dilakukan setahun sekali secara bergantian di New York atau Vienna.

Berbagai model hukum dan konvensi telah dihasilkan oleh komisi ini, dan satu di antaranya yang terkenal adalah konvensi Wina 1980 yang lazim disebut Convention on the International Sales of Good (CISC). Dalam kaitan dengan pengadaan barang dan jasa, UNCITRAL juga melahirkan model hukum yakni Model Law on Procurement of Goods, Contraction and Services (PGCS) yang diselesaikan oleh UNCITRAL pada tanggal 15 Juni 1994.63

Sebagaimana nampak dari bagian pembukaannya (preamble), terdapat enam sasaran yang ingin dicapai melalui model hukum PGCS ini. Satu di antaranya adalah Seperti halnya GPA, penyusunan model hukum ini terutama didasarkan pada pemikiran perlunya bantuan bagi Negara – Negara dalam mengembangkan sistem pengadaan oleh pemerintah. Dari penelitian UNCITRAL ditemukan fakta bahwa aturan tentang pengadaan di sejumlah Negara sudah tidak sesuai dan ketinggalan jaman. Situasi ini pada akhimya menyebabkan proses pengadaan tidak efisien dan tidak efektif, terjadi pola penyalahgunaan dan timbul kegagalan dalam mendapatkan kualitas dan kuantitas barang dan jasa yang sepadan dengan nilai uang yang telah dibelanjakan.

63

(26)

achieving transparency in the procedures relating to procurement”. Transparansi dalam model hukum PGCS dengan demikian adalah tujuan yang ingin dicapaidalam proses pengadaan, karenanya transparansi kemudian dijadikan landasan dalam menjabarkan setiap aturan dan prosedur.

Secara implisit aturan dalam PGCS juga didasarkan pada prinsip transparansi, sebagaimana nampak misalnya dari Artikel 5 tentang akses publik terhadap dokumen hukum, artikel 7 tentang proses prakualifikasi, artikel 14 tentang pengumunan kepada publik menyangkut syarat – syarat kontrak pengadaan dan artikel 24 tentang penawaran tender. Namun demikian, dari sisi substansinya model hukum ini memuat sangat rinci aturan dan prosedur dalam pengadaan dan tersusun berdasarkan tahapan – tahapan dari tender pengadaan barang, mulai dari pengumuman (public notice), pemilihan metode pengadaan, penyampaian dan evaluasi tender.64

PGCS merupakan model hukum, karenanya sekalipun yang tertuang di dalamnya berupa prinsip dan aturan, PGCS tidak mengikat. Fungsi utamanya adalah sebagai pedoman bagi Negara dalam merancang sistem pengadaan tetapi tidak menutup kemungkinan diterapkannya aturan dalam PGCS dalam proses pengadaan

Demikian juga aturan dalam kaitan dengan pengadaan jasa. Di samping petunjuk untuk tujuan legislasi manakala suatu Negara menghendaki, diberikan pula penjelasan atas bagian demi bagian dari artikel yang tertuang dalam PGCS sehingga mempermudah penafsiran dan penerapannya.

64

(27)

manakala para pihak secara tegas menghendaki demikian. Model hukum ini hanya memuat prosedur dalam kaitan dengan pemilihan pemasok atau kontraktor. Dengan demikian di dalamnya hanya diatur hal – hal sampai pada tahapan menuju pembentukkan kontrak. Tahapan berikutnya, yaitu pembentukkan dan pelaksanaan kontrak tidak diatur di dalamnya. Oleh sebab itu isu yang menyangkut penerapan kontrak, penatausahaan kontrak, pemutusan kontrak dan penyelesaian sengketa tidak akan ditemukan dalam PGCS.

(28)

dirumuskan pada tahun 1994. Working Group I melakukan pembahasan atas isu-isu tersebut65pada 7-11 Desember 2009 lalu.66

c.

Guiedelines tentang pengadaan yang disusun oleh Bank Dunia tidak serta merta mengatur pengadaan pada sektor pemerintah saja, melainkan juga untuk sektor lain di luar pemerintah. Pedoman Bank Dunia pada dasarnya merupakan pedoman yang disediakan khusus bagi debitor dan pemasok/kontraktor dalam proses pengadaan. Hak dan kewajiban debitor dan pemasok barang dan jasa atau kontraktor dikuasai dan tunduk pada setiap aturan dan prosedur dalam dokumen penawaran dan kontrak yang telah ditandatangani kedua belah pihak. Sedangkan pedoman ini tidak secara langsung mengikat kedua belah pihak.

Pedoman Pengadaan Dunia

Bank Dunia membuat dua pedoman dalam kaitan dengan pengadaan, yaitu pedoman yang khusus untuk pengadaan barang yang disebut Guidelines Procurement under IBRD Loans and International Development Association Credits (PILIC) dan seleksi konsultan yaitu Guidelines Selection and Employment of Consultants by World Bank Borrowers (SEC). Pertimbangan utama pembuatan pedoman ini adalah dalam rangka,"... ensure that the proceeds of any loan are used only for the purposes for which the loan was granted, with due attention to considerations of economy and

65

Lihat Possible revisions to the UNCITRAL Model Law on Procurement of Goods, Construction and Services — a revised text of the Model Law yang dipublikasikan oleh UNCITRAL, www.uncitral.org pada dokumen A/CN.9/WG.I/WP.71

66

(29)

efficiency and without regard to political or other non-economic influences or considerations''67

d.

Apabila PILIC merupakan pedoman dalam rangka pengadaan barang yang dilakukan debitor, maka SEC merupakan pedoman bagi bank dalam rangka seleksi konsultan bagi kepentingan bank untuk membantu menangani berbagai jenis kegiatan seperti pembuatan kebijakan, pembaharuan institusi, manajemen, jasa enginering atau pengawasan konstruksi.

Substansi yang diatur dalam PILIC dan SEC tidak hanya difokuskan pada aspek metode pengadaan dan teknis pelaksanaannya tetapi juga dimuat pedoman tentang procurement agents dan inspection agents terutama dalam kaitan dengan pengadaan barang yang berskala internasional, dan pedoman dalam perumusan klausula jenis kontrak tertentu dalam kaitan dengan rekrutmen atau seleksi konsultan. SEC bahkan juga memberikan pedoman dalam seleksi konsultan dalam kapasitas sebagai pribadi sekalipun hanya dapat diterapkan untuk kasus-kasus yang sangat terbatas.

Dalam rangka penyelengaraan pasar tunggal, the EC Treaty dimaknai sebagai bagian integral dari sistem hukum Negara-Negara anggota dan karenanya harus diterapkan, termasuk dalam penanganan perkara di pengadilan. Beberapa instrumen hukum baik dalam bentuk aturan umum (principles) maupun legislasi (directive fan

Directive Uni Eropa

67

(30)

regulasi) untuk berbagai bidang telah diciptakan untuk pelaksanaan kegiatan pasar tunggal itu. Dalam bidang kontrak, EC telah melahirkan prinsip-prinsip umum sebagaimana tertuang PECL. Sedangkan bidang-bidang yang diatur melalui legislasi di antaranya:

1) Directive 85/374/EEC on Liability for Defective Products

2) Directive 86/653/EEC on Self-Employed Commercial Agents

3) Directive 93/13/EEC on Unfair Terms In Consumer Contracts

4) Directive 99/44/EC on Sale of Consumer Goods

5) Regulation (EC) No. 44/2001 on Jurisdiction in Civil and Commercial Matters. Directive lain yang dihasilkan oleh Uni Eropa adalah directive bidang pengadaan

yang tertuang dalam Directive of the European Parliament and of the Council yang

diterbitkan pada tanggal 31 Maret 2004 dan berlaku sejak 30 April 2004. Terdapat dua

directive dalam hal ini, yakni:

1) Directive 2004/17/EC on Coordinating the Procurement Procedures of Entities Operating in the Water, Energy, Transport and Postal Services Sectors- dan,

2) Directive 2004/18/EC on The Coordination of Procedures for the Award of Public Works Contracts, Public Supply Contracts and Public Service Contracts.

(31)

prosedur pengadaan bagi lembaga-lembaga yang bergerak di sektor air, energi, transportasi dan jasa pos maka Directive No. 18 dipusatkan pada pengadaan yang menyangkut konstruksi, barang dan jasa.

2. Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah di Indonesia

Pengaturan perihal Pengadaan Barang/ Jasa oleh Pemerintah di Indonesia melalui beberapa tahap/ fase. Kondisi ini disebabkan berkembangnya tata cara dan/atau mekanisme Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah yang keseluruhannya dilaksanakan demi menjunjung prinsip adil dan transparan yang menjadi prinsip utama dalam Pengadaan Barang/ Jasa.

Dalam tulisan ini pembagian periode didasarkan pada lahirnya peraturan perihal Pengadaan Barang/ Jasa itu sendiri. Khususnya terhadap lahirnya peraturan – peraturan fundamental yang mendasari perubahan pada setiap periodenya.

a.

Pada periode ini pengaturan mengenai Pengadaan Barang/ Jasa bermula dari Keputusan Presiden No. 11 Tahun 1973 yang merupakan pelaksanaan dari Undang – Undang No. 3 Tahun 1973 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 1973/1974. Pengaturan mengenai Pengadaan Barang/ Jasa tidak berdiri atas satu regulasi khusus, melainkan selalu disisipkan pada peraturan yang mengatur tentang pelaksanaan APBN.

(32)

Keputusan Presiden yang terkait dengan Pengadaan Barang/ Jasa pemerintah setelah Keppres No. 11 Tahun 1973 tersebut adalah :

1) Keputusan Presiden No. 17 Tahun 1974 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 1974/1975;

2) Keputusan Presiden No. 7 Tahun 1975 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 1975/1976;

3) Keputusan Presiden No. 14 Tahun 1976 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 1976/1977;

4) Keputusan Presiden No. 12 Tahun 1977 tentang Pelaksanaan APBN;

5) Keputusan Presiden No. 14A Tahun 1980 tentang Pelaksanaan APBN;

6) Keputusan Presiden No. 18 Tahun 1981 tentang Penyempurnaan Keputusan Presiden No. 14A Tahun 1980 tentang Pelaksanaan APBN;

7) Keputusan Presiden No. 29 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan APBN;

8) Keputusan Presiden No. 16 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan APBN;

9) Keputusan Presiden No. 24 Tahun 1995 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden No. 16 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan APBN;

10) Keputusan Presiden No. 6 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Keputusan

(33)

Sampai dengan terbitnya Keputusan Presiden No. 14 Tahun 1976, sejauh yang menyangkut pengeluaran Negara tidak mengalami banyak perubahan. Dengan demikian aturan tentang Pengadaan Barang/Jasa pemerintah yang tertuang dalam Keputusan Presiden No. 17 Tahun 1974 dan Keputusan Presiden No. 7 tahun 1975 pada dasarnya sama dengan apa yang tertuang dalam Keputusan Presiden No. 11 Tahun 1973 kecuali tentang batas minimal nilai pekerjaan atau pembelian barang yang harus dilelangkan karena memang diperlukan penyesuaian berhubung kenaikan harga tiap tahunnya. Perubahan yang signifikan adalah ketika tahun 1975 terdapat keharusan untuk mengutamakan produksi dalam negeri dalam Pengadaan Barang/ Jasa.

Dalam Keputusan Presiden No. 14 Tahun 1976 juga terdapat perubahan menyangkut prinsip dasar dalam pengeluaran Negara terkait Pengadaan Barang/ Jasa. Prinsip dasar yang semula hanya penghematan dan efisiensi, kemudian berkembang menjadi 4 (empat) prinsip, yaitu : (i) penghematan dan efisiensi; (ii) pengarahan dan pengendalian yang sesuai dengan fungsi masing-masing departemen; (iii) koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplikasi; (iv) tidak bergaya mewah.68

1) Melalui Keputusan Presiden No. 12 Tahun 1977 pengaturan tentang pengutamaan produksi dalam negeri dalam Pengadaan Barang/Jasa berkembang menjadi lebih jelas dan diatur pula larangan perangkapan fungsi pekerjaan;

Perubahan fundamental pada kurun waktu 1977 sampai dengan 1980, antara lain :

68

(34)

2) Keputusan Presiden No. 14 Tahun 1979 menyatakan bahwa dalam pelaksanaan pengeluaran anggaran sejauh mun gkin diusahakan standardisasi. Maksud dari ketentuan ini adalah agar dilakukan selengkap mungkin standardisasi sekalipun tidak dapat menjangkau setiap jenis barang dan atau pekerjaan berikut harganya. Istilah swakelola dan penggunaan SPK termasuk dalam hubungan antara swasta dengan swasta bermula dari Keppres ini69

Mengenai metode pemilihan penyedia barang/jasa telah berkembang menjadi tiga jenis, yaitu pelelangan umum, pelelangan terbatas dan penunjukan langsung

namun tidak ada penjelasan lebih lanjut dalam Keppres ini tentang apa yang dimaksud dengan SPK dan substansi apa yang harus dimuat didalamnya.

70

3) Mekanisme pembayaran kepada rekanan diatur lebih lengkap. Selain mewajibkan adanya berita acara,71

69

Pasal 18 ayat (1) Keppres Nomor 14 Tahun 1976 menyatakan “Pelaksanaan pekerjaan pemborongan oleh pihak ketiga atau pembelian barang dan bahan untuk pekerjaan yang dilakukan sendiri (swakelola) yang berjumlah diatas Rp.1.000.000,00 sampai dengan Rp.10.000.000,00 dilakukan dengan surat perintah kerja (SPK) atau surat perjanjian berdasarkan penawaran yang masuk.”

70

Metode penunjukan langsung didasarkan pada prinsip yang paling menguntungkan bagi Negara baik ditinjau dari kebutuhan, harga maupun kualitas dengan membandingkan tiga penawaran atau lebih yang diajukan secara terpisah olehtiga calon penyedia barang/jasa.

71

Menyatakan bahwa penyerahan barang/jasa atau prestasi pekerjaan telah diselesaikan sesuai dengan yang diperjanjikan.

(35)

Terdapat kebijakan baru pemerintah dalam kaitan dengan Pengadaan Barang/ Jasa pemerintah yakni pembentukan Tim Pengendali Pengadaan Barang/ Peralatan Pemerintah (Tim Pengendali Pengadaan). Tim ini berkedudukan dan bertanggungjawab kepada presiden dengan tiga fungsi : (i) penelitian dan penetapan jenis, jumlah, spesifikasi, harga serta tata cara pengadaan barang/ peralatan yang diperlukan Departemen atau LPND; (ii) koordinasi dan pengawasan atas pelaksanaan pengadaan barang/ peralatan yang telah ditetapkan; dan (iii) pembinaan administrasi dan dokumentasi pengadaan barang/ peralatan. 4) Keputusan Presiden No. 18 Tahun 1981 membuat perhatian lebih terhadap

pemborong/rekanan ekonomi lemah, yakni : pertama, dilarang dilakukannya pengalihan pekerjaan kepda pihak lain dengan sanksi pembatalan kontrak dan dikeluarkan dari daftar pemborong/rekanan golongan ekonomi lemah dalam Daftar Rekanan Mampu (DRM). Kedua, apabila dalam pelelangan yang terpilih sebagai pemenang bukan pemborong/ rekanan ekonomi lemah, maka dalam surat perjanjian ditetapkan kewajiban bekerja sama dengan pemborong/ rekanan ekonomi lemah setempat (dengan subkontrak atau leveransir barang, bahan dan jasa).

Fase perkembangan berikutnya dalam periode ini yaitu pada kurun waktu 1984 sampai dengan 1994, antara lain :

(36)

dalam negeri dijadikan salah satu prinsip dasar dalam pengeluaran angaran;72 (ii) Penambahan 1 (satu) metode pemilihan penyedia barang/ jasa, yaitu Pengadaan Langsung, yakni pelaksanaan pemborongan/pembelian yang dilakukan diantara pemborong/ rekanan golongan ekonomi lemah tanpa melalui pelelangan umum, pelelangan terbatas atau penunjukan langsung dengan tujuan untuk memberikan kesempatan yang lebih luas kepada pemborong/rekanan golongan ekonomi lemah sebagai upaya pembimbingan untuk menigkatkan kemampuan yang lebih besar sekaligus usaha untuk menciptakan pemerataan kesejahteraan;73

2) Pada Keputusan Presiden No. 16 Tahun 1994 terjadi perubahan perihal istilah dalam metode pemilihan penyedia barang/jasa. Keputusan Presiden No. 14 Tahun 1979 memperkenalkan istilah penunjukan langsung, namun pada Keputusan Presiden No. 16 tahun 1994, istilah penunjukan langsung tidak lagi digunakan melainkan diperkenalkan istilah baru, yakni Pemilihan Langsung.

(iii) Ditentukan apa yang sekurang-kurangnya harus dimuat dalam SPK. Bagian komparisi yang membedakan antara SPK dengan perjanjian, dibagian ini dituangkan pihak yang memerintahkan dan yang menerima perintah pelaksanaan pekerjaan serta ditandatangani oleh kedua belah pihak; (iv) Melarang perumusan klausula ganti rugi bagi pemerintah dalam perjanjian.

74

b.

72

Pasal 14 huruf c 73

Pasal 19 ayat (5) 74

Aturan teknis dalam hal metode Pemilihan langsung tidak jauh berbeda dengan Penunjukan Langsung sebagaimana diatur dalam Keppres Nomor 14 Tahun 1976.

(37)

Pengadaan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah yang dibiayai dengan APBN/ APBD seyogianya dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien dengan prinsip persaingan sehat, transparan, terbuka, dan perlakuan yang adil bagi semua pihak, sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi fisik, keuangan maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas Pemerintah dan pelayanan masyarakat, oleh karena itu diperlukan penyempurnaan perihal pengaturan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah.

Lahirnya Keputusan Presiden No. 18 Tahun 2000 merupakan tonggak sejarah dalam pengaturan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah. Sebab selain terdapat beberapa perubahan dalam berbagai aspek pengadaan, Keputusan Presiden ini merupakan aturan tentang Pengadaan Barang/ Jasa yang bersifat terpisah dan khusus. Pada periode sebelumnya peraturan terkait Pengadaan Barang/ Jasa selalu disisipkan dalam Keppres pelaksanaan APBN.

Pada periode ini, Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah diatur pada :

1) Keputusan Presiden RI No. 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa Instansi Pemerintah.

2) Keputusan Bersama Menteri Keuangan RI dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional No. S-42/A/2000 (Nomor S-2262/D.2/05/2000) tentang Pedomaan Pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa Instansi Pemerintah.

3) Keputusan Bersama Menteri Keuangan RI dan Kepala Badan Perencanaan

(38)

Perencanaan Pembangunan Nasional tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pedomaan Pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa Instansi Pemerintah.

4) Keputusan Bersama Menteri Keuangan RI dan Menteri Negara perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional No. KEP-54/A/2002 (No. KEP.247/M.PPN/04/2002) tentang Perubahan Kedua atas Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan RI dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional No. S-42/A/2000 (No. S-2262/D.2/05/2000) tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Keputusan Presiden No. 18 Tahun 2000 tentang Pedomaan Pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa Instansi Pemerintah.

5) Keputusan Bersama Menteri Keuangan RI dan Menteri Negara perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional No. KEP-97/KM.2/2002 (No. KEP.289/M.PPN/08/2002) tentang Perubahan Ketiga atas Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan RI dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional No. 42/A/2000 (No. S-2262/D.2/05/2000) tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Keputusan Presiden No. 18 Tahun 2000 tentang Pedomaan Pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa Instansi Pemerintah.

Pengadaan Barang/ Jasa pada periode ini merupakan kegiatan Pengadaan Barang/ Jasa yang meliputi :

(39)

- Pengadaan jasa;75 - Pengadaan jasa lainnya.

Demi menjamin efektifitas pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa sesuai dengan tujuan dan prinsip – prinsip yang telah ditetapkan, Keputusan Presiden No. 18 Tahun 2000 telah menetapkan metoda pemilihan penyedia barang/ jasa. Metoda pemilihan tersebut dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut :

Gambar 2.1

Metode Pemilihan Penyedia Barang/ Jasa Berdasarkan Keputusan Presiden No. 18 Tahun 200076

Dalam Keputusan Presiden ini tidak membedakan secara tegas pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa. Istilah swakelola memang sudah diperkenalkan sebagai pelaksanaan pekerjaan yang direncanakan, dikerjakan dan diawasi sendiri dengan menggunakan tenaga sendiri, alat sendiri, atau upah borongan tenaga. Namun

75

Termasuk di dalamnya adalah jasa pemborongan dan jasa konsultansi. 76

(40)

pengaturan lain perihal swakelola tidak dijabarkan dalam regulasi pengadaan periode ini.

Pelelangan merupakan serangkaian kegiatan untuk menyediakan kebutuhan barang/jasa dengan cara menciptakan persaingan yang sehat diantara penyedia barang/ jasa yang setara dan memenuhi syarat, berdasarkan metode dan tata cara tertentu yang telah ditetapkan dan diikuti oleh pihak – pihak yang terkait secara taat azas sehingga terpilih penyedia jasa terbaik.

Jika cara Pelelangan sulit dilaksanakan atau tidak menjamin pencapaian sasaran, maka dapat dilaksanakan dengan cara Pemilihan Langsung, yaitu membandingkan penawaran dari beberapa penyedia barang/ jasa yang memenuhi syarat melalui permintaan harga ulang (price quotation) atau permintaan teknis dan harga serta dilakukan negosiasi secara bersaing, baik dilakukan untuk teknis maupun harga, sehingga diperoleh harga yang wajar dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan.

Apabila terjadi kondisi – kondisi tertentu, seperti : (i) Pengadaan Barang/ Jasa yang berskala kecil;73 (ii) setelah dilakukan Pelelangan Ulang hanya 1 (satu) peserta yang memenuhi syarat; serta (iii) bersifat mendesak/ khusus,77 maka Pengadaan Barang/ Jasa dapat dilaksanakan dengan cara Penunjukan Langsung.78

Begitu pula halnya dengan pemilihan penyedia jasa konsultansi. Pada prinsipnya pemilihan penyedia jasa konsultansi dilakukan dengan cara Seleksi

77

Setelah mendapat persetujuan dari Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non-Departemen/ Gubernur/ Bupati/ Walikota/ Direksi BUMN/BUMD.

78

(41)

Umum, yakni seleksi yang pesertanya dipilih melalui proses prakualifikasi, dilakukan terbuka melalui media cetak dan papan pengumuman resmi untuk penerangan umum serta jika memungkinkan melalui media elektronik, agar konsultan yang memenuhi syarat dapat mengikutinya. Namun, apabila dengan Seleksi Umum tidak dapat terlaksana, maka pemilihan penyedia jasa dapat dilakukan dengan metode Seleksi Langsung atau Penunjukan Langsung.

Kepala Kantor/ Satuan kerja/ Pemimpin proyek/ bagian proyek/ pejabat yang disamakan/ ditunjuk menentukan penyedia jasa secara Penunjukan Langsung apabila: (i) nilai yang hendak diperjanjikan sampai dengan Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); (ii) setelah dilakukan Pelelangan Ulang hanya 1 (satu) peserta yang memenuhi syarat; (iii) bersifat mendesak/ khusus; (iv) penyedia jasa tunggal.

Keputusan Presiden No. 18 Tahun 2000 tidak mengatur permasalahan pekerjaan konstruksi secara mendetail. Terkait pekerjaan Jasa Konstruksi diatur tersendiri dalam beberapa regulasi, yakni :

1. Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi;

2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 28 Tahun 2000 Tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi;

3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 29 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi;

(42)

c.

Diperlukannya pengaturan perihal Pengadaan Barang/ Jasa pemerintah yang lebih komprehensif dilatarbelakangi beberapa kondisi, antara lain, besarnya pembelanjaan uang APBN/ APBD yang dibelanjakan/ dikeluarkan melalui proses Pengadaan Barang/ Jasa; masih tingginya tingkat kebocoran dalam pelaksanaan APBN/ APBD; adanya ketidakjelasan pengaturan dan benturan aturan yang mengatur Pengadaan Barang/ Jasa pemerintah; serta, adanya liberalisasi perdagangan di masa datang sebagai tantangan yang berat.

Oleh karena itu disusunlah Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003, dengan tujuan antara lain, mengurangi ekonomi biaya tinggi dan untuk meningkatkan efisiensi; meningkatkan persaingan sehat; melindungi dan memperluas peluang usaha kecil/ koperasi kecil; serta meningkatkan profesionalisme SDM pelaksana dan pengelola proyek.

Pada periode ini, Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah diatur pada : Periode Nopember 2003 – Desember 2010

1) Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah.

2) Keputusan Presiden No. 61 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah.

(43)

4) Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2005 tentang Perubahan Ketiga Atas Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah.

5) Peraturan Presiden No. 8 Tahun 2006 tentang Perubahan Keempat Atas Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah.

6) Peraturan Presiden No. 79 Tahun 2006 tentang Perubahan Kelima Atas Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah.

7) Peraturan Presiden No. 85 Tahun 2006 tentang Perubahan Keenam Atas Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah.

8) Peraturan Presiden No. 95 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketujuh Atas Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah.

(44)

Dari perluasan pengertian Keuangan Negara maka modal yang telah dipisahkan dalam BUMN/ BUMD merupakan Keuangan Negara.79

Peraturan

Akibatnya terjadi ketidaksinkronan antara paket UU Keuangan Negara dengan peraturan lain, khususnya terkait Perseroan Terbatas, BUMN dan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah. Dalam hal ini penulis akan memberikan beberapa contoh peraturan tersebut.

Tabel 2.2

Ketidaksinkronan peraturan terkait perluasan pengertian keuangan Negara dan pengadaan barang/ jasa di BUMN

Pasal Terkait Bunyi

UU No. 19 Tahun 2003 Tentang BUMN

Penjelasan Umum Angka VI

UU BUMN dimaksudkan untuk memenuhi visi pengembangan BUMN di masa yang akan datang dan

meletakan dasar-dasar dan prinsip – prinsip tata kelola perusahaan yang baik. UU BUMN dirancang untuk menciptakan sistem pengelolaan dan pengawasan BUMN berlandaskan prinsip efisiensi da produktivitas guna meningkatkan kerja dan value BUMN serta menghindarkan BUMN dari tindakan-tindakan pengeksploitasian di luar asas tata kelola perusahaan yang baik.

Penejelasan Pasal 4 ayat (1)

Yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan Negara dari APBN untuk dijadikaan penyertaan modal Negara pada BUMN, untuk selanjutnya pembinaan dan

pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada

79

(45)

prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat.

UU No. 15 Tahun 2006

Tentang Badan Pemeriksa Keuangan

Pasal 6 ayat (1) BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab Keuangan Negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola Keuangan Negara.

PP No. 23 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum

Pasal 1 Angka 2 Pola Pengelolaan BLU adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, sebagai pengecualian dari ketentuan

pengelolaan keuangan negara pada umumnya.

Pasal 20 ayat (2) Kewenangan Pengadaan Barang/Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan berdasarkan jenjang nilai yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan/ Gubernur/ Bupati/ Walikota.

Penjelasan Pasal 20 ayat (1)

BLU dapat dibebaskan sebagian atau seluruhnya dari ketentuan yang berlaku umum bagi Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah bila terdapat alasan efektivitas dan/atau efisiensi. PP No. 45 Tahun 2005

tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran BUMN

Pasal 99 ayat (1) Pengadaan Barang dan Jasa oleh BUMN yang menggunakan dana langsung dari APBN dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan APBN.

(46)

Pengadaan Barang dan Jasa bagi BUMN yang bersangkutan, selain Pengadaan Barang dan Jasa

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan pedoman umum yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 75 ayat (1) Pengadaan Barang/ Jasa kegiatan yang dibiayai Pinjaman Luar Negeri atau Hibah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-Pasal 4 Peraturan Menteri ini berlaku untuk

semua Pengadaan Barang dan Jasa yang dilakukan oleh BUMN yang

pembiayaannya berasal dari anggaran BUMN atau anggaran pihak lain termasuk yang dibiayai dari

pinjaman/hibah luar negeri (PHLN) baik yang dijamin maupun tidak dijamin oleh Pemerintah, kecuali Pengadaan Barang dan Jasa tersebut menggunakan dana langsung dari APBN/ APBD baik sebagian maupun seluruhnya. Pasal 5 ayat (2)

Huruf D

Memunculkan norma baru yakni : Pembelian langsung, yaitu pembelian terhadap barang yang terdapat di pasar dengan demikian nilainya berdasarkan harga pasar.

Surat Edaran Menteri Negara Pendayagunaan BUMN No.

SE-01/MP/BUMN/1998

Secara garis besar berisi permintaan kepada Direksi BUMN untuk menyusun ketentuan Pengadaan Barang dan Jasa yang pendanaannya bersumber dari dana perusahaan.

Surat Edaran Kementerian Negara BUMN No. S-298/S.MBU/2007

Secara garis besar berisi :

(47)

tidak berlaku Keppres No. 80 Tahun 2003;

• Tata cara Pengadaan Barang dan Jasa instansi Pemerintah sejak tahun 1998 tidak berlaku bagi BUMN

(berdasarkan PP No. 12 Tahun 1998 tentang PERSERO dan PP No. 13 Tahun 1998 tentang PERUM);

• Direksi BUMN menetapkan Tata Cara Pengadaan Barang dan Jasa;

Sumber : pandangan Arifin. P. Soeria Atmadja terhadap undang – undang Keuangan Negara dan Keppres No. 80 Tahun 2003 hal. 35

Pada periode ini, pengaturan perihal bentuk Pengadaan Barang/ Jasa di Indonesia dijabarkan lebih komprehensif dibanding periode sebelumnya. Bentuk pengadaan dibagi dalam empat kategori, yakni :

a. Pengadaan Barang; b. Pengadaan jasa;80 c. Pengadaan jasa lainnya;

d. Pengadaan Barang/ Jasa melalui Swakelola

Demi menjamin pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa pemerintah yang efektif, efisien dan ekonomis, Keppres Nomor 80 Tahun 2003 telah menetapkan metoda pemilihan penyedia barang/ jasa. Metoda pemilihan tersebut dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut :81

80

Termasuk dalam kategori pengadaan jasa yakni pengadaan jasa pemborongan dan jasa konsultansi 81

(48)

Gambar 2.2

Metode Pemilihan Penyedia Barang/Jasa Berdasarkan Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003

Pada prinsipnya pemilihan penyedia barang/ jasa pemborongan/ jasa lainnya dilakukan dengan metoda pelelanganumum. Metoda ini merupakan metoda pemilihan yang dilakukan secara terbuka dengan pengumuman secara luas melalui media massa dan papan pengumuman resmi untuk penerangan umum sehingga masyarakat luas dunia usaha yang berminat dan memenuhi kualifikasi dapat mengikutinya.

Adapun pemilihan penyedia barang/ jasa pemborongan/ jasa lainnya dapat dilakukan dengan menggunakan metode pelelangan terbatas, dengan syarat (1) jumlah penyedia barang/ jasa yang mampu melaksanakan diyakini terbatas, dan (2)

Pelelangan Umum

Pelelangan Terbatas

Pemilihan Langsung

Penunjukan Langsung

Seleksi Umum

Seleksi Terbatas

Seleksi Langsung

Penunjukan Langsung Pengadaan Jasa

Lainnya

Swakelola Penyedia Barang/ Jasa

Pengadaan Barang/ Jasa Pemborongan/ Jasa Lainnya

(49)

mengerjakan pekerjaan yang kompleks.82 Pada prinsipnya, proses pelelangan terbatas sama dengan pelelangan umum kecuali, dalam pengumuman pelelangan terbatas dicantumkan kriteria peserta dan nama-nama penyedia barang/jasa yang akan diundang.83

Pemilihan langsung dilakukan dengan membandingkan sebanyak-banyaknya penawaran, sekurang-kurangnya 3 (tiga) penawaran dari penyedia barang/ jasa yang telah lulus prakualifikasi serta dilakukan negosiasi baik teknis maupun biaya serta harus diumumkan minimal melalui papan pengumuman resmi untukpenerangan umum dan bila memungkinkan melalui internet.84

peserta lelang yang baru atau keseluruhan peserta lelang masih kurang dari 3 (tiga) peserta, maka panitia/ pejabat pengadaan melanjutkan proses pemilihan dengan metoda seperti pemilihan langsung apabila peserta yang mendaftar/ lulus prakualifikasi hanya 2 (dua) peserta. Pemilihan langsung dapat dilaksanakan untuk pengadaan yang bernilai sampai dengan Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Metode inipun dapat dilaksanakan apabila setelah pengumuman lelang/ prakualifikasi diulang, ternyata tidak ada tambahan calon

85

82

Pasal 17 ayat (3) Keppres No.80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. 83

Pengumuman ini tidak menutup kemungkinan adanya penyedia barang/jasa yang berminat namun tidak tercantum dalam nama-nama yang diundang/disebutkan terlebih dahulu.

84

Pasal 17 ayat (4) Keppres No.80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. 85

(50)

Pemilihan Penyedia Barang/ Jasa dapat dilakukan dengan cara penunjukan langsung terhadap 1 (satu) penyedia barang/ jasa dalam keadaan tertentu dan keadaan khusus dengan cara melakukan negosiasi baik teknis maupun biaya sehingga diperoleh harga yang wajar dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan.86

Pada prinsipnya, keadaan tertentu yang dimaksud secara lengkap adalah sebagai berikut :87

1) Penanganan darurat untuk pertahanan negara, keamanan dan keselamatan masyarakat yang pelaksanaan pekerjaannya tidak dapat ditunda, atau harus dilakukan segera, termasuk penanganan darurat akibat bencana alam; dan/ atau

2) Pekerjaan yang perlu dirahasiakan yang menyangkut pertahanan dan keamanan negara yang ditetapkan oleh Presiden; dan/ atau

3) Pekerjaan yang berskala kecil dengan nilai maksimum Rp 50.000.000,00 (Lima puluh juta rupiah), dengan ketentuan:

a) untuk keperluan sendiri; dan/ atau b) teknologi sederhana; dan/ atau c) risiko kecil; dan/ atau

d) dilaksanakan oleh penyedia barang/ jasa usaha orang perseorangan dan/ atau badan usaha kecil termasuk koperasi kecil; dan/ atau

4) Pekerjaan pengadaan barang dan pendistribusian logistik pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang penanganannya memerlukan pelaksanaan secara cepat dalam rangka penyelenggaraanpemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang diselenggarakan sampai dengan bulan Juli 2005 berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan/atau

5) Pekerjaan pengadaan barang dan jasa yang penanganannya memerlukan pelaksanaan secara cepat dalam rangka rehabilitasi dan rekonstruksi di 86

Demi terselenggaranya proses pemilihan penyedia barang/ jasa ini dengan transparan, adil dan terhindar dari KKN maka peran serta masyarakat diperlukan dengan cara menyampaikan pengaduan kepada instansi bersangkutan dan instansi berwenang lainnya apabila terdapat indikasi penyimpangan terhadap asas-asas transparansi, fairness dan bebas KKN.

87

(51)

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara yang dilaksanakan oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara. Pekerjaan tersebut meliputi :

a) pekerjaan pengadaan perumahan, yang waktu pelaksanaan pengadaannya dilakukan sebelum 31 Desember 2006;

b) pekerjaan yang dilakukan dalam rangka meneruskan pekerjaan pengadaan perumahan yang tidak dilaksanakan oleh pemberi hibah sesuai dengan tenggat waktu yang telah ditetapkan oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi, yang penyelesaian pekerjaannya perlu dilaksanakan secara cepat paling lama 1 (satu) tahun setelah pemberi hibah tidak mampu melaksanakan kewajibannya; dan/ atau

6) Pekerjaan pengadaan barang dan pendistribusian logistik pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang penanganannya memerlukan pelaksanaan secara cepat dalam rangka penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi dan kabupaten/ kota yang diselenggarakan sampai dengan bulan Desember 2006 berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pekerjaan tersebut meliputi pengadaan Kartu Tanda Penduduk, pengadaan dan pendistribusian surat suara, kartu pemilih beserta perlengkapan lainnya untuk pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Adapun keadaan atau Pengadaan Barang/Jasa khusus selengkapnya adalah sebagai berikut :

1) Pekerjaan berdasarkan tarif resmi yang ditetapkan pemerintah; atau

2) Pekerjaan/ barang spesifik yang hanya dapat dilaksanakan oleh satu penyedia barang/ jasa, pabrikan, pemegang hak paten; atau

3) Merupakan hasil produksi usaha kecil atau koperasi kecil atau pengrajin industri kecil yang telah mempunyai pasar dan harga yang relatif stabil; atau 4) Pekerjaan yang kompleks yang hanya dapat dilaksanakan dengan penggunaan

teknologi khusus dan/ atau hanya ada satu penyedia barang/ jasa yang mampu mengaplikasikannya; atau

5) Pekerjaan pengadaan dan distribusi bahan obat, obat dan alat kesehatan dalam rangka menjamin ketersediaan obat untuk pelaksanaan peningkatan pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang jenis, jumlah dan harganya telah ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan.

(52)

1) Jumlah penyedia barang/jasa yang memasukkan penawaran kurang dari 3 (tiga) peserta; atau

2) Tidak ada penawaran yang memenuhi persyaratan administrasi dan teknis; atau

3) Harga penawaran terendah lebih tinggi dari pagu anggaran yang tersedia.

Apabila dalam pelelangan ulang, jumlah penyedia barang/ jasa yang lulus prakualifikasi hanya 1 (satu) maka dilakukan permintaan penawaran dan negosiasi seperti pada proses penunjukan langsung. Begitu pula halnya apabila dalam pelelangan ulang, jumlah penyedia barang/ jasa yang memasukkan penawaran hanya 1 (satu) maka dilakukan negosiasi seperti pada proses penunjukan langsung.88

Pemilihan Penyedia Jasa Konsultansi pada prinsipnya harus dilakukan melalui Seleksi Umum, yakni metoda pemilihan penyedia jasa konsultansi yang daftar pendek pesertanya dipilih melalui proses prakualifikasi secara terbuka yaitu diumumkan secara luas melalui media massa dan papan pengumuman resmi untuk penerangan umum sehingga masyarakat luas mengetahui dan penyedia jasa konsultansi yang berminat dan memenuhi kualifikasi dapat mengikutinya.

Negosiasi seperti pada proses penunjukan langsung juga terjadi apabila dalam seleksi umum/ terbatas ulang, jumlah penyedia jasa konsultansi yang memasukkan penawaran hanya 1 (satu).

89

88

Pasal 28 ayat (7) dan (8) Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

89

(53)

Apabila pekerjaan yang hendak dilaksanakan merupakan pekerjaan yang kompleks dan diyakini bahwa jumlah penyedia jasa konsultansi yang mampu melaksanakan pekerjaan tersebut terbatas, maka metode seleksi terbatas dapat digunakan.

Berdasarkan pasal 28 ayat (2), seleksi umum dan terbatas dinyatakan gagal oleh Panitia/ Pejabat Pengadaan, apabila :

1) Jumlah penyedia jasa konsultansi yang memasukkan penawaran kurang dari 3 (tiga) peserta; atau

2) Tidak ada penawaran yang memenuhi persyaratan administrasi dan teknis;90

3) Negosiasi atas harga penawaran gagal karena tidak ada peserta yang menyetujui/menyepakati klarifikasi dan negosiasi.

atau

91

Pengadaan Barang/ Jasa pemerintah dapat dilaksanakan dengan cara swakelola, yakni pelaksanaan pekerjaan yang direncanakan, dikerjakan, dan diawasi sendiri. Pelaksana kegiatan swakelola tersebut yakni, pengguna barang/jasa, instansi

90

Menurut penjelasan pasal tersebut, seleksi ulang yang disebabkan karena tidak ada peserta yang memenuhi persyaratan teknis maka dilakukan dengan: (1) melakukan perbaikan KAK; (2) mengumumkan kembali pengadaan jasa konsultansi; (3) melakukan kembali prakualifikasi dan menyusun kembali daftar pendek konsultan.

91

Gambar

Tabel 2.1
Gambar 2.1 Metode Pemilihan Penyedia Barang/ Jasa Berdasarkan
Tabel 2.2
Gambar 2.2 Metode Pemilihan Penyedia Barang/Jasa Berdasarkan
+5

Referensi

Dokumen terkait

Studi pendahuluan yang dilakukan tentang ritel modern dengan menyebarkan 50 kuesioner dapat terlihat bahwa Hardy’s Mall Gianyar menjadi pilihan favorit masyarakat

Berdasarkan hasil penelitian hubungan antara penguasaan Matematika dan Fisika secara bersama-sama dengan penguasaan Mekanika Teknik pada siswa SMK Negeri di Surabaya

ScienceDirect Emerald Insight Sage Journal Online

Tujuannya adalah untuk mempromosikan Tory Gym ke masyarakat luas serta membuat user yang mengunjungi website ini menjadi tertarik untuk bergabung menjadi member Tory Gym. Website

Sebaliknya, lapisan ozon di atmosfer melindungi kehidupan di Bumi karena ia melindunginya dari radiasi sinar ultraviolet yang dapat menyebabkan kanker.. Oleh karena itu, para

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh variabel modal, jam dagang dan lokasi berdagang terhadap pendapatan pedagang mikro makanan dan minuman di sekitar

Hasil yang diperoleh (1) terdapat perbedaan yang signifikan Skor motivasi antara kelompok mahasiswa, rata-rata skor motivasi kelompok mahasiswa S1 PGSD Bidang Ilmu lebih tinggi

Diantara larutan serbuk biji mimba yang dapat dipergunakan adalah kepekatan 40% karena dapat membunuh nimpa 27%, membunuh dewasa 20,9% dan mencegah caplak betina dewasa tidak