METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama 1 bulan 14 hari yaitu pada bulan
Oktober 2016 sampai dengan bulan November 2016 di Perairan Tanjungbalai,
Sumatera Utara. Pengambilan sampel kerang dilakukan pada tiga stasiun
pengamatan dimana setiap stasiun memiliki 3 titik sampling dan dilakukan
pengambilan substrat serta pengukuran parameter kualitas air pada masing masing
stasiun. Parameter Kimia dilakukan di Laboratorium Balai Riset dan Standarisasi
Medan sedangkan substrat dilakukan di Laboratorium Central Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara. Deskripsi area dapat dilihat pada Gambar 3.
Deskripsi Area
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan berupa Timbangan Analitik, Jangka Sorong, Botol
Sampel Gelap, Alat Tulis, Kertas Label, Lakban, Buku identifikasi, Kantong
Plastik Hitam, Coolbox. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Sampel Kerang, Software Microsoft Excel, Aplikasi FISAT, Kertas Label, Karet,
Aquadest, Alkohol, Tisu gulung.
Stasiun Penelitian Stasiun I
Secara geografis, stasiun I terletak pada 03o07’12.47LU dan
099o48’09.67BT. Jarak antara stasiun I ke stasiun ke stasiun II sejauh 2 km.
Stasiun ini merupakan daerah penangkapan kerang. Lokasi Penelitian 1 dapat
dilihat pada Gambar 4.
Stasiun II
Gambar 5. Lokasi Penelitian 2
Secara geografis, stasiun II terletak pada 03o07’11.95LU dan
099o48’05.26BT. Jarak antara stasiun II ke stasiun III sejauh 2 km. Stasiun ini
merupakan daerah penangkapan kerang. Lokasi Penelitian 2 dapat dilihat pada
Gambar 5.
Stasiun III
Secara geografis, stasiun III terletak pada 03o07’10.79LU dan
099o48’00.78BT”. Stasiun ini sudah berada di dekat pantai. Stasiun ini merupakan
daerah penangkapan kerang. Lokasi penelitian 3 dapat dilihat pada Gambar 6.
Parameter Fisika Kimia
Parameter fisika kimia perairan yang dianalisis terdiri dari parameter.
Parameter fisika dan kimia diukur secara Insitu dan Exsitu yang terlihat dalam
Tabel 1.
Tabel 1. Parameter fisika dan kimia yang diukur
Parameter Satuan Alat Pengukuran
Fisika
Pengumpulan data primer Kerang Bulu diperoleh dari metode purposive
samplingdi Perairan Tanjungbalai yang diartikan sebagai satu metode
pengambilan sampel yang didasarkan atas ciri atau sifat yang ditentukan untuk
mencapai tujuan tertentu. Jenis dan sumber data yang dibutuhkan untuk keperluan
nelayan. Data yang dikumpulkan menyangkut kegiatan usaha penangkapan
kerang yang meliputi kegiatan operasi penangkapan dan produksi hasil tangkapan.
Pengambilan sampel Kerang Bulu dilakukan selama 1 bulan 14 hari mulai
dari Oktober 2016 sampai dengan November 2016 sebanyak 3 kali dengan
interval waktu pengambilan sampel 2 minggu sekali. Kerang Bulu diambil secara
acak dari 3 stasiun. Pengambilan sampel menggunakan alat tangkap garuk. Garuk
ini terbuat dari besi. Alat ini memiliki ukuran 0,39 m x 0,24 m. Cara
pengoperasiannya garuk ini dengan diturunkan ke perairan. Setelah beberapa
menit, garuk dinaikkan ke atas perahu. Untuk alat tangkap garuk dapat dilihat
pada Gambar 7.
Gambar 7. Garuk 24 cm
Pengambilan Sampel
Sampel yang diambil adalah Kerang Bulu (Anadara gubernaculum).
Kerang Bulu (A. gubernaculum) dapat dilihat pada Gambar 8.
Sampel yang dilakukan adalah Kerang Bulu (A. gubernaculum).
Pengukuran Kerang Bulu untuk mengetahui panjang dari Kerang Bulu.
Pengukuran panjang Kerang Bulu (A. gubernaculum) dapat dilihat pada Gambar
9.
Gambar 9. Pengukuran Panjang Kerang Bulu
Sampel yang dilakukan adalah Kerang Bulu (A. gubernaculum).
Pengukuran Kerang Bulu untuk mengetahui lebar dari Kerang Bulu. Pengukuran
lebar Kerang Bulu (A. gubernaculum) dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Pengukuran Lebar Kerang Bulu
Sampel yang dilakukan adalah Kerang Bulu (A. gubernaculum).
Pengukuran Kerang Bulu untuk mengetahui tebal dari Kerang Bulu.Pengukuran
Analisis Data Distribusi Ukuran
1. Analisis Sebaran Frekuensi Panjang
Menurut Sudjana, 1996 yang diacu oleh Tamsar dkk, (2013), Analisis data
ukuran panjang kerangadalah sebagai berikut:
a. Data ukuran panjang dikelompokan ke dalam kelas-kelas panjang.
Pengelompokan kerang ke dalam kelas-kelas panjang dilakukan dengan
menetapkan terlebih dahulu “range” atau wilayah kelas, selang kelas dan
batas-batas kelas panjang berdasarkan jumlah yang ada.
b. Data diplotkan ke dalam grafik yang menghubungkan antara panjang kerang
(L) pada kelas-kelas panjang tertentu dengan jumlah kerang pada kelas panjang
Panjang minimun) dibagi dengan jumlah selang kelas yang sudah diperoleh
sebelumnya.
2. Pemisahan Kelompok Umur Berdasarkan Distribusi Panjang
Analisis pemisahan kelompok-kelompok umur berdasarkan ukuran
panjang yang dipilih dalam penelitian ini menggunakan metode Bhattacharya.
Metode Bhattacharya merupakan salah satu cara grafis untuk memisahkan data
sebaran frekuensi panjang ke dalam beberapa distribusi normal. Pemisahan
distribusi normal dengan metode Bhattacharya ini dilakukan dengan paket
program FiSAT II Versi 1.2.2 (Sparre dan Venema, 1999 yang diacu oleh Tamsar
dkk, 2013).
Hubungan Panjang Bobot
Menurut Nuraini dkk (2014), hubungan panjang berat memiliki nilai
praktis yang memungkinkan mengkonversi nilai panjang kedalam berat atau
sebaliknya. Berat kerangdapat dianggap sebagai suatu fungsi dari panjangnya, dan
hubungan panjang berat ini mengikuti hukum kubik yang dinyatakan dengan
rumus :
W = a Lb
Keterangan :
W =Berat
L = Panjang
a = Intersep (perpotongan kurva hubungan panjang-berat dengan sumbu y)
Uji t dilakukan terhadap nilai b untuk mengetahui apakah b= 3 (isomertik)
atau b≠3 (allometrik).
T hit =βo - βi
Sβi
Keterangan :
Sβi = Simpangan Baku βi
βo = Intercept (3)
βi = Slope (hubungan dari panjang bobot)
Sehingga diperoleh hipotesis:
H0 : b = 3 (isometrik)
H0 : b ≠ 3 (allometrik)
Setelah itu, nilai thitung dibandingkan dengan ttabel sehingga keputusan yang
dapat diambil adalah sebagai berikut:
Thitung > T tabel, maka tolak H0
Thitung < T tabel, maka gagal tolak H0
Apabila pola pertumbuhan allometrik maka dilanjutkan dengan hipotesis
sebagai berikut:
Allometrik positif
H0 : b < 3 (isometrik)
H0 : b > 3 (allometrik)
Allometrik negatif
H0 : b > 3 (isometrik)
Faktor Kondisi
Faktor kondisi yang sering kali disebut juga faktor K merupakan terapan
dari analisis hubungan panjang berat dan merupakan derivat yang penting dalam
pertumbuhan bivalvia. Dalam hal ini faktor kondisi dapat mengambarkan baik
tidaknya kondisi bivalvia dilihat dari segi kepasitas fisik untuk kelangsungan
hidup (survival) dan reproduksi.
Menurut Effendie (1979) yang diacu oleh Rumbiak dkk (2014), untuk
melihat faktor kondisi pada bivalvia digunakan formula menurut yaitu : .
�� = �
���
Dimana :
Kn = Faktor kondisi relatif
W = Berat tubuh (gr)
L = Panjang tubuh
a,b =Konstanta
Parameter Pertumbuhan
Menurut Sparre dan Venema (1999), untuk mengetahui parameter
pertumbuhan digunakan model pertumbuhan Von Bertalanffyyaitu:
Lt = L ∞ (l – e-K(t-to)) dimana:
Lt = Panjang kerang pada saat t (cm);
L = Panjang asimtot kerang (cm);
K = Koefisien pertumbuhan (per tahun);
t = Umur kerang pada saat Lt (tahun).
Untuk menduga umur teoritis (t0) pada saat panjang kerang sama dengan 0
(nol), digunakan persamaan empiris Pauly, (1983) diacu oleh Sparre dan Venema,
(1999) sebagai berikut:
Log10 (-to) = - 0,3922 - 0,2752 Log10 L ∞ - 1,038 Log 10 K
L∞ adalah panjang maksimum kerang darah secara teoritis (panjang
asimptotik), K adalah Koefisien laju pertumbuhan (per satuan waktu) dan t0
adalah umurteoritis kerang darah pada saat panjang total cangkang sama dengan
nol.
Mortalitas dan Laju Eksploitasi
Koefisien kematian total diduga dengan menggunakan kurva hasil
tangkapan konversi panjang (length-converted catch curve) Pauly (1999) dengan
persamaan sebagai berikut:
ln M = -0.0152 – 0.279 * ln L∞ + 0.6543 * ln K + 0.463 * ln T M = e(ln M)
Laju mortalitas penangkapan (F) ditentukan dengan: F = Z - M.
Selanjutnya laju eksploitasi ditentukan dengan cara membandingkan mortalitas
penangkapan (F) terhadap mortalitas total (Z) menurut Pauly (1984) diacu oleh
Sparre dan Venema (1999) :
E = F / (F + M)
dimana :
E= Status eksploitasi;
F= Koefisien kematian penangkapan;
Jika : E>0,5 menunjukkan tingkat eksploitasi tinggi (over fishing) ;
E<0,5 menunujukan tingkat eksplotasi rendah (under fishing) ;
E=0,5 menunjukkan pemanfaatan optimal
Laju mortalitas penangkapan (F) atau laju eksploitasi optimum menurut
Gulland (1971) adalah :
Foptimum = M dan Eoptimum = 0.5
Laju ekploitasi (E) populasi kerang dikatakan sudah mencapai tangkap
lebih (Overfishing) apabila telah melewati nilai batas tingkat penangkapan
optimum. Penangkapan optimum (Eopt = 0.5) jika populasi berada dalam keadaan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Biologi Kerang Bulu (A.gubernaculum)
Kerang Bulu (A.gubernaculum) memiliki cangkang kiri lebih besar
daripada cangkang kanan(inequivalvis).Cangkang berbentuk elips
memanjang.Tepiventral cangkang cenderung mendatar dan melebar padabagian
posterior.Cangkang tebal, berat, dan berwarna putih.Permukaan cangkang
dihiasirusuk-rusuk radial yang sangatnyata.Rusuk radial datar, tanpa
tonjolan.jumlah rusukradial 33–36.Jarak antar rusuk lebih sempit daripada
lebarrusuk.Lapisan periostrakum tebal dan terdapat modifikasi berupa lapisan
seperti berudu dan “rambut”.Deretan“rambut” tersebut terdapat di “parit”, di
antara rusuk-rusukradial.Lapisan periostrakum berwarna coklat kehitaman
(Ambarwati dan Trijoko, 2011)
Sebaran Frekuensi Panjang
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan selama 1 bulan 14 hari,
sebaran frekuensi kerang bulu menunjukkan hasil yang berbeda pada setiap
stasiunnya. Panjang total kerang bulu berkisar antara 14 - 43 mm. Pengelompokan
dibedakan berdasarkan pada setiap stasiun dan dikelompokkan sebanyak 10
selang kelas. Berdasarkan Gambar 12 dapat diketahui bahwa frekuensi Kerang
pada stasiun I dengan jumlah sebesar 205 ekor yang terbanyak pada ukuran selang
kelas 26 – 28 mm sebesar 55 ekor. Sebaran frekuensi panjang Kerang Bulu (A.
Gambar 12. Sebaran Frekuensi Panjang Kerang Bulu pada Stasiun I
Berdasarkan Gambar 13 dapat diketahui bahwa frekuensi Kerang pada
stasiun II dengan jumlah sebesar 450 ekor yang terbanyak pada ukuran selang
kelas 20 – 22 mm sebesar 114 ekor. Sebaran frekuensi panjang Kerang Bulu
(A.gubernaculum) pada stasiun II dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13.Sebaran Frekuensi Panjang Kerang Bulu pada Stasiun II
Berdasarkan Gambar 14 dapat diketahui bahwa frekuensi Kerang pada
kelas 29 – 31 mm sebesar 33 ekor. Sebaran frekuensi panjang Kerang Bulu
(A.gubernaculum) pada stasiun III dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14.Distribusi Frekuensi Panjang Kerang Bulu pada Stasiun III
Hubungan Panjang dan bobot Kerang Bulu
Hasil dari pengukuran panjang dan bobot kerang akan dianalisis dengan
persamaan regresi linier sehingga akan diperoleh nilai koefisien determinasi (R2),
nilai intersep, dan koefisien regresi berdasarkan keseluruhan hasil tangkapan.
Hasil perhitungan analisis regresi dan grafik hubungan panjang bobot kerang bulu
di perairan Tanjungbalai pada stasiun I yang berjumlah 205 ekor menghasilkan
persamaan regresi W = 0,003L2,093 dengan koefisien determinasi (R2) sebesar
0,938 dimana hubungan panjang bobot tubuh Kerang Bulu memiliki korelasi yang
sangat kuat. Kerang Bulu pada stasiun I memiliki pola pertumbuhan allometrik
negatif (b < 3). Hubungan Panjang Bobot Kerang Bulu (A.gubernaculum) pada
Gambar 15. Hubungan Panjang Bobot Kerang Bulu pada Stasiun 1
Pada stasiun II yang berjumlah 450 ekor menghasilkan regresi W =
0,002L2,157 dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 0,967 dimana hubungan
panjang bobot tubuh Kerang Bulu memiliki korelasi yang sangat kuat. Kerang
Bulu pada stasiun II memiliki pola pertumbuhan allometrik negatif (b < 3).
Hubungan Panjang Bobot Kerang Bulu (A.gubernaculum) pada stasiun II dapat
dilihat pada Gambar 16.
Pada stasiun III yang berjumlah 200 ekor menghasilkan regresi W =
0,002L2.159 dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 0,97 dimana hubungan
panjang bobot tubuh Kerang Bulu memiliki korelasi yang sangat kuat. Kerang
Bulu pada Stasiun III memiliki pola pertumbuhan allometrik negatif (b < 3).
Hubungan Panjang Bobot Kerang Bulu (A.gubernaculum) pada stasiun III dapat
dilihat pada Gambar 17.
Gambar 17. Hubungan Panjang Bobot Kerang Bulu pada Stasiun 1II
Faktor Kondisi
Hasil perhitungan faktor kondisi kerang bulu pada pengambilan sampel
bulan Oktober – November 2016 dimana pada stasiun 1, memiliki nilai faktor
kondisi berkisar antara 0,81 – 1,11. Pada stasiun II, memiliki nilai faktor kondisi
berkisar antara 0,85 – 2,15. Pada stasiun III, memiliki nilai faktor kondisi berkisar
antara 0,95 – 1,87. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 2
Tabel 2. Kisaran Faktor Kondisi Kerang Bulu pada Bulan Oktober – November 2016
Stasiun Faktor Kondisi
I II III
0.81 – 1.11 0.85 – 2.15 0.95 – 1.87
Parameter Pertumbuhan
Hasil analisis Von Bertalanffy Kerang Bulu selama pengamatan dapat
disajikan pada Gambar 18. Pendugaan umur data terpanjang menyebutkan bahwa
frekuensi terbesar yang mendominasi pada Kerang Bulu (A. gubernaculum)
berkisar antara 20 – 22 mm dengan frekuensi sebesar 104. Kerang Bulu
(A.gubernaculum) cukup banyak ditangkap dan pertumbuhannya terletak pada
rentang 20 – 30.
Gambar 18. Pertumbuhan Von Bertalanffy Kerang Bulu (A.gubernaculum)
Hasil analisis parameter petumbuhan Kerang Bulu yang terdiri atas
koefisien pertumbuhan (K) yaitu 1,2 pertahun dan panjang infinitif (L∞) yaitu
43,05 mm serta umur teoritis kerang pada saat panjang sama dengan nol (t0) yaitu
-0,12 disajikan pada Tabel 3 yang dianalisis dengan metode ELEFAN I dalam
Tabel 3. Parameter pertumbuhan Kerang Bulu di perairan Tanjungbalai pada bulan Oktober - November
Kerang Bulu (Anadara gubernaculums)
Parameter Pertumbuhan L∞(mm)K(Tahun-1)t0(tahun)Lt(mm)
43.05 1.2 -0.12 43.05(1-e(-1.2(t+0.12))
Berdasarkan parameter pertumbuhan yang diperoleh dapat disajikan dalam
bentuk kurva pertumbuhan Von Bertalanffy dengan cara mengelompokkan umur
dan panjang total kerang (Gambar 19). Kurva pertumbuhan pada Kerang Bulu (A.
gubernaculum) dengan memplotkan umur (bulan) pada sumbu x dan panjang
(mm) pada sumbu y. Kurva tersebut menjelaskan bahwa untuk mencapai panjang
asimtot Kerang Bulu (A. gubernaculum) membutuhkan waktu 14 bulan. Pada saat
umur 1 bulan, Kerang Bulu berukuran 14 mm dan terus mengalami pertumbuhan
yang signifikan hingga 14 bulan yang mencapai 43.05 mm. Setelah umur 14
bulan, kerang tidak dapat tumbuh lagi.
Mortalitas dan Laju Eksploitasi Kerang Bulu
Pendugaan laju mortalitas alami kerang menggunakan rumus empiris
Pauly (Sparre dan Venema, 1999) dengan suhu rata-rata permukaan perairan
Tanjungbalai 31,17°C. Hasil analisis dugaan mortalitas dan laju eksploitasi
Kerang Bulu (A.gubernaculum)yang terdiri dari mortalitas total (Z) yaitu
2,77/tahun, mortalitas alami (M) yaitu 1,9/tahun, mortalitas penangkapan (F) yaitu
0,86/tahun, dan laju eksploitasi (E) yaitu 0,31 (Underfishing) yangdisajikan pada
Tabel 4.
Tabel 4. Mortalitas dan Laju Eksploitasi Kerang Bulu di Perairan Tanjungbalai Kerang Bulu
(Anadara gubernaculum)
ZMFE
2,77 1,900,860,31
Kualitas Air
Kondisi parameter perairan merupakan faktor pendukung yang dapat
mempengaruhi distribusi Kerang Bulu di Perairan Tanjung Balai. Hasil
pengukuran kualitas air di Perairan Tanjungbalai berdasarkan KEPMEN LH No.
51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut saat pengamatan
Pembahasan
Sebaran Frekuensi Panjang Kerang Bulu (A. gubernaculum)
Hasil penelitian yang diperoleh, dapat diketahui bahwa pada stasiun I
ukuran panjang 26 mm – 28 mm memiliki frekuensi tertinggi yaitu sebesar 55
ekor, pada stasiun IIukuran panjang 20 mm – 22 mm memiliki nilai frekuensi
tertinggi sebanyak 114 ekor, sedangkan pada stasiun IIIukuran panjang 29 mm –
31 mm yang memiliki jumlah frekuensi tertinggi sebanyak 33 ekor. Hasil dari
ketiga stasiun menunjukkan jumlah distribusi panjang yang berbeda, hal ini
diduga karena adanya perbedaan ukuran biota yang terjadi di perairan.Menurut
Komala (2011) bahwa perbedaan panjang maksimum yang diperoleh dapat
disebabkan beberapa kemungkinan antara lain perbedaan lokasi, keterwakilan
contoh yang diambil, dan adanya tekanan penangkapan yang tinggi atau terdapat
faktor yang sulit dikontrol seperti keturunan, umur, parasit, dan penyakit.
Menurut Ekawati (2010), salah satu penyebab perbedaan ukuran kerang
diduga karena adanya perbedaan lokasi lingkungan, ketersediaan makanan di
perairan, perbedaan jumlah contoh yang diambil, dan perbedaan tekanan
penangkapan.
Selanjutnya Effendie (1997), ukuranmaksimum pada setiap zona
berbeda-bedadiduga kondisi lingkungan yang kurangoptimum khususnya substrat atau
karenaadanya aktifitas penangkapan yang intensif, perbedaan frekuensi tersebut
disebabkanoleh beberapa faktor, seperti keturunan,jenis kelamin, umur, parasit,
Hubungan Panjang dan Bobot Kerang Bulu (Anadara gubernaculum)
Hasil penelitian yang diperoleh bahwa pada stasiun I memiliki nilai regresi
(b) sebesar 2,068, stasiun II sebesar 2.109 sedangkan stasiun III sebesar 1,841.
Pada masing – masing stasiun memiliki tipe pertumbuhan alometrik negatif (<3)
yaitu pertambahan panjang cangkang lebih cepat dibandingkan pertambahan berat
total. Hal ini sesuai dengan Abida dkk (2014) bahwa Allometrik negatif,
pertambahan panjang lebih dominan daripada pertambahan berat.Menurut
Effendie (1997) polapertumbuhan allometrik negatif mengindikasikan bahwa
ketersediaan makanan diperairan kurang sehingga lebih dominan pertambahan
panjang dibandingkan berat. Selanjutnya Menurut Harris et al (1999),
pertumbuhan kerang dipengaruhi oleh faktor kondisi lingkungan seperti
ketersediaan makanan serta suhu, substrat, arus, dan salinitas. Keadaan tersebut
akan mempengaruhi pertambahan panjang dan tinggi cangkang, yang akan di
gunakan untuk melindungi jaringan dan akan melakukan pergerakan.
Menurut Sulistiono, dkk. (2001) bahwa hubungan panjang bobot
menunjukkan pertumbuhan yang bersifat relatif artinya dapat berubah menurut
waktu. Apabila terjadi perubahan terhadap lingkungan dan ketersediaan makanan
diperkirakan nilai b juga akan berubah. Selanjutnya, menurut nybakken (2003),
bahwa perbedaan pola pertumbuhan yang terjadi dapat disebabkan oleh dua faktor
yaitu faktor internal yang cenderung sulit untuk dikontrol diantaranya seperti
keturunan (gen0 dan kelamin, serta faktor eksternal yaitu parasit, penyakit,
makanan, dan suhu.
Hal yang sama terjadi pada penelitian yang dilaporkan oleh Sari (2015)
0.003 dan nilai b = 2.696. Sedangkan kerang hijau betina memiliki nilai a =
0.00156 dan nilai b = 2.7959 dimana pada kerang hijau jantan dan betina memiliki
tipe pertumbuhan alometrik negatif yaitu pertambahan panjang lebih cepat
dibanding pertambahan bobot tubuh.
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, dapat diketahui bahwa nilai R
pada stasiun I sebesar 0,938, stasiun II sebesar 0,967 sedangkan pada stasiun III
nilai R sebesar 0,97. Hasil korelasi pada setiap stasiunnya memiliki hubungan
yang kuat. Hal ini sesuai dengan Hoir (2009) yang diacu oleh Yuliana dkk (2013)
bahwa pada kisaran 0,80 ≤ r ≤ 1,00 korelasi kuat secara positif. Selanjutnya
menurut Omar (2012) yang diacu oleh Sari (2015) bahwa apabila koefisien
0,90-1,00 menunjukkan korelasi yang sangat kuat.
Hal yang serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Niswari (2004),
bahwa secara keseluruhan nilai koefisien deterministik (R2) dari persamaan antara
panjang cangkang dengan berat total daging beserta cangkang kerang hijau lebih
besar dari 92%. Hal ini berarti bahwa hampir seluruh fluktuasi data pertumbuhan
berat total dapat diterangkan oleh model pertumbuhan panjang cangkang. Kurang
dari 8 % saja dari keseluruhan data yang tidak dapat diterangkan dalam model.
Dan hasil penelitian ini juga sesuai dengan yang dilaporkan oleh Sari (2015)
bahwa koefisien kolerasi (r) hubungan panjang-bobot tubuh kerang hijau jantan
0,8509 dan betina 0,9516 . Nilai tersebut menunjukkan bahwa hubungan
panjang-bobot tubuh kerang hijau, baik betina maupun jantan memiliki kolerasi yang
Faktor Kondisi Kerang Bulu (A. gubernaculum)
Nilai faktor kondisi kerang bulu (A. gubernaculum) stasiun I sebesar 0,81
– 1,11, stasiun II sebesar 0,85 – 2,15, dan stasiun III sebesar 0,95 – 1,87. Kerang
Bulu kecil memiliki nilai faktor kondisi yang lebih tinggi dari pada ukuran kerang
yang lebih besar. Kerang Bulu yang berukuran kecil dapat dimanfaatkan
energinya untuk melakukan pertumbuhan. Ketika Kerang Bulu berukuran dewasa
dapat dimanfaatkan energinya untuk melakukan pemijahan sehingga akan
mempengaruhi kemontokkannya. Hal ini sesuai dengan Komala dkk (2011),
bahwa kerang yang berukuran kecil mempunyai faktor kondisi yang lebih tinggi,
kemudian menurun ketika kerang tersebut bertambah besar, serta peningkatan
nilai faktor kondisi dapat terjadi karena perkembangan gonad yang akan mencapai
puncak sebelum memijah. Menurut Fitriani (2008) bahwa Kelompok ukuran besar
memiliki nilai faktor kondisi yang yang lebih rendah, diduga karena kelompok
ukuran ini telah banyak melakukan proses pemijahan sehingga akan memengaruhi
kemontokannya (berkurang). Selanjutnya menurut Sari (2015), bahwa
beragamnya faktor kondisi disebabkan oleh pengaruh makanan, umur, jenis
kelamin.
Parameter Pertumbuhan Kerang Bulu (A. gubernaculum)
Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh nilai panjang asimtotik L∞
Kerang Bulu (A. gubernaculum) yaitu 43.05 mm dengan koefisien pertumbuhan
(K) yaitu 1.2. NilaiL∞ merupakan panjang maksimum dari kerang bulu (A.
gubernaculum) yang tidak mampu lagi bertambah panjang.Nilai koefisien
pertumbuhan (K) merupakan penentu seberapa cepat kerang mencapai panjang
Tamsar dkk (2013) bahwa nilai pada ukuran panjang maksimum untuk kerang
bulu (A. gubernaculum) merupakan pertumbuhan maksimal yang sudah tidak
memungkinkan untuk tumbuh atau bertambah panjang lagi, jika terdapat energi
berlebih maka energi tersebut digunakan untuk reproduksi maupun perbaikan
sel-sel yang rusak. Pertumbuhan ini sangat ditentukan oleh koefisien pertumbuhan
(K), karena apabila nilai koefisien rendah maka dapat mempengaruhi kecepatan
pertumbuhan untuk bisa tumbuh maksimal.
Koefisien pertumbuhan kerang bulu (A.gubernaculum) sebesar 1,2
pertahun. Nilai ini dapat berarti bahwa kerang bulu (A.gubernaculum)
membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mencapai panjang maksimum,
kondisi ini diduga adanya kegiatan pengambilan kerang bulu (A. gubernaculum)
yang tidak selektif terhadap ukuran.
Berdasarkan hasil yang diperoleh diketahui bahwa pertambahan panjang
kerang bulu (A. gubernaculum) yang cukup drastis terjadi pada kerang masih
muda yaitu berumur 1-14 bulan dengan ukuran panjang maksimal mencapai 43.05
mm hingga pertumbuhan kerang tidak dapat meningkat. Hal ini sesuai dengan
Setyobudiandi (2004) yang diacu oleh Nasrawati dkk (2016) bahwa
lajupertumbuhan hewan perairan cenderung melambatpada saat suhu air rendah,
sehingga kerang yangberumur tua maka pertumbuhannya semakinlambatdan
bahkan sudah tidak dapat lagi tumbuhkarena sudah mencapai panjang maksimum.
Mortalitas dan Laju Eksploitasi Kerang Bulu (A. gubernaculum)
Berdasarkan Tabel 4 dapat dillihat nilai laju mortalitas (Z) Kerang Bulu
(A. gubernaculum) sebesar 2,77 per tahun, nilai mortalitas alami (M) Kerang Bulu
Hasil ini menunjukkan bahwa analisis laju eksploitasi (E) Kerang Bulu di perairan
Tanjungbalai memiliki nilai 0,31. Nilai eksploitasi Kerang Bulu
(A.gubernaculum) kurang dari 0,5 yang menunjukkan status eksploitasi di
perairan Tanjungbalai yaitu underfishing. Hal ini sesuai dengan Sparre dan
Venema (1999) bahwa eksploitasi E < 0,5 di kategorikan tingkat eksploitasi
rendah (underfishing).
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan yang dilaporkan oleh Tamsar dkk
(2012) bahwa berdasarkan hasil analisis laju mortalitas alami pada Kerang
(Polymesoda erosa) jantan diperoleh 1,74 tahun, dan mortalitas akibat
penangkapan adalah 1,46 tahun, sehingga diperoleh tingkat eksploitasi sebesar
0,46 tahun. Pada Kerang (P. erosa) betina diperoleh laju mortalitas alami sebesar
2,46 tahun, akibat penangkapan adalah 1,10 tahun sehingga diperoleh tingkat
eksploitasi adalah 0,31 tahun.
Kondisi Umum Perairan
Hasil pada Tabel 5 menunjukkan nilai suhu rata-rata pada stasiun I di
Perairan Tanjungbalai yaitu 30,75oC, suhu rata rata pada stasiun II yaitu 31,51oC,
dan suhu rata rata pada stasiun III yaitu 31,26oC dimana nilai suhu pada setiap
stasiun di Perairan Tanjungbalai memiliki nilai yang cocok dengan pertumbuhan
kerang bulu. Hal ini sesuai dengan Satrioadjie (2010), bahwa adapun
suhuoptimum untuk pertumbuhan Anadara berkisar antara 25–32oC.
Nilai salinitas rata rata pada stasiun I di Perairan Tanjungbalai yaitu 3,71,
nilai salinitas rata – rata pada stasiun II di Perairan Tanjungbalai yaitu 3,34, dan
nilai salinitas rata rata pada stasiun III di Perairan Tanjungbalai yaitu 3.22. Nilai
bertumbuhnya biota laut karena memiliki salinitas yang cukup tinggi. Hal ini
sesuai dengan Effendi (2003) yang menyatakan bahwa nilai salinitas perairan laut
3 – 4.
Nilai kecerahan rata rata pada stasiun I di Perairan Tanjungbalai yaitu 1.03
m, nilai kecerahan rata – rata pada stasiun II di Perairan Tanjungbalai yaitu 0.68
m, dan nilai kecerahan rata rata pada stasiun III di Perairan Tanjungbalai yaitu
0.68 m.Kecerahan pada Perairan Tanjungbalai baik untuk pertumbuhan Kerang
Bulu. Menurut pernyataanRiyadi, dkk. (2005) bahwa kecerahan yang baik untuk
biota laut adalah lebih besar dari 500 cm.
Nilai kedalaman rata rata pada stasiun I di Perairan Tanjungbalai yaitu
1,12 m, nilai kedalaman rata – rata pada stasiun II di Perairan Tanjungbalai yaitu
2,23 m, dan nilai kedalaman rata rata pada stasiun III di Perairan Tanjungbalai
yaitu 1,46 m. Pada masing masing stasiun, memiliki kedalaman yang normal. Hal
ini sesuai dengan Wisnawa dan Yudi (2013) bahwa kedalaman yang lebih rendah
dapat menyebabkan kerang mudah mengalami kekeringan dan perairan mudah
keruh, sedangkan kedalaman yang terlalu dalam berakibat gelombang cenderung
lebih besar dan membutuhkan tali jangkar ataupun patok yang lebih panjang.Hasil
penelitian ini juga sesuai dengan yang dilaporkan oleh Niswari (2004) bahwa
pada perairan Cilincing memiliki kedalaman 1 – 7 m.
Nilai pH rata rata pada stasiun I di Perairan Tanjungbalai yaitu 7,73, nilai
pH rata – rata pada stasiun II di Perairan Tanjungbalai yaitu 7,58, dan nilai pH
rata rata pada stasiun III di Perairan Tanjungbalai yaitu 7,88.Nilai pH disetiap
stasiun ini merupakan nilai yg ideal bagi kehidupan kerang. Hal ini sesuai dengan
organisme air pada umunya terdapat antara 7 – 8,5. Selanjutnya, menurut Nontji
(2002) diacu oleh Satrioadjie (2010), bahwa sebagian besar biota akuatik sensitif
terhadap perubahan pH dan biasanyamenyukai nilai pH berkisar 7,0–8,5. Nilai pH
ini akan mempengaruhi proseskimiawi perairan seperti proses nitrifikasi akan
berhenti jika nilai pH rendah. NilaipH alkalis sangat mendukung untuk terjadinya
laju dekomposisi pada suatu perairan.
Nilai DO rata rata pada stasiun I di Perairan Tanjungbalai yaitu 5,62 mg/l,
nilai DO rata – rata pada stasiun II di Perairan Tanjungbalai yaitu 6,29 mg/l, dan
nilai DO rata rata pada stasiun III di Perairan Tanjungbalai yaitu 6,79 mg/l. Nilai
DO pada stasiun II dan stasiun III berada pada kisaran normal. Sedangkan nilai
DO pada stasiun I di Perairan Tanjungbalai ini masih berada di bawah batas
normal namun Kerang Bulu masih mampu bertahan pada keadaan tersebut. Pada
stasiun 1, banyaknya aktivitas penangkapan yang terjadi sehingga air permukaan
laut menjadi keruh dan juga air tercemar disebabkan karena minyak kapal. Hal ini
sesuai dengan literatur Barus (2004) yang menyatakan bahwa nilai oksigen
terlarut di perairan sebaiknya berkisar antara 6 – 8 mg/l.
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan yang dilaporkan oleh Niswari
(2004), karakteristik lingkungan perairan yang sesuai bagi pertumbuhan kerang
hijau adalah lingkungan perairan dengan suhu berkisar antara 27 – 32oC, salinitas
antara 27 – 35 o/oo, pH 6 – 8, kecerahan 3,5 – 4 m, arus yang tidak terlalu kuat.
Nilai nitrit rata rata pada stasiun I di Perairan Tanjungbalai yaitu 0.06
mg/l, nilai nitrit rata – rata pada stasiun II di Perairan Tanjungbalai yaitu 0.03
mg/l, dan nilai nitrit rata rata pada stasiun III di Perairan Tanjungbalai yaitu 0.004
pada stasiun III memiliki nilai konsentrasi nitrit rendah. Hal ini sesuai dengan
Risamasu dan Prayitno (2011) bahwa rendahnya konsentrasi nitrit di lapisan
permukaan karena pada lapisan ini oksigen yang tersedia cukup melimpah dengan
adanya difusi oksigen dari atmosfir. Dengan bantuan bakteri, oksigen tersebut
akan mengoksidasi nitrit menjadi nitrat sehingga konsentrasi nitrit di lapisan nitrit
menjadi nitrat sehingga konsentrasi nitrit di lapisan permukaan menjadi kecil.
Nilai nitrat rata rata pada stasiun I di Perairan Tanjungbalai yaitu 2,39
mg/l, nilai nitrat rata – rata pada stasiun II di Perairan Tanjungbalai yaitu 2,23
mg/l, dan nilai nitrat rata rata pada stasiun III di Perairan Tanjungbalai yaitu 2,83
mg/l. Nilai nitrat pada stasiun III lebih tinggi dibandingkan stasiun I dan stasiun II
dimana pada stasiun III merupakan perairan yang dekat pantai. Hal ini sesuai
dengan Nybakken (1988) yang menyatakan bahwa konsentrasi nitrat yang tinggi
menggambarkan ketersediaan sumber nitrogen yang cukup melimpah bagi
pertumbuhan fitoplankton. Nutrien anorganik utama yang diperlukan fitoplankton
untuk tumbuh dan berkembang biak adalah nitrogen dalam bentuk nitrat. Menurut
patty (2015), > 3,5 mg/l dapat membahayakan perairan. Hasil penelitian ini juga
sesuai dengan yang dilaporkan oleh Edward dan Tarigan (2003) bahwa kadar
nitrat di perairan Raha ini berkisar antara 0,20-2,66 mg/l.
Nilai fosfat rata rata pada stasiun I di Perairan Tanjungbalai yaitu 0,04
mg/l, nilai fosfat rata – rata pada stasiun II di Perairan Tanjungbalai yaitu 0,06
mg/l, dan nilai fosfat rata rata pada stasiun III di Perairan Tanjungbalai yaitu 0,04
mg/l. Berdasarkan KEPMEN LH No 51 Tahun 2004, pada masing masing stasiun
memiliki nilai fosfat yang tinggi dan berdasarkan perairan laut, nilai phosfat
fosfat di dasar perairan karena dasar perairan umumnya kaya akan zat hara, baik
yang berasal dari dekomposisi sedimen maupunsenyawa-senyawa organik yang
berasaldari jasad flora dan fauna yang mati. Hal ini juga diperjelas oleh Edward
dan Tarigan (2003), bahwa kadar fosfat yang dijumpai di perairan laut yang
normal, yaitu antara 0,01-1,68 mg/l, dan antara 0,01 - 4 mg/l.
Menurut, Rizal dan Jailani (2013), makanan kerang terutama terdiri atas
plankton dan bahan organik terlarut,. Kerang memperolehmakanan dengan cara
(filter feeder) yang berupa fitoplankton dan zooplankton kecil. Kerang
aktifmenyaring makanan dari kolom air dengan insangnya. Selanjutnya, menurut
Melinda dkk (2015), ukuran plankton yang dimakan oleh Kerang juga
bervariasi,jenis dan ukuran makanan yang masuksangat tergantung pada
umurnya.Kebiasaanmakan kerang dapat diketahui melaluianalisis makanan yang
terdapat di dalamsaluran pencernaan.
Menurut patty (2015), Kandungan fosfat dan nitrat secara alamiah berasal
dari perairan itu sendiri yaitu melalui proses – proses pengurairan, pelapukan
ataupun dekomposisi tumbuh – tumbuhan dan sisa – sisa organisme mati. Fosfat
dan nitrat dibutuhkan untuk mendukung organisme dalam petumbuhan dan
perkembangan hidupnya terutama fitoplankton.
Nilai C - organik rata rata pada stasiun I di Perairan Tanjungbalai yaitu
0,46 %, nilai C - organik rata – rata pada stasiun II di Perairan Tanjungbalai yaitu
1,42 %, dan nilai C - organik rata rata pada stasiun III di Perairan Tanjungbalai
yaitu 0,38 %. Persentase nilai C – organik tertinggi terdapat pada stasiun II yaitu
1,42% dan persentase nilai C – organik terendah terdapat pada stasiun III yaitu
untuk bertahan hidup. Hal ini sesuai dengan Nasdwiana (2016) bahwa tinggi dan
rendahnya kandungan bahan bahan organik dalam sedimen diakibatkan oleh
gelombang yang membongkar material sedimen yang terbawa oleh arus ataupun
pasang surut, apabila arus kencang maka partikel-partikel sedimen yang halus
akan terbawa ke laut dalam, sedangkan partikel kasar akan mengendap.
Selanjutnya Menurut Kelana, dkk (2015) bahwa karbon organik merupakan
indikator kesuburan dan faktor penentu pertumbuhan pada substrat. Komunitas
yang hidup dalam substrat akan merombak karbon organik menjadi bahan
makanan yang digunakan untuk mempertahankan kelangsungan hidup.
Tipe tekstur pada stasiun I di Perairan Tanjungbalai yaitu Lempung
Berpasir. Tipe tekstur pada stasiun II di Perairan Tanjungbalai yaitu Lempung
Berdebu dan tipe tekstur pada stasiun III di Perairan Tanjungbalai yaitu Lempung
Berpasir. Pada stasiun II lebih banyak jumlah Kerang Bulu yang didapat bila
dibandingkan dengan stasiun I dan stasiun III. Hal ini disebabkan karena tekstur
substrat berupa lempung berdebu memiliki bahan organik yang banyak
terperangkap sehingga jumlah kerang bulu pada stasiun II ini pun banyak. Hal ini
sesuai dengan Riniatsih dan Kushartono (2009) bahwa semakin halus tekstur
substrat dasar maka kemampuandalam menjebak bahan organik akan semakin
besar.Hal ini menunjukkan bahwa ukuran butir sedimen turutmempengaruhi
kandungan bahan organik dalamsedimen atau dapat dikatakan semakin kecil
Rekomendasi Pengelolaan
Rekomendasi pengelolaan sumberdaya Kerang Bulu yang dapat dilakukan
di Perairan Tanjungbalai :
1. Ukuran Kerang Bulu yang ditangkap harus yang sudah dewasa dengan
diameter < 4 cm.
2. Laju eksploitasi < 0,5, artinya under fishing. Namun tetap harus dihimbau juga
kepada nelayan kerang agar tidak menangkapn kerang yang masih muda yaitu
< 4 cm.
3. Menjaga kelestarian kerang dalam mengatur waktu penangkapan dan ukuran
kerang yang ditangkap. Penangkapan kerang sebaiknya tidak dilakukan pada
saar kerang telah memasuki puncak kematangan gonad dengan ukuran
diameter 4 cm atau pada saat bereproduksi serta merilis kembali kerang yang
tertangkap debngan ukuran kecil guna menjaga populasi dan stok dialam.
Rekomendasi pengelolaan sumberdaya kerang yang telah diuraikan diatas
akan terwujud apabila adanya kerjasama yang baik antara pemerintah daerah
dengan masyarakat sekitar. Peran pemerintah dan masyarakat sangat penting
dalam mengatasi masalah kepunahan sumberdaya perikanan di Perairan
Tanjungbalai. Oleh karena itu, upaya lain yang dapat menunjang keberhasilan
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Kerang Bulu (Anadara gubernaculum) di Perairan Tanjungbalai memiliki pola
pertumbuhan allometrik negatif yang berarti pertambahan panjang lebih cepat
daripada pertambahan bobotnya.Nilai faktor kondisi pada stasiun I yaitu 0,81 –
1,11, pada stasiun II yaitu 0,85 – 2,15, dan pada stasiun III yaitu 0,95 – 1,87.
Panjang asimtot Kerang Bulu (A. gubernaculum) sebesar 43,05 mm, koefisien
pertumbuhan sebesar1,2/tahun, Umur teoritis Kerang Bulu pada saat panjang
sama dengan nol sebesar -0,12/tahun. Persamaan Von Bertalanffy yang
terbentuk pada Kerang Bulu (A. gubernaculum) yaitu 43.05(1-e(-1.2(t+0.12)).
2. Laju mortalitas total (Z) Kerang Bulu (A. gubernaculum) sebesar 2,77/tahun
dengan laju mortalitas alami (M) sebesar 1,9/tahun dan mortalitas penangkapan
(F) sebesar 0,86/tahun, serta laju eksploitasi sebesar 0,31/tahun. Nilai E
mengindikasikan tingkat pemanfaatan Kerang Bulu (A. gubernaculum) di
perairan Tanjungbalai masih dalam kondisi lestari yaitu underfishing.
Saran
Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai aspek pertumbuhan kerang
bulu pada daerah yang sama tetapi waktu yang berbeda sehingga dapat
dibandingkan dan diketahui waktu serta kondisi perairan yang optimum untuk
kerang bulu dapat tumbuh dengan baik dan sesuai. Berdasarkan data yang telah
didapatkan, nelayan dapat merancang suatu rencana pengelolaan yang baik dalam
menangkap Kerang Bulu pada ukuran yang belum dewasa, dan membangun
kesadaran masyarakat dalam menjaga keberlanjutan sumberdaya Kerang Bulu di