BAB II
PERJANJIAN PEMBERIAN PINJAMAN BANTUAN MODAL BAGI USAHA KECIL DALAM PROGRAM KEMITRAAN
A. Pengertian Perjanjian
Berbicara mengenai perjanjian tidak dapat terlepas dari perikatan maka
sebelum sampai pada pengertian perjanjian, ada baiknya dibahas mengenai
pengertian perikatan.
KUH Perdata di dalam Buku III memakai istilah perikatan yang berasal dari
bahasa Belanda verbintenis. R. Subekti memberi rumusan perikatan sebagai
hubungan antara 2 (dua) orang atau 2 (dua) pihak berdasarkan mana pihak yang satu
berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain yang berkewajiban memenuhi tuntutan
itu.33
Istilah perikatan dipergunakan untuk menggambarkan suatu hubungan hukum
antara 2 (dua) pihak atau lebih yang isinya adalah hak dan kewajiban, suatu hak untuk
menuntut sesuatu yang disebabkan suatu kewajiban untuk memenuhi tuntutan
tersebut. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa perikatan lahir dari
suatu peristiwa di mana 2 (dua) orang atau lebih saling menjanjikan sesuatu.
Peristiwa ini tepatnya dinamakan perjanjian yaitu suatu peristiwa yang berupa suatu
rangkaian janji-janji. Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian
adalah bahwa perjanjian menerbitkan perikatan.
Dalam Pasal 1233 KUH Perdata dirumuskan bahwa tiap-tiap perikatan
dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang. Sedang dalam Pasal
1313 KUH Perdata disebutkan bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih.
R. Subekti berpendapat bahwa istilah perjanjian dinamakan persetujuan
karena kedua belah pihak bersetuju untuk melakukan sesuatu.34
Abdul Kadir Muhammad mengatakan bahwa Pasal 1313 kurang begitu
memuaskan memberikan perumusan tentang perjanjian disebabkan perumusan pasal
tersebut mengandung kelemahan-kelemahan antara lain:35 1. Hanya menyangkut sepihak saja.
2. Kata perbuatan tidak mencakup konsensus.
3. Kata perjanjian terlalu luas.
4. Tanpa menyebut tujuan.
Dengan demikian Abdul Kadir Muhammad berpendapat bahwa perjanjian
adalah suatu persetujuan dengan mana 2 (dua) orang atau lebih saling mengikat diri
untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.36
Perjanjian mempunyai sifat yang dapat dipaksakan. Dalam perjanjian, kreditur
berhak atas prestasi yang telah diperjanjikan. Hak mendapat prestasi tadi dilindungi
oleh hukum berupa sanksi. Hal ini berarti kreditur diberi kemampuan oleh hukum
34R. Subekti I,op.cit, hal. 20.
untuk memaksa debitur dapat menyelesaikan pelaksanaan kewajiban/prestasi yang
mereka perjanjikan. Sanksi dalam hal ini berupa eksekusi, ganti rugi atau uang paksa.
Untuk melihat pengertian perjanjian dimaksud, dikemukakan beberapa
pendapat yang dapat dilihat di bawah ini.
M. Yahya Harahap merumuskan bahwa perjanjian adalah suatu hubungan
hukum kekayaan atau harta benda antara 2 (dua) orang atau lebih yang memberikan
kekuatan hukum pada satu pihak untuk memperoleh prestasi sekaligus mewajibkan
para pihak lain untuk menunaikan prestasi.37
Wirjono Prodjodikoro merumuskan perjanjian sebagai suatu perhubungan
hukum mengenai benda antara 2 (dua) pihak dalam mana salah satu pihak berjanji
untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain
berhak menuntut pelaksanaan janji itu.38
Perjanjian Pemberian Pinjaman Bantuan Modal merupakan perjanjian yang
mengikat antara PT. AP II dan Mitra Binaan dalam hal pemberian pinjaman bantuan
modal. Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur dalam
Perjanjian Pemberian Pinjaman Bantuan Modal adalah sebagai berikut:
1. Lahir dari adanya kesepakatan;
2. Mengikat PT. AP II dan Mitra Binaan; dan
3. Menimbulkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak.
37M. Yahya Harahap,Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal. 6
B. Syarat-syarat Sah Perjanjian
Menurut Pasal 1320 KUH Perdata diperlukan 4 (empat) syarat untuk sahnya
suatu perjanjian, yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
3. Suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal.
Dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, keempat unsur tersebut
digolongkan ke dalam:39
1. Dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang mengadakan perjanjian
(unsur subyektif), dan
2. Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek perjanjian
(unsur obyektif).
Syarat yang pertama dan yang kedua disebut dengan syarat subyektif, karena
langsung menyangkut orang atau subyek pembuat perjanjian. apabila salah satu syarat
tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalannya, artinya
salah satu pihak dapat memintakan supaya perjanjian dibatalkan.
Syarat yang ketiga dan keempat disebut dengan syarat obyektif, karena
apabila salah satu syarat obyektif ini tidak dipenuhi maka perjanjian itu dengan
sendirinya batal demi hukum, artinya dari semula tidak pernah suatu perjanjian dan
tidak pernah ada suatu perikatan.
Ad. 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Sepakat adalah bahwa kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu
harus bersepakat atau setuju mengenai perjanjian yang diadakan. Di dalam perjanjian,
kesepakatan terbentuk apabila perjanjian tersebut telah ditandatangani oleh kedua
belah pihak.
Menurut Pasal 1321 KUH Perdata, sepakat yang telah diberikan menjadi tidak
sah apabila kata sepakat tersebut diberikan karena:
a. Salah pengertian atau kekhilafan;
b. Paksaan; dan
c. Penipuan.
Sepakat karena salah pengertian (kekhilafan), paksaan atau penipuan menjadi
tidak sah oleh karena persetujuan diberikan dengan cacat kehendak. Salah pengertian
mengenai orangnya tidak menyebabkan perjanjian dapat batal. Salah pengertian
terhadap obyeklah yang dapat menyebabkan perjanjian batal. Hal ini dapat dilihat
dari Pasal 1322 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa kekhilafan tidak
mengakibatkan batalnya suatu perjanjian selain apabila kekhilafan itu terjadi
mengenai hakekat barang yang menjadi pokok perjanjian. Kekhilafan itu hanya
terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seorang bermaksud membuat suatu
perjanjian, kecuali jika perjanjian itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya
Paksaan terjadi apabila orang yang dipaksa itu tidak mempunyai pilihan lain
kecuali harus menyetujui perjanjian tersebut. Sejalan dengan itu, Mariam Darus
Badrulzaman berpendapat bahwa
“Yang dimaksud dengan paksaan ialah kekerasan jasmani atau ancaman (akan membuka rahasia) dengan sesuatu yang dibolehkan hukum yang menimbulkan ketakutan kepada seseorang sehingga ia membuat perjanjian. Disini paksaan itu harus benar-benar menimbulkan suatu ketakutan bagi yang menerima paksaan.”40
Penipuan adalah segala tipu muslihat ataupun memperdayakan dengan terang
dan nyata, sehingga pihak lain tidak akan membuat perikatan seandainya tipu
muslihat itu akan dilakukan (Pasal 1328 KUH Perdata). Dalam pasal tersebut
dinyatakan bahwa penipuan tidak boleh dipersangkakan akan tetapi dapat dibuktikan.
Tentang penipuan ini, Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa satu macam
pembohongan saja tidaklah cukup untuk adanya penipuan melainkan harus ada suatu
rangkaian pembohongan yang di dalamnya hubungan satu dengan lain merupakan
satu tipu muslihat.41
Penipuan haruslah merupakan pernyataan yang tidak benar tentang sesuatu
kenyataan (bukan pendapat) yang ada pada waktu pernyataan dibuat. Suatu maksud
atau kehendak dari seseorang adalah merupakan suatu kenyataan.42
40Mariam Darus Badrulzaman (Mariam Darus Badrulzaman I), KUH Perdata Buku III
Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, 1993, hal. 101.
41Wirjono Prodjodikoro (Wirjono Prodjodikoro II), Azas-azas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, 1981, hal. 31.
Ad. 2. Cakap membuat perjanjian
Suatu perjanjian harus dibuat oleh orang yang benar-benar mempunyai
kewenangan untuk membuat perjanjian. Dengan kata lain pihak yang bersangkutan
yang melakukan perbuatan harus dapat menginsyafi tanggung jawab yang akan
dipikul sebagai akibat dari perjanjian yang dibuat. Pada asasnya, setiap orang yang
sudah dewasa atau akil baligh dan sehat pikiran adalah cakap menurut hukum. Dalam
Pasal 1330 KUH Perdata disebut orang-orang yang tidak cakap membuat suatu
perjanjian yaitu:
a. Orang-orang yang belum dewasa
b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan
c. Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan
semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat
perjanjian-perjanjian tertentu.
Pasal 330 KUH Perdata menyatakan orang dewasa adalah orang yang telah
berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau telah kawin. Jadi jika seseorang yang belum
berumur 21 (dua puluh satu) tahun namun telah kawin mengadakan perjanjian, dia
dianggap sudah dewasa.
Terhadap mereka yang ditaruh di bawah pengampuan Pasal 433 KUH Perdata
menyatakan bahwa setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu,
sakit otak, atau mata gelap, termasuk orang yang kadang-kadang cakap menggunakan
Dalam hal ini undang-undang menganggap bahwa mereka tidak mampu
menginsyafi tanggung jawab dan karena itu mereka tidak dapat bertindak melakukan
perjanjian, dan untuk mewakilinya ditunjuk orang tua dan wali pengampunya
(kurator).
Mengenai perempuan yang telah bersuami KUH Perdata memandang mereka
tidak cakap untuk melakukan perjanjian (Pasal 108 KUH Perdata). Dalam melakukan
perjanjian mereka harus didampingi oleh suaminya. Tetapi sejak tahun 1963 dengan
SEMA RI Nomor 3 Tahun 1963 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan
Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia, maka kedudukan seorang perempuan
yang telah bersuami itu dianggap derajatnya sama dengan laki-laki, sehingga untuk
mengadakan perbuatan hukum dan menghadap di depan pengadilan ia tidak
memerlukan bantuan dari suaminya lagi, dan Pasal 108 dan 110 KUH Perdata
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Hal ini semakin dipertegas oleh UU No. 1 Tahun 1974 dalam Pasal 31 ayat 1
bahwa kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan berumah tangga dan pergaulan di masyarakat serta keduanya sama-sama
berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Ad. 3. Suatu hal tertentu
Suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu mempunyai arti bahwa
obyek yang diperjanjikan harus jelas bedanya, jenisnya dan dapat diperdagangkan
1332 KUH Perdata ini tidak dapat menjadi obyek perjanjian, misalnya barang-barang
yang dipergunakan untuk keperluan orang banyak seperti jalan umum, benda-benda
terlarang seperti narkotika dan sejenisnya.
Pasal 1333 KUH Perdata menyatakan bahwa barang yang dijadikan obyek
perjanjian harus dapat ditentukan jenisnya, apakah sebagai benda yang tidak
berwujud. Obyek perjanjian dapat pula barang-barang yang baru diharapkan akan ada
di kemudian hari. Dengan kata lain, barang tersebut belum ada pada waktu perjanjian
dibuat. Perjanjian yang tidak menyatakan secara tegas apa yang menjadi obyeknya
adalah batal demi hukum.
Ad. 4. Sebab yang halal
Dalam Pasal 1335 KUH Perdata dinyatakan bahwa suatu persetujuan tanpa
sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang tidak
mempunyai kekuatan.
Perjanjian dikatakan dibuat tanpa sebab jika tujuan yang dimaksud oleh para
pihak pada waktu perjanjian dibuat tidak akan tercapai, misalnya suatu perjanjian
tentang tempat pelaksanaan perjanjian yang sebenarnya tidak pernah ada. Perjanjian
juga dikatakan dibuat dengan sebab yang palsu jika sebab yang dibuat oleh para pihak
adalah untuk menutupi sebab yang sebenarnya dari perjanjian itu, misalnya apabila
para pihak membuat perjanjian jual beli morfin dengan alasan untuk kepentingan
pengobatan tetapi ternyata dalam praktiknya disebarluaskan untuk keuntungan
Dalam Pasal 1336 KUH Perdata ditegaskan bahwa jika tidak dinyatakan suatu
sebab, tetapi ada suatu sebab yang halal, ataupun jika ada sesuatu sebab yang lain,
daripada yang dinyatakan, persetujuannya namun demikian adalah sah.
Selain itu, ditambahkan juga dalam Pasal 1337 KUH Perdata bahwa suatu
sebab adalah terlarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan
kesusilaan baik atau ketertiban umum.
R. Subekti menyatakan
“Yang dimaksud dengan sebab yang halal adalah isi perjanjian, dengan menghilangkan suatu sangkaan bahwa sebab itu adalah sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian. Yang diperhatikan adalah tindakan yang menjadi kelanjutan dari perjanjian tersebut.43
Beberapa hal yang termasuk sebab tak halal menurut Abdul Kadir
Muhammad dinyatakan sebagai berikut
“Perjanjian yang berkausa tidak halal (dilarang oleh undang-undang), misalnya jual beli ganja, perjanjian membunuh orang. Perjanjian tidak halal (yang bertentangan dengan kepentingan umum), misalnya jual beli manusia sebagai budak, mengacaukan ajaran tertentu. Perjanjian yang berkausa tidak halal (bertentangan dengan kesusilaan), misalnya membocorkan rahasia perusahaan.44
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa yang menjadi dasar dari suatu sebab
yang halal adalah isi atau maksud dari perjanjian yang dibuat itu, apakah
bertentangan atau tidak dengan undang-undang. Akibat hukum yang timbul jika
perjanjian itu dilakukan atas dasar sebab yang halal adalah perbuatan itu batal demi
43R. Subekti II,op.cit, hal. 19.
hukum atau dianggap tidak pernah ada. Jadi sekalipun kepada para pihak diberi
kebebasan untuk membuat perjanjian dalam bentuk apapun, kebebasan itu harus tetap
didasarkan pada aturan hukum yang berlaku. Dengan perkatan lain, perjanjian yang
dibuat harus memenuhi keempat unsur penentu suatu perjanjian agar dapat dianggap
sah menurut hukum.
Perjanjian Pemberian Pinjaman Bantuan Modal telah sah menurut hukum
karena telah memenuhi syarat sah perjanjian yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu:
1. Perjanjian Perjanjian Pemberian Pinjaman Bantuan Modal merupakan hasil dari
adanya kesepakatan antara PT. AP II dan Mitra Binaan yang dituangkan dalam
bentuk perjanjian di bawah tangan dan dibuktikan dengan adanya tanda tangan
para pihak.
2. Para pihak di dalam perjanjian tersebut merupakan pihak yang cakap yaitu pihak
yang berwenang untuk mewakili dan telah dewasa (berumur 21 (dua puluh satu))
tahun atau telah menikah di dalam Pasal 330 KUH Perdata atau berumur 18
(delapan belas) tahun atau telah menikah di dalam Pasal 39 ayat 1 UU No. 30
Tahun 2004). PT. AP II yang berbentuk perseroan terbatas dan berkantor cabang
di Kualanamu diwakili oleh General Manager, dan Mitra Binaan yang
merupakan usaha kecil diwakili oleh pemilik usaha. Sesuai dengan
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut
UU No. 40 Tahun 2007) dalam Pasal 1 angka 5 disebutkan bahwa Direksi
berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk
mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan
ketentuan anggaran dasar, namun karena kewenangan pengurusan Direksi PT.
AP II Kantor Cabang Bandara Kualanamu Deli Serdang telah diberikan kepada
General Manager Kantor Cabang Bandara Kualanamu – Deli Serdang sesuai
dengan Surat Keputusan Direksi PT. AP II maka General Manager mewakili PT.
AP II dalam perjanjian.
3. Obyek perjanjian telah jelas yaitu untuk pemberian pinjaman bantuan modal dari
PT. AP II kepada Mitra Binaan dengan tujuan penggunaan dananya adalah untuk
membiayai modal kerja.
4. Perjanjian dibuat dengan sebab yang halal atau tidak melanggar peraturan
perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum mengingat perjanjian
dibuat berdasarkan PERMEN BUMN No. PER-09/MBU/07/2015.
C. Perjanjian Pemberian Pinjaman Bantuan Modal Bagi Usaha Kecil Dalam Program Kemitraan
Perjanjian Pemberian Pinjaman Bantuan Modal yang terdapat di PT. AP II
merupakan perjanjian yang dilakukan antara PT. AP II dengan Mitra Binaan yang
dilaksanakan sebagai wujud dari pemberlakukan Pasal 2 ayat (1) PERMEN BUMN
No. PER-09/MBU/07/2015 yaitu “Perum dan Persero wajib melaksanakan Program
Kemitraan dan Program Bina Lingkungan dengan memenuhi ketentuan-ketentuan
yang diatur dalam peraturan ini” dan juga sebagai suatu bentuk bantuan untuk
Perjanjian Pemberian Pinjaman Bantuan Modal di PT. AP II berjudul
Perjanjian Kredit yang dilaksanakan melalui Program Kemitraan dan berbentuk
perjanjian di bawah tangan yang sebelumnya telah dikonsepkan oleh PT. AP II.
Perjanjian tersebut berjudul Perjanjian Kredit disebabkan karakteristik perjanjian
tersebut mirip dengan perjanjian kredit dan adanya pemberian pinjaman kepada Mitra
Binaan dengan pengenaan jasa administrasi sesuai dengan limit pinjaman Mitra
Binaan.45 Hal ini diperbolehkan mengingat tidak adanya pengkhususan judul perjanjian tersendiri untuk Perjanjian Pemberian Pinjaman Bantuan Modal di dalam
ketentuan perundang-undangan yang berkaitan sehingga dimungkinkan untuk PT. AP
II memberikan judul tersebut.
Pasal 11 PERMEN BUMN No. PER-09/MBU/07/2015 menyebutkan bahwa
pemberian pinjaman kepada Mitra Binaan dituangkan dalam surat perjanjian/kontrak
yang sekurang-kurangnya memuat:
1. Nama dan alamat BUMN Pembina dan Mitra Binaan;
2. Hak dan kewajiban BUMN Pembina dan Mitra Binaan;
3. Jumlah pinjaman dan peruntukannya;
4. Syarat-syarat pinjaman (sekurang-kurangnya jangka waktu pinjaman, jadwal
angsuran pokok dan jasa administrasi pinjaman).
Apabila diteliti lebih mendalam, Perjanjian Kredit tersebut terdiri dari 2 (dua)
bagian, yaitu bagian yang memuat tentang subyek perjanjian (para pihak) dan bagian
yang memuat tentang aturan-aturan perjanjian yang merupakan materi pokok dari
perjanjian tersebut. Subjek perjanjian yaitu PT. AP II dan Mitra Binaan dicantumkan
di dalam bagian awal perjanjian, sedangkan materi pokok perjanjan dicantumkan
dalam Pasal 1 sampai dengan Pasal 9 Perjanjian Pemberian Pinjaman Bantuan Modal
tersebut (lihat Lampiran).
Dalam bagian mengenai subyek perjanjian, dirumuskan keterangan mengenai
indentitas para pihak antara lain keterangan mengenai PT. AP II mencakup
keterangan mengenai bentuk badan usaha, kedudukan perusahaan, penghadap yang
mewakili perusahaan tersebut beserta jabatan. Selain itu, keterangan mengenai Mitra
Binaan meliputi :
1. Untuk badan usaha perorangan, terdiri dari kedudukan dan keterangan mengenai
penghadap.
2. Untuk badan usaha non-perseorangan, terdiri dari bentuk usaha, kegiatan usaha
serta kedudukan atau alamat badan usaha yang bersangkutan, dan keterangan
mengenai pemilik dan/atau penghadap yang mewakili.
Bagian mengenai aturan perjanjian dijabarkan satu persatu dan dituangkan
dalam pasal-pasal dalam perjanjian yaitu
1. Pasal 1 mengenai pokok perjanjian.
Pasal ini berisi jumlah pemberian pinjaman bantuan modal kepada Mitra Binaan
dan jasa administrasi yang dikenakan per tahun dari limit pinjaman Mitra Binaan.
prospek dan kelayakan usaha yang jumlahnya telah disepakati oleh para pihak,
namun jumlah maksimum yang diperbolehkan oleh PERMEN BUMN No.
PER-09/MBU/07/2015 sebesar Rp. 75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah). Jasa
administrasi yang diperbolehkan dikenakan terhadap Mitra Binaan yaitu sebesar
6 % (enam persen) sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) PERMEN BUMN No.
PER-09/MBU/07/2015.
2. Pasal 2 mengenai tujuan penggunaan dana dan masa berlakunya pinjaman.
Tujuan penggunaan dana biasanya merupakan modal untuk usaha Mitra Binaan
mengingat tujuan PERMEN BUMN No. PER-09/MBU/07/2015 adalah untuk
membantu usaha kecil. Apabila Mitra Binaan tidak menggunakan dana sesuai
dengan yang diperjanjikan, PT. AP II dapat membatalkan perjanjian dan menarik
kembali sebagian atau seluruh pinjaman yang diberikan. Selain itu, di dalam
pasal ini dijabarkan mengenai jumlah angsuran tiap bulannya.
3. Pasal 3 mengenai bukti perikatan.
Bukti perikatan merupakan bukti itikad baik dari Mitra Binaan kepada
PT. AP II yang dapat berupa Akta Jual Beli tanah, Sertifikat Tanah, dan lain-lain.
4. Pasal 4 mengenai pelaksanaan yang ditunjuk.
Pasal ini mengenai pemberian kewenangan untuk melaksanakan pemberian
pinjaman bantuan modal. Mitra Binaan melimpahkan kewenangan tersebut
kepada PT. AP II melalui Tim Pelaksana Program Kemitraan dan Program Bina
Lingkungan sehingga PT. AP II dapat melakukan bimbingan dan pengembangan
5. Pasal 5 mengenai hak dan kewajiban.
Di dalam pasal ini dijabarkan mengenai hak dan kewajiban para pihak yang
wajib dilaksanakan oleh para pihak tersebut dan apabila tidak dilaksanakan dapat
membatalkan perjanjian dan menarik kembali sebagian atau seluruh pinjaman
yang diberikan.
6. Pasal 6 mengenai sanksi.
Sanksi merupakan hal yang diberikan kepada Mitra Binaan apabila Mitra Binaan
tidak menaati kewajiban dan penggunaan dana tidak sesuai dengan tujuan
pemberian pinjaman.
7. Pasal 7 mengenai penyelesaian tunggakan.
Pasal ini berisi apabila Mitra Binaan lalai memenuhi kewajiban pembayaran
kepada PT. AP II maka penyelesaian tunggakan akan diserahkan kepada Kantor
Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Medan.
8. Pasal 8 mengenai perselisihan.
Apabila terjadi perselisihan maka para pihak sepakat untuk menyelesaikan secara
musyawarah dan mifakat dan apabila belum selesai akan diselesaikan melalui
Pengadilan Negeri.
9. Pasal 9 mengenai penutup.
Berdasarkan pemaparan di atas, ditarik kesimpulan bahwa Perjanjian
Pemberian Pinjaman Bantuan Modal merupakan suatu perjanjian standar (baku) yang
ditetapkan atau telah dibakukan sebelumnya oleh PT. AP II, sehingga PT. AP II
berperan sebagai pihak yang lebih kuat.
Perjanjian baku adalah suatu perjanjian yang didalamnya telah terdapat
syarat-syarat tertentu yang dibuat oleh pihak PT. AP II sebagai kreditor, yang umumnya
disebut perjanjian adhesie. Pihak lain yaitu Mitra Binaan sebagai debitor, umumnya
disebut “Adherent”, ia tidak turut serta dalam menyusun kontrak, ia tidak mempunyai
pilihan. Dalam hal penyusun kontrak (kreditor) mempunyai kedudukan monopoli.
Terserah mau mengikuti atau menolak. Penyusun kontrak bebas dalam membuat
redaksinya, sehingga pihak lawan berada dalam keadaan di bawah kekuasaannya.
Menurut Abdul Kadir Muhammad, istilah perjanjian baku dialih bahasakan
dari istilah yang dikenal dalam bahasa Belanda yaitu “standard contract”. Kata baku
atau standar artinya tolak ukur yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi
setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan pengusaha, yang
dibakukan dalam perjanjian baku ialah meliputi model, rumusan, dan ukuran.46
Model, rumusan, dan ukuran tersebut sudah dibakukan dan tidak dapat diganti,
diubah atau dibuat lagi dengan cara lain karena pihak pengusaha sudah mencetaknya
dalam bentuk formulir yang berupa blanko naskah perjanjian lengkap di dalamnya
sudah dilampiri dengan naskah syarat-syarat perjanjian atau yang disebut dengan
dokumen bukti perjanjian yang memuat tentang syarat-syarat baku yang wajib
dipenuhi oleh pihak debitor.
Pihak kreditor dalam merumuskan atau menuangkan syarat-syarat perjanjian
tersebut biasanya menggunakan bentuk nomor-nomor atau pasal-pasal atau
klausula-klausula tertentu yang mengandung arti tertentu pula, yang pada dasarnya hanya
dipahami oleh pihak kreditor dan ini merupakan kerugian bagi debitor karena sulit
atau tidak bisa memahaminya dalam waktu yang singkat.
Disini terlihat sifat adanya perjanjian baku, yaitu perjanjian yang
diperuntukkan bagi setiap debitor yang melibatkan diri dalam perjanjian sejenis ini.
Tanpa memperhatikan perbedaan kondisi antara debitor yang satu dengan yang lain.
Jika debitor menyetujui salah satu dari syarat-syaratnya, maka debitor hanya mungkin
bersikap menerima atau tidak menerimanya sama sekali, kemungkinan untuk
mengadakan perubahan isi sama sekali tidak ada.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman perjanjian baku dapat dibedakan
menjadi empat jenis, yaitu :47
a. Perjanjian baku sepihak atau perjanjian adhesi adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya didalam perjanjian itu. Pihak yang kuat disini ialah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi (ekonomi) kuat dibandingkan pihak debitur.
b. Perjanjian baku timbal balik adalah perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh kedua pihak, misalnya perjanjian baku yang pihak-pihaknya terdiri dari pihak majikan (kreditor) dan pihak lainnya buruh (debitor). Kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif. c. Perjanjian baku yang ditetapkan pemerintah, ialah perjanjian baku yang isinya
ditentukan pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian-perjanjian yang mempunyai obyek hak-hak atas tanah. d. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat adalah
perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk
memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang minta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan.
Bentuk perjanjian baku yang dipakai oleh PT. AP II kepada Mitra Binaan
adalah Perjanjian Baku Sepihak atau Adhesi disebabkan perjanjian ini memiliki
klausula-klausula yang telah ditetapkan atau telah dibakukan sebelumnya oleh
PT. AP II sehingga PT. AP II berperan sebagai pihak yang lebih kuat.
Senada dengan pendapat di atas berdasarkan wawancara dengan responden,
ditarik kesimpulan bahwa dengan adanya pembakuan klausula-klausula di dalam
Perjanjian Pemberian Pinjaman Bantuan Modal, PT. AP II telah memaksakan Mitra
Binaan untuk menyetujui dan menaati isi perjanjian tersebut. Apabila Mitra Binaan
tidak setuju dengan isi perjanjian maka perjanjian tidak akan terjadi. Hal inilah yang
merupakan karakteristik perjanjian standar (baku) dengan adanya sifattake it or leave
it.48
Di dalam perjanjian juga terdapat pengenaan jasa administrasi sebesar 6 %
(enam persen) per tahun dari limit pinjaman yang juga sesuai yang tercantum dalam
perjanjian kredit tersebut merupakan pelaksanaan PERMEN BUMN No.
PER-09/MBU/07/2015. Hal ini bertentangan dengan tujuan pemberian bantuan modal
yaitu untuk membentuk Mitra Binaan yang mandiri dan tangguh. Namun di dalam
PERMEN BUMN No. PER-09/MBU/07/2015 Pasal 8 ayat (1) disebutkan sumber
dana untuk Program Kemitraan salah satunya berasal dari jasa administrasi
pinjaman/marjin/bagi hasil dari Program Kemitraan sehingga pengenaan jasa
administrasi tersebut dibenarkan dengan tujuan agar PT. AP II dapat membantu Mitra
Binaan lainnya melalui Program Kemitraan.
Ditinjau dari sudut pandang perjanjian dan asas kebebasan berkontrak,
pengenaan jasa administrasi tersebut dibenarkan karena telah melewati persetujuan
para pihak dengan ditandatanganinya perjanjian tersebut secara sadar oleh para pihak,
sehingga perjanjian tersebut berlaku sebagai undang-undang yang harus dipatuhi oleh
para pihak (Pasal 1338 dan Pasal 1320 KUH Perdata). Mitra Binaan pun menyadari
hal tersebut, dengan menandatangani perjanjian maka Mitra Binaan berkewajiban
untuk melaksanakan segala kewajiban yang tercantum di dalam perjanjian agar Mitra
Binaan tersebut dapat menuntut haknya kepada PT. AP II.49