• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Sistem Uang Kuliah Tunggal Terhadap Partisipasi Berorganisasi Mahasiswa (Studi Kasus Mahasiswa Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Sistem Uang Kuliah Tunggal Terhadap Partisipasi Berorganisasi Mahasiswa (Studi Kasus Mahasiswa Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara)"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pendidikan sejatinya adalah pembentukan karakter, sifat dan

pemaksimalan kapasitas intelektual manusia. Bowls dan Gintis dalam Sanderson

(2000: 493) mengungkapkan tujuan pendidikan yang tepat adalah meningkatkan

penyelidikan intelektual yang terbuka, kreatifitas, dan pertumbuhan manusia yang

positif. Jenis sistem pendidikan yang benar ialah sistem yang menjurus pada

kepuasan pribadi dan pemenuhan intelektual dan emosional. Namun pendidikan

justru telah digunakan oleh kaum kapitalis untuk dua tujuan utama: untuk

membenarkan ketidaksamaan kelas dan untuk mendisiplinkan angkatan kerja

dengan memasukkan kepada siswa-siswa itu bentuk-bentuk kesadaran kerja yang

tepat.

Dunia pendidikan terkait dengan sistem yang dibangun oleh

institusi-institusi pendidikan berkaitan dengan dominasi dunia kapitalis yang berbasis

ideologi liberalisme. Pengalihan fungsi pendidikan dari tujuan memanusiakan

manusia menjadi lahan untuk mencari keuntungan bagi para pemilik modal sangat

jauh dari harapan dan tujuan mulia pendidikan tersebut. Jauh lebih dalam lagi

dunia pendidikan berbasis ideologi liberalisme ini, secara afeksi mempengaruhi

budaya masyarakat yang menegaskan ketidaksamaan kelas.

Dunia pendidikan adalah salah satu media pembentukan kultur

masyarakat, di mana menurut Kelner dalam Ritzer dan Goodman (2004:181)

(2)

ideologis para pemilik modal berlomba-lomba untuk menguasai dunia pendidikan

baik dalam hal birokrasi maupun penanaman nilai-nilai dan budaya. Dalam dunia

pendidikan para pelajar tidak lagi mengenal identitas dan karakter yang baik

dalam kehidupan, baik secara umum maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Pendidikan yang mahal mengarahkan para pelajar menjadi orang yang tidak

peduli dengan kondisi sosialnya, menjadi lebih apatis, individualis dan hedonis.

Mereka tidak lagi memiliki nalar yang dibangun untuk menjadi manusia

intelektual yang kritis terhadap kondisi sosial.

Hal ini sangat jauh dari harapan dan tujuan ideal yang digambarkan oleh

beberapa tokoh sosiologi yang mengaji permasalahan pendidikan. Dalam

beberapa konteks, pendidikan tidak lagi dianggap sebagai media untuk mencari

sebuah kebenaran, melainkan bertujuan untuk mencari kekuatan. Pendidikan

seperti dikatakan Sargent dalam Dewifitriatulchairiyah.blogspot.com (2013)

merupakan instrument untuk mengatasi kesenjangan, mencapai derajat kesetaraan

yang tinggi dan mencapai tingkat kesejahteraan yang baik bagi siapa saja.

Pembelajar memiliki semangat dan motivasi mengejar inspirasi menuju kemajuan

dan usaha menjadi manusia yang terbaik. Pendidikan seperti dikatakan oleh

Schofield dalam Dewifitriatulchairiyah.blogspot.com (2013) memposisikan diri

sebagai tempat bagi mereka untuk mengembangkan diri berdasar keunikan potensi

dan kepentinganya masing-masing.

Chirzin dalam Batubara (2004:110) mengemukakan bahwa “proses globalisasi dengan percepatan menggelindingnya liberalisasi ekonomi dan sistem

perdagangan bebas secara global, menghadapkan dunia pendidikan pada

(3)

menjadi sebuah kampung kecil yang memudahkan setiap warga dunia untuk

berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Situasi yang demikian

mengakibatkan terbukanya ide atau gagasan dari satu tempat ke tempat lain

sehingga sulit disensor jika bertentangan dengan nilai-nilai budaya penerima ide

atau gagasan tersebut.

Gambaran pendidikan pada era globalisasi ini secara langsung ataupun

tidak terus mengarahkan pada perubahan nilai dan norma di berbagai belahan

dunia lainnya. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan yang mudah diakses di

mana saja, dunia pendidikan kini telah menyingkirkan nilai-nilai dan budaya yang

menjaga norma yang berlaku dalam masyarakat. Menurut Tilaar dalam Batubara

(2004:111) sistem pendidikan harus memperhatikan nilai-nilai budaya, karena

budaya yang ada akan mendorong terjadinya pembudayaan dalam proses

pendidikan yang diselenggarakan tersebut.

Menghilangnya penanaman budaya dalam sistem pendidikan sama halnya

dengan menghilangkan karakter suatu bangsa, di mana anak-anak bangsa tidak

lagi mengenal kepribadian bangsanya, dan tidak lagi memiliki penyaring terhadap

hal-hal baru yang bertentangan dengan karakter bangsa tersebut. Pada masa

sekarang ini banyak media yang menggambarkan bagai mana budaya yang

sejatinya tidak pantas untuk ditiru oleh para pelajar. Hal itu terus digandrungi oleh

para pelajar pada era globalisasi ini.

Ericson dalam Muslich (2011:35) mengungkapkan bahwa karakter bangsa

merupakan aspek penting dari kualitas SDM karena kualitas karakter bangsa

menentukan kemajuan suatu bangsa. Karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan

(4)

seseorang. Menurut Freud dalam Muslich (2011:35) kegagalan penanaman

kepribadian yang baik di usia dini ini akan membentuk pribadi yang bermasalah

di masa dewasanya kelak. Kesuksesan orang tua membimbing anaknya dalam

mengatasi konflik kepribadian di usia dini sangat menentukan kesuksesan anak

dalam kehidupan sosial di masa dewasanya kelak.

Maka dalam hal ini pendidikan yang menegaskan karakter yang

ditanamkan di lembaga-lembaga pendidikan sangat penting untuk diterapkan.

Mengingat kondisi masyarakat yang semakin menuju kearah liberalisasi, baik dari

segi budaya maupun ilmu pengetahuan, pendidikan karakter sangat penting untuk

menanamkan nilai afeksi sebagai fondasi setiap anak bangsa dalam berpikir dan

berprilaku dalam masyarakat.

Pendidikan sendiri adalah hak dasar bagi setiap warga negara Indonesia.

Sangat jelas tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 yang

menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Hal ini

diwujudkan dengan berdirinya 144.228 Sekolah Dasar (SD), 28.777 Sekolah

Menengah Pertama (SMP), 10.765 Sekolah Menengah Atas (SMA), 7.592

Sekolah Menengah Kejuruan dan 1.686 Sekolah Luar Biasa (SLB) yang tersebar

di seluruh Indonesia baik sekolah swasta maupun negeri.

(mustafatope.wordpress.com/2011/01/09/jumlah-sekolah-di-indonesia/)

Sedangkan jumlah Perguruan Tinggi yang tersebar di seluruh indonesia,

baik Pergutuan Tinggi Swasta (PTS) maupun Perguruan Tinggi Negeri (PTN)

adalah sejumlah 3.151. Di mana sebanyak 3.068 atau 97% merupakan PTS,

sedangkan PTN hanya berjumlah 83 atau 3% (kuliahmurahjakarta.blogspot.com/

(5)

Namun di lain pihak pada kondisi gobalisasi yang seharusnya akses untuk

mendapatkan pendidikan lebih mudah, justru bertolak belakang dengan kondisi

yang ada. Selain berpengaruh terhadap sistem pendidikan yang cenderung

berbudaya liberal, globalisasi sendiri ternyata telah gagal dalam memberi

kemudahan dalam akses pendidikan bagi bangsa Indonesia. Laporan tahunan

UNICEF pada tahun 2012 mencatat sekitar 2,3 juta anak usia 7-15 tahun yang

tidak bersekolah. (www.Unicef.org/indonesia/id/UNICEF_Annual_Report_

(Ind)130731.pdf). Hal ini sangat bertentangan dengan amanat Undang-Undang

Dasar yang menjamin pendidikan yang harusnya dapat diakses oleh setiap elemen

masyarakat.

Kegagalan globalisasi dengan dampak sistem pendidikan yang menularkan

budaya liberalnya ternyata tidak menjadi jawaban atas ketertinggalan Indonesia

dalam pemenuhan kebutuhan dasar berupa pendidikan. Maka perlu ada sebuah

formulasi di mana sistem pendidikan yang dibangun memiliki penyaring atas

semua akses pendidikan yang masuk melalui berbagai media, untuk menjaga

nilai-nilai, norma dan budaya yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai pancasila

dan nilai-nilai lain yang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia.

Di Indonesia sendiri sangat banyak model yang mewarnai dunia

pendidikan. Mulai dari bantuk pendidikan umum hingga model pendidikan

berbasis agama. Keberagaman ini juga yang membuat karakter siswa di berbagai

sekolah menjadi beragam. Peneliti sendiri merasa tertarik untuk melakukan

penelitian terhadap salah satu model pendidikan tersebut. Menurut peneliti

pendidikan tingkat menengah atas (SMA) atau sederajat adalah tingkat teratas

(6)

pendidikan di perguruan tinggi. Pembentukan afeksi sangat penting bagi seorang

individu untuk membentuk karakter seorang siswa sebelum manuju tingkat

pendidikan di perguruan tinggi yang cenderung lebih luas dalam hal cara berpikir

dan bersikap.

Peneliti memilih lembaga pendidikan Muhammadiyah sebagai objek

penelitian. Lembaga pendidikan Muhammadiyah sendiri memiliki karakter khusus

yang diterapkan dalam kurikulum pendidikan tingkat dasar dan menengah. Sesuai

dengan pasal 33 ayat 2 Qa’idah Pendidikan Dasar dan Menengah

Muhammadiyah, yaitu Pada Pendidikan Dasar dan Menengah, Pendidikan Khusus

diberikan Pendidikan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan dan Bahasa Arab yang

Kurikulumnya ditetapkan oleh Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan

Pusat Muhammadiyah.

Hal ini diperkuat dengan pertimbangan bahwa Muhammadiyah sebagai

sebuah organisasi masyarakat yang mapan memiliki pengalaman yang panjang

dalam memberikan peran di dunia pendidikan. Persyarikatan Muhammadiyah

telah menyumbangkan peran dalam dunia pendidikan sudah sejak masa

pemerintahan kolonial Belanda.

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, tepatnya pada 17

September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato

pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan

moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia

Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan

politik etis, yang terangkum dalam program Trias Van deventer yang salah satu

(7)

dan pendidikan. Namun semua itu hanyalah sebatas kedok untuk melancarkan

sistem kolonial Belanda yang lebih modern. Terutama dalam hal pendidikan.

Seperti yang dituliskan oleh Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya

Api Sejarah, praktik politik etis dalam bidang edukasi dijalankan dengan sangat

diskriminatif. Selain tidak banyak sekolah yang didirikan, tidak semua Pribumi

mendapatkan kesempatan bersekolah, kecuali putra bangsawan dan anak-anak

etnis Cina serta Ambon. Diskriminasi juga diberlakukan dalam pemberian

subsidi.

Soemarsono Mestoko dalam Suryanegara (2010:440) menuturkan

perbedaan jumlah subsidi dari pemerintah kolonial Belanda dalam

mengaplikasikan Politik Etis di bidang edukasi. Eropeesche Lager School (ELS)

dengan murid hanya berjumlah 2.500, yang terdiri dari anak eropa dan

bangsawan, mendapatkan subsidi f. 2.677.000. Sebaliknya, Sekolah Rendah

Pribumi, dengan murid berjumlah 162.000 Muslim, hanya mendapatkan subsidi

sebanyak f. 1.399.000.

Pendirian sekolah pribumi oleh pemerintah kolonial Belanda hanya untuk

memenuhi kebutuhan tenaga kerja terdidik untuk dipekerjakan di perkebunan dan

pertambangan, serta proyek penjajahan lainnya. Apabila kebutuhan tenaga kerja

terpenuhi, sekolah ditutup. Jadi, pendirian sekolah tersebut bukan untuk

mencerdaskan anak Pribumi. Di bawah tantangan sistem pendidikan yang seperti

ini, Persyarikatan Muhammadiyah menjawabnya dengan mendirikan sekolah yang

serupa tapi tidak sama kurikulumnya. Di mana perbedaannya adalah terdapat mata

pelajaran Al-Quran dalam sekolah yang didirikan oleh Persyarikatan

(8)

Pendirian sekolah Muhammadiyah pada saat itu mengikuti sistem sekolah

yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Selain adanya Sekkolah Desa

atau Sekolah Rendah Angka Dua (Tweede Klasse) atau Sekolah Boemipoetra

(Inlandsche School), sudah mulai didirikan Sekolah Rendah Kelas Satu, yang

disebut Hol landsch Indische School (HIS) pada 1914 M.

Sekolah ini disebut pula Sekolah Boemi Poetra-Belanda, khusus untuk

anak bangsawan, pegawai Belanda, dan tokoh-tokoh terkemuka. Lama studinya

tujuh tahun. Anak rakyat jelata tidak mungkin masuk ke sekolah ini. Dari fakta

sejarah sekolah ini, terbaca diskriminasi politik etis di bidang pendidikan

penjajah.

Oleh karena itu HIS Muhammadiyah disebut HIS met de Quran. HIS yang

demikian ini merupakan upaya Persyarikatan Muhammadiyah mengimbangi

sekolah-sekolah yang dibangun oleh pemerintah kolonial belanda. Akan tetapi,

pada masa penjajahan Persyarikatan Muhammadiyah tidak mungkin mendirikan

perguruan tinggi. Baru pada 27 Rajab 1363 H/8 Juli 1945 pada masa pendudukan

Balatentara Dai Nippon, Persyarikatan Muhammadiyah mendirikan Sekolah

Tinggi Islam (STI) DI Jakarta dengan Rektor Kahar Moezakkir.

Karena Persyarikatan Muhammadiyah lebih fokus pada upaya pengadaan

tenaga guru, didirikanlah Kweekschool. Dengan tersedianya tenaga guru, maka

diperbanyaklah pendirian sekolah-sekolah Muhammadiyah. Pilihan yang

demikian ini, disebabkan karena mayoritas Pribumi saat itu, umumnya buta huruf

latin. Latar belakang yang demikian ini pula yang membuat Persyarikatan

Muhammadiyah lebih cenderung mendirikan sekolah dari tingkat Sekolah Dasar

(9)

Muhammadiyah tidak membangun Pesantren dan sekolah Agama. Keduanya tetap

menjadi bagian dari pengembangan sistem pendidikan dalam menjawab tantangan

zamannya (Suryanegara, 2010:440-443).

Pada tahun 1911, Ahmad Dahlan mendirikan sekolah rakyat, yang diberi

nama Madrasha Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah yang menggabungkan dua sistem

pendidikan, yaitu sistem pesantern dan pendidikan barat. Sistem pendidikan yang

disebut terakhir ini masih asing khususnya mata pelajaran yang diajarkan, yaitu

pengetahuan umum (Syaifullah, dalam Sudarno dkk, 2010:63-64)

Hingga kini Persyarikatan Muhammadiyah adalah salah satu organisasi

kemasyarakatan yang sangat berpengaruh di Indonesia. Persyarikatan

Muhammadiyah memiliki kader dan simpatisan yang tersebar luas di seluruh

tanah air. Persyarikatan Muhammadiyah memperluas pengaruhnya dalam

berbagai aspek, baik dalam agama, sosial dan pendidikan.

Dalam aspek keagamaan Persyarikatan Muhammadiyah memiliki gerakan

khusus tentang Amar Ma’ruf nahi munkar sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah. Dalam aspek sosial Persyarikatan Muhammadiyah memiliki amal usaha berupa

kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang dimotori oleh para kader Persyarikatan

Muhammadiyah. Dan dalam hal pendidikan sudah sangat jelas Persyarikatan

Muhammadiyah sangat banyak berperan.

Sejak zaman kolonial hingga kini Persyarikatan Muhammadiyah terus

menjalankan perannya dalam dunia pendidikan. Hal tersebut dibuktikan dengan

didirikannya 4.623 Taman Kanak-kanak, 2.604 Sekolah Dasar, 1.772 SMP, 1.143

SMA/sederajat, 67 Pondok Pesantren, dan 172 Perguruan Tinggi

(10)

membuktikan konsistensi Persyarikatan Muhammadiyah terhadap pembangunan

masyarakat melalui pendidikan.

Ditengah perkembangan globalisasi Muhammadiyah mampu beradaptasi

mengikuti perkembangan zaman. Seperti yang diungkapkan oleh Abdullah dalam

Khozin (2005:2) tampak dalam pengorganisasian gerakannya yang lebih

sistematis dan efektif. Amal usaha Muhammadiyah yang secara garis besar dapat

dikelompokkan dalam tiga bidang, yaitu: agama, sosial, dan pendidikan dikelola

dengan cara-cara yang menurut ukuran ruang dan waktunya tergolong modern.

Secara laten Persyarikatan Muhammadiyah melakukan proses pengaderan

melalui lembaga pendidikan. Dalam masyarakat sendiri para kader

Muhammadiyah memiliki karakter yang berbeda dengan masyarakat yang lain. Di

dalam lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah terdapat beberapa organisasi

yang di isi oleh para pelajar Muhammadiyah, seperti Ikatan Mahasiswa

Muhammadiyah, Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Ikatan Pelajar Muhammadiyah

diisi oleh para pelajar SMA Muhammadiyah sebagai ekstrakulikuler. Peneliti

sendiri ingin melihat bagai mana pengaruh Persyarikatan Muhammadiyah

terhadap masyarakat melalui lembaga pendidikan yang secara laten merupakan

salah satu proses pengaderan sejak usia dini oleh Persyarikatan Muhammadiyah.

Latar belakang sejarah dan konsistensi Persyarikatan Muhammadiyah ini

lah yang memperkuat landasan peneliti untuk melakukan penelitian terhadap

“Model Pendidikan Muhammadiyah dalam Pembentukan Karakter Siswa”

untuk melihat seperti apa karakter masyarakat yang dibentuk oleh Persyarikatan

(11)

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti mencoba menarik suatu

permasalahan. Maka hal yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah:

 Bagai mana model penerapan pendidikan Lembaga Pendidikan

Muhammadiyah terhadap pembetukan karakter siswa SMA

Muhammadiyah.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dibuat untuk mengungkapkan keinginan peneliti dalam

suatu penelitian (Bungin, 2008:75). Maka tujuan penelitian yang ingin dicapai

dalam penelitian ini adalah:

 Untuk mengetahui bagai mana model penerapan pendidikan Lembaga

Pendidikan Muhammadiyah terhadap pembetukan karakter siswa SMA

Muhammadiyah 2 Medan.

1.4. Manfaat Penelitian

Setiap penelitian yang dilakukan haruslah memiliki manfaat yang jelas,

baik manfaat secara teoritis maupun praktis. Adapun manfaat dilakukannya

penelitian ini adalah:

1.4.1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

(12)

penelitian, menjadi model perbandingan dalam aspek kelembagaan pendidikan,

serta sumbangan bagi mahasiswa hingga dapat menambah wawasan ilmiah. Selain

itu juga dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan

khususnya dalam bidang sisiologi pendidikan.

1.4.2. Mafaat Praktis

a. Bagi penulis, penelitian ini dapat meningkatkan kemampuan dan

pengetahuan penulis dalam membuat karya tulis ilmiah. selain itu

penelitian ini juga dapat memperkaya wawasan peneliti dalam bidang

sosiologi pendidikan.

b. Bagi masyarakat, Muhammadiyah itu sendiri, maupun pemerintah yang

berkewajiban sebagai penyelenggara pendidikan, penelitian ini

diharapkan menjadi model yang dapat diterapkan dengan model lembaga

pendidikan sejenis.

1.5. Defenisi Konsep

Untuk memperjelas maksud dan pengertian mengenai konsep yang

digunakan dalam penelitian ini maka peneliti membatasi konsep-konsep yang

digunakan.pemberian batasan konsep ini diperlukan untuk menuntun peneliti

dalam menangani rangkaian proses penelitian bersangkutan seerta dalam

menginterpretasikan hasil penelitian (Sanafiah Faisal 1998: 107). Adapun

pendefenisian konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Model pendidikan Lembaga Pendidikan Muhammadiyah adalah sebuah

sistem yang dibangun oleh Yayasan Pendidikan Muhammadiyah 2 Medan

untuk membentuk karakter siswa SMA Muhammadiyah melalui

(13)

Menengah Muhammadiyah) dan disiplin yang dibangun dalam Yayasan

Pendidikan Muhammadiyah.

b. Sosialisasi nilai kemuhammadiyahan adalah bagai mana bentuk dan pola

interaksi yang dibangun dalam Lembaga Pendidikan Muhammadiyah

dalam menginternalisasikan nilai-nilai kemuhammadiyahan terhadap

siswa.

c. Yang dimaksud dengan Yayasan Pendidikan Muahammadiyah dalam

penelitian ini adalah SMA Muahammadiyah 2 Medan.

d. Karakter dalam hal ini adalah, kepribadian yang dibentuk oleh SMA

Muhammadiyah 2 Medan yang sesuai dengan model terapan program

Referensi

Dokumen terkait

6 41132791 YULI ALIYAH RPL-P2 DIAGNOSA PENYAKIT SAPI TERNAK MELALUI SISTEM PAKAR DENGAN METODE FUZZY DALAM UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS GIZI SAPI. 7 41132648 RULLY DWI

[r]

Berdasarkan Pembukaan Dokumen Penawaran dan Evaluasi Penawaran Pembangunan Gedung Laboratorium MAN Sumberoto Kabupaten Malang, dengan ini kami undang Saudara untuk

[r]

kami undang Saudara untuk dapat hadir dalam kegiatan KLARIFIKASI DAN PEMBUKTIAN DOKUMEN KUALIFIKASI yang dilaksanakan pada :. Hari/ Tanggal : Jum’at / 10

[r]

hadap dokumen penawaran yang masuk m n melalui koreksi Aritmatika, Pembuktian bahwa perusahaan yang layak dan meme lam berita Acara Evaluasi Dokumen Penaw. , yaitu

Berdasarkan Penetapan Pemenang Pengadaan Alat Kedokteran, Kesehatan dan KB (Belanja Modal Peralatan dan Mesin) RSUD Tugurejo Provinsi Jawa Tengah Tahun Anggaran 2012