• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekspresi Reseptor Progesteron B Pada Endometriosis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ekspresi Reseptor Progesteron B Pada Endometriosis"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

6 BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Endometriosis (awalnya bernama adenomioma) ditemukan 150

tahun yang lalu oleh Rokitansky sebagai adanya kelenjar epitel dan

stroma ektopik di endometrium. Endometriosis adalah penyakit jinak yang

didefinisikan sebagai adanya jaringan kelenjar dan stroma endometrium

ektopik atau di luar dari kavum uteri dan dihubungkan dengan nyeri pelvik

dan infertilitas. Kelenjar dan stroma ekstra uterin atau lesi endometriosis

dapat ditemukan di berbagai tempat terutama ovarium dan pada

permukaan organ rongga pelvik.13-15

Dulu, implan jaringan endometriosis yang klasik dikenal sebagai lesi

yang gelap, berwarna biru-hitam, bersifat seperti bubuk yang terbakar,

berada di bawah lapisan peritoneal. Sekarang, endometriosis ditemukan

dalam berbagai jenis dan bentuk lainnya. Lesi dapat bervariasi warna, dari

merah sampai coklat, hitam, putih atau kuning; lesi juga dapat ditemukan

dalam bentuk yang jernih atau vesikel merah. Bentuk dari lesi bergantung

pada lokasi, suplai darah, perdarahan yang terjadi, ada tidaknya fibrosis,

dan dapat merefleksikan subtipe fenotipe dari penyakit ini. Pada

kenyataannya, beberapa peneliti mempercayai bahwa lesi atipikal dapat

memiliki aktivitas biokimia yang lebih kompleks dan dapat menjadi tipe

(2)

7 2.2 Epidemiologi

Pada umumnya endometriosis paling sering ditemukan pada usia

reproduksi. Insidensi pastinya belum diketahui, namun prevalensinya pada

kelompok tertentu sering ditemukan.Prevalensi endometriosis pada

ovarium masih belum pasti diketahui. Endometriosis mempengaruhi

5-10% pada semua wanita usia reproduktif dan 60-80% dari wanita infertil

atau wanita dengan nyeri pelvis, dengan usia rata-rata 25 hingga 30

tahun.4-6,11,19

Endometriosis lebih sering terjadi pada wanita yang memiliki siklus

ovulatoar yang biasanya terjadi pada umur antara 20 sampai 45 tahun

dibandingkan dengan wanita yang memiliki siklus anovulatoar yang

berumur perimenars atau perimenopause, yaitu sebesar 22%. Di Amerika

Serikat, endometriosis mempengaruhi 5-10% wanita usia reproduktif.5 Di

Indonesia sendiri ditemukan 15-25% wanita infertil yang disebabkan oleh

endometriosis.

2.3 Etiopatogenesis

Hingga kini belum diketahui secara pasti penyebab dari

endometriosis. Banyak teori yang disebut ikut berperan dalam

patogenesis endometriosis, sehingga endometriosis juga disebut sebagai

“penyakit penuh teori”.1,13,20-22 Ada berbagai teori mengenai endometriosis

diantaranya:

 Teori Sampson/Teori implantasi Endometriosis Peritoneal: Teori

(3)

8

endometriosis, yang dikemukakan oleh Sampson pada tahun 1927,

mengajukan mekanisme yang paling banyak diterima mengenai

terjadinya endometriosis terjadi karena darah haid mengalir kembali

(retrograd) dari sel endometrium yang luluh melalui saluran tuba ke

dalam kavum peritoneum dan berimplantasi pada permukaan

peritoneum. Endometriosis dipercaya sebagai akibat dari defek

molekuler yang membantu survival jaringan endometrium pada

debris menstruasi di peritoneum.10,12,23 Profil ekspresi gen yang

dikarakteristikkan oleh microarray pada endometrium wanita dengan

dan tanpa endometriosis, menunjukkan bahwa beberapa gen target

progesteron mengalami disregulasi selama jendela implantasi, yaitu

saat endometrium terpapar pada kadar progesteron paling tinggi.13-14

Penelitian eksperimental Wiltz menyatakan stroma dan epitel

endometrium dapat dengan mudah dan cepat melekat pada

mesotelium (invasi transmesotelial terjadi antara 18-24 jam)24

 Teori Metaplasia dikemukakan oleh Meyer, yang mengatakan bahwa

lesi endometriosis terbentuk akibat transformasi (metaplasia) dari

sel-sel epitel coelomic yang berasal dari saluran Muller, sehingga

terbentuk jaringan endometrium yang menjadi dasar terjadinya

endometriosis. Teori ini disebut teori coelom metaplasia bahwa

endometriosis berasal dari metaplasia sel khusus pada lapisan

mesotelial dari visceral dan peritoneum. Faktor hormonal atau

imunologi diperkirakan merangsang transformasi sel endometrium

(4)

9

embrio sisa dari Wolffian atau saluran Mullerian bertahan dan

berkembang menjadi lesi endometriosis. Namun, teori ini tidak

sempurna karena tidak dapat menjelaskan lesi endometriosis yang

ditemukan di daerah diluar perjalanan duktus Mullerian.25-27  Inflamasi dan Respon Imun

Data yang cukup telah menyatakan bahwa endometriosis

dihubungkan dengan sebuah keadaan inflamasi subklinis peritoneum

yang ditandai oleh peningkatan volume cairan peritoneum,

peningkatan konsentrasi sel darah putih cairan peritoneum (terutama

makrofag dengan peningkatan aktivitasnya) dan peningkatan sitokin

inflamasi, faktor pertumbuhan dan substansi penyokong

angiogenesis. Tingkat aktivasi basal yang lebih tinggi dari makrofag

peritoneum pada pasien dengan endometriosis dapat mengganggu

fertilitas dengan cara menurunkan motilitas sperma, meningkatkan

fagositosis sperma atau mengganggu fertilisasi, mungkin dengan

meningkatkan kadar sitokin seperti TNF-α. Makrofag dapat menyokong pertumbuhan sel-sel endometrium dengan cara

mensekresi growth factor dan angiogenetic factor seperti epidermal

growth factor (EGF), macrophage-derived growth factor (MDGF),

fibronektin dan adhesion molecule seperti integrin. Setelah

perlekatan sel-sel endometrium ke peritoneum, terjadi invasi dan

pertumbuhan lebih lanjut yang tampaknya diregulasi oleh matrix

(5)

10

Sitokin inflamasi memainkan peran sentral dalam regulasi proliferasi,

aktivasi, motilitas, adhesi, kemotaksis dan morfogenesis dari sel.

Beberapa sitokin seperti IL-1, IL-5, IL-6, IL-8, IL-15, monocyte

chemotactic protein-1 (MCP-1), TNF-α, transforming growth factor-β

(TGF-β) dan Regulated on Activation, Normal T-cell Expressed dan

Secreted (RANTES) telah diimplikasikan dalam patogenesis

endometriosis. Ekspresi TNF-α, IL-8, dan MCP-1 lebih tinggi pada endometriosis tingkat dini dan menurun pada endometriosis tingkat

lanjut, sementara ekspresi TGF-β menurun dengan penurunan keparahan penyakit. RANTES juga meningkat dalam cairan

peritoneum wanita dengan penyakit yang lebih berat.29-31

Gambar 1. Imunobiologi Endometriosis32

Sistem imun manusia sehat menyingkirkan sel-sel endometrium

(6)

11

lesi endometriosis. Proses ini mungkin difasilitasi oleh perubahan

apoptosis sel-sel endometrium yang normalnya meningkat pada

akhir siklus menstruasi tetapi proses apoptosis ini secara signifikan

menurun pada endometriosis. Dengan demikian pada wanita sehat,

sel-sel endometrium yang didiseminasi ke dalam lokasi ektopik

mungkin diprogram untuk mengalami kematian dan dengan mudah

dieliminasi oleh sistem imun.29,30,33,34

Endometriosis dapat disebabkan oleh penurunan pembersihan

sel-sel endometrium cairan peritoneum akibat penurunan aktivitas sel-sel

Natural Killer (NK)atau penurunan aktivitas makrofag. Penurunan

sitotoksisitas yang dimediasi secara seluler terhadap sel-sel

endometrium autolog telah dihubungkan dengan endometriosis.33,34

Endometriosis merupakan kondisi inflamasi dimana sejumlah besar

leukosit direkrut dari sirkulasi darah ke dalam lesi endometriosis

sehingga terjadi perubahan jumlah dan fungsi dari leukosit ini dalam

endometrium eutopik dan cairan peritoneum dan juga dalam lesi

endometriosis. Makrofag, sel NK, limfosit T, limfosit B, sel mast dan

sel dendritik meningkat dalam lesi endometriosis sebagai melalui

ekstravasasi dari sirkulasi darah ke dalam lesi endometriosis dimana

terjadi perubahan fungsi sel T regulator yang mempengaruhi

terjadinya endometriosis dan progresifitasnya.32,33,34

Peranan Makrofag, fagosit mononuklear (monosit dan makrofag)

ditemukan pada kebanyakan jaringan tubuh dan berperan vital

(7)

12

bersirkulasi yang diproduksi disumsum tulang dari progenitor mieloid

bersama adalah prekursor untuk makrofag jaringan. Monosit mampu

berdiferensiasi menjadi sel-sel efektor yang heterogen secara

morfologi dan secara fungsional, termasuk makrofag yang tinggal

dalam jaringan dan makrofag inflamasi.Selama proses inflamasi,

monosit direkrut ke jaringan yang mengalami jejas dengan cara

melekat ke endotel pembuluh darah dan mengikuti gradien

haptotaktik dan kemotaktik lokal sebelum berdiferensiasi menjadi

makrofag. Makrofag baik yang tinggal di dalam jaringan atau yang

baru direkrut adalah sumber utama kemokin dalam jaringan. 29,32,-34

Makrofag mononuklear mengikuti neutrofil ke dalam inflamasi,

memfagosit debris seluler dan material asing dan akhirnya keluar

dari tempat inflamasi. Makrofag bisa diaktifkan secara klasik (M1

makrofag) atau diaktifkan secara alternatif (M2 makrofag), tetapi ada

heterogenitas substansial dalam fenotip makrofag, karena sebagian

peran luas yang makrofag jalankan dalam respon inflamasi dan

dalam mempertahankan homeostasis jaringan. 32

Makrofag mempertahankan host dengan pengenalan, fagositosis

dan destruksi mikroorganisme yang menyerang dan juga berperan

sebagai scavenger, membantu untuk membersihkan sel-sel yang

mengalami apoptosis dan debris seluler. Makrofag mensekresikan

berbagai sitokin, faktor pertumbuhan, enzim-enzim, dan

prostaglandin yang membantu memperantarai fungsinya sendiri

(8)

13

Makrofag memiliki habitat normal pada cairan peritoneum dan jumlah

dan aktivitasnya sangat meningkat pada wanita dengan

endometriosis. Daripada bekerja sebagai scavenger (makrofag M1)

untuk mengeliminasi sel-sel endometrium ektopik, makrofag

peritoneum yang diaktifkan secara alternatif (makrofag M2) dan

monosit sirkulasi pada wanita dengan endometriosis tampaknya

menyokong endometriosis dengan mensekresi faktor pertumbuhan

dan sitokin yang menstimulasi proliferasi endometrium ektopik dan

menghambat fungsi scavengernya. 29-33

Aktivasi alternafif makrofag (makrofag M2) adalah langkah kunci

dalam perkembangan endometriosis dimana peningkatan makrofag

M2 ini akan mensekresi dan meningkatkan konsentrasi sitokin,

prostaglandin, komponen komplemen, dan faktor pertumbuhan

seperti tumor necrosis factor-β (TNF-α), IL-6, dan transforming

growth factor-β (TGF-β). Normalnya sel-sel endometriosis yang

masuk ke kavum peritoneal disingkirkan oleh makrofag. Mekanisme

aberasi pada endometriosis ini mengakibatkan tidak efektifnya

sistem pembersihan imunologis terhadap agen asing. Makrofag M2

dan peningkatan kadar sitokin mengakibatkan inisiasi, progresi dan

pertumbuhan sel-sel endometrium juga neovaskularisasi.32,34-35

Makrofag M2 lebih berperan dibandingkan makrofag M1 dalam

patogenesis endometriosis. Hal ini mungkin disebabkan oleh faktor

genetik, hormonal dan lingkungan. Sebuah penelitian menyatakan

(9)

14

reseptor estrogen yang diekspresikan pada permukaannya. Di

bawah pengaruh estrogen ini makrofag M2 akan mensekresikan

sitokin dan faktor pertumbuhan (seperti VEGF, hepatocyte growth

factor, dan TNF-α) yang berkontribusi terhadap perkembangan dan

persistensi endometriosis.30-32,35

Proses kemotaktik sel inflamasi oleh kemokin dimediasi oleh

reseptor spesifik kemokin. Fungsi kemokin sebagai regulator

motilitas dan orientasi leukosit adalah sebagai mediator proinflamasi,

imunomodulator kuat (aktivasi dan diversifikasi limfosit), modifier

biologis fungsi eritrosit dan faktor angiogenik. Kemokin berikatan dan

mengaktifkan reseptor spesifik pada permukaan leukosit.29,32-35

-kemokin CCL5 yang juga dikenal sebagai RANTES (regulated

upon activation, normal T cell expressed and secreted). RANTES

atau CCL5 dihasilkan dari stroma endometrium dan dipengaruhi oleh

estrogen yang dominan estrogen lokal dari aromatase. RANTES

memberi sinyal pada T limfosit untuk diaktifkan menghasilkan

sitokin.29,35

Hampir setiap wanita mengalami menstruasi retrograd setiap

bulannya. Dan secara fisiologis setiap sel endometrium akan

menyebabkan reaksi inflamasi dengan menghasilkan MCP-1 dan

RANTES dari sel stroma dan kelenjar endometrium yang dipicu oleh

estrogen yang dihasilkan dari proses aromatase yang diketahui

(10)

15

yang berpengaruh terhadap rekrutmen dari monosit dan makrofag ke

jaringan lesi endometriosis.29,32,35

Peningkatan jumlah makrofag ditemukan dalam cairan peritoneal

penderita dengan endometriosis. Makrofag ini juga ditemukan

memiliki efek stimulasi pada jaringan endometrium, dibandingkan

dengan makrofag wanita tanpa endometriosis yang memiliki efek

penekanan.29-35

Perubahan cairan peritoneum yang menunjukkan peningkatan

aktivitas makrofag, sekresinya adalah beberapa sitokin yang

menyebabkan terjadinya proses apoptosis patologis. Hal ini terutama

ditemukan pada endometriosis berat dengan infertilitas, dimana

terjadi proses tersebut pada sel granulosa ovarium dengan

ditemukan kadar Interleukin-6 (IL-6) dan IL-8 yang tinggi pada cairan

peritoneum. Pertumbuhan lebih lanjut dari sel endometrium akibat

menstruasi retrograd kemungkinan juga melibatkan sistem imun

penderita endometriosis. Suatu proses imunologi yang sangat

komplek dan saling terkait diduga berperan pada pertumbuhan lebih

lanjut dari sel endometrium yang terlepas. Hal ini berhubungan

dengan dijumpainya sel limfoid pada implant endometriosis. Selain

itu dijumpai juga adanya peningkatan kadar makrofag dan limfosit T

didalam cairan peritoneum. Keadaan ini mungkin merupakan salah

satu awal dari proses inflamasi yang komplek. Terjadi pula

peningkatan kadar sitokin dan growth factor yang dihasilkan oleh

(11)

16

berpengaruh pada sel induknya sendiri dan parakrin yang

berpengaruh pada sel disekitarnya atau masuk peredaran darah

maupun rongga tubuh yang cukup jauh. Para peneliti menemukan

jenis sitokin yang meningkat diantaranya adalah RANTES

(Regulated on Activation, Normal T-cell Expressed and Secreted),

IL-1 (Interleukin-1), IL-6 dan TNF (Tumor Necrosis Factor). Sedangkan

faktor pertumbuhan yang meningkat pada penderita endometriosis

diantaranya adalah VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor). IL-1

merupakan sitokin yang memiliki peran penting dalam mengatur

inflamasi dan respon imun. IL-1 yang dihasilkan oleh aktif monosit

dan macrophage, memiliki dua macam reseptor yaitu reseptor alfa

dan beta, tetapi keduanya dapat dihambat dengan satu macam

reseptor antagonis IL-1. IL-1 beta dapat memicu faktor angiogenesis

seperti VEGF dan IL-6 sehingga terjadi pertumbuhan pembuluh

darah pada stroma endometriosis, tetapi tidak pada stroma

endometrium normal.29-34

Pada penelitian Djaganata SP, didapatkan bahwa jumlah sel NK

dengan ekspresi sel NK (CD56) adalah tidak ada perbedaan

signifikan antara jaringan endometriosis dibandingkan dengan

jaringan endometrium normal. Temuan ini menggambarkan bahwa

sel imun seluler terutama sel NK tidak merespon dengan baik

sebagaimana reaksi normal terhadap keadaan inflamasi/terinfeksi

yang seharusnya sel NK tersebut meningkat dalam jumlah dan

(12)

17

dengan endometriosis terjadi defek kuantitatif dan kualitatif pada sel

NK dikarenakan kegagalan dalam aktivasi yang disebabkan dari

menurunnya IL-2 sebagai imunodilator sel NK dan kegagalan sel NK

saat pengenalan sel target (sel endometrium ektopik), sel NK

mengenali sel target dengan mendeteksi adanya ekspresi MHC

kelas 1 pada permukaan sel target, apabila dijumpai MHC kelas 1

maka akan timbul sinyal negatif terhadap sel NK dan kemudian sel

NK akan mengekspresikan KIRs, karena itu sel NK tidak

tertarik/terikat ke jaringan lokal inflamasi (jumlah yang sama pada

wanita normal), dan tidak teraktivasi seperti keadaan normal tanpa

inflamasi. Sel NK menganggap sel endometrium ektopik adalah sel

yang normal, walaupun tidak pada tempat semestinya. Dapat

disimpulkan pada wanita dengan endometriosis mengalami

gangguan sistem imun tubuh seluler pada cairan rongga peritoneum.

Sistem imun tubuh seluler (makrofag, limfosit dan sel NK) tidak dapat

secara adekuat membersihkan jaringan endometrium ektopik yang

berada di cairan rongga peritoneum, dan justru mendukung

terjadinya proses implantasi, angiogenesis, proliferasi, dan

imortalitas sel endometrium ektopik sehingga terjadi endometriosis.

Hal ini mungkin disebabkan dari kegagalan sel NK merespon

keadaan pada endometriosis, yaitu saat pengenalan sel target,

ketidakseimbangan respon dan produksi sitokin M1 yang lebih

rendah dibandingkan M2, dan Th1 yang lebih rendah dibandingkan

(13)

18

keadaan semestinya/keadaan inflamasi) dan aktivitas sel-sel imun

seluler, yaitu dengan fungsi sitotoksis yang rendah dan produksi

sitokin yang tinggi dalam cairan peritoneum. Penelitian ini pada

dasarnya hanya mendeteksi terjadinya penurunan jumlah (kuantitatif)

sel NK.30,32-36

2.4 Diagnosis

Endometriosis tidak dapat didiagnosis hanya berdasarkan gejala

klinis saja. Diduga endometriosis jika memiliki masalah tentang fertilitas,

nyeri haid, nyeri saat berhubungan dan nyeri pelvis kronis. Mekanisme

terjadinya nyeri pada endometriosis ini mungkin disebabkan oleh

peradangan lokal, infiltrasi yang dalam dengan kerusakan jaringan,

terlepasnya prostaglandin dan perlengketan.11,14,20,21,22

Perdarahan tidak teratur yang berhubungan dengan endometriosis

diperkirakan terjadi pada 11-34% penderita endometriosis. Hal ini

dikatakan diakibatkan oleh adanya kelainan pada ovarium yang luas

sehingga fungsi ovarium terganggu. Perdarahan ini juga dihubungkan

dengan terjadinya peningkatan kadar estrogen dan berkurangnya

progesteron yang mengakibatkan terganggunya keseimbangan eutopik

endometrium penderita endometriosis.10,23

Banyak juga wanita yang menderita endometriosis tetapi tidak

memiliki keluhan. Gold standard untuk diagnosis endometriosis memakai

pemeriksaan laparoskopi dengan atau tanpa biopsi untuk pemeriksaan

(14)

19

anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan ginekologi, pemeriksaan

penunjang non invasif dan pemeriksaan serum CA 125 tetap diperlukan,

meskipun serum CA-125 mungkin dapat meningkat pada endometriosis

derajat sedang dan berat, ketentuan ini tidak dianjurkan sebagai

pemeriksaan rutin.12,14

2.5 Klasifikasi

Sistem klasifikasi endometriosis oleh American Society for

Reproductive Medicine (ASRM) yang telah direvisi berdasarkan penilaian

terhadap lesi endometriosis pada peritoneum dan tuba menggunakan nilai

yang berhubungan dengan ukuran lesi. Penilaian ini juga didasarkan pada

perlengketan pada ovarium dan tuba fallopi. Dan juga terdapat penilaian

(15)

20

Gambar 2. Klasifikasi Endometriosis Berdasarkan The American Society

(16)

21

Penyakit yang minimal (stadium I) dengan skor: 1-5 dan ringan

(stadium II) dengan skor: 6-15 dikarakteristikkan dengan implan yang

menyebar kecuali pada daerah superfisial di tuba fallopi atau ovarium,

tanpa skar atau perlekatan pada anterior atau posterior permukaan

ovarium. Penyakit yang sedang (stadium III) dengan skor: 16-40,

dikarakteristikkan dengan implan multipel atau endometrioma berukuran

kecil (2 cm) meliputi satu atau kedua ovarium, minimal perlekatan

peritubular atau periovarium; tersebar dengan parut dan retraksi pada

struktur lainnya. Penyakit yang berat (stadium IV) dengan skor: > 40

dikarakteristikkan dengan endometrioma ovarium yang besar, perlekatan

tuba atau ovarium, obstruksi tuba, obliterasi cul-de-sac, meliputi

uterosakral dengan keterlibatan usus atau traktus urinarius yang nyata.1

2.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan endometriosis berdasarkan keluhan dari

penderita, lokasi lesi endometriosis, tujuan pengobatan dan keinginan

untuk hamil. Pada wanita penderita endometriosis derajat minimal sampai

ringan dapat dilakukan penatalaksanaan ekspektatif. Seperti Sutton dan

rekan (1997), endometriosis yang telah dikonfirmasi melalui laparoskopi

derajat minimal dan ringan yang dilakukan ekspektatif selama 1 tahun

29% pasien mengalami regresi penyakit, 42% tidak mengalami perubahan

dan 29% mengalami perkembangan penyakitnya. Penatalaksanaan

endomeriosis yaitu terapi medikamentosa, tetapi pembedahan dan

(17)

22

bermanfaat untuk mengatasi keluhan nyeri tetapi kurang bermanfaat untuk

masalah infertilitas. Tujuan utama terapi medikamentosa pada

endometriosis adalah menghentikan pertumbuhan dan aktivasi lesi

endometriosis. Obat konvensional yang dipakai pada terapi

medikamentosa adalah anti inflamasi non steroid,pil kontrasepsi

kombinasi, progestin, derivate androgen, GnRH agonist, GnRH

antagonistdan aromatase inhibitor.14,15

Gambar 3. Algoritma diagnostik dan penatalaksanaan pada wanita

dengan endometriosis. COCs = combination oral contraceptives; GnRH=

gonadotropin releasing hormone; IUI = intrauterine insemination; NSAIDs

(18)

23 2.7Reseptor Progesteron (PR)

Progesteron, adalah modulator kunci fungsi reproduksi normal,

termasuk ovulasi, uterus, perkembangan kelenjar mamae, dan ekspresi

respon seksual. Progesteron adalah hormon steroid yang sangat penting

sebagai regulator fisiologi reproduksi wanita normal. Progesteron

disekresikan terutama oleh korpus luteum yang berkembang di ovarium

setelah ovulasi. Progesteron mempengaruhi beberapa jaringan dan organ,

termasuk otak, payudara, uterus, ovarium, dan serviks. Hormon

progesteron ditemukan berperan dalam fungsi proliferasi atau memicu

diferensiasi terutama pada epitel. Progesteron menghalangi proliferasi

yang dipengaruhi oleh estrogen pada endometrium normal.Walaupun

begitu, peran progesteron terus diteliti karena estrogen dan progesteron

bersama-sama berperan dalam proliferasi sel stroma endometrium.7,22,37

Hormon steroid seperti estradiol dan progesteron yang lipofilik dan

masuk kedalam sel dan inti dengan menyebarkan melalui plasma dan

membran nuklir. Setelah di inti, steroid menemukan protein yang dikenal

sebagai reseptor karena mereka mengikat ligan yang sama dengan

afinitas tinggi dan spesifisitas.

Reseptor progesteron pada model mencit mengkonfirmasi perlunya

progesteron pada proses reproduksi yang normal dan pengaruhnya pada

berbagai jenis sel.21,22 Reseptor progesteron yang teraktivasi juga

memainkan peran penting dalam remodelling jaringan uterus. Uterus

terdiri dari tipe sel heterogen dengan gelombang sinkron dari proliferasi

(19)

24

estrogen dan progesteron.38-41

Pada manusia, efek progesteron yang dimediasi oleh PR dengan

inisiasi alternatif transkripsi dari dua promotor yang berbeda. Dua isoform

ini adalah PR-A dan PR-B yang dihasilkan gen tunggal dengan transkripsi

di dua promotor yang berbeda dan dengan inisiasi translasi di dua

promotor distal dan proksimal yang diduga untuk reseptor estrogen, yang

disebut Estrogen Response Element (ERE). PR-A dan PR-B memiliki

sekuensi yang identik, dimana PR-B lebih panjang dengan 164 asam

amino di N-terminal yang diapit oleh (Activation Factor) AF-1 dan AF-2,

PR-A dan PR-B secara fungsional mediator yang berbeda dari kerja

progesteron pada epitelium uterin. Fungsi kedua reseptor ini juga

berbeda. Studi pada tikus dengan ablasi selektif isoform PR

mengungkapkan bahwa PR-A diperlukan untuk ovulasi dan modulasi efek

antiproliferatif progesteron di dalam uterus, dan PR-B diperlukan untuk

perkembangan normal dan fungsi kelenjar mammae. Bukti terbaru telah

menyarankan adanya isoform reseptor progesteron ketiga fungsional,

yaitu PR-C, yang diyakini memainkan peran penting dalam persalinan.23

PR-C tidak memiliki N terminal PR dan satu finger zinc dari domain

ikatan DNA, sehingga inaktif dalam transkipsi tetapi dapat berikatan

dengan hormon, dimerisasi, dan terletak di nukleus. Beberapa laporan in

vitro menunjukkan bahwa PR-C dapat memicu atau menghambat aktivitas

PR-A/B melalui pengaruh dengan memberikan sinyal, namun belum

(20)

25

PR terdiri dari DNA Binding Domain (DBD) dan terminal karboksil

Ligand Binding Domain (LBD). Sebagai tambahan, PR memiliki beberapa

fungsi aktivasi dan inhibisi, yang akan memicu atau menghambat aktivasi

transkipsi oleh PR. Dalam keadaan inaktif, PR memiliki kompleks kaperon

multiprotein yang inaktif. Ikatan progestin pada PR akan menyebabkan

perubahan konformasional, disosiasi kaperon, dimerisasi, dan mengikat

ke elemen respon progestin pada promoter gen target, memicu sekresi

koaktivator spesifik dan faktor transkripsi. Selain itu, PR akan

mengaktifkan transkripsi melalui jalur non genomik seperti aktivasi sinyal

kaskade second messenger dan cross talk reseptor dengan sinyal faktor

pertumbuhan.22,42-45

Meskipun urutan LBD dari PR-A dan PR-B adalah identik, akan

tetapi kemampuan ligannya berbeda untuk dapat menginduksi perubahan

konformasi dalam PR.58Dari sudut pandang mekanisme kerja, dari

pengamatan dilihat bahwa PR-A saja sudah cukup untuk mendukung

ovulasi yang normal,yang menunjukkan bahwa interaksi antara

heterodimeric PR-A dan protein PR-B tidak diharuskan untuk dapat

mengatur progestin penting yang responsif terhadap gen target yang

terkait dengan ovulasi. Ekspresi rahim dari isoform PR-A diperlukan tidak

hanya untuk menghambat proliferasi estrogen-induced tetapi juga yang

disebabkan oleh progesteron yang bekerja melalui protein PR-B.46

Meskipun mekanisme yang tepat yang mendasari kegiatan

diferensial dari dua isoform PR manusia tidak sepenuhnya dipahami,

(21)

struktur-26

fungsi menunjukkan bahwa domain Activation Factor (AF3) terletak di

regio sekuensi upstream PR-B, yang tidak ditemukan dalam PR-A. PR-B

spesifik mengkode AF3 yang tidak dijumpai dari PR-A. Domain ini

berkontribusi terhadap aktivitas transkripsi dengan menekan aktivitas

domain inhibitor pada urutan umum untuk PR-A dan PR-B. Selain itu,

bukti menunjukkan bahwa kedua reseptor memiliki konformasi yang

berbeda dalam sel sehingga PR-A dan PR-B berinteraksi dengan

koregulator yang berbeda. 28,43-45

Rasio dari isoform individu bervariasi dalam jaringan reproduksi

sebagai akibat dari perkembangan dan status hormonal dan selama

karsinogenesis. Pengikatan progesteron untuk PR-B menghasilkan

rangsangan dari kegiatan proliferasi di dalam rahim; Namun, ekspresi

rahim dari isoform PR-A diperlukan untuk menginhibisi proliferasi

progesteron yang diinduksi melalui fungsi PR-B. Stimulasi PR-A dengan

progesteron juga telah dilaporkan untuk mempromosikan diferensiasi

sel-sel. Selamaovulasi in vivo, hilangnya aktivitas proliferasi tampaknya terkait

erat dengan regulasi LH dan fungsi sel cumulus. Fungsi sel cumulus

dibedakan, seperti produksi progesteron, sintesis Hyaluronan, atau

penutupan komunikasi gap junction, yang terlibat dalam pematangan

meiosis oosit kumulus tertutup. Dengan demikian, rasio tinggi PR-A untuk

ekspresi PR-B berperan penting dalam diferensiasi sel cumulus.46-48

Berbeda dengan ekspresi dominan dari salah satu isoform PR

sering diamati dalam jaringan hewan, dalam jaringan manusia normal in

(22)

27

memiliki tingkat PR-A dan PR-B yang sama. Penelitian Aupperlee dkk.

(2007) menunjukkan bahwa PR-A dan PR-B merupakan regulator

transkripsi fungsional yang unik, mampu mengatur transkripsi gen secara

berbeda dalam konteks promotor yang sama, dan mampu mengenali

promotor yang sama sekali berbeda.25

Conneely dkk. (2000), melakukan penelitian kultur jaringan yang

menunjukkan bahwa PR-A dan PR-B memiliki bahan transaktivasi

berbeda secara spesifik terhadap tipe sel dan promoternya. PR-B

ditemukan berfungsi sebagai aktivator transkipsi kuat dari beberapa target

gen PR yang diregulasi oleh kedua reseptor. Bila dalam 1 sel ada 2

isoform ini, PR-A yang meningkat dapat menekan PR-B dan sebaliknya.

Mekanisme ini dilakukan melalui terminal N dan komunikasi intramolekular

PR-A.26,27

Banyak ligan untuk PR telah disintesis dan digunakan dalam

pengobatan klinis dan penelitian. Ligan agonis maupun antagonis

berinteraksi dengan PR untuk mengaktifkan atau menekan ekspresi gen

dalam sel target. Agonis progesteron seperti progestin,

medroksiprogesteron asetat, noretindron asetat, megestrol asetat memiliki

kemampuan untuk menekan proliferasi endometrium yang diinduksi

estrogen. Sedangkan antiprogestin seperti onapriston, mifepriston,

(23)

28 2.8 Peran Reseptor Progesteron pada Endometriosis

Uterus terdiri dari tipe sel heterogen dengan gelombang sinkron

dari proliferasi dan diferensiasi sebagai respon terhadap perubahan siklik

pada kadar estrogen dan progesteron. Gelombang hormonal ini juga

mengatur rekruitmen sel inflamasi, apoptosis, hancurnya jaringan, dan

regenerasi. Hormon progesteron ditemukan berperan dalam fungsi

proliferasi atau memicu diferensiasi terutama pada epitel. Reseptor

progesteron yang teraktivasi juga memainkan peran penting dalam

remodelling jaringan uterus. 50-53

Endometrium adalah dinding uterus yang terus tumbuh, proliferasi,

regresi, dan mengulang siklus kembali dalam regulasi hormon steroid.

Diyakini bahwa hormon progesteron berada dalam kadar abnormal pada

kompartemen endometrium eutopik dan ektopik pada wanita dengan

endometriosis, tidak jelas apakah ini merupakan efek langsung, kausal

berkaitan dengan infertilitas, atau dapat digunakan untuk tujuan

diagnostik.42

Telah diketahui dengan jelas bahwa ada pengaruh estrogen pada

endometriosis. Namun, peran progesteron pada endometriosis belum

dipahami dengan jelas karena progesteron ditemukan protektif terhadap

kanker endometrium dan hanya sedikit pasien endometriosis yang

menerima manfaat dari terapi progestin. Walaupun begitu, peran

progesteron terus diteliti karena estrogen dan progesteron bersama-sama

berperan dalam proliferasi sel stroma endometrium.7,22,42

(24)

29

memiliki komplemen unik terhadap reseptor hormon steroid dibandingkan

dengan endometrium eutopik. Sebagai contoh, beberapa peneliti

melaporkan kadar ERβ yang tinggi dan kadar ERα yang rendah pada

jaringan endometriosis manusia dan sel-sel stroma primer jika

dibandingkan dengan jaringan dan sel endometrium eutopik.24,25

PR adalah gen target prototipe dari estrogen receptor (ERα) di

beberapa tipe sel termasuk sel epitel keganasan payudara. ERα

memediasi induksi PR oleh estradiol (E2).52,54Defisiensi ERα pada endometriosis dapat menyebabkan kegagalan E2 untuk menginduksi

ekspresi PR, mengakibatkan defisiensi PR sekunder dan resistensi

progesteron pada wanita dengan endometriosis. Observasi in vivo

menunjukkan bahwa E2 menginduksi ekspresi ERα pada jaringan uterus

tikus.30 Sangat mungkin bahwa E2 memiliki peran dalam meregulasi

ekspresi ERα pada sel stroma endometrium manusia. Tetapi, kuantitas besar E2 yang diproduksi melalui aktivitas aromatase lokal, ditambah

kadar ERβ yang tinggi pada sel stroma endometriosis, dapat mengganggu

regulasi dan menekan ekspresi ERα. Kadar ERβ yang tinggi menekan

ekspresi ERα dan respon terhadap estradiol di sel stroma endometriosis melalui ikatan dengan DNA nonklasik di promotor ERα yang digunakan bergantian. ERβ juga meregulasi proses siklus sel dan dapat berkontribusi

terhadap proliferasi sel-sel stroma endometriosis.55-58

Walaupun terdapat fakta bahwa kedua sekuens promoter PR yang

diajukan menunjukkan respon terhadap E2, keduanya tidak memiliki

(25)

30

di promoter PR manusia telah dilaporkan. Beberapa lokasi telah

menunjukkan ikatan ERα dan ERβ.28,41-49 Kadar kritis ERα perlu untuk

induksi PR yang tergantung E2 di sel-sel stroma endometrium.

Penempatan daerah promoter PR dengan berbagai rasio ERα dengan

ERβ mungkin diperlukan untuk menentukan efek E2 pada ekspresi PR.

Rasio ERα dan ERβ yang sangat rendah pada sel-sel stroma

endometriosis mungkin bertanggung jawab untuk pergeseran dari

stimulasi E2 menjadi inhibisi E2 terhadap ekspresi PR di sel-sel stroma

endometriosis.52-55

PR adalah salah satu gen yang responsif terhadap E2, dan E2

bekerja di jaringan endometrium eutopik dan sel stroma untuk

meningkatkan tingkat respon endometrium terhadap

progesteron.28 Sebagai kontras, mRNA dan kadar protein PR tidak

meningkat pada jaringan endometriosis yang dibiopsi setelah terekspos

kadar E2 tinggi saat fase proliferatif akhir ataupun pada jaringan

endometriosis yang telah diterapi dengan E2. Hal ini mengindikasikan

bahwa ekspresi PR yang diinduksi E2 mengalami gangguan pada

endometriosis.26

Pada penelitian terbaru mengenai kadar reseptor steroid pada sel

endometrium dan endometriosis, kadar mRNA ERα lebih rendah secara signifikan (tujuh kali lipat) pada sel-sel stroma endometriosis dibandingkan

sel stroma endometrium. Kadar mRNA ERβ lebih tinggi secara signifikan

(34 kali lipat) pada sel-sel stroma endometriosis, sedangkan kadarnya di

(26)

31

dijumpai. Rerata rasio ERα terhadap ERβ adalah 841 dan 21 pada sel-sel stroma endometriosis. Kadar mRNA total PR and PR-B pada sel stroma

endometriosis lebih rendah secara signifikan jika dibandingkan sel stroma

endometrium. Kadar protein ERα dan ERβ berbeda secara signifikan pada kedua kelompok, serupa dengan temuan terkait kadar mRNA. Sel-sel

stroma endometriosis mengandung ERβ yang amat tinggi dan ERα dan

PR yang lebih rendah secara signifikan jka dibandingkan dengan sel-sel

stroma endometrium.52,54

Di endometrium, mekanisme progesteron dilakukan melalui ikatan

pada PR di sel stroma. Pembuluh darah yang mengangkut progesteron

(P4) terletak dekat ke sel stroma. Kontak awal antara progesteron dan

aktivasi PR dimediasi oleh koaktivator reseptor steroid (SRC).35

Koaktivator akan berinteraksi dengan reseptor DBD dan LBD dengan

bantuan SNURF, GT198, dan HMG. DBD PR diperlukan untuk mengikat

urutan DNA elemen responsif tertentu, tapi lebih sedikit yang diketahui

tentang fungsi koaktivaktor nuklir yang mengikat DBD.40,56

PR stroma yang diaktivasi P4 di sirkulasi akan memproduksi

banyak faktor parakrin termasuk asam retinoat. Masuknya asam retinoat

dimediasi oleh uptake reseptor RBP-retinol dari sirkulasi. Retinol

dikonversi ke asam retinoat, yang kemudian ditransportasi oleh cellular

RA binding protein-2 (CRABP2) ke nukelus. RA-RAR akan menentukan

keseimbangan diferensiasi dan apoptosis pada sel stroma endometrium.

PR diketahui memicu STRA6 dan CRABP2 stroma serta menganggu

(27)

32

mediator parakrin lainnya kemudian akan memicu diferensiasi sel epitel

dan menghambat mekanisme proliferasi sel yang dipicu estradiol (E2).

Implantasi endometriosis berkaitan dengan aromatase dan 17β

-hydroxysteroid dehydrogenase tipe 1, yaitu suatu enzim yang merubah

androstenedione menjadi estron dan estron menjadi estradiol. Pada

keadaan ini didapati penurunan dari 17β-hydroxysteroid dehydrogenase

tipe 2 yang menonaktifkan estrogen.10-15 Asam retinoat dapat memicu

enzim 17βHSD2, yang mengubah E2 aktif ke estron yang lemah (E1) di sel epitel. Peningkatan PR akan meningkatkan proses ini dan

sebaliknya.37 Ekspresi dari PR dalam epitel, stroma dan kompartemen

seluler miometrium berada di bawah kendali estrogen dan progesteron.

Estrogen merangsang dan progesteron menghambat pertumbuhan

endometrium. Selain berikatan langsung dengan reseptor estrogen atau

progesteron, ada bukti kuat bahwa terdapat interaksi parakrin antara epitel

dan stroma sel di endometrium menjadi mediator resepon terhadap

(28)

33

Gambar 4. Mekanisme kerja reseptor progesteron59

Dalam endometrium manusia, tingkat ekspresi isoform PR diatur

secara berbeda selama siklus menstruasi yang normal. Profil ekspresi gen

dalam pemeriksaan microarray di endometrium wanita dengan

endometriosis menunjukkan bahwa sejumlah progesteron gen disregulasi

selama masa implantasi seperti glukodelin yang lebih rendah pada

jaringan endometriosis.56 Sebagai contoh, PR-A adalah isoform PR

dominan dan tetap dalam stroma, tapi ekspresi kedua isoform PR

menurun dalam sel epitel endometrium selama fase sekresi. Penelitian

Jericevic dkk. (2004) pada mencit dengan delesi PR-A/B menunjukkan

(29)

34

Penelitian Mangal dkk. (1997) menunjukkan 17β-estradiol menginduksi ekspresi PR-B lebih dari ekspresi PR-A di endometrium

manusia. Namun, belum ditetapkan mengapa ekspresi penurunan subtipe

PR terjadi pada endometriosis tergantung estrogen. Pada penelitian lain,

Mote dkk. dengan imunohistokimia menunjukkan bahwa ekspresi PR-A

dan PR-B meningkat selama fase proliferasi dan mencapai ekspresi

tertinggi selama fase akhir proliferasi. Kedua penelitian ini menunjukkan

bahwa ekspresi isoform PR bergantung hormonal dapat menentukan

inhibisi atau stimulasi kerja progestogen.40,41

Beberapa penelitian menunjukkan hasil yang kontroversial. Kao

dkk. (2003) melakukan pemeriksaan microarray pada sel dari biopsi

jaringan endometrium ektopik wanita endometriosis dan normal pada hari

8-10 setelah lonjakan LH pertengahan siklus. Burney dkk. (2007) yang

membandingkan ekspresi gen ektopik dan eutopik endometriosis pada

manusia menemukan penurunan respon progesteron normal. Berbeda

dengan penelitian, D’Amora dkk. (2009) menunjukkan bahwa terdapat peningkatan polimorfisme PROGINS (salah satu varian gen PR) pada

wanita endometriosis.3,9,14

Perbedaan ini dapat disebabkan karena PR memiliki dua isoform.

Pada keadaan patologis pada endometrium, kadar kedua isoform

biasanya tidak seimbang. Oleh karena itu, peneliti terus berupaya mencari

proses ketidakseimbangan kedua isoform PR. Terdapat variasi penelitian

walaupun kebanyakan penelitian menunjukkan downregulasi PR-B, sesuai

(30)

35

dan translasi sel.3,9 Terlebih lagi, kadar kedua isoform PR, terutama PR-B,

lebih rendah secara signifikan pada endometriosis jika dibandingkan

dengan endometrium eutopik.5,26

Penelitian Igarashi dkk. (2005) dilakukan untuk mengetahui

ekspresi PR-A dan PR-B di endometrium. Sampel adalah jaringan biopsi

endometrium ektopik dari seluruh sukarelawan wanita penderita

endometriosis yang telah menjalani pembedahan. Dilakukan analisis in

vivo ekspresi PR-A dan PR-B di endometrium dari wanita dengan

endometriosis dan kontrol. Hasil penelitian adalah ditemukan rasio

PR-B/PR-A lebih rendah pada jaringan endometrium dari wanita dengan

endometriosis dibandingkan dengan jaringan normal.10

Attia dkk. (2000) melakukan penelitian untuk menentukan bahwa

aksi progesteron pada target gen endometriosis dilakukan oleh

homodimer PR-B, di mana PR-A berperan sebagai supresor fungsi PR-B.

Pada 18 jaringan endometrium normal, PR-B ditemukan pada 17 sampel

dengan kadar yang meningkat. PR-A ditemukan pada seluruh jaringan

endometriosis namun dalam kadar yang rendah. Pada 18 jaringan

endometriosis, tidak ditemukan PR-B namun ditemukan PR-A dalam

kadar yang rendah. Tidak adanya PR-B pada jaringan endometrium dapat

menjadi gambaran atas rendahnya rasio kelenjar/stroma dibandingkan

endometrium normal.43,56,60-63

Treloar dkk. (2005) pada 900 wanita tidak menemukan hubungan

antara endometriosis dengan peningkatan PR-B. Wu dkk. (2006) dan

(31)

36

ektopik, terjadi downregulasi PR-B, PR-A tetap, akibat hipermetilasi PR-B.

Selain itu, ditemukan bahwa PR-B menurun karena represi oleh reseptor

estrogen yang sangat tinggi dalam sel stroma.44-46

Akan tetapi, Fazleabas et al. (2003) menemukan tidak ada

perbedaan signfikan antara rasio PR-B/PR-A pada jaringan endometriosis

dibandingkan jaringan normal. Bahkan, Lee dkk. (2009) menunjukkan ada

peningkatan rasio PR-B/PR-A dan penurunan mRNA PR-A pada jaringan

endometrium ektopik model endometriosis mencit dibandingkan kontrol.

Wu dkk. (2006) telah menunjukkan bukti penurunan enzim 17HSD2 pada

peningkatan PR terutama PR-B dalam jaringan endometriosis. Berchuck

dkk. (2004) pertama sekali menyatakan bahwa penurunan risiko

endometriosis oleh karena adanya peningkatan PR-B.56,60,64

Berbagai penelitian juga menemukan adanya resistensi

progesteron pada endometriosis. Sel stroma endometriosis yang gagal

merespon progesteron akan mengalami penurunan rangsangan asam

retinoat. Hal ini juga akan menyebabkan turunnya enzim 17BetaHSD2 dan

kegagalan inaktivasi estradiol menjadi estron. Selain itu, juga ditemukan

berbagai defek pada jalur asam retinoat, kombinasi dengan tingkat

estradiol yang tinggi, defek progesteron ini akan lebih mempromosikan

endometriosis.49,64-67

Penelitian Attia dkk. (2000) menunjukkan bahwa resistensi

progesteron dapat dijelaskan akibat tidak ada satupun transkrip dari

protein PR-B dan adanya PR-A pada lesi ektopik. Resistensi progesteron

(32)

37

inflamasi kronik, tetapi juga akibat perubahan epigenetik kromatin yang

menentukan responsitivitas sel endometrial.43,56-58

Peneliti lain juga menunjukkan penurunan risiko endometriosis

karena peningkatan produksi PR-B. Semua hal ini berkontribusi dalam

patogenesis endometriosis.56-60

(33)

38 2.9 Kerangka Teori

Kolesterol Estradiol  Estron 

ENDOMETRIOSIS

Aromatase  17βHSD2

17βHSD1

Stroma Endometrium RANTES MCP-1  L-Selektin 

(34)

39 2.10 Kerangka Konsep

VARIABEL INDEPENDEN VARIABEL DEPENDEN

Ekspresi reseptor

Gambar

Gambar 1. Imunobiologi Endometriosis32
Gambar 2.  Klasifikasi Endometriosis Berdasarkan The American Society
Gambar 3. Algoritma diagnostik dan penatalaksanaan pada wanita
Gambar 4. Mekanisme kerja reseptor progesteron59
+2

Referensi

Dokumen terkait

Website ini berisi informasi tentang sejarah kebudayaan suku Baduy, kepercayaan, busana, perkampungan, mata pencaharian, kesenian, adat perkawinan, dan buku tamu yang dibuat

Pada masa Ali bin Abi Thalib, ia memerintahkan salah seorang sahabat untuk mengarang buku tentang ilmu Bahasa Arab yang digunakan sebagai pedoman untuk memahami dan mempelajari

[r]

Dalam kemajuan teknologi komputer tampilan dalam suatu aplikasi sangat mempengaruhi semangat dalam bekerja, seperti tampilan pada aplikasi minimarket yang ada didaerah penulis

[r]

Sehingga penulis mencoba membuat aplikasi dengan menggunakan Microsoft Visual Basic 6.0, untuk membantu proses pengelolaan lahan parkir, sehingga dapat memberikan pemasukan

[r]

Salah satu yang dapat kita peroleh adalah tentang Astrologi atau sering disebut zodiak. Sebelumnya memang sudah ada website tentang zodiak, tetapi website tersebut hanya menampilkan