39 BAB V
PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis akan memaparkan pembahasan tentang penelitian yang dilakukan dan penelitian yang dilakukan berdasarkan analisis kulaitatif terhadap objek penelitian. Dalam penelitian ini penulis memakai pendekatan semiotika, dan tradisi semiotika tidak pernah menganggap adanya salah pemaknaan. Hal ini dikarenakan setiap komunikan yang memaknai tanda mempunyai pengalaman budaya yang berbeda. Menurut Agus Sudibyo, 2000:121 istilah kegagalan komunikasi tidak pernah berlaku dalam tradisi semiotika, karena setiap orang mempunyai hak dan berhak memaknai teks dengan cara yang berbeda. Maka makna menjadi sebuah pengertian yang dinamis, tergantung dari frame budaya pembacanya. Pada saat sebuah teks (lagu) tersaji keruang publik, maka video klip akan memproduksi makna, dan pencipta tanda-tanda tidak lagi mempunyai hak untuk memaksa makna-makna yang mereka kehendaki, dan disinilah daerah produksi makna yang berbeda-beda timbul tergantung dari pengalaman budaya pembaca.
Lagu adalah sebuah media yang mempunyai banyak fungsi, dalam lagu sendiri mempunyai sebuah pesan yang terkandung didalamnya. Dari lagu seorang musisi atau grup dengan gayanya merepresentasikan ideologi pembuat lagu (Epstein, 2004). Isi dan gaya dalam musik dapat mencerminkan makna dan suasana yang ada dalam lagu yang diciptakan. Syair lagu atau lirik dalam sebuah lagu adalah sebuah bahasa yang digunakan untuk menyampaikan ide atau gagasan, dan hal inilah menjadi latar belakang kehadiran syair atau lirik dalam sebuah lagu. Bahasa dalam lirik lagu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan bahasa puisi, hal ini dikarenakan keduanya mengandung bahasa-bahasa kiasan.
40 Disini penulis akan melakukan poses pembaitan untuk syair atau lirik lagu “Jogja Istimewa” ini. Pembaitan adalah proses cara, pembuatan membagi atas bait-bait, salah satu hal penting dalam penulisan puisi (Sugono, Dendy, 118:2011). Dalam hal ini penulis akan melakukan pembaitan pada syair dan lirik lagu “Jogja Istimewa”, setelah itu penulis akan mengambil gambar-gamabar dari video klip ini yang memvisualkan lirik atau syair dalam lagu yang akan dianalisis menggunakan semiotika Roland Barthes,
Teori roland Barthes adalah teori yang digunakan untuk meneliti video klip“Jogja Istimewa” ini. Barthes melihat bahwa tanda-tanda yang ada dan tersusun dalam suatu wacana adalah natural dan netral. Secara halus tanda-tanda tersebut mengkomunikasikan makna konotasi, dimana dari pijakan konotasi ini kita bisa melihat sebuah ideologi atau pesan yang terkandung dalam mitos. Untuk mencari pesan atau ideology Barthes mengungkapkan ada dua tahapan yang dilalui, yaitu tahapan denotasi dan konotasi. Denotasi adalah makna yang sebenarnya dimana makan yang langsung diketahui. Konotatif adalah makna yang terlihat ketika membongkar tanda-tanda netral dan memaparkanya sebagai perangkat ideologis (Barthes, 2004:155-164). Dengan menggunakan framing dan dianalisis dengan teori Roland Barthes ini, penulis akan meneliti vido “Jogja Istimewa”. Dimana penulis ingin mencari pesan atau Ideologi yang ada dalam kata “Jogja Istimewa” selain sejarah dari kota Jogja sendiri.
5.1 Bait Satu Pada Lagu “Jogja Istimewa” Lirik : Holopis Kontol Baris
Holopis Kontol Baris Holopis Kontol Baris Holopis Kontol Baris
41 Sujamto (Clifford Geerts, 1973:126). “Setiap kebudayaan itu selalu mempunyai dua aspek pokok, yaitu “ethos”, yang merupakan aspek moral dan estetik, serta aspek pandangan hidup world view, yang merupakan aspek kognitif dan eksisitensial. Secara singkat dapat dikatakan bahwa “etos” adalah pandangan moral suatu masyarakat atau kelompok manusia”. Istilah “Holopis kontol baris” ini adalah yang menjadi etos atau pandangan moral orang jawa dalam bekerja. Pandangan hidup ini yang dipegang oleh masyarakat jawa dalam bekerja dan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Semakin derasnya arus globalisasi membuat orang semakin individual dan pandangan hidup ini mempunyai makna yang positif dan mengandung pesan yang relevan untuk keadaan saat ini.
MITOS: Orang Jawa suka kebersamaan, karena dengan kebersamaan dan gotong royong akan memupuk dan memunculkan rasa persaudaraan. Dengan kebersamaan dan gotong royong rasa persauadaraan dan sikap saling memerhatikan dan peduli terhadap sesama akan terbentuk. Perbedaan status sosial tidak ada dan trjadi disini. Hal ini menunjukan langsung ciri utama hidup kemasyarakatan orang jawa yang terkenal dengan semangat gotong royong, kebersamaan dan keakraban yang tampak dalam kehidupan masyarakat jawa. Masyarakat mencintai dan peduli sesamanya (“asih ing sesami”). Dalam interpretasi penulis tidak berhenti disini, bahwa ada pemanggilan yang terjadi disini untuk warga Jogjakarta dalam menyelamatkan Keistimewaan Jogja.
5.2 Bait Dua Pada Lagu “Jogja Istimewa”. Lirik: Jogja! Jogja! Tetap Istimewa
Istimewa Negrinya Istimewa Orangya Jogja! Jogja! Tetap Istimewa
Jogja Istimewa untuk Indonesia
42 dimana pada saat itu adalah daerah Swapraja. Istimewa disini menunjukan daerah Jogja merupakan sebuah Negeri yang Istimewa).
“Istimewa orangnya, Istimewa Negerinya” (ada keunikan didalam Jogja dimana Keraton yang membawa sisa gambaran pemerintahan yang feodalisme, namun masyarakatnya melihat makna sebuah feodalisme adalah pemberian untuk pelestarian dengan cara yang berbeda, dimana masyarakatnya melestarikan itu untuk menjadi indah.
“Jogja Istimewa untuk Indonesia” (terbangun masyarakat yang beragam dan membangun sebuah pluralisme yang melekat pada Jogjakarta. Pluralisme yang tumbuh dan terbangun menjadi ciri untuk keistimewaan Jogja sendiri. Hal inilah yang menjadi gambaran Indonesia, bahwa Jogja melakaukan ini tidak hanya untuk dirinya tapi juga untuk Indonesia.
Mitos: Keistimewaan Yogyakarta adalah adanya pengahargaan dan rasa penghormatan mereka yang diberikan oleh masyarakat pendatang atau masyarakat yang berasal dari luar Yogyakarta. Penghargaan dan rasa penghormatan mereka ditunjukan dengan mereka hidup berdampingan kepada masyarakat pendatang dan hal inilah yang membuat masyarakat yang ada menjadi kuat. Keanekaragaman masyarakat dan budaya menjadi hal yang mendapat penghormatan dan dihargai di Yogyakarta, dan hal ini menjadi kekayaan yang ada didalam keistmewaan Yogyakarta, dan dari masyarakat asli Jogja sendiri yang memberikan Keistimewaan ini.
5.3 Bait Tiga Pada Lagu “Jogja Istimewa”.
Lirik: “Rungokno iki gatra soko ngaYogyakarta Nagari paling penak rasane koyo swarga Ora peduli donya dadi neraka
Neng kene tansah edi peni lan merdika”
43 Konotasi: “Rungokno iki gatra soko ngaYogyakarta ( dengarlah ini suara panggilan yang berasal dari Jogja).
“Nagari palling enak rasane koyo swarga” (salah satu surga yang ada dibumi). “Ora peduli donya dadi neraka, Neng kene tansah edi lan merdeka” (tidak peduli kehidupan diluar sana menjadi tempat yang jahat, karena dan di tempat ini adalah keindahan dan kebebasan kami).
Mitos: Pesan yang bisa penulis ambil dari bait ketiga ini, bahwa ada kecintaan dari suara-suara Jogjakarta terhadap Jogjakarta, dimana mereka menganggap bahwa Jogjakarta adalah tempat yang paling nyaman dan Indah dan ada kebahagiaan yang mereka rasakan terhadap Jogja. Ada kebebasan dan kebahagiaan dalam menyuarakan aspirasi-aspirasi yang mereka tunjukan sebagai rasa memiliki mereka terhadap surge ini, dan mereka melakukanya disini dirumah mereka sendiri, Jogjakarta.
5.4 Bait Empat Pada Lagu “Jogja Istimewa”
Lirik: “Tanah lahirkan Tahta, Tahta untuk rakyat Dimana Rajanya bercerrmin di kalbu rakyat Demikianlah Singgasana bermartabat Berdiri kokoh untuk mengayomi rakyat
Memayu Hayuning Bawana” (Denotasi makna).
Konotasi: “Tanah lahirkan tahta, tahta untuk rakyat” (Tahta dilahirkan dari tanah, dari bawah. Tahta yang lahir dari bawah akan dikembalikan lagi dan diberikan lagi kebawah).
“Dimana Rajanya bercermin di kalbu rakyat” (Seorang pemimpin yang melihat dirinya sendiri dengan alat ukurnya adalah pangkal perasaan dan batin rakyat). “Berdiri kokoh untuk mengayomi rakyat” (Berdiri dengan kuat tahan dengan serangan untuk mengerti dan melayani rakyat).
44 Mitos: Bahwa Pemerintahan yang hebat atau yang indah adalah Pemerintahan yang berdiri untuk rakyat, mengerti dan memperjuangkan suara dan cita-cita dari rakyat. Pemerintahan yang melihat dan lahir dari rakyat dan untuk rakyat terbuka dan bersih erta suci. Pemerintahan seperti ini adalah pemerintahan yang bermoral, dengan adanya Pemerintahan yang bermoral, maka akan membuat Pemerintahan dan rakyatnya menjadi indah, dimana ada kesatuan visi dan misi dari semua elemenya atau satu cita-cita.
5.5 Bait Lima pada Lagu “Jogja Istimewa” Lirik: “Tambur wis ditabuh suling wis muni Holopis kuntul baris ayo dadi siji Bareng prajurit lan Senopati
Mukti utawa mati manunggal kawula gusti”
Denotasi: Arti lirik diatas dalam bahasa Indonesianya adalah tambur (alat musik pukul) sudah ditabuh, seruling sudah berbunyi, bersatu padu menjadi satu, bersama prajurit dan Senopati (sebutan untuk tentara Keraton), mulia atau mati rakyat dan Raja adalah satu. Musik sudah dimainkan, saatnya semua masyarakat dan raja menjadi satu.
Konotasi: “Tambur wis ditabuh suling wis muni (menggambarkan suasana yang riang, sukacita).
“Holopis kontol baris, Bareng Prajurit lan Senapati” (Ada panggilan, ajakan untuk menjadi satu bersama Negeri dan tentara).
“Mukti atau mati manunggal kawula Gusti” (Dalam kemenangan dan kekalahan, dan keadaan apapun Raja dan rakyat tak akan terpisahkan).
masing-45 masing dalam menjaga dan melindungi ketenangan, kenyamanan, dan keindahan Jogja, sebagai upaya dukungan mereka untuk Jogja. Antara rakyat, prajurit, Senopati, dan Raja semua adalah satu kesatuan, semua melebur bersama-sama dalam menjalani kehidupan dan menghadapai tantangan yang ada.
5.6 Bait Enam pada Lagu “Jogja Istimewa”. Lirik: “Menyerang tanpa pasukan Menang tanpa merendahkan Kesaktian tanpa ajian
Kekayaan tanpa kemewahan
Denotasi: Lirik diatas adalah juga menjadi makna denotasi pada bait ini. Lirik ini adalah merupakan revolusi dari filosofi yang diciptakan oleh Ki Ageng Surya Mataram “Sugih tanpa bondo, digdoyo tanpa aji, ngluruk tanpa bolo, menang tanpa ngasorake”.
Konotasi: “Menyerang tanpa Pasukan” (Menyerang menggunakan taktik, simpati dan diplomatik).
“Menang tanpa merendahkan” (Menang tanpa kesombongan). “Kesaktian tanpa ajian” (Kehebatan yang tidak terlihat tanpa mantra).
“Kekayaan tanpa Kemewahan” (Kemakmuran yang tidak ditunjukan nilai dan harganya).
46 5.7 Bait Tuju pada Lagu “Jogja Istimewa”.
Lirik : “Tenang bagai ombak gemuruh laksana merapi Tradisi hidup ditengah modernisasi
Rakyate jajah deso milangkori Nyebarke seni lan budi pekerti
Denotasi: Dalam bahasa Indonesia lirik ini artinya adalah ”Tenang bagai ombak gemuruh laksana merapi, Tradisi hidup ditengah modernisasi, rakyatnya berkelana kemana-mana, menyebarkan seni dan budi pekerti.
Konotasi: “Tenang bagai ombak laksana merapi” (Mempunyai keinginan besar, namun bisa menjaga dan menahan. Ada waktunya untuk menggunakanya).
“Tradisi hidup detengah modernisasi” (Kearifan lokal yang yang terus hidup ditengah globalisasi).
“Rakyate jajah deso milangkori” (Rakyat yang berkelana, menyebar kemana-mana).
“Nyebarke seni lan budi pekerti” (Menyebarkan hal-hal yang positif yang dibawa dari tanah Jogja).
Mitos: Mitos yang penulis ambil dari lirik pada bait ketuju bahwa modernisasi dan globalisasi disikapi dengan terbuka oleh masyarakat Yogyakarta, namun tradisi dan budaya yang mereka punyai adalah kebanggan dan harta yang yang mahal. Dimana apresiasi ini mereka lakuakan dengan penanaman dan pelestarian nilai-nilai tradisi dan budaya. Walaupun modernisasi dan globalisasi terus berjalan, pelestarian nilai taradisi dan budaya juga akan terus berjalan sebagai keinginan memiliki yang kuat dari mereka. Karena hal inilah yang menunjukan diri mereka sebenarnya di jaman modernisasi ini.
5.8 Bait Delapan pada Lagu “Jogja Istimewa”.
47 Diumpamake kacang kang ora ninggal lanjaran
Marang bumi seng nglahirake dewe tansah kelingan”
Denotasi: Ingatlah sabdane Sri Sultan Hamengkubuwono IX, setingginya kita belajar dan berilmu, kita adalah tetap orang Jawa, itu sudah kodratnya. Diumpamakan kacang tidak lupa kulitnya, jangan melupakan tempat dimana kita dilahirkan dan dibesarkan.
Konotasi: “Elingo sabdane Sri Sultan Hamengkubuwono kaping sanga” (Peganglah dan maknailah dalam hidup tentang pesan dari pemimpin Keraton yang kesembilan)
“Sakduwur-duwure sinau dewe tetep wong Jawa” (Ilmu dan pengetahuan adalah hikmat untuk memperkaya dan juga memperkuat diri kita.
“Diumpamake kacang kang ora ninggal lanjaran” (menyadari secara benar-benar jatidiri seperti kacang lanjaran atau kacang panjang. Menyadari secara berkepanjangan kesadaran kita terhadap apa yang kita punyai).
“Marang bumi seng nglahirake dewe tansah kelingan” (Diri kita adalah cerminan darimana kita dilahirkan, dan itulah yang seharusnya tercermin didalam diri kita). Mitos: Dari lirik bait kedelapan, penulis mengambil pesan yang ada didalam mitos bahwa seharusnya kita bisa menghargai, menjaga dan melindungi nilai-nilai tradisi dan budaya yang ada dimanapun kita berada, dan seperti apapun diri kita menjadi dan mencapai kesuksesan. Karena hal inilah yang tidak boleh dilupakan. Keberhasilan apapun yang diperoleh jangan melunturkan nilai tradisi dan budaya-budaya yang ada, justru nilai-nilai ini yang harus tetap dibawa dan memperkaya dan memperkuat diri kita, dan inilah yang merupakan sebuah kebijaksanaan yang halus.
5.9 Bait Sembilan pada Lagu “Jogja Istimewa” Lirik: “Ing ngarso sung tuladha
Ing madya mangunkarsa Tut Wuri Handayani
48 Denotasi: Yang didepan memberi contoh, yang ditengah meberi dorongan, yang dibelakang memberi semangat. Ayo bekerja bersama-sama.
Konotasi: “Ing ngarso sung tuladha” (Pemimpin harus tau caranya bersikap dan bertindak sehingga mampu menuntun dengan baik dan dengan hal-hal yanag positif).
“Ing madya mangunkarsa” (Pada lapisan ini adanya sebuah tindakan yang memberikan dukungan dari yang dilakukan oleh pemimpin).
“Tut wuri Handayani, Holopis kontol baris ayo dadi siji”. (Sebagai masyarakat melihat dan melakukan apa yang diberikan oleh pemimpin, dalam hal ini sifatnya bukan pasif tapi aktif dan ikut serta dalam sebuah sistim yang berjalan).
49 Tabel 5.1 Denotasi, Konotasi, Mitos
Lirik Denotasi Konotasi Mitos
Bait Satu
“Holopis Kontol Baris Holopis Kontol Baris Holopis Kontol Baris Holopis Kontol Baris”
Lirik disamping juga menjadi tanda denotasi pada bait satu ini, yang juga menjadi pijakan sekaligus penanda dan petanda untuk masuk dalam tataran konotasi
Makna konotasi dari istilah ”Holopis kontol Baris ini adalah”,
merupakan kata-kata yang mempunyai arti
merupakan ajakan untuk bekerja bersama-sama. Kata “kontol” dalam budaya Jawa mempunyai arti berjalan bersama-sama. “Holopis kontol baris” sendiri merupakan filosofi tradisional jawa ini merupakan suatu pandangan hidup dalam bekerja ataupun
melakukan kegiatan.
Orang Jawa suka kebersamaan, karena dengan kebersamaan dan gotong royong akan memupuk dan memunculkan rasa persaudaraan. Dengan kebersamaan dan gotong royong rasa persauadaraan dan status sosial tidak ada dan trjadi disini. Hal ini menunjukan langsung ciri utama hidup kemasyarakatan orang jawa yang terkenal dengan semangat gotong royong, kebersamaan dan keakraban yang tampak dalam
50
sesamanya (“asih ing sesami”). Dalam interpretasi penulis tidak berhenti disini, bahwa ada
pemanggilan yang terjadi disini untuk warga Jogjakarta dalam menyelamatkan Keistimewaan Jogja.
BAIT DUA Jogja! Jogja! Tetap Istimewa Istimewa Negrinya Istimewa Orangya
Jogja! Jogja! Tetap IstimewaJogja Istimewa untuk Indonesia.
DENOTASI
Lirik disamping juga menjadi tanda denotasi pada bait dua ini, yang juga menjadi pijakan sekaligus penanda dan petanda untuk masuk dalam tataran konotasi
KONOTASI “Jogja! Jogja! tetap Istimewa” (mempunyai entitas Negeri tersendiri, karena daerah Istimewa yang disandang oleh Jogja sejak jaman penjajahan, dimana pada saat itu adalah daerah Swapraja. Istimewa disini
menunjukan daerah Jogja merupakan sebuah Negeri yang Istimewa).
“Istimewa orangnya, Istimewa Negerinya” (ada keunikan didalam Jogja dimana Keraton yang membawa sisa gambaran pemerintahan yang yang diberikan oleh masyarakat pendatang atau masyarakat yang berasal dari luar Yogyakarta.
Penghargaan dan rasa penghormatan mereka ditunjukan dengan mereka hidup
51 masyarakatnya melihat
makna sebuah feodalisme adalah pemberian untuk pelestarian dengan cara yang berbeda, dimana masyarakatnya
melestarikan itu untuk menjadi indah.
“Jogja Istimewa untuk Indonesia” (terbangun masyarakat yang beragam dan membangun sebuah pluralisme yang melekat pada Jogjakarta.
Pluralisme yang tumbuh dan terbangun menjadi ciri untuk keistimewaan Jogja sendiri. Hal inilah yang menjadi gambaran Indonesia, bahwa Jogja melakaukan ini tidak hanya untuk dirinya tapi juga untuk Indonesia
kuat.
Keanekaragaman masyarakat dan budaya menjadi hal yang mendapat penghormatan dan dihargai di
Yogyakarta, dan hal ini menjadi kekayaan yang ada didalam keistmewaan
Yogyakarta, dan dari masyarakat asli Jogja sendiri yang
memberikan Keistimewaan ini.
BAIT TIGA
“Rungokno iki gatra soko ngaYogyakarta Nagari paling penak rasane koyo swarga Ora peduli donya dadi neraka
Neng kene tansah edi
DENOTASI Pada bait ketiga ini lirik yang dipakai adalah bahasa Jawa Yogyakarta dan dalam bahasa Indonesia lirik ini berbunyi: “Dengarlah
KONOTASI
“Rungokno iki gatra soko ngaYogyakarta (dengarlah ini suara panggilan yang berasal dari Jogja). “Nagari palling enak rasane koyo swarga” (salah satu surga yang ada
MITOS
52 peni lan merdika” ini suara dari
Yogyakarta, Negeri paling enak rasanya seperti surga, tidak peduli dunia jadi neraka, disini kami selalu nyaman dan merdeka”.
dibumi).
“Ora peduli donya dadi neraka, Neng kene tansah edi lan merdeka” (tidak peduli kehidupan diluar sana menjadi tempat yang jahat, karena dan di tempat ini adalah
keindahan dan kebebasan kami).
menganggap bahwa Jogjakarta adalah tempat yang paling nyaman dan Indah dan ada kebahagiaan yang mereka rasakan terhadap Jogja. Ada kebebasan dan kebahagiaan dalam menyuarakan aspirasi-aspirasi yang mereka tunjukan sebagai rasa memiliki mereka terhadap surge ini, dan mereka
melakukanya disini dirumah mereka sendiri, Jogjakarta. BAIT EMPAT
“Tanah lahirkan Tahta, Tahta untuk rakyat
Dimana Rajanya bercerrmin di kalbu rakyat
Demikianlah Singgasana bermartabat
Berdiri kokoh untuk mengayomi rakyat Memayu Hayuning
DENOTASI
Lirik disamping juga menjadi tanda denotasi pada bait tiga ini, yang juga menjadi pijakan sekaligus penanda dan petanda untuk masuk dalam tataran konotasi
KONOTASI
“Tanah lahirkan tahta, tahta untuk rakyat” (Tahta dilahirkan dari tanah, dari bawah. Tahta yang lahir dari bawah akan
dikembalikan lagi dan diberikan lagi kebawah). “Dimana Rajanya bercermin di kalbu rakyat” (Seorang pemimpin yang melihat dirinya sendiri dengan alat
MITOS
Bahwa Pemerintahan yang hebat atau yang indah adalah
Pemerintahan yang berdiri untuk rakyat, mengerti dan
memperjuangkan suara dan cita-cita dari rakyat.
53
Bawana” ukurnya adalah pangkal
perasaan dan batin rakyat).
“Berdiri kokoh untuk mengayomi rakyat” (Berdiri dengan kuat tahan dengan serangan untuk mengerti dan melayani rakyat).
“Memayu Hayuning Bawana” (Melayani rakyat).
rakyat terbuka dan bersih erta suci. Pemerintahan seperti ini adalah
pemerintahan yang bermoral, dengan adanya Pemerintahan yang bermoral, maka akan membuat Pemerintahan dan rakyatnya menjadi indah, dimana ada kesatuan visi dan misi dari semua elemenya atau satu cita-cita.
BAIT LIMA
“Tambur wis ditabuh suling wis muni Holopis kuntul baris ayo dadi siji
Bareng prajurit lan Senopati
Mukti utawa mati manunggal kawula gusti”
DENOTASI dalam bahasa Indonesianya adalah tambur (alat musik pukul) sudah ditabuh, seruling sudah
berbunyi, bersatu padu menjadi satu, bersama prajurit dan Senopati (sebutan untuk tentara Keraton), mulia atau mati rakyat dan Raja adalah satu. Musik sudah dimainkan, saatnya semua masyarakat dan raja
KONOTASI
“Tambur wis ditabuh suling wis muni
(menggambarkan suasana yang riang, sukacita). “Holopis kontol baris, Bareng Prajurit lan
Senapati” (Ada panggilan, ajakan untuk menjadi satu bersama Negeri dan tentara).
“Mukti atau mati
manunggal kawula Gusti” (Dalam kemenangan dan kekalahan, dan keadaan apapun Raja dan rakyat
MITOS
54 menjadi satu. tak akan terpisahkan). ketenangan,
kenyamanan, dan keindahan Jogja, sebagai upaya dukungan mereka untuk Jogja. Antara rakyat, prajurit, Senopati, dan Raja semua adalah satu kesatuan, semua melebur bersama-sama dalam menjalani kehidupan dan
menghadapai
tantangan yang ada. .
BAIT ENAM “Menyerang tanpa pasukan
Menang tanpa
merendahkan
Kesaktian tanpa ajian Kekayaan tanpa kemewahan
DENOTASI Lirik diatas adalah juga menjadi makna denotasi pada bait ini. Lirik ini adalah merupakan revolusi dari filosofi yang diciptakan oleh Ki Ageng Surya Mataram “Sugih tanpa bondo, digdoyo tanpa aji, ngluruk tanpa bolo, menang tanpa simpati dan diplomatik). “Menang tanpa
merendahkan” (Menang tanpa kesombongan). “Kesaktian tanpa ajian” (Kehebatan yang tidak terlihat tanpa mantra). “Kekayaan tanpa Kemewahan”
(Kemakmuran yang tidak ditunjukan nilai dan harganya).
MITOS
Cara penyelesaian masalah bukan
melalui kekerasan dan peperangan, namun menggunakan taktik, diplomasi, demokrasi, simpati dan sikap rendah hati. Hal ini yang akan
55 elegan, dan sifat elegan yang tidak diperlihatkan adalah cara untuk tetap menghargai dan merangkul orang lain BAIT TUJU
“Tenang bagai ombak gemuruh laksana merapi
Tradisi hidup ditengah modernisasi
Rakyate jajah deso milangkori
Nyebarke seni lan budi pekerti
DENOTASI Dalam bahasa Indonesia lirik ini artinya adalah
”Tenang bagai ombak gemuruh laksana merapi, Tradisi hidup ditengah modernisasi, rakyatnya berkelana kemana-mana,
menyebarkan seni dan budi pekerti.
KONOTASI
“Tenang bagai ombak laksana merapi”
(Mempunyai keinginan besar, namun bisa menjaga dan menahan. Ada waktunya untuk menggunakanya). “Tradisi hidup detengah modernisasi” (Kearifan lokal yang yang terus hidup ditengah globalisasi).
“Rakyate jajah deso milangkori” (Rakyat yang berkelana, menyebar kemana-mana).
“Nyebarke seni lan budi pekerti” (Menyebarkan hal-hal yang positif yang dibawa dari tanah Jogja).
MITOS
Mitos yang penulis ambil dari lirik pada bait ketuju bahwa modernisasi dan globalisasi disikapi dengan terbuka oleh masyarakat
Yogyakarta, namun tradisi dan budaya yang mereka punyai adalah kebanggan dan harta yang yang mahal. Dimana apresiasi ini mereka lakuakan dengan penanaman dan pelestarian nilai-nilai tradisi dan budaya. Walaupun
56
terus berjalan sebagai keinginan memiliki yang kuat dari mereka. Karena hal inilah yang
menunjukan diri mereka sebenarnya di jaman modernisasi ini.
BAIT DELAPAN “Elingo sabdane Sri Sultan
Hamengkubuwono kaping sanga Sakduwur-duwure sinau dewe tetep wong Jawa
Diumpamake kacang kang ora ninggal lanjaran
Marang bumi seng nglahirake dewe tansah kelingan”
DENOTASI
Ingatlah sabdane Sri Sultan
Hamengkubuwono IX, setingginya kita belajar dan berilmu, kita adalah tetap orang Jawa, itu sudah
kodratnya.
Diumpamakan kacang tidak lupa kulitnya, jangan melupakan tempat dimana kita dilahirkan dan dibesarkan.
KONOTASI “Elingo sabdane Sri Sultan Hamengkubuwono kaping sanga” (Peganglah dan maknailah dalam hidup tentang pesan dari pemimpin Keraton yang kesembilan)
“Sakduwur-duwure sinau dewe tetep wong Jawa” (Ilmu dan pengetahuan adalah hikmat untuk memperkaya dan juga memperkuat diri kita. “Diumpamake kacang kang ora ninggal lanjaran” (menyadari secara benar-benar jatidiri seperti kacang lanjaran atau kacang panjang. Menyadari secara
berkepanjangan kesadaran
MITOS Dari lirik bait kedelapan, penulis mengambil pesan yang ada didalam mitos bahwa
budaya-57 kita terhadap apa yang
kita punyai). “Marang bumi seng nglahirake dewe tansah kelingan” (Diri kita adalah cerminan darimana kita dilahirkan, dan itulah yang seharusnya tercermin didalam diri kita).
budaya yang ada, justru nilai-nilai ini yang harus tetap dibawa dan memperkaya dan memperkuat diri kita, dan inilah yang merupakan sebuah
Tut Wuri Handayani Holopis kuntul baris ayo dadi siji”
DENOTASI Yang didepan
memberi contoh, yang ditengah meberi dorongan, yang dibelakang memberi semangat. Ayo bekerja bersama-sama.
KONOTASI
“Ing ngarso sung tuladha” (Pemimpin harus tau caranya bersikap dan bertindak sehingga
mampu menuntun dengan baik dan dengan hal-hal yanag positif).
“Ing madya mangunkarsa” (Pada lapisan ini adanya sebuah tindakan yang memberikan dukungan dari yang dilakukan oleh pemimpin).
“Tut wuri Handayani, Holopis kontol baris ayo dadi siji”. (Sebagai masyarakat melihat dan melakukan apa yang diberikan oleh pemimpin,
MITOS
Pesan yang bisa penulis ambil dari mitos lirik bait kesembilan ini adalah bahwa kesatuan adalah hal yang mendasar untuk mempunyai satu suara dan satu tujuan demi mencapai cita-cita yang mulia, dan ketulusan yang akan membawa untuk semua elemen yang ada untuk
mengerjakan bagianya masing-masing
58 dalam hal ini sifatnya
bukan pasif tapi aktif dan ikut serta dalam sebuah sistim yang berjalan).
memberi semangat dan dukungan, dan dukungan itu bisa mereka kerjakan dalam bentuk apapun. Seperti JHF mereka meberikan dukungan dari karya-karya yang diciptakan.) sebagai kumpulan usaha-usaha yang akan bersinergi yang akan mencapai
keberhasilan.
Dalam penelitian ini penulis juga akan melihat dan menggunakan pendapat dan sudut pandang orang lain untuk membuat hasil dari penelitian penulis menjadi lebih terpercaya informasinya, dengan cara dibandingkan dan diperiksa kembali melalui wawancara yang penulis lakukan.
1. Bapak Ndaru (Dekan Fiskom UKSW): Keistimewaan Jogjakarta karena memang dari unsur sejarahnya. Sejak dulu sebelum NKRI berdiri, Jogjakarta adalah sebuah Negeri (Ngayogyakarta Hadidiningrat). Jogjakarta mempunyai kekuatan politis yang besar untuk Indonesia, kekauatan ini dimulai ketika Jogjakarta masuk dan bergabung kedalam NKRI sebagai sebuah Negara sendiri, atau daerah Istimewa. Munculah UUD 45 tentang Keistimewaan. Hal ini yang membawa dampak yang besar sehingga Indonesia mendapatkan pengakuan Internasional. Berpindahnya Ibu kota ke Jogja pada tahun 1948 mebuat Jogja berperan dan mempunyai andil yang besar untuk mempertahankan eksistensi NKRI sendiri.
59 dengan NKRI adalah fakta sejarah tersendiri. Kemudian Simbol dari Keraton sendiri, dimana Keraton sangat memberi manfaat bagi masyarakat. keraton sebagai entitas kebudayaan yang berdiri sampe sekarang. Keraton sebuah Interaksi simbolik (lambang Jogja di Dokar, mobil, motor, baju, dan aksara-aksara Jawa yang masih dipertahankan) merupakan gamabaran Interaksi simbolik terjadi di kota ini, ada rasa memiliki yang dipunyai oleh masyarakat Jogja. Keraton sendiri juga menyatukan orang Jogja, keraton adalah rumah. Luis althuser, Ideologi bekerja dari pemanggilan, Keraton simbol dari pemanggilan, memanggil Keistimewaan orang Jogja untuk mempertahankanya pada saat Keistimewaan ini diusik oleh Pemerintah pusat. Hal ini menunjukan bahwa Keraton merupakan suatu hal yang mulia bagi mereka warga Jogjakarta.
60 Tabel 5.2 Tabulasi
MITOS Pak Ndaru Pak Fajar Empu Sungkowo
Ada empat
keistimewaan yang penulis temukan disini (Bermoral, Satu visi dan misi, Kebersamaan yang tiada batasnya, Mencintai tanah airnya. Ini merujuk pada satu
“Keisstimewaan”, yaitu Keistimewaan yang menuntun
Kekuatan Politik yang diberikan Jogja mempunyai dampak yang besar bagi Indonesia, dan adanya Pengakuan Internasional.
Keistimewaan bisa kita lihat dari sejarah Jogja yang diberikan untuk Indonesia. Warga mempunyai rasa memiliki terhadap Jogjakarta.
Pembangkitan budaya-budaya daerah atau lokal yang mulai terkikis adalah untuk mengingatkan kita. Pembangkitan kembali adalah jalan untuk