• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Hukum Tindak yang dilakukan oleh Kepala Desa Paya Itik Dalam Persfektif Kriminologi (Studi Kasus Putusan No.17 Pid.Sus-TPK 2016 PN.MDN)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Hukum Tindak yang dilakukan oleh Kepala Desa Paya Itik Dalam Persfektif Kriminologi (Studi Kasus Putusan No.17 Pid.Sus-TPK 2016 PN.MDN)"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENGATURAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA KORUPSI DANA DESA

Di Indonesia langkah - langkah pembentukan hukum positif untuk menghadapi masalah korupsi telah dilakukan selama beberapa masa perjalanan sejarah dan melalui bebrapa masa perubahan perundang- undangan. Istilah korupsi sebagai istilah yuridis baru digunakan tahun 1957, yaitu dengan adanya Peraturan Penguasa Militer yang berlaku di daerah kekuasaan Angakatan Darat (Peraturan Militer Nomor PRT/PM/06/1957). Beberapa peraturan yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi di Indonesia sebagai berikut :54

a. Pengaturan yang berkuasa Nomor PRT/PM/06/1957 dikeluarkan oleh Penguasa Militer Angkatan Darat dan berlaku untuk daerah kekuasaan Angkatan Darat. Rumusan korupsi menurut perundang- undangan ini ada dua yaitu, tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga baik untuk kepentingan sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau untuk kepentingan suatu badan yang langsung atau tidak langsung menyebabkan kerugian keuangan atau perekonomian.

1.Masa Peraturan Penguasa Militer, yang terdiri dari:

55

54

Evi Hartanti, Op.cit, halaman 22

55

Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi (UUNo.31 Tahun 1999). Penerbit Mandar Maju, Bandung 2001, hlm. 13.

(2)

diberikan kepadanya oleh jabatan langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan material baginya.56

b. Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/08/1957 berisi tentang pembentukan badan yang berwenang mewakili negara untuk menggugat secara perdata orang- orang yang dituduh melakukan berbagai bentuk perbuatan korupsi yang bersifat keperdataan (perbuatan korupsi lainnya lewat Pengadilan Tinggi. Badan yang dimaksud adalah Pemilik Harta Benda (PHB).

c. Peraturan Penguasaan Militer Nomor PRT/PM/011/1957 merupakan peraturan yang menjadi dasar hukum dari kewenangan yang dimiliki oleh Pemilik Harta Benda (PHB) untuk melakukan penyitaan harta benda yang dianggap hasil perbuatan korupsi lainnya, sambil menunggu putusan dari Pengadilan Tinggi.

d. Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan darat Nomor PRT/PEPERPU/031/1958 serta peraturan pelaksananya.

e. Peraturan Penguasaan Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut Nomor PRT/z.1/I/7/1958 tanggal 17 April 1958 (diumumkan dalam BN Nomor 42/58). Peraturan tersebut diberlakukan untuk wilayah hukum Angkatan Laut.57

2. Masa Undang- Undang Nomor 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. 58

56

Ibid, hlm.13-14. 57

Jur. Andi Hamzah, Pemerantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan

Internasioanal. Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2005

58

Martiman Prodjohamidjojo, Op.cit, halaman 15

(3)

berbagai peraturan. Sifat Undang- Undang ini masih melekat sifat kedaruratan, menurut pasal 96 UUDS 1950, pasal 139 Konstitusi RIS 1949. 59Undang ini merupakan perubahan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 24 Tahun 1960 yang tertera dalam Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1961.60

Dasar hukum dari munculnya peraturan di luar Kitab Undang- Undang hukum Pidana (KUHP) di atas adalah Pasal 103 KUHP. Di dalam pasal tersebut dinyatakan, “ Ketentuan- ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini Undang- undangjuga berlaku bagi perbuatan- perbuatan yang oleh ketentuan perundang- undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali oleh Undang- Undang ditentukan lain.”

3. Masa Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971 (LNRI 1971-19, TNLRI 2958) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

4. Masa Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 (LNRI 1999-40, TNLRI 387), tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemudian diubah dengan undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 (LNRI 2001-134, TNLRI 4150), tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya pada tanggal 27 Desember 2002 dikeluarkan Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 (LNRI 2002-137. TNLRI 4250) tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

61

Jadi, dalam hal ketentuan dalam peraturan perundang- undangan mengatur lain daripada yang telah diatur dalam KUHP, dapat diartikan bahwa suatu bentuk

59

Konstitusi RIS dicabut dengan berlakunya UUDS 1950 dan UUDS 1950 dicabutdengan Dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli 1959

60

Evi Hartanti, op. Cit, halaman 22-23 61

(4)

aturan khusus telah mengesampingkan aturan umum (Lex Specialis Derogat Legi Generali). Dengan kata lain Pasal 103 KUHP memungkinkan suatu ketentuan

perundang- undangan di luar KUHP untuk mengesampingkan ketentuan- ketentuan yang telah diatur dalam KUHP.

Dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) sebenarnya terdapat ketentuan- ketentuan yang mengancam dengan pidana orang yang melakukan delik jabatan, pada khususnya delik- delik yang dilakukan oleh pejabat yang terkait dengan korupsi.

Ketentuan- ketentuan tindak pidana korupsi yang terdapat dalam KUHP dirasa kurang efektif dalam mengantisipasi atau bahkan mengatasi permasalahan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, dibentuklah suatu peraturan perundang- undangan guna memberantas masalah korupsi, dengan harapan dapat mengisis serta menyempurnakan kekurangan yang terdapat pada KUHP. Dengan berlakunya Undang- Undang 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1991 tentang Pemberantasan tindak Pidana korupsi, maka ketentuan Pasal 209 KUHP, Pasal 210 KUHP, Pasal 387 KUHP, Pasal 388 KUHP, Pasal 415, Pasal 416 KUHP, Pasal 417 KUHP, Pasal 418 KUHP, Pasal 419 KUHP, Pasal 420 KUHP, Pasal 423 KUHP, Pasal 425 KUHP, Pasal 434 KUHP dinyatakan tidak berlaku.62

Perumusan tindak pidana korupsi menutur pasal 2 ayat 1 Undang- undang Nomor 31 tahun 1999 adalah setiap orang (orang-perorangan atau korporasi) yang memenuhi unsur/elemen dari pasal tersebut. Dengan demikian, pelaku tindak pidana korupsi menurut pasal ini adalah “Setiap Orang”, tidak ada keharusan

62

(5)

Pegawai Negeri. Jadi, juga dapat dilakukan oleh orang yang tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau korporasi, yang dapat berbentuk badan hukum atau perkumpulan. Adapun perbuatan yang dilakukan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi adalah sebagai berikut:63

1. Memperkaya diri sendiri, artinya bahwa perbuatan melawan hukum itu pelaku menikmatibertambahnya kekayaan atau harta benda miliknya sendiri.

2. Memperkaya orang lain, maksudnya akibat perbuatan melawan hukum dari pelaku, ada orang lain yang menikmati bertambahnya kekayaannya atau bertambahnya harta bendanya. Jadi, di sini yang diuntungkan bukan pelaku langsung.

3. Memperkaya korporasi, atau mungkin juga yang mendapat keuntungan dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku adalah suatu korporasi, yaitu kumpulan orang atau kumpulan kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum (Pasal 1 angka 1 undang- undang Nomor 31 Tahun 1999).

Jika ditinjau dari instrumen hukumnya, Indonesia telah memiliki banyak peraturan perundang- undangan untuk mengatur pemberantasan tindak pidana korupsi. Diantaranya ada KUHP, Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi beserta revisinya melalui Undang- Undang Nomor 20 tahun 2001, bahkan sudah ada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang dibentuk berdasarkan Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002. Secara substansi Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 telah mengatur

63

(6)

berbagai aspek yang kiranya dapat menjerat berbagai modus operandi tindak pidana korupsi yang semakin rumit. Dalam Undang- Undang ini tindak pidana korupsi telah dirumuskan sebagai tindak pidana formil, pengertian pegawai negeri telah diperluas, pelaku korupsi tidak didefenisikan hanya kepada orang perorang tetapi juga pada korporasi, sanksi yang dipergunakan adalah sanksi minimum sampai pidana mati, seperti yang tercantum dalam pasal 2 dan pasal 3 undang- undang tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan telah pula dilengkapi dengan pengaturan mengenai kewenangan penyidik, penuntut umumnya hingga hakim yang memeriksa di sidang pengadilan. Bahkan, dalam segi pembuktian telah diterapkan pembuktian tebalik secara berimbang dan sebagai kontrol, undang- undang ini dilengkapi dengan Pasal 41 pengaturan mengenai peran serta masyarakat, kemudian dipertegas dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu pengaturan tindak pidana korupsi dilakukan melalui kerja sama dengan dunia Internasioanal. Hal ini dilakukan dengan cara menandatangani konvensi PBB tentang anti korupsi yang memberikan peluang untuk mengembalikan aset- aset para koruptor yang di bawa lari ke luar negeri. Dengan meratifikasi konvensi ini, Indonesia akan diuntungkan dengan penanda tangan jonvensi ini. Salah satu yang penting dalam konvensi inia adalah adanya pengaturan tentang pembekuan, penyitaan dari harta benda hasil korupsi yang ada di luar negeri.64

64

(7)

A. Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

a. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Pengertian Tindak Pidana Korupsi yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang- Undang No.31 Tahun 1999 Jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memiliki pengertian yaitu :65

Berkaitan dengan sanksi bagi pelaku tindak pidana korupsi dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, pada pasal 2 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak ” Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

Dari bunyi pasal yang demikian, jelas pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, menghendaki agar siapa saja yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi, sebagaimana yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, akan dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

65

UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo.UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak

(8)

Pidana Korupsi, juga menegaskan bahwa apabila suatu tindak pidana korupsi dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi, maka para pelaku tersebut dapat di pidana mati.

Menurut Darwin Prinst, (2002 : 23), keseluruhan sanksi yang terdapat dalam UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan khususnya yang terdapat dalam pasal 2 ayat (1) pada dasarnya menganut 3 sifat dari ancaman pidana, yakni: Pertama, kata “dan atau” yang tertuang dalam suatu ketentuan pemidanaan, maka pemidanaan dalam ketentuan tersebut bersifat komulatif dan alternatif.66

Pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga menghendaki agar istilah korupsi diartikan sebagai setiap orang baik pejabat pemerintah maupun swasta yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Itu berarti, unsur/elemen yang terkandung dalam pasal ini dan harus dibuktikan berkaitan dengan suatu tindak pidana korupsi adalah Pertama, Adanya pelaku dalam hal ini SETIAP ORANG. Kedua, adanya Kedua, kata “dan” yang terdapat dalam suatu ketentuan pemidanaan, maka pemidanaan dalam ketentuan tersebut adalah bersifat komulatif. Ketiga, kata “atau” yang tertera dalam suatu ketentuan pemidanaan, maka pemidanaan dalam ketentuan tersebut bersifat alternatif.

66

(9)

perbuatan yang mana perbuatan tersebut harus dilakukan secara MELAWAN HUKUM. Ketiga, tujuan dari perbuatan tersebut yakni untuk MEMPERKAYA DIRI SENDIRI, ORANG LAIN ATAU KORPORASI. Keempat, akibat perbuatan tersebut adalah DAPAT MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA ATAU PEREKONOMIAN NEGARA. SETIAP ORANG Pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menghendaki agar yang disebut sebagai pelaku tindak pidana korupsi adalah “setiap orang”. Istilah “setiap orang” dalam konteks hukum pidana harus dipahami sebagai orang perorangan (Persoonlijkheid) dan badan hukum (Rechtspersoon).

Untuk konteks UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, para koruptor itu bisa juga korporasi (lembaga yang berbadan hukum maupun lembaga yang bukan berbadan hukum) atau siapa saja, entah itu pegawai negeri, tentara, masyarakat, pengusaha dan sebagainya asal memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam pasal ini. MELAWAN HUKUM Perbuatan melawan hukum dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, seharusnya dipahami secara formil maupun secara materil. Secara formil berati perbuatan yang disebut tindak pidana korupsi adalah perbuatan yang melawan/bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Seperti UU No. 8 Tahun 1981, Tentang KUHP, UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 28 Tahun 1999, Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme,67

67

UU Nomor.28 Tahun 1999,Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari

Korupsi,Kolusi dan Nepotisme.

(10)

tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah,68 PP No. 109 Tahun 2000, Tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, PP No. 110 Tahun 2000, tentang kedudukan keuangan DPRD,69

Pasal 2 ayat (1) juga merupakan pasal utama dalam hal menjerat para pelaku tindak pidana korupsi,memiliki unsur-unsur yaitu sebagai berikut :

dll.

Sedangkan secara materil berarti perbuatan yang disebut tindak pidana korupsi adalah perbuatan yang walaupun tidak bertentangan peraturan perundang-undangan yang berlaku namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat di pidana. Perluasan unsur “melawan hukum” ini sangat ditentang oleh sebagian ahli hukum dan sangat berpengaruh dalam proses penegakan hukum sekarang.

Alasan dari pihak yang menolak perluasan unsur melawan hukum ini adalah jika unsur “melawan hukum” ini diartikan secara luas, maka pengertian melawan hukum secara materil (Materiele Wederrechttelijkeheid) dalam Hukum pidana diartikan sama dengan pengertian “melawan hukum (Onrechtmatige Daad)” dalam pasal 1365 KUH Perdata dan ini sangat bertentangan dengan asas

legalitas yang dalam bahasa Latin, disebut : “Nullum Delictum Nulla Poena Lege Pravie Poenali” yang dalam hukum pidana Indonesiaa pengertiannya telah

diadopsi dan dituangkan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi: “suatu perbuatan tidak dapat dihukum/dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan yang telah ada”.

70

68

Peraturan Pemerintah Nomor. 109 Tahun 2000, Tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah

dan Wakil Kepala Daerah.

69

(11)

a. Setiap Orang; b. Melawan Hukum;

c. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi; d. Dapat merugikan keuangan/perekonomian negara. Penjelasan unsur-unsur tersebut sebagai berikut :

1. Setiap Orang

Kata “setiap orang” menunjukan kepada siapa orannya harus bertanggung jawab atas perbuatan/kejadian yang didakwakan atau siapa orang yang harus dijadikan terdakwa. Kata setiaporang identic dengan terminology kata “barang siapa” atau hij dengan pengertian sebagai siapa saja yang harus dijadikan terdakwa/dadar atau setiap orang sebagai subjek hukum (pendukung hak dan kewajiban) yang dapat diminta pertanggung jawaban dalam segala tindakannya

sehingga secara historis kronologis manusia sebagai subjek hukum telah dengan sendirinya ada kemampuan bertanggung jawab kecuali secara tegas undang-undang menentukan lain. Oleh karena itu kemampuan bertanggung jawab

(toeerekeningsvaaanbaarheid) tidak perlu dibuktikan lagi karena setiap subjek

hukum melekat erat dengan kemampuan bertanggung jawab sebagaimana ditegaskan dalam Memorie van Toelichting (MvT).

Maksud dari kata “setiap orang” dalam pasal 1 butir 3 UU No. 31 /1999 adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi. Dalam hal ini adalah subjek atau pelaku tindak pidana yang dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya yang terdiri dari perseorangan atau korporasi. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang teroganissi baik merupakan badan hukum maupun bukan

70

(12)

badan hukum. Selanjutnya dalam Pasal 20 ayat 1 UU No 31 Tahun 1999 ditegaskan bahwa:

“Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya”.

Kemudian dalam penjelasan Pasal 20 ayat 1 dijelaskan bahwa dimaksud dengan “pengurus” adalah organ korporasi yang menjalankan kepengurusan korporasi yang bersangkutan sesuai dengan anggran dasar, termasuk mereka yang dalam kenyataanya memiliki kewenangan dan ikut memutuskan kebijakan korporasi yang dapat dikualifikasi sebagi tindak pidana korupsi.71

Dalam unsur ini, pembentuk undang-undang mempertegas elemen secara melawan hukum yang mencakup perbuatan melawan secara formil dan materiil, 2. Melawan hukum

Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dijelaskan dalam penjelasan pasal 2 ayat 1 UU No. 31/1999 yaitu mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formal amaupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila

perbuatan tersebut dianggab tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan

atau norma-norma kehidupan social dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut

dapat dipidana. Kemudian dalam penjelasan pasal 1 ayat 1 sub a UU No. 3/1971

bahwa perbuatan “melawan hukum tidak dijadikan sebagai perbuatan yang dapat dihukum, melainkan melawan hukum ini adalah sarana untuk melakukan perbuatan yang dapat dihukum yaitu “memeperkaya diri sendiri” atau “orang lain” atau “suatu badan”.

71

(13)

yakni meskipun perbuatan itu tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, akan tetapi apabila perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan social dalam masyarakat, perbuatan tersebut dapat dipidana.

Kemudian dalam penjelasan Pasal 1 ayat 1 sub a UU No. 3/1971 bahwa “perbuatan melawan hukum” tidak dijadikan sebagai perbuatan yang dapat dihukum, melainkan melawan hukum ini sarana untuk melakkan perbuatan yang dapatdihukum yaitu “memperkaya diri sendiri” atau “orang lain” atau “suatu badan”.

Dalam unsur ini, pembentuk undang-undangmempertegas elemensecara “melawan hukum” yang mencakup perbuatan melawan hukum secara formil dan

materiil, yakni meskipun perbuatan ini tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan , akan tetapi apabila diangap tercela karena tidak sesuai dengan rasa

keadilan atau norma-norma kehidupan social dalam masyarakat, perbuatan

tersebut dapat dipidana.

Pada dasarnya perbuatan melawan hukum formal (formale wederrechtelijk) dan perbuatan hukum materiil (materiede wederrechtelijk) telah

lama dianut dalam sistem peradilan peradilan. Kemudian dalam praktik peradilan tindak pidana korupsi khususnya terhadap perbuatan melawan hukum materiil (materiele wederrechtelijk) melalui yurisprudensi.

(14)

Pertimbangan didasararkan asas-asas keadilan dan asas-asas hukum yang tidak tertulis.72

Pada dasarnya, maksud “memeperkaya diri sendiri” dapat ditafsirkan bahwa pelaku bertambah kekayaanya atau menjadi lebih kaya karena perbuatan korupsi yag dilakukan tersebut. Modus operanndi perbuatan memperkaya diri sendiri dapat dilakukan dengan berbagai cara misalnya dengan membeli, menjual, 3. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi

Memperkaya diri sendiri atau suaty memperkaya korporasi perkataan “memperkaya diri sendiri” atau “orang lain” atau “suatu badan” yang jika dihubungkan dengan pasal 18 ayat 2 UU No. 3/1971, maka merupakan upaya untuk mengumpulkan kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau penambahan kekayan dari sumber-sumber yang tidak sah, yang memberi kewajiban kepada terdakwa untuk memberikan keterangan sumber kekayaanya sedemikian rupa.

Terminology “memeperkaya” dalam konteks tindak pidana korupsi ini telah dikenal mellaui ketentuan pasal 12 ayat 2 Peraturan Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat No. Prt/peperpu/013/1958 tanggal 16 April 1958 jo Peraturan Pengusaha Perang kepala Staf Angkatan Laut No. Prt/Z.I/1/7 tanggal 17 April 1958, Pasal 1 huruf b UU No. 24 Prp Thaun 1960, pasal 1 ayat 1 huruf a UU no. 3/1971 dan Pasal 2 ayat 1 UU no. 3/1971.

72

Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, normative, teoritis, Praktik dan masalahnya, alumni

(15)

memindah bukukan rekening, menandatangani kontrak serta perbuatan lainny sehingga pelakujadi bertambah kekayaanya. Memperkaya “orang lain” menurut Darwin Prinst adalah bahwa akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku , ada orang lain yang menikmati bertambahnya kekayaannya atau bertambahnya harta bendannya.73

a) Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggung jawaban pejabat lembaga Negara, baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah;

4. Dapat merugikan keuangan /perekonomian negara

Keuangan Negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan Negara dalam

bentuk apa pun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan Negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena :

b) Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban Badan Usaha Milik Negara / Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan Hukum, dan Perusahaan yang menyertakan modal Negara atau perusahaan yang menyertakan pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.

Perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun

sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik ditingkat pusat maupun didaerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada kehidupan rakyat. Referensi praktik peradilan Mahkamah Agung RI dalam Putusan No. 1164 K/Pid/1985 tanggal 31 Oktober 1986 dalam perkara

73

(16)

Tony Gozaly als Go Tiong Kien memberikan konklusi tentang perbuatan terdakwa

yang merugikan perekonomian Negara yaitu perbuatan terdakwa yang

membangun tanpa izin diwilayah perairan milik Negara sehinnga Negara tidak

bisa mempergunakan untuk kepentingan umum, sehingga perbuatan tersebut

dikategorikan sebagai perbuatan yang merugikan keuangan Negara. Adapun

pertimbangan Mahkamah Agung RI dalam putusan tersebut adalah bahwa

“perbutan terdakwa tersebut adalah melawan hukum, karena ia membangun

diatasnnya tanpa hak/tanpa izin yang berwajib dan sebagai akibat dari

perbuatannya tersebut sebagian dari wilayah perairan pelabuhan ujung

pandang tidak dapat digunakan lagi untuk kepentingan umum. Bahwa wilayah

perairan tersebut adalah milik Negara, sehingga penggunaan dari padannya

oleh terdakwa jelas merugikan perekonomian Negara”.

b. Pasal 3 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 juncto Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Pasal 3 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, secara tegas menyatakan :74

74

Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo.UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi.

(17)

Unsur-unsur Pasal 3 undang No. 31 Tahun 1999 juncto Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu:

a) Setiap orang;

b) Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;

c) Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan;

d) Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. 1. Unsur “Setiap orang”

Bahwa, dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-undang No. 31 Tahun 1999 secara tegas menyatakan definisi dan pengertian dari kata “Setiap Orang” adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.75

a) orang (natuurlijkepersoon); Bahwa, menurut Sudikno Mertokusumo:

“Subyek hukum (subjectum juris) adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh, mempunyai atau menyandang hak dan kewajiban dari hukum, yang terdiri dari :

b) badan hukum (rechtspersoon).”

Unsur “setiap orang” hanya merupakan element delicht dan bukan bestandeel delict (delic inti) yang harus dibuktikan. Artinya, unsur setiap orang

harus dihubungkan dengan perbuatan selanjutnya, apakah perbuatan tersebut memenuhi unsur pidana atau tidak. Menurut Simons, merumuskan strafbaar feit atau delik sebagai berikut :

“eene strafbaar gestelde, onrechtmatige. Met schuld in verband staande, van een toekeningsvatbaar persoon”

75

(18)

Artinya : Suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan pidana, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seseorang yang bersalah dan orang itu dipandang bertanggungjawab atas perbuatannya.76

“Barang siapa mengerdjakan suatu perbuatan, jang tidak dapat ditanggungkan kepadanja karena kurang sempurna ‘akalnja atau karena sakit berubah’ akal, tidak boleh dihukum.”

Mr. Drs. H.J. Van Schravensijk, berpendapat mengenai unsur barang siapa sebagai berikut:

77

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Ketiga, pengertian “barangsiapa” adalah sama dengan: “siapapun, sembarang orang, siapa saja”. 78

a. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Kepegawaian;

UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dirubah dan ditambah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001, mengartikan Pegawai Negeri Sipil atau Penyelenggara Negara adalah sebagai berikut:

A. Pegawai Negeri Sipil:

” Pegawai Negeri adalah meliputi :

b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana;

c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;

76

Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2005, h. 98 77

Mr. Drs. H.J. Van Schravensijk, Buku Peladjaran Tentang Hukum Pidana Indonesia, J.B. WOLTERS, Djakarta-Groningen, 1956, hlm. 138

78

(19)

d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau

e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.” B. Penyelenggara Negara:

”Pasal 5 ayat 2: Ayat (2): Yang dimaksud dengan "penyelenggara negara" dalam Pasal ini adalah penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Pengertian "penyelenggara negara" tersebut berlaku pula untuk pasal-pasal berikutnya dalam Undang-undang ini.”

Pasal 2 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme:

”Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

2. Unsur “Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” Bahwa, menurut R. Wiyono, menyatakan:

(20)

Dengan demikian, yang dimaksud dengan unsur “Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” adalah sama artinya dengan mendapatkan untung untuk diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi”.79

“Yang dimaksud “Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan” adalah menggunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang melekat pada jabatan atau kedudukan yang dijabat atau diduduki oleh pelaku tindak pidana korupsi untuk tujuan lain dari maksud diberikannya kewenangan, kesempatan atau sarana tersebut.”

3. Unsur “Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan”. Bahwa, menurut R. Wiyono, menyatakan:

80

“Yang dimaksud dengan “merugikan” adalah sama artinya dengan menjadi rugi atau menjadi berkurang, sehingga dengan demikian yang dimaksudkan dengan unsur “merugikan keuangan negara” adalah sama artinya dengan menjadi ruginya keuangan negara atau berkurangnya keuangan negara.”

Menurut E Utrecht - Moh. Saleh Djindang yang dimaksud dengan “jabatan” adalah suatu lingkungan pekerjaan tetap (kring van vaste weerkzaamheden) yang diadakan dan dilakukan guna kepentingan negara/ kepentingan umum atau yang dihubungkan dengan organisasi sosial tertinggi yang diberi nama negara.

4. Unsur “Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” Bahwa, menurut R. Wiyono, menyatakan :

81

Pengertian “keuangan negara” menurut Undang-undang No. 31 tahun 1999 adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau

79

R. Wiyono, Pembahasan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm.3.

80

Ibid, hlm.. 38

81

(21)

yang tidak dipisahkan termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena :

a. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik tingkat Pusat maupun di Daerah;

b. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.

Bahwa, menurut R. Wiyono, menyatakan :

“Dengan tetap berpegangan pada arti kata “merugikan” yang sama artinya dengan menjadi rugi atau menjadi berkurang, maka apa yang dimaksud dengan unsur “merugikan perekonomian negara” adalah sama artinya dengan perekonomian negara menjadi rugi atau perekonomian negara menjadi kurang berjalan.”82

82

Ibid, hlm.. 33

Pengertian “perekonomian negara” menurut Undang-undang No. 31 tahun 1999 adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijaksanaan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.

B. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang

(22)

Untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi penggunaan Dana Desa

dengan memperbaiki tahapan penyaluran Dana Desa, telah diterbitkan Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua

atas Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang

Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Sebagai

pelaksanaanya diterbitkan pula Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49 Tahun

2016 tentang Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan dan

Evaluasi Dana Desa.

Rekening Kas Desa (RKD) adalah rekening tempat menyimpan uang

Pemerintahan Desa yang menampung seluruh penerimaan Desa dan untuk

membayar seluruh pengeluaran Desa pada bank yang ditetapkan.

Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) adalah rekening tempat

menyimpan uang daerah yang ditentukan oleh bupati/walikota untuk menampung

seluruh penerimaan daerah dan membayar seluruh pengeluaran daerah pada

bank yang ditetapkan.

Ketentuan Pasal 16 PP Nomor 8 Tahun 2016 menyatakan bahwa

penyaluran Dana Desa dilakukan secara bertahap pada tahun anggaran berjalan,

paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah diterima di RKUD, kemudian dalam

Pasal 14 ayat (2) PMK Nomor 49 Tahun 2016, bahwa Penyaluran Dana Desa

dilakukan secara bertahap dengan ketentuan Tahap I, pada bulan Maret sebesar

60% dan Tahap II, pada bulan Agustus sebesar 40%.

Pasal 17 ayat (1) PP Nomor 8 Tahun 2016, bahwa Penyaluran Dana Desa

dari RKUN ke RKUD dilakukan setelah Menteri menerima dari

(23)

berjalan; (2) Peraturan Bupati/Walikota mengenai tata cara pembagian dan

penetapan rincian Dana Desa; dan (3) Laporan realisasi penyaluran dan

konsolidasi penggunaan Dana Desa tahap sebelumnya.

Pasal 17 ayat (2) PP Nomor 8 Tahun 2016, bahwa Penyaluran Dana Desa

dari RKUD ke RKD dilakukan setelah bupati/walikota menerima dari Kepala

Desa: (1) Peraturan Desa mengenai APBDesa tahun anggaran berjalan;

dan (2) laporan realisasi penggunaan Dana Desa tahap sebelumnya.

Penggunaan Dana Desa diprioritaskan untuk membiayai pembangunan

dan pemberdayaan masyarakat, mengacu pada Peraturan Menteri Desa,

Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Sedangkan pelaksanaan

kegiatan yang dibiayai dari Dana Desa berpedoman pada pedoman teknis yang

Referensi

Dokumen terkait

„ Statistika Inferensi (Statistika Induksi): statistika yang menggunakan data dari suatu sampel untuk menarik kesimpulan mengenai populasi dari mana sampel tersebut

4 Dalam perkembangannya, media Islam juga berupaya merengkuh pembaca yang lebih luas (tidak hanya khusus umat Islam).. Maka, mengklasifikasikan media Islam tidak terbatas

Terdapat pengaruh positif yang sig- nifikan perhatian guru, motivasi be- lajar dan kecerdasan emosional se- cara bersama-sama terhadap prestasi belajar biologi siswa kelas XII IPA

Manajemen Sarana Prasarana Dalam Rangka Implementasi Kurikulum 2013 Di SMA Negeri 5 Mataram sudah memenuhi standar minimum sarana dan prasarana sekolah, manajemen sarana

Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi dan atau barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk

Sedangkan analisis sistem informasi adalah tahap pengembangan dalam membangun project sistem informasi yang berfokus pada masalah bisnis dan kebutuhannya, terlepas dari

penduduk juga bekerja pada TPQ, yang mana tempatnya tidak jauh dari tempat tinggal warga. Ada juga yang bekerja pada kota terdekat, misalnya di bangunan, bengkel, dan

Penelitian sebelumnya pada tahun 2017 dengan judul one husband one client dan kepatuhan ibu hamil mengkonsumsi tablet besi dengan hasil penelitian sebagai berikut