• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek Hukum Dalam Perjanjian Penyelenggaraan Ibadah Haji Dan Umrah Antara PT Siar Haramain International Wisata Dengan Jemaah (Studi Pada PT Siar Haramain International Wisata)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aspek Hukum Dalam Perjanjian Penyelenggaraan Ibadah Haji Dan Umrah Antara PT Siar Haramain International Wisata Dengan Jemaah (Studi Pada PT Siar Haramain International Wisata)"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

A. Pengertian Perjanjian, Asas-Asas Perjanjian dan Syarat Sah Perjanjian

1. Pengertian Perjanjian

Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengawali ketentuan

yang diatur dalam Bab Kedua Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

dengan judul “Tentang Perikatan-Perikatan yang Dilahirkan dari Kontrak atau

Perjanjian”, yang menyatakan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan

dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

atau lebih”. Dari rumusan tersebut dapat terlihat bahwa suatu perjanjian adalah:

a. Suatu perbuatan;

b. Antara sekurangnya dua orang (jadi dapat lebih dari dua orang);

c. Perbuatan tersebut melahirkan perikatan di antara pihak-pihak yang

berjanji tersebut12.

Perbuatan yang disebutkan dalam rumusan awal Pasal 1313 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan bahwa perjanjian hanya mungkin

terjadi jika ada suatu perbuatan nyata, baik dalam bentuk ucapan maupun tindakan

secara fisik dan tidak hanya dalam bentuk pikiran semata-mata13. Oleh karena itu,

di dalam suatu perjanjian harus diutarakan kehendak masing-masing pihak. Atas

      

12Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2006, hlm. 7.

(2)

dasar inilah kemudian dikenal adanya perjanjian konsensuil, perjanjian formil,

dan perjanjian riil.

Dalam perjanjian konsensuil, kesepakatan yang dicapai oleh para pihak

secara lisan, melalui ucapan saja telah mengikat para pihak. Pada Perjanjian

formil, kesepakatan atau perjanjian lisan semata-mata antara para pihak yang berjanji

belum melahirkan kewajiban pada pihak yang berjanji untuk menyerahkan sesuatu,

melakukan atau berbuat sesuatu atau untuk tidak melakukan atau tidak berbuat sesuatu.

Sedangkan perjanjian riil harus ada suatu perbuatan nyata yang harus dipenuhi agar

perjanjian yang dibuat tersebut mengikat para pihak yang mengadakan perjanjian.

Definisi perjanjian selain dirumuskan dalam Pasal 1313 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, beberapa ahli juga memberikan definisi mengenai

perjanjian. Subekti memberikan definisi “perjanjian adalah suatu peristiwa di

mana seorang berjanji pada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji

untuk melaksanakan sesuatu hal”. KRMT Tirtodiningrat memberikan definisi

“perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat di antara dua

orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang dapat dipaksakan

oleh undang-undang”14.

Terhadap pengertian perjanjian yang diberikan oleh Pasal 1313 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, menurut Setiawan, rumusan Pasal 1313 tersebut

selain tidak lengkap juga sangat luas. Tidak lengkap karena hanya menyebutkan

persetujuan sepihak saja. Sangat luas karena dengan digunakannya perkataan

      

(3)

“perbuatan” tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum.

Sehubungan dengan itu, menurut Setiawan perlu kiranya diadakan perbaikan mengenai

definisi tersebut ialah:

a. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan

yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum;

b. Menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal

1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

c. Sehingga perumusannya menjadi, “perjanjian adalah perbuatan hukum,

di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling

mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”15.

Handri Raharjo mengungkapkan dalam bukunya “Hukum Perjanjian di

Indonesia”, ada beberapa kelemahan dari pengertian perjanjian menurut Pasal

1313 BW yaitu merupakan perbuatan (hal ini bermakna terlalu luas), yang

mengikatkan dirinya hanya satu pihak sehingga bisa disebut perjanjian sepihak

dan tujuannya tidak jelas.

Penyempurnaan terhadap definisi perjanjian (Pasal 1313 KUHPerdata)

menurut Handri Raharjo adalah sebagai berikut:

Suatu hubungan hukum dibidang harta kekayaan yang didasari kata sepakat antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, dan di antara mereka (para pihak/subjek hukum) saling mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat

hukum16.

Pengertian perjanjian yang dikemukakan para ahli tersebut melengkapi

kekurangan definisi Pasal 1313 KUHPerdata, sehingga secara lengkap pengertian

perjanjian adalah perbuatan hukum, di mana satu orang atau lebih mengikatkan

      

15Ibid, hlm. 16.

(4)

dirinya terhadap satu orang atau lebih17.

Definisi Pasal 1313 KUHPerdata tersebut mengalami perubahan dalam

NBWsebagaimana diatur dalam Buku 6 Bab 5 Pasal 6: 213 yaitu “a contract in

the sense of this title is a multilateral juridical act whereby one or more parties

assume an obligation towards one or more other parties”. Menurut NBW kontrak

merupakan perbuatan hukum yang bertimbal balik, di mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau

lebih lainnya18.

Dalam perundang-undangan Indonesia, ada beberapa istilah yang digunakan

secara berdampingan dengan perjanjian yaitu perikatan dan memorandum of

understanding (MoU). Pada hakikatnya, antara ketiganya memiliki perbedaan.

Perikatan dan perjanjian menunjuk pada dua hal yang berbeda. Perikatan adalah

suatu istilah atau pernyataan yang bersifat abstrak, yang menunjuk pada hubungan

hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua atau lebih orang atau pihak, di

mana hubungan hukum tersebut melahirkan kewajiban kepada salah satu pihak

yang terlibat dalam hubungan hukum tersebut19.

Perjanjian merupakan sumber dari perikatan. Eksistensi perjanjian sebagai

salah satu sumber perikatan dapat kita temui landasannya pada ketentuan Pasal

1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa“Tiap-tiap

perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian baik karena undang-undang”.

      

17Agus Yudha Hernoko, Loc.Cit. 18Ibid.

(5)

Dengan rumusan yang demikian, KUHPerdata hendak menyatakan bahwa

diluar perjanjian dan karena hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang tidak

ada perikatan. Perikatan melahirkan hak dan kewajiban. Dengan demikian,

perjanjian juga akan melahirkan hak dan kewajiban bagi pihak yang membuat

perjanjian tersebut20.

Memory of understanding merupakan perkembangan baru dalam aspek

hukum dan ekonomi yang baru dikenal. Menurut pendapat Munir Faudi, memory

of understanding merupakan terjemahan bahasa Indonesia yang paling pas dan

paling dekat dengan nota kesepakatan. Pada hakikatnya memory of understanding

adalah suatu perjanjian pendahuluan yang nantinya akan diikuti dan dijabarkan

dalam perjanjian lain yang mengaturnya secara lebih detail. Oleh karena itu,

dalam memory of understanding hanya berisikan hal-hal yang pokok saja21.

Kontrak atau perjanjian merupakan suatu peristiwa hukum di mana seorang

berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan atau

tidak melakukan sesuatu. Kontrak atau perjanjian inilah yang melahirkan

perikatan seperti yang telah disinggung sebelumnya. Dalam hukum Islam, inilah

yang disebut dengan akad. Jika dikaitkan dengan sumber perikatan dalam

KUHPerdata, maka letak akad adalah pada perikatan yang lahir dari perjanjian

sebagaimana secara lengkap dapat diuraikan sebagai berikut:

Perikatan bersumber dari perjanjian dan undang-undang, yang bersumber dari undang-undang dibagi dua yaitu dari undang-undang saja dan dari undang-undang karena perbuatan manusia. Selanjutnya perikatan yang lahir       

20Ibid, hlm. 2.

(6)

dari undang-undnag karena perbuatan manusia dapat dibagi dua, yaitu

perbuatan yang sesuai hukum dan perbuatan yang melanggar hukum22.

Berdasarkan pengertian-pengertian perjanjian yang telah dipaparkan

tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya perjanjian merupakan suatu

perbuatan hukum di mana dua orang atau lebih saling berjanji untuk

melaksanakan suatu prestasi yang telah disepakati yang melahirkan hak dan

kewajiban pada masing-masing pihak.

2. Asas-Asas Perjanjian

Di dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dikenal lima

asas penting, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta

sunt servanda (asas kepastian hukum), asas iktikad baik dan asas kepribadian.

a. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338

ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat secara sah

berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas

kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada

para pihak untuk:

1) Membuat atau tidak membuat perjanjian;

2) Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;

3) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya;

4) Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan23.

Lahirnya asas kebebasan berkontrak dilatarbelakangi oleh paham

individualisme yang lahir pada zaman Yunani dan berkembang pesat pada zaman

      

(7)

renaisance melalui ajaran-ajaran Hugo de Groth, Thomas Hobbes, John Locke dan

Rosseau. Menurut paham individualisme, orang bebas untuk memperoleh apa yang

dikehendakinya. Pada hukum kontrak, asas ini diwujudkan dalam “kebebasan

berkontrak”24.

Meskipun para pihak memiliki kebebasan dalam berkontrak, kebebasan

tersebut bukanlah sebebas-bebasnya, namun kebebasan yang tetap dibatasi.

Artinya, para pihak bebas membuat kontrak (perjanjian) dan mengatur sendiri isi

kontrak tersebut, sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut:

1) memenuhi syarat sebagai suatu kontrak;

2) tidak dilarang oleh undang-undang;

3) sesuai dengan kebiasaan yang berlaku;

4) sepanjang kontrak tersebut dilaksanakan dengan iktikad baik25.

Dengan kata lain, asas kebebasan berkontrak ini tetap dibatasi oleh Pasal

1337 KUHPerdata yang secara tegas menyatakan “suatu sebab adalah terlarang

apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan

baik atau ketertiban umum”.

b. Asas Konsensualisme

Perjanjian terbentuk karena adanya perjumpaan kehendak (consensus) dari

pihak-pihak. Perjanjian pada pokoknya dapat dibuat bebas tidak terikat bentuk

dan tercapai tidak secara formil, tetapi cukup melalui konsensus belaka26. Asas

      

24Ibid.

25Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 30.

(8)

konsensualisme dapat dilihat dan disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1)

KUHPerdata.

Suatu kontrak sudah sah dan mengikat ketika tercapai kata sepakat,

tentunya selama syarat-syarat sahnya kontrak (perjanjian) lainnya sudah dipenuhi.

Jadi, dengan adanya kata sepakat, kontrak (perjanjian) tersebut pada prinsipnya

sudah mengikat dan sudah mempunyai akibat hukum, sehingga mulai saat itu juga

sudah timbul hak dan kewajiban di antara para pihak. Dengan demikian, pada

prinsipnya syarat tertulis tidak diwajibkan untuk suatu kontrak. Kontrak lisan pun

sebenarnya sah-sah saja menurut hukum27.

c. Asas Pacta Sunt Servanda

Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian

hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda

adalah asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak

(perjanjian) yang dibuat oleh para pihak sebagaimana layaknya sebuah

undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak

yang dibuat oleh para pihak28. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam

Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi “Perjanjian yang dibuat secara

sah berlaku sebagai undang-undang”.

d. Asas Iktikad Baik

Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan

bahwa “Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Rumusan

      

(9)

tersebut memberikan arti pada kita semua bahwa sebagai sesuatu yang disepakati

dan disetujui oleh para pihak, pelaksanaan prestasi dalam tiap-tiap perjanjian

harus dihormati sepenuhnya, sesuai dengan kehendak para pihak pada saat

perjanjian ditutup.

Hal yang mendasari keberadaan Pasal 1338 KUHPerdata dengan rumusan

iktikad baik adalah bahwa suatu perjanjian yang dibuat hendaknya dari sejak

perjanjian ditutup, perjanjian tersebut sama sekali tidak dimaksudkan untuk

merugikan kepentingan debitur maupun kreditur, maupun pihak lain atau pihak

ketiga lainnya di luar perjanjian. Hal mengenai iktikad baik ini sebenarnya telah

ditemukan dalam Pasal 1235 KUHPerdata yang menyatakan bahwa:

Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, termasuk kewajiban untuk menyerahkan barang yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang kepala rumah tangga yang baik, sampai saat penyerahan. Luas tidaknya kewajiban yang terakhir ini tergantung pada perjanjian tertentu,

akibatnya akan ditunjuk dalam bab-bab yang bersangkutan29.

Mengingat iktikad baik dalam perjanjian merupakan doktrin atau asas

yang berasal dari hukum Romawi, iktikad baik dalam hukum Romawi mengacu

kepada tiga bentuk perilaku para pihak dalam kontrak (perjanjian). Pertama, para

pihak harus memegang teguh janji atau perkataannya. Kedua, para pihak tidak

boleh mengambil keuntungan dengan tindakan yang menyesatkan terhadap salah

satu pihak. Ketiga, para pihak mematuhi kewajibannya dan berperilaku sebagai

orang terhormat dan jujur, walaupun kewajiban tersebut tidak secara tegas

      

(10)

diperjanjikan30. Wirjono Prodjodikoro membagi iktikad baik menjadi dua macam, yaitu:

1) Iktikad baik pada waktu mulai berlakunya suatu hubungan hukum. Iktikad

baik di sini biasanya berupa perkiraan atau anggapan seseorang bahwa syarat-syarat yang diperlukan bagi dimulai hubungan hukum telah terpenuhi. Dalam konteks ini hukum memberikan perlindungan kepada pihak yang beriktikad baik, sedang bagi pihak yang beriktikad tidak baik

(te kwader trouw) harus bertanggungjawab dan menanggung risiko.

Iktikad baik semacam ini dapat disimak dari ketentuan Pasal 1977 ayat (1) KUHPerdata dan Pasal 1963 KUHPerdata, terkait dengan salah satu syarat untuk memperoleh hak milik atas barang melalui daluarsa. Iktikad baik ini bersifat subjektif dan statis.

2) Iktikad baik pada waktu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban

yang termaktub dalam hubungan hukum itu. Pengertian iktikad baik semacam ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata adalah bersifat objektif dan dinamis mengikuti situasi sekitar perbuatan hukumnya. Titik berat iktikad baik terletak pada tindakan yang akan dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu tindakan sebagai pelaksanaan

sesuatu hal31.

3. Syarat Sah Perjanjian

Di zaman sekarang, dengan asas kebebasan berkontrak (consensual),

setiap orang dengan bebas membuat perjanjian (kontrak). Asas ini menetapkan

para pihak bebas untuk membuat perjanjian apa saja, baik yang sudah ada maupun

yang belum ada pengaturannya sepanjang perjanjian itu tidak bertentangan

dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.

Sebuah perjanjian yang baik semestinya memberikan rasa aman dan

menguntungkan masing-masing pihak. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang wajib

diperhatikan sebelum menandatangani sebuah perjanjian yaitu:

a. Memahami syarat-syarat pokok sahnya sebuah perjanjian;

      

30Ridwan Khairandy, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Jakarta, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004, hlm. 132.

(11)

b. Substansi pasal-pasal yang diatur di dalamnya jelas dan konkrit;

c. Mengikuti prosedur/tahapan-tahapan dalam menyusun kontrak32.

Menurut Asser dalam perjanjian terdiri dari bagian inti (essensialia) dan

bagian bukan inti (naturalia dan accidentalia) yakni sebagai berikut:

a. Unsur Essensialia

Unsur yang mutlak harus ada. Unsur ini sangat erat berkaitan dengan

syarat sahnya perjanjian (Pasal 1320 KUHPerdata) dan untuk

mengetahui ada/tidaknya perjanjian serta untuk mengetahui jenis

perjanjiannya.

b. Unsur Naturalia

Unsur yang lazimnya ada/sifat bawaan perjanjian, sehingga secara

diam-diam melekat pada perjanjian.

c. Unsur Accidentalia

Unsur yang harus tegas diperjanjikan.

Tidak semua perjanjian yang dibuat oleh setiap orang sah dalam

pandangan hukum. Agar suatu perjanjian oleh hukum dianggap sah sehingga

mengikat kedua belah pihak, maka perjanjian tersebut haruslah memenuhi

syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut dapat digolongkan

sebagai berikut:

a. Syarat sah yang umum, terdiri dari:

1) Syarat sah umum berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata yang terdiri

dari:

a) Kesepakatan kehendak;

      

(12)

b) Wenang berbuat;

c) Perihal tertentu;

d) Kausa yang legal.

2) Syarat sah umum berdasarkan Pasal 1338 dan 1339 KUHPerdata

yang terdiri dari:

a)Syarat iktikad baik;

b)Syarat sesuai dengan kebiasaan;

c)Syarat sesuai dengan kepatutan;

d)Syarat sesuai dengan kepentingan umum.

b. Syarat sah yang khusus, yang terdiri dari:

1) Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu;

2) Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu;

3) Syarat akta pejabat tertentu (yang bukan notaris) untuk

kontrak-kontrak tertentu;

4) Syarat izin dari yang berwenang33.

Ke empat syarat yang disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata

tersebut, dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang digolongkan ke dalam:

a. Dua syarat pokok yang pertama (1 dan 2) yang menyangkut subjek yang

mengadakan perjanjian disebut syarat subjektif;

b. Dua syarat pokok yang terakhir (3 dan 4) yang menyangkut objek

perjanjian disebut syarat objektif.

Tidak terpenuhinya salah satu dari ke empat syarat tersebut menyebabkan

cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik

dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap unsur

subjektif), maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur

objektif) dengan pengertian bahwa pelaksanaan perjanjian tersebut tidak dapat

dipaksakan.

      

(13)

a. Kesepakatan Bebas

Kesepakatan bebas di antara para pihak pada prinsipnya adalah

pengejawantahan dari asas konsensualitas. Kesepakatan dalam perjanjian

merupakan perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian

mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara

melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan dan siapa yang harus

melaksanakan34.

Kesepakatan mengandung pengertian bahwa para pihak saling menyatakan

kehendak masing-masing untuk menutup suatu perjanjian atau pernyataan pihak

yang satu “cocok” atau bersesuaian dengan pernyataan pihak yang lain.

Pernyataan kehendak tidak harus dinyatakan secara tegas namun dapat dengan

tingkah laku atau hal-hal lain yang mengungkapkan pernyataan kehendak para

pihak.

Kesepakatan yang merupakan pernyataan kehendak para pihak dibentuk oleh

dua unsur, yaitu unsur penawaran dan penerimaan. Penawaran (aanbod, offerte,

offer) diartikan sebagai pernyataan kehendak yang mengandung usul untuk

mengadakan perjanjian. Sedangkan penerimaan (aanvarding, acceptatie,

acceptance) merupakan pernyataan setuju dari pihak lain yang ditawari35.

Perjanjian yang lahir dari kesepakatan (karena bertemunya penawaran dan

penerimaan), pada kondisi normal adalah bersesuaian antara kehendak dan

pernyataan. Seyogyanya, kesepakatan kedua belah pihak dalam suatu perjanjian

      

(14)

harus diberikan secara bebas, dalam arti bahwa dalam memberikan kesepakatan

itu tidak ada unsur paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling) dan penipuan (bedrog).

Perjanjian yang proses pembentukannya tersebut dipengaruhi oleh adanya unsur

cacat kehendak mempunyai akibat hukum dapat dibatalkan (vernietigbaar).

b. Kecakapan

Setiap subjek hukum yang berwenang melakukan tindakan hukum,

memiliki kewenangan (kapasitas) untuk melakukan tindakan hukum menjadi

pengemban hak dan kewajiban hukum. Untuk terbentuknya suatu hubungan

hukum disyaratkan ada atau dilakukannya suatu tindakan hukum yang

“menghidupkan” kewenangan tersebut. Siapa yang dapat dan boleh bertindak

serta mengikatkan diri adalah mereka yang cakap bertindak (handelingsbekwaam)

dan mampu melakukansuatu tindakan yang memiliki konsekuensi hukum36.

Untuk mengadakan suatu perjanjian, para pihak haruslah cakap, namun

dapat saja terjadi bahwa para pihak atau salah satu pihak yang mengadakan

perjanjian adalah tidak cakap menurut hukum. Cakap hukum adalah orang yang

sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh suatu peraturan

perundang-undangan untuk melakukan perbuatan hukum37. Seseorang oleh

hukum dianggap tidak cakap untuk melakukan perjanjian jika orang tersebut

belum berumur 21 tahun. Sebaliknya setiap orang yang berumur 21 tahun ke atas, oleh

      

36Herlien Budiono, Op.Cit, hlm. 110.

(15)

hukum dianggap cakap, kecuali karena sesuatu hal dia ditaruh dibawah pengampuan

seperti gelap mata, dungu, sakit ingatan atau pemboros38.

Dengan demikian, dapat disimpulkan, seseorang dianggap tidak cakap apabila:

1) Belum berusia 21 tahun dan belum menikah;

2) Berusia 21 tahun tetapi gelap mata, sakit ingatan, dungu atau boros.

Sementara itu, KUHPerdata menentukan bahwa tidak cakap untuk membuat

perjanjian adalah:

1) Orang-orang yang belum dewasa;

2) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;

3) Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh

undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang

telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu39.

Khusus terhadap poin c ini, sekarang tidak berlaku lagi dengan keluarnya

Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 tahun 1963 dan sejak diundangkannya

Undang-Undang No. 1 tahun 1974, maka sejak saat itu hak perempuan dan

laki-laki disamakan, dan perempuan dapat bertindak dan berbuat dalam hukum.

Berkaitan dengan kecakapan ini, konsekuensi dari perjanjian yang dibuat

oleh mereka yang tidak cakap adalah dapat dibatalkan. Dalam arti, perjanjian masih

dapat terus berlangsung selama tidak dibatalkan oleh salah satu pihak.

c. Suatu Hal Tertentu

Adapun yang dimaksud suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp) dalam

Pasal 1320 KUHPerdata syarat ke-3 adalah prestasi yang menjadi pokok       

38Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2008, hlm. 29.

(16)

perjanjian yang bersangkutan. Mengenai suatu hal tertentu ini, juga diartikan

bahwa apa yang diperjanjikan harus jelas dan terinci jenis, jumlah dan harganya

atau keterangan terhadap objek sehingga diketahuilah hak dan kewajiban tiap-tiap

pihak sehingga tidak akan terjadi perselisihan dikemudian hari40.

Selain itu, hal tersebut juga untuk menentukan sifat dan luasnya

pernyataan-pernyataan yang menjadi kewajiban para pihak. Pernyataan-pernyataan-pernyataan yang tidak

dapat ditentukan sifat dan luasnya kewajiban para pihak adalah tidak mengikat

(batal demi hukum).

Lebih lanjut mengenai suatu hal tertentu ini dapat dirujuk dari substansi

beberapa pasal di dalam KUHPerdata yaitu sebagai berikut:

1) Pasal 1332 KUHPerdata yang menyatakan “Hanya barang yang dapat

diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok perjanjian”.

2) Pasal 1333 KUPerdata yang berbunyi “Suatu pejanjian harus mempunyai

pokok berupa suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya.

Jumlah barang itu tidak perlu pasti, asal saja jumlah itu kemudian dapat

ditentukan atau dihitung”.

3) Pasal 1334 KUHPerdata yang menegaskan bahwa:

Barang yang baru ada pada waktu yang akan datang, dapat menjadi pokok suatu perjanjian.

Tetapi tidaklah diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka, ataupun untuk meminta diperjanjikan sesuatu hal mengenai warisan itu, sekalipun dengan sepakatnya orang yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok perjanjian itu, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 169, 176 dan 178.

      

(17)

Substansi pasal-pasal tersebut memberikan pedoman bahwa dalam suatu

kontrak harus dipenuhi hal atau objek tertentu. Hal ini dimaksudkan agar sifat dan

luasnya kewajiban para pihak (prestasi) dapat dilaksanakan oleh para pihak.

Bahwa kata “tertentu” tidak harus dalam gramatikal sempit tetapi juga dimungkinkan

untuk objek tertentu tersebut sekedar ditentukan jenis, sedang mengenai jumlah dapat

ditentukan kemudian hari41.

d. Kausa yang Diperbolehkan

Terkait dengan pengertian “kausa yang diperbolehkan” atau ada yang

menerjemahkan “sebab yang halal” (eene geoorloofde oorzaak) beberapa sarjana

mengajukan pemikirannya, antara lain H.F.A. Vollmar dan Wirjono Prodjodikoro,

yang memberikan pengertian “sebab (kuasa) sebagai maksud atau tujuan dari

perjanjian”. Sedangkan Subekti menyatakan bahwa “sebab adalah isi perjanjian itu

sendiri”. Dengan demikian kausa merupakan prestasi dan kontra prestasi yang saling

dipertukarkan oleh para pihak42.

Pasal 1335 KUHPerdata menegaskan bahwa, “Suatu perjanjian yang

dibuat tanpa sebab atau dibuat dengan sebab yang palsu atau terlarang tidak

mempunyai kekuatan”. Sebab yang diperbolehkan maksudnya adalah bahwa apa

yang hendak dicapai para pihak dalam perjanjian tersebut harus disertai iktikad

baik dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban

umum dan kesusilaan. Selanjutnya dalam Pasal 1337 KUHPerdata ditegaskan

pula bahwa, “Suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang,

atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”.

      

(18)

Berdasarkan Pasal 1335 dan 1337 KUHPerdata tersebut, suatu perjanjian

tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (batal), apabila perjanjian

tersebut:

1) Tidak mempunyai kausa;

2) Kausanya palsu;

3) Kausanya bertentangan dengan undang-undang;

4) Kausanya bertentangan dengan kesusilaan;

5) Kausanya bertentangan dengan ketertiban umum43.

B. Teori-Teori tentang Lahirnya Perjanjian dan Jenis-Jenis Perjanjian

1. Teori-Teori tentang Lahirnya Perjanjian

Mariam Darus menyatakan ada beberapa ajaran tentang saat terjadinya

perjanjian antara para pihak, yaitu:

a. Teori Penawaran dan penerimaan (offerand acceptance) merupakan teori

dasar dari adanya kesepakatan kehendak adalah teori “penawaran dan

penerimaan”. Maksudnya adalah bahwa pada prinsipnya suatu

kesepakatan kehendak baru terjadi setelah adanya penawaran (offer) dari

salah satu pihak dan diikuti dengan penerimaan lamaran (acceptance) oleh

pihak lain dalam kontrak tersebut. Teori ini diakui secara umum di setiap

sistem hukum, sungguhpun pengembangan dari teori ini banyak dilakukan

di negara-negara yang menganut sistem hukum common law;

b. Teori kehendak (wilstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada

saat kehendak pihak penerima dinyatakan, misalnya dengan menuliskan

surat;

      

(19)

c. Teori pengiriman (verzendtheori) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi

pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima

tawaran;

d. Teori pengetahuan (vernemingstheorie) mengajarkan bahwa pihak yang

menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima;

e. Teori kepercayaan (vertrouwenstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan

itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh

pihak yang menawarkan44.

Dalam buku Salim H.S, selain teori-teori yang telah disebutkan di atas

terdapat teori lain yaitu:

a. Teori Pernyataan (uithingsthorie)

Menurut teori pernyataan, kesepakatan (toesteming) terjadi pada saat pihak

yang menerima penawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran

itu. Jadi, dilihat dari pihak yang menerima, yaitu pada saat baru

menjatuhkan ballpoint untuk menyatakan menerima, kesepakatan sudah

terjadi. Kelemahan teori ini adalah sangat teoritis karena dianggap

terjadinya kesepakatan secara otomatis;

b. Teori Penerimaan (ontvangstheorie)

Menurut teori penerimaan bahwa toesteming terjadi pada saat pihak yang

menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan;

      

(20)

c. Teori Geobjectiveerde bernemingstheorie

Teori ini diungkapkan oleh Pitlo, yang menentukan bahwa saat si pengirim

surat redelijkerwijs, dapat menganggap si alamat telah mengatahui isi surat

itu45.

Selain itu, juga masih dikenal teori lain yaitu:

a. Teori Kotak Pos

Teori kotak pos yakni terjadinya kesepakatan adalah pada saat

dimasukkannya jawaban penerimaan atas penawaran ke dalam kotak pos.

Hal ini tidak diterangkan lebih lanjut karena esensinya sama dengan teori

pengiriman yaitu surat tersebut sudah lepas dari kekuasaan pihak yang

menerima penawaran;

b. Teori Dugaan

Teori dugaan yaitu terjadinya kesepakatan pada saat pihak yang menerima

penawaran sudah menduga bahwa suratnya yang berisi penerimaan

penawaran sudah diterima oleh pihak yang menawarkan46.

Menurut peneliti, dari semua teori lahirnya perjanjian tersebut, teori yang

paling relevan dan ideal ialah teori penawaran dan penerimaan (offer and

acceptance). Hal ini dikarenakan pada teori ini jelas tampak bahwa perjanjian

terjadi secara praktis yaitu ketika tawaran pihak I diterima oleh pihak II sehingga

menunjukkan kesepakatan telah terjadi tanpa direka-reka.

      

45Salim H.S, Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta, Sinar Grafika, 2003, hlm. 40-41.

(21)

2. Jenis-Jenis Perjanjian

Jenis-jenis perjanjian adalah sebagai berikut:

a. Perjanjian Menurut Sumbernya

Perjanjian berdasarkan sumber hukumnya merupakan penggolongan

perjanjian yang didasarkan pada tempat ditemukannya perjanjian. Sudikno

Mertokusumo menggolongkan jenis perjanjian berdasarkan sumber

hukumnya menjadi lima macam, yaitu perjanjian yang sumbernya berasal

dari hukum keluarga, kebendaan, perjanjian obligatoir, perjanjian yang

bersumber dari hukum acara, dan perjanjian yang bersumber dari hukum

publik47.

b. Perjanjian Menurut Namanya

Hal ini didasarkan kepada Pasal 1319 KUHPerdata dan artikel 1355 NBW

yang menyebutkan bahwa ada dua macam perjanjian menurut namanya

yaitu perjanjian nominaat (bernama) dan perjanjian innominaat (tidak

bernama).

c. Perjanjian Timbal Balik

Penggolongan ini dilihat dari hak dan kewajiban para pihak. Perjanjian timbal

balik ini dibagi menjadi dua macam:

1) Perjanjian Timbal Balik Tidak Sempurna

      

(22)

Perjanjian ini senantiasa menimbulkan hak dan kewajiban bagi para

pihak. Dalam perjanjian ini pihak yang satu memenuhi kewajiban yang

tidak seimbang dengan kewajiban pihak lainnya48;

1) Perjanjian Sepihak

Perjanjian yang hanya menimbulkan kewajiban ada pada satu pihak,

sedangkan menimbulkan hak bagi pihak lainnya.

d. Perjanjian Cuma-Cuma atau Perjanjian atas Beban

Penggolongan ini didasarkan pada keuntungan-keuntungan salah satu

pihak dan adanya prestasi dari pihak lainnya. Perjanjian Cuma-Cuma

adalah suatu perjanjian ketika pihak yang satu memberikan keuntungan

kepada pihak yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya.

Sedangkan perjanjian atas beban adalah perjanjian yang mewajibkan pihak

yang satu untuk melakukan prestasi berkaitan langsung dengan prestasi

yang harus dilakukan oleh pihak lain49.

e. Perjanjian Berdasarkan Sifatnya

Didasarkan pada hak kebendaan dan kewajiban yang ditimbulkan dari

adanya perjanjian tersebut. Perjanjian berdasarkan sifatnya dibagi menjadi

dua macam yaitu perjanjian kebendaan dan perjanjian obligatoir.

f. Perjanjian Pokok dan Tambahan

Perjanjian pokok merupakan perjanjian utama baik kepada individu maupun

badan hukum. Perjanjian tambahan (accesoir) adalah perjanjian yang timbul

karena adanya perjanjian pokok.       

48C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Modul Hukum Perdata: Termasuk Asas-asas Hukum Perdata, Jakarta, PT Pradnya Paramita, 2004, hlm. 207.

(23)

g. Perjanjian Berdasarkan Aspek Larangannya

Penggolongan perjanjian ini merupakan penggolongan perjanjian berdasarkan

aspek tidak diperbolehkannya para pihak untuk membuat perjanjian yang

bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

h. Berdasarkan Kesepakatan

Perjanjian berdasarkan kesepakatan dibagi dua yaitu:

1) Perjanjian Konsensual, yaitu perjanjian yang tercipta dengan

tercapainya persetujuan kehendak pihak-pihak;

2) Perjanjian Rieel, yaitu perjanjian yang baru tercipta apabila disamping

persetujuan kehendak antara pihak-pihak secara obligatoir, diikuti pula

dengan penyerahan barang (levering)50.

i. Perjanjian Dilihat dari Segi Hasil Perjanjian

Perjanjian dilihat dari segi hasil perjanjian terbagi dua yaitu:

1) Perjanjian Comutatif, yaitu perjanjian di mana terdapat keuntungan

yang dinikmati oleh yang berhak atau atas nama yang menjanjikan prestasi itu;

2) Perjanjian Aleatoir, yaitu perjanjian dalam mana terhadap suatu

prestasi yang dijanjikan dengan atau tanpa syarat, terdapat hanya suatu keuntungan dengan syarat, sedangkan dipenuhinya syarat itu tidak bergantung pada pokok-pokok yang bersangkutan, sedangkan perjanjian-perjanjian itu diadakan justru berhubungan dengan

kemungkinan dipenuhinya syarat itu51.  

 

j. Dilihat dari Segi Pengaturannya

Dari segi pengaturannya, perjanjian dapat dibedakan menjadi dua yaitu:

1) Perjanjian yang lahir dari undang-undang;

2) Pejanjian yang lahir dari persetujuan.

      

(24)

C. Berakhirnya Perjanjian

Dalam Pasal 1381 KUHPerdata disebutkan secara berturut-turut

peristiwa-peristiwa yang mengakibatkan hapusnya perjanjian. Berdasarkan Pasal 1381

KUHPerdata, perjanjian berakhir karena 10 peristiwa yaitu:

1. Pembayaran (Pasal 1382-1403 KUHPerdata)

Maksud pembayaran dalam Pasal 1381 KUHperdata adalah lebih luas

daripada sekedar membayar sejumlah uang. Karena isi perjanjian bisa

dalam hal memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan

sesuatu, maka pembayaran dalam Pasal 1381 KUHPerdata harus diartikan

meliputi semua wujud “pemenuhan” atau “pelunasan” perikatan.

2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan/penitipan

(konsinyasi)

Ini adalah suatu cara hapusnya perjanjian di mana debitur hendak membayar

hutangnya tetapi pembayaran ini ditolak oleh kreditur, maka debitur dapat

menitipkan pembayaran melalui kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat.

3. Pembaharuan hutang (novasi)

Perjanjian yang sudah ada antara debitur dengan kreditur dengan mana

perikatannya dihapuskan dan kemudian dibuat suatu perikatan yang baru. Ada

beberapa macam cara untuk melakukan pembaharuan hutang yang diatur oleh

Pasal 1413 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu:

a. Debitur dan kreditur mengadakan perjanjian baru, yang mana perjanjian

(25)

b. Apabila terjadi pergantian debitur dengan pergantian mana debitur lama

dibebaskan dari perikatannyanovasi subjektif yang pasif);

c. Apabila terjadi penggantian kreditur, maka kreditur lama dibebaskan

dari perikatannya (novasi subjektif yang aktif).

4. Perjumpaan hutang/kompensasi (Pasal 1425-1435 KUHPerdata)

Perjumpaan hutang (kompensasi) adalah suatu penghapusan masing-masing

hutang debitur dan kreditur dengan cara saling memperhitungkan hutang

yang sudah dapat ditagih secara timbal balik.

Syarat terjadinya kompensasi yaitu:

a. Keduanya berpokok sejumlah uang;

b. Berpokok sejumlah barang yang dapat dihabiskan (dapat diganti);

c. Kedua-duanya dapat ditetapkan dan dapat ditagih seketika.

5. Percampuran hutang/konfisio (Pasal 1436-1437 KUHPerdata)

Percampuran hutang terjadi pada saat kedudukan orang yang berhutang

dengan kedudukan sebagai kreditur menajdi satu.

6. Pembebasan hutang (1438-1443 KUHPerdata)

Secara sederhana dapat dipahami bahwa pembebasan hutang merupakan

tindakan atau pernyataan dari kreditur kepada debitur menegnai hapusnya

hutang-piutang di antara mereka. Akan tetapi, hal ini sebaiknya dibuat

(26)

hutang tersebut dan disertai dengan pengembalian tanda piutang yang asli

kepada debitur52.

7. Musnahnya barang yang terutang (Pasal 1444-1445 KUHPerdata)

Perikatan menjadi hapus karena musnahnya atau hilangnya barang tertentu

yang menjadi pokok prestasi yang diwajibkan kepada debitur untuk

menyerahkannya kepada kreditur.

8. Kebatalan dan pembatalan perjanjian (Pasal 1446-1456 KUHPerdata)

Suatu perjanjian dapat dibatalkan (pembatalan) apabila syarat kecakapan

dan syarat kesepakatan tidak dipenuhi dalam perjanjian tersebut. Dengan

kata lain, suatu perjanjian dapat dibatalkan bila syarat subjektif tidak

terpenuhi.Suatu perjanjian batal demi hukum (kebatalan) terjadi apabila

tidak terpenuhinya syarat objektif dari syarat sahnya suatu perjanjian.

Kebatalan dan pembatalan adalah salah satu syarat untuk menghapus

perjanjian. Pembatalan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:

a. Pembatalan secara aktif, artinya pihak yang merasa dirugikan menuntut

pembatalan perjanjian kepada hakim pengadilan;

b. Pembatalan secara pasif, artinya pihak yang dirugikan menunggu sampai

ada pihak yang menggugat di muka hakim pengadilan untuk memenuhi

prestasi dan pada saat itu baru mengajukan tentang kekurangannya atau

      

(27)

tidak sahnya perjanjian karena tidak memenuhi syarat sahnya

perjanjian53.

9. Berlakunya syarat batal (Pasal 1265 KUHPerdata)

Berlakunya syarat batal tidak sama dengan syarat dalam syarat sahnya

perjanjian. Berlakunya syarat batal berarti bahwa suatu syarat yang bila

dipenuhi akan menghapuskan perjanjian dan membawa segala sesuatu pada

keadaan semula yaitu seolah-olah tidak ada suatu perjanjian.

10. Lewatnya waktu (daluwarsa)

Daluwarsa adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau untuk

dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan

atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Daluwarsa terbagi

dua, yaitu:

a. Daluwarsa acquisitif, yaitu daluwarsa atau lewatnya waktu yang

mengakibatkan seseorang memperoleh hak milik atas suatu barang atau

benda;

b. Daluwarsa extinctif, yaitu daluwarsa atau lewatnya waktu yang

mengakibatkan seseorang dibebaskan dari suatu perjanjian.

Menurut R. Setiawan, suatu perjanjian dapat hapus karena:

a. Para pihak menentukan berlakunya perjanjian untuk jangka waktu

tertentu;

      

(28)

b. Undang-undang menentukan baats waktu berlakunya perjanjian (Pasal

1066 ayat (3) KUHPerdata;

c. Salah satu pihak meninggal dunia;

d. Salah satu pihak (bila salah satu pihak lalai melaksanakan prestasinya

maka pihak yang lain dengan sangat terpaksa memutuskan perjanjian

secara sepihak) atau kedua belah pihak menyatakan menghentikan

perjanjian;

e. Karena putusan hakim;

f. Tujuan perjanjian telah tercapai;

g. Dengan persetujuan para pihak54.

   

      

Referensi

Dokumen terkait

Mata Pelajaran Nilai Rata-rata Rapor1. Nilai

Penelitian ini dilakukan untuk menciptakan dan mengembangkan media pop up book berbasis cerita rakyat Jepara sebagai media pembelajaran yang membantu siswa untuk

Oleh karena itu, dalam bab ini akan dibahas beberapa subbab yang sangat mendukung dalam proses pem- buatan pakan ikan yaitu pengetahuan tentang energi dan kandungan nutrien

Hipotesis tindakan yang diajukan adalah melalui penerapan model Problem Based Learning dapat meningkatkan keterampilan guru dan hasil belajar PKn siswa kelas IV SD 2

Puji syukur kehadirat illahi rabbi atas rahmat dan hidayah – Nya yang telah dilimpahkan kepada penulis sehingga skripsi yang berjudul “Keanekaragaman dan

satu kelas diterapkan model pembelajaran siklus (Learning Cycle) yang. sebelumnya diterapkan model pembelajaran

Instrument penelitian menggunakan lembar observasi.Hasil; Uji Wilcoxon kelompok perlakuan menunjukkan ada perbedaan kadar leukosit dalam urin sebelum dan sesudah

Indonesia Power Unit Bisnis Jasa Pemeliharaan telah sesuai dengan standar akuntansi, yaitu piutang dinyatakan sebesar jumlah bruto tagihan setelah dikurangi dengan penyisihan