• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hidup Mati Media Islam di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hidup Mati Media Islam di Indonesia"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Hidup Mati Media Islam di Indonesia

1

Oleh: Khairul Arifin2

Media Islam Indonesia Pasca Orde Baru

Era Orde Baru merupakan masa yang kelam bagi praktisi media di Indonesia. Keberadaan Departemen Penerangan dan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) menjadi tanda kuatnya dominasi negara. Deppen saat itu menjadi otoritas tunggal—tentu dibawah koordinasi presiden—yang mengatur berita atau informasi yang boleh diketahui khalayak. Pemerintah yang saat itu sedang gencar-gencarnya melakukan pembangunan bahkan sempat mencetuskan konsep pers pancasila. Idenya kurang lebih mengatur bagaimana pers—dengan praktik jurnalistiknya—

bisa mendukung pembangunan yang dijalankan. “Pers yang bertanggungjawab” begitu kata

mereka. Media tak ubahnya menjadi corong penguasa. Bukan menjadi anjing penjaga, melainkan anjing poodles yang tunduk saja pada setiap titah majikannya.

Saat itu tak ada yang berani melawan kebijakan pemerintah. Jika pun ada, media tersebut langsung dibabat habis. SIUPP yang dimiliki akan dicabut. Jika tetap membandel, jangan harap pegiatnya selamat sampai rumah. Bisa saja dengan tiba-tiba orang akan hilang tak diketahui rimbanya—bukankah nyawa manusia di masa itu tak ubahnya nyawa seekor ayam?Tempo, Detik, dan Editor adalah beberapa contoh yang pernah merasakan tangan dinginnya Deppen. Mereka diberedel dan dilarang terbit karena memuat berita yang meresahkan dan dianggap subversif.

Angin segar lantas muncul saat reformasi berkumandang pada 1998. Agenda utama para pegiat media adalah mereformasi total tata kelola pers di Indonesia. SIUPP yang selama ini dijadikan alat pemerintah mengobok-obok kebijakan redaksi dihapuskan. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers direvisi menjadi Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Dewan Pers kemudian dihidupkan sebagai lembaga independen di luar pemerintah yang mengatur berbagai persoalan mengenai pers. Puncaknya, Departemen Penerangan dihapuskan pada masa pemerintahan Gusdur—meski pada pemerintahan setelahnya dihidupkan kembali dengan nama Kementerian Komunikasi dan Informasi.

Sejalan dengan berbagai perubahan di atas, iklim industri media di Indonesia lantas berkembang. Surat kabar yang diberedel pada masa Orba satu demi satu muncul kembali. Tak hanya pemain lama, dalam waktu singkat berbagai media pun mulai bermunculan.3Orang berbondong-bondong mendirikan media. Meraimaikan ruang publik dengan bahasan-bahasan yang selama ini tabu diperbincangkan.

1

Disampaikan dalam diskusi rutin dwimingguan IPM DIY pada Rabu, 15 April 2015

2

Mahasiswa komunikasi UGM. Kini diamanahi menjadi Ketua Pengkajian Ilmu Pengetahuan PW IPM DIY.

3

(2)

Salah satu pihak yang ikut meramaikan wacana ruang publik adalah media islam. Media Islam didefinisikan sebagai media yang dalam kegiatan jurnalistiknya melayani kepentingan umat islam, baik dalam hal materi maupun nilai-nilai yang diusungnya.4Dalam perkembangannya, media Islam juga berupaya merengkuh pembaca yang lebih luas (tidak hanya khusus umat Islam). Maka, mengklasifikasikan media Islam tidak terbatas pada orientasi pembacanya yang bersifat khusus, melainkan lebih pada muatannya yang membawakan nilai-nilai Islam secara eksplisit.

Awal kemunculan media Islam di Indonesia pada awal abad 20 ditandai dengan masuknya gagasan pembaruan (reformasi) islam dari Mesir. Kebutuhan terhadap media Islam muncul antara lain untuk memfasilitasi dan menyebarluaskan iklim diskusi pemikiran mutakhir.5 Karakteristik yang sama barangkali juga terjadi pada masa reformasi. Setelah keran kebebasan dibuka lebar, diskursus keislaman juga menggeliat. Gerakan Islamisme (Islam politik) yang pada masa Orba dibatasi gerak-geriknya muncul bagai jamur di musim penghujan. Media massa ini lantas digunakan sebagai sarana menyebarkan gagasan kelompok-kelompok Islam, dari yang konservatif hingga fundamentalis.

Akan tetapi dalam perkembangannya media Islam juga mengalami berbagai persoalan. Setidaknya ada empat persoalan yang disebutkan Irawanto (2006) sebagai penyebab seretnya bisnis media Islam di Indonesia. Pertama, iklan sebagai basis ekonomi yang menopang kelangsungan hidup media jumlahnya masih sangat terbatas. Kedua, sejumlah media Islam tidak didukung oleh praktik jurnalisme yang memadai. Ketiga, sejumlah media Islam sejak awal tidak dirancang sebagai entitas bisnis, melainkan sekadar kepanjangan tangan dari “idealisme” para pengelolanya. Sedangkan yang keempat, mengingat orientasi isinya yang kadangkala sangat spesifik serta jaringan distribusi yang terbatas seringkali hanya mampu menjangkau pembaca yang terbatas.

Berbagai keterbatasan tersebut menjadi tantangan besar bagi pegiat media Islam. Tapi untungnya perkembangan internet yang begitu cepat di Indonesia dapat menjadi solusi. Tantangan-tantangan yang dipaparkan Irawanto dalam kajiannya tersebut hanya terbatas pada media massa cetak dan dilakukan ketika penetrasi internet belum sebesar saat ini. Irawanto belum menelisik lebih jauh bagaimana perkembangan media Islam tatkala internet telah menjadi media mainstream. Internet telah menawarkan kemudahan bagi para penggunanya untuk menjadi owner maupun audience secara bersamaan.

Orang dengan mudah bisa membuat perusahaan media di dunia maya. Atas dasar ideologi dan pandangannya, berbagai “perusahaan media” tersebut memproduksi konten yang sejalan dengan kepentingannya. Bukan barang satu dua saja, melainkan ratusan juta “perusahaan

4

Lihat Irawanto, Budi. 2006. Transformasi Pers Islam di Era Reformasi. Dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Politik, Volume 9, No. 3, Maret 2006 halaman 300

(3)

media” memproduksi dan mereproduksi konten yang kemudian diterbitkan. Di sini, praktis terdapat milyaran informasi yang tersebar di dunia maya.6

Di sisi lain, berbagai informasi dengan mudah didapatkan orang melalui gawainya. Hanya dengan membuka layar kemudian mengetikkan sebuah kata kunci di mesin pencari, jutaan informasi lantas tersaji. Pada kondisi ini, keterbatasan di atas kecuali nomor tiga bisa teratasi. Media online tidak perlu memikirkan tiras cetak beserta biaya yang ditanggung untuk menerbitkannya. Hanya bermodalkan beberapa juta untuk modal hosting dan domain, sebuah media online bisa berdiri. Soal potensi keterbacaan jelaslah tinggi karena memiliki karakteristik yang tidak terbatas jarak dan wilayah.

Akan tetapi berbagai kemudahan ini sekaligus juga menjadi tantangan. Para pembaca kerap mendapati sebuah kasus yang disajikan tidak sama oleh beberapa media yang berbeda. Kerap pula ditemui sebuah konten yang sama persis di beberapa media. Kasus ini terjadi karena kebanyakan media online hanya menyalin tulisan dari media lain, yang bisa jadi pula mereka menyalinnya dari media lain. Jaring-jaring kesesatan lantas terbentuk yang kemudian dapat dengan mudah diakses khalayak. Orang menjadi bingung atas silang sengkarutnya informasi yang tersebar viral. Apabila terjadi kesalahan, siapakah yang kemudian dapat disalahkan?

Kemudahan membuat dan menghapus media, menerbitkan dan mengedit konten, serta persoalan akun anonim inilah yang menjadi karakteristik kebanyakan media online di Indonesia saat ini. Begitu juga yang terjadi pada media online Islam. Kebanyakan di antaranya hanya menerbitkan ulang apa yang telah ditulis di media lain. Akan lebih viral lagi apabila konten yang diterbitkannya menyangkut urusan jihad, kristenisasi, atau Palestina. Pemuatan konten-konten yang ngawur bahkan sering ditemui dengan pencantuman gambar.7 Saya tidak mengetahui bagaimana proses verifikasi yang dilakukan para pemilik media tersebut. Saya juga meragukan prinsip-prinsip kerja jurnalisme diterapkan dalam media tersebut.8

Di antara sepuluh prinsip yang ditetapkan sebagai dasar kerja praktisi jurnalistik, dua di antaranya yang saya sorot kuat sering dilanggar oleh media-media Islam, yaitu tentang kewajibannya menjunjung tinggi kebenaran dan disiplin melakukan verifikasi. Saya tidak mempersoalkan kebenaran berdasarkan firman Tuhan, tapi yang lebih saya soroti adalah kebenaran konten-konten berita yang hanya sekadar copypaste. Selain itu, apa yang disebut

konten “berita” oleh media-media tersebut kadang tidak memenuhi prinsip objektivitas suatu

6

Bill Kovach dan Tom Rosentiel menyebutnya sebagai banjir informasi. Dalam waktu 24 jam kita dibombardir dengan berbagai macam informasi. Namun dari banyaknya informasi yang mengisi ruang publik, kita tidak tahu informasi manakah yang benar. Menjadi skeptis yang selalu mengedepankan verifikasi adalah kunci menghadapi tantangan ini. Lebih lanjut bisa baca Bill Kovach dan Tom Resentiel. 2011. Blur: How to Know What’s True in the

Age of Information Overload. Bloomsbury USA: New York

7

Beberapa kasus yang sering muncul adalah tidak sesuainya gambar dengan informasi yang menyertainya. Foto-foto tentang pembantaian, isu minoritas-mayoritas macam syiah dan ahmadiyah, gerakan islam dan paham jihadis, dll.

8

(4)

berita.9 Realitas-realitas yang disajikan dalam media direproduksi sedemikian rupa agar sejalan dengan paham yang dianut. Oleh karenanya, lebih tepat kiranya menyebut media-media tersebut bukan sebagai media jurnalistik, melainkan media propaganda.

Saya tidak bermaksud menyebut praktik propaganda sebagai perbuatan yang negatif.10 Justru media propaganda merupakan karakteristik media-media berbasiskan keagamaan. Bagi Islam, kewajiban orang beragama salah satunya adalah mengajak orang kepada kebaikan.

DakwahAmar ma’ruf nahi munkar, demikian kita sering menyebutnya. Dalam upaya mengajak dan berdakwah itulah maka perlu disampaikan ajakan-ajakan persuasif serta seruan untuk beriman dan bertakwa. Kecakapan menyusun strategi propaganda diperlukan agar dakwah lewat media ini bisa berhasil.

Meski demikian, perlu ditekankan kembali bahwa praktik propaganda yang dilakukan harus berdasarkan kaidah yang dibenarkan—sesuai dengan nilai-nilai islam dan bisa dipertanggungjawabkan. Jangan sampai, ketika kita ingin menampilkan Islam sebagai agama yangrahmatanlil ‘alamintapi konten yang disajikan justru menyebarluaskan kebencian dan kecurigaan. Juga ketika kita ingin mengajak umat pada persatuan, jangan sampai yang dikembangkan adalah sentimen-sentimen sektarian yang menyulut konflik. Sebagai representasi suara orang Islam, sebaiknya nilai-nilai perdamaianlah yang dikedepankan. Bukankah orang awam yang ingin melihat kedamaian dan keluhuran ajaran Islam pada mulanya belajar melalui media Islam yang bisa diaksesnya?

Pemblokiran sebagai Wujud Pembungkaman

Keran reformasi di Indonesia yang berimpiklasi pada kebebasan dan keterbukaan juga berpengaruh pada perkembangan gerakan islamisme di Indonesia. Umat Islam Indonesia bersinggungan dengan paham-paham transnasional seperti Wahabi di Arab Saudi, Ikhwanul Muslimin di Mesir, dan Hizbut Tahrir di Yordania. Ada kesamaan konteks yang melingkupinya sehingga paham-paham tersebut bisa tumbuh subur di Indonesia. Yaitu kesaman visi dan persepsi mengenai perubahan sosial dalam kerangka politik hukum Islam sekaligus implikasi dari benturan Islam vis a vis Barat. Namun, gerakan ini bukan berarti kepanjangan tangan dari gerakan di Timur Tengah, tapi lebih mengarah pada bentuk transmisi gagasan.11

Menguatnya gerakan islamisme ini juga berkaitan dengan konteks sejarah di Indonesia. Jauh sebelum gerakan Islam transnasional masuk, Orde Baru telah mempraktikkan aksi teror kepada PKI, aktivis Islam, aktivis prodemokrasi, dan kelompok lain yang resisten terhadap

9

Diskusi mengenai objektivitas ini akan lebih panjang lagi kalau diperbincangkan di sini. Tapi yang perlu ditekankan adalah objektivitas bukan sebagai sebuah tujuan akhir, tapi sebagai sebuah metode.

10

Sebab, terdapat dua bentuk propaganda, yaitu white and black propaganda. Media-media keagamaan—tidak hanya Islam—sebagian besar termasuk dalam golongan putih. Media digunakan untuk mendakwahkan ajaran-ajaran agama kepada khalayak.

11

(5)

rezim.12 Pada masa Orde Baru, kelompok Islam termarjinalkan akibat gagasan developmentalisme yang dijalankan. Berkurangnya dominansi negara pada masa reformasi menguatkan kembali semangat islamisme yang telah dikebiri di era sebelumnya. Era ini lantas dimaknai sebagai momentum mengembalikan daulat politik Islam.

Gagasan islamisme ini dimaknai secara berbeda oleh beberapa kelompok Islam. Azyumadri Azra menyebutkan dua kelompok yang ia sebut sebagai mainstream muslims di satu sisi (moderat) dan kelompok radikal di sisi yang lain. Dua hal yang ia pandang bertentangan satu sama lain ini mewarnai Islam di Indonesia pascareformasi. Berkembangnya kelompok-kelompok radikal ini kemudian ditandai dengan meningkatnya paham radikalisme di Indonesia.13 Wujudnya berupa serangkaian aksi teror yang mengatasnamakan Islam.

Di sisi lain, Islam radikal di dunia internasional semacam ISIS sedang menguat. Dalam berbagai pemberitaan, kita menyaksikan kelompok ini disebutkan sebagai kelompok yang bengis dan sadis. Tapi, sebagai sebuah gerakan transnasional, gerakan ISIS juga telah masuk ke Indonesia. Orang-orang yang sejalan dengan paham yang dianut lantas tertarik ikut bergabung. Fenomena ini kemudian ditandai dengan banyaknya orang Indonesia yang pergi ke Suriah untuk bergabung dengan kelompok tersebut.

Menguatnya paham radikal ini dimaknai pemerintah sebagai sebuah ancaman negara. Pemerintah berupaya keras mengantisipasi perkembangan gerakan radikal melalui berbagai cara. Salah satu yang ditempuh pemerintah akhir-akhir ini adalah memblokir beberapa media online yang ditengarai menyebarkan paham radikalisme. Langkah pemblokiran ini dipilih lantaran media dinilai sebagai sarana kuat persemaian paham radikal. Namun apakah langkah yang dilakukan pemerintah tepat?

Saya menyayangkan kebijakan sepihak pemerintah yang memblokir situs-situweb islam tersebut. Sebab, pemerintah tidak terbuka dalam memutuskan kebijakan ini. Tidak ada proses komunikasi terlebih dahulu kepada para pemilik situs yang diblokir. Tiba-tiba saja secara mendadak sudah tercantum 22 nama yang masuk dalam daftar. Selain soal ketertutupan kebijakan, definisi radikal yang digunakan pemerintah untuk memblokir juga tidak jelas. Ketidakjelasan definisi ini jika dibiarkan bisa berakibat fatal. Makna radikal lantas menjadi multitafsir yang bisa disalahgunakan untuk kepentingan oknum tertentu.Kesemena-menaan pemerintah ketika mengeksekusi situsweb mengingatkan kita pada kondisi Orde Baru silam. Tanpa tahu duduk persoalannya dengan jelas, sebuah media bisa diberedel begitu saja. Alasan subversif—yang juga multitafsir— biasanya digunakan untuk membenarkan sikap yang dilakukan pemerintah.

12Ibid 13

(6)

Referensi

Dokumen terkait

dutela dena delakoa besteren batek esana dela uka tzea onar tzeko; ‘omen’en bidez ekarritako edukia uka tzea onar tzen duten bezala.. Nahiz eta p omen uka tzea baino gu txiago

Saya mengesahkan bahawa Jawatankuasa Pemeriksa bagi Siti Khariah Mohd Zubir telah mengadakan peperiksaan akhir pada 18hb Februari 2004 untuk menilai tesis Doktor Falsafah beliau

Rasulullah selalu mempertimbangkan perbedaan daya tangkap, daya ingat, serta kadar kemampuan akal para shahabatnya. Kepada orang yang cerdas beliau cukup

laut ini menyebabkan air laut yang mengandung unsur garam akan merembes ke dalam air tanah sehingga menimbulkan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran

Berdasarkan permasalahan yang terjadi di Hotel Mercure Resort Sanur, fenomena gapdanresearch gap yang telah dijelaskan sebelumnya, maka penelitian ini diberi judul “Analisis

Mendenrejo dengan alasan adalah kemungkinan terlihat karena dekat dengan jalan dan disamping toko masih persawahan sehingga tidak ada gedung yang menghalangi

Ukuran berat ikan dinyatakan dapat mempengaruhi harga ikan kembung lelaki yang terbentuk ( Rastrelliger kanagurta ) dikarenakan ikan yang memiliki ukuran ekonomis

filing berkas rekam medis rawat inap aktif untuk proyeksi selama 5 tahun kedepan yang harus direncanakan oleh unit rekam medis RSUD dr Soeratno Gemolong Sragen