• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Neutrophil – Lymphocyte Count Ratio Dengan Kadar Procalcitonin Pada Pasien Sepsis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Antara Neutrophil – Lymphocyte Count Ratio Dengan Kadar Procalcitonin Pada Pasien Sepsis"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. SEPSIS 2. 1.1 Definisi

Defenisi sepsis pertama sekali diperkenalkan oleh American college Of Chest Physicians (ACCP) dan The Society Of Critical Care Medicine (SCCM) Consensus Conference padea tahun 1991, dimana sepsis diartikan sebagai suatu respons inflamasi sisemik (systemic inflammatory response) terhadap infeksi3. Tabel 2.1. Kriteria diagnostik untuk sepsis.

Beberapa tahun terakhir ada usaha untuk mengambarkan status imunologi pasien sepsis. Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), untuk menerangkan proses non-Tabel 2. 1 Kriteria Diagnostik

(2)

spesifik, sistemik aktifasi dari system imun bawaan dan respons sitokin pro-inflamasi selama terjadinya sepsis. Manifestasi SIRS dapat berupa dua atau lebih dari gejala berikut : 1) Suhu

> 38⁰C atau < 36⁰C; 2) Takikardia (HR > 90 kali/menit; 3) Takipneu (RR > 20 kali/menit)

atau PaCO2 < 32 mmHg; 4) Lekosit darah > 12.000/µL, <4.000/µL atau neutrofil batang >

10%.

Sebaliknya istilah Compensatory Anti-Inflammatory Response Syndrome (CARS) telah digunakan untuk mendefenisikan status imunologi pasien pasien sepsis yang manifestasi

utamanya berupa gambaran deaktifasi dari sel makrofag, jumlah dari sel antigen presenting yang berkurang, anergy dari sel-T, dan perubahan T-helper yang didominasi menjadi TH-2

respons. Pasien sepsis yang status imunologiknya memiliki gambaran yang lebih heterogen disebut Mixed Anti-Inflammatory Response Syndrome (MARS), meskipun defenisi ini belum sering digunakan oleh para ahli sepsis36.

Adanya infeksi merupakan dasar dari patofisiologi dari sepsis, dan sepsis hanya ditegakkan pada keadaan SIRS bila infeksi dapat dipastikan (kultur kuman positif) atau diduga secara kuat. Namun terdapat 30% pasien sepsis yang tidak dapat dipastikan infeksi penyebabnya. Meskipun sepsis biasanya berhubungan dengan infeksi bakteri, namun tidak harus terdapat bakteremia36-39. Secara klinis sepsis dapat bertambah berat atau memburuk, yaitu menjadi sepsis berat atau syok sepsis. Derajat keparahan sepsis dapat mempengaruhi prognosis secara independen40.

Sepsis berat adalah sepsis yang berhubungan dengan adanya disfungsi organ (satu atau lebih) hipoperfusi jaringan atau hipotensi. Hipoperfusi termasuk asidosis laktat, oligouria dan perubahan status mental3. Adapun pertanda spesifik dari disfungsi organ adalah : 1) Renal : urine output < 0.5 ml/kg/bb/jam yang menetap setelah resusitasi cairan, atau peningkatan kreatinin serum > 2 mg/dl atau memerlukan dialysis akut; 2) pernafasan : PaCO2/FiO2 ≤ 200; 3) hematologi : trombosit < 100.000/mm3atau penurunan > 50% dalam 72 jam atau adanya keadaan koagulopati, yang ditandai dengan Prothrombin time dan partial thromboplastin time memanjang, FDP meningkat, atau juga terjadinya suatu disseminated intravascular coagulation (DIC); 4) asidosis metabolik; kombinasi PH≤ 7.30 atau deficit basa ≥ 5 mmol/L yang berhubungan dengan kadar laktat serum > 1x mmol/L 5) perubahan status mental; 6) gangguan hepatic; adanya jaundice atau hiperbilirubinemia, peningkatan

(3)

Sedangkan syok sepsis adalah sepsis yang disertai hipotensi (TDs < 90 mmhg, atau penurunan ≥ 40 mmhg dari tekanan darah sebelumnya) tanpa ada penyebab hipotensi lainnya yang menetap walaupun telah dilakukan resusitasi cairan yang adekuat3,41,42.

2.1.2. Epidemiologi

Sepsis dalam 20 tahun terakhir meningkat di Amerika Serikat, diperkirakan jumlah kasus sepsis 400.000 – 500.000 setiap tahunnya. Data di Amerika Serikat menunjukkan pada tahun 1979 tercatat 164.000 kasus sepsis (87,2/100.000 populasi), sedangkan pada tahun 2000 tercatat 600.000 kasus (240,4/100.000 populasi) sehingga terjadi peningkatan insiden

pertahun 8,7%. Sepsis merupakan penyebab terbanyak kematian di ruang rawat intensif pada seluruh dunia dengan angka mortalitas 28.6% untuk sepsis, 32.2% sepsis berat dan 54%% syok sepsis. Di Amerika Serikat, sepsis merupakan penyebab kematian utama pada pasien jantung yang dirawat di Intensive Care Unit (ICU)1,43.

2.1.3. Etiologi

Infeksi pada sepsis dapat disebabkan oleh bakteri, jamur, parasit, virus, atau benda asing yang masuk kedalam system sirkulasi. Selama periode 1979 – 2000 di Amerika Serikat angka sepsis terus meningkat sampai 13,7% per tahun. Dari hasil biakan kuman yang tumbuh, 52,1% diantaranya adalah gram positif, 37,5% gram negative, 4,7% polimikrobial, 4,6% jamur, dan 1% bakteri anaerob. Infeksi bakteri gram positif terus meningkat disebabkan oleh peningkatan infeksi nosokomial dari berbagai sumber seperti kateterisasi atau terapi imunosupresif. Hal ini ditunjukkan dari meningkatnya kasus MRSA (Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus) dari 29% menjadi 45%. Infeksi terutama terjadi pada saluran nafas

(4)

(40-44%), diikuti oleh infeksi saluran genitourinarius 18%) dan infeksi intra abdominal (9-14%)43.

2.1.4. Patogenesis dan patofisiologi sepsis

Sepsis merupakan puncak dari interaksi yang kompleks antara organism penyebab infeksi dan host imun. Kedua hal yakni respon host dan karakteristik dari organisme penyebab infeksi mempengaruhi outcome sepsis44.

Pada sepsis diawali dengan aktifasi sistem imun bawaan, sebagai respons terhadap infeksi, melalui pengenalan terhadap benda asing yakni lipopolisakarida bakteri(endotoksin atau LPS). Mekanisme ini antara lain pelepasan sitokin, aktifasi neutrofil, monosit dan makrofag dan sel endotel serta aktifasi komplemen, koagulasi, fibrinolitik, dan system kontak38,45,62.

(Dikutip dari :Annane D., Bellissant E., Cavaillon J-M. Septic Shock, The Lancet, 2005)

Toll-like receptors(TLR) mengatur mekanisme pertahanan tubuh dan berperan penting dalam aktifasi imun bawaaan. TLR adalah reseptor pada permukaan sel yang mengenali komponen molekuler dari mikroorganisme. Pada fase awal dari infeksi, TLR mengaktifasi system imun bawaan dan menghancurkan pathogen dari makrofag, natural killer cells dan system komplemen. Pada fase kedua, TLR mengaktifasi system imun didapat dengan mengaktifasi limfosit T dan B. Disini produksi sitokin berperan penting. Makrofag dan monosit yang

(5)

teraktifasi adalah sel yang utama yang menghasilkan sitokin, tapi fibroblast, neutrofil dan sel endotel juga dapat menghasilkan sitokin37,46.

TLR-4 mengenali LPS bakteri gram negatif, TLR-2 mengenali peptidoglycan bakteri gram positif. Ikatan TLR dengan epitop pada mikroorganisme akan mengaktifkan intracellular signal transduction pathway yang mengaktifkan cytosolic nuclear factor kB (NF-kB). NF-kB meningkatkan transkripsi sitokin.Sitokin akan mengaktifkan sel endotel dengan

meningkatkan ekspresi molekul permukaan dan memperkuat adhesi neutrofil dan endotel di tempat infeksi. Sitokin juga menyebabkan injuri sel endotel melalui induksi neutrofil, monosit, makrofag dan trombosit yang melekat pada sel endotel.

Sitokin melepaskan mediator seperti protease, oksidan, prostaglandin, dan leukotrine. Protease, oksidan, prostaglandin, dan leukotrien, akan merusak sel endotel, menimbulkan peningkatan pemeabilitas, vasodilatasi dan perubahan keseimbangan prokoagulan dan koagulan. Sitokin juga mengaktifasi kaskade koagulasi. Selain itu endotel yang teraktifasi akan melepaskan nitric oxide (NO), suatu bahan vasodilator poten yang berperan pada shock sepsis42,44,45,47.

Sitokin dibedakan menjadi proinflamsi dan anti inflamasi, tergantung fungsinya. TNF-α, IL-1ß, IL-6, Il-8, Il-12 adalah sitokin proinflamasi utama yang berperan dalam aktifasi awal dari respons inflamasi sistemik pada sepsis. TNF-α terutama diproduksi oleh monosit dan makrofag, dan bekerja merangsang produksi molekul adhesi pada sel endotel serta system koagulasi dan komplemen38.

IL-1 terutama dihasilkan oleh monosit dan makrofag. IL-1ß dan TNF-α mempunyai efek sinergik. IL-1ß merangsang produksi IL-6, IL-8 dan TNF-α dan dapat menyebabkan perubahan hemodinamik sama seperti shock sepsis. Pada banyak penelitian didapat bahwa kadar IL-1ß tidak berhubungan dengan beratnya penyakit, sedangkan TNF-α berhubungan dengan beratnya penyakit pada beberapa studi.

Sepsis juga mengaktifkan produksi dan pelepasan sitokin anti inflamasi. IL-1 receptor

antagonist (IL-1ra) menghambat IL-1, yang berikatan secara kompetitif dengan reseptor IL-1 dan menghambat kerja IL-1. IL-1ra dihasilkan terutama oleh makrofag, Beberapa studi gagal membuktikan bahwa pemberian IL-1ra pada sepsis dapat memperbaiki mortalitas pada sepsis.

(6)

merupakan sumber utama dari sitokin ini. IL-10 tidak hanya membatasi beratnya respons imflamasi, tapi juga mengatur proliferasi sel T, sel B, natural killer cells, antigen precenting cells, cel mast dan granulosit. Sitokin ini berperan dalam imun supresi, sebagai stimulator imunitas bawaan dan imunitas TH-2. Beberapa studi mendapatkan bahwa pada keadaan sepsis . kadar sitokin IL-10 meningkatdan lebih meningkat lagi pada syok sepsis.

IL-6 merupakan sitokin yang paling banyak diteliti pada sepsis dan paling sering

ditemukan meningkat.Kadarnya meningkat lebih lama dibandingkan TNF-α dan iIL-1ß. Sitokin ini terutama diproduksi oleh monosit dan makrofag dan sel indotel dan berhubungan dengan derajat beratnya sepsis sehingga peningkatan yang persisten berhubungan dengan perkembangan multiple organ failure (MOF) dan prognosis buruk. Sitokin ini mengatur diferensiasi dari sel limfosit B dan T. Sitokin ini adalh pirogen endogen dan demam pada pasien sepsis disebabkan oleh sitokin ini. Sitokin ini juga bersifat anti inflamasi yang menghambat produksi sitokin pro-inflamasi lainnya dan respons yang adekuat dapat mengaktivasi HPA pada critical illness38,42.

IL-8 berfungsi mengaktifasi dan sebagai kemotaksis netrofil ke tempat inflamasi. Konsentrasi tinggi dari sitokin ini dapat merangsang infiltrasi netrofil, merusak endotel, kebocoran plasma dan injuri jaringan lokal. Sebaliknya sitokin ini juga menghambat migrasi netrofil apabila berada dalam sirkulasi, sehingga sitokin ini bersifat pro dan anti inflamasi.

2.1.5 Apoptosis pada sepsis.

Produksi yang berlebihan dari sitokin sitokin pro-inflamasi, seperti TNF-α dan IL-1, merupakan faktor yang penting dalam perkembangan sepsis, namun beberapa studi menunjukkan inhibitor sitokin pro-inflamasi seperti IL-1ra dan TNF reseptor antibody gagal memperbaiki hasil akhir pasien sepsis7,48. System imun pasien sepsis akan menjadi anergi dan tertekan setelah melewati masa hyper inflammatory respons10.

Hasil studi terbaru menunjukkan terjadinya mekanisme apoptosis dari sel

(7)

dalam alur akhir bersama dari program kematian sel-apoptosis. Caspase 8 yang merupakan bagian dari alur ektrinsic dapat diaktifkan oleh beberapa ligand dari reseptor apoptosis yang berbeda-beda termasuk oleh TNF-yang merupakan sitokin kunci yang meningkat pada pasien sepsis, dan CD95L (juga dikenal sebagai FASL). Alur ekstrinsik (mitochondrial pathway) dapat diaktifkan oleh berbagai macam rangsangan, termasuk reaktif oksigen species (ROS), radiasi dan agen kemoterapi. Studi menunjukkan bahwa kedua alur ektrinsik (alur death

reseptor) maupun alur intrinsic (alur mitochondria) terlibat dalam apoptosis limfosit yang disebabkan oleh sepsis. Studi yang dilakukan Hotchkiss dkk menunjukkan tikus yang dipaparkan dengan B cell lymphoma 2 (BCL-2) yang merupakan protein anti apoptosis dalam alur mitochondria terlibat mencegah apoptosis dari sel limfosit sel T dan sel B yang diinduksi oleh sepsis 14. Studi lain juga menunjukkan bahwa BCL-2 terlibat mencegah apoptosis sel limfosit melalui alur ekstrinsik (death receptor pathway) oleh karena adanya komunikasi tingkat sel diantara kedua alur tersebut52.

(8)

Meningkatnya apoptosis pada sel sel limfosit yang terjadi pada sepsis, berkontribusi terhadap Multiple Organ dysfunction Syndrome (MODS). Ada dua mekanisme utama mengapa apoptosis berkontribusi terhadap imun-paralisis pada pasien sepsis. Pertama, Penurunan jumlah sel B dan sel T mengurangi kemampuan respon imun didapat maupun bawaan dengan cara penurunan jumlah sel dendritic, sel yang paling penting dalam

mempresentasikan antigen14. Supresi imun (Immunoparalysis) yang terjadi karena apoptosis yang menyebabkan kehilangan dari sel limfosit berkontribusi terhadap infeksi sekunder.

Kedua fagositosis sel sel apoptosis sel limfosit oleh sel makrofag dan sel dendritic juga menyebabkan supresi imun oleh karena proses fagositosis sel limfosit menyebabkan pelepasan sitokin anti inflamasi seperti IL-10 24. Hal ini menyebabkan supresi sitokin pro-inflamasi dan juga inhibisi dari diferensisiasi sel Th-1. Hasil akhirnya berupa induksi anergy dari system imun dan TH2 respons dari system imun.

(9)

Sementara sel sel limfosit mengalami apoptosis yang dipercepat, spontan apoptosis dari neutrophil yang disebabkan sepsis tertunda hal ini disebabkan demarginasi neutrophil, dan stimulasi oleh faktor pertumbuhan oleh G-CSF22,58.

Gambar 2.4. Dampak Apoptosis terhadap Imun sistem

(10)

Tingkat dari apoptosis limfosit berkorelasi dengan derajat beratnya sepsis. Oleh karenanya memungkinkan untuk menentukan kondisi pasien sepsis apakah membaik atau memburuk, dan jika perlu mengganti obat-obatan dengan melihat tingkat apoptosis limfosit dari sirkulasi darah31.

Oleh karenanya respons imun terhadap inflamasi, secara efektif dapat dikarakteristikkan dengan membandingkan relatif neutrophil count (%) dengan relatif

limfosit count (%) (NLCR). Dalam kondisi fisiologis, neutrophil limfosit count ratio kurang dari 5 dianggap normal dengan asumsi nilai normal neutrophil kurang dari 75% dan hitung relative dari limfosit paling tinggi 15% sehingga rationya menjadi 75%/15% = 5. Dalam kondisi patologis seperti infeksi berat ratio ini dapat menigkat dimana neutrophilia menjadi 84% dan lymfositopenia menjadi 14%, sehingga NLCR nya = 6. Namun nilai cut-off ini juga berbeda beda tergantung institusi dan rumah sakitnya.

Zahorec dkk menunjukkan nilai NLCR yang semakin meningkat dengan semakin beratnya penyakit pada pasien critically ill28. LR. Ljungstorm dkk juga menemukan penigkatan nilai NLCR yang bermakna pada sepsis berat oleh karena infeksi E coli53. Roser dkk menggunakan NLCR sebagai prognostic petanda pada pasien sepsis bakteremia dengan nilai cut-off > 7.Nilai cut-off >7 merupakan independent risk faktor terhadap mortalitas pasien sepsis dengan bakteremia54. De jager dkk menyatakan lymphocytopenia dengan NLCR >10 merupakan petanda yang lebih baik untuk memprediksi bakteremia dibandingkan conventional petanda seperti CRP, WBC, dan neutrophil count32. Holub dkk menggunakan nilai cut-off NLCR 6.2 untuk digunakan sebagai biopetanda terhadap infeksi bakteri dan membedakannya dengan infeksi virus 33. Holub menyatakan bahwa NLCR dengan cut-off 6.2 memiliki sensitifitas 0.91 dan spesifitas 0.96 untuk bakteremia.

2.1.6 Biosintesis dan patofisiologi procalcitonin

PCT pertama kali diidentifikasi dari sel medullary tiroid carcinoma. PCT adalah

protein yang terdiri dari 116 asam amino (AA) dengan BM±13 kDa, yang dikode dengan gen

Calc-I yang terletak pada kromosom 11 dan diproduksi pada sel C kelenjar tiroid sebagai prohormon dari calcitonin.

(11)

tiroid, proses proteolitik menghasilkan sebuah fragmen N-terminal (57 AA), calcitonin (32 AA), dan katacalcin (21 AA). Kehadiran sinyal peptide membuat PCT disekresikan secara intak setelah glikosilasi oleh sel lain. Transkrip yang kedua dipotong secara terpilih yang mengandung exon 1,2,3,5,6 dan merupakan kode untuk Calcitonin Gene-Related Peptide

(CGRP), dimana CGRP dieskpresikan secara luas pada saraf di otak, pembuluh darah, dan saluran cerna. CGRP ini mempunyai peranan dalan immunomodulasi, neurotransmitter, dan

mengontrol vaskuler56.

Peningkatan nilai PCT pada tiroidektomi yang sepsis, menjelaskan bahwa tiroid C cell bukanlah satu-satunya tempat asal PCT. PCT mensekresikan semua produk-produk

biosintetik pathway dan telah dideteksi dalam homogenitas small cell carcinoma pada paru manusia. PCT mRNA diekspresikan pada sel monuklear darah perifer manusia dan bermacam-macam sitokin proinflamatory dan lipopolisakarida mempunyai efek stimulasi. Sekitar 1/3 dari limfosit dan monosit manusia yang tidak distimulasi mengandung protein PCT yang dapat didemonstrasikan secara imunologi, keadaan ini dipicu oleh lipopolisakarida bakteri, tetapi monosit dari pasien dengan syok sepsis memperlihatkan nilai basal yang meningkat dan peningkatan kadar PCT yang di stimulasi oleh lipopolisakarida.

Pada infeksi bakteri yang berat atau sepsis, proteolis spesifik gagal sehingga terjadi konsentrasi yang tinggi dariprotein precursor, begitu juga fragmen PCT yang berakumulasi dalam plasma. Asal mula sintesis PCT yang dirangsang oleh inflamasi belum diketahui dengan jelas saat ini. Sel-sel neuroendokrin di paru atau usus saat ini dianggap sumber utama PCT, karena pasien-pasien dengan tiroidektomi total tetap mampu menghasilkan PCT pada keadaan sepsis.

Produksi plasma PCT dapat diinduksi dari manusia sehat dengan injeksi lipopolisakarida (LPS) dalam jumlah rendah. Peninggian konsentrasi PCT, pertama kali

terdeteksi 2 jam sesudah injeksi endotoksin dan dalam waktu ± 12 jam. Setelah 2 – 3 hari,

kadar PCT akan kembali normal. Induksi yang spesifik dan cepat oleh stimulus yang adekuat akan menimbulkan produksi yang tinggi dari PCT pada pasien dengan infeksi berat atau

sepsis. Keadaan ini memperlihatkan patofisiologi PCT pada respon imun akut.

Pada orang sehat PCT diubah dan tidak ada sisa yang bebas ke aliran darah, karena itu

(12)

Dalam hal diagnostik, peran PCT sudah sangat jelas. Studi yang membandingkan PCT dengan CRP dalam membedakan proses infeksi dan inflamasi menunjukkan keunggulan PCT dengan sensitivitas (88% Vs 75%) dan spesifisitas (81% Vs 67%). PCT juga lebih sensitif dalam membedakan infeksi bakteri dengan infeksi virus. Simon dkk, dalam studinya secara tegas menyimpulkan bahwa dengan nilai cut off PCT < 0,25 ng/ml maka infeksi bakteri berat sudah dapat disingkirkan. Studi metaanalisis pada 10 studi dengan 905 pasien

didapatkan procalcitonin memiliki sensitifitas & spesifisitas lebih tinggi pada infeksi bakteri dibandingkan dengan infeksi virus. (PCT: 92 % Sensitifitas / 73 % Spesifisitas, CRP: 86 % Sensitifitas / 70 % Spesifisitas)63,64. Studi yang dilakukan oleh John Alfred Carr juga menyatakan bahwa nilai procalcitonin > 2 ng/ml merupakan nilai yang paling sensitif dan spesifik dalam mendiagnosis sepsis (87% dan 80% secara berurutan)65,66.

2.1.7 Hal-hal yang mempengaruhi kadar procalcitonin

Kadar PCT sangat stabil baik secarain vivoatauex vivowalaupun pada suhu ruangan. Juga terhadap pembekuan dan pencairan tidak mempengaruhi konsentrasi PCT secara signifikan. Konsentrasi PCT pada sampel arteri dan vena juga tidak berbeda. Tidak ada perbedaan konsentrasi PCT dalam sampel serum dan plasma dengan anti koagulan yang berbeda, perbedaan yang signifikan hanya pada plasma lithium-heparin. Bagaimanapun, perbedaan ini sangat kecil dengan rata-rata perbedaan <8%. Selain itu, kehilangan

konsentrasi PCT sehubungan dengan penyimpangan pada suhu 25⁰C juga rendah. Walau

setelah 24 jam penyimpanan pada suhu ruangan hanya 12,4% (mean) dari konsentrasi

sebenarnya yang hilang dan 6,3% (mean) yang hilang pada suhu 4⁰C. Penyimpanan pada

suhu ruangan lebih disarankan. Presentasi kerusakan konsentrasi PCT pada suhu 25⁰C dan

4⁰C adalah sama untuk kadar yang tinggi (PCT >8 ng/ml) dan kadar rendah (PCT <8 ng/ml).

Konsentrasi PCT berhubungan dengan ringan atau beratnya infeksi, tetapi tidak dipengaruhi oleh tipe kuman. Pada umumnya kadar procalcitonin pada infeksi jamur di antara 0.3 s./d < 2 ng/ml. Pada infeksi virus nilai procalcitonin berada < 2 ng/ml60. Kadar PCT menurun pada pasien yang berhasil (membaik) diterapi dengan antibiotic atau anti jamur yang efektif56,57.

Referensi

Dokumen terkait

Website ini bertujuan untuk mempermudah pengguna internet untuk mendapatkan informasi terbaru tentang Gereja HKBP Kramat Jati, disamping itu juga kita dapat mengetahui latar

Dalam penulisan ilmiah ini penulis akan menjelaskan tentang pembuatan program aplikasi penunjuk lokasi toko pada Mall Ambassador dengan menggunakan MapInfo Professional dan Visual

ULP Polres Jembrana Tahun Anggaran 2016, melaksanakan pembukaan penawaran untuk Pekerjaan Pengadaan Bekal Kantor (ATK) Polres Jembrana TA. Pembukaan penawaran

Jumlah Penawaran yang dinyatakan Gugur Evaluasi Harga = 0 penawar (hasil evaluasi harga selengkapnya seperti terlampir) dan dokumen yang dinyatakan lulus evaluasi

Tabel L1.1 dibawah menujukkan data massa batang dengan menggunakan Metode.

Hanya saja, pola proses pembelajaran ini perlu dikembangkan lebih lanjut untuk me- munculkan rasa percaya dalam kehidupan komunitas Samin kepada orang lain sehingga

Telah dilakukan penelitian “ Pembuatan dan Karakterisasi Keramik Alumina dengan Aditif Glass Bead”. Riset dilakukan dengan menggunakan dua buah jenis bahan yaitu alumina

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Model komunikasi PUG-ARG yang diujicobakan, mengerti tentang gender dan responsive gender, namun belum mengimplementasikan dalam program kerja,