• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penumbuhan dan Laju Eksploitasi Kerang Bulu Anodara gubernaculum (Reeve, 1844) Family Arddae di Perairan Tanjungbalai Sumalera Ulara Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penumbuhan dan Laju Eksploitasi Kerang Bulu Anodara gubernaculum (Reeve, 1844) Family Arddae di Perairan Tanjungbalai Sumalera Ulara Chapter III V"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 1 bulan 14 hari yaitu pada bulan

Oktober 2016 sampai dengan bulan November 2016 di Perairan Tanjungbalai,

Sumatera Utara. Pengambilan sampel kerang dilakukan pada tiga stasiun

pengamatan dimana setiap stasiun memiliki 3 titik sampling dan dilakukan

pengambilan substrat serta pengukuran parameter kualitas air pada masing masing

stasiun. Parameter Kimia dilakukan di Laboratorium Balai Riset dan Standarisasi

Medan sedangkan substrat dilakukan di Laboratorium Central Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara. Deskripsi area dapat dilihat pada Gambar 3.

Deskripsi Area

(2)

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan berupa Timbangan Analitik, Jangka Sorong, Botol

Sampel Gelap, Alat Tulis, Kertas Label, Lakban, Buku identifikasi, Kantong

Plastik Hitam, Coolbox. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Sampel Kerang, Software Microsoft Excel, Aplikasi FISAT, Kertas Label, Karet,

Aquadest, Alkohol, Tisu gulung.

Stasiun Penelitian Stasiun I

Secara geografis, stasiun I terletak pada 03o07’12.47LU dan

099o48’09.67BT. Jarak antara stasiun I ke stasiun ke stasiun II sejauh 2 km.

Stasiun ini merupakan daerah penangkapan kerang. Lokasi Penelitian 1 dapat

dilihat pada Gambar 4.

(3)

Stasiun II

Gambar 5. Lokasi Penelitian 2

Secara geografis, stasiun II terletak pada 03o07’11.95LU dan

099o48’05.26BT. Jarak antara stasiun II ke stasiun III sejauh 2 km. Stasiun ini

merupakan daerah penangkapan kerang. Lokasi Penelitian 2 dapat dilihat pada

Gambar 5.

Stasiun III

(4)

Secara geografis, stasiun III terletak pada 03o07’10.79LU dan

099o48’00.78BT”. Stasiun ini sudah berada di dekat pantai. Stasiun ini merupakan

daerah penangkapan kerang. Lokasi penelitian 3 dapat dilihat pada Gambar 6.

Parameter Fisika Kimia

Parameter fisika kimia perairan yang dianalisis terdiri dari parameter.

Parameter fisika dan kimia diukur secara Insitu dan Exsitu yang terlihat dalam

Tabel 1.

Tabel 1. Parameter fisika dan kimia yang diukur

Parameter Satuan Alat Pengukuran

Fisika

Pengumpulan data primer Kerang Bulu diperoleh dari metode purposive

samplingdi Perairan Tanjungbalai yang diartikan sebagai satu metode

pengambilan sampel yang didasarkan atas ciri atau sifat yang ditentukan untuk

mencapai tujuan tertentu. Jenis dan sumber data yang dibutuhkan untuk keperluan

(5)

nelayan. Data yang dikumpulkan menyangkut kegiatan usaha penangkapan

kerang yang meliputi kegiatan operasi penangkapan dan produksi hasil tangkapan.

Pengambilan sampel Kerang Bulu dilakukan selama 1 bulan 14 hari mulai

dari Oktober 2016 sampai dengan November 2016 sebanyak 3 kali dengan

interval waktu pengambilan sampel 2 minggu sekali. Kerang Bulu diambil secara

acak dari 3 stasiun. Pengambilan sampel menggunakan alat tangkap garuk. Garuk

ini terbuat dari besi. Alat ini memiliki ukuran 0,39 m x 0,24 m. Cara

pengoperasiannya garuk ini dengan diturunkan ke perairan. Setelah beberapa

menit, garuk dinaikkan ke atas perahu. Untuk alat tangkap garuk dapat dilihat

pada Gambar 7.

Gambar 7. Garuk 24 cm

(6)

Pengambilan Sampel

Sampel yang diambil adalah Kerang Bulu (Anadara gubernaculum).

Kerang Bulu (A. gubernaculum) dapat dilihat pada Gambar 8.

Sampel yang dilakukan adalah Kerang Bulu (A. gubernaculum).

Pengukuran Kerang Bulu untuk mengetahui panjang dari Kerang Bulu.

Pengukuran panjang Kerang Bulu (A. gubernaculum) dapat dilihat pada Gambar

9.

(7)

Gambar 9. Pengukuran Panjang Kerang Bulu

Sampel yang dilakukan adalah Kerang Bulu (A. gubernaculum).

Pengukuran Kerang Bulu untuk mengetahui lebar dari Kerang Bulu. Pengukuran

lebar Kerang Bulu (A. gubernaculum) dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Pengukuran Lebar Kerang Bulu

Sampel yang dilakukan adalah Kerang Bulu (A. gubernaculum).

Pengukuran Kerang Bulu untuk mengetahui tebal dari Kerang Bulu.Pengukuran

(8)

Analisis Data Distribusi Ukuran

1. Analisis Sebaran Frekuensi Panjang

Menurut Sudjana, 1996 yang diacu oleh Tamsar dkk, (2013), Analisis data

ukuran panjang kerangadalah sebagai berikut:

a. Data ukuran panjang dikelompokan ke dalam kelas-kelas panjang.

Pengelompokan kerang ke dalam kelas-kelas panjang dilakukan dengan

menetapkan terlebih dahulu “range” atau wilayah kelas, selang kelas dan

batas-batas kelas panjang berdasarkan jumlah yang ada.

b. Data diplotkan ke dalam grafik yang menghubungkan antara panjang kerang

(L) pada kelas-kelas panjang tertentu dengan jumlah kerang pada kelas panjang

(9)

Panjang minimun) dibagi dengan jumlah selang kelas yang sudah diperoleh

sebelumnya.

2. Pemisahan Kelompok Umur Berdasarkan Distribusi Panjang

Analisis pemisahan kelompok-kelompok umur berdasarkan ukuran

panjang yang dipilih dalam penelitian ini menggunakan metode Bhattacharya.

Metode Bhattacharya merupakan salah satu cara grafis untuk memisahkan data

sebaran frekuensi panjang ke dalam beberapa distribusi normal. Pemisahan

distribusi normal dengan metode Bhattacharya ini dilakukan dengan paket

program FiSAT II Versi 1.2.2 (Sparre dan Venema, 1999 yang diacu oleh Tamsar

dkk, 2013).

Hubungan Panjang Bobot

Menurut Nuraini dkk (2014), hubungan panjang berat memiliki nilai

praktis yang memungkinkan mengkonversi nilai panjang kedalam berat atau

sebaliknya. Berat kerangdapat dianggap sebagai suatu fungsi dari panjangnya, dan

hubungan panjang berat ini mengikuti hukum kubik yang dinyatakan dengan

rumus :

W = a Lb

Keterangan :

W =Berat

L = Panjang

a = Intersep (perpotongan kurva hubungan panjang-berat dengan sumbu y)

(10)

Uji t dilakukan terhadap nilai b untuk mengetahui apakah b= 3 (isomertik)

atau b≠3 (allometrik).

T hit =βo - βi

Sβi

Keterangan :

Sβi = Simpangan Baku βi

βo = Intercept (3)

βi = Slope (hubungan dari panjang bobot)

Sehingga diperoleh hipotesis:

H0 : b = 3 (isometrik)

H0 : b ≠ 3 (allometrik)

Setelah itu, nilai thitung dibandingkan dengan ttabel sehingga keputusan yang

dapat diambil adalah sebagai berikut:

Thitung > T tabel, maka tolak H0

Thitung < T tabel, maka gagal tolak H0

Apabila pola pertumbuhan allometrik maka dilanjutkan dengan hipotesis

sebagai berikut:

Allometrik positif

H0 : b < 3 (isometrik)

H0 : b > 3 (allometrik)

Allometrik negatif

H0 : b > 3 (isometrik)

(11)

Faktor Kondisi

Faktor kondisi yang sering kali disebut juga faktor K merupakan terapan

dari analisis hubungan panjang berat dan merupakan derivat yang penting dalam

pertumbuhan bivalvia. Dalam hal ini faktor kondisi dapat mengambarkan baik

tidaknya kondisi bivalvia dilihat dari segi kepasitas fisik untuk kelangsungan

hidup (survival) dan reproduksi.

Menurut Effendie (1979) yang diacu oleh Rumbiak dkk (2014), untuk

melihat faktor kondisi pada bivalvia digunakan formula menurut yaitu : .

�� = �

���

Dimana :

Kn = Faktor kondisi relatif

W = Berat tubuh (gr)

L = Panjang tubuh

a,b =Konstanta

Parameter Pertumbuhan

Menurut Sparre dan Venema (1999), untuk mengetahui parameter

pertumbuhan digunakan model pertumbuhan Von Bertalanffyyaitu:

Lt = L ∞ (l – e-K(t-to)) dimana:

Lt = Panjang kerang pada saat t (cm);

L = Panjang asimtot kerang (cm);

K = Koefisien pertumbuhan (per tahun);

(12)

t = Umur kerang pada saat Lt (tahun).

Untuk menduga umur teoritis (t0) pada saat panjang kerang sama dengan 0

(nol), digunakan persamaan empiris Pauly, (1983) diacu oleh Sparre dan Venema,

(1999) sebagai berikut:

Log10 (-to) = - 0,3922 - 0,2752 Log10 L ∞ - 1,038 Log 10 K

L∞ adalah panjang maksimum kerang darah secara teoritis (panjang

asimptotik), K adalah Koefisien laju pertumbuhan (per satuan waktu) dan t0

adalah umurteoritis kerang darah pada saat panjang total cangkang sama dengan

nol.

Mortalitas dan Laju Eksploitasi

Koefisien kematian total diduga dengan menggunakan kurva hasil

tangkapan konversi panjang (length-converted catch curve) Pauly (1999) dengan

persamaan sebagai berikut:

ln M = -0.0152 – 0.279 * ln L∞ + 0.6543 * ln K + 0.463 * ln T M = e(ln M)

Laju mortalitas penangkapan (F) ditentukan dengan: F = Z - M.

Selanjutnya laju eksploitasi ditentukan dengan cara membandingkan mortalitas

penangkapan (F) terhadap mortalitas total (Z) menurut Pauly (1984) diacu oleh

Sparre dan Venema (1999) :

E = F / (F + M)

dimana :

E= Status eksploitasi;

F= Koefisien kematian penangkapan;

(13)

Jika : E>0,5 menunjukkan tingkat eksploitasi tinggi (over fishing) ;

E<0,5 menunujukan tingkat eksplotasi rendah (under fishing) ;

E=0,5 menunjukkan pemanfaatan optimal

Laju mortalitas penangkapan (F) atau laju eksploitasi optimum menurut

Gulland (1971) adalah :

Foptimum = M dan Eoptimum = 0.5

Laju ekploitasi (E) populasi kerang dikatakan sudah mencapai tangkap

lebih (Overfishing) apabila telah melewati nilai batas tingkat penangkapan

optimum. Penangkapan optimum (Eopt = 0.5) jika populasi berada dalam keadaan

(14)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Biologi Kerang Bulu (A.gubernaculum)

Kerang Bulu (A.gubernaculum) memiliki cangkang kiri lebih besar

daripada cangkang kanan(inequivalvis).Cangkang berbentuk elips

memanjang.Tepiventral cangkang cenderung mendatar dan melebar padabagian

posterior.Cangkang tebal, berat, dan berwarna putih.Permukaan cangkang

dihiasirusuk-rusuk radial yang sangatnyata.Rusuk radial datar, tanpa

tonjolan.jumlah rusukradial 33–36.Jarak antar rusuk lebih sempit daripada

lebarrusuk.Lapisan periostrakum tebal dan terdapat modifikasi berupa lapisan

seperti berudu dan “rambut”.Deretan“rambut” tersebut terdapat di “parit”, di

antara rusuk-rusukradial.Lapisan periostrakum berwarna coklat kehitaman

(Ambarwati dan Trijoko, 2011)

Sebaran Frekuensi Panjang

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan selama 1 bulan 14 hari,

sebaran frekuensi kerang bulu menunjukkan hasil yang berbeda pada setiap

stasiunnya. Panjang total kerang bulu berkisar antara 14 - 43 mm. Pengelompokan

dibedakan berdasarkan pada setiap stasiun dan dikelompokkan sebanyak 10

selang kelas. Berdasarkan Gambar 12 dapat diketahui bahwa frekuensi Kerang

pada stasiun I dengan jumlah sebesar 205 ekor yang terbanyak pada ukuran selang

kelas 26 – 28 mm sebesar 55 ekor. Sebaran frekuensi panjang Kerang Bulu (A.

(15)

Gambar 12. Sebaran Frekuensi Panjang Kerang Bulu pada Stasiun I

Berdasarkan Gambar 13 dapat diketahui bahwa frekuensi Kerang pada

stasiun II dengan jumlah sebesar 450 ekor yang terbanyak pada ukuran selang

kelas 20 – 22 mm sebesar 114 ekor. Sebaran frekuensi panjang Kerang Bulu

(A.gubernaculum) pada stasiun II dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13.Sebaran Frekuensi Panjang Kerang Bulu pada Stasiun II

Berdasarkan Gambar 14 dapat diketahui bahwa frekuensi Kerang pada

(16)

kelas 29 – 31 mm sebesar 33 ekor. Sebaran frekuensi panjang Kerang Bulu

(A.gubernaculum) pada stasiun III dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14.Distribusi Frekuensi Panjang Kerang Bulu pada Stasiun III

Hubungan Panjang dan bobot Kerang Bulu

Hasil dari pengukuran panjang dan bobot kerang akan dianalisis dengan

persamaan regresi linier sehingga akan diperoleh nilai koefisien determinasi (R2),

nilai intersep, dan koefisien regresi berdasarkan keseluruhan hasil tangkapan.

Hasil perhitungan analisis regresi dan grafik hubungan panjang bobot kerang bulu

di perairan Tanjungbalai pada stasiun I yang berjumlah 205 ekor menghasilkan

persamaan regresi W = 0,003L2,093 dengan koefisien determinasi (R2) sebesar

0,938 dimana hubungan panjang bobot tubuh Kerang Bulu memiliki korelasi yang

sangat kuat. Kerang Bulu pada stasiun I memiliki pola pertumbuhan allometrik

negatif (b < 3). Hubungan Panjang Bobot Kerang Bulu (A.gubernaculum) pada

(17)

Gambar 15. Hubungan Panjang Bobot Kerang Bulu pada Stasiun 1

Pada stasiun II yang berjumlah 450 ekor menghasilkan regresi W =

0,002L2,157 dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 0,967 dimana hubungan

panjang bobot tubuh Kerang Bulu memiliki korelasi yang sangat kuat. Kerang

Bulu pada stasiun II memiliki pola pertumbuhan allometrik negatif (b < 3).

Hubungan Panjang Bobot Kerang Bulu (A.gubernaculum) pada stasiun II dapat

dilihat pada Gambar 16.

(18)

Pada stasiun III yang berjumlah 200 ekor menghasilkan regresi W =

0,002L2.159 dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 0,97 dimana hubungan

panjang bobot tubuh Kerang Bulu memiliki korelasi yang sangat kuat. Kerang

Bulu pada Stasiun III memiliki pola pertumbuhan allometrik negatif (b < 3).

Hubungan Panjang Bobot Kerang Bulu (A.gubernaculum) pada stasiun III dapat

dilihat pada Gambar 17.

Gambar 17. Hubungan Panjang Bobot Kerang Bulu pada Stasiun 1II

Faktor Kondisi

Hasil perhitungan faktor kondisi kerang bulu pada pengambilan sampel

bulan Oktober – November 2016 dimana pada stasiun 1, memiliki nilai faktor

kondisi berkisar antara 0,81 – 1,11. Pada stasiun II, memiliki nilai faktor kondisi

berkisar antara 0,85 – 2,15. Pada stasiun III, memiliki nilai faktor kondisi berkisar

antara 0,95 – 1,87. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 2

(19)

Tabel 2. Kisaran Faktor Kondisi Kerang Bulu pada Bulan Oktober – November 2016

Stasiun Faktor Kondisi

I II III

0.81 – 1.11 0.85 – 2.15 0.95 – 1.87

Parameter Pertumbuhan

Hasil analisis Von Bertalanffy Kerang Bulu selama pengamatan dapat

disajikan pada Gambar 18. Pendugaan umur data terpanjang menyebutkan bahwa

frekuensi terbesar yang mendominasi pada Kerang Bulu (A. gubernaculum)

berkisar antara 20 – 22 mm dengan frekuensi sebesar 104. Kerang Bulu

(A.gubernaculum) cukup banyak ditangkap dan pertumbuhannya terletak pada

rentang 20 – 30.

Gambar 18. Pertumbuhan Von Bertalanffy Kerang Bulu (A.gubernaculum)

Hasil analisis parameter petumbuhan Kerang Bulu yang terdiri atas

koefisien pertumbuhan (K) yaitu 1,2 pertahun dan panjang infinitif (L∞) yaitu

43,05 mm serta umur teoritis kerang pada saat panjang sama dengan nol (t0) yaitu

-0,12 disajikan pada Tabel 3 yang dianalisis dengan metode ELEFAN I dalam

(20)

Tabel 3. Parameter pertumbuhan Kerang Bulu di perairan Tanjungbalai pada bulan Oktober - November

Kerang Bulu (Anadara gubernaculums)

Parameter Pertumbuhan L(mm)K(Tahun-1)t0(tahun)Lt(mm)

43.05 1.2 -0.12 43.05(1-e(-1.2(t+0.12))

Berdasarkan parameter pertumbuhan yang diperoleh dapat disajikan dalam

bentuk kurva pertumbuhan Von Bertalanffy dengan cara mengelompokkan umur

dan panjang total kerang (Gambar 19). Kurva pertumbuhan pada Kerang Bulu (A.

gubernaculum) dengan memplotkan umur (bulan) pada sumbu x dan panjang

(mm) pada sumbu y. Kurva tersebut menjelaskan bahwa untuk mencapai panjang

asimtot Kerang Bulu (A. gubernaculum) membutuhkan waktu 14 bulan. Pada saat

umur 1 bulan, Kerang Bulu berukuran 14 mm dan terus mengalami pertumbuhan

yang signifikan hingga 14 bulan yang mencapai 43.05 mm. Setelah umur 14

bulan, kerang tidak dapat tumbuh lagi.

(21)

Mortalitas dan Laju Eksploitasi Kerang Bulu

Pendugaan laju mortalitas alami kerang menggunakan rumus empiris

Pauly (Sparre dan Venema, 1999) dengan suhu rata-rata permukaan perairan

Tanjungbalai 31,17°C. Hasil analisis dugaan mortalitas dan laju eksploitasi

Kerang Bulu (A.gubernaculum)yang terdiri dari mortalitas total (Z) yaitu

2,77/tahun, mortalitas alami (M) yaitu 1,9/tahun, mortalitas penangkapan (F) yaitu

0,86/tahun, dan laju eksploitasi (E) yaitu 0,31 (Underfishing) yangdisajikan pada

Tabel 4.

Tabel 4. Mortalitas dan Laju Eksploitasi Kerang Bulu di Perairan Tanjungbalai Kerang Bulu

(Anadara gubernaculum)

ZMFE

2,77 1,900,860,31

Kualitas Air

Kondisi parameter perairan merupakan faktor pendukung yang dapat

mempengaruhi distribusi Kerang Bulu di Perairan Tanjung Balai. Hasil

pengukuran kualitas air di Perairan Tanjungbalai berdasarkan KEPMEN LH No.

51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut saat pengamatan

(22)
(23)

Pembahasan

Sebaran Frekuensi Panjang Kerang Bulu (A. gubernaculum)

Hasil penelitian yang diperoleh, dapat diketahui bahwa pada stasiun I

ukuran panjang 26 mm – 28 mm memiliki frekuensi tertinggi yaitu sebesar 55

ekor, pada stasiun IIukuran panjang 20 mm – 22 mm memiliki nilai frekuensi

tertinggi sebanyak 114 ekor, sedangkan pada stasiun IIIukuran panjang 29 mm –

31 mm yang memiliki jumlah frekuensi tertinggi sebanyak 33 ekor. Hasil dari

ketiga stasiun menunjukkan jumlah distribusi panjang yang berbeda, hal ini

diduga karena adanya perbedaan ukuran biota yang terjadi di perairan.Menurut

Komala (2011) bahwa perbedaan panjang maksimum yang diperoleh dapat

disebabkan beberapa kemungkinan antara lain perbedaan lokasi, keterwakilan

contoh yang diambil, dan adanya tekanan penangkapan yang tinggi atau terdapat

faktor yang sulit dikontrol seperti keturunan, umur, parasit, dan penyakit.

Menurut Ekawati (2010), salah satu penyebab perbedaan ukuran kerang

diduga karena adanya perbedaan lokasi lingkungan, ketersediaan makanan di

perairan, perbedaan jumlah contoh yang diambil, dan perbedaan tekanan

penangkapan.

Selanjutnya Effendie (1997), ukuranmaksimum pada setiap zona

berbeda-bedadiduga kondisi lingkungan yang kurangoptimum khususnya substrat atau

karenaadanya aktifitas penangkapan yang intensif, perbedaan frekuensi tersebut

disebabkanoleh beberapa faktor, seperti keturunan,jenis kelamin, umur, parasit,

(24)

Hubungan Panjang dan Bobot Kerang Bulu (Anadara gubernaculum)

Hasil penelitian yang diperoleh bahwa pada stasiun I memiliki nilai regresi

(b) sebesar 2,068, stasiun II sebesar 2.109 sedangkan stasiun III sebesar 1,841.

Pada masing – masing stasiun memiliki tipe pertumbuhan alometrik negatif (<3)

yaitu pertambahan panjang cangkang lebih cepat dibandingkan pertambahan berat

total. Hal ini sesuai dengan Abida dkk (2014) bahwa Allometrik negatif,

pertambahan panjang lebih dominan daripada pertambahan berat.Menurut

Effendie (1997) polapertumbuhan allometrik negatif mengindikasikan bahwa

ketersediaan makanan diperairan kurang sehingga lebih dominan pertambahan

panjang dibandingkan berat. Selanjutnya Menurut Harris et al (1999),

pertumbuhan kerang dipengaruhi oleh faktor kondisi lingkungan seperti

ketersediaan makanan serta suhu, substrat, arus, dan salinitas. Keadaan tersebut

akan mempengaruhi pertambahan panjang dan tinggi cangkang, yang akan di

gunakan untuk melindungi jaringan dan akan melakukan pergerakan.

Menurut Sulistiono, dkk. (2001) bahwa hubungan panjang bobot

menunjukkan pertumbuhan yang bersifat relatif artinya dapat berubah menurut

waktu. Apabila terjadi perubahan terhadap lingkungan dan ketersediaan makanan

diperkirakan nilai b juga akan berubah. Selanjutnya, menurut nybakken (2003),

bahwa perbedaan pola pertumbuhan yang terjadi dapat disebabkan oleh dua faktor

yaitu faktor internal yang cenderung sulit untuk dikontrol diantaranya seperti

keturunan (gen0 dan kelamin, serta faktor eksternal yaitu parasit, penyakit,

makanan, dan suhu.

Hal yang sama terjadi pada penelitian yang dilaporkan oleh Sari (2015)

(25)

0.003 dan nilai b = 2.696. Sedangkan kerang hijau betina memiliki nilai a =

0.00156 dan nilai b = 2.7959 dimana pada kerang hijau jantan dan betina memiliki

tipe pertumbuhan alometrik negatif yaitu pertambahan panjang lebih cepat

dibanding pertambahan bobot tubuh.

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, dapat diketahui bahwa nilai R

pada stasiun I sebesar 0,938, stasiun II sebesar 0,967 sedangkan pada stasiun III

nilai R sebesar 0,97. Hasil korelasi pada setiap stasiunnya memiliki hubungan

yang kuat. Hal ini sesuai dengan Hoir (2009) yang diacu oleh Yuliana dkk (2013)

bahwa pada kisaran 0,80 ≤ r ≤ 1,00 korelasi kuat secara positif. Selanjutnya

menurut Omar (2012) yang diacu oleh Sari (2015) bahwa apabila koefisien

0,90-1,00 menunjukkan korelasi yang sangat kuat.

Hal yang serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Niswari (2004),

bahwa secara keseluruhan nilai koefisien deterministik (R2) dari persamaan antara

panjang cangkang dengan berat total daging beserta cangkang kerang hijau lebih

besar dari 92%. Hal ini berarti bahwa hampir seluruh fluktuasi data pertumbuhan

berat total dapat diterangkan oleh model pertumbuhan panjang cangkang. Kurang

dari 8 % saja dari keseluruhan data yang tidak dapat diterangkan dalam model.

Dan hasil penelitian ini juga sesuai dengan yang dilaporkan oleh Sari (2015)

bahwa koefisien kolerasi (r) hubungan panjang-bobot tubuh kerang hijau jantan

0,8509 dan betina 0,9516 . Nilai tersebut menunjukkan bahwa hubungan

panjang-bobot tubuh kerang hijau, baik betina maupun jantan memiliki kolerasi yang

(26)

Faktor Kondisi Kerang Bulu (A. gubernaculum)

Nilai faktor kondisi kerang bulu (A. gubernaculum) stasiun I sebesar 0,81

– 1,11, stasiun II sebesar 0,85 – 2,15, dan stasiun III sebesar 0,95 – 1,87. Kerang

Bulu kecil memiliki nilai faktor kondisi yang lebih tinggi dari pada ukuran kerang

yang lebih besar. Kerang Bulu yang berukuran kecil dapat dimanfaatkan

energinya untuk melakukan pertumbuhan. Ketika Kerang Bulu berukuran dewasa

dapat dimanfaatkan energinya untuk melakukan pemijahan sehingga akan

mempengaruhi kemontokkannya. Hal ini sesuai dengan Komala dkk (2011),

bahwa kerang yang berukuran kecil mempunyai faktor kondisi yang lebih tinggi,

kemudian menurun ketika kerang tersebut bertambah besar, serta peningkatan

nilai faktor kondisi dapat terjadi karena perkembangan gonad yang akan mencapai

puncak sebelum memijah. Menurut Fitriani (2008) bahwa Kelompok ukuran besar

memiliki nilai faktor kondisi yang yang lebih rendah, diduga karena kelompok

ukuran ini telah banyak melakukan proses pemijahan sehingga akan memengaruhi

kemontokannya (berkurang). Selanjutnya menurut Sari (2015), bahwa

beragamnya faktor kondisi disebabkan oleh pengaruh makanan, umur, jenis

kelamin.

Parameter Pertumbuhan Kerang Bulu (A. gubernaculum)

Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh nilai panjang asimtotik L∞

Kerang Bulu (A. gubernaculum) yaitu 43.05 mm dengan koefisien pertumbuhan

(K) yaitu 1.2. NilaiL∞ merupakan panjang maksimum dari kerang bulu (A.

gubernaculum) yang tidak mampu lagi bertambah panjang.Nilai koefisien

pertumbuhan (K) merupakan penentu seberapa cepat kerang mencapai panjang

(27)

Tamsar dkk (2013) bahwa nilai pada ukuran panjang maksimum untuk kerang

bulu (A. gubernaculum) merupakan pertumbuhan maksimal yang sudah tidak

memungkinkan untuk tumbuh atau bertambah panjang lagi, jika terdapat energi

berlebih maka energi tersebut digunakan untuk reproduksi maupun perbaikan

sel-sel yang rusak. Pertumbuhan ini sangat ditentukan oleh koefisien pertumbuhan

(K), karena apabila nilai koefisien rendah maka dapat mempengaruhi kecepatan

pertumbuhan untuk bisa tumbuh maksimal.

Koefisien pertumbuhan kerang bulu (A.gubernaculum) sebesar 1,2

pertahun. Nilai ini dapat berarti bahwa kerang bulu (A.gubernaculum)

membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mencapai panjang maksimum,

kondisi ini diduga adanya kegiatan pengambilan kerang bulu (A. gubernaculum)

yang tidak selektif terhadap ukuran.

Berdasarkan hasil yang diperoleh diketahui bahwa pertambahan panjang

kerang bulu (A. gubernaculum) yang cukup drastis terjadi pada kerang masih

muda yaitu berumur 1-14 bulan dengan ukuran panjang maksimal mencapai 43.05

mm hingga pertumbuhan kerang tidak dapat meningkat. Hal ini sesuai dengan

Setyobudiandi (2004) yang diacu oleh Nasrawati dkk (2016) bahwa

lajupertumbuhan hewan perairan cenderung melambatpada saat suhu air rendah,

sehingga kerang yangberumur tua maka pertumbuhannya semakinlambatdan

bahkan sudah tidak dapat lagi tumbuhkarena sudah mencapai panjang maksimum.

Mortalitas dan Laju Eksploitasi Kerang Bulu (A. gubernaculum)

Berdasarkan Tabel 4 dapat dillihat nilai laju mortalitas (Z) Kerang Bulu

(A. gubernaculum) sebesar 2,77 per tahun, nilai mortalitas alami (M) Kerang Bulu

(28)

Hasil ini menunjukkan bahwa analisis laju eksploitasi (E) Kerang Bulu di perairan

Tanjungbalai memiliki nilai 0,31. Nilai eksploitasi Kerang Bulu

(A.gubernaculum) kurang dari 0,5 yang menunjukkan status eksploitasi di

perairan Tanjungbalai yaitu underfishing. Hal ini sesuai dengan Sparre dan

Venema (1999) bahwa eksploitasi E < 0,5 di kategorikan tingkat eksploitasi

rendah (underfishing).

Hasil penelitian ini juga sesuai dengan yang dilaporkan oleh Tamsar dkk

(2012) bahwa berdasarkan hasil analisis laju mortalitas alami pada Kerang

(Polymesoda erosa) jantan diperoleh 1,74 tahun, dan mortalitas akibat

penangkapan adalah 1,46 tahun, sehingga diperoleh tingkat eksploitasi sebesar

0,46 tahun. Pada Kerang (P. erosa) betina diperoleh laju mortalitas alami sebesar

2,46 tahun, akibat penangkapan adalah 1,10 tahun sehingga diperoleh tingkat

eksploitasi adalah 0,31 tahun.

Kondisi Umum Perairan

Hasil pada Tabel 5 menunjukkan nilai suhu rata-rata pada stasiun I di

Perairan Tanjungbalai yaitu 30,75oC, suhu rata rata pada stasiun II yaitu 31,51oC,

dan suhu rata rata pada stasiun III yaitu 31,26oC dimana nilai suhu pada setiap

stasiun di Perairan Tanjungbalai memiliki nilai yang cocok dengan pertumbuhan

kerang bulu. Hal ini sesuai dengan Satrioadjie (2010), bahwa adapun

suhuoptimum untuk pertumbuhan Anadara berkisar antara 25–32oC.

Nilai salinitas rata rata pada stasiun I di Perairan Tanjungbalai yaitu 3,71,

nilai salinitas rata – rata pada stasiun II di Perairan Tanjungbalai yaitu 3,34, dan

nilai salinitas rata rata pada stasiun III di Perairan Tanjungbalai yaitu 3.22. Nilai

(29)

bertumbuhnya biota laut karena memiliki salinitas yang cukup tinggi. Hal ini

sesuai dengan Effendi (2003) yang menyatakan bahwa nilai salinitas perairan laut

3 – 4.

Nilai kecerahan rata rata pada stasiun I di Perairan Tanjungbalai yaitu 1.03

m, nilai kecerahan rata – rata pada stasiun II di Perairan Tanjungbalai yaitu 0.68

m, dan nilai kecerahan rata rata pada stasiun III di Perairan Tanjungbalai yaitu

0.68 m.Kecerahan pada Perairan Tanjungbalai baik untuk pertumbuhan Kerang

Bulu. Menurut pernyataanRiyadi, dkk. (2005) bahwa kecerahan yang baik untuk

biota laut adalah lebih besar dari 500 cm.

Nilai kedalaman rata rata pada stasiun I di Perairan Tanjungbalai yaitu

1,12 m, nilai kedalaman rata – rata pada stasiun II di Perairan Tanjungbalai yaitu

2,23 m, dan nilai kedalaman rata rata pada stasiun III di Perairan Tanjungbalai

yaitu 1,46 m. Pada masing masing stasiun, memiliki kedalaman yang normal. Hal

ini sesuai dengan Wisnawa dan Yudi (2013) bahwa kedalaman yang lebih rendah

dapat menyebabkan kerang mudah mengalami kekeringan dan perairan mudah

keruh, sedangkan kedalaman yang terlalu dalam berakibat gelombang cenderung

lebih besar dan membutuhkan tali jangkar ataupun patok yang lebih panjang.Hasil

penelitian ini juga sesuai dengan yang dilaporkan oleh Niswari (2004) bahwa

pada perairan Cilincing memiliki kedalaman 1 – 7 m.

Nilai pH rata rata pada stasiun I di Perairan Tanjungbalai yaitu 7,73, nilai

pH rata – rata pada stasiun II di Perairan Tanjungbalai yaitu 7,58, dan nilai pH

rata rata pada stasiun III di Perairan Tanjungbalai yaitu 7,88.Nilai pH disetiap

stasiun ini merupakan nilai yg ideal bagi kehidupan kerang. Hal ini sesuai dengan

(30)

organisme air pada umunya terdapat antara 7 – 8,5. Selanjutnya, menurut Nontji

(2002) diacu oleh Satrioadjie (2010), bahwa sebagian besar biota akuatik sensitif

terhadap perubahan pH dan biasanyamenyukai nilai pH berkisar 7,0–8,5. Nilai pH

ini akan mempengaruhi proseskimiawi perairan seperti proses nitrifikasi akan

berhenti jika nilai pH rendah. NilaipH alkalis sangat mendukung untuk terjadinya

laju dekomposisi pada suatu perairan.

Nilai DO rata rata pada stasiun I di Perairan Tanjungbalai yaitu 5,62 mg/l,

nilai DO rata – rata pada stasiun II di Perairan Tanjungbalai yaitu 6,29 mg/l, dan

nilai DO rata rata pada stasiun III di Perairan Tanjungbalai yaitu 6,79 mg/l. Nilai

DO pada stasiun II dan stasiun III berada pada kisaran normal. Sedangkan nilai

DO pada stasiun I di Perairan Tanjungbalai ini masih berada di bawah batas

normal namun Kerang Bulu masih mampu bertahan pada keadaan tersebut. Pada

stasiun 1, banyaknya aktivitas penangkapan yang terjadi sehingga air permukaan

laut menjadi keruh dan juga air tercemar disebabkan karena minyak kapal. Hal ini

sesuai dengan literatur Barus (2004) yang menyatakan bahwa nilai oksigen

terlarut di perairan sebaiknya berkisar antara 6 – 8 mg/l.

Hasil penelitian ini juga sesuai dengan yang dilaporkan oleh Niswari

(2004), karakteristik lingkungan perairan yang sesuai bagi pertumbuhan kerang

hijau adalah lingkungan perairan dengan suhu berkisar antara 27 – 32oC, salinitas

antara 27 – 35 o/oo, pH 6 – 8, kecerahan 3,5 – 4 m, arus yang tidak terlalu kuat.

Nilai nitrit rata rata pada stasiun I di Perairan Tanjungbalai yaitu 0.06

mg/l, nilai nitrit rata – rata pada stasiun II di Perairan Tanjungbalai yaitu 0.03

mg/l, dan nilai nitrit rata rata pada stasiun III di Perairan Tanjungbalai yaitu 0.004

(31)

pada stasiun III memiliki nilai konsentrasi nitrit rendah. Hal ini sesuai dengan

Risamasu dan Prayitno (2011) bahwa rendahnya konsentrasi nitrit di lapisan

permukaan karena pada lapisan ini oksigen yang tersedia cukup melimpah dengan

adanya difusi oksigen dari atmosfir. Dengan bantuan bakteri, oksigen tersebut

akan mengoksidasi nitrit menjadi nitrat sehingga konsentrasi nitrit di lapisan nitrit

menjadi nitrat sehingga konsentrasi nitrit di lapisan permukaan menjadi kecil.

Nilai nitrat rata rata pada stasiun I di Perairan Tanjungbalai yaitu 2,39

mg/l, nilai nitrat rata – rata pada stasiun II di Perairan Tanjungbalai yaitu 2,23

mg/l, dan nilai nitrat rata rata pada stasiun III di Perairan Tanjungbalai yaitu 2,83

mg/l. Nilai nitrat pada stasiun III lebih tinggi dibandingkan stasiun I dan stasiun II

dimana pada stasiun III merupakan perairan yang dekat pantai. Hal ini sesuai

dengan Nybakken (1988) yang menyatakan bahwa konsentrasi nitrat yang tinggi

menggambarkan ketersediaan sumber nitrogen yang cukup melimpah bagi

pertumbuhan fitoplankton. Nutrien anorganik utama yang diperlukan fitoplankton

untuk tumbuh dan berkembang biak adalah nitrogen dalam bentuk nitrat. Menurut

patty (2015), > 3,5 mg/l dapat membahayakan perairan. Hasil penelitian ini juga

sesuai dengan yang dilaporkan oleh Edward dan Tarigan (2003) bahwa kadar

nitrat di perairan Raha ini berkisar antara 0,20-2,66 mg/l.

Nilai fosfat rata rata pada stasiun I di Perairan Tanjungbalai yaitu 0,04

mg/l, nilai fosfat rata – rata pada stasiun II di Perairan Tanjungbalai yaitu 0,06

mg/l, dan nilai fosfat rata rata pada stasiun III di Perairan Tanjungbalai yaitu 0,04

mg/l. Berdasarkan KEPMEN LH No 51 Tahun 2004, pada masing masing stasiun

memiliki nilai fosfat yang tinggi dan berdasarkan perairan laut, nilai phosfat

(32)

fosfat di dasar perairan karena dasar perairan umumnya kaya akan zat hara, baik

yang berasal dari dekomposisi sedimen maupunsenyawa-senyawa organik yang

berasaldari jasad flora dan fauna yang mati. Hal ini juga diperjelas oleh Edward

dan Tarigan (2003), bahwa kadar fosfat yang dijumpai di perairan laut yang

normal, yaitu antara 0,01-1,68 mg/l, dan antara 0,01 - 4 mg/l.

Menurut, Rizal dan Jailani (2013), makanan kerang terutama terdiri atas

plankton dan bahan organik terlarut,. Kerang memperolehmakanan dengan cara

(filter feeder) yang berupa fitoplankton dan zooplankton kecil. Kerang

aktifmenyaring makanan dari kolom air dengan insangnya. Selanjutnya, menurut

Melinda dkk (2015), ukuran plankton yang dimakan oleh Kerang juga

bervariasi,jenis dan ukuran makanan yang masuksangat tergantung pada

umurnya.Kebiasaanmakan kerang dapat diketahui melaluianalisis makanan yang

terdapat di dalamsaluran pencernaan.

Menurut patty (2015), Kandungan fosfat dan nitrat secara alamiah berasal

dari perairan itu sendiri yaitu melalui proses – proses pengurairan, pelapukan

ataupun dekomposisi tumbuh – tumbuhan dan sisa – sisa organisme mati. Fosfat

dan nitrat dibutuhkan untuk mendukung organisme dalam petumbuhan dan

perkembangan hidupnya terutama fitoplankton.

Nilai C - organik rata rata pada stasiun I di Perairan Tanjungbalai yaitu

0,46 %, nilai C - organik rata – rata pada stasiun II di Perairan Tanjungbalai yaitu

1,42 %, dan nilai C - organik rata rata pada stasiun III di Perairan Tanjungbalai

yaitu 0,38 %. Persentase nilai C – organik tertinggi terdapat pada stasiun II yaitu

1,42% dan persentase nilai C – organik terendah terdapat pada stasiun III yaitu

(33)

untuk bertahan hidup. Hal ini sesuai dengan Nasdwiana (2016) bahwa tinggi dan

rendahnya kandungan bahan bahan organik dalam sedimen diakibatkan oleh

gelombang yang membongkar material sedimen yang terbawa oleh arus ataupun

pasang surut, apabila arus kencang maka partikel-partikel sedimen yang halus

akan terbawa ke laut dalam, sedangkan partikel kasar akan mengendap.

Selanjutnya Menurut Kelana, dkk (2015) bahwa karbon organik merupakan

indikator kesuburan dan faktor penentu pertumbuhan pada substrat. Komunitas

yang hidup dalam substrat akan merombak karbon organik menjadi bahan

makanan yang digunakan untuk mempertahankan kelangsungan hidup.

Tipe tekstur pada stasiun I di Perairan Tanjungbalai yaitu Lempung

Berpasir. Tipe tekstur pada stasiun II di Perairan Tanjungbalai yaitu Lempung

Berdebu dan tipe tekstur pada stasiun III di Perairan Tanjungbalai yaitu Lempung

Berpasir. Pada stasiun II lebih banyak jumlah Kerang Bulu yang didapat bila

dibandingkan dengan stasiun I dan stasiun III. Hal ini disebabkan karena tekstur

substrat berupa lempung berdebu memiliki bahan organik yang banyak

terperangkap sehingga jumlah kerang bulu pada stasiun II ini pun banyak. Hal ini

sesuai dengan Riniatsih dan Kushartono (2009) bahwa semakin halus tekstur

substrat dasar maka kemampuandalam menjebak bahan organik akan semakin

besar.Hal ini menunjukkan bahwa ukuran butir sedimen turutmempengaruhi

kandungan bahan organik dalamsedimen atau dapat dikatakan semakin kecil

(34)

Rekomendasi Pengelolaan

Rekomendasi pengelolaan sumberdaya Kerang Bulu yang dapat dilakukan

di Perairan Tanjungbalai :

1. Ukuran Kerang Bulu yang ditangkap harus yang sudah dewasa dengan

diameter < 4 cm.

2. Laju eksploitasi < 0,5, artinya under fishing. Namun tetap harus dihimbau juga

kepada nelayan kerang agar tidak menangkapn kerang yang masih muda yaitu

< 4 cm.

3. Menjaga kelestarian kerang dalam mengatur waktu penangkapan dan ukuran

kerang yang ditangkap. Penangkapan kerang sebaiknya tidak dilakukan pada

saar kerang telah memasuki puncak kematangan gonad dengan ukuran

diameter 4 cm atau pada saat bereproduksi serta merilis kembali kerang yang

tertangkap debngan ukuran kecil guna menjaga populasi dan stok dialam.

Rekomendasi pengelolaan sumberdaya kerang yang telah diuraikan diatas

akan terwujud apabila adanya kerjasama yang baik antara pemerintah daerah

dengan masyarakat sekitar. Peran pemerintah dan masyarakat sangat penting

dalam mengatasi masalah kepunahan sumberdaya perikanan di Perairan

Tanjungbalai. Oleh karena itu, upaya lain yang dapat menunjang keberhasilan

(35)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah:

1. Kerang Bulu (Anadara gubernaculum) di Perairan Tanjungbalai memiliki pola

pertumbuhan allometrik negatif yang berarti pertambahan panjang lebih cepat

daripada pertambahan bobotnya.Nilai faktor kondisi pada stasiun I yaitu 0,81 –

1,11, pada stasiun II yaitu 0,85 – 2,15, dan pada stasiun III yaitu 0,95 – 1,87.

Panjang asimtot Kerang Bulu (A. gubernaculum) sebesar 43,05 mm, koefisien

pertumbuhan sebesar1,2/tahun, Umur teoritis Kerang Bulu pada saat panjang

sama dengan nol sebesar -0,12/tahun. Persamaan Von Bertalanffy yang

terbentuk pada Kerang Bulu (A. gubernaculum) yaitu 43.05(1-e(-1.2(t+0.12)).

2. Laju mortalitas total (Z) Kerang Bulu (A. gubernaculum) sebesar 2,77/tahun

dengan laju mortalitas alami (M) sebesar 1,9/tahun dan mortalitas penangkapan

(F) sebesar 0,86/tahun, serta laju eksploitasi sebesar 0,31/tahun. Nilai E

mengindikasikan tingkat pemanfaatan Kerang Bulu (A. gubernaculum) di

perairan Tanjungbalai masih dalam kondisi lestari yaitu underfishing.

Saran

Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai aspek pertumbuhan kerang

bulu pada daerah yang sama tetapi waktu yang berbeda sehingga dapat

dibandingkan dan diketahui waktu serta kondisi perairan yang optimum untuk

kerang bulu dapat tumbuh dengan baik dan sesuai. Berdasarkan data yang telah

didapatkan, nelayan dapat merancang suatu rencana pengelolaan yang baik dalam

(36)

menangkap Kerang Bulu pada ukuran yang belum dewasa, dan membangun

kesadaran masyarakat dalam menjaga keberlanjutan sumberdaya Kerang Bulu di

Gambar

Gambar 3. Peta lokasi dicetak pada skala kertas A4
Gambar 4. Lokasi Penelitian 1
Gambar 5. Lokasi Penelitian 2
Tabel 1.  Parameter fisika dan kimia yang diukur
+7

Referensi

Dokumen terkait

Communication interpersonal ustadz is a process interaction in interpersonal done by ustadz with students ( santri ) in an effort to give a lesson about akhlakul karimah in a hut

[r]

Dari pengamatan awal penulis pada database Emerald, ProQuest ABI/INFORM dan Springerlink dengan bidang kajian yang sama mengenai manajemen dan ekonomi, terdapat jurnal yang

Sekolah Luar Biasa pada umumnya memberikan pengajaran yang sesuai dengan kemampuan dari anak-anak yang berkebutuhan khusus dengan tujuan untuk memberikan sistem pengajaran

Untuk menjamin kualitas air minum yang diproduksi memenuhi persyaratan, depot air minum wajib melaksanakan pengawasan internal terhadap kualitas air yang siap

Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika masih menjadi katalis negatif yang mendorong imbal hasil Surat Utang Negara pada perdagangan hari Kamis, 14 September

Instrumen ini digunakan untuk menjaring data mengenai peningkatan hasil belajar siswa khususnya mengenai penguasaan terhadap materi yang dibelajarkan dengan cara

Dua puluh delapan aksesi yang terdiri dari 16 varietas, satu spesies, serta 11 calon galur harapan padi terdeteksi mengandung alel-alel SSR yang berasosiasi dengan ketahanan