“Menggagas Pemikiran Masyarakat tentang
Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia”
Dengan bangga mempersembahkan sebuah karya tulis
(essay) yang berjudul
Bobroknya Kedaulatan Rakyat di Indonesia
Disusun Oleh
: Dian Ayu Nurani
XI Social
SMA Negeri Sumatera Selatan
Jl. Pangeran Ratu RT.11 RW.06 Kel.8 Ulu, Kec. Seberang Ulu 1
Bobroknya Kedaulatan Rakyat di Indonesia
Pelaksanaan demokrasi di indonesia mungkin dapat dikatakan sangat jauh dari kata terlaksana dengan baik. Demokrasi adalah sebuah kedaulautan yang kekuasaan tertingginya ada di tangan rakyat. Demokrasi merupakan sebuah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Berbicara demokrasi, berarti berbicara tentang kepentingan rakyat. Namun kebanyakan yang terjadi kini kepentingan
pemerintah atau orang orang penting yang mempunyai kedudukan tinggi adalah yang terpenting, bukan lagi kepentingan rakyat yang kedudukannya hanyalah rakyat sipil biasa. Indonesia adalah salah satu negara yang selalu menggencar-gencarkan pelaksanaan demokrasi, namun faktanya keadilan rakyat untuk mendapatkan hak berdemokrasi sangatlah sulit.
Politik dalam era demokrasi dimaknai dengan upaya meraih kekuasaan. Saling menjegal karena kepentingan politik kerap dilakukan. Baik yang dilakukan dengan menjerat, rekayasa, ataupun kenyataannya demikian. Maka tak ayal masyarakat sering disuguhi dengan berbagai intrik politik demi syahwat berkuasa. Rakyat pun dibodohi dengan berita media yang cenderung tidak fair.
Kesalahan kecil rakyat jelata di indonesia dapat menjadi tombak yang dapat mengoyak dan menghancurkan mereka yang lemah. Namun, kesalahan besar kaum kerah putih yang jelas-jelas merugikan bangsa dan negara ini justru membuat mereka nyaman berdiam dibalik kursi kekuasaan mereka. Kebobrokan ini seperti jaring laba laba yang akan mudah koyak jika menjerat yang lemah namun akan semakin kuat jika menjerat yang kaya. Sudah banyak kasus yang terjadi yang telah menunjukkan arti demokrasi di Indonesia yang sebenarnya. Seperti kasus nenek tua yang dituduh mencuri beberapa papan kayu dikebun milik orang lain. Kesalahannya yang kecil ini membuat dia harus berhadapan dengan kerasnya hukum tanpa ampun bagi kaum rendah di Indonesia. Sedangkan sikerah putih yang seenaknya mempropokatori perpecahan umat agama di Indonesia. Mereka justru luput dari kerasnya hukum penjerat.
dominan dibandingkan dengan hanya sekedar koar-koar janji-janji partai dan calon-calon pemimpin seperti sekarang ini. Pada tahun 1972 Indonesia mendapat nilai 5 dari 6 untuk sistem demokrasi. Suatu kebanggan tersendiri bagi masyarakat kita. Tetapi pada tahun 1995-2005 NKRI mengalami penurunan cukup signifikan, nilai 3,5 diperoleh Indonesia untuk sistem demokrasinya dan tahun 2006-2013 mendapat nilai 2,5. Jika diibaratkan, sistem demokrasi negara kita seperti mengalami terjun dari ketinggian bermeter-meter jauhnya.
Seiring berkembangnya zaman Indonesia justru semakin terpuruk asas demokrasinya, terbukti saat pemilu pemilihan kepala daerah maupun pemilihan presiden selalu terjadi kekisruhan. Hal itu disebabkan karena tidak fair-nya calon kepala daerah untuk bertarung secara murni. Mereka lebih memilih cara-cara yang sebenarnya dilarang oleh hukum seperti kampanye hitam, money politic dan sebagainya. Rakyat hanya bisa menerima dan menonton panggung sandiwara tersebut tanpa bisa melakukan apapun. Demokrasi yang semestinya menjadi alat rakyat untuk menyampaikan suara serta merubah nasib bangsa justru dihancurkan oleh pejabat yang busuk dan tak bermoral. Rakyat tidak menyadari akan semua hal itu, mereka hanya bisa menerima dan menonton panggung sandiwara politik tanpa bisa berbuat banyak.
Alhasil akibat dari kemerosotan dan kebobrokan moral pejabat tersebut makin meningkatnya angka kemiskinan di Indonesia. Para pejabat cenderung memanfaatkan kekuasaannya hanya untuk dirinya sendiri tanpa harus memikirkan nasib rakyat yang semakin menderita. Semakin meningkatnya angka kriminalitas justru terjadi disekitar kita. Para pejabat seolah olah menutup mata akan kejadian yang saat ini terjadi. Mereka berdalih sumber dari segalanya adalah karena rakyat tidak bisa diatur dan sebagainya. Padahal para pemimpin yang seharusnya dijadikan contoh justru berbuat lebih kejam kepada rakyatnya.
siapapun akan tergoda dan masuk belenggu jebakan. Tidak dapat dipungkiri suap-menyuap, korupsi, dan lainnya merupakan cara-cara kotor. Cara itu ditempuh oleh kelompok atau perorangan untuk memuluskan bisnis dan kepentingan pribadi. Sengaja atau tidak cara itu tetap saja melanggar hukum. Hal yang jamak dan lumrah dari konsekuensi kongkalikong pengusaha dan penguasa. Sungguh ironis. Jelas sudah demokrasi pun menghalalkan segala cara. Mulai dari suap, korupsi, gratifikasi, dan lainnya. Yang penting sampailah di tujuan meraih kekuasaan. Demokrasi tidak memandang apa persoalan ini baik atau buruk. Karena standar mereka adalah pragmatisme dan hawa nafsu. Hal inilah yang perlu dipahami setiap parpol. Sehingga mereka yang awalnya berniat merubah kondisi, tidak malah terjebak dalam arus pragmatisme.
Demokarasi sekarang menjadi sebuah ladang bagi oknum-oknum yang ingin memecah-belahkan persatuan Indonesia. Provokator menjadi pemicu emosi masyarakat, kurangnya pendidikan politik juga sangat berpengaruh pada perkembangan demokrasi di negara kita. Penurunan kinerja pemerintah dan penegak hukumnya semakin terlihat jelas dan lagi-lagi membuat masyarakat memutus hubungan baik terhadap negara seperti golputnya masyrakat dalam pemilu. Demokrasi yang anarki telah berjamur dan menjadi hal yang selalu muncul dalam media massa. Saat ini Ibu Pertiwi tidak membutuhkan politikus-politikus yang hanya bisa berpidato tanpa action. Tanah air sangat membutuhkan negarawan-negarawan tangguh yang berdiri tegap dan siap mengangkat negaranya ke atas kejayaan.