• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jaringan Bambu (Bamboo Network) Dalam Memilih Pendidikan Tinggi Pada Masyarakat Etnis Tionghoa Medan (Studi Kasus di Universitas Prima Indonesia dan STIE & STMIK IBBI Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Jaringan Bambu (Bamboo Network) Dalam Memilih Pendidikan Tinggi Pada Masyarakat Etnis Tionghoa Medan (Studi Kasus di Universitas Prima Indonesia dan STIE & STMIK IBBI Medan)"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Teori Jaringan Sosial

Jaringan sosial merupakan hubungan-hubungan yang tercipta antara banyak

individu dalam suatu kelompok ataupun antara suatu kelompok dengan kelompok

lainnya. Hubungan- hubungan yang terjadi bisa dalam bentuk yang formal maupun

bentuk informal. Hubungan sosial adalah gambaran atau cerminan dari kerjasama dan

koordinasi antar warga yang didasari oleh ikatan sosial yang aktif dan bersifat

resiprosikal (Damsar, 2002:157).Jaringan Sosial memiliki konsep menunjukkan suatu

hubungan yang diikat oleh adanya kepercayaan dan kepercayaan itu dipertahankan dan

dijaga oleh norma-norma yang ada.Pada dasarnya jaringan sosial terbentuk karena

adanya rasa saling tahu, saling menginformasikan, saling mengingatkan, dan saling

membantu dalam melaksanakan ataupun mengatasi sesuatu.

Secara normatif yang mempersatukan orang secara bersama adalah sekumpulan

gagasan bersama, dan adanya kultur dan proses sosialisasi yang menanamkan norma

dan nilai ke dalam diri aktor. Pakar teori Jaringan menentang hal tersebut karena

menganggap seharusnya setiap orang memusatkan perhatian pada sebuah pola ikatan

yang objektif yang menghubungkan anggota masyarakat.Teori jaringan juga menelaah

objek struktur makro dan mikro yang artinya aktor bisa berupa individu, kelompok,

perusahaan, atau masyarakat.Hubungan dapat terjadi di tingkat struktur sosial skala luas

maupun skala kecil. Hubungan ini berlandaskan gagasan bahwa setiap individu

mempunyai akses berbeda terhadap sumber daya yang bernilai

(2)

cenderung terstratifikasi, komponen tertentu tergantung pada komponen yang lain.

Maka dari itu membentuk sebuah kelompok menjadi upaya untuk mencapai sumber

daya yang bernilai.

Hubungan antar individu dalam kelompok bersifat ikatan kuat dan ikatan lemah.

Granovetter mengemukakan ikatan kuat dan lemah dalam kelompok memiliki nilai

tersendiri. Ikatan kuat dalam kelompok memungkinkan adanya motivasi lebih besar

untuk saling membantu dan lebih cepat untuk saling memberikan bantuan.Sementara itu

ikatan lemah dapat mencegah isolasi dan memungkinkan individu mengintegrasikan

dirinya dengan lebih baik ke dalam masyarakat lebih luas.Dapat diartikan bahwa ikatan

kuat dan ikatan lemah dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu yang di bentuk oleh

masyarakat. Salah satu contoh nya ikatan yang kuat didorong oleh faktor kesamaan

sebagai suku tertentu maka masyarakat suku tersebut akan saling menolong dengan

sesegera mungkin masyarakat yang sedang mengalami musibah namun tetap dalam satu

suku yang sama. Contoh ikatan yang lemah misalnya sekelompok masyarakat minoritas

yang tinggal di sebuah wilayah yang mayoritas dikuasai oleh satu suku saja namun

kelompok tersebut bisa bergabung dengan suku mayoritas sehingga kelompok tersebut

menjadi mudah terintegrasi dengan suku mayoritas di wilayah tersebut dan membangun

jaringan sosial yang multikultural.

Jaringan sosial memiliki sekumpulan prinsip logis yaitu:

1. Ikatan antara aktor biasanya adalah simetris baik dalam kadar maupun

intensitasnya. Aktor saling memasok dengan sesuatu yang berbeda dan

mereka berbuat demikian dengan intensitas yang makin besar atau makin

(3)

2. Ikatan antara individu harus dianalisis dalam konteks struktur jaringan lebih

luas.

3. Terstrukturnya ikatan sosial menimbulkan berbagai jenis jaringan non acak.

Di satu pihak, jaringan adalah transitif artinya bila ada ikatan antara A,B dan

C, ada kemungkinan ada ikatana antara A dan C. Akibatnya adalah bahwa

lebih besar kemungkinan adanya jaringan yang meliputi A,Bdan C. Dilain

pihak, ada keterbatasan tentang berapa banyak hubungan yang dapat muncul

dan seberapa kuatnya hubungan itu dapat terjadi. Akibatnya adalah juga

kemungkinan terbentuknya kelompok-kelompok jaringan dengan batas

tertentu, yang saling terpisah satu sama lain.

4. Adanya kelompok jaringan menyebabkan terciptanya hubungan silang antara

kelompok jaringan maupun antara individu.

5. Ada ikatan asimetris antara unsur-unsur didalam sebuah sistem jaringan

dengan akibat bahwa sumber daya yang terbatas akan terdistribusikan secara

tak merata.

6. Distribusi yang timpang dari sumber daya yang terbatas menimbulkan baik

itu kerjasama maupun kompetisi. Beberapa kelompok akan bergabung untuk

mendapatkan sumber daya yang terbatas itu dengan bekerja sama, sedangkan

kelompok lain bersaing dan memperebutkannya.

2.2Teori Jaringan Bambu

Sejak berakhirnya Perang Dingin terdapat sebuah kawasan di dunia yang

secara tidak terduga berkembang dengan pesat dari segi pembangunan secara

global, dimana kawasan itu adalah Asia Tenggara. Di Asia Tenggara pelaku

(4)

keluar dari negara mereka, Tiongkok, dan mereka sangat sukses mendirikan bisnis

di kawasan Asia Tenggara.Itu semua merupakan hasil dari perubahan politik,

ekonomi dan militer yang sangat cepat pada rakyat Tiongkok dan tidak mudah untuk

mengabaikan kebesaran Tiongkok.Maka dari itu Tiongkok menjadi salah satu

kekuatan dunia saat ini terutama di sector bidang ekonomi.Bangsa Cina tersebar di

seluruh negara terutama di kawasan benua Asia. Mereka membentuk jaringan

khusus untuk bisa menguasai perdagangan dunia dan bersaing dengan pengusaha

dan perusahaan dari barat

(Eropa dan Amerika) dan jaringan tersebut dinamakan jaringan bambu (Bamboo Net

work).Jaringan Bambu terdiri atas himpunan besar keluarga Bangsa Cina yang berni

aga di Malaysia, Vietnam, Indonesia,Singapura, Thailand, zona pantai

Cina/Tiongkok dan Taiwan. Anggota jaringan bambu adalah pemain penting dalam

transisi kebijakan Cina dari totaliter menjadi arah perdagangan dan pasar serta

ekspansi ekonomi secara cepat.Para pengusaha etnis Cina sangat tangguh dalam

urusan perdagangan di luar negara asal mereka sehingga perekonomian negara

Tiongkok sendiri menjadi terangkat dan semakin maju.Hal ini mengukuhkan

pebisnis Cina sebagai kompetitor yang patut di waspadai oleh para pebisnis dari

barat seperti Eropa dan Amerika. Bisnis yang mereka ciptakan biasanya bekerja

sama dengan keluarga sendiri sebab mereka lebih percaya kepada keluarga dalam

urusan bisnis dan dapat saling tolong menolong jika urusan bisnis dipegang oleh

keluarga atau kerabat dan segala urusan berkaitan dengan bisnis dianggap lebih

mudah bekerja sama dengan sesama etnis Cina juga. Keluarga dibentuk untuk

mempelajari dan memahami tentang pola berbisnis yang tepat maka banyak contoh

(5)

kepada anak cucu mereka sendiri.Artinya ikatan kekerabatan dan rasa kesamaan

sebagai etnis Cina dikalangan para pengusaha di Asia Tenggara dan seluruh dunia

sangat kental.Perilaku atau kebiasaan demikian menimbulkan beragam fenomena,

misalnya karena ikatan kekerabatan yang luar biasa erat menjadikan seseorang

anggota keluarga yang tidak kompeten lebih dipercaya memegang pekerjaan atau

bisnis dibandingkan dengan tenaga ahli yang memang sudah professional atau

kompeten.

Etnis Cina memang memiliki sifat yang turun temurun yang berkaitan dengan

keberhasilan dalam bekerja atau berusaha yakni sifat berhemat, berwirausaha, dan

ketekunan.Berhemat artinya disini adalah tidak menghambur-hamburkan harta

untuk bersenang-senang, mereka justru sangat berhati-hati dalam menggunakan dan

menikmati harta yang mereka miliki.Sifat berwirausaha maksudnya adalah

wirausaha dianggap dapat menjadi sumber untuk memperoleh penghasilan bagi

etnis Tionghoa dan berikutnya sifat ketekunan berarti setiap pekerjaan yang

dilakukan harus dikerjakan dengan bersungguh-sungguh dan tidak boleh

bermalas-malasan.Etnis Cina tak hanya belajar untuk berbisnis lewat keluarga atau turun

temurun, mereka juga memperoleh ilmu berbisnis dengan menuntut ilmu di

negara-negara barat kemudian menerapkan ilmu yang mereka peroleh ke dalam

bisnis-bisnis yang dijalankan oleh keluarga mereka.

Dari sifat-sifat diatas maka dapat dilihat bahwa pebisnis Tionghoa atau Cina

memang layak untuk sukses dan menguasai dunia usaha di seluruh dunia.Dalam

menjalankan bisnisnya dapat kita lihat ciri-ciri khas orang Cina yang sudah

diketahui oleh khalayak umum. Ciri khas dari sifat pebisnis etnis Cina dalam usaha

(6)

publikasi dan lebih suka bekerja di belakang layar seperti memproduksi sarana

untuk produsen menjalankan proses produksi, atau terjun ke usaha grosir,

pembiayaan atau pengakutan tanpa memperlihatkan merk mereka ke khalayak

umum. Disini terlihat bahwa pebisnis Cina cenderung menutup diri dari masyarakat

umum dan hanya mau bekerja di balik layar bisnis-bisnis tanpa memperlihatkan

identitas mereka secara terbuka. Ciri berikutnya yakni perusahaan keluarga etnis

Cina sifatnya memiliki pengawasan yang ketat, kontrol terpusat dan melakukan

transaksi dengan jalur yang aman bagi mereka agar proses birokrasi tidak

merepotkan. Untuk urusan transaksi atau birokrasi, etnis Cina tidak mau repot

mengurus hal-hal mengenai usaha mereka dengan bertele-tele karena mereka sangat

menghargai waktu dan kesempatan. Jika birokrasi di permudah maka proses

pelaksanaan kegiatan dalam berbisnis atau berdagang akan semakin cepat dan tidak

membuang waktu yang percuma. Ciri ketiga adalah perusahaan para pebisnis Etnis

Cina karena mereka lebih menekankan perusahaan yang memiliki jaringan luas

daripada hanya memiliki satu perusahaan yang mendominasi pasar namun

perkembangannya kurang signifikan dikemudian hari.Dalam menentukan kegiatan

berbisnis, orang-orang Cina tentu sangat terperinci dan penuh dengan perhitungan

yang matang. Apabila kesempatan membuka perusahaan lebih dari satu dilakukan

mereka beranggapan bisa saja perusahaan tersebut tidak berjalan dengan baik

sehingga hanya dengan satu perusahaan saja , dikontrol dengan teliti akan jauh lebih

memperoleh keuntungan uang banyak. Dan ciri yang terakhir adalah para pebisnis

Etnis Cina di luar negeri memanfaatkan atau menggunakan gaya manajemen yang

informal dan intuitif. Dengan gaya usaha atau berdagang secara informal dan

(7)

lainnya dan memperoleh kepercayaan para pebisnis lainnya. Dari ciri khas pebisnis

Cina yang telah dijelaskan diatas memperlihatkan kinerja dan pola perilaku yang

sangat umum dilakukan oleh etnis Cina dalam menjalankan bisnis, walaupun tidak

semua orang Cina berwirausaha dan juga tidak semua menjadi sukses dalam

menjalankan bisnis namun ikatan dalam jaringan sebagai sesama etnis Cina atau

Tionghoa tetap ada dan dipertahankan dalam hubungan sosial.

2.3 ‘Masalah Cina’ di Indonesia

Sejarah panjang keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia cukup banyak

meninggalkan dan menyisakan polemik kehidupan sosial, politik, dan budaya

bagi identitas etnis Tionghoa di Indonesia.Sejak masa pemerintahan kolonial

Hindia-Belanda, kebijakan-kebijakan terhadap etnis Tionghoa mulai

diberlakukan.Kehadiran dan keberartian orang-orang etnis Tionghoa seringkali

disikapi acuh tak acuh oleh masyarakat Pribumi dan Pemerintah, atau bahkan

diekspresikan secara ekstrem, dengan sangat membenci atau justru menyenangi

orang-orang etnis ini.Dalam kondisi-kondisi tertentu saja orang-orang etnis

Tionghoa mendapatkan perlakuan tersebut.Pendeknya, terdapat suatu sikap yang

tidak menentu terhadap golongan ini, yang juga terlihat pada badan-badan

Pemerintah, seperti tercermin pada kebijakan-kebijakan serta peraturan yang

diberlakukan sejak zaman kolonial hingga kini.Melihat masalah Tionghoa

sebagai bagian dari kenyataan kebhinekaan masyarakat Indonesia ini,

mengharuskan suatu pengetahuan dan pengertian yang lebih mendalam

mengenai sejarah dan peranan golongan minoritas dalam masyarakat luas.Untuk

(8)

di Indonesia relatif sedikit, mereka merupakan kelompok minoritas yang berarti.

Dengan kata lain, meskipun dari segi ekonomi etnis Tionghoa lebih menonjol

dari Pribumi, kemungkinan terjadinya benturan benturan diperbesar dengan

adanya segi-segi sosial, budaya, dan politik, dan dasar-dasarnya terbentuk sejak

pemerintahan kolonial Belanda dengan kebijakan ‘devide et impera’nya, yang

secara sistematis memisahkan berbagai golongan penduduk dengan golongan

lainnya termasuk golongan etnis Tionghoa. sejak zaman pemerintahan

Hindia-Belanda politik ‘pemisahan’ golongan antar etnis telah diberlakukan,termasuk

etnis Tionghoa. Keterbatasan akses dan keterbatasan berdemokrasi untuk

menempatkan sikap kebangsaan etnis Tionghoa di Indonesia semakin dikebiri

oleh Negara, bahkan oleh masyarakatnya. Stereotip yang tumbuh dan

berkembang terlebih sejak masa Orde Baru, semakin menguatkan kelemahan

etnis Tionghoa yang kemudian berlabelkan ‘minoritas’, bahkan di Tanah Airnya

sendiri ketika mereka telah berasimilasi dan berakulturasi menjadi warga Negara

Indonesia. Pembatasan-pembatasan tersebut menjadi awal mula terbentuknya

‘benteng’ antara etnis Tionghoa dengan Negara dan pribumi.Insecurity terhadap

Negara dan pribumi kemudian disebut-sebut sebagai penyebab eksklusif nya

etnis Tionghoa dibandingkan dengan pribumi dan etnis lainnya.Eksklusifitas ini

yang kemudian mulai berkembang menjadi pola hidup dan kebiasaan, bahkan

budaya bagi beberapa lapisan etnis golongan Tionghoa itu sendiri.Seperti

misalnya ketika kita melihat banyak dari golongan etnis Tionghoa menengah

keatas yang menjadi sangat eksklusif dibanding dengan orang-orang etnis

Tionghoa lainnya.Misal, jika kita melihat orang-orang etnis Tionghoa yang

(9)

beraglomerasi pada daerah daerah tertentu yang menunjukkan identitas mereka

masing-masing. Etnis Tionghoa peranakan, yang berasimilasi dengan orang

Indonesia, dan kebanyakan dari mereka bermata pencaharian sebagai pedagang,

bertempat tinggal di sekitaran Glodok dan jalan Gajah Mada, yang kemudian

orang bilang sebagai ‘Cina Benteng’. Sebutan Cina Benteng muncul karena ada

pembedaan latar belakang financial dengan orang Tionghoa ‘Totok’ lainnya,

yang beraglomerasi di sekitaran daerah Kelapa Gading dan Pluit, Jakarta

Utara.Orang-orang Tionghoa ini dikenal sebagai pengusaha, golongan

menengah keatas, yang cukup menguasai pusat perekonomian dan bisnis, baik di

Ibukota maupun di daerah-daerah.Etnis Tionghoa membangun in-group yang

tanpa mereka sadari semakin menjauhkan etnis mereka dengan budaya

demokrasi dengan masyarakat Indonesia yang pluralis.

Insecurity juga disebut-sebut sebagai faktor yang dijadikan alasan pilihan

anak-anak Tionghoa disekolahkan di sekolah-sekolah swasta, terlebih berbasis

Yayasan. Perlu diingat bahwasanya pilihan tersebut merupakan hasil dari luka

lama yang dirasakan pada pemerintahan masa Orde Baru, dimana kebijakan

Soeharto yang mengimbau anak-anak berkebangsaan asing yang tinggal di

Indonesia untuk masuk sekolah Negeri dan swasta yang mengajarkan kurikulum

nasional. Karena adanya pembatasan dan insecurity tersebut berdampak pada

mind-set dan rational-choice etnis Tionghoa pasca Orde Baru untuk dapat

‘menghidupkan’ kembali kebudayaan dan kebiasaan lama sekolah mereka.

Dimana mereka dapat merasakan keamanan dan kelestarian budaya Tionghoa

(10)

Berdasarkan fenomena-fenomena tersebut, dapat dipahami bahwasanya

pemikiran tentang identitas Indonesia Tionghoa merupakan konsep yang sukar

ditangkap dan melibatkan banyak penyebab yang saling berkaitan, terutama

sejarah masa lampau etnis Tionghoa di Indonesia. Penyebab yang saling terkait

ini dan dapat meliputi teritorialitas, afiliasi agama, pengaruh keluarga, sikap

hubungan antara Pribumi dengan Tionghoa, kelas, patriarki, dan pencarian

jodoh, semuanya memberi andil kepada corak sistem representasi yang

mendasari pola interaksi dan identifikasi diantara orang Indonesia Tionghoa.

Dan seiring berjalannya waktu, sejarah etnis Tionghoa dari zaman kolonial

Belanda, Orde Baru, Reformasi sampai pada saat ini kemudian semakin

mengalami proses pergeseran. Dari etnis minoritas, menjadi etnis dan komunitas

yang superior dan bahkan eksklusif.Mereka yang dahulu termarjinalkan, kini

memegang kekuatan pada beberapa sektor vital Negara, seperti

perekonomian.Pribumi tidak lagi memandang mereka sebagai orang-orang

minoritas yang tidak memiliki hak dan akses terhadap Negara dan lingkungan

seperti perspektif terdahulu.Namun, justru keadaan berbalik.Kini kebanyakan

etnis Tionghoa yang lebih memegang kendali daripada orang-orang Pribumi dan

bahkan oleh Negara. Mereka seakan terpisah dari Negara dan masyarakat

lainnya, membentuk suatu ‘komunitas’ atau in-groupatas dasar kultur

subjektifnya, dengan kekuatan finansial, terlebih di dukung dengan

perkembangan stereotip masyarakat akan kehidupan sosial etnis Tionghoa di

Indonesia, mereka bertransformasi menjadi etnis yang superior dan

(11)

sendiri lah yang memperkuat label dan disain ‘minoritas’ tersebut, sehingga

“Tionghoa akan tetap Tionghoa”.

2.4 Etnis Cina Di Indonesia Fakta Komunikasi Antar Budaya

Keberadaan etnis Cina di Indonesia diperkirakan sudah ada sejak abad ke- 5.

Hal itu di tunjukkan oleh kunjungan Fa-Hsien,1 seorang pendeta Budha ke

Indonesia pada abad awal tarikh masehi (Kwartanada, 1996: 24; Djie, 1995: 20

dalam Siburian,2009). Dengan adanya fakta yang demikian, berarti etnis Cina sudah

hadir kurang lebih 15 abad, jauh sebelum bangsa Belanda menjajah di

Indonesia.Mencermati keberadaan etnis Cina yang sudah beberapa generasi tinggal

di bumi Indonesia, seharusnya keberadaan mereka tidak perlu lagi

dipermasalahkan.Hanya karena kebetulan mereka itu etnis Cina, namun sudah

banyak di antara etnis Cina itu tidak lagi mengetahui letak tanah

leluhurnya.Beberapa di antara mereka pun sudah banyak yang tidak mengerti bahasa

leluhurnya. Berdasarkan fakta itu, proses pembentukan Indonesia menjadi sebuah

negara-bangsa juga melibatkan etnis Cina, sehingga dalam perkembangannya pun

etnis Cina merupakan bagian integral dari perjalanan sejarah Indonesia. Proses

pengakuan etnis Cina sebagai bagian dari warga negara Indonesia sudah dimulai

sejak masa penjajahan dahulu, tampaknya keberadaan etnis Cina sebagai bagian dari

bangsa Indonesia belum berjalan mulus, atau etnis Cina belum diterima oleh etnis

"asli" penghuni negeri ini secara optimal. Perlakuan terhadap etnis Cina sangat

berbeda dengan perlakuan terhadap orang India ataupun orang Arab yang ada di

(12)

mewarnai hubungan etnik di Indonesia ini, di mana etnis Cina tidak pernah luput

dari sasaran.Adanya konflik antaretnis yang selalu membawa korban pada etnis

Cina memberi indikasi bahwa hubungan antaretnis khususnya antara etnis Cina

dengan etnis "asli" Indonesia tidak harmonis.Sering dianalogkan bahwa etnis Cina

di Indonesia ibarat kerupuk yang ditaruh dalam kaleng yang selalu digoyang untuk

menemukan posisinya yang tepat. Sepanjang posisi itu belum tepat, etnis Cina akan

selalu digoyang. Kurang berterimanya masyarakat Indonesia untuk menempatkan

etnis Cina sebagai etnis yang sejajar dengan etnis "asli" tentu ada yang

melatarbelakanginya.Salah satunya adalah faktor kecemburuan sosial. Dalam

perjalanan sejarah Indonesia, posisi etnis Cina adalah "anak emas" sekaligus "anak

tiri" bangsa Indonesia. Artinya, di satu sisi etnis Cina diperlakukan sangat istimewa

oleh pemerintah Indonesia, tetapi di sisi lain, pada saat yang sama etnis Cina

dipersulit dalam berbagai hal. Dalam hal ini, pemerintah selalu mendiskriminasikan

etnis Cina-siapa pun dia itu-dengan berbagai aturan.Pendiskriminasian etnis Cina ini

sebenarnya sudah berlangsung ketika Indonesia masih berada di bawah penjajahan

kolonial Belanda. Secara resmi, pemerintahan Hindia Belanda (sejak permulaan

abad ke-19) membagi penduduk Hindia Belanda dalam tiga golongan: Eropa, Timur

asing (Cina, Arab dan lain lain), dan pribumi. Orang Cina pada waktu itu tampil

sebagai pedagang perantara dan pedagang eceran. Golongan Cina ini cukup makmur

di bawah kekuasaan kolonial (Ong Hok Ham, dalam Siburian,2009).

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, etnis Cina ini seperti

"dianakemaskan" oleh Belanda.Kegiatan mereka di bidang perdagangan sangat

dihargai. Hal itu disebabkan oleh semangat dagang dan usaha yang dimiliki oleh

(13)

mengadakan jamuan makan dan ramah dalam pergaulan (Liem Twan Djie, dalam

Siburian,2009). Selain itu, seperti yang dikemukakan oleh Duyvendak yang dikutip

oleh LiemTwan Djie (dalam Siburian,2009) bahwa orang-orang Cina sangat gesit

dan rajin serta mereka tidak segan bekerja dan tidak gentar menghadapi kesulitan

demi memperoleh uang. Ketika Indonesia berada di bawah penjajahan Belanda,

etnis Cina hanya diperbolehkan bergerak di bidang perdagangan. Tertutupnya akses

etnis Cina berusaha di bidang lain disebabkan oleh hambatan-hambatan

perundang-undangan yang merintangi mereka. Pada masa penjajahan Jepang, etnis Cina

digolongkan sebagai bangsa asing, didasarkan pada Undang-undang Nomor 7

tanggal 11 April 1942.Pada masa pemerintahan Indonesia merdeka, praktek yang

hampir mirip dengan yang dilakukan oleh Jepang ketika menjajah Indonesia banyak

terjadi.Berbagai pungutan--baik resmi ataupun tidak--harus dibawar oleh pengusaha

Tionghoa, sebagai "uang keamanan" mengingat status mereka sebagai minoritas

yang tidak disukai. Setiap etnis Tionghoa diwajibkan untuk memiliki SBKRI, yang

berfungsi sebagai "surat sakti" untuk berbagai keperluan, seperti untuk masuk

sekolah/kuliah (Kwartanada, dalam Siburian,2009).

Kendati etnis Cina sudah lama berdiam di bumi Indonesia, mereka masih

"orang asing" bagi masyarakat pribumi.Keterasingan etnis Cina di mata pribumi

adalah akibat kurang bersosialisasinya etnis Cina dengan masyarakat

pribumi.Sebagian besar warga pribumi mengenal orang Cina hanya dipasar.Pasar

dalam hal ini merupakan suatu fenomena yang menunjukkan adanya jual-beli antara

pihak pembeli dan penjual, baik barang ataupun jasa.Dengan demikian, interaksi

yang terjadi antara warga pribumi dan non-pribumi (etnis Cina) itu adalah kaitannya

(14)

terjadi adalah hubungan jual-beli semata. Interaksi yang hanya berlangsung dalam

arena pasar atau jual beli saja tidak akan mampu untuk memahami satu sama lain

secara mendalam. Oleh karena etnis Cina dikenal di pasar, maka mereka ini tak

lebih dari sekedar "binatang ekonomi" (economic animal). Akibatnya adalah

muncullah stereotype tentang Cina mindring, Cina Klontong atau Cina yang mata

duitan (Kwartanada, dalam Siburian,2009). Tampilnya dominasi etnis Cina di sektor

perdagangan khususnya di Indonesia dimaksudkan sebagai strategi untuk bertahan

hidup sebagai etnis minoritas dan warga perantau.Sebab, etnis Cina tidak

mempunyai lahan pertanian yang dapat memberi mereka jaminan hidup.Untuk

hidup dari sector pertanian dibutuhkan lahan yang tidak sedikit.Berbeda dengan

sektor perdagangan, lahan yang luas tidak begitu penting, tetapi yang terutama

adalah lokasi yang strategis agar pembeli dapat dengan mudah menjangkaunya.Oleh

karena itu, tidak jarang tempat etnis Cina berdagang hanya di atas tanah dengan luas

9 meter persegi.Tanah yang relatif sempit itu dapat memberi penghidupan kepada

seluruh anggota keluarga.Selain itu adalah kebijakan pemerintah yang membatasi

gerakan kelompok etnis Cina ini baik yang tertulis maupun tidak.Misalnya, bidang

kemiliteran tertutup bagi orang Cina.Demikian juga akses untuk menjadi pegawai

negeri sipil relatif kecil. Bahkan sesuatu yang tidak mudah bagi seorang etnis Cina

WNI untuk bisa memasuki sekolah atau perguruan tinggi negeri, mengingat adanya

konsensus tentang kuota etnis Cina yang dapat diterima dengan kisaran antara 5 - 10

% (Kwartanada, dalam Siburian,2009). Pembatasan itu terkait dengan Instruksi

Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967 tentang tempat-tempat yang disediakan

untuk anakanak Warga Negara Asing Cina di sekolah-sekolah nasional sebanyak 40

(15)

WNA Cina. Pemilihan kegiatan di sektor perdagangan ini dapat membuat etnis

Cina unggul dan mendominasi kegiatan perekonomian di Indonesia.Dengan adanya

dominasi seperti itu mengakibatkan kegiatan perekonomian Indonesia sangat

tergantung kepada etnis Cina ini. Keunggulan dalam bidang perdagangan atau bisnis

ini terletak pada sikap kewirausahaan serta sikap tanggap terhadap peluang

komersial perantauan (Supriatma, dalam Siburian, 2009). Sikap kewirausahaan etnis

Cina disemangati oleh ajaran konfusionisme (Sudiarji, dalam Siburian, 2009) dan

nilai hopeng, hong sui, dan hokie. Hopeng adalah salah satu nilai penentu perilaku

bisnis golongan Cina, yang berarti cara untuk menjaga hubungan baik dengan relasi

bisnis. Bisnis tidak seluruhnya "rasional" sehingga hubungan dengan relasi sangat

penting. Tanpa hubungan yang baik dengan relasi maka dipastikan sebuah usaha

tidak akan berkembang. Hong sui adalah menyangkut kepercayaan, yaitu

kepercayaan pada faktor-faktor alamiah yang menunjang nasib baik dan nasib buruk

manusia. Hong suimemberi petunjuk tentang bidang-bidang atau wilayah yang

sesuai dengan keberuntungan baik dalam hidup sehari-hari maupun dalam

peruntungan perdagangan. Hokie adalah nilai yang menyangkut peruntungan dan

nasib baik.Dalam hal ini, hokie lebih dipersepsikan bagaimana menyiasati nasib

agar (selalu) mendapat nasib baik (Handoko, dalam Siburian, 2009).Kewirausahaan

yang ditampilkan itu telah membuat etnis Cina mampu membangun jaringan yang

luas dan potensial untuk mengembangkan bisnis.Jaringan bisnis etnis Cina tidak saja

dalam bidang distribusi tetapi juga jaringan untuk masuk pada sumber-sumber

permodalan.Hal ini dimungkinkan karena yang menjadi pemilik sumber-sumber

permodalan itu adalah etnis Cina sendiri.Sementara bagi pribumi, mereka relatifsulit

(16)

ke sumber-sumber perkreditan tersebut. Orang Cina akan senang berbisnis dengan

sesamanya, sedangkan warga pribumi tidak mereka percayai. Ketimpangan dalam

jaringan bisnis dan pemberian kredit itu mengakibatkan ekonomi etnis Cina jauh

lebih maju ketimbang warga pribumi, karena usaha golongan Cina ini ditopang oleh

permodalan yang cukup sehingga lebih mampu bersaing baik di tingkat nasional

maupun internasional.Menurut warga pribumi, perlakuan yang demikian merupakan

bentuk ketidakadilan yang berakibat pada ketimpangan ekonomi yang berujung

pada terciptanya kecemburuan, yang kemudian mengkristal menjadi sikap "anti

Cina". Akibat dari ketimpangan tersebut menimbulkan stratifikasi di

bidang pendapatan.Etnis Cina dilihat dari status ekonomi berada pada tingkat yang

lebih tinggi ketimbang warga pribumi.7 Status ekonomi yang berbeda tersebut

terbawa pada kehidupan sosial yang terkotak-kotak.Dalam hal ini, etnis Cina

hanya bergaul dengan sesamanya, demikian halnya dengan warga pribumi.Etnis

Cina hidup dalam dunia atau lingkungan yang eksklusif.Hal ini ditunjukkan

dengan tampilan pagar rumah yang cenderung tinggi-tinggi melebihi pagar warga

pribumi yang tinggal di sebelahnya.Penampilan yang demikian seakan

memperlihatkan batasan yang jelas antara warga etnis Cina dan warga

pribumi. Sebenarnya tujuan membangun pagar yang tinggi itu adalah

untuk mengantisipasi adanya pencurian ataupun perampokan.Akan tetapi kesan

yang ditampilkan dengan penampilan pagar seperti itu merupakan penunjukan

bahwa; "saya adalah orang Cina dan anda orang pribumi".Selain itu, pencuri yang

diantisipasi oleh etnis Cina itu yang jelas adalah warga pribumi dan tidak

mungkin dilakukan oleh etnis Cina sendiri. Artinya bahwa yang dijaga ataupun

(17)

warga "asli" tidak bisa dipercaya. Kekurangpercayaan pada warga "asli" dan

lingkungannya ini secara implisit sebenarnya membangun jarak antara etnis Cina

dengan warga "asli" itu sendiri. Akibat selanjutnya mengakibatkan pembauran tidak

terjadi.Kalaupun ada pembauran, hal itu tidak berjalan secara optimal. Sebab, secara

logika sulit membangun komunitas untuk saling berbaur apabila satu sama lain

sudah saling curiga atau saling tidak percaya. Akibatnya adalah orang Cina

dilingkungan warga pribumi selalu menjadi "orang asing".Dari segi agama pun,

mereka yang berasal dari etnis Cina berbeda dengan agama yang dianut oleh

mayoritas penduduk Indonesia, yaitu agama Islam.Agama yang dianut oleh etnis

Cina di Indonesia juga bervariasi, seperti Protestan, Katolik, Budha dan sedikit saja

yang beragama Islam.Selain itu, di antara mereka pun masih banyak yang menganut

aliran kepercayaan yang berasal dari negeri Cina, yaitu Khonghucu. Selama

pemerintahan Orde Baru, aliran Khonghucu tidak memperoleh status hukum sebagai

sebuah agama, walaupun pada masa pemerintahan Orde Lama berdasarkan

Penetapan Presiden (Penpres) No.1/ 1965 mengakui bahwa Khonghucu merupakan

salah satu dari enam agama resmi di Indonesia. Pengakuan itu semakin dipertegas

lagi dengan Penpres No.5/1969. Oleh karena Khonghucu tidak diakui sebagai

sebuah agama, maka kegiatan "keagamaan" Khonghucu dilaksanakan secara

sembunyi-sembunyi oleh para penganutnya. Padahal, oleh pemerintah Orde Baru,

peraturan yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Orde Lama tersebut tidak

pernah dinyatakan dicabut. Memasuki era reformasi ini tampaknya seluruh

simbol-simbol yang berbauetnis Cina sudah dapat dipertontonkan kepada khayalak

ramai.Pertunjukkan barongsai yang tidak mungkin dinikmati oleh masyarakat

(18)

seluruh lapisan masyarakat, karena pemerintah tidak lagi melarangnya.Bahkan, hari

perayaan tahun baru Imlek mulai tahun 2003 dinyatakan oleh Presiden Megawati

sebagai hari libur nasional. Kecuali etnis Cina yang menganut agama Islam,

tampaknya agama lain yang dianut oleh orang etnis Cina lain merupakan salah satu

faktor yang membuat pembauran mereka dengan etnis "asli" menjadi tertutup.

Sebab, di antara sesama etnis pribumi Indonesia sendiri tetapi berbeda latar

belakang agama masih sering terjadi pergesekan,8 apalagi dengan etnis Cina yang

berbeda secara sosiokultural. Sebenarnya mereka yang hidup secara eksklusif ini

tidak seluruh etnis Cina. Sebab masih ada warga etnis Cina yang mampu

memperlihatkan sikap pembauran yang tinggi.Akan tetapi jumlahnya tidak terlalu

banyak dan mereka ini dapat dikategorikan kelompok yang kurang beruntung secara

ekonomi.Kelompok yang bersedia membaurkan diri dengan warga "asli" ini adalah

untuk mencari jaminan sosial (social security) dari warga "asli". Sebab, kelompok

etnis Cina yang mampu secara ekonomi ini tampaknya kurang cocok berbaur

dengan etnis Cina lain yang sukses secara ekonomi, akibat di antara mereka pun

sebenarnya ada juga kesenjangan ekonomi.

2.5Definisi Konsep

Dalam sebuah penelitian ilmiah, definisi konsep sangat diperlukan untuk

mempermudah dan memfokuskan penelitian. Konsep adalah definisi abstrak

mengenai gejala atau realita suatu pengertian yang nantinya akan menjelaskan suatu

gejala (Moleong,1997). Adapun konsep yang digunakan sesuai dengan konteks

(19)

1. Jaringan Bambu

Adalah sebuah istilah yang menggambarkan suatu jaringan yang

dibentuk oleh para pengusaha atau pebisnis Cina yang tinggal di dalam dan di

luar negara Tiongkok dan mereka saling bekerja sama dalam bidang ekonomi

dan bisnis dalam menguasai dan memonopoli perdagangan dunia sehingga dapat

bersaing penuh dengan pebisnis barat. Jaringan bambu juga merujuk pada

perasaan ingin bekerja sama sebagai sesama etnis Cina dalam berbagai bidang

kehidupan. Jaringan Bambu menekankan tentang pola hubungan yang erat antar

sesama etnis Cina di seluruh dunia dan memiliki prinsip yang kuat tentang

kepercayaan akan keluarga untuk menjalankan bisnis atau perdagangan mereka.

Jaringan ini menunjukkan kekuatan besar yang dimiliki oleh para pebisnis Cina

atas dasar rasa kesamaan dan kepercayaan sebagai satu etnis yang sama yakni

etnis Cina atau Tonghoa.

2. Etnis Tionghoa

Tionghoa-Indonesia adalah salah sat

mereka dari

Tenglang

atau tionghwa, adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang Tionghoa di

Indonesia, yang berasal dari kata zhonghua dala

(20)

3. Pendidikan

Pendidikan berasal dari kata didik yang artinya memelihara dan memberi

latihan (ajaran,tuntunan,pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.

Maka Pendidikan memiliki definisi proses pengubahan sikap dan tata laku

seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui

upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik. Pendidikan

ada yang bersifat formal dan juga ada yang bersifat pendidikan non formal.

Pendidikan formal biasanya merupakan pendidikan tentang berbagai

pengetahuan yang wajib di jalani oleh setiap orang berdasarkan jenjang usianya

dan di berikan di sekolah terdiri dari Playgroup, Taman Kanak-kanak, Sekolah

Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas bahkan hingga

jenjang Pendidikan Tinggi di Perguruan Tinggi. Sementara pendidikan non

formal biasanya merupakan pendidikan yang mengajarkan keahlian-keahlian

tertentu atau sifatnya khusus seperti les atau kursus.

4. Pendidikan Tinggi

Pendidikan Tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan

menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister,

spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.Syarat

seseorang untuk memperoleh kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi

adalah sudah menyelesaikan tingkatan sekolah menengahnya.Pendidikan tinggi

(21)

5. Perguruan Tinggi Swasta

Perguruan tinggi adalah satuan pendidikan penyelenggar

pendidik perguruan tinggi disebut

dikelola oleh masyarakat sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku dan

bukan dibentuk atau didirikan oleh pemerintah.Bimbingan dan pengawasan atas

penyelenggaraan perguruan tinggi swasta pada mulanya dilakukan oleh

Lembaga Perguruan Tinggi Swasta (disingkat LPTS) yang dibentuk oleh

pemerintah.LPTS ini merupakan cikal bakal dari

mandiri di segala aspek nya tanpa ada campur tangan dari pemerintah.

6. Mahasiswa/i Etnis Tionghoa

Mahasiswa/i Etnis Tionghoa merupakan peserta didik di perguruan tinggi

swasta di Indonesia yang berasal dari Etnis Tionghoa (Cina) yang merupakan

Referensi

Dokumen terkait

Jemaah Ahmadiyah yang menyatakan bahwa mereka beragama Islam, sebuah agama yang mayoritas dianut masyarakat Indonesia yang akhir-akhir ini justru mengalami tindak