TINJAUAN PUSTAKA
Mangrove
Meskipun agak berbeda, Keunzer et al. (2011) menyatakan bahwa telah
diidentifikasi lebih kurang 110 spesies tumbuhan mangrove di dunia. Dari 110
spesies mangrove tersebut, 54 spesies diantaranya termasuk dalam 20 genus dari
16 famili yang digolongkan sebagai mangrove sejati. Kitamura et al. (1997)
menyatakan dari banyak spesies mangrove yang telah dikenal, spesies yang paling
sering ditemukan di Indonesia adalah dari kelompok mangrove sejati seperti
Avicennia officinalis, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Rhizophora
stylosa, Sonneratia caseolaris, Excoecaria agallocha, dan Xylocarpus
moluccensis, serta Terminalia catappa, Nypa fruticans, Excoecaria agallocha,
Pandanus furentus, Pandanus tectorius dan Aegiceras corniculatum dari
mangrove ikutan yang biasa dijumpai tumbuh berdampingan dengan mangrove
sejati (Asriningrum, 2011).
Mangrove merupakan salah satu tanaman yang dapat hidup pada
lingkungan yang ekstrim, dimana sifat - sifat fisika dan kimia pada habitatnya
selalu berubah sebagai akibat pengaruh pasang surut, air tawar atau sungai,
pengendapan lumpur, dekomposisi bahan organik dan lain-lain, sehingga
tumbuhan mangrove memiliki potensi yang sangat baik untuk diteliti mengenai
senyawa metabolit sekunder yang dikandungnya.
Tomlinson (1986) membagi flora mangrove menjadi tiga kelompok,
yakni : (1) Flora mangrove mayor (flora mangrove sebenarnya), yaitu flora yang
menunjukkan kesetiaan terhadap habitat mangrove, berkemampuan membentuk
morfologi mempunyai bentuk-bentuk adaptif khusus (bentuk akar dan viviparitas)
terhadap lingkungan mangrove, dan mempunyai mekanisme fisiologis dalam
mengontrol garam. Contohnya adalah Avicennia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops,
Kandelia, Sonneratia, Lumnitzera, Laguncularia dan Nypa, (2) Flora mangrove
minor, yakni flora mangrove yang tidak mampu membentuk tegakan murni,
sehingga secara morfologis tidak berperan dominan dalam struktur komunitas,
contohnya Excoecaria, Xylocarpus, Heritiera, Aegiceras. Aegialitis, Acrostichum,
Camptostemon, Scyphiphora, Pemphis, Osbornia, dan Pelliciera (3) Flora
mangrove asosiasi, contohnya adalah Cerbera, Acanthus, Derris, Hibiscus,
Calamus, B. asiatica, M. candidum, dan R. communis.
Metabolit Sekunder dan Senyawa Polyisoprenoid
Metabolit sekunder didefinisikan sebagai senyawa yang disintesis oleh
organisme (mikroba, tumbuhan, insektisida dan sebagainya), tidak untuk
memenuhi kebutuhan primernya (tumbuh dan berkembang) melainkan untuk
mempertahankan eksistensinya dalam berinteraksi dengan lingkungannya
(Sumaryono, 1999). Metabolit sekunder yang ditemukan pada tumbuhan
mengrove meliputi senyawa golongan alkaloid, fenolat, steroid, dan terpenoid.
Senyawa-senyawa ini memiliki efek toksik, dan farmakologi yang penting
(Bandaranayake, 2002).
Secara tradisional sudah banyak kelompok masyarakat pesisir
memanfaatkan daun mangrove menjadi teh seduhan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa mangrove ternyata mengandung senyawa biokimia alami
yang aktif antara lain flavonoids, antrokuinon, kelompok fenolik, alkaloid dan
2004). Kelompok senyawa aktif yang sangat tinggi ini membuat jenis buah
mangrove memiliki aktifitas sebagai sitotoksik terhadap sel kanker, menghambat
pelepasan histamin, anti inflammantory, anti mikroba maupun antioksidan
(Mulyani et al. 2013; Bunyapraphatsara et al. 2002).
Polyisoprenoid alkohol ditemukan pada awal 60-an pada bakteri, ragi,
mamalia dan beberapa tanaman. Alkohol polyisoprenoid merupakan sekelompok
polimer hidrofobik yang secara luas terdistribusikan di alam. Molekul mereka
terdiri dari beberapa hingga lebih dari 100 unit isoprena, ekor dan kepala saling
berikatan dengan gugus hidroksi di salah satu ujung (α - residu) dan atom
hidrogen pada yang lain (x - end) . Hidrogenasi ikatan rangkap dalam suatu residu
menimbulkan perbedaan antara polyprenols (dehydroprenols) dan dolichols
(dehydrodolichols). Ikatan rangkap dalam molekul alkohol polyisoprenoid secara
ketat dikontrol dan semua polyisoprenoid diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok
: ( i ) di-trans -poli -cis , ( ii ) tri-trans – poli-cis (iii) all trans (Swiezewska &
Danikiewicz, 2005). Struktur dolichol dan polyprenol tanaman ditunjukkan pada
gambar 1 sebagai berikut.
Polyisoprenoid terbagi menjadi polyprenols dan dolichols. Polyisoprenoid
tersusun atas polimer lurus yang terdiri dari beberapa hingga lebih dari 100 unit
isoprenoid yang telah diidentifikasi di hampir semua makhluk hidup baik hewan
maupun tumbuhan (Skorupinska-Tudek et al. 2007). Berdasarkan penelitian
Basyuni et al. (2012) setiap metabolit sekunder pada hutan mangrove memiliki
peranannya masing-masing.
Polyisoprenols (poli-cis-prenols) adalah produk-produk alami yang
menjadi turunan dari unit isoprene C5 (Bach, 1995). Banyak fraksi membran alami
dari sel prokariotik dan eukariotik mengandung poliisoprenols dan ester fosfat.
Eukariota uniseluler, jamur, hewan dan beberapa jaringan tumbuhan dinilai
mengandung α-satu-polyisoprenols (dolichol) (Bach 1995;. Jankowski et al. 1994;
Swiezewska dan Danikiewicz, 2005). Membran bakteri dan daun dari beberapa
tanaman mengandung polyisoprenol α-unsaturated (polyprenol). Namun,
berdasarkan penelitian Roslinska et al. (2002) menyatakan jumlah yang berbeda
dari polyprenol tergantung pada kondisi lingkungan, yang menarik perhatian juga
pada faktor-faktor fisiologis yang dapat menentukan tingkat pembentukan
polyprenol di daun.
Distribusi triterprenoid yang terdapat dalam isoprenoid sebagian besar
masuk ketiga jenis kerangka karbon: Iupane (Iupeol, Iupenone, betulin); oleanane
(β-amryn, germanicol, taraxerol); sebuah ursane (α-amyrin). α-amyrin, β-amyrin,
lupeol, Iopenone dan betulin diidentifikasi dengan perbandingan waktu retensi
pada kolo GC dan spektrum massa dari standar otentik. Identifikasi struktur kimia
untuk germanicol dan taraxerol diverifikasi dengan membandingkan waktu retensi
peranan di dalam akar sebagai pertahanan terhadap salinitas, hal ini sesuai dengan
studi sebelumnya oleh Oku et al. (2003) yang melaporkan bahwa terpenoid
mungkin terlibat dalam perlindungan mangrove dari stress garam.
Berdasarkan aspek farmakologi, α-amyrin memiliki potensi sebagai
senyawa obat yaitu memiliki aktifitas anti-imflamasi atau mencegah peradangan.
Anti-inflamasi berperan sebagai analgesik, menanggulangi nyeri yang
mempengaruhi sistem saraf pusat (Otuki et al. 2005). Hal ini sesuai dengan studi
sebelumya oleh Sparg et al. (2004), bahwa isoprenoid dianggap penting sebagai
sumber alam yang potensial untuk senyawa obat. Selain itu, Mulyani et al. (2013)
menyebutkan mangrove juga sebagai salah satu alternatif yang dapat dilakukan
untuk menghindari serangan bakteri yang menyerang ikan pada budidaya ikan.
Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa polyisoprenoid yang merupakan
komponen terbesar dalam daun dan akar memiliki peranan sebagai senyawa obat
dan telah lama digunakan oleh masyarakat disekitar kawasan mangrove sebagai
obat kembung dan peradangan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kokpol et al.
(1986) yang menyatakan bahwa isoprenoid pada salah satu tumbuhan mangrove
memiliki aktivitas anti-leukimia.
Beberapa senyawa metabolit baru-baru ini dengan struktur kimia dan
tergolong salah satu diversitas dari kelas-kelas kimia telah dikarakterisasi dari
tumbuhan mangrove dan tumbuhan ikutannya (Purnobasuki, 2004).
Perkembangan pengobatan penyakit AIDS juga mendapatkan sumber bahan baru,
seperti inhibitor HIV-1 telah dikarakterisasi dari spesies Calophyllum inophyllum
senyawa untuk anti kanker (Tosa et al. 1997). Bahkan beberapa mangrove juga
dilaporkan sebagai kepentingan analgesik (pembiusan).
Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa distribusi lipid dan
polyisoprenoid dapat dipertimbangkan sebagai penanda kemotaksonomi
tumbuhan (Hogg & Gillan 1984, Swiezewska et al. 1994, Roslinska et al. 2002,
Sun et al. 2010, Basyuni et al. 2016). Untuk mendapatkan wawasan lebih banyak
dalam fungsi biologis dan signifikansi kemotaksonomi dari polyisoprenoid,
penting untuk memahami jalur biosintesis dari polyisoprenoid pada tanaman
mangrove ikutan. Deteksi kandungan kimia tumbuhan mangrove sangat
diperlukan untuk menemukan manfaat baru dan informasi, ini sangatlah penting
bagi masyarakat. Dua alasan penting perlunya studi kandungan kimia tumbuhan
mangrove. Pertama, mangrove merupakan salah satu tumbuhan hutan tropis yang
mudah berkembang dan belum banyak termanfaatkan. Kedua, aspek kimia
tumbuhan mangrove sangat penting karena potensinya untuk mengembangkan