• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas Kombinasi Triclosan, Asam Salisilat, Sulfur dalam Beberapa Produk Bedak Antiacne Terhadap Pertumbuhan Propionibacterium Acnes

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efektivitas Kombinasi Triclosan, Asam Salisilat, Sulfur dalam Beberapa Produk Bedak Antiacne Terhadap Pertumbuhan Propionibacterium Acnes"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Anatomi Kulit

Kulit adalah organ tubuh yang teletak paling luar dan membatasinya dari lingkungan hidup manusia. Luas kulit orang dewasa 1.5 m2 dengan berat

kira-kira 15% berat badan. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangat kompleks, elastis dan sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks, ras dan juga bergantung pada lokasi tubuh (Ilmu penyakit kulit dan kelamin FK UI, 2013).

Demikian pula kulit bervariasi mengenai lembut, tipis, dan tebalnya; kulit yang elastis dan longgar terdapat pada palpebra, bibir, dan preputium, kulit yang tebal dan tegang terdapat di telapak kaki dan tangan dewasa. Kulit yang tipis terdapat pada muka, yang lembut pada leher dan badan, dan yang berambut kasar terdapat pada kepala (Ilmu penyakit kulit dan kelamin FK UI, 2013).

2.1.1. Anatomi Kulit Secara Histologi

Selain dikenal sebagai lapisan kutaneus atau integumen (L. integumentum, lapisan), kulit terdiri atas epidermis, yaitu lapisan epitel yang berasal dari

ektoderm, dan dermis, suatu lapisan jaringan ikat yang berasal dari mesoderm. Taut dermis dan epidermis tidak teratur, dan tonjolan dermis yang disebut

(2)

Gambar 2.1 Penampang Anatomi Kulit (Sumber: Junqueira, 2010)

A.Epidermis

Terutama terdiri atas epitel berlapis gepeng berkeratin yang disebut keratinosit. Tiga jenis sel epidermis yang jumlahnya lebih sedikit juga ditemukan: melanosit, sel Langerhans penyaji-antigen, dan sel Merkel atau sel taktil epitelial. Epidermis menimbulkan perbedaan utama antara kulit tebal yang terdapat pada telapak tangan dan kaki dengan kulit tipis yang terdapat pada bagian tubuh lainnya (Mescher, 2010).

Dari dermis ke atas, epidermis terdiri atas lima lapisan keratinosit, yaitu:

Lapisan Basal (Stratum Basale)

(3)

Lapisan Spinosa (stratum spinosum)

Yang normalnya lapisan epidermis, terdiri atas sel-sel kuboid atau agak gepeng dengan inti di tengah nukleolus dan sitoplasma yang aktif menyintesis filamen keratin. Tepat di atas lapisan basal, sejumlah sel masih membelah dan zona kombinasi ini terkadang disebut stratum germinativum. Filamen keratin disebut tonofibril yang berkonvergensi dan berakhir pada sejumlah desmosom yang menghubungkan sel bersama-sama secara kuat untuk menghindari gesekan. Epidermis di daerah yang rentan gesekan dan tekanan memiliki stratum spinosum yang lebih tebal (Mescher, 2010).

Lapisan Granular (stratum granulosum)

Terdiri atas 3-5 lapisan sel poligonal yang mengalami diferensiasi terminal. Sitoplasmanya berisikan massa basofilik intens keratohialin. Ditempat ini, materi yang kaya lipid membentuk lembaran-lembaran yang melapisi sel, yang kini lebih kecil dan juga seluruh lipid merupakan komponen utama sawar epidermis terhadap kehilangan air dari kulit (Mescher, 2010).

Stratum Lusidum

Hanya dijumpai pada kulit tebal dan terdiri atas lapisan tipis translusen sel eosinofilik yang sangat pipih. Organel dan inti telah menghilang dan

sitoplasma hampir sepenuhnya terdiri atas filamen keratin (Mescher, 2010).

Stratum Korneum

(4)

Sel-sel tersebut kontinu dilepaskan pada permukaan stratum korneum (Mescher, 2010).

B. Dermis

Dermis adalah jaringan ikat yang menunjang epidermis dan mengikatnya pada jaringan subkutan (hipodermis). Permukaan dermis sangat iregular dan

memiliki banyak tonjolan (papilla dermis) yang saling mengunci dengan juluran-juluran epidermis (rabung epidermis). Dermis merupakan tempat turunan epidermis berupa folikel rambut dan kelenjar. Terdapat banyak serabut saraf pada dermis berupa serabut pascaganglionik ganglia simpatis (Mescher, 2010).

Dermis terdiri atas dua lapisan dengan batas yang tidak nyata, lapisan papilar disebelah luar dan lapisan retikular yang lebih dalam.

Lapisan Papilar, tipis yang terdiri atas jaringan ikat longgar, dengan fibroblas dan sel jaringan ikat longgar, dengan fibroblas dan sel jaringan

ikat lainnya, seperti sel mast dan makrofag.

Lapisan Retikular, lebih tebal yang terdiri atas jaringan ikat padat iregular (terutama kolagen tipe I) dan memiliki lebih banyak serat dan lebih sedikit sel daripada lapisan papilar. Jaringan serat elastin juga ditemukan yang menghasilkan elastisitas kulit (Mescher, 2010).

C. Jaringan Subkutan

(5)

2.2. Acne Vulgaris

Acne Vulgaris adalah gangguan pada unit pilosebasea yang dapat sembuh sendiri yang biasanya terjadi di awal masa kedewasaan. Kebanyakan kasus akne hadir dengan variasi pleomorfik lesi, yaitu dapat terdiri dari komedo,

papula, pustula, dan nodul. Walaupun akne dapat sembuh sendiri, namun gejala sisanya tetap bertahan, mulai dari bintik-bintik atau skar hipertropik (Zaenglein

et al., 2008).

2.2.1.Epidemiologi

Akne cukup sering terjadi secara fisiologi. Akne dengan derajat ringan biasa terlihat saat kelahiran, mungkin dikarenakan dari stimulasi folikular oleh androgens adrenal, dan bertahan terus hingga masa neonatus. Bagaimanapun, dalam kebanyakan kasus terjadi hingga masa puber dimana akne menjadi masalah yang lebih signifikan. Akne sering menjadi manifestasi awal pubertas, pada pasien yang masih muda di dominasi dengan lesi jenis comedone. Pada anak perempuan, kejadian akne dapat mengawali terjadinya menstruasi pertama (menarche) sepanjang 1 tahun. Kejadian terbesar kasus terlihat selama masa pertengahan hingga akhir remaja. Setelah itu, insidensi perlahan-lahan menurun. Bagaimanapun, pada sebagian wanita, akne dapat saja bertahan sepanjang dekade ketiga atau

lebih lama lagi. Akne pun dapat diturunkan di keluarga, tapi nilainya masih sulit untuk di diperoleh. Akne nodulistik dilaporkan lebih sering terjadi pada

laki-laki berkulit putih daripada pada laki-laki berkulit hitam, dan satu grup invetigator menemukan bahwa akne lebih berbahaya pada pasien dengan genotip XYY (Zaenglein et al., 2008).

2.2.2.Etiologi dan patogenesis

Patogenesis terjadinya akne multifaktorial, tapi 4 kunci dasar telah diketahui. Keempat elemen kunci ini adalah sebagai berikut (Zaenglein et al., 2008) :

(6)

(2) Produksi sebum yang berlebihan (3) Inflamasi

(4) Keberadaan dan aktifitas dari bakteri Propionibacterium acnes

Hiperproliferasi folikular epidermal menyebabkan pembentukan lesi awal akne, mikrokomedo. Epitelium dari folikel rambut atas, infundibulum,

menjadi hiperkeratotik dengan meningkatnya kohesi keratinosit. Sel-sel yang berlebihan dan melekat membuat penyumbatan plak pada ostium folikel. Sumbatan plak ini menyumbat sejumlah keratin, sebum, dan bakteri yang saling berakumulasi dalam folikel. Gabungan komponen ini membuat dilatasi folikel rambut atas, membentuk mikrokomedo. Stimulus hiperproliferasi keratinosit dan peningkatan adesi masih belum diketahui. Bagaimanapun juga, beberapa faktor yang diusulkan pada hiperproliferasi keratinosit yaitu: stimulasi androgen, penurunan asam linoleik, dan peningkatan aktifitas interleukin (IL)-1α (Zaenglein et al., 2008).

(7)

Gambar 2.2 Jalur metabolisme steroid (Sumber: Zaenglein et al., 2008).

Proliferasi keratinosit folikel juga dapat diregulasi oleh asam linoleik. Asam linoleik adalah asam lemak esensial pada kulit yang jumlahnya menurun pada subjek yang berjerawat. Kuantitas asam linoleik kembali normal setelah sukses terapi dengan isotretinoin. Jumlah dibawah normal asam linoleik dapat memicu hiperproliferasi keratinosit folikel dan membentuk sitokin pro-inflamasi. Hal ini juga telah diperkirakan bahwa kuantitas reguler asam linoleik diproduksi seperti biasa tapi terjadi dilusi sederhana oleh peningkatan produksi sebum (Zaenglein et al., 2008).

IL-1 dapat juga berkontrubusi pada hiperproliferasi keratinosit. Reseptor antagonis IL-1 menghambat pembentukan mikrokomedo, memberi dukungan tambahan untuk peran sitokin dalam patogenesis akne (Zaenglein et al., 2008).

Kunci kedua dalam patogenesis akne adalah kelebihan produksi sebum dari kelenjar sebasea. Pasien dengan akne memproduksi lebih banyak sebum daripada yang tidak punya akne, walaupun kualitas sebum adalah sama antara keduanya. Sala satu komponen sebum yaitu trigliserida yang

(8)

pilosebasea. Asam lemak bebas ini memicu kolonisasi Propionibacterium acnes, kemudian terjadi inflamasi, dan dapat menjadi komedogenik

(Zaenglein et al., 2008).

Hormon androgenik juga berpengaruh pada produksi sebum.

Seseorang dengan akne memiliki jumlah hormon androgenik lebih tinggi dibanding yang tidak. Enzim 5α-reduktase bertanggungjawab pada perubahan testosteron menjadi DHT poten dimana aktifitas terbesarnya adalah di area yang rentan akne yaitu wajah, dada, dan punggung (Zaenglein et al., 2008).

Mikrokomedo terus berkembang dengan kumpulan keratin, sebum, dan bakteri yang memadat. Akhirnya penumpukan ini menyebabkan ruptur dinding folikel. Ektruksi keratin, sebum, dan bakteri dalam dermis menyebabkan respon inflamasi cepat. Tipe sel dominan dalam 24 jam rupturnya komedo adalah limfosit. Limfosit CD4+ ditemukan disekitar pilosebasea sedangkan sel CD8+ ditemukan pada perivascular. Satu sampai dua hari setelah rupturnya komedo, neutrofil menjadi dominan mengelilingi mikrokomedo (Zaenglein et al., 2008).

Gambar 2.3 Patogenesis Akne Vulgaris: (a) Mikrokomedo, (b) komedo, (c) inflamasi papula/pustula, (d) nodul (Sumber: Zaenglein et al., 2008).

(9)

banyak dibanding dengan yang tidak. Bagaimanapun juga, tidak ada korelasi antara jumlah baku Propionibacterium acnes dalam folikel sebasea dan keparahan akne (Zaenglein et al., 2008).

Dinding sel Propionibacterium acnes terdiri atas antigen karbohidrat

yang menstimulasi perkembangan antibodi. Pasien dengan akne berat memiliki titer antibodi tertinggi. Propionibacterium acnes juga

memfasilitasi inflamasi dengan menimbulkan respon hipersensitivitas tipe lambat dan produksi lipase, protease, hialuronidase, dan faktor kemotaktik. Apalagi Propionibacterium acnes telah terbukti untuk stimulasi peningkatan regulasi sitokin oleh ikatan pada reseptor seperti tol 2 dengan sel monosit dan sel polimorfonuklear yang mengelilingi folikel sebasea. Setelah ikatan reseptor seperti tol 2, sitokin pro-inflamasi seperti IL-1, IL-8, IL-12, dan faktor nekrosis tumor-α dilepaskan (Zaenglein et al., 2008).

Keempat elemen patogenesis akne tersebut saling berhubungan dalam pembentukan akne. Berbagai sasaran terapi akne dapat dilihat melalui patogenesisnya. Memahami mekanisme kerja dari banyak pilihan terapi akne akan membantu memberikan hasil terapi yang lebih baik (Zaenglein et al., 2008).

2.2.3. Temuan Klinis

Kebanyakan pasien dengan akne vulgaris melaporkan onset lesi yang gradual dimasa puber. Pada kasus lainnya, akne dapat dilihat pada neonatus

atau bayi. Akne neonatus kira-kira muncul di usia 2 minggu dan akne bayi berkembang pada usia 3-6 bulan (Zaenglein et al., 2008).

(10)

Obat-obatan yang memicu timbulnya akne pun harus ditanyakan seperti: anabolik steroid, kortikosteroid, kortikotropin, fenitoin, litium, isoniazid, halogen, vitamin B komplek, dan beberapa obat kemoterapi (Zaenglein et al., 2008).

Tempat utama akne yaitu wajah, punggung, dada, dan bahu. Walaupun satu tipe lesi dapat dominan, namun observasi yang lebih dekat

biasanya menyatakan tipe lesi lainnya. Lesi dapat inflamasi atau non-inflamasi. Lesi non-inflamasi adalah komedo, dimana dapat tipe terbuka (blackhead) atau tipe tertutup (whitehead). Komedo terbuka muncul bentuk lesi datar atau sedikit naik dengan pusat folikel berwarna gelap dampak dari keratin dan lipid. Komedo tertutup lebih sulit untuk dilihat karena lebih pucat, sedikit naik, papul kecil, dan tidak ada temuan klinis. Menarik kulit dapat membantu untuk deteksi lesi (Zaenglein et al., 2008).

Gambar 2.4 Korelasi klinikopatologis lesi akne: (a) komedo tertutup, (b) komedo terbuka, (c) inflamasi papula, (d) nodul (Sumber: Zaenglein et al., 2008).

(11)

Gambar 2.5 Akne vulgaris, ringan hingga sedang: (a) wajah bagian bawah dengan tampilan komedo, papula, pustula, dan skar; (b) tampilan pipi yang menunjukkan komedo terbuka yang besar dan inflamasi papula dan pustula (Sumber: Zaenglein

et al., 2008).

2.2.4. Diagnosis Banding

Walaupun satu tipe lesi dapat dominan, akne vulgaris didiagnosis dengan lesi akne yang bermacam-macam (komedo, pustula, papula, dan nodul) pada wajah, punggung, dan dada. Akne dapat saja membingungkan pada folikulitis, rosasea, atau perioral dermatitis. Ini tidak memiliki komedo (Zaenglein et al., 2008).

Akne dapat juga bersama dengan pasien abnormal endokrin. Pasien dengan hiperandrogenisme dapat memiliki akne dan lainnya (hirsutisme, suara memberat, menstruasi tidak teratur). Gangguan endokrin seperti sindrom polycystic ovarian (hiperandrogenisme, resisten insulin, dan

acanthosis nigricans sindrom), CAH, dan adrenal dan neoplasma ovarium, sering memiliki akne (Zaenglein et al., 2008).

2.2.5. Komplikasi

Semua tipe lesi akne berpotensi untuk membaik dengan sekuel. Hampir keseluruhan lesi akne meninggalkan eritema makular transien setelah sembuh. Orang berkulit gelap, hiperpigmentasi paska inflamasi dapat bertahan berbulan bulan setelah perbaikan lesi akne. Pada beberapa individu, lesi akne dapat menyebabkan skar permanen (Zaenglein et al., 2008).

(12)

masalah psikiatri karena akne. Penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan akne punya kemiripan gangguan sosial, psikologi, dan emosi dengan pasien asma dan epilepsi. Juga, angka pengangguran lebih tinggi diantar orang dewasa dengan akne dibanding yang tidak. Penting untuk menilai

dengan serius konsekuensi psikologis yang dapat terjadi pada pasien, setelah sebaiknya dikonsultasikan pada konseling psikiatri (Zaenglein et al., 2008).

2.2.6. Prognosis

Onset usia akne vulgaris sangat bervariasi. Akne dapat dimulai saat usia 6-8 tahun atau dapat tidak muncul hingga usia 20 tahun atau lebih. Walaupun kebanyakan pasien kembali sehat pada usia 20-an, namun beberapa kejadian akne memanjang hingga 30-an atau 40-an (Zaenglein et al., 2008).

Pada wanita kejadian akne sering secara fluktuasi mengikuti siklus menstruasi yaitu muncul sebelum onset menstruasi. Munculnya akne ini bukan karena perubahan dalam aktivitas kelenjar sebasea karena tidak ada peningkatan dalam produksi sebum pada fase luteal dalam siklus menstruasi (Zaenglein et al., 2008).

Secara keseluruhan prognosis untuk akne adalah baik. Semakin awal terapi yang diberikan makan prognosis semakin baik. Jika terdapat bekas

skar yang cukup signifikan, terapi secara operasi dapat menjamin (Zaenglein et al., 2008).

2.3. Karakteristik Triclosan, Asam Salisilat, Sulfur

2.3.1. Triclosan

Triclosan merupakan antiseptik non ionik dari golongan bisphenol

(13)

Triclosan tersusun dari 2 cincin benzen, tiap cincin terdiri dari 6 atom

karbon (Loho & Utami, 2007).

Gambar 2.6 Struktur kimia triclosan (Sumber: Loho & Utami, 2007)

Triclosan tidak larut dalam air kecuali pada pH alkali. Triclosan

hampir larut dalam semua pelarut organik. Secara kimiawi triclosan bersifat stabil dan tahan dalam pemanasan hingga 200°C selama 2 jam (Loho & Utami, 2007).

Triclosan mempunyai spektrum aktivitas yang luas, mencakup

hampir semua bakteri Gram positif dan Gram negatif, Plasmodium falciparum, dan Toxoplasma gondii. Aktivitas triclosan terhadap bakteri Gram positif lebih besar daripada bakteri Gram negatif dan antiseptik ini efektif melawan Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA), namun aktivitasnya rendah terhadap P.aeruginosa. triclosan tidak efektif terhadap spora. Aktivitas fungisidal triclosan terbatas, terhadap yeast cukup baik, sedangkan terhadap mold kurang. Aktivitas terhadap virus belum diketahui (Loho & Utami, 2007).

Aktivitas antimikroba triclosan didapatkan pada konsentrasi 0,2-2%. Pada konsentrasi tersebut triclosan bersifat bakteriostatik. Konsentrasi hambat minimal (Minimum inhibitory concentration, MIC) triclosan berkisar 0,1-10µg/mL. (0,0l%- 1%), sedangkan konsentrasi bakterisidal

(14)

2.3.1.1. Mekamisme kerja Triclosan

Penelitian terbaru oleh Russell, menyatakan bahwa membran inner sitoplasma bakterisidal merupakan target utama kerja triclosan. Penelitian pada Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan organisme rentan

triclosan lainnya bahwa aktifitas hambat pertumbuhan phenylether

dihasilkan dari pemblokan sintesis lipid dengan menghambat secara spesifik

NADH-dependent enoyl-acyl carrier protein (ACP) reduktase, atau Fabl. Enoyl reductase, InhA, dalam Mycobacterium smegmatis juga merupakan target kerja triclosan (Russell, 2004).

Pertanyaan yang kemudian muncul apakah penghambatan enzim tunggal oleh triclosan bertanggungjawab terhadap kerja penghambatan dan letal nya. Triclosan normalnya digunakan dalam praktek pada konsentrasi yang lumayan besar daripada MIC diatas melawan bakteri yang sangat rentan. Pada konsentrasi demikian triclosan dengan cepat bersifat bakterisidal yaitu aktifitas letal memanjang hingga resistensi pada bakteri Escherichia coli. Pada tahap bakterisidal triclosan membuat pengeluaran K+

indikasi dari kerusakan membra. Efek stabilisasi kembali membran juga telah didemonstrasikan oleh Villalain et al dimana triclosan menunjukkan sebuah tipe absorpsi berpola Z dimana merupakan indikasi dari kerusakan struktur, mungkin membran, dan generasi terbaru dari tempat serap. Seperti

agen biosidal lainnya, triclosan memiliki lebih dari satu cara kerja dan itu memungkinkan untuk menggambarkan efek hambatan pertumbuhan bakteri

dan efek letal bakteri (Russell, 2004).

Villalain et al menemukan bahwa triclosan juga mempunyai efek membranotropik, yaitu mengganggu stabilitas struktur membran yang mengakibatkan penurunan integritas fungsional membran sel tanpa menginduksi terjadinya lisis sel tersebut. Pada konsentrasi bakterisidal, triclosan menyebabkan kebocoran kalium yang menandakan terjadinya

(15)

2.3.2. Asam Salisilat

2.3.2.1. Sifat Kimia

Asam salisilat, dikenal juga dengan 2-hydroxy-benzoic acid atau

orthohydrobenzoic acid, memiliki struktur kimia C7H6O3. Asam salisilat memiliki pKa 2,97. Asam salisilat dapat diekstraksi dari pohon willow bark, daun wintergreen, spearmint, dan sweet birch. Saat ini asam salisilat telah

dapat diproduksi secara sintetik. Bentuk makroskopik asam salisilat berupa bubuk kristal putih dengan rasa manis, tidak berbau, dan stabil pada udara bebas. Bubuk asam salisilat sukar larut dalam air dan lebih mudah larut dalam lemak. Sifat lipofilik asam salisilat membuat efek klinisnya terbatas pada lapisan epidermis (Sulistyaningrum et al., 2012).

Gambar 2.7 Struktur Kimia Asam Salisilat (Sumber: Katzung, 2011)

2.3.2.2. Manfaat dan Mekanisme Kerja Asam Salisilat Topikal a. Efek Keratolitik dan Desmolitik

Asam salisilat telah digunakan secara luas dalam terapi topikal sebagai bahan keratolitik. Zat ini merupakan bahan keratolitik tertua yang digunakan sejak 1874. Berbagai penelitian menyimpulkan terdapat tiga faktor yang berperan penting pada mekanisme keratolitik asam salisilat, yaitu menurunkan ikatan korneosit, melarutkan semen interselular, dan melonggarkan serta mendisintegrasi korneosit (Sulistyaningrum et al.,

2012).

Asam salisilat bekerja sebagai pelarut organik dan menghilangkan

(16)

demosom yang menyebabkan disentegrasi ikatan antar sel korneosit. Terminologi desmolitik lebih menggambarkan mekanisme kerja asam salisilat topikal. Efek desmolitik asam salisilat meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi (Sulistyaningrum et al., 2012).

b. Efek Keratoplastik

Pada konsentrasi 0.5-2%, asam salisilat memiliki stabilisasi stratum korneum yang menyebabkan efek keratoplastik. Mekanisme belum diketahui secara pasti, namun hal tersebut diduga merupakan fenomena adaptasi homeopatik, yaitu asam salisilat menyebabkan rangsangan keratolitik lemah yang menyebabkan peningkatan keratinisasi (Sulistyaningrum et al., 2012).

c. Efek Anti-pruritus

Asam salisilat memiliki efek anti-pruritus ringan. Efek ini dapat diamati pada konsentrasi 1-2%. Mekanisme kerja asam salisilat sebagai antipruritus belum diketahui secara pasti (Sulistyaningrum et al., 2012).

d. Efek Anti-Inflamasi

Sediaan asam salisilat telah lama diketahui memiliki khasiat anti-inflamasi. Sebagaimana diketahui, aspirin (asam asetil salisilat) telah

digunakan secara luas sebagai analgesik, anti-piretik, dan anti-inflamasi sistemik. Asam salisilat menghambat biosistesis prostaglandin dan memiliki

efek anti-inflamasi pada sediaan topikal dengan konsentrasi 0.5-5% (Sulistyaningrum et al., 2012).

e. Efek Analgetik

Asam salisialt digunakan pula sebagai bahan analgesia. Metil salisilat topikal (sebagi contoh: minyak gandapura) memiliki sifat sebagai counter irritant ringan. Zat ini kerap dikombinasikan dengan mentol sebagai

(17)

f. Efek Bakteriostatik dan Disinfektan

Efek bakteriostatik lemah asam salisilat tampat terutama terhadap golongan Streptococcus spp., Staphylococcus spp., Escherechia coli, dan Pseudomonas aeruginosa. Solusio asam salisilat 1:1000 dapat digunakan

sebagai kompres pada luka. Solusio asam salisilat 1:1000 lebih nyaman digunakan dari solusio permanganas kalikus maupun rivanol, karena tidak

mengotori pakaian atau mewarnai kulit (Sulistyaningrum et al., 2012).

g. Efek Fungistatik

Kepustakaan menyebutkan efek fungistatik ringan asam salisilat topikal dapat diamati terhadap Trichophyton spp. dan Candida spp. Efek ini diamati pada konsentrasi rendah 2-3g/l (<1%). Akan tetapi, beberapa referensi menyebutkan kemungkinan efek desmolitik asam salisilat yang membantu penyembuhan infeksi jamur superfisial, bukan efek fungistatik langsung (Sulistyaningrum et al., 2012).

h. Efek Tabir Surya

Asam salisilat dan turunannya dapat bekerja sebagai tabir surya. Mekanisme efek tabir surya kimiawi tersebut melalui transformasi cincin benzen aromatik pada pajaran ultraviolet (UV). Selain itu, asam salisilat juga

memiliki efek absorpsi sinar ultraviolet B (UVB) terutama pada gelombang 300-310 nm. Pada psoriasis, penggunaan asam salisilat topikal yang tidak

dibersihkan sebelum fototerapi dapat mempengaruhi hasil terapi (Sulistyaningrum et al., 2012).

2.3.2.3. Penggunaan Klinis Asam Salisilat Topikal pada Akne Vulgaris

(18)

Penggunaan asam salisilat topikal 30% sebagai bahan peeling dalam terapi akne vulgaris semakin berkembang di Asia. Zat yang bersifat lipofilik ini mampu berpenetrasi ke dalam unit pilosebaseus dan memberikan efek komedolitik, meskipun tidak sekuat retinoid. Asam salisilat topikal dianggap

cukup aman dan efektif dalam terapi akne. Zat ini kerap digunakan sebagai terapi topikal alternatif pada pasien yang tidak dapat menggunakan retinoid

maupun benzoil peroksida, atau sebagai terapi tambahan terhadap modalitas terapi lain yang lebih efektif (Sulistyaningrum et al., 2012).

2.3.3. Sulfur

Sulfur telah digunakan sejak masa Cleopatra. Sulfur digunakan sebagai agen pengering dan antibakteri. Sulfur dapat ditemukan dalam sabun, lotion, krim, dan masker. Sulfur berguna bagi pasien yang mengalami rosasea atau dermatitis seboroik. Sodium sulfacetamide sering dikombinasikan dengan sulfur sebagai agen anti-inflamasi. Saat digunakan sulfacetamide sendiri saja dapat mengobati akne namun bagi pasien yang sensitif dapat meninggalkan tanda (Keri & Shiman, 2009).

Sulfur telah digunakan untuk mengobati akne selama 10 tahun. Sulfur berwarna kuning, nonmetalik, juga bersifat keratolitik ringan, antifungal, dan bakteriostatik. Mekanisme kerja sulfur sendiri masih belum

diketahui. Saat sulfur kontak dengan keratinosit, sulfur diduga berinteraksi dengan sistein dalam stratum korneum, dengan demikian penurunan sulfur

menjadi hidrogen sulfida. Hidrogen sulfida mampu mendegradasi keratin, sehingga ikut membantu dalam aktifitas keratolitik sulfur. Semakin kecil partikel sulfur, semakin banyak interaksi yang dapat terjadi antara sulfur dan keratin.sulfur dapat ditemukan dalam lotion, krim, sabun, dan obat salep (Bowe & Shalita, 2008).

(19)

penggunaan sulfur secara topikal diabsorpsi secara sistemik, tapi efek fatal setelah penggunaan terus menerus pada kulit bayi perlu diperhatikan (Bowe & Shalita, 2008).

Pada penelitian pertama kali oleh Lawson tahun 1934 dalam laporan

Weld dan Gunther tahun 1946, Lawson meneliti efek sulfur yang digabungkan dengan medium Corper’s mashed-potato untuk melihat

pertumbuhan bakteri tubercle bacili. Ditemukan bahwa setiap penambahan sedikitnya 3 mg sulfur dalam 100cc medium secara utuh menghambat pertumbuhan organisme (Weld & Gunther, 1946).

2.4. Propionibacterium Acnes

Sistematika bakteri Propionibacterium acnes (Brooks, 2008): Divisio : Protophyta

Class : Schizomycetes Order : Eubacteriales

Family : Propionibacteriaceae Genus : Propionibacterium Spesies : Propionibacterium acnes

Gambar 2.8 Proponibacterium acnes: (a) pada mikroskop elektron, (b) pada

mikroskop cahaya (Sumber: Abate, 2013)

(20)

metaboliknya berupa asam propionat, menjadi asal dari nama genus ini. Bakteri ini tergolong falam bakteri Gram positif, bersifat anaerob, tidak berspora, sangat pleomorfik, memperlihatkan ujung yang melengkung, berbentuk gada, atau runcing, berbentuk panjang dengan pewarnaan yang

tidak rata seperti manik-manik, dan terkadang berbentuk kokoid atau sferis (Jawetz, 2014).

Propionibacterium acnes, sering dianggap sebagai patogen

oportunis, menyebabkan penyakit akne vulgaris dan berhubungan dengan berbagai variasi kondisi inflamasi. Bakteri ini menyebabkan akne dengan menghasilkan lipase yang membebaskan asam lemak bebas dari lemak pada kulit. Asam lemak ini dapat menyebabkan inflamasi jaringan yang berperan dalam timbulnya akne. Sebagai tambahan Propionibacterium acnes sering menjadi penyebab infeksi luka pascabedah terutama pembedahan yang melibatkan pemasangan alat, seperti infeksi pada sendi prostetik terutama di bahu, infeksi pada shunt sistem saraf pusat, osteomielitis, endokarditis, dan endoftalmitis. Karena merupakan bagian dari flora normal kulit, Propionibacterium acnes terkadang mencemari kultur darah atau cairan serebrospinal yang diambil dengan penetrasi kulit. Maka kultur yang terkontaminasi penting (tetapi sering sulit) untuk dibedakan dengan yang benar-benar positif dan mengindikasikan infeksi (Jawetz, 2014).

Meskipun organisme ini termasuk ke dalam organisme anaerob, Propionibacterium acnes dapat mentoleransi saturasi oksigen hingga

(21)

2.4.1. Peran Propionibacterium acnes dalam Patogenesis Acne Vulgaris

Pembentukan biofilm merupakan suatu proses dimana mikroorganisme tidak dapat menempel dan tumbuh pada permukaan yang kemudian memproduksi polimer ekstraselular yang memfasilitasi perlekatan

dan pembentukan matriks. Burkhart (2006) berpendapat bahwa proses tersebut merupakan kunci dari patogenesis akne: biofilm yang dibuat oleh

Propionibacterium acnes berkontribusi membentuk adhesi yang sangat kuat

yang menyebabkan ikatan dengan korneosit, menghasilkan mikrokomedo (Beylot & Auffret, 2013)

Propionibacterium acnes mensekresi lipase, faktor kemotaktik,

metaloprotease, dan porfirin yang akan berinteraksi dengan oksigen molekular menghasilkan toksin, mengurangi oksigen, dan radikal bebas yang akan menyebabkan kerusakan keratinosit (Beylot & Auffret, 2013).

Propionibacterium acnes juga berinteraksi dengan penanda imunitas

Gambar

Gambar 2.1 Penampang Anatomi Kulit (Sumber: Junqueira, 2010)
Gambar 2.2 Jalur metabolisme steroid (Sumber: Zaenglein et al., 2008).
Gambar 2.3 Patogenesis Akne Vulgaris: (a) Mikrokomedo, (b) komedo, (c)
Gambar 2.4 Korelasi klinikopatologis lesi akne: (a) komedo tertutup, (b) komedo terbuka, (c) inflamasi papula, (d) nodul (Sumber: Zaenglein et al., 2008)
+5

Referensi

Dokumen terkait