• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Alienasi Atau Pembebasan?: Studi Mengenai Perspektif GMIT Jemaat Zaitun Tuapukan terhadap Pembangunan Gedung Ibadah T2 752015027 BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Alienasi Atau Pembebasan?: Studi Mengenai Perspektif GMIT Jemaat Zaitun Tuapukan terhadap Pembangunan Gedung Ibadah T2 752015027 BAB IV"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

60

BAB IV

GEDUNG IBADAH SEBAGAI PUSAT KEHIDUPAN BERGEREJA GMIT

JEMAAT ZAITUN TUAPUKAN

I. Pendahuluan

Kehadiran gedung ibadah yang megah dan bagus tidak saja dipandang sebagai ruang persekutuan yang nyaman dan aman bagi warga gereja, akan tetapi keberadaan gedung ibadah juga merupakan suatu kebanggaan bagi seluruh masyarakat desa Tuapukan. Gedung ibadah GMIT Jemaat Zaitun merupakan icon kebanggaan dan sebuah prestasi yang mengangkat nama baik seluruh masyarakat desa Tuapukan meskipun berada di tengah konteks kemiskinan. Desa Tuapuakn merupakan desa yang masih ketinggalan dalam bidang ekonomi. Namun, masyarakat desa Tuapukan dapat dikatakan memiliki potensi dalam diri mereka untuk mencapai perubahan sosial. Salah satu bukti, bahwa masyarakat desa Tuapukan memiliki potensi, yaitu mereka mampu bekerja sama dan berjuang membangun gedung kebaktian walaupun dalam keterbatasan ekonomi.

(2)

61

II. Gedung Ibadah sebagai Wujud Syalom Allah

Pemerintahan desa Tuapukan mencatat, bahwa desa Tuapukan memiliki jumlah penduduk 2.236 yang termasuk dalam 500 KK (Kepala Keluarga) tergolong miskin, 150 KK penjual gula merah, 130 KK memiliki rumah bebak dan 354 KK menggunakan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Dengan kategori kehidupan masyarakat desa Tuapukan ini, maka dapat disimpulkan bahwa desa Tuapukan merupakan desa Kristen yang juga masih tertinggal dalam bidang ekonomi yang mana mengakibatkan adanya ketinggalan dalam pendidikan, sumber daya manusia yang rendah, dan pengangguran. Dengan kata lain, adanya persoalan sosial seperti kemiskinan yang merupakan pergumulan dalam kehidupan masyarakat desa Tuapukan,

Pergumulan masyarakat desa Tuapukan terkait persoalan kemiskinan merupakan tantangan iman dan pergumulan yang perlu dijawab oleh gereja (dalam hal ini GMIT Jemaat Zaitun). GMIT Jemaat Zaitun hadir di tengah persoalan sosial seperti kemiskinan, dan dalam kondisi tersebut maka gereja kembali dipanggil untuk melihat visi dan misi akan kehadirannya di tengah dunia. Di mana gereja hadir tidak dengan “ketelanjangannya,” akan tetapi kehadiran gereja dengan tujuan yang ingin dicapai, yakni sebagaimana yang dinyatakan dalam visi dan misi gereja.

(3)

62

Hal tersebut sebagaimana yang tecatat dalam bab sebelumnya terkait program pelayanan tahunan yang dilakukan dalam hidup bergereja di GMIT Jemaat Zaitun. Di mana dalam pelaksanaan pelayanan tahunan, dilakukan berdasarkan kelima bidang yang diatur sesuai visi dan misi gereja. GMIT Jemaat Zaitun telah menerapkan kehidupan bergereja berdasarkan kelima bidang dengan baik. Dalam program pelayanan tahunan disusun sesuai dengan bidangnya masing-masing, dan gereja berupaya untuk mencapai program pelayanan yang dirancang secara bersama-sama. Namun, pada tahap ini di tengah fenomena kemiskinan yang dihidupi oleh masyarakat desa Tuapukan, maka gereja kembali diajak untuk melihat visi dan misi seperti apa yang telah diwujudkan dalam program pelayanan tahunan berdasarkan pergumulan atas realitas sosial.

GMIT Jemaat Zaitun memiliki anggota gereja yang menghidupi nilai spiritual begitu tinggi. Artinya, bahwa warga gereja begitu memperhatikan nilai religiositasnya (ke-iman-annya) dibandingkan dengan kehidupan sosial. Hal tersebut berdampak pada sikap antusias membangun gedung ibadah meskipun di tengah keterbatasan ekonomi. Gedung ibadah dianggap sebagai wujud mereka menyampaikan Syalom Allah di tengah dunia, karena gedung ibadah merupakan ruang yang tepat untuk membangun iman. Kehidupan yang berpusat pada gedung ibadah dan Yesus Kristus sebagai kepala gereja. Dalam hal ini, Leonardo Boff menyatakan, bahwa iman yang hidup akan Yesus Kristus mengandaikan komitmen dan keterlibatan demi pembebasan dari segala bentuk penindasan.1

Dengan kata lain, penegasan Boff tentang iman manusia terhadap Yesus Kristus bukanlah sebatas bagaimana manusia dapat membangun kehidupan rohani yang semakin baik, tetapi iman yang hidup adalah bagaimana manusia mampu menyatakan pembebasan bagi dunia, karena Yesus Kristus adalah pembebas. Mengimani Yesus Kristus, dan membangun persekutuan dalam rumah Tuhan (baca:gedung ibadah) berarti belajar

1

(4)

63

meneladani sikap Yesus yang hadir di tengah dunia sebagai penyelamat dan pembebas. Hal inilah yang masih belum begitu terlihat dalam kehidupan bergereja di GMIT Jemaat Zaitun. Di mana gereja berupaya untuk mencapai visi dan misi GMIT, akan tetapi tindakan dan upaya yang dilakukan masih bersifat seremonial dan vertikal. Keyakinan warga gereja kepada Yesus Kristus Sang pemilik gereja bernilai tinggi, namun sikap dalam kehidupan sosial masih begitu minim.

Dengan demikian, untuk melihat kembali akan visi dan misi gereja, di tengah fenomena kemiskinan dan kekhasan desa Tuapukan yang adalah desa Kristen, maka di sinilah gereja dapat melihat teologi pembebasan sebagai cara memerangi kemiskinan dalam upaya mewujudkan visi dan misi GMIT yang sebenarnya. Teologi pembebasan adalah upaya refleksi atas praksis pembebasan kaum miskin dengan cara mengangkat realitas sosial kaum miskin dalam dialog dengan sabda Tuhan.2 Gereja tidak menjadi gereja yang hanya bersifat seremonial, tetapi gereja juga perlu memperhatikan kehidupan sosial atau secara horizontal.

Dalam mewujudkan hal ini maka gereja perlu untuk melakukan teologi pembebasan. Dalam arti ini, teologi pembebasan merupakan satu corak baru dalam hermeneutik di mana realitas sosial orang miskin diangkat ke dalam pengertian teologis.3 Artinya, realitas kemiskinan tidak sekadar diterima sebagai sebuah fenomena sosial dan kultural, melainkan juga dipahami dalam perspektif teologi, yakni kehadiran Allah dalam realitas itu dan perjuangan kaum miskin akan pembebasan dilihat dalam perspektif realitas Allah.4 GMIT Jemaat Zaitun masih menerjemahkan visi dan misi GMIT sebatas kehidupan gerejawi. Artinya, belum ada sikap sosial yang disinggung dan dijadikan sebagai bagian dalam hidup bergereja. Gedung ibadah dimaknai sebagai rumah Tuhan

2

Ebenhaizer I. Nuban Timo, Polifonik Bukan Monofonik (Salaitiga: Satya Wacana University Press, 2015), 32.

3 Nuban Timo, Polifonik Bukan Monofonik, 33. 4

(5)

64

yang merupakan bagian dari wujudnya Syalom Allah, namun gedung ibadah belum dimanfaatkan dengan baik dalam memberikan perubahan sosial. Oleh karena itu, pada bagian ini maka gereja masih memerlukan adanya transformasi pemahaman, sehingga gereja hadir di tengah dunia dan menyatakan Syalom Allah melalui tindakan-tindakan konkret yang melibatkan kepedulian serta kepekaan atas realitas sosial.

III. Rumah Tuhan sebagai Ruang Alienasi Sosial

Desa Tuapukan merupakan desa Kristen, dan juga salah satu desa yang tertinggal dalam bidang ekonomi. Kedua hal yang perlahan-lahan begitu melekat dalam kehidupan masyarakat desa Tuapukan, dan kedua hal ini juga pada dasarnya saling memiliki keterkaitan satu dengan yang lain. Sebagaimana yang dikatakan Aloysius Pieris, bahwa upaya teologis untuk menghadapi agama-agama Asia tanpa memberikan perhatian terhadap aspek

kemiskinan di Asia atau sebaliknya memperhatikan kemiskinan tanpa memberikan perhatian

pada aspek religius, maka hal tersebut akan menjadi sia-sia.5 Keberagaman agama di tengah konteks kemiskinan, membuat aspek religius dan sosial perlu berjalan secara bersama-sama. Menurut Pieris, keberagaman agama di Asia merupakan salah satu solusi bagi orang Asia untuk memberantas kemiskinan.

Masyarakat desa Tuapukan (dalam hal ini warga gereja GMIT Jemaat Zaitun), memiliki nilai juang untuk membangun kehidupan spiritual yang begitu tinggi. Mereka begitu menjunjung tinggi nilai religiositas dalam kehidupan mereka dibandingkan aspek sosial. Kerinduan dan upaya membangun kehidupan rohani yang begitu besar dibandingkan nilai kehidupan lainnya, maka hal ini yang dikatakan Pieris bahwa akan menjadi sia-sia. Artinya, bahwa sepatutnya mereka memperhatikan kehidupan secara seimbang dari berbagai aspek. Nilai spiritual yang tinggi dihidupi sepatutnya dapat berpengaruh dan memberikan dampak

5

(6)

65

baik dalam memperhatikan persoalan sosial seperti kemiskinan. Begitu juga berdasarkan realitas sosial maka sepatutnya mempengaruhi kehidupan spiritual warga gereja.

Melihat fenomena kemiskinan di desa Tuapukan, maka kemiskinan yang terjadi merupakan kemiskinan mutlak. Kemiskinan mutlak, yaitu kebutuhan-kebutuhan pokok yang primer seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, kerja yang wajar dan pendidikan dasar tidak terpenuhi, apalagi kebutuhan-kebutuhan sekunder seperti hak berpartisipasi, rekreasi atau lingkungan hidup yang menyenangkan.6 Dengan kata lain, kemiskinan multak berarti kehidupan orang-orang yang merasakan hidup dalam kemelaratan, misalkan seperti kelaparan dan sumber daya manusia (SDM) yang begitu rendah dikarenakan ketinggalan pendidikan.

Sikap warga gereja dan masyarakat sekitar yang kurang memberikan kepekaan terhadap persoalan kemiskinan, karena mereka menganut ideologi konservatif sebagaimana yang diuraikan oleh Banawiratma. Ideologi konservatif menjujung tinggi pengalaman mengenai struktur sosial.7 Artinya, bahwa setiap nilai yang sudah ditetapkan dalam struktur, sangat dipegang teguh oleh kaum konservatif. Pada umumnya, kaum konservatif memandang masalah kemiskinan sebagai kesalahan pada orang miskin sendiri. Akibatnya mereka tidak memandang masalah kemiskinan sebagai masalah yang serius, karena mereka merasa bahwa penyebab kemiskinan adalah orang miskin itu sendiri.8

Hal tersebut tercermin dalam kehidupan warga gereja dan masyarakat sekitar, baik dalam lingkup gerejawi maupun sosial. Mereka menilai dan memaknai kemiskinan sebagai sebuah nasib yang hanya perlu didoakan dan berserah kepada Tuhan. Dalam penyerahan pada Tuhan, maka bagi warga gereja untuk mengatasi kemiskinan yang diperlukan adalah kesadaran diri sendiri dan bantuan dari pemerintahan. Gereja tidak dipandang sebagai pemain

6

J. B. Banawiratma, Berteologi SosialLintas Ilmu (Yogyakarta: Kanisius, 1993), 126.

7 A. Suryawasita, Analisis Sosial dalam Tulisan J. B. Banawiratma, Kemiskinan dan Pembebasan

(Yogyakarta: Kanisius, 1987), 16.

8

(7)

66

utama dalam penyelesaian persoalan kemiskinan, karena bagi mereka gereja hanyalah bertugas untuk membangun iman.

Warga gereja GMIT Jemaat Zaitun memiliki sikap antusias untuk membangun gedung ibadah dengan biaya yang besar meskipun di tengah kondisi ekonomi yang terbatas. Hal tersebut dilakukan berdasarkan pemahaman mereka yang fundamental tentang gereja. Pemahaman tentang gereja dan pengalaman spiritual warga gereja mampu mempengaruhi sikap mereka untuk berpartisipasi dalam pembangunan gedung ibadah. Warga gereja memaknai gedung ibadah sebagai rumah Tuhan, di mana dalam rumah Tuhan itu mereka akan mendapatkan kedamaian, kesejahteraan, ketentraman dan mampu mengikat tali persaudaraan. Melalui rumah Tuhan, maka mereka tidak saja dapat membangun persekutuan dengan Tuhan tetapi juga dengan sesama, dan di dalamnya mampu membangun iman mereka. Rumah Tuhan sebagai tempat di mana dapat “mendamaikan” mereka yang di luar gereja terlihat renggang, dan menenangkan mereka yang di luar gereja memiliki banyak pergumulan.

Pemaknaan-pemaknaan tersebutlah yang menjadi pengaruh dan peran penting di balik sikap pembangunan gedung ibadah. Sebagaimana pemahaman gereja yang disampaikan dalam konsili Vatikan II, yakni gereja dipandang sebagai sakramen yang adalah tanda dan sarana persatuan mesra umat manusia dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia.9 Gereja sebagai sakramen, yaitu sebagai “ruang” untuk mempersatukan manusia dengan Tuhan dan dengan sesama. Secara fundamental pemahaman demikian dihidupi oleh warga gereja bahkan menjadi bagian dalam pengalaman spiritual mereka.

Berdasarkan pemahaman dan pengalaman spiritual inilah, maka adanya nilai juang untuk membangun rumah Tuhan, karena bagi mereka rumah Tuhan sepatutnya lebih diutamakan daripada rumah mereka sendiri sebab berkat yang mereka terima juga berasal

9

(8)

67

dari Tuhan. Di balik memaknai gedung ibadah sebagai rumah Tuhan, ada juga harapan dari warga gereja atas pembangunan gedung ibadah. Warga gereja bersedia berjuang dan berpartisipasi membangun gedung ibadah dalam kondisi tidak mendukung, karena mereka berharap melalui gedung ibadah yang bagus dapat berpengaruh dalam pertumbuhan iman mereka. Gedung ibadah tidak saja membantu terjadinya pertumbuhan iman warga gereja, tetapi juga membantu melepaskan mereka dari segala pergumulan hidup yang dihadapi. Melalui persekutuan yang dibangun, ibadah-ibadah atau puji-pujian yang dilatunkan dalam gedung ibadah yang bagus, tidak saja meningkatkan nilai religiositas dalam diri warga gereja, tetapi juga memberi ruang bagi warga gereja untuk terlepas dari tanggung jawab duniawi meskipun hal tersebut hanya dirasakan dalam waktu satu sampai dua jam.

Fenomena yang terjadi dalam kehidupan bergereja di GMIT Jemaat Zaitun merupakan suatu fenonema alienasi sosial. Sebagaimana yang dikatakan oleh Marx, bahwa agama (dalam hal ini gereja) merupakan sebuah opium bagi warga gereja (masyarakat), yaitu kehadiran gereja mampu menghilangkan rasa sakit dan sekaligus menciptakan fantasi.10 Uraian Marx tentang agama sebagai opium bagi masyarakat, menunjukkan bahwa gereja yang adalah bagian dari agama juga dapat disebut sebagai ruang alienasi sosial.

Pandangan Marx tentang agama sebagai opium terlihat dalam kehidupan warga gereja GMIT Jemaat Zaitun. Di mana mereka melihat keberadaan gereja sebagai opium yang dapat menciptakan fantasi, yakni memberikan kedamaian, ketentraman, dan melepaskan mereka dari pergumulan hidup sehari-hari. Kenyamanan dalam gedung ibadah tentu tidak ada dalam diri warga gereja secara terus-menerus, tetapi paling tidak hal tersebut selalu didapatkan ketika berada dalam gedung ibadah. Dengan demikian, hal ini yang dikatakan bahwa gedung ibadah (baca:rumah Tuhan) secara tidak langsung dibangun untuk menjadi ruang alienasi sosial dari kehidupan warga gereja dan masyarakat sekitar. Oleh karena itu, dalam kondisi

10Karl Marx, Agama sebagai Alienasi dalam Tulisan Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion (Qalam:

(9)

68

yang terbatas ataupun tidak, warga gereja tetap berjuang untuk mencapai pembangunan gedung ibadah yang megah dan bagus.

Warga gereja GMIT Jemaat Zaitun menjadikan gedung ibadah atau rumah Tuhan sebagai ruang alienasi sosial. Hal tersebut berarti keberadaan gedung ibadah akan semakin membuat mereka kurang memberikan perhatian pada pesoalan sosial. Warga gereja menganggap persoalan sosial seperti kemiskinan adalah pergumulan individual, dan untuk memberikan perubahan sosial atau memberantas kemiskinan adalah semata-semata tugas pemerintahan. Bagi warga gereja, persoalan kemiskinan bukanlah persoalan bersama dan juga bukan merupakan tanggung jawab penuh oleh gereja. Adanya pemahaman demikian, karena warga gereja memahami tanggung jawab gereja hanyalah sebatas persekutuan-persukutuan yang dibangun, dan perlu upaya untuk terus-menerus meningkatkan nilai religiositas yang mana dapat membagun iman mereka pada kehidupan sehari-hari. Keberhasilan membangun gedung ibadah yang megah dipengaruhi oleh pemahaman tentang gereja yang fundamental. Begitu juga kurangnya perhatian pada persoalan sosial seperti kemiskinan, karena minimnya pemahaman warga gereja tentang kemiskinan itu sendiri.

(10)

69

berasal dari dunia.11 Artinya, bahwa gereja dihadirkan di tengah dunia, tetapi gereja bukan milik dan ciptaan dunia. Hal itu berarti, gereja hadir dalam dunia atau ada dalam dunia dengan tugas penting yang diembannya, yaitu menyatakan kerajaan Allah bagi dunia. Dengan kata lain, Yewangoe menegaskan bahwa gereja adalah gereja bagi orang lain.12 Dalam hal ini, gereja tidak hadir untuk diri sendiri melainkan gereja ada dalam dunia bagi orang lain, bagi mereka yang membutuhkan kehadiran gereja demi mencapai kehidupan layak, perubahan sosial, dan keadilan.

Pemahaman tersebut yang masih belum begitu dihidupi dengan baik oleh warga gereja GMIT Jemaat Zaitun. Di mana, dalam kehidupan bergereja maka warga gereja masih melihat gereja sebagai identitas keagamaan mereka yang benar-benar perlu diperhatikan. Namun, perhatian yang diberikan hanya sebatas internal, yakni untuk membangun diri sendiri dan belum secara eksternal seperti uraian di atas bahwa gereja adalah gereja bagi orang lain. Gereja bagi orang lain, berarti gereja hadir memberikan kepedulian dan kepekaan terhadap kehidupan sekitar, dan gereja yang mampu membangun kehidupan vertikal (persekutuan dengan Tuhan) dan horizontal (relasi dalam kehidupan sosial) secara seimbang.

Gereja ada dan hidup (bereksistensi) tidak dalam suatu ruang yang kosong, melainkan gereja hadir dalam suatu konteks kehidupan masyarakat tertentu secara nyata.13 Sebagaimana yang digaribawahi oleh Yinger, bahwa agama yang sempurna bagaimanapun tetap harus berupa fenomena sosial.14 Agama harus bisa diidentifikasi sebagai kenyataan penting, bahwa keyakinan yang ada di dalamnya juga memiliki dampak pada asosiasi manusia.15 Dengan kata lain, keberadaan agama perlu memberikan dampak baik dalam kehidupan manusia, dan

11 Andreas A. Yewangoe, Tidak Ada Ghetto gereja di dala du ia (Jakarta: BPK Gunung Mulia,

2009), 3.

12Yewangoe, Tidak Ada Ghetto, 4.

13 Daniel Numahara., dkk, Di dalam Dunia tetapi Tidak dari Dunia (Jakarta: BPK. Gunung Mulia,

2004), 148.

14 Tedi Kholiludin, Pancasila dan Transformasi: Religiositas Sipil di Indonesia (Salatiga: Universitas

Kristen Satya Wacana), 86.

15

(11)

70

salah satu peran yang perlu diperlihatkan oleh agama, yaitu ada dalam lingkup fenomena sosial.

IV. Hakekat Hubungan Persekutuan dan Ketaatan Gereja Kepada Kristus

Pemahaman fundamental tentang gereja yang dihidupi oleh warga gereja GMIT Jemaat Zaitun, menghadirkan hubungan persekutuan yang terlihat erat antara manusia (warga gereja) dengan Tuhan ketika berada dalam gedung ibadah. Selain adanya nilai persekutuan yang erat, ada juga sikap ketaatan gereja kepada Kristus Sang kepala gereja. Sebagaimana yang dipahami oleh Gerrit Singgih tentang gereja, yakni sebagai tubuh Kristus. Gereja sebagai tubuh Kristus berarti kita (umatNya) adalah bagian tubuh dan tidak pernah bisa terlepas dari tubuh.16 Ada ikatan yang kuat antara manusia dengan Tuhan dan manusia dengan sesamanya.

Pemahaman gereja sebagai tubuh Kristus ini terlihat dalam kehidupan bergereja GMIT Jemaat Zaitun. Sikap antusias membangun gedung ibadah karena gedung ibadah dimaknai sebagai rumah Tuhan yang sakral, dan tidak sebatas itu. Persekutuan dan ketaatan gereja kepada Kristus menghadirkan semangat juang membangun gedung ibadah meskipun di tengah konteks kemiskinan, karena gedung ibadah dipandang sebagai ruang yang mampu memberikan ikatan erat antara Tuhan dengan manusia, dan manusia dengan sesama.

Ada beberapa hal yang menjadi dasar pembentukan persekutuan dan ketaatan gereja kepada Kristus, yaitu dimensi sosial-teologis, dimensi spiritual, gereja sebagai rumah Tuhan dan sebuah persembahan syukur, dan juga gereja sebagai pusat kehidupan bergereja. Dalam dimensi sosial-teologis, maka warga gereja memandang kehadiran gedung ibadah tidak saja sebagai ruang persekutuan, tetapi juga bermanfaat untuk kegiatan

16 Emanuel Gerrit Singgih, Bergereja, Berteologi dan Bermasyarakat (Yogyakarta: Taman Pustaka

(12)

71

lainnya seperti pemberdayaan. Namun, hal tersebut dapat dilaksanakan bila kegiatan yang dilakukan juga mendukung pembangunan kerohanian warga gereja. Ada hal yang dikritisi oleh Gutierrez dalam berteologi, yakni gereja seringkali hanya menangani hal-hal religius, sedangkan urusan kemasyarakatan seperti kemiskinan adalah masalah negara (dunia).17 Kemiskinan dianggap sebagai masalah profan yang tidak merupakan bagian dari kehidupan beragama, sehingga seringkali kemiskinan dianggap sebagai sebuah tanggung jawab negara (pemerintah) bukan gereja.18 Kekritisan yang diberikan oleh Gutierrez kembali mengajak warga gereja GMIT Zaitun untuk melihat dasar dimensi sosial-teologis sebagai pembentukan persekutuan mereka dengan Tuhan. Artinya, bahwa warga gereja pada dasarnya memiliki kerinduan untuk memberikan nilai lain atas pemanfaatan gedung ibadah, yakni adanya pemberdayaan yang berdampak pada pembebasan. Namun, ruang pembebasan yang diberikan masih terlihat dengan nilai religositas yang begitu tinggi.

Sebagaimana yang berulang kali ditekankan oleh informan dalam penelitian, bahwa mereka setuju dan bersepakat untuk menjadikan gedung ibadah sebagai ruang pemberdayaan, tetapi yang harus diingat ialah tidak terlepas dari pembangunan iman warga gereja. Tujuan penting yang diharapkan dari gedung ibadah adalah sebagai ruang pertumbuhan iman warga gereja. Dengan demikian, hal ini menunjukkan bahwa ada kerinduan dalam diri warga gereja untuk melakukan perubahan melalui gedung ibadah, akan tetapi suatu perubahan yang masih bersifat internal.

Hal tersebut sebagai gambaran kehidupan bergereja, di mana adanya dimensi spiritual yang begitu berpengaruh dalam diri warga gereja. Warga gereja melihat betapa pentingnya membangun persekutuan dengan Tuhan, karena melalui persekutuan itulah mereka dapat menemukan kehidupan yang penuh dengan kedamaian dan ketentraman. Hal itulah yang membuat warga gereja menghadirkan sikap juang membangun gedung ibadah

17

Marthin Chen, Teologi Gustavo Gutierrez (Yogyakarta: Kanisius 2002), 19.

18

(13)

72

dan menjadikan gedung ibadah sebagai pusat kehidupan dari segala aspek kehidupan mereka. Gedung ibadah dijadikan sebagai pusat kehidupan, karena di dalam gedung ibadah dapat melepaskan mereka dari kenyataan hidup yang membuat mereka terbelenggu dalam ketidaknyamanan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Marx, bahwa gereja hanya sebagai opium, sebagai ruang yang memberikan kenyamanan meski itu hanya sesaat.

V. Gereja di Tahap Prakondisi Lepas Landas

Pada prinsipnya, warga gereja GMIT Jemaat Zaitun memiliki motivasi dan potensi untuk melakukan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan. Namun, motivasi dan potensi itu perlu kembali digali dan membutuhkan dorongan dari luar atau secara eksternal. Proses pembangunan gedung ibadah merupakan pergumulan besar yang digumuli oleh pendeta jemaat dan panitia pembangunan. Pergumulan besar yang dihadapi, yaitu mereka harus berjuang untuk memotivasi dan membangun kesadaran warga gereja agar bersepakat dan berjuang bersama untuk membangun gedung ibadah dengan estimasi biaya dan perencanaan pembangunan yang akan dilakukan. Di mana, pada awalnya warga gereja tidak setuju dengan adanya pembangunan gedung ibadah karena bagi mereka estimasi biaya yang dibuat tidak akan mampu dicapai, dan mereka merasa tidak sanggup membangun gedung ibadah yang megah sebagaimana saat ini telah berdiri dengan indah. Kekhwatiran dan keraguan warga gereja merupakan kelemahan bagi pendeta jemaat dan panitia pembangunan untuk melangkah maju dalam pembangunan gedung ibadah.

(14)

73

masyarakat desa Tuapukan) dapat mewujudkan perubahan dalam kehidupan mereka. Namun, perubahan itu akan terjadi bila ada dorongan dan motivasi secara eksternal.

Melihat minimnya kesadaran dalam diri warga gereja untuk memberikan perubahan sosial dalam kehidupan mereka, maka dalam hal ini gereja dapat hadir untuk memahami bagaimana kehidupan sosial dan religius secara utuh dijalani oleh warga gerejanya. Gereja juga perlu melihat bagaimana pemahaman warga gereja tentang persoalan sosial yang sebernarnya adalah realitas sosial di tengah kehidupan mereka. Ada lima tahap pembangunan yang digunakan oleh W. W. Rostow untuk “mengukur” serta meninjau tahap perkembangan masyarakat dalam kehidupannya.

Lima tahap pembangunan yang dimaksud oleh Rostow. Pertama, Masyarakat Tradisional; dalam tahap ini masyarakat belum begitu menguasai ilmu pengetahuan yang ada, sehingga manusia hanya tunduk kepada alam, dan mengikuti arus kehidupan yang ada.19 Kedua, Prakondisi untuk Lepas Landas; pada tahap ini masyarakat sudah lebih bergerak daripada masyarakat tradisional, namun untuk mengalami perubahan dan perkembangan tahap ini membutuhkan dorongan dan bantuan secara eksternal.20 Artinya, untuk lepas dari kehidupan masyarakat tradisional, maka masyarakat tidak dapat mengubah dirinya sendiri.

Ketiga, Lepas landas; pada tahap ini telah ada perkembangan lebih maju dari tahap sebelumnya.21 Dalam tahap ini, masyarakat sudah dapat mengendalikan hambatan-hambatan yang ada dan masyarakat sudah memiliki investasi serta tabungan. Keeempat, Bergerak ke kedewasaan; industri berkembang dengan pesat. Untuk itu, pada tahap ini mengalami peningkatan pesat dari tahap-tahap sebelumnya.22 Kelima, Jaman Konsumsi masal yang tinggi; karena kenaikan pendapatan masyarakat, maka konsumsi tidak lagi terbatas pada kebutuhan pokok untuk hidup, tetapi meningkat ke kebutuhan yang lebih

19

Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996). 26.

20

Budiman, Teori Pembangunan, 26

21

Budiman, Teori Pembangunan, 27.

22

(15)

74

tinggi.23 Pada tahap ini nilai produksi dan konsusmi semakin tinggi, dan perkembangan ekonomi mulai terlihat. Sebagaimana uraian Rostow terkait lima tahap pembangunan yang dideskripsikannya, maka GMIT Jemaat Zaitun dapat digolongkan dalam tahap prakondisi untuk lepas landas. Artinya, untuk melakukan perubahan sosial, maka warga gereja (masyarakat desa Tuapukan) tidak dapat berjuang dan berjalan sendiri. Untuk itu, mereka membutuhkan fasilitator sebagai motivasi dan dorongan secara eksternal.

Masyarakat desa Tuapukan tidak bisa melakukan perubahan melalui dirinya sendiri. Oleh karena itu mereka membutuhkan gereja sebagai fasilitator yang hadir di tengah kehidupan sosial mereka. Dengan demikian, gereja yang ada di dunia adalah gereja bagi orang lain, yakni dapat berfungsi di tengah kehidupan desa Tuapukan. Melalui tahap ini maka gereja dapat memerankan tugasnya sebagai fasilitator untuk membangun kesadaran masyarakat desa Tuapukan, memberikan motivasi dan dorongan untuk mewujudkan perubahan sosial seperti menanggulangi persoalan kemiskinan.

IV. Sistem Tu’u Sebagai Upaya Perubahan Sosial

Desa Tuapukan dan GMIT Jemaat Zaitun Tuapukan mencatat memiliki penduduk dan warga jemaat yang kurang lebih 90% adalah Suku Rote. Kebudayaan Rote yang mengental dihidupi di Desa Tuapukan, maka tidak heran bila dalam kehidupan bergereja juga terlihat jelas adanya unsur-unsur etnis Rote yang selalu digunakan dalam kehidupan bergereja. Ada beberapa unsur etnis Rote yang digunakan dalam kehidupan bergereja, yaitu sistem Tu’u yang adalah salah satu adat Suku Rote yang biasanya dilaksanakan ketika akan merayakan pesta pernikahan. Sistem Tu’u ini juga digunakan gereja dalam rangka pembangunan gedung ibadah. Sistem Tu’u tidak saja mampu menggerakkan masyarakat desa Tuapukan (dalam hal ini warga gereja) untuk mengumpulkan dana demi

23

(16)

75

membangung gedung ibadah, tetapi juga memberikan nilai kesatuan yang dapat menyatukan mereka dalam satu tanggung jawab untuk berjuang menyelesaikan pembangunan gedung ibadah.

Selain sistem Tu’u dijadikan sebagai sarana pengumpulan dana pembangunan gedung ibadah, arsitektur gedung ibadah juga menggunakn unsur budaya Rote, yaitu menara topi Ti’i langga24, dan juga di bawah lingkaran Ti’i langga ada tenunan Suku Rote yang digunakan sebagai simbol identitas orang Rote. Kedua simbol yang digunakan dan kebudayaan orang Rote yang dilaksanakan dalam kehidupan bergereja menunjukkan, bahwa kebudayaan Rote memiliki peran penting dalam hidup bergereja dan begitu kental dihidupi. Melihat keberadaan etnis Rote yang begitu besar mengambil bagian dalam kehidupan bergereja, maka untuk mencapai perubahan sosial (dalam hal ini gereja) memiliki potensi yang baik melalui apa yang telah mereka bangun dalam mewujudkan gedung ibadah yang megah. Artinya, bahwa untuk mencapai perubahan sosial atau memberikan solusi bagi masyarakat desa Tuapukan terhadap persoalan sosial, maka gereja hadir sebagaimana mulanya gereja memotivasi warga jemaat untuk berjuang membangun gedung ibadah melalui keberadaan mayoritas (baca: budaya Suku Rote).

Sistem Tu’u yang dibangun untuk mengumpulkan dana pembangunan kini dapat dialihkan untuk menjadi ruang perubahan sosial dalam memerangi kemiskinan di desa Tuapukan. Begitu juga dengan nilai juang panitia pembangunan yang telah berhasil memotivasi anggota jemaat untuk membangun gedung ibadah meskipun di tengah ketebatasan ekonomi. Kepanitian dapat terus menjalankan tugas membangun kesadaran warga gereja dan juga masyarakat desa Tuapukan secara keseluruhan untuk merespon persoalan kemiskinan yang adalah realitas sosial. Dengan begitu, segala motivasi dan

24

(17)

76

potensi yang justru lahir dari diri masyarakat Tuapukan dapat diimplementasikan lewat pencapaian perubahan sosial dalam kehidupan kemasyarakatan desa Tuapukan.

V. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian empiris yang dilakukan dan diuraikan di atas, maka terlihat bahwa GMIT Jemaat Zaitun Tuapukan membangun kehidupan bergereja dengan nilai spiritual yang lebih daripada aspek sosial. Artinya, bahwa warga gereja melihat persoalan sosial sebagai pergumulan masyarakat desa Tuapukan, akan tetapi tidak dijadikan sebagai pergumulan bersama yang juga adalah tugas gereja. Gereja menghadirkan aspek religiositas yang berpengaruh dalam kehidupan anggota jemaat. Hal ini tidak saja berpengaruh dalam kehidupan bergereja tetapi juga kehidupan sosial.

Gedung gereja yang megah dan besar serta biaya pembangunan yang mahal, berhasil dicapai oleh anggota jemaat meskipun dalam keterbatasan ekonomi atau di tengah fenomena kemiskinan. Ada sikap antusias dalam pembangunan gedung ibadah berdasarkan aspek spiritual yang melekat dalam diri anggota jemaat. Nilai religiositas yang tinggi daripada nilai sosial, membuat gereja lebih berfokus pada pembangunan gedung ibadah daripada pembangunan jemaat atau pemberdayaan masyarakat sekitar. Dengan demikian, perjalanan hidup bergereja di GMIT Jemaat Zaitun hingga saat ini masih hanya sebatas kegiatan-kegiatan gerejawi yang bersifat pembangunan iman warga gereja. Sebagaimana data penelitian dan uraian di atas, maka jelas dapat dikatakan bahwa keberadaan gedung ibadah di tengah kehidupan bergereja GMIT Jemaat Zaitun merupakan ruang alienasi sosial.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

In order to evaluate the dynamic properties of this structure, a free-vibration test is made, in which the roof system (rigid girder) is displaced laterally by a

Isi dan Pengetahuan Hasil pengamatan ditulis lengkap, siswa menunjukkan pengetahuan tentang materi yang disajikan Hasil pengamatan gambar ditulis lengkap dan pertanyaanpertan yaan

 Steady state response present because of the applied force, no matter what the initial conditions..  Transient response depends on the initial displacement and

[r]

Copy Kontrak Pengalaman Perusahaan beserta Berita Acara Serah Terima Pekerjaannya (PHO / FHO) yang termuat dalam isian

Manfaat kegiatan bagi Petani jamur adalah mengetahui teknik penanganan pasca panen jamur kuping dan jamur tiram sehingga dapat memproduksi produk yang

Tutur lanjut bapak dua anak itu “Angkatan ke-2 ini saya apresiasi betul karena dengan tambahan materi yang jauh lebih banyak dari kemaren ternyata antusias dan semangat peserta