• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perjanjian Pemberian Pinjaman Bantuan Modal Bagi Usaha Kecil Dalam Program Kemitraan pada PT. Angkasa Pura II (Persero)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perjanjian Pemberian Pinjaman Bantuan Modal Bagi Usaha Kecil Dalam Program Kemitraan pada PT. Angkasa Pura II (Persero)"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PERJANJIAN PEMBERIAN PINJAMAN BANTUAN MODAL BAGI USAHA KECIL DALAM PROGRAM KEMITRAAN

A. Pengertian Perjanjian

Berbicara mengenai perjanjian tidak dapat terlepas dari perikatan maka

sebelum sampai pada pengertian perjanjian, ada baiknya dibahas mengenai

pengertian perikatan.

KUH Perdata di dalam Buku III memakai istilah perikatan yang berasal dari

bahasa Belanda verbintenis. R. Subekti memberi rumusan perikatan sebagai

hubungan antara 2 (dua) orang atau 2 (dua) pihak berdasarkan mana pihak yang satu

berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain yang berkewajiban memenuhi tuntutan

itu.33

Istilah perikatan dipergunakan untuk menggambarkan suatu hubungan hukum

antara 2 (dua) pihak atau lebih yang isinya adalah hak dan kewajiban, suatu hak untuk

menuntut sesuatu yang disebabkan suatu kewajiban untuk memenuhi tuntutan

tersebut. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa perikatan lahir dari

suatu peristiwa di mana 2 (dua) orang atau lebih saling menjanjikan sesuatu.

Peristiwa ini tepatnya dinamakan perjanjian yaitu suatu peristiwa yang berupa suatu

rangkaian janji-janji. Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian

adalah bahwa perjanjian menerbitkan perikatan.

(2)

Dalam Pasal 1233 KUH Perdata dirumuskan bahwa tiap-tiap perikatan

dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang. Sedang dalam Pasal

1313 KUH Perdata disebutkan bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan

dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau

lebih.

R. Subekti berpendapat bahwa istilah perjanjian dinamakan persetujuan

karena kedua belah pihak bersetuju untuk melakukan sesuatu.34

Abdul Kadir Muhammad mengatakan bahwa Pasal 1313 kurang begitu

memuaskan memberikan perumusan tentang perjanjian disebabkan perumusan pasal

tersebut mengandung kelemahan-kelemahan antara lain:35 1. Hanya menyangkut sepihak saja.

2. Kata perbuatan tidak mencakup konsensus.

3. Kata perjanjian terlalu luas.

4. Tanpa menyebut tujuan.

Dengan demikian Abdul Kadir Muhammad berpendapat bahwa perjanjian

adalah suatu persetujuan dengan mana 2 (dua) orang atau lebih saling mengikat diri

untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.36

Perjanjian mempunyai sifat yang dapat dipaksakan. Dalam perjanjian, kreditur

berhak atas prestasi yang telah diperjanjikan. Hak mendapat prestasi tadi dilindungi

oleh hukum berupa sanksi. Hal ini berarti kreditur diberi kemampuan oleh hukum

34R. Subekti I,op.cit, hal. 20.

(3)

untuk memaksa debitur dapat menyelesaikan pelaksanaan kewajiban/prestasi yang

mereka perjanjikan. Sanksi dalam hal ini berupa eksekusi, ganti rugi atau uang paksa.

Untuk melihat pengertian perjanjian dimaksud, dikemukakan beberapa

pendapat yang dapat dilihat di bawah ini.

M. Yahya Harahap merumuskan bahwa perjanjian adalah suatu hubungan

hukum kekayaan atau harta benda antara 2 (dua) orang atau lebih yang memberikan

kekuatan hukum pada satu pihak untuk memperoleh prestasi sekaligus mewajibkan

para pihak lain untuk menunaikan prestasi.37

Wirjono Prodjodikoro merumuskan perjanjian sebagai suatu perhubungan

hukum mengenai benda antara 2 (dua) pihak dalam mana salah satu pihak berjanji

untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain

berhak menuntut pelaksanaan janji itu.38

Perjanjian Pemberian Pinjaman Bantuan Modal merupakan perjanjian yang

mengikat antara PT. AP II dan Mitra Binaan dalam hal pemberian pinjaman bantuan

modal. Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur dalam

Perjanjian Pemberian Pinjaman Bantuan Modal adalah sebagai berikut:

1. Lahir dari adanya kesepakatan;

2. Mengikat PT. AP II dan Mitra Binaan; dan

3. Menimbulkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak.

37M. Yahya Harahap,Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal. 6

(4)

B. Syarat-syarat Sah Perjanjian

Menurut Pasal 1320 KUH Perdata diperlukan 4 (empat) syarat untuk sahnya

suatu perjanjian, yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.

3. Suatu hal tertentu.

4. Suatu sebab yang halal.

Dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, keempat unsur tersebut

digolongkan ke dalam:39

1. Dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang mengadakan perjanjian

(unsur subyektif), dan

2. Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek perjanjian

(unsur obyektif).

Syarat yang pertama dan yang kedua disebut dengan syarat subyektif, karena

langsung menyangkut orang atau subyek pembuat perjanjian. apabila salah satu syarat

tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalannya, artinya

salah satu pihak dapat memintakan supaya perjanjian dibatalkan.

Syarat yang ketiga dan keempat disebut dengan syarat obyektif, karena

apabila salah satu syarat obyektif ini tidak dipenuhi maka perjanjian itu dengan

sendirinya batal demi hukum, artinya dari semula tidak pernah suatu perjanjian dan

tidak pernah ada suatu perikatan.

(5)

Ad. 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Sepakat adalah bahwa kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu

harus bersepakat atau setuju mengenai perjanjian yang diadakan. Di dalam perjanjian,

kesepakatan terbentuk apabila perjanjian tersebut telah ditandatangani oleh kedua

belah pihak.

Menurut Pasal 1321 KUH Perdata, sepakat yang telah diberikan menjadi tidak

sah apabila kata sepakat tersebut diberikan karena:

a. Salah pengertian atau kekhilafan;

b. Paksaan; dan

c. Penipuan.

Sepakat karena salah pengertian (kekhilafan), paksaan atau penipuan menjadi

tidak sah oleh karena persetujuan diberikan dengan cacat kehendak. Salah pengertian

mengenai orangnya tidak menyebabkan perjanjian dapat batal. Salah pengertian

terhadap obyeklah yang dapat menyebabkan perjanjian batal. Hal ini dapat dilihat

dari Pasal 1322 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa kekhilafan tidak

mengakibatkan batalnya suatu perjanjian selain apabila kekhilafan itu terjadi

mengenai hakekat barang yang menjadi pokok perjanjian. Kekhilafan itu hanya

terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seorang bermaksud membuat suatu

perjanjian, kecuali jika perjanjian itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya

(6)

Paksaan terjadi apabila orang yang dipaksa itu tidak mempunyai pilihan lain

kecuali harus menyetujui perjanjian tersebut. Sejalan dengan itu, Mariam Darus

Badrulzaman berpendapat bahwa

“Yang dimaksud dengan paksaan ialah kekerasan jasmani atau ancaman (akan membuka rahasia) dengan sesuatu yang dibolehkan hukum yang menimbulkan ketakutan kepada seseorang sehingga ia membuat perjanjian. Disini paksaan itu harus benar-benar menimbulkan suatu ketakutan bagi yang menerima paksaan.”40

Penipuan adalah segala tipu muslihat ataupun memperdayakan dengan terang

dan nyata, sehingga pihak lain tidak akan membuat perikatan seandainya tipu

muslihat itu akan dilakukan (Pasal 1328 KUH Perdata). Dalam pasal tersebut

dinyatakan bahwa penipuan tidak boleh dipersangkakan akan tetapi dapat dibuktikan.

Tentang penipuan ini, Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa satu macam

pembohongan saja tidaklah cukup untuk adanya penipuan melainkan harus ada suatu

rangkaian pembohongan yang di dalamnya hubungan satu dengan lain merupakan

satu tipu muslihat.41

Penipuan haruslah merupakan pernyataan yang tidak benar tentang sesuatu

kenyataan (bukan pendapat) yang ada pada waktu pernyataan dibuat. Suatu maksud

atau kehendak dari seseorang adalah merupakan suatu kenyataan.42

40Mariam Darus Badrulzaman (Mariam Darus Badrulzaman I), KUH Perdata Buku III

Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, 1993, hal. 101.

41Wirjono Prodjodikoro (Wirjono Prodjodikoro II), Azas-azas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, 1981, hal. 31.

(7)

Ad. 2. Cakap membuat perjanjian

Suatu perjanjian harus dibuat oleh orang yang benar-benar mempunyai

kewenangan untuk membuat perjanjian. Dengan kata lain pihak yang bersangkutan

yang melakukan perbuatan harus dapat menginsyafi tanggung jawab yang akan

dipikul sebagai akibat dari perjanjian yang dibuat. Pada asasnya, setiap orang yang

sudah dewasa atau akil baligh dan sehat pikiran adalah cakap menurut hukum. Dalam

Pasal 1330 KUH Perdata disebut orang-orang yang tidak cakap membuat suatu

perjanjian yaitu:

a. Orang-orang yang belum dewasa

b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan

c. Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan

semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat

perjanjian-perjanjian tertentu.

Pasal 330 KUH Perdata menyatakan orang dewasa adalah orang yang telah

berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau telah kawin. Jadi jika seseorang yang belum

berumur 21 (dua puluh satu) tahun namun telah kawin mengadakan perjanjian, dia

dianggap sudah dewasa.

Terhadap mereka yang ditaruh di bawah pengampuan Pasal 433 KUH Perdata

menyatakan bahwa setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu,

sakit otak, atau mata gelap, termasuk orang yang kadang-kadang cakap menggunakan

(8)

Dalam hal ini undang-undang menganggap bahwa mereka tidak mampu

menginsyafi tanggung jawab dan karena itu mereka tidak dapat bertindak melakukan

perjanjian, dan untuk mewakilinya ditunjuk orang tua dan wali pengampunya

(kurator).

Mengenai perempuan yang telah bersuami KUH Perdata memandang mereka

tidak cakap untuk melakukan perjanjian (Pasal 108 KUH Perdata). Dalam melakukan

perjanjian mereka harus didampingi oleh suaminya. Tetapi sejak tahun 1963 dengan

SEMA RI Nomor 3 Tahun 1963 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan

Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia, maka kedudukan seorang perempuan

yang telah bersuami itu dianggap derajatnya sama dengan laki-laki, sehingga untuk

mengadakan perbuatan hukum dan menghadap di depan pengadilan ia tidak

memerlukan bantuan dari suaminya lagi, dan Pasal 108 dan 110 KUH Perdata

dinyatakan tidak berlaku lagi.

Hal ini semakin dipertegas oleh UU No. 1 Tahun 1974 dalam Pasal 31 ayat 1

bahwa kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam

kehidupan berumah tangga dan pergaulan di masyarakat serta keduanya sama-sama

berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

Ad. 3. Suatu hal tertentu

Suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu mempunyai arti bahwa

obyek yang diperjanjikan harus jelas bedanya, jenisnya dan dapat diperdagangkan

(9)

1332 KUH Perdata ini tidak dapat menjadi obyek perjanjian, misalnya barang-barang

yang dipergunakan untuk keperluan orang banyak seperti jalan umum, benda-benda

terlarang seperti narkotika dan sejenisnya.

Pasal 1333 KUH Perdata menyatakan bahwa barang yang dijadikan obyek

perjanjian harus dapat ditentukan jenisnya, apakah sebagai benda yang tidak

berwujud. Obyek perjanjian dapat pula barang-barang yang baru diharapkan akan ada

di kemudian hari. Dengan kata lain, barang tersebut belum ada pada waktu perjanjian

dibuat. Perjanjian yang tidak menyatakan secara tegas apa yang menjadi obyeknya

adalah batal demi hukum.

Ad. 4. Sebab yang halal

Dalam Pasal 1335 KUH Perdata dinyatakan bahwa suatu persetujuan tanpa

sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang tidak

mempunyai kekuatan.

Perjanjian dikatakan dibuat tanpa sebab jika tujuan yang dimaksud oleh para

pihak pada waktu perjanjian dibuat tidak akan tercapai, misalnya suatu perjanjian

tentang tempat pelaksanaan perjanjian yang sebenarnya tidak pernah ada. Perjanjian

juga dikatakan dibuat dengan sebab yang palsu jika sebab yang dibuat oleh para pihak

adalah untuk menutupi sebab yang sebenarnya dari perjanjian itu, misalnya apabila

para pihak membuat perjanjian jual beli morfin dengan alasan untuk kepentingan

pengobatan tetapi ternyata dalam praktiknya disebarluaskan untuk keuntungan

(10)

Dalam Pasal 1336 KUH Perdata ditegaskan bahwa jika tidak dinyatakan suatu

sebab, tetapi ada suatu sebab yang halal, ataupun jika ada sesuatu sebab yang lain,

daripada yang dinyatakan, persetujuannya namun demikian adalah sah.

Selain itu, ditambahkan juga dalam Pasal 1337 KUH Perdata bahwa suatu

sebab adalah terlarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan

kesusilaan baik atau ketertiban umum.

R. Subekti menyatakan

“Yang dimaksud dengan sebab yang halal adalah isi perjanjian, dengan menghilangkan suatu sangkaan bahwa sebab itu adalah sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian. Yang diperhatikan adalah tindakan yang menjadi kelanjutan dari perjanjian tersebut.43

Beberapa hal yang termasuk sebab tak halal menurut Abdul Kadir

Muhammad dinyatakan sebagai berikut

“Perjanjian yang berkausa tidak halal (dilarang oleh undang-undang), misalnya jual beli ganja, perjanjian membunuh orang. Perjanjian tidak halal (yang bertentangan dengan kepentingan umum), misalnya jual beli manusia sebagai budak, mengacaukan ajaran tertentu. Perjanjian yang berkausa tidak halal (bertentangan dengan kesusilaan), misalnya membocorkan rahasia perusahaan.44

Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa yang menjadi dasar dari suatu sebab

yang halal adalah isi atau maksud dari perjanjian yang dibuat itu, apakah

bertentangan atau tidak dengan undang-undang. Akibat hukum yang timbul jika

perjanjian itu dilakukan atas dasar sebab yang halal adalah perbuatan itu batal demi

43R. Subekti II,op.cit, hal. 19.

(11)

hukum atau dianggap tidak pernah ada. Jadi sekalipun kepada para pihak diberi

kebebasan untuk membuat perjanjian dalam bentuk apapun, kebebasan itu harus tetap

didasarkan pada aturan hukum yang berlaku. Dengan perkatan lain, perjanjian yang

dibuat harus memenuhi keempat unsur penentu suatu perjanjian agar dapat dianggap

sah menurut hukum.

Perjanjian Pemberian Pinjaman Bantuan Modal telah sah menurut hukum

karena telah memenuhi syarat sah perjanjian yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu:

1. Perjanjian Perjanjian Pemberian Pinjaman Bantuan Modal merupakan hasil dari

adanya kesepakatan antara PT. AP II dan Mitra Binaan yang dituangkan dalam

bentuk perjanjian di bawah tangan dan dibuktikan dengan adanya tanda tangan

para pihak.

2. Para pihak di dalam perjanjian tersebut merupakan pihak yang cakap yaitu pihak

yang berwenang untuk mewakili dan telah dewasa (berumur 21 (dua puluh satu))

tahun atau telah menikah di dalam Pasal 330 KUH Perdata atau berumur 18

(delapan belas) tahun atau telah menikah di dalam Pasal 39 ayat 1 UU No. 30

Tahun 2004). PT. AP II yang berbentuk perseroan terbatas dan berkantor cabang

di Kualanamu diwakili oleh General Manager, dan Mitra Binaan yang

merupakan usaha kecil diwakili oleh pemilik usaha. Sesuai dengan

Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut

UU No. 40 Tahun 2007) dalam Pasal 1 angka 5 disebutkan bahwa Direksi

berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk

(12)

mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan

ketentuan anggaran dasar, namun karena kewenangan pengurusan Direksi PT.

AP II Kantor Cabang Bandara Kualanamu Deli Serdang telah diberikan kepada

General Manager Kantor Cabang Bandara Kualanamu – Deli Serdang sesuai

dengan Surat Keputusan Direksi PT. AP II maka General Manager mewakili PT.

AP II dalam perjanjian.

3. Obyek perjanjian telah jelas yaitu untuk pemberian pinjaman bantuan modal dari

PT. AP II kepada Mitra Binaan dengan tujuan penggunaan dananya adalah untuk

membiayai modal kerja.

4. Perjanjian dibuat dengan sebab yang halal atau tidak melanggar peraturan

perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum mengingat perjanjian

dibuat berdasarkan PERMEN BUMN No. PER-09/MBU/07/2015.

C. Perjanjian Pemberian Pinjaman Bantuan Modal Bagi Usaha Kecil Dalam Program Kemitraan

Perjanjian Pemberian Pinjaman Bantuan Modal yang terdapat di PT. AP II

merupakan perjanjian yang dilakukan antara PT. AP II dengan Mitra Binaan yang

dilaksanakan sebagai wujud dari pemberlakukan Pasal 2 ayat (1) PERMEN BUMN

No. PER-09/MBU/07/2015 yaitu “Perum dan Persero wajib melaksanakan Program

Kemitraan dan Program Bina Lingkungan dengan memenuhi ketentuan-ketentuan

yang diatur dalam peraturan ini” dan juga sebagai suatu bentuk bantuan untuk

(13)

Perjanjian Pemberian Pinjaman Bantuan Modal di PT. AP II berjudul

Perjanjian Kredit yang dilaksanakan melalui Program Kemitraan dan berbentuk

perjanjian di bawah tangan yang sebelumnya telah dikonsepkan oleh PT. AP II.

Perjanjian tersebut berjudul Perjanjian Kredit disebabkan karakteristik perjanjian

tersebut mirip dengan perjanjian kredit dan adanya pemberian pinjaman kepada Mitra

Binaan dengan pengenaan jasa administrasi sesuai dengan limit pinjaman Mitra

Binaan.45 Hal ini diperbolehkan mengingat tidak adanya pengkhususan judul perjanjian tersendiri untuk Perjanjian Pemberian Pinjaman Bantuan Modal di dalam

ketentuan perundang-undangan yang berkaitan sehingga dimungkinkan untuk PT. AP

II memberikan judul tersebut.

Pasal 11 PERMEN BUMN No. PER-09/MBU/07/2015 menyebutkan bahwa

pemberian pinjaman kepada Mitra Binaan dituangkan dalam surat perjanjian/kontrak

yang sekurang-kurangnya memuat:

1. Nama dan alamat BUMN Pembina dan Mitra Binaan;

2. Hak dan kewajiban BUMN Pembina dan Mitra Binaan;

3. Jumlah pinjaman dan peruntukannya;

4. Syarat-syarat pinjaman (sekurang-kurangnya jangka waktu pinjaman, jadwal

angsuran pokok dan jasa administrasi pinjaman).

Apabila diteliti lebih mendalam, Perjanjian Kredit tersebut terdiri dari 2 (dua)

bagian, yaitu bagian yang memuat tentang subyek perjanjian (para pihak) dan bagian

(14)

yang memuat tentang aturan-aturan perjanjian yang merupakan materi pokok dari

perjanjian tersebut. Subjek perjanjian yaitu PT. AP II dan Mitra Binaan dicantumkan

di dalam bagian awal perjanjian, sedangkan materi pokok perjanjan dicantumkan

dalam Pasal 1 sampai dengan Pasal 9 Perjanjian Pemberian Pinjaman Bantuan Modal

tersebut (lihat Lampiran).

Dalam bagian mengenai subyek perjanjian, dirumuskan keterangan mengenai

indentitas para pihak antara lain keterangan mengenai PT. AP II mencakup

keterangan mengenai bentuk badan usaha, kedudukan perusahaan, penghadap yang

mewakili perusahaan tersebut beserta jabatan. Selain itu, keterangan mengenai Mitra

Binaan meliputi :

1. Untuk badan usaha perorangan, terdiri dari kedudukan dan keterangan mengenai

penghadap.

2. Untuk badan usaha non-perseorangan, terdiri dari bentuk usaha, kegiatan usaha

serta kedudukan atau alamat badan usaha yang bersangkutan, dan keterangan

mengenai pemilik dan/atau penghadap yang mewakili.

Bagian mengenai aturan perjanjian dijabarkan satu persatu dan dituangkan

dalam pasal-pasal dalam perjanjian yaitu

1. Pasal 1 mengenai pokok perjanjian.

Pasal ini berisi jumlah pemberian pinjaman bantuan modal kepada Mitra Binaan

dan jasa administrasi yang dikenakan per tahun dari limit pinjaman Mitra Binaan.

(15)

prospek dan kelayakan usaha yang jumlahnya telah disepakati oleh para pihak,

namun jumlah maksimum yang diperbolehkan oleh PERMEN BUMN No.

PER-09/MBU/07/2015 sebesar Rp. 75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah). Jasa

administrasi yang diperbolehkan dikenakan terhadap Mitra Binaan yaitu sebesar

6 % (enam persen) sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) PERMEN BUMN No.

PER-09/MBU/07/2015.

2. Pasal 2 mengenai tujuan penggunaan dana dan masa berlakunya pinjaman.

Tujuan penggunaan dana biasanya merupakan modal untuk usaha Mitra Binaan

mengingat tujuan PERMEN BUMN No. PER-09/MBU/07/2015 adalah untuk

membantu usaha kecil. Apabila Mitra Binaan tidak menggunakan dana sesuai

dengan yang diperjanjikan, PT. AP II dapat membatalkan perjanjian dan menarik

kembali sebagian atau seluruh pinjaman yang diberikan. Selain itu, di dalam

pasal ini dijabarkan mengenai jumlah angsuran tiap bulannya.

3. Pasal 3 mengenai bukti perikatan.

Bukti perikatan merupakan bukti itikad baik dari Mitra Binaan kepada

PT. AP II yang dapat berupa Akta Jual Beli tanah, Sertifikat Tanah, dan lain-lain.

4. Pasal 4 mengenai pelaksanaan yang ditunjuk.

Pasal ini mengenai pemberian kewenangan untuk melaksanakan pemberian

pinjaman bantuan modal. Mitra Binaan melimpahkan kewenangan tersebut

kepada PT. AP II melalui Tim Pelaksana Program Kemitraan dan Program Bina

Lingkungan sehingga PT. AP II dapat melakukan bimbingan dan pengembangan

(16)

5. Pasal 5 mengenai hak dan kewajiban.

Di dalam pasal ini dijabarkan mengenai hak dan kewajiban para pihak yang

wajib dilaksanakan oleh para pihak tersebut dan apabila tidak dilaksanakan dapat

membatalkan perjanjian dan menarik kembali sebagian atau seluruh pinjaman

yang diberikan.

6. Pasal 6 mengenai sanksi.

Sanksi merupakan hal yang diberikan kepada Mitra Binaan apabila Mitra Binaan

tidak menaati kewajiban dan penggunaan dana tidak sesuai dengan tujuan

pemberian pinjaman.

7. Pasal 7 mengenai penyelesaian tunggakan.

Pasal ini berisi apabila Mitra Binaan lalai memenuhi kewajiban pembayaran

kepada PT. AP II maka penyelesaian tunggakan akan diserahkan kepada Kantor

Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Medan.

8. Pasal 8 mengenai perselisihan.

Apabila terjadi perselisihan maka para pihak sepakat untuk menyelesaikan secara

musyawarah dan mifakat dan apabila belum selesai akan diselesaikan melalui

Pengadilan Negeri.

9. Pasal 9 mengenai penutup.

Berdasarkan pemaparan di atas, ditarik kesimpulan bahwa Perjanjian

Pemberian Pinjaman Bantuan Modal merupakan suatu perjanjian standar (baku) yang

(17)

ditetapkan atau telah dibakukan sebelumnya oleh PT. AP II, sehingga PT. AP II

berperan sebagai pihak yang lebih kuat.

Perjanjian baku adalah suatu perjanjian yang didalamnya telah terdapat

syarat-syarat tertentu yang dibuat oleh pihak PT. AP II sebagai kreditor, yang umumnya

disebut perjanjian adhesie. Pihak lain yaitu Mitra Binaan sebagai debitor, umumnya

disebut “Adherent”, ia tidak turut serta dalam menyusun kontrak, ia tidak mempunyai

pilihan. Dalam hal penyusun kontrak (kreditor) mempunyai kedudukan monopoli.

Terserah mau mengikuti atau menolak. Penyusun kontrak bebas dalam membuat

redaksinya, sehingga pihak lawan berada dalam keadaan di bawah kekuasaannya.

Menurut Abdul Kadir Muhammad, istilah perjanjian baku dialih bahasakan

dari istilah yang dikenal dalam bahasa Belanda yaitu “standard contract”. Kata baku

atau standar artinya tolak ukur yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi

setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan pengusaha, yang

dibakukan dalam perjanjian baku ialah meliputi model, rumusan, dan ukuran.46

Model, rumusan, dan ukuran tersebut sudah dibakukan dan tidak dapat diganti,

diubah atau dibuat lagi dengan cara lain karena pihak pengusaha sudah mencetaknya

dalam bentuk formulir yang berupa blanko naskah perjanjian lengkap di dalamnya

sudah dilampiri dengan naskah syarat-syarat perjanjian atau yang disebut dengan

dokumen bukti perjanjian yang memuat tentang syarat-syarat baku yang wajib

dipenuhi oleh pihak debitor.

(18)

Pihak kreditor dalam merumuskan atau menuangkan syarat-syarat perjanjian

tersebut biasanya menggunakan bentuk nomor-nomor atau pasal-pasal atau

klausula-klausula tertentu yang mengandung arti tertentu pula, yang pada dasarnya hanya

dipahami oleh pihak kreditor dan ini merupakan kerugian bagi debitor karena sulit

atau tidak bisa memahaminya dalam waktu yang singkat.

Disini terlihat sifat adanya perjanjian baku, yaitu perjanjian yang

diperuntukkan bagi setiap debitor yang melibatkan diri dalam perjanjian sejenis ini.

Tanpa memperhatikan perbedaan kondisi antara debitor yang satu dengan yang lain.

Jika debitor menyetujui salah satu dari syarat-syaratnya, maka debitor hanya mungkin

bersikap menerima atau tidak menerimanya sama sekali, kemungkinan untuk

mengadakan perubahan isi sama sekali tidak ada.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman perjanjian baku dapat dibedakan

menjadi empat jenis, yaitu :47

a. Perjanjian baku sepihak atau perjanjian adhesi adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya didalam perjanjian itu. Pihak yang kuat disini ialah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi (ekonomi) kuat dibandingkan pihak debitur.

b. Perjanjian baku timbal balik adalah perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh kedua pihak, misalnya perjanjian baku yang pihak-pihaknya terdiri dari pihak majikan (kreditor) dan pihak lainnya buruh (debitor). Kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif. c. Perjanjian baku yang ditetapkan pemerintah, ialah perjanjian baku yang isinya

ditentukan pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian-perjanjian yang mempunyai obyek hak-hak atas tanah. d. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat adalah

perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk

(19)

memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang minta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan.

Bentuk perjanjian baku yang dipakai oleh PT. AP II kepada Mitra Binaan

adalah Perjanjian Baku Sepihak atau Adhesi disebabkan perjanjian ini memiliki

klausula-klausula yang telah ditetapkan atau telah dibakukan sebelumnya oleh

PT. AP II sehingga PT. AP II berperan sebagai pihak yang lebih kuat.

Senada dengan pendapat di atas berdasarkan wawancara dengan responden,

ditarik kesimpulan bahwa dengan adanya pembakuan klausula-klausula di dalam

Perjanjian Pemberian Pinjaman Bantuan Modal, PT. AP II telah memaksakan Mitra

Binaan untuk menyetujui dan menaati isi perjanjian tersebut. Apabila Mitra Binaan

tidak setuju dengan isi perjanjian maka perjanjian tidak akan terjadi. Hal inilah yang

merupakan karakteristik perjanjian standar (baku) dengan adanya sifattake it or leave

it.48

Di dalam perjanjian juga terdapat pengenaan jasa administrasi sebesar 6 %

(enam persen) per tahun dari limit pinjaman yang juga sesuai yang tercantum dalam

perjanjian kredit tersebut merupakan pelaksanaan PERMEN BUMN No.

PER-09/MBU/07/2015. Hal ini bertentangan dengan tujuan pemberian bantuan modal

yaitu untuk membentuk Mitra Binaan yang mandiri dan tangguh. Namun di dalam

PERMEN BUMN No. PER-09/MBU/07/2015 Pasal 8 ayat (1) disebutkan sumber

dana untuk Program Kemitraan salah satunya berasal dari jasa administrasi

pinjaman/marjin/bagi hasil dari Program Kemitraan sehingga pengenaan jasa

(20)

administrasi tersebut dibenarkan dengan tujuan agar PT. AP II dapat membantu Mitra

Binaan lainnya melalui Program Kemitraan.

Ditinjau dari sudut pandang perjanjian dan asas kebebasan berkontrak,

pengenaan jasa administrasi tersebut dibenarkan karena telah melewati persetujuan

para pihak dengan ditandatanganinya perjanjian tersebut secara sadar oleh para pihak,

sehingga perjanjian tersebut berlaku sebagai undang-undang yang harus dipatuhi oleh

para pihak (Pasal 1338 dan Pasal 1320 KUH Perdata). Mitra Binaan pun menyadari

hal tersebut, dengan menandatangani perjanjian maka Mitra Binaan berkewajiban

untuk melaksanakan segala kewajiban yang tercantum di dalam perjanjian agar Mitra

Binaan tersebut dapat menuntut haknya kepada PT. AP II.49

Referensi

Dokumen terkait

Bentuk geometri bidang gelincir kedua bidang gelincir yang ditunjukkan dari citra geolistrik di atas dapat membuat daerah lereng ini terjadi gerakan tanah ( mass wasting

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara pelaksanaan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah yang terdiri dari Lingkungan Pengendalian, Penilaian Resiko,

bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia, sehingga pembangunan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap

Pengembangan lembaga-lembaga ekonomi dalam Islam seperti zakat, infaq, shadaqah, wakaf dan lembaga-lembaga Islam lain seperti perbangkan Islam, asuransi syariah, reksadana syariah

The impact of higher ignition voltage of the aftermarket ignition coil was proven to be more prevalent than the influence of advanced ignition timing of the

Padahal data-data yang tidak terpakai tersebut dapat digunakan untuk menggali informasi lebih dalam, salah satunya untuk memprediksi performansi mahasiswa menggunakan teknik

Apabila dalam penelitian lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6) terdapat tunggakan/piutang retribusi atau piutang BLUD, dengan tanggal ketetapan

Oleh sebab ia merupakan norma yang tidak mandiri dan terikat dengan norma dalam Pasal 118 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, maka semestinya untuk memahami,