• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gaya Hidup Konsumtif Dalam Fashion (Studi Kasus Pada Para Wanita Berbusana Muslim di Kota Medan Yang Merupakan Pelanggan Butik Labiba Medan Johor)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gaya Hidup Konsumtif Dalam Fashion (Studi Kasus Pada Para Wanita Berbusana Muslim di Kota Medan Yang Merupakan Pelanggan Butik Labiba Medan Johor)"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Untuk memberi gambaran perkembangan dunia fashion muslim di Indonesia, saya akan mengulas sedikit tentang metamorfosa dunia fashion muslim Indonesia dari tahun ke tahun. Busana muslim era ‘80- awal ‘90-an diindentifikasikan sebagai pakaian yang kuno, ketinggalan zaman, terlihat tua (terkesan hanya ibu–ibu saja yang menggunakan jilbab), dan tidak modis dikarenakan kurangnya pilihan model yang cenderung monoton, belum lagi kesulitan-kesulitan dalam hal pekerjaan (dimarginalkan dan identik dengan penundaan promosi jabatan, serta penolakan calon karyawati yang menggunakan jilbab) (Lestari, Diajeng, 2013:17) menjadi alasan yang sudah lebih dari cukup untuk membuat seseorang enggan menggunakan jilbab atau busana muslim di kesehariannya.

(2)

merupakan tradisi Islam. Hal ini membuat banyak orang merasa menggunakan jilbab bukanlah keharusan. Pada saat itu wanita yang menggunakan jilbab selalu dikaitkan dengan penundaan promosi jabatan dan berbagai stigma negatif lainnya, hal yang sama juga pernah peneliti alami. Jika merujuk hasil penelitian Brenner, kerugian-kerugian hanya terdapat pada masa orde baru namun pada kenyataannya di beberapa wilayah di Jawa Tengah, stigma negatif wanita yang menggunakan busana muslim ternyata masih kuat melekat pada sebagian masyarakat Jawa. Saat peneliti hendak mengambil foto untuk ijazah Sekolah Dasar (tahun 2003), pada saat itu peneliti sempat tidak diperbolehkan foto menggunakan jilbab karena dianggap akan menyulitkan dalam mencari pekerjaan kedepannya.

(3)

pada penelitian ini beralih menggunakan jilbab. Hal ini dikarenakan banyaknya kegiatan yang dilakukan Hijabers Community, seperti hijab class yang berisi tutorial cara berjilbab yang modis.

Jilbab masa kini tidak lagi identik dengan antifashion, yang ada kini adalah jilbab yang fashionable dan jilbab yang tidak fashionable. Jilbab kini dipakai untuk merepresentasikan identitas diri seorang muslimah, dan di dalamnya terdapat proses identifikasi. Dalam proses ini dijelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhinya. Pertama, faktor lingkungan termasuk di dalamnya lingkungan tempat tinggal, pergaulan, dan lingkungan kerja. Kedua adalah faktor eksternal yaitu adanya faktor sosial (ingin menunjukkan identitas diri sebagai muslim seperti wanita lain yang menggunakan jilbab) dan budaya (sudah terinternalisasinya budaya menggunakan jilbab bagi muslimah karena sosialisasi sejak kecil). Peneliti disini menjelaskan beberapa tujuan penggunaan jilbab yang modis seperti berikut :

1. Menjadikan jilbab sebagai batasan dalam bergaul agar terhindar dari perbuatan negatif

2. Menunjukkan bahwa seorang wanita yang menggunakan jilbab tetap bisa aktif berkegiatan meski menggunakan jilbab

3. Sebagai penanda status sosial karena mengikuti tren yang sedang berkembang

(4)

Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa media memiliki peran penting dalam mengakomodir persepsi masyarakat, terutama media online atau internet. Internet dianggap memiliki keunggulan yang lebih daripada media cetak dan elektronik. Keunggulan tersebut adalah kemudahan akses dan bersifat interaktif. Dari berbagai macam situs yang ada di internet, youtube menjadi yang terfavorit. Ini tak lepas dari kemudahan mengunduh dan menyimpan konten audio visual yang diinginkan sehingga video dapat dilihat sewaktu-waktu.

Penelitian selanjutnya berkenaan dengan “Fashion dan Gaya Hidup : Identitas dan Komunikasi”. Penelitian yang dilakukan oleh Retno

Hendariningrum dan Edi Susilo tahun 2008 (http://repository.upnyk.ac.id/ diakses pada tanggal 10 Oktober 2013 pukul 17.53 WIB) ini mengupas tentang fashion yang sebenarnya telah menjadi alat komunikasi untuk menyampaikan identitas pemakainya sejak dulu. Gaya berbusana sendiri akan menjadi tolak ukur/awal penilaian seseorang, karena gaya adalah segalanya. Fenomena fashion dan gaya hidup di Indonesia sendiri menurut Ibrahim: 2007 dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor pertama, masyarakat konsumen/konsumtif akan tumbuh beriringan dengan sejarah globalisasi ekonomi dan transformasi kapitalisme konsumsi (menjamurnya mall). Kedua, globalisasi industri media (banyaknya majalah yang mengeksploitasi kesenangan remaja). Ketiga, mencuatnya gaya hidup alternatif (tak malu memperlihatkan kekayaannya sekaligus manusia yang bertakwa).

(5)

kesepakatan sekaligus mendapat dukungan. Mereka yang dimaksud di sini adalah para selebritis, politisi, serta public figure. Masyarakat pun seolah tak bisa berkutik dan terkungkung diantara panggung sandiwara karena selalu mengimitasi “idolanya” serta tidak bisa membedakan mana dunia nyata dan mana dunia yang

tidak nyata. Masyarakat kini lebih mementingkan unsur estetika, tak pandang pria maupun wanita. Ditambah dengan gempuran media dan iklan yang sangat berpengaruh terhadap pilihan para konsumen masa kini. Padahal iklan itu sendiri menurut Chaney adalah penampakan luar dengan mendeskripsikan pesan-pesan komersil yang menyesatkan.

Penelitian ketiga dilakukan oleh Niza Nur Rahmanti (2013 dalam Skripsi Hijabers Community : Studi tentang Konsumsi dan Komodifikasi Busana Muslim dalam Komunitas Wanita Muslimah Berhijab di Yogyakarta). Sebagai latar belakangnya, peneliti mengulas tentang kemunculan pakaian yang awalnya berbahan tanah liat, kulit kayu, kulit binatang, dan dedaunan sebagai media untuk melindungi tubuh mereka. Seiring perkembangan zaman, pada zaman neolithikum diduga manusia sudah mulai menggunakan serat dari hewan dan tumbuhan menjadi tekstil. Hal ini berlanjut dari pakaian sebagai pelindung menjadi makna yang lebih luas yaitu fungsi pakaian sebagai etika dan estetika. Tahun demi tahun berlalu, perkembangan pakaian sebagai fashion semakin beragam dan memiliki banyak arti sebagai keindahan, glamour, dan sebagai refleksi status sosial dan ekonomi seseorang.

(6)

Indonesia . Perkembangan hijab (penghalang) diulas dari era ‘80an dimana

penggunaan jilbab masih sangat jarang. Berlanjut pada era 2000an hingga sekarang dengan perkembangan yang pesat baik dari segi pengguna ataupun kreasi jilbab itu sendiri. Kaum kapitalispun menangkap adanya “pasar” dari

antusiasme masyarakat dalam menggunakan busana muslim yang kemudian lahirlah komodifikasi busana muslim. Dimana semua unsur diciptakan untuk dapat dijual. Komodifikasi busana muslim semakin diperkuat dengan banyaknya iklan di media massa dan media sosial yang kemudia mengubah busana muslim dari nilai guna menjadi nilai tukar atau dilihat sebagai sebuah komoditas perdagangan.

Penelitian ini mengambil contoh salah satu komunitas pengguna busana muslim yang ingin menunjukkan bahwa pengguna busana muslim bukanlah wanita yang menutup diri dari pergaulan seperti Hijabers Community. Hijabers Community Yogyakarta menurut penulis turut berkontribusi dalam komodifikasi busana muslim di sekitarnya. Penulis memaknai munculnya Hijabers Community ini sebagai fenomena pop culture. Hijabers Community adalah sebuah simbol modernitas dengan menghadirkan desai busana yang cantik dan modis. Peran media juga sangat penting yaitu menyampaikan makna-makna dari sebuah komoditas kepada masyarakat. Melalui media, model hijab terbaru akan mudah diketahui dan diikuti oleh masyarakat. Selain kemunculan Hijabers Community

dan peran media, adanya “iklan berjalan” yaitu tren masyarakat meniru (imitasi)

(7)

memiliki usaha di bidang busana muslim yang difasilitasi oleh Hijabers Community Yogyakarta.

Penelitian terakhir diambil dari skripsi yang dilakukan oleh Suroyya Junaidi pada tahun 2012 (dalam Skripsi: Komunikasi Organisasi Hijabers Community Dalam Mengkomunikasikan Jilbab Kepada Masyarakat Urban). Dalam penelitian ini dijelaskan pentingnya komunikasi dalam suatu organisasi. Penelitian ini menjelaskan proses perubahan dalam memaknai busana muslim dari zaman Nabi Muhammad sampai penggunaan busana muslim pada saat ini yang tak berkolerasi pada ajaranya. Sekarang ini menggunakan busana muslim tak lagi disebabkan oleh motivasi ajaran agama (Islam). Perubahan di masyarakat ini disebabkan banyak faktor. Salah satunya adalah media (media cetak dan elektronik. Selain itu, keberadaan komunitas juga turut berkontribusi dalam perubahan itu sendiri. Kelompok yang diambil sebagai contoh adalah Hijabers Community di Jogja. Hijabers Community adalah sebuah organisasi yang dibentuk sebagai wadah berbagi dan memberikan inspirasi khususnya dalam penggunaan busana muslim. Komunitas ini banyak menggunakan media sosial dalam berkomunikasi. Media sosial tersebut antara lain adalah sebagai berikut : facebook, twitter, dan blog dari Hijabers Community.

(8)

komunikasi yang dilakukan antara organisasi dengan khalayak ataupun khalayak kepada organisasi. Dalam komunikasi eksternal biasanya menggunakan media sebagai perantaranya seperti Pers, Radio, Film dan TV, serta pameran. Media ini pula yang sering dilakukan oleh Hijabers Community dalam berkomunikasi, seperti Talk Show, pengajian serta acara amal akustik yang disiarkan melalui bantuan media. Disampaikan pula pentingnya komunikasi publik yang dilakukan suatu organisasi dalam mengakomodir persepsi masyarakat sehingga dapat mendatangkan keuntungan bagi organisasi itu sendiri. Dalam masyarakat urban sendiri jilbab dimaknai sebagai gaya hidup sehingga tidak dapat dijadikan penanda ketaatan atau ketakwaan seseorang, melainkan sebagai tren, kebudayaan,identitas, alat komunikasi, dan peran media massa yang didalamnya terdapat peran industri.

(9)

anggotan komunitas. Penelitian terakhir dilakukan oleh Suroyya, yang juga membahas tentang komunitas Hijabers Community tapi lebih kepada cara komunikasi komunitas ini terhadap masyarakat urban sehingga masyarakat lebih mudah menerima tren busana muslim terbaru tentunya dengan mengandalkan media sebagai saranana.

Dari penjelasan di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa penelitian gaya hidup konsumtif dalam fashion pada para pelanggan butik Labiba di Kota Medan ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, penelitian sebelumnya menurut peneliti hanya menjelaskan fashion sebagai identitas, penelitian tentang komunitas juga lebih banyak mengulas tentang Hijabers Community yang beranggotakan mayoritas anak muda. Ini berbeda dengan penelitian “Gaya Hidup Konsumtif Dalam Fashion : Studi kasus Pada Para Wanita Berbusana Muslim di Kota Medan”. Disini peneliti ingin menunjukkan fenomena perilaku masyarakat

(diwakili oleh pelanggan butik Labiba) yang konsumtif dalam menyampaikan pesan melalui busana muslim dan menunjukkan eksistensinya sebagai kelompok dominan di masyarakat khususnya kota Medan. Peneliti dalam hal ini lebih fokus pada gaya hidup konsumtif yang dilakukan wanita berbusana muslim pelanggan butik Labiba kota Medan yang menjadi pilihan gaya hidup yang masif terjadi di Medan saat ini khususnya pada kelompok dominan.

2.1. Teori Konsumsi

(10)

sendiri). Objek ini selalu dimanipulasi sebagai pembeda baik secara individu atau yang mengacu pada kelompok status yang lebih tinggi. (Baudrillard, Jean P, dalam Terjemahan Wahyunto: 2009:61) Sebagai contoh, kita bisa melihat bahwa busana muslim saat ini telah dimanipulasi sedemikian rupa menjadi suatu komoditi yang bernilai jual tingi. Manipulasi ini misalnya dengan banyaknya model aksesoris yang ada, mulai dari payetan, pita-pita, sampai perhiasan yang mewah seperti swarovsky misalnya, yang pada akhirnya dapat menaikkan status sosial pemakainya.

Menurut Eviandaru dkk (2001) perilaku konsumsi bukan lagi semata-mata urusan rasionalitas ekonomi ataupun irasionalitas psikologis, namun konsumsi telah menjadi rekayasa politik ekonomi dan kebudayaan yang membuat orang-orang merasa “wajib untuk ingin sesuatu tersebut”. Dan inilah yang dimaksud

dengan konsumtif. Para wanita seperti wajib memiliki barang (jilbab atau busana) seperti yang ia lihat. Meski terkadang tidak dibutuhkan dan relatif mahal, bagi sebagian kalangan hal itu bukanlah faktor penghambat karena ada juga butik yang menawarkan sistem kredit.

Hal ini sejalan dengan tujuan konsumsi yaitu menciptakan kebahagian yang berawal dari tuntutan persamaan (Baudrillard, Jean P, Terjemahan Wayunto, 2009:44) (kaitannya dengan tuntutan persamaan dalam kelompok) serta pembeda (dengan out group). Produk konsumsi harus mengacu pada segala hal yang tampak. Misalkan dalam komunitas Hijabers seseorang seolah dituntut seragam dengan anggota dalam kelompok yaitu mengikuti dresscode yang ada, misalkan tema kali ini adalah “pinklicious” maka seluruh anggota dituntut menggunakan

(11)

saja yang pink, dan hal yang sama juga dijumpai pada pengajian ibu-ibu sosialita Medan (Pengajian ANS dan SJU). Sedangkan fungsinya sebagai pembeda yaitu kebalikan dari tuntutan persamaan tersebut. Dengan menggunakan busana muslim yang seragam membuktikan seseorang adalah anggota dari kelompok tertentu dan itulah yang membedakannya dengan yang bukan anggota kelompok.

Konsumsi bukan hanya sebagai pemenuhan kebutuhan namun lebih berhubungan dengan masalah selera, identitas, dan gaya hidup. Konsumsi dipandang sebagai proses objektifikasi, yaitu proses ekternalisasi dan internalisasi diri lewat objek-objek sebagai medianya. (Piliang, Yasraf Amir, 2010:146). Dalam perjalannnya konsumsi telah menciptakan objek-objek dan kemudian memberikan pengakuan serta menerima nilai ini tersebut. Konsumsi dapat dipandang sebagai proses menggunakan tanda-tanda yang terkandung di dalam objek-objek oleh para wanita berbusana muslim dalam rangka menandai relasi-relasi sosial. Objek (busana muslim dan aksesorisnya) di sini dapat menentukan status, prestise, simbol-simbol sosial tertentu bagi para pemakainya, (Piliang, Yasraf Amir, 2010:146). dan yang tak kalah pentinya adalah fungsi objek untuk membentuk perbedaan-perbedaan sosial melalui perbedaan-perbedaan pada tingkat pertanda. (Piliang, Yasraf Amir, 2010:429).

(12)

dominan (karena menggunakan busana muslim yang mewah) rela melakukan apa saja mulai dari pembayaran dengan cara mencicil bahkan sampai rela memotong uang tabungan demi pakaian yang diinginkan.

Konsumsi dewasa ini khususnya pada masyarakat urban dilihat sebagai identitas diri. dimana barang-barang yang secara simbolis di konsumsi seseorang atau suatu kelompok akan dipandang sebagai cerminan akan kepribadian orang tersebut dan bagaimana hubungannya dengan orang lain yang menempati dunia simbolis yang sama. Kita ambil contoh busana muslim. Dari sekian banyak model busana muslim yang ada pernahkan kita berfikir mengapa seseorang tertarik dengan gaya busananya ? misal ada yang menggunakan busana muslim yang mewah dengan hiasan-hiasan nan gemerlap. Mereka seolah ingin menampilkan secara simbolis dengan bantuan busana tersebut bahwa mereka dari kalangan orang berada karena busana tersebut bisa dibilang relatif mahal. Ada lagi wanita yang menggunakan busana muslim yang bermodel tumpuk-tumpuk dengan model jilbab yang rumit namun terlihat eye catching, mereka seolah ingin menunjukkan kepada orang lain atau kelompok dimana dia berada sebagai seseorang yang modis dan mengikuti zaman meski dengan berpenampilan seperti itu memelukan waktu, tenaga, pikiran, dan uang tentunya yang tidak sedikit. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Weber (dalam Damsar: 2009) bahwa konsumsi sebagai gambaran gaya hidup tertentu dari kelompok status tertentu.

Proses konsumsi sendiri menurut Baudrillard, (dalam Terjemahan Wahyunto, 2009: 60) dianalisis menjadi 2 aspek yang berbeda, yaitu :

(13)

Konsumsi (produk busana muslim) dijadikan alat pertukaran dan setara dengan bahasa. Busana muslim seperti yang telah saya jelaskan di atas, bahwa busana muslim itu memiliki pesan yang ingin disampaikan kepada orang lain. Busana muslim dalam implementasinya menunjukkan pola komunikasi non verbal, yang bisa ditangkap oleh orang yang melihatnya.

2. Sebagai proses klasifikasi dan deferensiasi sosial

(14)

2.1.1. Pandangan Bourdieu

Seperti yang telah dijelaskan di atas tentang konsep teori konsumsi untuk pencitraan. Selanjutnya peneliti akan menggunakan konsep Pierre Bourdieu tentang Habitus, Modal (capital), dan Ranah (Field). Pierre Bourdieu Memiliki 3 pokok pikiran utama dalam memandang suatu masalah, yaitu :

1. Habitus

Habitus adalah produk sejarah yang terbentuk setelah manusia lahir dan berinteraksi dengan masyarakat dalam ruang dan waktu tertentu. Habitus merupakan hasil pembelajaran lewat pengasuhan, aktivitas bermain, dan juga pendidikan dalam masyarakat dalam arti luas dan bekerja di bawah alam bawah sadar manusia. Habitus merupakan sifat yang tercipta karena kabutuhan (1984:372 dalam Bourdieu, Pierre, Terjemahan Oleh Pipit Maizer, 2005:15) terutama kaitannya dengan habitus kelas. Pada habitus kelas ini harapan-harapan (atau ketiadaan harapan) dalam kaitannya dengan bentuk modal, secara erat diimbangi dengan berbagai kemungkinan objektif. Habitus secara erat dihubungkan dengan modal karena sebagian habitus tersebut berperan sebagai pengganda berbagai jenis modal dan ia menciptakan sebentuk modal (simbolik).

(15)

sosial. Dalam penelitian Bourdieu di Perancis mengulas tentang gaya hidup makan kaum menengah dan kelas dominan yang menunjukan kelas sosialnya, dimana kaum menengah banyak mengkonsumsi makanan berpengawet dan jarang minum alkohol (dikarenakan harganya yang mahal), maka kelas dominan lebih banyak mengkonsumsi daging, buah, sayur, dan minuman beralkohol. Pemikiran Bourdieu ini dapat diaplikasikan dalam penelitian ini, dimana para wanita berbusana muslim di Kota Medan (informan) ini mempunyai habitus atau kebiasaan yang didapat dari interaksinya dengan kelas dominan, yaitu menggunakan busana muslim yang modis, trendi, dan mahal untuk menunjukkan prestise atau kelas sosial mereka. Informan ingin menunjukkan dengan menggunakan busana muslim (modal) yang mahal (kaftan, baju berpayet mewah, bermerek dan trendi) mereka termasuk kelompok dominan. 2. Modal (Capital)

Bourdieu Mendefenisikan modal mencakup hal-hal material ( yang dapat memiliki nilai simbolik) dan berbagai “atribut tak tersentuh”,

(16)

Terjemahan Oleh Pipit Maizer, 2005:17) Dimana bagi yang tidak mempunyai modal hanya akan menjadi penonton. Dalam penelitian ini modal di sini adalah busana muslim yang trendi, modis, bermerek, dan mahal. Dengan mengkonsumsi busana muslim seperti itu diharapkan dapat menunjukkan prestise dan status ekonomi penggunanya, sedangkan bagi yang tidak mempunyai modal tersebut baik modal ekonomi (uang) maupun simbolik (busana muslim) maka mereka hanya akan menjadi penonton saja yang jika dikaitan dengan penelitian ini selanjutnya dalam hubungannya dengan posisi informan di kelompoknya akan dikucilkan. 3. Ranah (Field)

(17)

modal dan habitus yang lebih banyak akan dapat mengubah atau mempertahankan struktur dari pada yang tidak memiliki modal. (Bourdieu, Pierre, Terjemahan Oleh Pipit Maizer, 2005:xxi). Field atau ranah dalam penelitian ini adalah kelompok keagamaan atau kelompok sosial.

Dari konsep yang di tawarkan oleh Bourdieu tersebut dapat ditarik kesimpulan yaitu; Habitus mendasari ranah yang merupakan jaringan relasi antarposisi-posisi objektif dalam tatanan sosial yang hadir terpisah dari kesadaran individual. Ranah mengisi ruang sosial, yang mengacu pada keseluruhan konsepsi tentang dunia sosial. Sedangkan praktik adalah produk dari relasi antara habitus dengan ranah, yang keduanya merupakan produk sejarah. Dalam ranah inilah ada pertaruhan kekuatan antar orang yang memiliki modal. Konsep modal dari Bourdieu lebih luas daripada sekadar modal material, yakni bisa juga berupa modal ekonomi, modal sosial, modal intelektual maupun modal kultural. Sehingga secara ringkas Bourdieu menyatakan rumus generatif yang menerangkan praktik sosial dengan persamaan: (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik. Rumus ini menggantikan setiap relasi sederhana antara individu dan struktur dengan relasi antara habitus dan ranah yang melibatkan modal. (Vera, Nawiroh, 2010, dalam http://academia.edu/ diakses pada tanggal 20 Agustus 2014 pukul 16.12)

2.2. Gaya Hidup

Gaya hidup adalah istilah menyeluruh yang meliputi citra rasa seseorang

(18)

sehari-hari. Gaya hidup dibangun guna memperlihatkan identitas sekaligus pembeda, (Piliang, Yasraf Amir, 2010:237) dimana dalam praktik sosial perlu mekanisme dalam proses pembedaan sosial itu sendiri. Melalui suatu gaya hidup, masyarakat dibedakan melalui kelompok-kelompok gaya hidup yang masing-masing membangun identitas kelompoknya dalam rangka membedakan identitas dengan kelompok lainnya. Gaya hidup sendiri sangat dipengaruhi oleh intensitas interaksi seseorang terhadap gaya hidup tertentu, dan hal ini akan berdampak buruk jika seseorang berinteraksi dengan gaya hidup negatif (misalnya: gaya hidup konsumtif) namun ia memiliki pertahanan diri (ideologi) yang lemah.

Gaya hidup sering dihubungkan dengan kelas sosial ekonomi masyarakat serta menunjukkan citra seseorang. Misalnya pemilihan busana muslim bagi para muslimah di kota-kota besar (menggunakan busana muslim yang mewah dan trendi menjadi nilai tambah dan tentunya dapat meningkatkan citra pemakainya terlebih jika busana tersebut keluaran produsen-produsen yang branded), pemilihan aksesoris tambahan (seperti penggunakan jilbab yang bertabur batu swarovsky atau payet dan pita buatan tangan).

(19)

yang mana dengan mudah dapat dilihat oleh orang lain. Bahkan merek itu sendiri menurut Sobur (2004) kini telah menjelma sebagai sebuah harapan dari berbagai macam harapan yang dimunculkan oleh produsen untuk memenuhi kebutuhan konsumen, dimana konsumen mengharapkan barang-barang yang berkelas, berkualitas, dan bernilai uang pantas sebagai cerminan gaya hidup pemakainya.

Berikut adalah 3 sifat Gaya Hidup menurut Piliang (2010:323) :

1. Gaya Hidup sebagai pola, yaitu sesuatu yang dilakukan secara berulang-ulang

2. Yang mempunyai massa, tidak ada gaya hidup personal suatu gaya hidup pasti memiliki pengikut

3. Mempunyai daur ulang, artinya ada masa kelahiran, tumbuh, puncak, surut dan mati.

Dengan kata lain gaya hidup identik dengan sesuatu yang relatif lama bertahan di masyarakat. Gaya hidup disini tidak dapat berdiri sendiri, ia membutuhkan sistem tanda dan citra suatu objek sebagai medianya. Sebagai contoh adanya kelompok gaya hidup muslimah tertentu yang berbicara melalui busananya yang dilakukan berulang-ulang sehingga mereka memiliki pengikut fanatik yang cenderung meniru/imitasi. Merujuk pada sifat ketiga yang mana setiap awal ada akhirnya, seiring berjalannya waktu gaya hidup itupun akan tergantikan dengan gaya hidup yang baru dikemudian hari.

(20)

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan penelitian bahwa tanaman cabai keriting galur MG1012 lebih unggul dibanding tiga varietas pembanding pada beberapa parameter pengamatan yaitu memiliki tinggi

6 Tahun 2014 tentang Desa di dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal I ayat (1) Desa adalah desa adat yang disebut dengan nama lain selanjutnya disebut desa adalah kesatuan

This study aimed to find out whether phytotelmata contribute in providing breeding place for mosquito vector of DHF in Lampung, an Indonesian province situated in the most

[r]

Selain pembatalan secara sukarela, wasiat juga boleh terbatal dengan sebab- sebab di luar kawalan seperti pewasiat menjadi seorang yang tak sempurna akal dan

Secara konvesional kerja sama selama ini dalam bentuk kontrak layanan (Sevice Contract) yang hampir seluruhnya adalah investasi publik (dari Pemerintah), kemudian perlu

Ketujuh, faktor penyebab rendahnya kemampuan menulis teks pidato antara lain: referensi buku tata bahasa yang kurang; penguasaan kaidah yang tidak memadai; kurangnya

[r]