• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Terhadap Pembatalan Hak Asuh Anak Oleh Pengadilan Agama (Studi Putusan Pengadilan Agama No. 50 PDT.G 2006 PA.Mdn)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Yuridis Terhadap Pembatalan Hak Asuh Anak Oleh Pengadilan Agama (Studi Putusan Pengadilan Agama No. 50 PDT.G 2006 PA.Mdn)"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang

Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang tidak dapat hidup secara

individual, manusia adalah makhluk yang hidup dalam satu hubungan antara sesama.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manusia harus mengadakan kontak dengan

manusia lain baik secara lahir maupun secara batin. Dengan adanya keterikatan

tersebut maka manusia memerlukan pasangan didalam hidupnya dan dari

pasangan-pasangan tersebut muncullah yang namanya perkawinan.

Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang penting di dalam kehidupan

manusia dikarenakan dengan adanya perkawinan manusia dapat membangun suatu

rumah tangga dan dapat dibina sesuai dengan norma dan syariah agama. Selain dapat

menimbulkan hak dan kewajiban, perkawinan juga menimbulkan hubungan hukum

antara kedua belah pihak baik dari pribadi pasangan maupun dari keluarga kedua

belah pihak. Suatu perkawinan tidak hanya didasarkan pada ikatan lahir saja atau

ikatan batin saja, tetapi merupakan perwujudan ikatan lahir dan batin. Ikatan lahir

tercermin dari adanya akad nikah sedangkan ikatan batin adanya perasaan saling

mencintai antara kedua belah pihak.1

Dari perkawinan tersebut terciptalah yang namanya keluarga. Keluarga terdiri

dari ayah, ibu dan anak-anak. Keluarga adalah merupakan kelompok primer yang

(2)

paling penting dalam masyarakat. “Keluarga adalah sebuah grup yang terbentuk dari

hubungan antara laki-laki dan wanita, hubungan mana sedikit banyak berlangsung

lama untuk menciptakan dan membesarkan anak-anak. Jadi keluarga dalam bentuk

yang murni merupakan satu kesatuan sosial yang terdiri dari suami, istri, dan

anak-anak yang belum dewasa.”2

Walaupun secara garis besar keluarga inti terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak

yang tinggal dalam satu rumah, tetapi dalam hal-hal tertentu pengertian ini tidak

dapat dipergunakan karena dalam kenyataannya ada keluarga yang tidak lengkap,

yaitu seperti tidak adanya ayah atau tidak adanya ibu yang hidup bersama dalam satu

rumah atau tidak adanya kedua orangtua.

Pengertian anak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah keturunan kedua,

manusia yang masih kecil, orang yang berasal atau dilahirkan oleh orang yang

termasuk dalam golongan pekerjaan (keluarga dan sebagainya), bagian kecil dari

suatu benda dan yang lebih kecil dari pada yang lain.3

Istilah anak mengandung banyak arti apalagi jika kata anak diikuti oleh kata

lain misalnya anak kandung, anak tiri, anak sah dan sebagainya. Dalam hal ini yang

menjadi bahasan adalah hak asuh anak dalam pengertian Hukum Islam yang

dihubungkan dengan keluarga dan hak asuhnya dalam keluarga jika kedua

(3)

yang mengandung penghormatan sebagai makhluk Allah yang sedang menempuh

perkembangan ke arah abdi Allah yang saleh.

Dalam Instruksi Presiden Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi

Hukum Islam, batas usia dewasa diatur dalam Pasal 98 ayat (1) yang menyatakan

“Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 (dua puluh satu)

tahun sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah

melangsungkan perkawinan”.4Kompilasi Hukum Islam juga membedakan anak yang

belum dewasa, antara yang belum mumayyiz (belum berumur 12 tahun) dan yang

telahmumayyiz.

Dalam Hukum Islam, hak asuh anak dapat diberikan kepada orangtua yang

masih hidup jika salah satunya meninggal atau kepada salah satu orangtua jika terjadi

perceraian. Jika tidak dalam keadaan dua-duanya yang dengan kata lain kedua orang

tua telah meninggal dunia maka dapat diberikan kepada keluarga yang terdekat.

Dalam Islam keluarga yang terdekat adalah garis keturunan ayah yang artinya hak

asuh anak dibawah umur tersebut jatuh kepada keluarga ayahnya.

Akan tetapi hak pengasuhan tersebut bisa saja jatuh kedalam keluarga ibunya

dengan putusan Pengadilan Agama jika wali dari pihak ayah lalai dalam

melaksanakan tugasnya sebagaimana yang telah ditentukan oleh undang-undang.

Pembatalan hak asuh ini dapat dimohonkan oleh kerabatnya dengan persyaratan

bahwa wali yang akan mengambil hak asuh adalah orang yang dewasa, sehat, adil

(4)

Kata perwalian bisa juga diartikan dengan kata asuh ataupun pemeliharaan.

Secara etimologi pemeliharaan adalah “proses, cara, perbuatan memelihara (kan),

penjagaan, perawatan, pendidikan, penyelamatan, penjagaan harta kekayaan.”

Menurut Ash-Sha’ani, pemeliharaan dalam hukum Islam disebut dengan

Al-Hadhanah yang merupakan masdar dari kata Alk Hadhanah yang artinya mengasuh

atau memelihara bayi (hadhanah ash syabiyya). Istilah Hadhanah berarti

“pemeliharaan anak yang belum mampu berdiri sendiri, biaya pendidikannya dan

pemeliharaannya dari segala yang membahayakan jiwanya”5

Lain lagi dengan pengertian hadhanah menurut Sayyid Sabiq yang

menyatakan:

Hadhanahadalah melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil

laki-laki ataupun perempuan atau yang sudah besar tetapi belum tamyiz (dapat membedakan yang baik dan yang buruk) tanpa perintah padanya, menyediakan sesuatu yang menjadi kebaikannya, menjaga dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri dalam menghadapi hidup dan dapat memikul tanggung jawab.6

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) pengasuhan

terhadap anak-anak yang masih di bawah umur yang tidak berada di bawah

kekuasaan orang tua dilakukan oleh suatu lembaga yang dinamakan perwalian

(Voogdij). Pada umumnya dalam setiap perwalian yang dikenal di dalam KUH

(5)

(moerdervoogdes) kawin lagi, dalam hal mana suaminya menjadi medevoogd. Jika

salah satu dari orang tua tersebut meninggal, maka menurut KUH Perdata orang tua

yang lainnya dengan sendirinya menjadi wali bagi anak-anaknya. Perwalian ini

dinamakan perwalian menurut undang-undang (Wettelijke Voogdij). Seorang anak

yang lahir di luar perkawinan berada di bawah perwalian orang tua yang

mengakuinya. Apabila seorang anak yang tidak berada di bawah kekuasaan orang

tua, ternyata tidak mempunyai wali, hakim akan mengangkat seorang wali atas

permintaan salah satu pihak yang berkepentingan atau karena jabatannya (datieve

voogdij). Tetapi ada juga kemungkinan seorang ayah atau ibu dalam surat wasiatnya

(testament) mengangkat seorang wali bagi anaknya. Perwalian semacam ini disebut

dengan perwalian menurut wasiat (TestamentairVoogdij). Seorang yang telah

ditunjuk untuk menjadi wali harus menerima pengangkatan tersebut, kecuali jika ia

mempunyai alasan-alasan tertentu menurut undang-undang dibenarkan untuk

dibebaskan dari pengangkatan tersebut. Perwalian menurut KUH Perdata diatur

dalam Pasal 330 ayat (3) yang berbunyi, “Mereka yang belum dewasa dan tidak

berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian atas dasar dan cara

sebagaimana diatur dalam bagian ketiga, keempat, kelima dan keenam bab ini”.

Di dalam perwalian menurut KUH Perdata dikenal beberapa asas yakni:

1. Asas tak dapat dibagi-bagi yang mengandung pengertian bahwa dalam setiap

(6)

Perdata. Asas tak dapat dibagi-bagi ini mempunyai pengecualian dalam dua hal

yaitu:

a. Jika perwalian itu dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup paling

lama(langs tlevendeouder), maka kalau ia kawin lagi, maka suaminya menjadi

medevoogd atau wali penyerta, sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam

Pasal 351 KUH Perdata

b. Jika sampai ditunjuk pelaksanaan pengurusan (bewindvoerder) yang

mengurus barang-barang minderjarige (anak-anak di bawah umur) di luar

Indonesia berdasarkan Pasal 361 KUH Perdata.

2. Asas Persetujuan dari Keluarga yaitu asas yang menghendaki bahwa keluarga

harus dimintai persetujuan tentang adanya perwalian. Dalam hal keluarga tidak

ada maka tidak diperlukan persetujuan pihak keluarga itu, sedang pihak keluarga

kalau tidak datang sesudah dilakukan panggilan dapat dituntut berdasarkan Pasal

524 KUH Perdata.

Ada tiga jenis perwalian yang dikenal dalam KUH Perdata yaitu:

a. Perwalian oleh suami atau isteri yang hidup lebih lama, Pasal 345 sampai dengan

Pasal 354 KUH Perdata.

Pasal 345 KUH Perdata menyatakan :

“Apabila salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia, maka perwalian

(7)

orangtua yang hidup terlama, sekadar ini tidak telah dibebaskan atau dipecat dari

kekuasaan orangtuanya”.

Namun pada pasal ini tidak dibuat pengecualian bagi suami istri yang hidup

terpisah disebabkan perkawinan putus karena perceraian atau pisah meja dan

ranjang. Jadi, bila ayah setelah perceraian menjadi wali maka dengan

meninggalnya ayah maka si ibu dengan sendirinya (demi hukum) menjadi wali

atas anak-anak tersebut.

b. Perwalian yang ditunjuk oleh Bapak atau Ibu dengan surat wasiat atau akta

tersendiri.

Pasal 355 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa :

“Masing-masing orangtua, yang melakukan kekuasaan orangtua atau perwalian

bagi seorang anaknya atau lebih berhak mengangkat seorang wali bagi anak-anak

itu, jika kiranya perwalian itu setelah ia meninggal dunia demi hukum ataupun

karena penetapan Hakim menurut ayat terakhir Pasal 353, tidak harus dilakukan

oleh orangtua yang lain”.

Dengan kata, orangtua masing-masing yang menjadi wali atau memegang

kekuasaan orangtua berhak mengangkat wali kalau perwalian tersebut memang

(8)

c. Perwalian yang diangkat oleh Hakim

Pasal 359 KUH Perdata menentukan :

“Semua minderjarig yang tidak berada dibawah kekuasaan orangtua dan yang

diatur perwaliannya secara sah akan ditunjuk seorang wali oleh Pengadilan”.

1. Orang-orang yang berwenang menjadi Wali

a. Wewenang menjadi Wali

Pada Pasal 332 b ayat (1) KUH Perdata menyatakan “perempuan bersuami

tidak boleh menerima perwalian tanpa bantuan dan izin tertulis dari

suaminya”.

Akan tetapi jika suami tidak memberikan izin maka dalam Pasal 332 b ayat

(2) KUH Perdata dapat disimpulkan bahwa bantuan dari pendamping

(bijstand)itu dapat digantikan dengan kekuasaan dari hakim.

Selanjutnya Pasal 332 b ayat (2) KUH Perdata menyatakan :

“Apabila si suami telah memberikan bantuan atau izin itu apabila ia kawin

dengan perempuan itu setelah perwalian bermula, sepertipun apabila si

perempuan tadi menurut Pasal 112 ayat Pasal 114 dengan kuasa dari hakim

telah menerima perwalian tersebut, maka si wali perempuan bersuami atau

tidak bersuami, berhak melakukan segala tindakan-tindakan perdata

berkanaan dengan perwalian itu tanpa pemberian kuasa atau bantuan ataupun

(9)

b. Wewenang Badan Hukum Menjadi Wali

Biasanya kewenangan perhimpunan, yayasan dan lembaga-lembaga sebagai

wali adalah menunjukkan bapak atau ibu, maka dalam Pasal 355 ayat (2)

KUH Perdata dinyatakan bahwa badan hukum tidak dapat diangkat sebagai

wali. Tetapi hal ini akan berbeda kalau perwalian itu diperintahkan oleh

pengadilan.

Pasal 365 a ayat (1) KUH Perdata dinyatakan bahwa “dalam hal sebuah badan

hukum diserahi perwalian maka panitera pengadilan yang menugaskan

perwalian itu ia memberitahukan putusan pengadilan itu kepada dewan

perwalian atau kejaksaan”.

Sesungguhnya tidak hanya panitera pengadilan saja yang wajib

memberitahukan hal itu tetapi juga pengurus badan hukum tersebut dan sanksi

akan dipecat sebagai wali kalau kewajiban memberitahukan itu tidak

dilaksanakan. Sedangkan kejaksaan atau seorang pegawai yang ditunjuknya,

demikian pula dewan perwalian, sewaktu-waktu dapat memeriksa rumah dan

tempat perawatan anak-anak tersebut.

c. Yang tidak mempunyai kewajiban menerima pengangkatan menjadi wali

1) Seorang yang dianggap sebagai seorang wali adalah salah seorang

orangtua

(10)

3) Perkumpulan, yayasan atau lembaga sosial lainnya kecuali kalau

perwalian itu diberikan atau diperintahkan kepadanya atas

permohonannya sendiri atau atas pertanyaan mereka sendiri

d. Yang dapat meminta pembebasan untuk diangkat sebagai wali

Dalam Pasal 377 ayat (1) KUH Perdata, menyebutkan :

1) Mereka yang akan melakukan jawatan negara berada di luar Indonesia

2) Anggota tentara darat dan laut dalam menunaikan tugasnya

3) Mereka yang akan melakukan jabatan umum yang terus menerus atau

untuk suatu waktu tertentu harus berada di luar propinsi

4) Mereka yang telah berusia di atas 60 tahun

5) Mereka yang terganggu oleh suatu penyakit yang lama akan sembuh

6) Mereka yang tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda

dengan anak yang dimaksud, padahal dalam daerah hukum tempat

perwalian itu ditugaskan atau diperintahkan masih ada keluarga sedarah

atau semenda yang mampu menjalankan tugas perwalian itu.

Menurut Pasal 377 ayat (2) KUH Perdata dinyatakan bahwa “si bapak dan si

ibu tidak boleh meminta supaya dilepaskan dari perwalian anak-anak mereka,

(11)

Menurut Pasal 379 KUH Perdata disebutkan ada 5 golongan yang

digolongkan atau tidak boleh menjadi wali, yaitu :

a. Mereka yang sakit ingatan(krankzninngen)

b. Mereka yang belum dewasa (minderjarigen)

c. Mereka yang berada di bawah pengampunan

d. Mereka yang telah dipecat atau dicabut (onzet) dari kekuasaan orangtua

atau perwakilan atau penetapan pengadilan

e. Para ketua, ketua pengganti, anggota, panitera, panitera pengganti,

bendahara, juru buku dan agen balai harta peninggalan, kecuali anak-anak

atau anak tiri mereka sendiri.

2. Mulai Perwalian

Dalam Pasal 331 a KUH Perdata, disebutkan

a. Jika seorang wali diangkat oleh hakim, dimulai dari saat pengangkatan jika ia

hadir dalam pengangkatan itu. Bila ia tidak hadir maka perwalian itu dimulai

saat pengangkatan itu diberitahukan kepadanya

b. Jika seorang wali diangkat oleh salah satu orangtua, dimulai dari saat orangtua

itu meninggal dunia dan sesudah wali dinyatakan menerima pengangkatan

tersebut

c. Bagi wali menurut undang-undang dimulai dari saat terjadinya peristiwa yang

(12)

Berdasarkan pasal 362 KUH Perdata maka setiap wali yang diangkat kecuali

badan hukum harus mengangkat sumpah dimuka balai harta peninggalan.

3. Wewenang Wali

a. Pengawasan atas diri pupil (orang yang menentukan perwalian)

Dalam Pasal 383 ayat (1) KUH Perdata,

“Setiap wali harus menyelenggarakan pemeliharaan dan pendidikan terhadap

pribadi si belum dewasa sesuai dengan harta kekayaannya dan ia harus

mewakilinya dalam segala tindakan-tindakan”.

Artinya wali bertanggung jawab atas semua tindakan anak yang menjadi

perwaliannya. Dalam ayat (2) pasal tersebut ditentukan, “si belum dewasa

harus menghormati walinya.” Artinya si anak yang memperoleh perwalian

berkewajiban menghormati si walinya.

b. Pengurusan dari Wali

Pasal 1383 ayat (1) KUH Perdata juga menyebutkan :

…”pun ia harus mewakilinya dalam segala tindakan-tindakan perdata.”

Namun demikian pada keadaan tertentu pupil dapat bertindak sendiri atau

didampingi oleh walinya, misalnya dalam hal pupil itu akan menikah.

Barang-barang yang termasuk pengawasan wali.

Menurut Pasal 385 ayat (2) KUH Perdata, barang-barang tersebut adalah

(13)

ketentuan barang tersebut akan diurus oleh seorang pengurus atau beberapa

pengurus.

c. Tugas dan Kewajiban Wali

Adapun kewajiban wali adalah :

1) Kewajiban memberitahukan kepada Balai Harta Peninggalan

Pasal 368 KUH Perdata apabila kewajiban ini tidak dilaksanakan wali

maka ia dapat dikenakan sanksi berupa wali dapat dipecat dan dapat

diharuskan membayar biaya-biaya dan ongkos-ongkos.

2) Kewajiban mengadakan inventarisasi mengenai harta si anak yang

diperwakilannya (Pasal 386 ayat (1) KUH Perdata).

3) Kewajiban-kewajiban untuk mengadakan jaminan (Pasal 1335 KUH

Perdata).

4) Kewajiban wali untuk menjual perobatan rumah tanggaminderjarigendan

semua barang bergerak dan tidak memberikan buah atau hasil atau

keuntungan kecuali barang-barang yang diperbolehkan disimpan innatura

dengan izinWeeskamer(Pasal 389 KUH Perdata).

5) Kewajiban untuk mendaftarkan surat-surat piutang negara jika ternyata

dalam harta kekayaan minderjarigen ada surat piutang negara (Pasal 392

KUH Perdata).

6) Kewajiban untuk menanam (belegen) sisa uang milik menderjarigen

(14)

d. Berakhirnya Perwalian

Berakhirnya perwalian dapat ditinjau dari dua keadaan, yaitu :

1) Dalam hubungan dengan keadaan si anak, dalam hal ini perwalian

berakhir karena :

a) Si anak telah menjadi dewasa (meerderjarig)

b) Matinya si anak

c) Timbulnya kembali kekuasaan orangtuanya

d) Pengesahan seorang anak di luar kawin yang diakui

2) Dalam hubungan dan tugas wali, dalam hal ini perwalian dapat berakhir

karena :

a) Ada pemecatan atau pembebasan atas diri si wali

b) Ada alasan pembebasan dan pemecatan dari perwalian (Pasal 380

KUH Perdata).

Syarat utama untuk pemecatan adalah karena mementingkan kepentingan

anak minderjarig itu sendiri. Alasan lain yang dapat memintakan pemecatan atas

wali di dalam Pasal 382 KUH Perdata menyatakan :

1. Jika wali berkelakuan buruk

2. Jika dalam melaksanakan tugasnya wali tidak cakap atau menyalahgunakan

kecakapannya

(15)

4. Jika wali untuk dirinya sendiri atau keluarganya melakukan perlawanan

terhadap si anak tersebut.

5. Jika wali dijatuhi hukuman pidana yang telah berkekuatan hukum tetap

6. Jika wali alpa memberitahukan terjadinya perwalian kepada Balai Harta

Peninggalan (Pasal 368 KUH Perdata)

Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai hukum materiil bagi lingkungan

Peradilan Agama maupun Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang perubahan

kedua dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang tentang Peradilan Agama belum

memberikan jawaban secara limitatif terhadap beberapa permasalahan hukum dalam

menetapkan pengasuhan anak yang belum mumayyiz dan yang sudah mumayyiz

ketika kedua orang tuanya bercerai atau meninggal dunia.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) setidaknya ada dua pasal menentukan

pengasuhan anak yaitu Pasal 105 dan 156. Pasal 105 menentukan tentang pengasuhan

anak pada dua keadaan. Pertama ketika anak masih dalam keadaan belum mumayyiz

(kurang dari 12 tahun) pengasuhan anak ditetapkan kepada ibunya. Kedua ketika

anak tersebut mumayyiz (usia 12 tahun ke atas) dapat diberikan hak kepada anak

untuk memilih diasuh oleh ayah dan ibunya. Adapun Pasal 156 mengatur tentang

pengasuhan anak ketika ibu kandungnya meninggal dunia dengan memberikan urutan

yang berhak mengasuh anak. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun

(16)

memberikan perubahan yang berarti mengenai penyelesaian permasalahan

pengasuhan anak.

Hak-hak yang harus dimiliki anak antara lain:

1. Hak anak sebelum dan sesudah dilahirkan 2. Hak anak dalam kesucian keturunannya 3. Hak anak dalam pemberian nama yang baik 4. Hak anak dalam menerima susuan

5. Hak anak dalam mendapatka asuhan, perawatan dan pemeliharaan

6. Hak anak dalam kepemilikan harta benda dan hak kewarisan untuk kelangsungan hidupnya

7. Hak anak dalam bidang pendidikan dan pengajaran7

Secara etimologi hak memiliki arti milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan

untuk berbuat sesuatu karena telah ditentukan undang-undang, aturan dan sebagainya.

Mengutip pendapat Agustinus yang dipandang sebagai dasar permulaan psikologi

anak mengatakan bahwa anak tidaklah sama dengan orang dewasa karena anak

mempuyai kecenderungan melakukan penyimpangan hukum dan ketertiban yang

disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan pengertian terhadap realita kehidupan.

Anak-anak lebih mudah belajar dari apa yang dilihatnya.

Selanjutnya dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 menyebutkan bahwa:

1. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 (dua belas

tahun) adalah hak ibunya.

2. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk

memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.

(17)

Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam tersebutlah yang menjadi dasar bagi para

hakim Pengadilan Agama dalam mengambil keputusan dan menetapkan hukum

kepada siapa orang yang mempuyai hak untuk memelihara anak dalam sengketa yang

menyangkut lingkungan peradilan di Indonesia.

Sebagaimana yang terjadi dalam perkara hak asuh anak dibawah umur yang

melibatkan kedua keluarga dikarenakan anak yang akan diasuh tersebut adalah anak

yatim piatu yang kedua orang tuanya telah meninggal dunia. Hal ini bermula dari

gugatan yang dilakukan oleh Nyonya NS yang merupakan nenek dari pihak ibu dari

anak-anak yang masih dibawah umur yang masing-masing bernama NR, RM dan

MFI yang tergugatnya ialah paman dari pihak ayah yang juga merupakan adik

kandung ayah anak-anak tersebut yang bernama Tuan BG.

Gugatan ini dimasukkan oleh Nyonya NS pada tanggal 23 Januari 2006 yang

terdaftar atas nomor 50/Pdt.G/2006/PA.Mdn yang isinya untuk mengajukan

penunjukan menjadi wali atas anak-anak yang dibawah umur tersebut yang kedua

orang tuanya telah meninggal dunia yang masing-masing bernama Nyonya KC dan

Tuan MI keduanya meninggal pada tahun dan tanggal yang berbeda-beda.

Akan tetapi pada tahun 2005 Tuan BG (paman) telah mendapatkan penetapan

dari Mahkamah Syariah Meulaboh Nomor 25/Pdt.P/2005/M.Sy-Mbo, yang

menyatakan bahwa ketiga anak-anak tersebut berada dibawah pengasuhan Tuan BG

(18)

biaya pendidikan dan semua kehidupan pokok si anak dan juga mengatur harta

bendanya.

Putusan Mahkamah Syariah itu tidak sesuai dengan keinginan sang nenek

yaitu Nyonya NS merasa bahwa anak-anak tersebut kurang mendapat perhatian dan

tidak terurus oleh pamannya dikarenakan domisili dari keduanya berbeda. Anak-anak

tersebut tinggal dan bersekolah di Medan sementara sang paman berdomisili di

Meulaboh. Hal inilah yang mendasari Nyonya NS untuk mengajukan gugatan

pembatalan hak asuh terhadap pamannya karena menurut sang nenek, anak-anak

yang diasuh harus tinggal bersama dengan yang mengasuh. Jika tidak tinggal bersama

sudah pasti pamannya dapat melaksanakan kewajibannya sebagai wali. Dia juga

berpendapat bahwa ketika kedua orang tua anak-anak tersebut meninggal dunia maka

tanggungjawab dan pengasuhan dan pemeliharaan anak-anak itu jatuh kepada dirinya

sebagai nenek kandungnya.

Selain membahas mengenai hak asuh Nyonya NS juga meminta untuk pihak

pengadilan agama untuk menjadi pengurus dari harta benda dan dana pensiun yang

ditingalkan oleh kedua orangtuanya. Oleh karena itu dia memohon untuk di tunjuk

sebagai wali dari ketiga anak tersebut.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka penelitian akan membahas lebih lanjut

tentang akibat hukum pembatalan hak asuh anak yang ditetapkan oleh Mahkamah

(19)

mengambil judul “Analisis Yuridis Terhadap Pembatalan Hak Asuh Anak oleh

Pengadilan Agama (Studi Putusan Pengadilan Agama No. 50/Pdt.G/2006/PA.Mdn)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa

permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu:

1. Apakah faktor-faktor yang menjadi penyebab pembatalan hak asuh terhadap

anak-anak yang masih dibawah umur?

2. Bagaimanakah akibat hukum dari pengalihan hak asuh anak akibat Putusan

Pengadilan Agama No. 50/Pdt.G/2006/PA.Mdn?

3. Apakah dasar pertimbangan hukum yang diambil oleh hakim dalam

menetapkan hak asuh anak pada putusan Pengadilan Agama Nomor

50/Pdt.G/2006/PA.Mdn?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang tersebut diatas, maka tujuan yang hendak

dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya pembatalan hak asuh

anak dibawah umur.

2. Untuk mengetahui akibat hukum dari pengalihan hak asuh anak akibat

(20)

3. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hukum yang diambil oleh hakim

dalam penetapan pengadilan tentang pembatalan hak asuh pada anak pada

putusan Pengadilan Agama Nomor 50/Pdt.G/2006/PA.Mdn.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian merupakan pencerminan yang konkrit dari kegiatan ilmu dalam

suatu proses ilmu pengetahuan. 8 Penelitian hukum dilakukan untuk mencari

pemecahan atas isu hukum yang timbul.9Bertitik tolak dari tujuan penelitian yang

disebut diatas, maka diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat dan

kegunaan secara teoritis dan praktis dibidang hukum, yang akan dijabarkan sebagai

berikut:

1. Secara Teoritis.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan hukum

pada umumnya dan ilmu pengetahuan hukum Islam tentang hak pengasuhan anak di

bawah umur pada khususnya. Disamping itu juga dapat menambah litelatur dalam

memperkaya khasanah kepustakaan di bidang hukum keperdataan dan juga

(21)

2. Secara Praktis.

Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada masyarakat umum

dan juga sebagai bentuk sumbangan pemikiran dan masukan bagi para pihak yang

berkepentingan.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas

Sumatera Utara khususnya di lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Magister

Kenotariatan Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan judul ini belum

pernah dilakukan. Akan tetapi, ditemukan beberapa judul tesis yang berhubungan

dengan topik dalam tesis ini antara lain:

1. Syarifah Tifanny, Mahasiswa Magister Kenotariatan, dengan judul tesis

“Pengasuhan Anak Setelah Terjadinya Perceraian (Studi Kasus Putusan

Pengadilan Agama Binjai)”.

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah

a. Apa yang manjadi hak-hak anak serta apa kewajiban orangtua terhadap

anaknya dalam hukum Islam?

b. Bagaimana menentukan hak pengasuhan anak (hadhanah) di Pengadilan

Agama Binjai jika terjadi perceraian?

c. Bagaimana eksekusi putusan perkara-perkara hadhanah di Pengadilan

(22)

2. Nur Fatimah G, Mahasiswa Magister Kenotaritan, dengan judul tesis “ Kajian

Yuridis Hak Pemeliharan Anak Setelah Terjadinya Perceraian Menurut

Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Studi Kasus

Terhadap Putusan Pengadilan No. 101/Pdt.G/2009/PN/MDN)”.

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah

a. Apa faktor terjadinya perceraian dan akibatnya terhadap hak pemeliharaan

anak?

b. Bagaimana upaya yang ditempuh para pihak untuk memperoleh hak

pemeliharaan (hak asuh anak)?

c. Apa dasar pertimbangan hukum yang dilakukan dalam penetapan hak

pemeliharaan anak?

3. Rosmaliana, Mahasiswa Magister Kenotariatan, dengan judul tesis “Akibat

Hukum Yang Timbul Dari Perceraian Orangtua Terhadap Pengasuhan Anak

Ditinjau Dari Undang-undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak dan Kompilasi Hukum Islam”.

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah

a. Apa merupakan dasar pertimbangan hukum hakim dalam menentukan

tanggung jawab pengasuhan anak setelah perceraian?

b. Bagaimana akibat hukum dari tidak terlaksananya hak dan kewajiban

(23)

c. Bagaimana upaya yang tepat dilakukan oleh suami atau istri apabila salah

satu pihak tidak dapat memenuhi kewajibannya terhadap anak sesuai

putusan pengadilan?

Dari judul penelitian tersebut tidak ada kesamaan dengan penelitian yang

dilakukan. Dengan demikian judul ini belum ada yang membahasnya sehingga

penelitian ini dijamin keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Ilmu pengetahuan dan perkembangannya tidak terlepas dari teori hukum

sebagai landasan dan pedoman. Tugas teori hukum adalah untuk menjelaskan

nilai-nilai hukum dan postulat-postulatnya sehingga dasar-dasar filsafatnya yang paling

dalam sehingga penelitian ini tidak terlepas dari teori-teori ahli hukum yang dibahas

dalam bahasa dan sistem pemikiran para ahli hukum itu sendiri.10

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik

atau suatu proses itu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada

fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.11 Sedangkan fungsi teori

dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan

serta menjelaskan gejala-gejala yang diamati.12Kerangka teori yang dimaksud ialah

kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat mengenai suatu kasus ataupun

10W. Friedman,Teori dan Filsafat Umum,Raja Grafindo, Jakarta, 1996, hal. 2 11J.J.J.M. Wuisman,Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 6

(24)

permasalahan yang bagi si pembaca menjadi bahan perbandingan, pegangan teori,

yang mungkin akan disetujui ataupun tidak dan merupakan masukan eksternal bagi

peneliti.13

Berdasarkan pengertian teori dan kegunaannya tersebut di atas maka

penelitian ini menggunakan teori perlindungan hukum terhadap anak yatim piatu,

dimana perlindungan tersebut diaplikasikan dalam bentuk Hadhanah yang dalam

ilmu fiqih disebut Ahkam Al Hadhonah yang berarti mengasuh.14Mengasuh(hadhn)

dalam pengertian ini tidak dimaksudkan dengan menggendongnya dibagian samping

ataupun dibagian dada. Secara terminologis, hadhanah adalah menjaga anak yang

belum bisa mengatur dan merawat dirinya sendiri, serta belum mampu menjaga

dirinya dari hal-hal yang dapat membahayakan dirinya. Pengertian perlindungan

hukum disini adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada anak yang masih

dibawah umur (dibawah 12 tahun) atau yang mumayyiz (sudah berumur 12 tahun ke

atas) yang dipandang masih belum dewasa sesuai dengan ketentuan yang terdapat

dalam kompilasi hukum Islam yang diberikan oleh pihak-pihak yang berwenang yang

oleh undang-undang ditunjuk untuk memberikan perlindungan hukum terhadap anak

tersebut.15

Hadhanah (pengasuhan anak) hukumnya wajib, karena anak yang masih

memerlukan pengasuhan ini akan mendapatkan bahaya jika tidak mendapatkan

(25)

pengasuhan dan perawatan, sehingga anak harus dijaga agar tidak sampai

membahayakan. Selain itu ia juga harus tetap diberi nafkah dan diselamatkan dari

segala hal yang dapat merusaknya.

Dari pengertian Hadhanah (pengasuhan anak) yang diuraikan di atas maka

dapat dikatakan bahwa Hadhanahmeliputi beberapa hal penting :

1. Hak bagi pengasuh yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan

2. Hak-hak atas anak yang diasuh oleh pengasuh

3. Hak memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang berada dalam

pengasuhan oleh pengasuh

4. Hak pihak tertentu (selain ibu dan ayah) yang dapat menggantikan

pengasuhan dari anak tersebut

Jika masing-masing hak itu dapat disatukan dan diwujudkan, maka itulah

yang akan menjadi jalan keluar yang terbaik bagi semuanya dan jika terjadi

pertentangan maka yang harus didahulukan adalah kepentingan si anak daripada

kepentingan yang lainnya.

Apeldoorn menyatakan bahwa tujuan hukum adalah mengatur tata tertib

dalam masyarakat secara damai dan adil untuk mencapai kedamaian hukum dan

harus diciptakan masyarakat yang adil dengan mengadakan penumbangan antara

kepentingan yang bertentangan satu sama lain dan setiap orang harus memperoleh

(26)

Begitu juga dengan anak karena setiap anak berhak mendapatkan keadilan dan

perlindungan dari kedua orang tuanya dan juga dari keluarga terdekatnya. Menurut

Abdullah bin Abdul Muhsin At-Turki mengatakan bahwa “masa kanak-kanak

merupakan sebuah periode penumbuhan benih, pendirian tiang pancang, pembuatan

fondasi yang dapat juga disebut dengan periode pembentukan watak, kepribadian dan

karakter dari seorang manusia agar mereka memiliki kekuatan dan kemampuan serta

mampu berdiri tegar dalam meniti kehidupan”17. Anak merupakan elemen yang

sangat penting dalam kehidupan mulai dari lingkup yang paling kecil yaitu keluarga

sampai dengan lingkup yang paling besar yaitu negara. Dalam memperlakukan anak

juga harus dengan cara yang berbeda-beda karena sifat dana karakter anak tidak bisa

disamaratakan.

Menurut ajaran Hukum Islam, anak merupakan amanah dari Allah yang tidak

bisa dianggap sebagai harta yang bisa diperlakukan sembarangan oleh orang tua.

Sebagai amanah, anak harus dilindungi, dijaga, diperlihara. Anak juga manusia yang

memiliki nilai kemanusian yang tidak dapat dihilangkan dengan alasan apapun juga.

Adapaun tahap-tahap dan proses dalam perkembangan dan pertumbuhan anak

merupakan hal yang wajar dan harus didampingi karena itu merupakan proses

menuju kematangan hidup seorang anak.

Disinilah peran penting orang tua, pengasuh dan pemelihara anak bekerja

(27)

dalam lingkungan keluarga yang bahagia dan pengertian. Kepribadian dan karakter

dari seorang manusia agar mereka kelak memiliki kemampuan dan kekuatan serta

mampu berdiri tegar dalam meniti kehidupan.18

Untuk itu diperlukan orang tua ataupun orang yang dapat mengasuh si anak

dengan baik dan benar karena anak merupakan pribadi yang masih sangat labil

apalagi jika lingkungan tempat tinggalnya tidak mendukung ia untuk menjadi pribadi

yang baik. “Demi pertumbuhan anak yang baik orang tua ataupun orang yang

mengasuhnya harus memenuhi kebutuhan jasmani seperti makan, minum dan tidur.

Kebutuhan keamanan dan perlindungan, kebutuhan untuk dicintai oleh orang tuanya,

kebutuhan harga diri (adanya penghargaan) dan kebutuhan menyatakan diri baik

secara tertulis maupun secara lisan.”19

2. Konsepsi

Konsepsi adalah suatu bagian terpenting dari teori, karena konsep adalah

bagian penghubung yang menerangkan suatu yang sebelumnya hanya baru ada

dipikiran. “Peranan konsep dalam pemeliharaan adalah untuk menghubungkan dunia

teori dan observasi antara bisnis dan realistis.”20

Konsepsi yang dimaksud disini adalah kerangka konsepsional merupakan

bagian yang menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep yang digunakan

18Ibid, hal. 21

19R.I.Suhartini C,Cara Mendidik Dalam Keluarga Masa Kini, Bhatara Karya, Jakarta, 1986,

(28)

penulis. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abtraksi yang

digeneralisasikan dari hal-hal khusus yang disebut dengan defenisi operasional.21

Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindari perbedaan

pengertian mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu dipergunakan

juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini. Dengan adanya

penegasan kerangka konsepsi, maka akan diperoleh suatu pandangan dalam

menganalisis masalah yang akan diteliti baik dipandang dari aspek yuridis maupun

aspek sosiologis.22 Oleh karena itu, dalam penelitian ini dirumuskan serangkaian

kerangka konsepsi atau defenisi operasional sebagai berikut:

1. Anak adalah orang yang belum mampu berdiri sendiri atau yang belum

berusia 21 tahun dan sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun

mental dan belum melangsungkan perkawinan23

2. Pengasuhan adalah upaya atau tatacara yang dilakukan orang tua atau bagian

dari keluarga si anak untuk memberi kesempatan bagi anak tumbuh dan

berkembang serta memiliki karakter dan tingkah laku yang baik.

3. Hak asuh adalah hak untuk melakukan pengasuhan dan memberikan

perlindungan serta pemeliharaan terhadap anak-anak yang masih belum

(29)

4. Pembatalan hak asuh adalah perbuatan yang menganggap pengasuhan tersebut

adalah suatu peristiwa yang tidak sesuai dengan yang diinginkan dan

menyebabkan terlantarnya anak-anak yang diasuh.

5. Hak pemeliharaan anak (Hadhanah) adalah tugas menjaga dan mengasuh atau

mendidik bayi atau anak kecil sejak lahir sampai mampu menjaga dan

mengatur dirinya sendiri.24

6. Pengadilan Agama ialah bagian dari peradilan umum yang berwenang

mengadili permasalahan hukum yang menyangkut hubungan hukum bagi

warga negara Indonesia yang beragama Islam.

G. Metode Penelitian 1. Sifat dan Jenis Penelitian

Penelitian adalah pencarian atas sesuatu secara sistematis dengan penekanan

bahwa pencarian ini dilakukan terhadap masalah-masalah yang dapat dipecahkan.25

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitis yaitu penelitian yang

menggambarkan tentang penerapan hukum serta tata cara pelaksanaannya di dalam

lingkungan masyarakat yang berdasarkan teori dan konsep yang bersifat umum untuk

menjelaskan seperangkat data, atau menunjukkan komporasi atau hubungan

seperangkat data dengan seperangkat data lainnya.26

24Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Prenada

Media, Jakarta, 2004. Hal. 166

25Moh. Nazir,Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1998, hal. 13.

(30)

Deskriptif artinya memberikan gambaran secara jelas dan sistematis mengenai

masalah yang akan diteliti. Sedangkan analisis ialah menjelaskan secara cermat dan

menyeluruh tentang pelaksanaan hak asuh anak dibawah umur ketika kedua orang

tuanya telah meninggal dunia.

Jenis penelitian yang digunakan ialah dengan memakai pendekatan yuridis

normatif yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat

dalam undang-undang maupun peraturan lainnya yang digunakan sebagai dasar untuk

melakukan penelitian yang berawal dari premis umum dan kemudian berakhir pada

suatu kesimpulan khusus.

Penggunaan pendekatan yuridis normatif dilakukan karena penelitian ini

merupakan penelitian kepustakaan atau dokumen yang permasalahannya diteliti

denganmenggunakan aspek hukum yang berlaku di masyarakat.

2. Sumber Data

Sumber data yang dipergunakan untuk mendukung penelitian ini adalah

bahan-bahan hukum yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan

bahan hukum tertier.

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum yang diperoleh dari undang-undang, putusan pengadilan dan

(31)

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan-bahan yang ada kaitannya dengan bahan hukum primer yang berupa

literatur dari bahan bacaan berupa buku, artikel, hasil-hasil seminar dan

jurnal-jurnal hukum serta komentar-komentar atas putusan pengadila.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan yang diambil dari majalah, surat kabar, kamus hukum, kamus besar

bahasa Indonesia dan bahan penunjang lainnya yang bisa saja didapat diluar

bidang ilmu hukum.

3. Alat Pengumpulan Data

Data yang dilumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang

dilakukan dengan cara melakukan penelitian kepustakaan (library research) untuk

mendapatkan konsepsi atau doktrin, pemikiran konseptual dan penelitian yang

dilakukan pihak lain yang sesuai dengan penelitian yang dilakukan.

Pemikiran dan gagasan dapat diperoleh melalui peraturan

perundang-undangan yang berlaku, litelatur dari para ahli yang relawan dengan penelitian dan

juga artikel-artikel serta jurnal dan majalah ilmiah ataupun dokumen-dokumen yang

berupa putusan yang berkaitan dengan permasalahan penelitian ini.

4. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara analisis kualitatif dimana metode ini

melakukan analisa dan evaluasi dari data hukum primer, data hukum sekunder dan

(32)

tujuan dari penelitian. Sedangkan penafsiran data dilakukan secara kualitatif yaitu

dengan cara data-data yang sudah dikumpulkan kemudian dianalisis dan ditafsirkan

secara logis dan sistematis dengan mengguanakan metode deduktif. Atas dasar

pembahasan dan analisis inilah dapat diperoleh suatu kesimpulan terhadap penelitian

Referensi

Dokumen terkait

4.3 Menyusun teks lisan dan tulis untuk menyatakan dan menanyakan nama hari, bulan, nama waktu dalam hari, waktu dalam bentuk angka, tanggal, dan tahun, dengan unsur kebahasaan

PT.X sendiri mempunyai perkerja ±150 orang perkerja dan kebanyakan yaitu pekerja kontrak, hampir 90% adalah pekerja kontrak, lama PKWT yang di buat PT.X ini ada 2 (dua)

pembelajaran kooperatif tipe jigsaw yang dilakukan oleh guru kemudian meningkat menjadi 5 (100%) aktivitas tindakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw

PENENTUAN HARGA POKOK PRODUKSI GUNA UNTUK MENGOPTIMALKAN BIAYA OPERASIONAL DENGAN METODE.. ACTIVITY BASED COSTING SYSTEM (DI CV. MUTIARA

Penelitian ini bertujuan untuk meneliti unsur struktural dan konflik sosial yang terdapat pada video wayang orang Balai Sigala-gala serta mencari tahu apakah relevan

berdasarkan hasil penelitian dalam hal penyampaian/transmisi dilakukan oleh dinas sosial kepada pihak puskesmas yaitu dengan cara seminar atau juga bimbingan teknik oleh

In this chapter, we’ll learn to use standard library and open source commu- nity tools that make it incredibly simple to create a conventional, idiomatic command-line interface

proses mengundurkan diri atau yang telah membuat kesalahan 9 Mengungkapkan perencanaan kepemilikan rumah karyawan 10 Mengungkapkan fasilitas untuk aktivitas rekreasi