BAB II
SEJARAH DAN ASAL-USUL SI RAJA LONTUNG
Pada bab ini akan dibahas tentang sejarah asal-usul Si Raja Lontung, untuk
itu perlu dilakukan peninjauan sejarah darinya. Dalam penelitian ini digunakan
metode sejarah dengan pendekatan penelitian historis. Menurut Suryabrata dalam
Metode Penelitian (1994:16) tujuan penelitian historis adalah untuk membuat
rekonstruksi masa lampau secara sistematis dan objektif dengan cara
mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasikan, serta mensintesiskan
bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan yang kuat. Semua
upaya tersebut harus melalui proses pengumpulan data. Maka dengan demikian
data-data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah berbentuk
keterangan-keterangan, kalimat-kalimat dari studi pustaka, foto-foto, serta
informasi yang berkaitan dengan bagaimana sejarah asal-usul Si Raja Lontung.
Mengingat bahwa data-data yang dikumpulkan tersebut berupa
dokumen-dokumen tertulis, informasi, kejadian-kejadian, dan foto-foto yang akan dianalisis
dalam tinjauan sejarah, maka dalam penelitian ini peneliti menggunakan
pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang memanfaatkan
wawancara terbuka untuk menelaah dan memahami sikap, pandangan, perasaan
dan perilaku atau sekelompok individu atau sekelompok orang (Moleong, 2007:6)
dengan pendekatan kualitatif, yaitu suatu penelitian yang berdasarkan atas
tujuannya dalam menggambarkan dan menafsirkan data yang dijumpai di
lapangan. Metode ini bertujuan untuk menggambarkan dengan jelas sifat-sifat
suatu individu, keadaan, gejala, kelompok tertentu, menentukan frekuensi atau
penyebaran dari suatu gejala lain dalam suatu masyarakat. Jadi dalam hal ini
penulis akan melakukan wawancara terbuka terhadap informan untuk
mendeskripsikan bagaimana sejarah dari Si Raja Lontung. Penelitian ini berpusat
pada pendapat informan kunci dalam konteks studi emik.12
Menurut Vergouwen (1986:9) Desa Sabulan merupakan tempat Si Raja
Lontung dilahirkan dan tinggal selama hidupnya. Sabulan adalah salah satu nama Namun penulis tetap
melakukan penafsiran-penafsiran sesuai dengan kaidah ilmiah dalam konteks
studi etik, yaitu identifikasi menurut peneliti yang mengacu pada konsep-konsep
sebelumnya sehingga didapatkan data yang objektif (Kaplan dan Manners
1999:256-8).
Membincangkan sejarah asal-usul Si Raja Lontung dan turunannya penulis
menggunakan metode sejarah dari Kuntowijoyo, yaitu; model sinkronis: untuk
mengetahui gambaran lingkungan sosial, historis, fungsi dan latar belakang dan
model diakronis: untuk menggambarkan bagaimana pertumbuhan tersebut dari
waktu-kewaktu, bagaimana ia tumbuh dari awal sebagai suatu gejala (1994:38).
2.1 Model Sinkronis
12
perladangan desa yang berada di wilayah Kecamatan Sitiotio di kaki gunung
Pusuk Buhit13
Gambar-1. Peta Desa Sabulan
Dokumentasi Blessta Hutagaol, 2015.
, Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia.
Konon menurut cerita rakyat atau turi-turian bahwa daerah Sabulan adalah
tempat tinggal Sariburaja bersama Siboru Pareme setelah mereka diusir dari
kampungnya kemudian melahirkan Si Raja Lontung.14
Menurut James Danandjaja (1984:4) Cerita rakyat adalah suatu karya
sastra yang lahir dan berkembang dalam masyarakat tradisional dan disebarkan
dalam bentuk relatif tetap, atau dalam bentuk baku disebarkan diantara kolektif
tertentu dalam waktu yang lama. Dalam hal ini kisah tentang Si Raja Lontung
13
Samosir dibuat menjadi suatu pulau dengan menggali sebuah terusan yang memotong punggung bukit yang menyatukannya dengan Gunung Pusuk Buhit.
14
merupakan sebuah cerita rakyat dalam masyarakat Batak Toba. Namun dalam
penggolongannya, penulis memperhatikan jenis cerita prosa rakyat yang terbagi
atas tiga golongan utama yaitu:
1. Mite (myth), adalah cerita prosa rakyat yang benar-benar terjadi serta
dianggap suci oleh empunya cerita. Mite ditokohi oleh para dewa atau
makhluk setengah dewa, peristiwa terjadi di dunia lain atau di dunia yang
bukan kita kenal sekarang, dan terjadi di masa lampau.
2. Legenda (legend), adalah prosa rakyat yang mempunyai ciri-ciri yang
mirip dengan mite, yaitu dianggap pernah benar-benar terjadi, tetapi tidak
dianggap suci, legenda ditokohi manusia, walaupun ada kalanya
mempunyai sifat-sifat luar biasa, dan sering kali dibantu oleh
makhluk-makhluk gaib.
3. Dongeng (folktale) berupa cerita prosa rakyat yang tidak dianggap
benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita dan dongeng tidak terikat oleh
waktu maupun tempat (James Danandjaja, 1984:50)
Berdasarkan penggolongan cerita rakyat diatas maka kisah tentang Si Raja
Lontung termasuk dalam jenis Legenda. Karena dalam alur kisahnya peristiwa
tentang Si Raja Lontung adalah terjadi di bumi dan masih terdapak jejak
peninggalan sejarahnya atau artefak yaitu di Desa Sabulan, Kecamatan Sitiotio,
Kabupaten Samosir dan dalam perjalanan hidupnya acapkali Si Raja Lontung
beserta keturunannya melakukan permohonan kepada Debata Mulajadi Na Bolon
2.1.1 Gambaran lingkungan sosial
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2003 tanggal 18 Desember
2003 tentang pembentukan Kabupaten Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai
di Provinsi Sumatera Utara, maka yang merupakan wilayah administrasi
pemerintahan Kabupaten Samosir sebanyak sembilan kecamatan, yaitu:
Kecamatan Pangururan, Kecamatan Simanindo, Kecamatan Ronggur Ni Huta,
Kecamatan Palipi, Kecamatan Nainggolan, Kecamatan Onan Runggu, Kecamatan
Sitiotio, Kecamatan Sianjur Mulamula, dan Kecamatan Harian. Jadi Kecamatan
Sititotio merupakan salah satu wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten
Samosir. Kecamatan Sititotio terdiri atas beberapa desa sebagai berikut: Desa
Tamba Dolok, Desa Cinta Maju, Desa Buntu Mauli, Desa Sabulan, Desa
Holbung, Desa Janji Raja, Desa Janji Maria, dan Desa Parsaoran.
Desa Sabulan merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan
Sitiotio Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan turi-turian
pada masyarakat Batak Toba disertai dengan peninggalan sejarahnya, bahwa pada
zaman dahulu kala, di desa inilah Siboru Pareme dan Si Raja Lontung berjanji
(Marbulan). Sehingga desa ini dinamakan Desa Sabulan.
Berdasarkan profil desa pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Desa Sabulan tahun 2008-2013, Desa Sabulan adalah desa yang sangat bersejarah
bagi seluruh orang Batak secara khusus bagi keturunan (pomparan) Siboru
Pareme dan Si Raja Lontung yaitu yang terdiri dari tujuh orang putera dan satu
orang puteri. Masing-masing puteranya bernama:Sinaga, Situmorang, Pandiangan,
Boru Anak Pandan. Ia menikah dua kali dengan marga Sihombing kemudian
Simamora.15
Wilayah Kecamatan Sitiotio mempunyai letak astronomis dan geografis
2.1.2 Letak astronomis dan geografis
16
No.
sebagai berikut:
Tabel-1. Letak Astronomis dan Geografis Kecamatan Sitiotio
Letak Astronomis dan Geografis Kecamatan Sitiotio
Statistik
1. Letak Astronomis 2º30´-2º45´LU dan 98º30´-98º45´BT
2. Luas Wilayah Daratan 50, 76 Km² atau 3,51% dari total luas daratan Kabupaten Samosir.
4. Ketinggian Diatas Permukaan Laut
904-2.157 Meter
5. Jarak Kantor Camat Ke Kantor Bupati Samosir
22 KM
Sumber: Statistik Kecamatan Sitiotio 2011
2.1.3 Luas wilayah
15
Akan dibahas lebih lanjut pada bagian selanjutnya. 16
Pembagian wilayah Desa Sabulan dibagi menjadi 3 (tiga) dusun yaitu
sebagai berikut:
Tabel-2 Luas Wilayah Desa Sabulan per Dusun
No. Dusun Jumlah kampung
(huta)
Luas wilayah (Km²)
Persentase (%) Luas
1. I 10 3,8 31, 54
2. II 10 4,10 34, 02
3. III 17 4,15 34,44
Sumber: Rencana Pembangunan Jangka menengah Desa (RPJMDes) Desa Sabulan tahun 2008-2013.
2.1.4Jumlah penduduk
Kecamatan Sitiotio merupakan kecamatan dengan persentase penduduk
terkecil dari total penduduk Kabupaten Samosir yakni hanya 5.95% penduduk
Kabupaten Samosir berdomisili di Kecamatan Sitiotio, hal ini disebabkan karena
Kecamatan Sitiotio merupakan kecamatan terjauh di Kabupaten Samosir dan
akses untuk menjangkau setiap wilayah desa di Kecamatan Sitiotio sangat terbatas
karena hampir seluruh wilayah berbatasan langsung dengan Danau Toba.
Berdasarkan desa di Kecamatan Sitiotio, Desa Sabulan merupakan desa dengan
persentase penduduk terbanyak dari total penduduk Kecamatan Sitiotio yakni
16.09%. Hal ini dikarenakan Desa Sabulan merupakan ibukota Kecamatan
sekaligus merupakan desa yang paling mudah diakses dari ibukota kabupaten.
Desa Sabulan sebagai Ibukota Kecamatan Sitiotio didiami sekitar 16.09% dari
135.45 jiwa/km². Yang berarti setiap 1 km² wilayah Desa Sabulan didiami oleh
sekitar 135 jiwa penduduk. Sedangkan Desa Janji Maria merupakan desa dengan
distribusi persentase terkecil dari total penduduk Kecamatan Sitiotio. Hanya
8.97% penduduk Kecamatan Sitiotio tinggal di wilayah Desa Janji Maria, hal ini
disebabkan karena Desa Janji Maria merupakan desa yang paling jauh dari
ibukota Kecamatan Sitiotio yakni sekitar 17 km dari ibukota Kecamatan Sitiotio.
Tingkat kepadatan penduduk selama periode tahun 2010-2011 meningkat
dari yang sebelumnya 140 jiwa/km² menjadi 142 jiwa/km². Artinya bahwa setiap
km² wilayah daratan Kecamatan Sitiotio ditempati oleh penduduk rata-rata sekitar
142 orang. Penduduk Kecamatan Sitiotio hingga tahun 2011 diperkirakan
mencapai 7.191 jiwa dengan rata-rata jumlah anggota rumah tangga per rumah
tangga sebesar 4 jiwa/ rumah tangga.
Tabel-3 Jumlah Penduduk, Rumah Tangga, dan Anggota Rumah Tangga menurut
*Keterangan: RT = Rumah tangga . ART = Anggota rumah Tangga
Sumber: Statistik Kecamatan Sitiotio 2011
Dari keseluruhan penduduk Kecamatan Sitiotio berdasarkan status
kependudukannya adalah bervariasi. Menurut Vergouwen (1986:136-137)
penghuni kampung (isi ni huta) terdiri atas si pendiri kampung (sipungka
huta)dan anggota marga penumpang (parripe). Lebih lanjut Vergouwen
menjelaskan bahwa parripe tidak banyak ikut campur dalam urusan kampung
tersebut. Karena mereka belum lama berada di kampung tersebut. Mereka hanya
orang yang bergantung kepada tempat isterinya berasal. Namun seiring
bergantinya satu generasi, maka marga parripe tadi dapat berubah menjadi marga
boru.
Khusus Desa Sabulan sebagai tempat penelitian penulis, hasil wawancara
dengan Rammes Situmorang yang merupakan salah satu aparat Desa Sabulan
mengatakan bahwa saat ini marga-marga yang menjadi penduduk di desa tersebut
adalah Marga Situmorang, Pandiangan dan Sinaga sebagai marga asal/ si pendiri
kampung (sipungka huta), dan marga yang paling banyak adalah Situmorang. Hal
ini dikarenakan pernah suatu ketika terjadilah banjir yang sangat besar melanda
Desa Sabulan. Banjir tersebut menyebabkan Desa Sabulan hancur luluh lantah
beserta isinya sehingga penduduknya bermigrasi keluar Desa Sabulan.
Penduduknya kala itu adalah marga keturunan Raja Lontung yaitu Sinaga,
Pandiangan, Nainggolan, Simatupang, Aritonang, Siregar dan marga Situmorang.
Desa Sabulan dan berketurunan disitu. Hal ini didukung dengan tulisan W. M
Hutagalung (1991:64) yang mengatakan bahwa:
“Ianggo Situmorang, mulak do jolo tu luat Sabulan jala marpinompari disi”
Artinya: Bahwa marga Situmorang kembali ke Sabulan dan berketurunan disitu.
Marga lainnya membentuk pemukiman baru diluar Sabulan. Namun marga
Situmorang kembali ke Desa Sabulan, sehingga beberapa marga lain yang sudah
sempat bermukim ditempat lain ikut kembali pulang ke Desa Sabulan. Yaitu
marga Pandiangan dan Sinaga. Sedangkan yang merupakan marga pendatang
(parripe) adalah: Nainggolan, Siregar, Sihombing, Tamba, Manalu, Sitinjak,
Sihite dan Ambarita.
2.1.5 Sistem religi
Masyarakat Batak Toba, baik secara pribadi maupun berkelompok
mengakui adanya kuasa di luar kuasa manusia. Dalam menghormati kuasa
tersebut mereka mempunyai cara penyembahan yang berbeda sesuai dengan
kesanggupan memahami makna kuasa tersebut. Motif setiap penghormatan
ditujukan untuk mendapat perlindungan agar terhindar dari bahaya, baik bahaya
alam, penyakit maupun serangan binatang buas. Demikian pula untuk maksud
mendapat restu, baik dalam perkawinan maupun usaha mencari rezeki
dilaksanakan melalui pemujaan. Dalam setiap pelaksanaannya, Injil dan adat
berjalan berdampingan.
Pada mulanya Injil diberitakan ditengah-tengah dunia yang penuh dengan
suku-suku. Dalam pertemuan Injil dan adat tersebut, secara khusus adalah dengan
unsur-unsur adat kebudayaan, yang terdiri dari: sistem Religius dan upacara
keagamaan, sistem dan organisasi masyarakat, sistem bahasa, sistem kesenian,
dsb.
Adat merupakan hal yang sangat penting dalam suatu masyarakat, apalagi
di dalam masyarakat Batak. Sebelum Kekristenan memasuki tanah Batak, adatlah
yang menjadi hukum sekaligus aturan paling tinggi diakui. Adat batak adalah
aturan-aturan tentang beberapa segi kehidupan masyarakat Batak yang tumbuh
dari usaha orang di dalam masyarakat tersebut, sebagai kelompok sosial untuk
mengatur tata tertib tingkah laku anggota masyarakatnya. Jadi di dalamnya
termuat pula peraturan-peraturan hukum yang melingkupi dan mengatur hidup
bersama daripada masyarakat Batak.17
Hanya saja tata-tata adat masyarakat Batak sebelum masuknya Kristen,
mengandung sisi lain yang berhubungan erat dengan bidang lain dari tradisi,
khususnya yang mitis-agamawi dan yang berkaitan dengan pemujaan nenek
moyang. Hal ini sependapat dengan Lothar Schreiner dalam bukunya yang
mendasar Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak. Lothar
Schreiner18
Melalui perjumpaannya dengan Injil, harus dapat membebaskan adat
tersebut dari sifat agamawinya yang berkaitan dengan pemujaan-pemujaan nenek berpendapat, adat sebagai tata tertib yang diciptakan oleh nenek
moyang dan mempunyai dasar agamawi, yakni pemujaan-pemujaan yang biasa
dilakukan oleh nenek moyang (dalam agama suku).
17
R. Van Dijk, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Vorkink-Van Hoeve, Bandung:hlm. 6. 18
moyang, misalnya, penyembahan kepada Debata Mulajadi Nabolon. Apabila
demikian, adat dapat diterima dan tidak bertentangan dengan Injil. Dengan
demikian adat dapat dipraktekkan oleh orang-orang Kristen sebagai tata tertib
sosial yang bebas dari dasar agamawinya. Adat itu tidak dapat memperbaharui
hati.
Dengan bertitik tolak pada pandangan dan pernyataaan tersebut, penulis
berkesimpulan bahwa adat yang memiliki dan membuahkan nilai-nilai positif
dalam tata kehidupan masyarakat Batak dapat atau bahkan perlu tetap
dipertahankan. Persyaratan utama yang harus dipenuhi dalam mempertahankan itu
adalah bahwa adat itu harus dilepaskan dari sifat agamawinya. Supaya hubungan
antara Injil dan dan adat dapat berjalan berdampingan
Pada masa kini, umumnya masyarakat Batak Toba menganut agama
Kristen Protestan dan Katolik. Penyebaran agama Kristen, awalnya dimulai oleh
Pendeta Burton dan Ward dari Gereja Baptis Inggris tahun 1824. Kedua pendeta
ini mencoba memperkenalkan Injil di kawasan Silindung (sekitar Tarutung
sekarang). Kehadiran mereka tidak diterima oleh masyarakat Batak Toba.
Kemudian tahun 1834 Kongsi Zending Boston Amerika Serikat, mengirimkan dua
orang pendeta, yaitu Munson dan Lymann. Kedua misionaris ini dibunuh oleh
penduduk di bawah pimpinan Raja Panggalamei, di Lobupining, sekitar Tarutung,
pada bulan Juli 1834. Tahun 1849, Kongsi Bibel Nederland mengirim ahli bahasa
Dr. H.N. van der Tuuk untuk menyelidiki budaya Batak. Ia menyusun Kamus
Batak-Belanda, dan menyalin sebagian isi Alkitab ke bahasa Batak. Tujuan utama
budaya. Tahun 1859, Jemaat Ermelo Belanda dipimpin oleh Ds. Witeveen
mengirim pendeta muda G. Van Asselt ke Tapanuli Selatan. Ia tinggal di Sipirok
sambil bekerja diperkebunan Belanda. Kemudian disusul oleh para pendeta dari
Rheinische MissionGesellschaft (RMG), pada masa sekarang menjadi Verenigte
Evangelische Mission(VEM), dipimpin Dr. Fabri. Penginjilan sampai saat ini
berjalan lambat. Kemudiantahun 1862 datanglah pendeta RMG, yang kemudian
diterima oleh masyarakat BatakToba, yaitu Dr. Ingwer Ludwig Nommensen. Di
bawah pimpinannya misi penginjilanterjadi dengan pesat. Sampai dekade-dekade
awal abad kedua puluh, sebagian besar etnikBatak Toba telah menganut agama
Kristen Protestan.19
19
Buku Masyarakat Kesenian Indonesia oleh Muhammad Takari dkk Tahun 2008 hlm. 112-113.
Begitulah proses penyebaran agama Kristen di Tanah Batak yang awalnya
dimulai oleh Pendeta Burton dan Ward dari Gereja Baptis Inggris tahun 1824
yang mencoba memperkenalkan Injil di kawasan Silindung (sekitar Tarutung
sekarang) hingga tersebar ke berbagai daerah sekitarnya termasuk di wilayah
Kecamatan Sitiotio dimana merupakan tempat lahir dan besarnya Si Raja Lontung
adalah sebagai berikut. Menurut Buku Statistik Kecamatan Sitiotio 2011,
sebagian besar penduduk di Kecamatan Sitiotio menganut agama Kristen
Protestan yaitu 63,23% dari total penduduk Kecamatan Sitiotio. Sedangkan
sisanya menganut agama Katolik.
Tingkat pendidikan di Desa Sabulan masih tergolong sangat minim dan
memprihatinkan. Karena masih didapati adanya penduduk yang putus sekolah,
masih buta huruf dan melek huruf. Hal tersebut dapat dijelaskan berdasarkan tabel
sebagai berikut.
Tabel-4 Indikator Pendidikan Tahun di Desa Sabulan 2011 (%)
Sumber: Pendataan KPMD/ Tim Perumus RPJM-Desa.
Indikator Pendidikan Jumlah
Laki-laki Perempuan Total
1. Partisipasi Pendidikan
a. Penduduk 10 tahun ke atas Menurut Status pendidikan
1) Tidak/ belum pernah Sekolah 76 60 136
2.1.7 Curah hujan
Kecamatan Sitiotio diguyur hujan sebanyak 144 hari selama tahun 2011
Berikut adalah tabel banyaknya curah hujan dan hari hujan di Kecamatan Sitiotio
menurut bulan.
Tabel-5 Banyaknya Curah Hujan (Ch) dan Hari Hujan (Hh) di Kecamatan Sitiotio
menurut bulan
No. Nama Bulan Curah Hujan (Ch) Hari Hujan (Hh)
1. Januari 179 mm 12
2. Februari 211 mm 9
3. Maret 240 mm 15
4. April 205 mm 13
5. Mei 113 mm 9
6. Juni 73 mm 6
7. July 5 mm 2
8. Agustus 203 mm 15
9. September 114 mm 11
10. Oktober 167 mm 20
11. November 241 mm 17
Sumber: Statistik Kecamatan Sitiotio 2011
2.1.8 Jumlah perusahaan
Selama periode tahun 2008-2011, jumlah perusahaan/ usaha berdasarkan
surat izin usaha perdagangan (SIUP) yang diterbitkan di Kecamatan Sitiotio
menunjukkan perubahan yang signifikan dan sebagian besar peningkatan tersebut
dikarenakan peningkatan jumlah perusahaan/ usaha kecil. Berikut ini adalah tabel
Jumlah perusahaan/ usaha di Kecamatan Sitiotio tahun 2011.
Tabel-6 Jumlah perusahaan/ usaha di Kecamatan Sitiotio
Uraian Tahun
2008 2009 2010 2011
Menurut golongan perusahaan/ usaha besar
- - 1 1
Perusahaan/ Usaha Menengah
1 3 4 4
Perusahaan/ Usaha Kecil - 12 8 8
Koperasi - 3 3 2
Perorangan - 1 1 -
Badan Usaha Lainnya - - - 1
Sumber: Statistik Kecamatan Sitiotio 2011
2.1.9 Hasil-hasil bumi
Masyarakat di tanah Batak umumnya hidup dari hasil pertanian.
Kesuburan tanah dan faktor alam mendukung usaha pertanian di daerah itu
khususnya di Kecamatan Sitiotio. Hasil-hasil Bumi di Kecamatan Sitiotio terdiri
jalar. Dan produktivitas sektor pertaniannya yaitu: kelapa, kopi, coklat, dan
kemiri.
Tabel-7 Statistik Tanaman Pangan Kecamatan Sitiotio
Jenis tanaman Tahun
Sumber: Statistik Kecamatan Sitiotio 2011
Tabel-8 Produktivitas Sektor Pertanian di Kecamatan Sitiotio
Jenis Tanaman Luas lahan (Ha) Produksi (ton)
Kelapa 1, 52 4, 22
Kopi 215, 55 24, 34
Cokelat 18, 7 36, 25
Kemiri 13, 00 171, 80
Sumber: Statistik Kecamatan Sitiotio 2011
2.10 Keadaan Alam
Topografi wilayah Kecamatan Sitiotio adalah daerah pegunungan dan
berada di antara 904 - 2.157 meter di atas permukaan laut. Struktur tanahnya labil
dan berada pada jalur gempa tektonik dan vulkanik.
Tabel-9 Kondisi Topografi Kecamatan Sitiotio
No. Kemiringan Persentase
1. Datar ± 5%
2. Landai ± 7 %
3. Miring ± 20%
4. Terjal ± 68%
Sumber: Kantor camat Desa Sabulan 2015.
2.11 Sarana Kesehatan Umum
Kecamatan Sitiotio masih minim akan sarana kesehatan umum. Berikut
adalah tabel banyaknya sarana kesehatan umum menurut jenis dan desa yang ada
di Kecamatan Sitiotio pada tahun 2011.
Tabel-10 Banyaknya sarana kesehatan umum menurut jenis dan desa di
Kecamatan Sitiotio
No. Desa Puskesmas Puskesmas
Pembantu
2.12 Seni
2.12.1 Seni sastra
Sebelum sastra tertulis ditemukan di tanah Batak, cerita-cerita yang cukup
tinggi nilainya untuk diteladani telah dikenal seperti: cerita tentang binatang,
cerita untuk pelipur lara, cerita tentang kebodohan seseorang (si bisuk na oto)
dalam masyarakat, dan cerita mitos lainnya.
Cerita kepercayaan orang Batak Toba tentang dewa-dewa dilukiskan
dalam mitos, sesuai dengan alam pikiran orang-orang primitif seperti cerita
tentang terjadinya bumi dan segala isinya. Adapun jenis sastra Batak Toba,
seperti:
1. Tonggo-tonggo yaitu semacam doa yang diucapkan oleh datu atau iman
agama Batak.
2. Andung-andung yaitu sejenis sastra berupa curahan perasaan sewaktu
meratapi jenazah orang yang dikasihi. Biasanya menggunakan
ungkapan-ungkapan tertentu yang tidak lazim dalam kehidupan sehari-hari (bahasa
halus).
3. Huling-hulingan atau hutinsa disebut juga teka-teki. Kalau teka-teki itu
memerlukan jawaban berupa cerita dinamakan torhan-torhanan.
4. Turi-turian yaitu semacam sastra yang mengandung arti historis atau
mitologis, seperti cerita dongeng tentang binatang, cerita-cerita leluhur
yang sering dikisahkan berupa mitos, seperti mitos terjadinya manusia
5. Umpama yaitu suatu bentuk penyajian sastra yang bermakna sebagai
teladan kebijaksanaan, hukum-hukum lisan, dialog-dialog resmi dalam
upacara adat.
6. Umpasa yaitu suatu bentuk penyajian sastra yang dari bentuknya agak
sulit dibedakan dengan umpama, tetapi dari isinya, umpasa lebih berkesan
religius, dalam arti lebih menekankan hal-hal yang bersifat rahmat, kurnia,
dan sebagainya.
7. Tudoson yaitu suatu bentuk penyajian sastra yang berupa
perbandingan.Berbagai pemisahan dalam alam dijadikan suatu bandingan
terhadap kehidupan manusia untuk menyatakan perasaan hati atau keadaan
sesuatu.20
Berdasarkan jenis sastra Batak Toba diatas maka sejarah tentang Si Raja
Lontung tergolong ke dalam jenis Turi-turian, karena mengandung arti historis
atau mitologis, yaitu berupa cerita dongeng tentang binatang, dan cerita-cerita
leluhur yang sering dikisahkan dalam bentuk berupa mitos.
2.12.2 Seni musik
Seni musik pada masyarakat Batak Toba dapat digolongkan ke dalam dua
bagian yaitu musik vokal dan musik instrumen.
2.12.2.1 Musik vokal
Budaya musikal masyarakat Batak Toba tercakup dalam dua bahagian
besar, yaitu musik vokal dan musik instrumental. Musik vokal pada masyarakat
Batak Toba disebut dengan ende. Dalam musik vokal tradisional,
20
pengklasifikasiannya ditentukan oleh kegunaan dan tujuan lagu tersebut yang
dapat dilihat berdasarkan liriknya. Hutasoit yang dikutip oleh Ritha Ony membagi
kelompok musik vokal menjadi tiga jenis, yaitu :
1. Endenamarhadohoan, yaitu musik vokal yang diyanyikan untuk
acara-acara namarhadodoan (resmi)
2. Endesiriakon, yaitu musik vokal yang dinyanyikan oleh masyarakat Batak
Toba dalam kegiatan sehari-hari.
3. Endesibaran, yaitu musik vokal yang dinyanyikan dalam kaitannya dengan
berbagai peristiwa kesedihan atau dukacita.
Berdasarkan klasifikasi jenis ende diatas, maka ende tarombo Si Raja
Lontung bukanlah merupakan salah satu jenis ende dalam Batak Toba.
Ende Tarombo merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk mengkaji
tarombo yang disampaikan dengan bentuk gaya nyanyian. Masyarakat
Batak Toba biasanya menyebutnya dengan ende tarombo karena sering
mendengar sehingga mereka menggunakan istilah tersebut.
2.12.2.2 Musik instrumental
Musik instrumental masyarakat Batak Toba terbagi atas dua bagian
berdasarkan bentuk penyajiannya, yakni ada yang lazim digunakan dalam bentuk
ensambel, dan ada yang disajikan dalam bentuk permainan tunggal baik dalam
kaitannya dengan upacara adat, religi/kepercayaan, maupun sebagai hiburan.
Secara umum, pada masyarakat Batak Toba terdapat dua ensambel musik
tradisional, yakni : gondanghasapi dan gondangsabangunan.
1. Hasapi ende (pluckedlute) yaitu sejenis sebuah lute berleher pendek yang
dimainkan dengan cara dipetik dan memiliki dua buah senar. Instrumen ini
sebagai pembawa melodi dan dianggap sebagai instrumen utama dalam
ensambel gondanghasapi.
2. Hasapi doal (pluckedlute) yaitu instrumen ini bentuknya sama saja dengan
hasapiende, bedanya terletak pada peranan musikalnya yakni hasapidoal
berfungsi sebagai pembawa ritem konstan.
3. Sarune etek (shawn) yaitu alat tiup berlidah tunggal (singlereed).
Fungsinya sebagai pembawa melodi. Instrumen ini masuk dalam klasifikasi
aerophone yang memiliki lima lubang nada (empat di atas dan satu di
bawah), Cara memainkan instrumen ini adalah dengan cara
mangombusmarsiulakhosa (meniup secara sirkular tanpa berhenti) atau
disebut juga dengan circularbreathing.
4. Garantung (xylophone), yaitu alat musik pembawa melodi dan bisa juga
sebagai pembawa ritem pada lagu-lagu tertentu. Bentuknya berupa bilahan
kayu dan umumnya memiliki lima buah bilah. Cara memainkannya adalah
dengan cara dipukul menggunakan tongkat atau stik.
5. Hesek, yaitu sejenis alat perkusi yang terbuat dari plat besi atau botol kaca
yang berperan sebagai pembawa tempo atau ketukan dasar.
Gondang hasapi dianggap sebagai bentuk ensambel musik yang kecil.
Penggunaannya terbatas pada ruang yang lebih kecil dan tertutup, dimainkan oleh
praktek pertunjukan gondang hasapi di komunitas parmalim21,saruneetek
kadangkala bisa terdiri dari dua alat yang masing-masing dimainkan oleh satu
orang pemain. Begitu juga dengan jumlah orang yang memainkan hasapiende atau
pun hasapi doal. Dengan kata lain, jumlah pemusik keseluruhan dalam gondang
hasapi yang terdapat pada kelompok parmalim bisa mencapai enam hingga
delapan orang.22
1. Sarune bolon (shawm, oboe), yaitu sejenis alat tiup berlidah ganda (double
reed) yang berperan sebagai pembawa melodi dan dimainkan dengan cara
mangombusmarsiulakhosa. Instrumen ini tergolong kepada kelompok
aerophone.
Sedangkan ensambel gondangsabangunan mempunyai beberapa istilah
yang sering digunakan oleh masyarakat Batak Toba, yakni ogung sabangunan
atau gondang bolon. Komposisi alatnya terdiri dari :
2. Taganing (single headed drum), yaitu seperangkat gendang bernada bermuka
satu yang tersusun atas lima buah gendang, yang berfungsi sebagai pembawa
melodi dan juga pembawa ritem variabel untuk lagu atau repertoar tertentu.
Kelima gendang tersebut dibedakan sesuai dengan namanya masing-masing,
yakni odap-odap, paiduaniodap, painonga, paiduani ting-ting, dan ting-ting.
Instrumen ini tergolong ke dalam kelompok membranophone.
3. Gordang bolon (single headed drum), yakni sebuah gendang-bas bermuka satu
yang ukurannya lebih besar dari taganing, yang berperan sebagai pembawa
21
Sebuah aliran kepercayaan tradisional atau perpaduan antara agama Islam dan Kristen pada masyarakat Batak Toba yang berkembang di Huta Tinggi, Laguboti, Sumatera Utara.
22
ritem konstan dan ritem variabel. Insrumen juga sering disebut sebagai bass
dari ensambel gondang sabangunan. Klasifikasi instrumen ini termasuk kepada
kelompok membranophone.
4. Ogung (gong), yaitu seperangkat gong yang terdiri dari empat buah dengan
ukuran yang berbeda-beda. Keempat buah gong tersebut diberi nama oloan,
ihutan, doal, dan panggora. Masing-masing ogung sudah memiliki ritem
tertentu dan dimainkan terus menerus secara konstan/tidak berubah-ubah.
Instrumen ini tergolong kepada kelompok idiophone.
5. Hesek, yaitu sejenis alat perkusi berupa plat besi, botol, atau benda lainnya
yang dapat menghasilkan bunyi tajam untuk dijadikan sebagai pembawa
tempo. Instrumen ini tergolong kepada idiophone.
6. Odap (double headed drum), yakni sejenis gendang kecil bermuka dua (dua
sisi selaput gendang) yang berperan sebagai pembawa ritem variabel.
Instrumen ini biasanya hanya dimainkan pada lagu atau repertoar tertentu.
Instrumen ini tergolong kepada kelompok membranophone.
Gondangsabangunan pada zaman dahulu digunakan untuk setiap upacara
yang berhubungan dengan adat ataupun religius. Gondang sabangunan berperan
sebagai media untuk menghubungkan manusia dengan penciptanya (secara
vertikal) dan menghubungkan manusia dengan sesama (secara horizontal)23
Ciri khas masyarakat Batak Toba adalah selalu mengikutsertakan marga
nya dibelakang nama diri. Dalam kaitan ini maksudnya marga adalah nama garis .
2.13 Sistem Kemasyarakatan
23
keturunan yang diambil dari Bapak atau bersifat patrilineal. Orang-orang yang
mempunyai satu marga dianggap keturunan satu kakek. Berkaitan dengan hal
tersebut Napitupulu (1964:8) juga menulis bahwa turunan dari sesuatu leluhur
menurut garis Bapak, selagi masih kompak dan berdiam diri di suatu tempat akan
membentuk suatu ikatan bernama marga. Mereka saling mengenal satu sama lain
dan erat bergaul, yang satu memperlakukan yang lain sebagai saudara kandung.
Peranan margapada masyarakat Batak Toba sangat penting. Sedemikian
pentingnya, sehingga dalam kehidupan sehari-hari terutama pada saat perkenalan
terlebih dahulu menyebutkan marga. Dewasa ini tidak ada orang Batak Toba
tanpa marga. Melalui marga orang-orang Batak Toba dapat mengadakan
partuturan (mencari hubungan kekerabatan) yang merupakan salah satu aspek
mendasar dalam dalihan na tolu. Secara etimologis dalihan na tolu selalu
diterjemahkan sebagai tungku nan tiga, yaitu sebuah ungkapan yang menyatakan
kesatuan hubungan kekerabatan pada masyarakat Batak Toba. Secara harfiah
Dalihan na tolu artinya tungku yang terdiri dari tiga buah batu, yang digunakan
untuk memasak. Konsep tersebut diterapkan pada sistem kekerabatan pada
masyarakat Batak Toba yang terdiri dari tiga unsur, yaitu: (1) dongan sabutuha
(teman semarga); (2) hula-hula (keluarga dari pihak istri); (3) boru (keluarga dari
pihak menantu laki-laki).
Menurut Sihombing (1986:103-106) pedoman bersikap dalam ketiga
kelompok kekerabatan itu tergambar dalam konsep yang berupa nasehat seperti
1. Molo naeng ho sangap, manat mardongan tubu, artinya jika kamu ingin
menjadi orang terhormat, hati-hatilah dan cermat dalam bergaul dengan
dongan sabutuha(teman semarga). Dongan sabutuha dipandang oleh
orang Batak sebagai dirinya sendiri dan dalam pergaulan antar mereka
sehari-hari tidak dihiraukan segi basa-basi, sehingga adik acapkali tidak
hormat terhadap abangnya dan demikian juga anak terhadap pak tua dan
pakciknya, hal mana acapkali menimbulkan perasaan kurang senang di
pihak yang merasa dirugikan. Untuk itu perlu diperhatikan lagi bagaimana
kedudukan dongan sabutuha dalam tarombo.
2. Molo naeng ho gabe, somba ma ho marhula-hula, artinya jika ingin
berketurunan banyak hormatilah hula-hula. Hula-hula dipandang oleh
orang Batak sebagai media (penengah) yang sangat berkuasa untuk
mendoakan hagabeon dari Tuhan Yang Maha Esa. Keyakinan ini telah
mendarah daging dalam diri orang Batak berdasarkan pengalaman dan
kenyataan. Itulah hal yang membuat penghormatan tinggi dan menonjol
diberikan kepada Hula-hula.
3. Molo naeng namora,elek ma ho marboru, artinya kalau ingin kaya,
baik-baiklah kepada boru. Menurut Adat Batak boru itu dalam kekeluargaan
berada dibawah kita sehingga boleh kita suruh mengerjakan sesuatu tetapi
tidak boleh bersifat memerintah tetapi harus bersifat membujuk
(Sihombing, 1986:103-106).
2.14 Marga
Menurut cerita tentang asal-usul orang Batak, nenek moyang mereka
adalah Siboru Deak Parujar. Ia adalah seorang putri surga yang dijodohkan oleh
Debata Mulajadi Nabolon kepada Raja Odap-odap yang juga dari surga. Melalui
perkawinan mereka memiliki keturunan yaitu sepasang anak kembar yang diberi
nama Raja Ihat Manisia dan Siboru Ihat Manisia. Kemudian mereka menikah
(marsumbang, incest) dan memiliki tiga orang anak, yaitu Raja Miok-miok,
Patundal na begu, dan Siaji lapas-lapas. Raja Miok-miok memiliki anak yang
bernama Eng Banua. Kedua saudara Raja Miok-miok tidak diketahui kabarnya
oleh orang Batak karena pergi mengembara ke sebuah tempat yang jauh. Eng
Banua mempunyai tiga anak bernama Raja Aceh, Raja Bonang-bonang dan Raja
Jau. Raja Bonang-bonang memiliki seorang anak yang bernama Raja
Tantandebata, dari Tantan Debata lahirlah Si Raja Batak.
Jadi Si Raja Batak adalah nama kolektif sebagaimana disebutkan oleh
Sitor Situmorang: “Si Raja Batak: nama kolektif semua leluhur marga; adat yang
mempribadi, pewaris kolektif tugas pengayoman adat dan kebudayaan dari Tuan
Putri Deak Parujar, Bunda Utama, Si Raja Batak, dan tercantum di setiap silsilah
sebagai manusia pertama.” (Situmorang, 2009:524).
Bagan-1: Silsilah keturunan asal Si Raja Batak
INCEST
MULA JADI NA BOLON
SI BORU DEAK PARUJAR DEWA ODAP-ODAP
Sumber: W.M Hutagalung (1991:31)
Asal-usul manusia Batak berawal dari garis Si Raja Batak. Kemudian
menjadi tarombo atau silsilah. W. M Hutagalung (1991:32) menuliskan keturunan
dari si Raja Batak yaitu sebagai berikut:
Ianggo anak ni ompunta Raja Batak dua do, i ma: Guru Tatea Bulan na margoar huhut si Mangarata dohot Raja Isumbaon.
Artinya: Anak dari leluhur kita Si Raja Batak ada dua yaitu Guru Tatea Bulan yang juga disebut Mangarata dan Raja Isumbaon.
Bagan-2: Anak Si Raja Batak
Kepada kedua anaknya tersebut, Si Raja Batak mewariskan kesaktian atau
keahlian terhadap Guru Tatea Bulan dan Raja Isumbaon. Dimana Guru Tatea
Bulan terkenal dengan maha karyanya yang bernama Pustaha Agung yang
menjadi pedoman adat Batak sampai sekarang. Kitab ini membahas cakupan
SI RAJA BATAK
GURU TATEA BULAN RAJA ISUMBAON
RAJA MIOKMIOK PATUNDAL NI BEGU AJILAMPASLAMPAS
ENG BANUA
RAJA ACEH RAJA BONANG-BONANG RAJA JAU
RAJA TANTANDEBATA
antara lain; Ilmu hadatuon (perdukunan/ pengobatan), habeguon (kesaktian),
parmonsahan (Ilmu bela diri) dohot pangliluon (menghilang). Untuk Raja
Isumbaon diberikan keahlian dalam hal adat Batak. Ajaran Raja Isumbaon
terdapat dalam Kitab Pustaha Tumbaga Holing yaitu mencakup: Harajaon
(pemerintahan), Paruhumon (hukum), Parumaon, Partigatigaon (berdagang) dan
Paningaon (bercocok tanam). Hal ini sesuai dengan yang dituliskan oleh W.M
Hutagalung (1991:33) yaitu:
Ia dung songon i, ditongos Mulajadi nabolon ma dua balunbalun surat Batak. Di balunan parjolo, surat agong; i ma bagian ni Guru Tatea Bulan, jala tarsurat disi: hadatuon, habeguon, parmonsahan dohot pangliluon.
Di balunan paduahon, surat tombaga holing i ma bagian ni Raja Isumbaon tarsurat do disi; harajaon, paruhumon, parumaon, partiga-tigaon dohot paningaon.
Artinya: Setelah itu dikirimkan Tuhan Penciptalah dua buah gulungan surat Batak. Pada gulungan pertama surat agung adalah bagian Guru Tatea Bulan, tertulis disitu: Perdukunan/ Pengobatan, Kesaktian, Ilmu bela diri dan Ilmu menghilang. Pada gulungan kedua surat Tombaga Holing berisi tentang ilmu: Pemerintahan, hukum, bercocok tanam dan dagang.
Dari keturunan merekalah asal muasal semua marga-marga Batak muncul
dan menyebar ke seluruh penjuru. Setelah kedua putra Si Raja Batak tumbuh
dewasa, mereka memiliki keturunannya masing-masing. Namun tidak diketahui
siapakah isteri mereka. Hal tersebut dituliskan oleh W. M Hutagalung (1991:33)
sebagai berikut:
Ndang tangkas binoto manang ise do nioli ni Guru Tateabulan dohot Raja Isumbaon, alai adong do ianakonnasida be. Sian i ma dapot botoon, adong do niolinasida be.
Berikut ini adalah keturunan dari Guru Tatea Bulan dan Raja Isumbaon.
Bagan-3: Keturunan dari Guru Tatea Bulan dan Raja Isumbaon.
Sumber: W.M Hutagalung (1991:34) SI RAJA BATAK
GURU TATEA BULAN
RAJA UTI/BIAKBIAK
SARIBU RAJA
LIMBONG MULANA
SAGALA RAJA
MALAU RAJA
SIBORU PAREME
SIBORU ANTING SABUNGAN
SI BORU BIDING LAUT
NAN TINJO RAJA ISUMBAON
TUAN SORIMANGARAJA
RAJA ASIASI
Untuk lebih jelas tentang keturunan Guru Tatea Bulan, berikut adalah
dokumentasi foto keturunan dari Guru Tatea Bulan. Diambil dari sopo atau rumah
Guru Tatea Bulan yang terdapat di Dusun Arsam Kecamatan Sianjur Mula-mula
Kabupaten Samosir. Di tempat sopo terdapat patung-patung Si Raja Batak beserta
keturunannya. Selain patung keturunan Si Raja Batak juga terdapat patung-patung
penjaga rumah seperti gajah, macan dan kuda. Bentuk Rumah ini pun didesain
dengan ciri khas rumah Batak. Rumah-rumah ini telah diresmikan oleh Dewan
Pengurus Pusat Punguan Pomparan Guru Tatea Bulan tahun 1995.
Gambar-2: Sopo Guru Tatea Bulan Dokumentasi Blessta C. Hutagaol 2015.
Berhubung karena bahasan Penulis adalah tentang sejarah dan asal-usul Si
Raja Lontung, yang mana merupakan cucu dari Guru Tatea Bulan, maka untuk
rinci dan mendalam tentang keturunan Guru Tatea Bulan dari sundut (generasi)
pertama hingga keempat saja sebagai pembatasan masalah.
2.14.2 Sekilas tentang marga Keturunan Guru Tatea Bulan
Keturunan Guru Tatea Bulan menurut tulisan Sangti (1977:14) adalah berikut:
Guru Tatea Bulan memiliki lima orang putera yaitu:
1. Raja Uti/ Biak-biak
Disebut juga Raja Gumelenggeleng karena bentuk tubuhnya yang seperti
gumpalan, tidak bertangan, tidak berkaki dan tidak bisa duduk. Anak sulung dari
Guru Tatea Bulan ini dibalik kekurangannya ternyata memiliki kesaktian untuk
mengubah wujudnya dalam bentuk tujuh rupa wajah. Berikut adalah dokumentasi
dari salah satu patung di Sopo Guru Tatea Bulan di Kecamatan Sianjurmulamula
yaitu patung Raja Uti yang memiliki tujuh rupa wajah.
Gambar-3: Patung Raja Uti Dokumentasi Blessta C. Hutagaol 2015.
2. Saribu Raja dan Siboru Pareme
Saribu raja adalah nama putera kedua dari Guru Tatea Bulan. Dia dan adik
berlainan jenis, satu perempuan dan satunya lagi laki-laki). Saribu raja melakuka n
tindakan incest, marsumbang (perkawinan sedarah) dengan adiknya sendiri yaitu
Siboru Pareme dan melahirkan Si Raja Lontung. Tidak hanya itu, setelah
melakukan tindakan incest, Saribu Raja kemudian menikah lagi dengan Nai
Mangiring Laut dan melahirkan Si Raja Borbor. Kabarnya lagi Saribu Raja dalam
masa berkelananya di tengah hutan, ia bertemu dengan Babiat (Harimau pincang
berkaki tiga) kemudian menikahinya. Ia juga memiliki keturunan darinya yaitu
Babiat. 24
Di tanah Batak Toba, marga Malau adalah satu dari sedikit satuan silsilah
yang agak besar, yang tidak mempunyai daerah inti yang utuh, tempat sebagian
3. Limbong Mulana
Limbong mulana merupakan putera ketiga Guru Tatea Bulan. Limbong
Mulana mendiami daerah Batusalibon dekat Sianjurmulamula. Keturunan
Limbong Mulana disebut bermarga Limbong. Tidak diketahui secara jelas siapa
isterinya. Limbong Mulana memiliki dua orang putera yaitu Paluonggang dan
langgatlimbong.
4. Sagala Raja
Sagala Raja mendiami daerah Siantartongatonga Sagala (masih
berdekatan dengan Sianjurmulamula). Keturunannya bermarga Sagala. Ia
memiliki tiga orang anak yaitu Raja Hutaruar, Raja Manggurgur, Raja
Sungkunon.
5. Malau raja
24
anggotanya tetap hidup bersama. Malau tinggal di sebuah tempat bernama
Limbong, disitu dia berketurunan dan dari situ pula berpencar keturunannya ke
luar daerah yang ditinggali mereka masing-masing. Malau Raja dikabarkan
menikah dua kali. Dari isteri pertamanya dia memiliki seorang putera yang
bernama Tabutabugumbang. Sedangkan dari isteri keduanya dia memiliki
keturunan yaitu Manik, Ambarita dan Gurning.
6. Siboru Anting Sabungan
Setelah Saribu Raja dan Siboru Pareme melakukan tindak sumbang,
mencegah kejadian tersebut terulang kembali maka Guru Tatea Bulan menikahkan
puterinya yaitu Siboru Anting Sabungan dan Siboru Biding Laut dengan Tuan
Sori Mangaraja, putera Raja Isumbaon. Dari pernikahan Tuan Sori Mangaraja
dengan isteri pertamanya yaitu Siboru Anting Sabungan, ia memiliki putera yang
bernama Tuan Sorba Dijulu.25
25
Lihat Sangti (1977:14).
Siboru Anting Sabungan disebut juga Siboru
Anting Malela/ Nai Ambaton
7. Siboru Biding Laut
Siboru Biding Laut merupakan isteri kedua Tuan Sori Mangaraja. Ia
melahirkan putera yang bernama Tuan Sorba Jae (Raja Mangarerak). Siboru
Biding Laut disebut juga Nai Rasaon.
Nan Tinjo tidak memiliki keturunan karena terlahir sebagai waria, sangkar
so baoa (martompahon baoa dohot boruboru).26
Si Raja Lontung merupakan cucu dari Guru Tatea Bulan yang merupakan
hasil dari perkawinan sedarah antara Saribu raja dengan Siboru Pareme. Jadi
setelah Raja Uti meninggalkan kampung Sianjur Mula-Mula
Konon Nan Tinjo mati bunuh
diri. Menurut Mangaraja Salomo, anak ini adalah sangkar so anak lahi, ulu
balang parompuan, suatu istilah halus untuk seorang waria. Pada saat akan
dikawinkan, karena takut rahasianya terbongkar, dia memilih untuk menerjunkan
diri ke dalam danau. Dia memilih untuk bunuh diri dan menjadi hantu penunggu
di Pulau Tao di Simanindo sekarang.
2. 15 Sejarah asal-usul Si Raja Lontung
2.15.1 Pernikahan Saribu Raja dengan Siboru Pareme
27
26
Dikutip dari W. M Hutagalung dalam Bukunya Pustaha Batak, Tarombo dohot turiturian ni Bangso Batak.
27
Lihat W. M Hutagalung (1991:36).
, harapan orang
tuanya kemudian tertumpu pada Saribu Raja. Saribu Raja merupakan putera
kedua dari Guru Tatea bulan yang lahir kembar dampit dengan Siboru Pareme.
Sebagai anak yang terlahir kembar, dapat dimaklumi hubungan keduanya sangat
dekat. Biasanya, untuk menjaga hal-hal yang tidak dikehendaki, anak yang
dilakukan pada keduanya. Mereka tumbuh dan besar secara bersama-sama dan hal
ini menyebabkan hubungan keduanya terjalin dengan begitu akrab.
Dari segi kedigdayaan dan ketampanan, sebenarnya Saribu Raja memiliki
syarat yang mencukupi untuk menggantikan ayahandanya Tatea Bulan. Juga,
ketekunannya mempelajari hadatuon (ilmu perdukunan) menyebabkan Saribu
Raja diyakini akan dapat memimpin adiknya mengembalikan masa kejayaan
nenek moyangnya kelak. Hanya saja, ada sesuatu yang kurang berkenan di hati
orang tuanya, yaitu hubungannya yang terlalu dekat dengan adiknya Siboru
Pareme. Siboru Pareme menggoda abangnya sendiri sehingga apa yang tidak
diharapkan pun terjadi. Menurut Sutan Habiaran28 Siboru Pareme tercium minyak
sinyongnyong (dorma) Saribu Raja, yang menyebabkan dirinya jatuh cinta pada
abangnya. Hal ini mengakibatkan mereka berdua mengadakan hubungan tercela
yaitu perkawinan sedarah (marsumbang, incest) di gubuk ladang milik
keluarganya pada saat Siboru Pareme mengantarkan nasi untuk Saribu Raja.29 Namun menurut Marsius Sitohang, hal itu juga disebabkan karena jumlah
manusia masih terbatas pada saat itu di dunia.30
28
Sutan Habiaran seorang penulis buku dengan judul Kisah Tuan Saribu Raja dan Si Boru Pareme, yang diterbitkan di Medan pada tahun 1994.
29
Lihat W. M Hutagalung (199:36). 30
Hasil Wawancara dengan Marsius Sitohang pada tanggal 16 Februari 2015. Marsius Sitohang adalah seorang dosen praktik Gondang Sabangunan dan Uning-uningan di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
Apapun penyebabnya, hubungan
terlarang itu telah terjadi. Jelaslah bahwa hubungan cinta yang dapat menjurus ke
perbuatan tercela (kawin sumbang) antara dua anak kembar dampit dapat saja
terjadi tanpa minyak sinyongnyong, seperti yang dilansir oleh Sutan Habiaran.
jenis kelamin tersebut. Lama-kelamaan, kedekatan ini berkembang begitu dalam
hingga menghapus rasa malu yang timbul karena melanggar aturan-aturan adat
yang telah digariskan para leluhur. Kejadian seperti ini terjadi antara Saribu Raja
dan Siboru Pareme. Akibat perbuatan tercela tersebut, Siboru Pareme kemudian
berbadan dua. Hal ini menyebabkan orangtua beserta ketiga adik laki-laki Saribu
Raja lainnya yaitu Limbong, Sagala dan Malauraja sangat marah. Bagi pelaku
seperti ini hukumannnya adalah membunuh Saribu Raja dan membuang Siboru
pareme ke hutan belantara (tombak longolongo).31
Gambar: Hutan Belantara (tombak longolongo)
Gambar-4: Tombak longolongo (Hutan Belantara) di Desa Sabulan Dokumentasi Blessta Hutagaol 2015.
31
Akan tetapi, membunuh Saribu Raja bukanlah urusan mudah. Selain
karena mereka masih terikat oleh hubungan darah, kedigdayaan Saribu Raja juga
perlu diperhitungkan. Saribu Raja sadar akan kesalahannya. Melakukan
perlawanan tentu saja bukanlah tindakan yang bijaksana. Satu-satunya jalan ialah
melarikan diri dan menjauh dari amarah saudara-saudaranya. Sebelum melarikan
diri, Saribu Raja membenahi barang-barang pusaka yang menjadi milik
keluarganya yaitu: emas, gong dan cincin.32 Kemudian semuanya dimasukkan kedalam sebuah liang batu yang disebut dengan Batu Hobon.
32
Gambar-5: Batu Hobon
Dokumentasi Blessta C. Hutagaol 2015.
Akibatnya Saribu Raja dan Siboru Pareme mulai ketakutan sehingga
merencanakan sebuah misi untuk keselamatan mereka. Saribu Raja sembunyi ke
dolok Pusuk Buhit yang sekarang bernama Pariksabungan. Disana Saribu Raja
mengajari Siboru pareme agar membawa sekam untuk menjatuhkan sedikit demi
sedikit di jalan tempat pembuangannya agar Saribu Raja dapat menemukan
tempat dimana Siboru Pareme dibuang.33
Jadi berangkatlah saudara-saudaranya mengantarkan Siboru Pareme ke
hutn belantara dengan berjalan kaki. Mereka berangkat pada waktu malam agar
tak seorangpun melihat keberangkatan mereka. Dan juga supaya Siboru Pareme Sebetulnya, hilangnya barang pusaka
Tatea Bulan inilah yang mendorong ketiga bersaudara itu mengucilkan Siboru
Pareme ke hutan belantara. Mereka mengharapkan bahwa suatu saat Saribu Raja
akan datang untuk menjenguknya. Mereka sepakat menangkap Saribu Raja untuk
ditanyakan tentang keberadaan barang-barang pusaka keluarga tersebut. Akan
tetapi, Saribu Raja telah lebih dulu raib bagaikan ditelan bumi. Menghilangnya
Saribu Raja mendorong saudara-saudaranya untuk mengucilkan Siboru Pareme
untuk dibuang ke hutan belantara. Motif pengucilan ini sebenarnya adalah untuk
menangkap Saribu Raja. Tidak sedikit pun terlintas dalam benak mereka untuk
membuang Siboru Pareme karena bagaimanapun Siboru Pareme adalah saudara
mereka juga. Itulah sebabnya mengapa Siboru Pareme hanya dimodali sedikit
makanan dan sebilah pisau kecil. Juga, sebuah gubuk telah didirikan sebelumnya
sebagai tempat tinggalnya.
33
tidak mengetahui jalan untuk pulang kembali ke kampungnya. Namun ternyata
Siboru Pareme melakukan rencana yang telah diajarkan Saribu Raja kepadanya.
Yaitu menjatuhkan beberapa sekam (sobuon) sedikit demi sedikit dalam
perjalanannya menuju hutan belantara supaya Saribu Raja dapat menemukan
tempat pembuangan Siboru Pareme tersebut.
Setelah sampai di hutan belantara, saudara-saudaranya menempatkan
Siboru Pareme pada sebuah gubuk tempat peristirahatan Siboru Pareme nantinya.
Setelah itu saudara-saudaranya pun meninggalkan Siboru Pareme disitu. Dalam
perjalanan pulang, saudara-saudaranya bersumpah (marbulan) disitu. Bahwa
mereka tidak akan memberitahu kepada siapapun dimana tempat Siboru pareme
dibuang. Bulanlah yang menjadi saksi dalam sumpah mereka pada saat itu. Itulah
alasannya sehingga tempat itu disebut dengan Sabulan.34
Gambar-6: Desa Sabulan
Dokumentasi Blessta C. Hutagaol 2015.
Dari kisah inilah lahir
pemeo: Dengke ni Sabulan, tu tonggi na, tu tabo na; si ose padan tu ripur na, tu
mago na. Artinya, orang yang mengingkari janji akan hancur-lebur.
Sebulan kemudian datanglah Saribu Raja ke hutan belantara tempat
pembuangan dengan mengikuti sekam yang dijatuhkan oleh Siboru Pareme dalam
34
keadaan menangis tersedu-sedu karena persediaan makanan mereka telah habis.
Sehingga mereka memutuskan untuk pindah dari tempat tersebut dan mendirikan
sebuah gubuk di tempat mereka yang baru. Namun dalam perjalanan, mereka
bertemu dengan Harimau (babiat sitelpang) yang meminta bantuan kepada
mereka untuk mengeluarkan sebuah tulang yang tersangkut di kerongkongannya.
Sehingga membuat hubungan mereka dengan harimau tersebut menjadi akrab dan
sangat baik terhadap mereka. Bukti balas budi harimu tersebut adalah dengan
membawa daging hasil buruannya untuk menjadi persediaan makanan Saribu raja
dan Siboru Pareme selama di hutan itu. Diantara Saribu Raja dan harimau tersebut
disepakatilah sebuah janji. Mereka bersumpah (sabulan) untuk tidak saling
menyakiti antara keturunan Saribu Raja dengan harimau tersebut.35
Setelah sebulan kemudian lahirlah anak Siboru Pareme yang diberi nama
Si Raja Lontung di sebuah tempat yang bernama Banua Raja.
2. 15. 2 Lahirnya Si Raja Lontung dengan Si Raja Borbor
36
Gambar-7: Banuaraja
Dokumentasi Blessta Hutagaol 2015.
Keterangan: Banua Raja terdapat di balik gunung tersebut.
Harimau itu juga turut serta dalam membantu Siboru Pareme dalam
membesarkan anak tersebut. Di hutan belantara itulah, dari kecil hingga dewasa,
Si Raja Lontung dibesarkan alam, dilatih menaklukkan hutan oleh Ibundanya
Siboru Pareme dan Harimau itulah yang menjadi sahabatnya. Saribu Raja
35
Lihat W. M Hutagalung (1991:39). 36
memiliki sifat yang suka mengembara dan tak ingin hanya berdiam lama-lama
pada satu tempat. Melihat keadaan itu Saribu Raja yakin untuk meninggalkan
Siboru Pareme bersama harimau tersebut untuk membesarkan anaknya yaitu Si
Raja Lontung. Sebelum pergi, Saribu Raja juga sempat memberikan sebuah cincin
kepada Siboru Pareme agar diberikan kelak setelah Si Raja Lontung tumbuh
dewasa.37
Saribu Raja pergi mengembara ke sebuah tempat yang dikelilingi oleh
hutan belantara. Disana dia bertemu dengan Nai Mangiring laut yang kemudian
dijadikannya sebagai isterinya. Saribu Raja dan Nai Mangiring Laut memiliki
keturunan yaitu seorang anak yang bernama Raja Borbor.
Menurut W.M Hutagalung (1991:44) anak Saribu Raja ada tiga orang.
Yang ketiga lahir dari Babiat (Harimau). Namun tidak dijelaskan ibunya dari
mana. Seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini:
Mangihuthon baritana adong do tolu anak ni Saribu Raja. Ia na patoluhon digoari do tubu ni Babiat.
Artinya: Berdasarkan cerita ada tiga orang anak Saribu Raja. Yang ketiga tersebut lahir dari Babiat (Harimau)
Bagan-4: Isteri dan Anak Saribu Raja
Sumber: W.M Hutagalung (1991:44)
37
Lihat W. M Hutagalung (1991:39)
SARIBU RAJA
INA I (SIBORU PAREME) RAJA LONTUNG
INA II (NAI MANGIRING LAUT) RAJA BORBOR
2. 15. 3 Pernikahan Si Raja Lontung dengan Siboru Pareme
Si Raja Lontung menjalani kehidupan yang bahagia bersama ibunya yaitu
Siboru Pareme. Setelah dewasa, Si Raja Lontung ingin mencari pasangan hidup.
Dia ingin mencari paribannya, putri dari Pamannya (putri dari Saudara laki-laki
ibunya), untuk dijadikan istri, atau parsinonduk bolon. Siboru Pareme takut
menunjukkan keberadaan dari keluarga yang sebenarnya yang pernah diusir oleh
Ibotonya (saudaranya). Akhirnya Siboru Pareme mencari akal, dia menyuruh
anaknya Si Raja Lottung ke sebuah permandian, yang sekarang dikenal dengan
Aek sipitu dai (tujuh rasa), (dulu tempat pemandian boru pareme).
Gambar -8: Aek Sipitu Dai Dokumentasi Blessta C. Hutagaol 2015
Siboru Pareme memberi arahan pada anaknya: “Anakku, pergilah ke
seperti ibumu ini, tegurlah dia, sampaikanlah pesanku ini lalu pasangkanlah cincin
ini ke jarinya (sambil memberikan cincinnya). Bila cincin ini cocok di jarinya,
itulah paribanmu atau anak dari pamanmu, lalu ajak dan bawa lah dia ke sini”.
Begitulah pesan dari Siboru Pareme.38
Maka berangkatlah Si Raja Lontung menuju ke Aek Sipitudai tersebut.
Namun tanpa sepengetahuan Si Raja Lontung, ibunya pun langsung pergi
mendahului Si Raja Lotung ke Aek Sipitudai dengan melintasi jalan lain. Dengan
waktu yang sudah diatur, sampailah ibunya terlebih dahulu ke Aek Sipitudai
tersebut dan mandi sembil menunggu datangnya Si Raja Lontung yang kini sudah
menjadi pria dewasa. Sampai di pancuran Aek Sipitudai, Si Raja Lontung sontak
heran melihat gadis persis seperti ibunya. Si Raja Lontung mendekati perempuan
yang sedang mandi itu. Ditemuinyalah perempuan tersebut dan ditegurnya, seperti
pesan ibunya Siborupareme, Perempuan yang sedang mandi itu (tidak lain adalah
ibu kandung si Raja Lottung sendiri), Siboru Pareme memang terlihat cantik dan
tidak terlihat seperti ibu-ibu pada saat mereka berjumpa disitu. Dia melakukan
semua yang disampaikan oleh ibunya sebelumnya dan semuanya cocok dengan
yang diisyaratkan oleh ibunya sebelumnya. Lalu, dipasangkanlah cincin yang
dibawanya pada tangan perempuan itu. Perempuan itu lantas dibawa oleh Si Raja
Lontung dan dijadikannya menjadi istri.39
Kalau pun akhirnya Siboru Pareme mengambil keputusan yang bertolak
belakang dengan adat-kebiasaan manusia dengan menikahi anaknya sendiri, hal
38
Berdasarkan tulisan dalam Muara Nauli blog
yaitu Diakses tanggal 29 April 2015.
39
itu merupakan pemikiran yang dilatarbelakangi oleh keadaan mereka pada saat itu
yang amat sulit yaitu diasingkan oleh saudara-saudaranya di sebuah hutan
belantara karena melakukan tindak sumbang hingga mengandung Si Raja
Lontung. Pertimbangannya ialah karena anak tunggalnya tersebut telah dipelihara
dengan taruhan nyawa. Siboru Pareme tak ingin anaknya itu dibiarkan dalam
kesendirian hingga mate punu (mati tanpa keturunan) Siboru Pareme mengadu
kepada Mulajadi Nabolon. Dia bertekad bahwa dirinya tidak akan membiarkan
anaknya hidup sebatang kara dan mati tanpa meninggalkan keturunan, sekalipun
untuk itu harus dia bayar dengan harga yang sangat mahal. Jalan pemikiran inilah
yang mendorong Siboru Pareme untuk memperdaya anaknya dengan
menyuruhnya pergi untuk menemui pariban-nya.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Sekretaris Desa yaitu Bapak Rajo
Sinaga40
40
Salah satu aparat desa di Desa Sabulan.
, setelah berumahtangga dengan Si Raja Lontung, akhirnya Siboru
Pareme pun mengungkapkan rahasia yang selama ini disimpannya. Bahwa yang
dinikahi oleh Si Raja Lontung adalah ibu kandungnya sendiri yaitu Siboru
Pareme. Sehingga merekapun bersumpah (marsabulan) untuk tidak mengungkit
lagi rahasia tentang Si Raja Lontung yang mendapat pesan ibunya untuk menikahi
paribannya namun ternyata jadi menikahi ibu kandungnya sendiri yaitu Si Boru
Pareme. Tempat mereka ketika melakukan sumpah itu adalah tepatnya dihadapan
sebuah batu di Desa Sabulan Kecamatan Sititotio Kabupaten Samosir yang kini
disebut sebagai Batu Parpadanan (Perjanjian) Siboru Pareme dengan Si Raja
Gambar-9: Batu Parpadanan Siboru Pareme dengan Si Raja Lontung. Dokumentasi Blessta C. Hutagaol 2015.
Begitulah silsilah Siboru Pareme yang telah menikah dengan saudaranya
sendiri (ibotonya) dan selanjutnya dengan terpaksa harus dinikahi oleh anaknya
sendiri Si Raja Lottung.
2. 15.4 Keturunan Si Raja Lontung
Hasil dari perkawinan mereka lahirlah anak-anak dari Si Raja Lottung
yang dikenal dengan “Lontung Si Sia Sada Ina”. Lontung Si Sia Sada Ina,
memiliki pengertian yang sangat mendalam, yaitu sembilan (sia) orang bersaudara
yang memiliki satu ibu (marinahon) bernama Si Boru Pareme. Kesembilan orang
yang dimaksud adalah: terdiri dari delapan orang (7 putra dan 1 putri = 8 orang)
anak dari Siboru Pareme dari suaminya Si Raja Lontung, ditambah Si Raja
Lontung itu sendiri yang juga anaknya dari suaminya Saribu Raja (ibotonya),
Ketujuh putra dari Si Raja Lottung tersebut adalah: Sinaga, Situmorang,
Pandiangan, Nainggolan, Simatupang, Aritonang dan Siregar.
Putri dari Si Raja Lottung, pernah kawin 2 (dua) kali, yang pertama
dengan marga Sihombing dan disebut dengan Si Boru Anak Pandan, dan
kemudian kawin lagi dengan marga Simamora karena suami pertamanya
meninggal dunia, dan disebutlah dia dengan nama atau gelar baru yaitu Si Boru
Panggabean (dia gabe atau terberkati setelah menikah lagi).41
1. Sinaga
Demikian juga tertulis dalam buku Peraturan Kepala Desa Sabulan Nomor
01 Tahun 2012 tentang Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKP-Desa) Desa
Sabulan 2012 pada bab II bagian sejarah desa. Putri Si Raja Lontung dijelaskan
seperti berikut ini:
Desa Sabulan adalah desa yang sangat bersejarah bagi seluruh orang Batak secara khusus bagi keturunan (pomparan) Op. Siboru Pareme dan Op. Siraja Lontung yaitu: 7 orang putera dan 1 putri. Keturunannya terdiri dari:
Jadi keturunan dari Si Raja Lontung dapat dijelaskan menurut tabel
dibawah ini.
41
Bagan-5: Keturunan Si Raja Lontung
Sumber: W. M. Hutagalung (1991:63)
2. 15. 5 Sekilas tentang marga keturunan Lontung
Ketujuh putra dari Si Raja Lottung tersebut adalah: Sinaga, Situmorang,
Pandiangan, Nainggolan, Simatupang, Aritonang dan Siregar dan seorang
Puterinya yang bernama Siboru Anak Pandan dan setelah menikah kedua kalinya
namanya menjadi Siboru Panggabean.
1. Toga Sinaga.Sampai sekarang masih ada perbedaan pendapat tentang
anak tertua Si Raja Lontung, apakah Toga Sinaga atau Tuan Situmorang.
Sebagian orang mengatakan bahwa Toga Sinagalah yang tertua, tetapi
Tuan Situmorang lebih dahulu menikah, sedangkan Toga Sinaga belum
juga. Karena belum mendapat wanita untuk isterinya, Sinaga berkata
kepada Situmorang supaya dijodohkan (dipadomu-domu) dengan adik LONTUNG
TUAN SITUMORANG
TOGA SINAGA
TOGA PANDIANGAN
TOGA NAINGGOLAN
SIMATUPANG
ARITONANG
SIREGAR
isterinya. Situmorang menyetujui permintaan Sinaga namun dengan syarat
Sinaga harus memanggil abang kepada Situmorang. Jadilah Sinaga kawin
dengan adik isteri (adik ipar) Situmorang, dan oleh karena itulah antara
Sinaga dan Situmorang saling memanggil abang pada acara-acara
tertentu.42
Sinaga memiliki tiga orang anak yaitu Ompu (sapaan untuk
leluhur) Raja Bonar, Ompu Ratus dan Sagiulubalang. Ompu Raja Bonar
mempunyai tiga orang anak, salh satunya bernama Raja Pande,
Selanjutnya, Raja Pande mempunyai anak yang bernama Palti Raja. Kerap
kali Toga Sinaga disebut juga dengan Ompu Palti Raja. Dari Sinaga lahir
marga-marga cabang yaitu Simanjorang, Simandalahi dan Barutu.
2. Tuan Situmorang.Tuan Situmorang keturunannya bermarga Situmorang.
Tuan Situmorang adalah anak yang pintar, cerdas, pemberani, disayangi
ayahandanya Si Raja Lontung karena kelahiran Situmorang memberi
pencerahan bagi kehidupan di keluarga Si Raja Lontung pada saat itu. Atas
dasar itulah maka Si Raja Lontung memberi nama anaknya Tumorang
artinya terang (Ompu Tuan Situmorang). Ia memiliki dua orang anak yang
bernama Panopa Raja dan Ompu Pangaribuan. Dari keturunan Situmorang
lahir marga-marga cabang Lumbanpande, Lumban Nahor, Suhutnihuta,
Siringoringo, Sitohang, Rumapea, Padang, dan Solin.
3. Toga Pandiangan.Toga Pandiangan merupakan anak ketiga dari Si Raja
Lontung. Sesuai dengan tulisan W.M Hutagalung (1991:86) Pandiangan
42
bermukim di kampung Pandiangan, Palipi, Pulau Samosir. Anaknya hanya
satu yaitu bernama Guru Mombangpilian atau disebut juga Datu Ronggur.
Dari keturunan Pandiangan lahir marga-marga cabang yaitu Samosir,
Gultom, Pakpahan, Sidari, Sitinjak dan Harianja.
4. Toga Nainggolan.Anak dari Toga Nainggolan ada dua yaitu Rumahombar
dan Si Batu. Tempat pemukimannya di Nainggolan Pulau samosir.43
5. Simatupang.Simatupang memiliki tiga orang anak yaitu bernama
Togatorop, Sianturi dan Siburian. Mereka bermukim di Pulau Sibandang.
6. Aritonang.Aritonang memiliki tiga orang anak yang bernama Ompu
Sunggu, Raja Gukguk dan Simaremare.
7. Siregar. Mulanya Siregar bertempat tinggal di Aeknalas, Sigaol.
Kemudian berpencar dan bermukim di Muara. Ditempat ini dia memiliki
keturnan yaitu empat orang anak yang bernama Silo, Dongoran, Silali, dan
Siagian.
8. Siboru Anak Pandan. Putri satu-satunya Si Raja Lontung ini pertama kali
menikah dengan marga Sihombing. Namun Sihombing meninggal dunia.
Sehingga Siboru Anak Pandan melakukan pernikahan kedua kalinya
dengan marga Simamora. Sehingga mulai sejak itu namanya pun berubah
menjadi Siboru Panggabean. Artinya dia gabe (mendapat berkat) setelah
menikah lagi. Sihombing dan Simamora dilahirkan dari Toga Sumba atau
dari keturunan Raja Isumbaon.44
43
Lihat W.M hutagalung (1991:99). 44
2.15.6 Tempat pemukiman marga keturunan Lontung:
Setiap kelompok suku memiliki wilayahnya sendiri. Mereka memandang
kelompok suku yang mendiami wilayah yang ada di sekitarnya, dalam batas
tertentu, sebagai kelompok suku asing (Vergouwen 1991:XXIV)
Hal ini sependapat dengan Nainggolan (2012:61) orang Batak memiliki
kelompok-kelompok marga yang semuanya itu berasal dari Si Raja Batak. Setiap
marga mempunyai daerah sendiri sebagai tanah asal mereka masing-masing.
Semua itu dapat dimengerti sebab masyarakat Batak Toba adalah masyarakat
agraris. Mereka membutuhkan tanah untuk menjamin kelangsungan hidupnya.
Keterbatasan tanah yang diolah untuk lahan pertanian memaksa mereka
bermigrasi karena ketidakpuasan terhadap marga atau karena ambisi dari anggota
marga untuk mendirikan marga baru dan mencari tanah.
Sehubungan dengan judul penelitian yaitu tentang Si Raja Lontung, maka
Menurut W. M Hutagalung (1991: 64) kampung yang dibuka oleh Si Raja
Lontung bernama Banua Raja dekat bukit Sabulan. Kemudian keturunannya
menyebar dan bertempat tinggal diluar Sabulan. Vergouwen (1986:9)
menjelaskan bahwa suatu ketika terjadilah Air Bah yang dahsyat sehingga
menyebabkan keturunan Si Raja Lontung terlempar dari Sabulan dan hampir
memusnahkan seluruh daerah, dan mereka pindah lalu bermukim di Urat (di
Samosir), di seberang Sabulan. Dari Urat, yang kemudian dianggap menjadi
tempat penyebaran (parserahan), sebagian dari keturunannya menyebar
(marserak) ke Samosir Selatan dan ke bagian-bagian lain daerah pantai bagian
Kelompok pertama, yang pergi ke selatan Samosir, terdiri dari keturunan
keempat anak tertua, Situmorang, Toga Sinaga, Toga Pandiangan, dan Toga
Nainggolan. Pada tahap pertama mereka pergi ke Samosir Utara, namun mereka
diusir dari sana oleh marga Simbolon dan Sitanggang ke suatu garis khayali yang
ditarik dari sebuah anak sungai di sebelah barat pantai, sampai ke suatu batu
bundar besar di suatu tanjung di pantai timur ke arah selatan daerah Tomok.
Perbatasan ini ditetapkan ketika diadakan perdamaian antara yang mengusir dan
yang diusir. Sampai sekarang, garis ini masih disetujui sebagai perbatasan antara
daerah-daerah Lontung dan Sumba di pulau itu.
Dengan berjalannya waktu, keempat marga induk Situmorang, Sinaga,
Pandiangan, dan Nainggolan, berkembang menjadi 30 marga yang kesemuanya
berada di Samosir Selatan. Penyebaran mereka di bagian pulau ini, termasuk di
daerah-daerah daratan pulau Sumatra, Sabulan dan daerah Janji Raja, yang
berbatasan dengannya, pada mulanya dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil
dari beberapa marga yang menjadi ranting dari keempat marga induk, dan
sambung-menyambung di suatu wilayah, dimana masing-masing kelompok
biasanya membentuk wilayah-wilayah (desa) kecil. Beberapa wilayah kecil
lainnya, Nainggolan, Samosir dan Gultom boleh dikatakan hanya didiami oleh
marga-marga dengan nama yang sama, bersama marga yang menumpang dari
kelompok suku lainnya.
Diluar pulau, penyebaran Situmorang bisa ditemukan di daerah kecil yang
bernama Lintong, yang terletak di dataran tinggi Humbang, di sekeliling
yang diturunkan oleh Toga Samosir, sebagian pergi ke Habinsaran Selatan,
kemudian ke Pahae Timur, tempat di mana bisa ditemukan daerah kecil
Nainggolan yang didiami oleh satu marga dengan nama yang sama. Ketiga cabang
Sinaga berkuasa di daerah Swapraja Tanah Jawa (Pantai Timur Sumatra) tempat
marga itu terpecah-pecah dan memisah ke daerah-daerah kecil.
Ketiga anak Si Raja Lontung yang lebih muda tidak ada yang menetap di
Samosir, mereka juga tidak meninggalkan keturunan. Simatupang dan Aritonang
menyeberang lewat pulau kecil yang yang bernama Pulo, dan menguasai
daerah-daerah dengan nama yang sama ke arah timur Muara. Siregar pergi dari Urat,
mula-mula ke Sigaol, tempat menetap sebuah sempalan kecil dan menduduki
daerah yang bernama Siregar, dan kemudian ke Muara. Beberapa bagian dari
Simatupang dan Aritonang naik ke dataran tinggi Humbang dan mendiami Huta
Ginjang dan Paranginan yang terletak di pinggirannya. Mereka tidak menyebar
lebih jauh kecuali sebagai marga penumpang yang diterima oleh
kelompok-kelompok kecil suku lainnya.
Namun sebagian dari keturunan Siregar mula-mula pergi ke Humbang,
disini masih terdapat Lobu (tempat pemukiman marga sebelumnya) Siregar yang
sudah ditinggalkan (di daerah Pohan), yang mengingatkan orang bahwa mereka
itu pernah melewatinya. Perjalanan kemudian dilanjutkan ke kampung
Sibatangkayu yang kini sudah lenyap (di Habinsaran Selatan, atau arah Selatan
Sipahutar), dan dari sana ke Sipirok. Disana mereka menduduki daerah luas dari
kuria Sipirok, kuria Parau Sorat, dan kuria Baringin yang didirikan oleh tiga