GRAND DESIGN
PENGENDALIAN KUANTITAS PENDUDUK
KOTA SALATIGA 2010-2035
BAPERMAS KOTA SALATIGA Bekerjasama dengan
KOALISI KEPENDUDUKAN DAN PEMBANGUNAN KOTA SALATIGA
DAFTAR ISI
3. Angka Dependency Ratio dan Window Opportunity ...9
4. Mortalitas ... 10
5. Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) ... 11
BAB II. POTENSI DAN PERMASALAHAN ... 15
A. Potensi ... 15
BAB III. VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN ... 20
BAB IV. POKOK-POKOK PENGENDALIAN PENDUDUK ... 23
A. Pengaturan Fertilitas ... 23
B. Penurunan Mortalitas ... 28
C. Pengarahan Mobilitas ... 29
D. Kebijakan Kependudukan yang Lebih Luas ... 36
BAB V. ROAD MAP GRAND DESIGN KEPENDUDUKAN PENGENDALIAN KUANTITAS PENDUDUK ... 38
A. Tujuan Road Map ... 38
B. Keterkaitan Grand Design dengan Road Map ... 38
C. Sasaran (Road Map) Grand Design Pengendalian Kuantitas Penduduk Kota Salatiga ... 39
BAB VI. PENUTUP ... 42
1
SAMBUTAN WALIKOTA SALATIGA
Bismillahirrohmanirrohim
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Grand Desain Pengendalian Kuantitas Penduduk
Kota Salatiga Tahun 2010- 2035 telah selesai disusun tepat waktu. Grand Desain ini merupakan
jabaran dari Grand Desain Pengendalian Kuantitas Penduduk Tahun 2010-2035 yang disusun
oleh BKKBN Pusat.
Dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (
BKKBN ) tidak hanya mempunyai tugas fungsi penyelenggaraan bidang Keluarga Berencana
saja tetapi juga mencakup bidang penyerasian kebijakan kependudukan, kerjasama dan
pendidikan kependudukan, pendidikan dan latihan kependudukan dan peningkatan penyediaan
data informasi kependudukan. Grand Desain Pengendalian Kuantitas Penduduk Kota Salatiga
Tahun 2010-2035 merupakan dokumen perencanaan penting yang nantinya menjadi pedoman
dan menjadi acuan bagi pemangku kepentingan dan mitra kerja dalam menyelenggarakan
Pengendalian Kuantitas Penduduk Kota Salatiga.
Selanjutnya pada kesempatan ini saya juga menyampaikan penghargaan serta ucapan
terima kasih kepada Koalisi Kependudukan Kota Salatiga, Kepala Badan Pemberdayaan
Masyarakat, Perempuan, Keluarga Berencana dan Ketahanan Pangan Kota Salatiga, seluruh
SKPD terkait dan seluruh jejaring yang telah banyak menyumbangkan pikiran dan tenaga
sehingga Grand Desain Pengendalian Kuantitas Penduduk Kota Salatiga Tahun 2010- 2035 telah
tersusun dengan baik.
Salatiga, April 2014
Walikota Salatiga
2
KATA PENGANTAR
Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Grand Design Pengendalian Kuantitas Penduduk Kota Salatiga tahun 2010-2035 telah selesai disusun.. GrandDesign ini merupakan tindak lanjut dari Grand Design Pengendalian Kuantitas Penduduk Tahun 2010-2035 yang disusun oleh BKKBN Pusat dan Provinsi.
Dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tidak hanya mempunyai tugas fungsi penyelenggaraan bidang keluarga berencana saja tetapi juga mencakup bidang penyerasian kebijakan kependudukan, kerjasama pendidikan kependudukan, pendidikan dan latihan kependudukan, dan peningkatan penyediaan data informasi kependudukan. Grand Design Pengendalian Kuantitas Penduduk Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010-2035 merupakan dokumen perencanaan penting yang nantinya menjadi pedoman dan menjadi acuan bagi pemangku kepentingan dan mitra kerja dalam menyelenggarakan Pengendalian Kuantitas Penduduk di Kota Salatiga.
Proses perencanaan pembangunan mutlak memerlukan integrasi antara variabel demografi dengan variabel pembangunan. Oleh karena itu disusun Grand Design Pengendalian Kuantitas Penduduk dalam rangka menyediakan kerangka pikir dan panduan untuk mengintegrasikan berbagai variabel kependudukan ke dalam berbagai proses pembangunan, harmonisasi antara dinamika kependudukan dengan dinamika kondisi sosial ekonomi lainnya membantu memperkuat penyusunan dan implementasi perencanaan pembangunan di Kota Salatiga.
Dengan disusunnya Grand Design Pengendalian Kuantitas Penduduk Kota Salatiga Tahun 2010-2035 ini, diharapkan dapat mendorong political will dan komitmen pemerintah daerah/kota terhadap kependudukan sekaligus mampu meningkatkan kepedulian para policy makers terhadap keterkaitan antara isu kependudukan dengan pembangunan.
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di dalam mewujudkan keselarasan, keseimbangan antara kuantitas, kualitas dan
persebaran penduduk, serta rencana pembangunan maka data kependudukan sangat dibutuhkan
baik dari tingkat nasional, provinsi hingga tingkat kabupaten /kota. Informasi tentang keadaan
penduduk yang menyangkut jumlah penduduk , persebaran dan susunan penduduk menurut umur
dan jenis kelamin, perencanaan membutuhkan informasi penduduk pada masa lalu dan masa kini
dan masa yang akan datang yang dibuat melalui proyeksi yaitu berupa perkiraan jumlah
penduduk dan komposis dimasa mendatang.
Para pemakai data kependudukan, khususnya para perencana, pengambil kebijakan, dan
peneliti sangat membutuhkan data penduduk yang berkesinambungan dari tahun ke tahun.
Sumber data yang dianggap paling lengkap dan akurat adalah hasil Sensus Penduduk. Namun,
hanya dapat memberikan informasi keadaan penduduk pada masa lampau, dan tidak memberikan
informasi keadaan penduduk di masa yang akan datang. Proyeksi tingkat Kabupaten/Kota
dihitung berdasarkan asumsi berdasarkan perkembangan Anak Lahir Hidup dan Perkembangan
Laju Pertumbuhan Penduduk sehingga perhitungan di dasarkan atas stagnan dari Laju
Pertumbuhan Penduduk dan melakukan Itriasi.
Proyeksi penduduk bukan merupakan ramalan jumlah penduduk untuk masa mendatang,
tetapi merupakan perhitungan ilmiah yang didasarkan asumsi dari komponen laju pertumbuhan
penduduk yaitu kelahiran (fertilitas), kematian (mortalitas), dan perpindahan penduduk (migrasi).
Untuk menentukan asumsi tingkat kelahiran, kematian, dan perpindahan dimasa yang akan
datang, diperlukan data yang menggambarkan keadaan dimasa lampau hingga kini, kemudian
faktor-faktor yang mempengaruhi masing-masing komponen, dan hubungan antara satu
komponen dengan komponen yang lain serta target yang akan dicapai di masa yang akan datang.
Proyeksi penduduk ini secara periodik perlu direvisi, karena sering terjadi bahwa asumsi tentang
4 proyeksi tidak sesuai lagi dengan kenyataan. Komponen inilah yang menentukan besarnya
jumlah penduduk dan struktur penduduk yang akan datang.
Selain itu, data dan statistik kependudukan dapat digunakan untuk mengetahui gambaran
sosial dan ekonomi penduduk. Dari segi ketenagakerjaan, misalnya, keadaan penduduk dapat
dilihat dari persentasenya menurut bidang pekerjaan utama (pertanian, industri, dan jasa), status
pekerjaan (formal dan informal), atau jenis kegiatan (bekerja, sekolah, atau mencari pekerjaan).
Angka harapan hidup pada saat lahir, yang menunjukkan rata-rata lamanya hidup penduduk,
seringkali dipakai untuk melihat peningkatan standar hidup.
B. Maksud Dan Tujuan Penyusunan Grand Design Pengendalian Kuantitas Penduduk
Grand Design Pengendalian Kuantitas Penduduk ini dimaksudkan untuk :
a. Memberikan arah kebijakan bagi pelaksanaan pengendalian kuantitas penduduk Kota
Salatiga Tahun 2010-2035;
b. Menjadi pedoman bagi penyusunan road map pengendalian kuantitas penduduk Kota
Salatiga Tahun 2010-2015, 2015-2020, 2020-2025, 2025-2030, 2030-2035;
C. Landasan Hukum
Landasan hukum dari Grand Design ini diantaranya adalah :
Undang-Undang Dasar tahun 1945;
Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional;
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional (RPJPN) 2005-2025;
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup;
Undang-Undang No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan
5 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana
Pembangunan Nasional;
Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah; Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah; Peraturan Presiden No. 62 Tahun 2010 tentang Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional;
Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005-2025;
Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2008-2013;
Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2013 tentang Pengendalian Penduduk dan
Penyelenggaraan Keluarga Berencana;
Peraturan Kepala No. 72 Tahun 2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja BKKBN; Peraturan Kepala No. 82 Tahun 2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Perwakilan
BKKBN Provinsi.
D. Analisis Situasi Kependudukan Kota Salatiga
Piramida penduduk Kota Salatiga tahun 2010 merupakan sebuah gambaran stuktur
penduduk yang sangat menarik untuk dilakukan kajian, karena dari piramida tersebut dapat
diketahui jumlah penduduk berdasar pengelompokan umur dan jenis kelamin, dan yang menarik
pada perbedaan jumlah penduduk berdasar kelompok umur di Kota Salatiga terdapat jumlah
terbesar pada kelompok umur produktif (15 – 59 tahun) , dan kelompok umur belum produktif (0
14 tahun) dan tidak produktif (60 tahun ke atas) relatif rendah. Piramida penduduk Kota Salatiga
6 Pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Salatiga cenderung mengalami peningkatan.
Berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2010, jumlah penduduk Kota Salatiga sebanyak
170.332 jiwa. Bila dibandingkan dengan hasil Sensus Tahun 2000 sebanyak 153.036 jiwa, maka
laju pertumbuhan penduduk Kota Salatiga pada rentang tahun 2000 - 2010 sebesar 1,09 persen
per tahun, Laju pertumbuhan penduduk ini jauh lebih besar dari pada tingkat provinsi pada
rentang tahun yang sama yakni sebesar 0,89 persen per tahun. Namun demikian trend LPP
Salatiga pada tahun 2011 dan 2012 cenderung mengalami penurunan yakni sebesar 1,06 pada
tahun 2011 dan sebesar 1,03 pada tahun 2012. Dependency rasio/ketergantungan sebesar 42,4
lebih rendah dari tingkat provinsi (49,9) apalagi pada tingkat nasional (51,33), dengan
density/kepadatan 3216 orang per/km2 lebih tinggi dari provinsi 995 orang per/km2 dan jauh
lebih tinggi dibanding nasional yang hanya 124 orang per/km2, hal ini dimungkinkan karena
luasan wilayah Kota Salatiga relatif tidak begitu luas (56.781 km2).
Untuk mengetahui lebih jauh kondisi kependudukan di Kota Salatiga berdasarkan hasil
sensus penduduk 2010 dan data penduduk lainnya, maka diperlukan analisis beberapa variabel
yang mempunyai pengaruh terhadap program kependudukan dan keluarga berencana antara lain :
jumlah penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin, angkatan kerja, dependency ratio,
7
1. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin
Dari Buku Salatiga Dalam Angka tahun 2013 dapat dilihat bahwa jumlah penduduk di
Salatiga sebanyak 173.874 jiwa, dengan populasi paling banyak adalah di rentang umur 20- 24
tahun sebanyak 16.369 jiwa. Sedangkan populasi paling sedikit adalah di rentang umur 70 – 74
tahun sebanyak 3.085 jiwa.
Untuk jumlah penduduk menurut jenis kelamin di Kota Salatiga, dari data diatas terlihat
bahwa dari 173.874 jiwa, jumlah laki-laki adalah 85.299 jiwa, sedangkan jumlah perempuannya
adalah 88.575 jiwa. Untuk jumlah laki-laki terbanyak adalah pada rentang umur 20 -24 tahun
dengan jumlah 7.884 jiwa, sedangkan yang paling sedikit pada rentang umur 70-74 tahun dengan
jumlah 1.287 jiwa. Sedangkan untuk perempuan jumlah terbanyak ada pada rentang umur 20-24
tahun dengann jumlah 8.485 jiwa, sedangkan yang paling sedikit adalah pada rentang umur 70
8
2. Angkatan Kerja
Jumlah angkatan kerja menurut umur dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa, jumlah angkatan kerja laki dan perempuan dari
umur 15 – 60 + (tahun keatas) total nya berjumlah 39.697 jiwa. Untuk laki-laki total jumlah
angkatan kerja dari umur 15 – 60+ (tahun keatas) jumlahnya 15.489 jiwa, dengan jumlah paling
tinggi pada rentang umur 30 – 39 tahun dengan jumlah 3.366 jiwa dan yang paling sedikit ada
pada rentang umur 25 29 tahun dengan jumlah 1.182 jiwa. Sedangkan untuk perempuan total
9 angkatan kerja terbanyak ada pada rentang umur 40 – 49 tahun dengan jumlah 3.946 jiwa dan
jumlah yang paling sedikit ada pada rentang umur 50 – 59 tahun dengan jumlah 2.196 jiwa.
3. Angka Dependency Ratio dan Window Opportunity
Dependency Ratio menyatakan perbandingan antara kelompok usia tidak produktif (0-14
tahun dan 65 tahun ke atas) terhadap kelompok penduduk usia produktif (15-64 tahun). Rasio ini
menyatakan seberapa berat beban tanggungan yang harus dipikul oleh jumlah usia produktif.
Jika angka itu satu berbading dua, artinya satu untuk usia tidak produktif dan dua untuk usia
produktif, maka disebut mengalami bonus demografi atau ada window of opportunity atau
jendela kesempatan.
Berkaitan dengan angka ini maka dapat kita lihat dependency rationya. Dependency ratio
dapat dilihat dari jumlah penduduk umur 0 – 14 tahun (penduduk belum produktif) ditambah
dengan penduduk usia 65- keatas (penduduk tidak produktif) dibagi dengan hasil jumlah
penduduk usia 15 – 64 tahun (penduduk produktif) dikalikan dengan 100. Jumlah penduduk
Salatiga tahun 2012 (BPS Kota Salatiga, 2013) berdasarkan kelompok umur adalah sebagai
berikut;
a. Penduduk usia produktif (15 – 64 tahun) = 122.141 orang (70,247 %)
b. Penduduk belum produktif (0 – 14 tahun) = 40.680 orang (23,396 %)
c. Penduduk tidak produktif (65 th +) = 11.053 orang (6,357 %)
Rasio Beban Tanggungan ( Dependency Ratio) = (40.680 + 11.053) x 100
122.141
= 42, 36
Rasio beban tanggungan (DR) sebesar 42,36 berarti bahwa tiap 100 orang penduduk
kelompok produktif harus menanggung 42,36 kelompok yang belum dan tidak produktif, angka
Dependency Ratio ini termasuk cukup rendah dan jika dilihat dari perbandingan komposisi
penduduk menurut kelompok umur menunjukkan bahwa Salatiga seharusnya sudah menikmati
Bonus Demografi (window opportunity), karena jumlah penduduk kelompok usia produktif
(15-64 tahun) telah mencapai dua kali lipat (70,247%) dari penduduk kelompok belum produktif
10 adalah apakah kelompok usia produktif itu merupakan penduduk yang berkualitas ataukah tidak?
Berdasarkan data hasil penelitian tahun 2011 menunjukkan bahwa penduduk Salatiga yang
bekerja kurang dari 35 jam per mingu atau setengah menganggur masih cukup tinggi, hal ini
tentunya berimplikasi terhadap perlunya kebijakan dalam peningkatan lapangan kerja dengan
usaha-usaha pemberdayaan termasuk melibatkan kaum perempuan dalam ekonomi produktif
(TPAK perempuan harus ditingkatkan) demikian pula human capital harus ditingkatkan
kulaitasnya agar bunus demografi benar-benar dapat dirasakan manfaatnya untuk pertumbuhan
ekonomi Kota Salatiga.
4. Mortalitas
Untuk angka mortalitas atau angka kematian Kota Salatiga pada tahun 2012 mencapai
1.415 jiwa, angka tersebut merupakan angka total (laki dan perempuan), sedangkan pada tahun
2012 total angka kematian berjumlah 1.183 jiwa. Untuk angka mortalitas ini dari 4 kecamatan
yang ada di Salatiga (Argomulyo, Tingkir, Sidomukti dan Sidorejo) angka mortalitas paling
tinggi di tahun 2013, baik berjenis kemain laki-laki maupun perempuan ada di Kecamatan
Tingkir, dengan angka mortalitas laki-laki berjumlah 204 orang dan angka mortalitas perempuan
berjumlah 160 orang. Sedangkan angka mortalitas terendah pada laki-laki, paling rendah berada
di Kecamatan Argomulyo dengan jumlah 121 orang dan angka mortalitas perempuan paling
11
5. Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB)
Untuk angka kematian ibu, dari data Bapermas, menunjukkan bahwa angka kematian ibu
secara nasional mengalami kenaikan, sedangkan angka kematian bayi (AKB) mengalami
penurunan. Hasil dari SDKI 2012 menunjukkan bahwa AKI : 359/ 100.000 Kh (th 2007 :
228/100.000Kh) dan AKB : 32/ 1000 Kh (th 2007 : 34/1000Kh). Di Tahun 2013, AKI dan
13
14
6. Angka Harapan Hidup, Melek Huruf dan Indeks Pembangunan Manusia
Dari data statistik yang ada dalam Bada Pusat Statistik Kota Salatiga angka harapan
hidup, dari tahun 2004 mengalami kenaikan hingga 2012. Data tersebut terlihat di dalam tabel di
bawah ini:
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kota Salatiga 2004 2012
Tahun Angka
Sumber: BPS Kota Salatiga, Tahun 2013
Mengingat beberapa hal seperti dikemukakan di atas, maka dirasa sangat perlu untuk
membuat Grand Design Pengendalian Kuantitas Penduduk Kota Salatiga 2010-2025. Grand
Design Pengendalian Kuantitas Penduduk ini dapat digunakan oleh berbagai dinas, badan, dan
lembaga yang ada di Kota Salatiga sebagai pijakan untuk membuat berbagai kebijakan yang
berkaitan dengan pengendalian penduduk Kota Salatiga.
Melalui perhitungan proyeksi dapat diperkirakan penduduk Kota Salatiga antara tahun
2010 hingga 2035 dalam selang waktu lima tahunan maupun satu tahunan menurut kelompok
umur dan jenis kelamin. Berdasarkan hasil proyeksi dapat diperhitungkan berbagai elemen
penduduk yang sangat diperlukan bagi perencanaan program kependudukan di Kota Salatiga,
baik untuk lembaga-lembaga swasta maupun pemerintah baik di tingkat daerah maupun nasional.
Perencanaan-perencanaan yang berhubungan dengan pembangunan, pendidikan, perpajakan,
kemiliteran, kesejahteraan sosial, perumahan, pertanian, dan lain lain akan menjadi lebih tepat
15
BAB II
POTENSI DAN PERMASALAHAN
A. PotensiPotensi Pengendalian Penduduk dengan leading sector BKKBN Propinsi Jawa Tengah,
SKPD KB Kota Salatiga dan jajarannya dapat diidentifikasi dari hasil analisis sebagai berikut :
1. Reputasi yang baik dalam pengendalian penduduk melalui pendekatan kontrasepsi
maupun non kontrasepsi.
2. Jaringan kemitraan yang kuat dengan lembaga pemerintah, Perguruan Tinggi,
maupun non pemerintah.
3. Efektivitas dan efisiensi pengelolaan pembangunan Kependudukan dan KB yang
mengharuskan menerapkan manajemen prima yang dapat memanfaatkan sumber daya
yang ada dan sistem pengelolaan yang transparan dan akuntabel.
Berbagai potensi tersebut di atas, merupakan salah satu modal dasar bagi Bapermas (KB)
untuk menjadi lembaga pemerintah yang memegang amanah dalam merevitalisasi Program
Kependudukan dan KB dan menyerasikan kebijakan kependudukan dengan pembangunan
lainnya.
B. Permasalahan
Ketersediaan data dan informasi Program Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional merupakan alat manajemen yang diperlukan dalam menunjang keberhasilan
pelaksanaan Program Kependudukan dan Keluarga Berencana. Seiring dengan terjadinya
perubahan lingkungan strategis dan juga perkembangan dari Program KKB sendiri, maka hal
tersebut menjadi dasar untuk menentukan kebijakan strategi yang tertuang dalam Grand Design
penyediaan Data dan Informasi Program Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
Berbasis Teknologi Informasi. Kebijakan dan strategi disusun dengan memperhatikan analisa
situasi baik yang bersifat internal maupun eksternal, maka agar Grand Design Kependudukan ini
dapat dilaksanakan dengan optimal dan berhasil guna perlu kiranya dibuatkan analisis SWOT (
16
a. Kekuatan ( Strenght )
1) Adanya UU Statistik No. 16 Tahun 1967; UU No. 52/2009 Tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga
2) Adanya Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2013 tentang Perubahan Ketujuh atas
Keputusan Presiden nomor 103 tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non
Kementrian dan Peraturan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional No. 72/PER/B5/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan
Kependudkan Dan Keluarga Berencana Nasional serta Peraturan Kepala no.
82/PER/2011 tentang Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional Provinsi
3) Adanya peraturan kepala BKKBN no. 55/ HK-010/B5/2010 tentang SPM
4) Adanya dukungan kerjasama saling pengertian ( MoU) dengan para mitra kerja
pemerintah, swasta, organisasi profesi, dan lembaga swadaya masyarakat.
5) Adanya sistem dan pedoman-pedoman penatalaksanaan
6) Adanya dukungan infrastruktur teknologi informasi
7) Adanya berbagai forum pertemuan, jejaringan dan kerjasama dalam upaya
peningkatan kuantitas dan kualitas pelaksanaan sub sistem Pencatatan dan Pelaporan
8) Memiliki nilai historis
9) Tersedianya dokumentasi data mikro keluarga yang mengumpulkan data demografi,
keluarga berencana, keluarga sejahtera dan individu anggota keluarga.
b. Kelemahan (Weakness)
1) Belum optimalnya dukungan ketentuan peraturan kelembagaan penyelenggaraan
program KB di setiap strata wilayah
2) Belum optimalnya implementasi program KB pasca penyerahan sebagian
kewenangan kepada pemerintah Kabupaten/Kota
3) Belum bergesernya pola pikir (perubahan meinset) pengelola dalam pengelolaan
Program KB pasca desentralisasi
17 5) Kurang memadai dukungan operasinal pada tingkat lini lapangan
6) Kecendrungan membuat pelaporan yang tidak sesuai dengan kondisi riil
7) Rendahnya integritas pengelola data terhadap data yang dilaporkan
8) Rendahnya kepedulian tentang pentingnya data
9) Terbatasnya proporsi pelatihan atau orientasi RR bagi PLKB atau Bidan/petugas RR
klinik dalam dana APBN Provinsi
10)Terbatasnya anggaran APBN Provinsi untuk mendukung ketersediaan sarana dan
prasarana RR di SKPD KB Kabupaten/Kota, misalnya dana operasional pendataan
keluarga, formulir, buku panduan RR
11)Banyaknya variable yang dikumpulkan namun seringkali tidak seluruhnya digunakan.
12)Mekanisme arus laporan yang rumit dan panjang.
13)Kurang optimalnya pelaksanaan Bimbingan Teknis oleh pengelola data dan informasi
di perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Provinsi ke
Kabupaten/Kota
14)Melemahnya komitemen kebijakan satu pintu pengelolaan data dan informasi
c. Tantangan ( Threats )
1) Mekanisme operasional di lapangan sebagai basis arus pencatatan dan pelaporan
dalam penyediaan data dan informasi program Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional belum berfungsi optimal
2) Bervariasinya unit kerja pengelola data dan informasi di SKPD KB Kabupaten dan
Kota
3) Program KB belum merupakan program prioritas sosial di daerah kabupaten dan kota
4) Rotasi pengelola / wali data di Kabupaten/Kota yang tinggi ( sering)
5) Tingginya rasio PLKB terhadap jumlah desa
6) Keterbatasan pemerintah daerah dalam memberikan dukungan dana, sarana dan
prasarana untuk penyediaan data dan informasi Program KKB Nasional
7) Rendahnya penyediaan anggaran pelatihan atau orientasi bagi PLKB / petugas di
18 8) Belum terlaksananya tata hubungan kerja antara perwakilan BKKBN Provinsi dengan
SKPD KB Kabupaten / Kota
9) Belum terlaksananya tugas dan fungsi program KB pada kelembagaan SKPD KB
Kabupaten/Kota
10)Tidak terprogramnya penguatan peran kelembagaan SKPD KB Kabupaten/Kota
dalam penyelenggaraan program KB
11)Tidak kondusifnya politik pemerintahan
12)KKP yang dijabarkan menjadi kontrak kinerja Kabupaten/Kota, mendorong mereka
melaporkan data yang tidak sebenarnya
13)Kurang dipercayai oleh kalangan sendiri ( tidak kredibel ) data yang disajikan
seringkali disempurnakan/dikembangkan member dampak terhadap pengelola.
d. Peluang ( Opportunity )
1) Tersurat dan tersirat masih (sangat) diperlukan , satu-satunya data statistik rutin
Program Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional sebagai media untuk
monitoring dan pengendalian ( bulanan ) serta pengambilan kebijakan operasional (
tahunan ) pencapaian sasaran yang ditetapkan dalam RPJMN, RKP, SPM
2) Dimanfaatkan data program Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional bagi
pelaksanaan pembangunan daerah
3) Adanya unit khusus yang menangani data dan informasi KB di kelembagaan SKPD
KB, walaupun kondisinya sangat beragam, ada yang setingkat Eselon III ada pula
yang Eselon IV
4) Cakupan laporan yang diterima setiap bulannya masih cukup baik
5) Adanya kebijakan SPM, walaupun tidak ada sanksi bagi Kabupaten/Kota yang tidak
memenuhi target SPM tersebut
6) Adanya komitmen dari lintas sektor dalam pelaksanaan sistem pencatatan dan
pelaporan program Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
7) Terdapatnya mekanisme distribusi alat kontrasepsi dari SKPD KB dan ke para PLKB,
sehingga masih dimungkinkan adanya forum koordinasi antara PLKB dengan para
20
BAB III
VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI
PELAKSANAAN PENGENDALIAN KUANTITAS PENDUDUK
A. V i s i
Visi dari Grand Design Pengendalian Kuantitas Penduduk Kota Salatiga adalah :
Terwujudnya keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara jumlah, struktur, dan persebaran
penduduk dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan serta perkembangan kondisi social
dan budaya.
B. M i s i
Misi dari Grand Design Pengendalian Kuantitas Penduduk mencakup dua hal berikut:
a.Membangun komitmen para pemangku kepentingan dan penentu kebijakan (prime
stakeholders) tentang penting dan strategisnya upaya pengendalian kuantitas penduduk
bagi pembangunan berkelanjutan dengan melibatkan partisipasi masyarakat;
b.Membentuk atau menyempurnakan peraturan perundang-undangan (regulasi) yang
mendukung upaya pengendalian kuantitas penduduk.
c.Mewujudkan pembangunan berwawasan kependudukan menuju masyarakat sejahtera dan
berdikari.
C. Tujuan
Tujuan utama dari pengendalian kuantitas penduduk dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan melalui rekayasa kondisi penduduk
optimal yang berkaitan dengan jumlah, struktur/komposisi, pertumbuhan, serta
persebaran penduduk;
b. Mengendalikan pertumbuhan dan persebaran penduduk sesuai dengan kondisi sosial,
budaya, ekonomi, daya dukung alam dan daya tampung lingkungan melalui
pengendalian angka kelahiran, penurunan angka kematian, dan pengarahan mobilitas
21
D. Sasaran
Grand Design pengendalian kuantitas penduduk Kota Salatiga mempunyai tiga sasaran
pokok kuantitatif, yang mencakup fertilitas, mortalitas, dan persebaran penduduk.
a. Sasaran aspek fertilitas diarahkan pada pencapaian kondisi penduduk tumbuh seimbang
(PTS) pada tahun 2035 yang ditandai dengan TFR sebesar 1,7 per wanita dan NRR
sebesar 1 per wanita. Kondisi Tahun 2013 adalah TFR sebesar 2,31 dan NRR sebesar 1.
b. Sasaran aspek mortalitas berupa Angka Kematian Bayi (AKB) diharapkan terus menurun
dari 9,6 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2010, menjadi 6,5 per 1000 kelahiran hidup
tahun 2035.
c. Sasaran aspek persebaran penduduk diharapkan akan terjadi persebaran yang lebih
merata sesuai dengan daya dukung alam dan daya tampung lingkungan.
E. Arah Kebijakan
Terdapat empat arah kebijakan yang dirumuskan dalam Grand Design Pengendalian
Kuantitas Penduduk, yaitu :
a. Penetapan perkiraan angka fertilitas, mortalitas, dan mobilitas penduduk ;
b. Penyerasian, penyelarasan dan penyeimbangan daya dukung dan daya tampung
lingkungan serta peningkatan kualitas penduduk.
c. Revitalisasi Program Kependudukan dan Keluarga Berencana dalam mewujudkan
penduduk tumbuh seimbang, sejahtera dan berdikari.
d. Pengendalian kuantitas penduduk dilakukan tidak hanya pada tingkat provinsi, namun
juga di tingkat Kabupaten/Kota secara berkelanjutan.
F. Ukuran Keberhasilan
Keberhasilan dari Grand Design Pengendalian Kuantitas Penduduk kota Salatiga ini akan
dilihat dari sejauh mana sasaran-sasaran kependudukan tersebut dapat dicapai pada setiap
periode waktu.
G. Strategi Pelaksanaan
Di tingkat nasional strategi pelaksanaan dari Grand Design pengendalian kuantitas
22 terkait dengan upaya pengendalian kuantitas penduduk; 2). Melalui penyelesaian peraturan
pemerintah dan regulasi ikutan sebagai penjabaran Undang-undang Nomor 52 tahun 2009.
Strategi pelaksanaan Grand Design pengendalian kuantitas penduduk Kota Salatiga ini
mencakup : 1). Implementasi kebijakan atau program yang berkaitan dengan
komponen-komponen pengendalian kuantitas penduduk dan 2). Pelaksanaan upaya pengendalian fertilitas,
penurunan mortalitas, dan pengarahan mobilitas penduduk
H. Alur Pikir
Berdasarkan hasil SDKI 2013, tingkat fertilitas di kota Salatiga sebesar 2,31 sedangkan data
dari Dinas Kesehatan Kota Salatiga Tahun 2012 menyatakan bahwa angka kematian bayi (AKB)
sebesar 15,96 per 1.000 kelahiran hidup dan angka kematian ibu (AKI) sebesar 275,26 per
100.000 kelahiran hidup. Artinya angka ini cukup tinggi dengan kondisi jumlah penduduk kota
Salatiga sebesar 173.874 jiwa. Konsentrasi penduduk Salatiga cenderung merata untuk setiap
kecamatan, dimana selisih penduduk antar kecamatan relatif kecil. Dengan adanya intervensi
dari pemerintah daerah baik kebijakaan, strategi maupun program Kependudukan dan Keluarga
Berencana, maka diharapkan tingkat fertilitas akan menurun menjadi 1,7 di tahun 2035,
penurunan mortalitas yang diikuti dengan peningkatan derajat kesehatan serta persebaran
penduduk yang semakin merata di berbagai daerah dengan jaminan lapangan kerja yang cukup.
Kondisi yang demikian akan mewujudkan visi dan misi Pengendalian Kuantitas Penduduk. KONDISI SAAT
23
BAB IV
POKOK-POKOK PENGENDALIAN PENDUDUK
A. Pengaturan Fertilitas
Kajian tentang fertilitas awal mulanya dari disiplin sosiologi. Kependudukan dalam hal
ini menjadi salah satu sub-bidang sosiologi. Kebanyakan analisis sosiologi juga mencakup
kepada analisa kependudukan (selain demografi formal). Berbagai kerangka teoritis tentang
perilaku fertilitas telah dikembangkan oleh Davis and Blake (1956), Freedman (1962),
Hawthorne (1970) yang pada hakekatnya bersifat sosiologis.
Kingsley Davis dan Judith Blake melakukan analisis sosiologis tentang fertilitas dalam
tulisannya yang berjudul “The Social structure and fertility: an analytic framework (1956).
Davis and Blake mengemukakan “variabel antara” (intermediate variables) sebagai faktor-faktor
yang mempengaruhi fertilitas.
Variabel antara ini akan dilalui oleh faktor-faktor sosial, ekonomi dan budaya yang
mempengaruhi fertilitas. Variabel antara ini sda 11 variabel yang mempengaruhi fertilitas, yang
masing-masing dikelompokkan dalam tiga tahap proses reproduksi sebagai berikut:
Intermediate variables of fertility
Davis and Blake
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya hubungan kelamin (intercouse variables):
a. Faktor-faktor yang mengatur tidak terjadinya hubungan kelamin:
1) Umur mulai hubungan kelamin
2) Selibat permanen: proporsi wanita yang tidak pernah mengadakan hubungan
kelamin
3) Lamanya masa reproduksi sesudah atau diantara masa hubangan kelamin:
(a) Bila kehidupan suami istri cerai atau pisah
(b) Bila kehidupan suami istri nerakhir karena suami meninggal dunia
b. Faktor-faktor yang mengatur terjadinya hubungan kelamin
4) Abstinensi sukarela
5) Berpantang karena terpaksa (oleh impotensi, sakit, pisah sementara)
24 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konsepsi (conception variables):
7) Kesuburan atau kemandulan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang tidak
disengaja
8) Menggunakan atau tidak menggunakan metode kontrasepsi:
(a) Menggunakan cara-cara mekanik dan bahan-bahan kimia
(b) Menggunakan cara-cara lain
9) Kesuburan atau kemandulan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang disengaja
(sterilisasi, subinsisi, obat-obatan dan sebagainya)
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kehamilan dan kelahiran (gestation variables)
10) Mortalitas janin yang disebabkan oleh faktor-faktor yang tidak disengaja
11) Mortalitas janin oleh faktor-faktor yang disengaja
Menurut Davis dan Blake1, setiap variabel diatas terdapat pada semua masyarakat. Sebab
masing-masing variabel memiliki pengaruh (nilai) positip dan negatipnya sendiri-sendiri
terhadap fertilitas.
Pada tahun 1980, Bongaarts membuat empat variabel yang lebih sempit dari
variabel-variabel tersebut, antara lain yaitu :
a. perkawinan
b. kontrasepsi
c. laktasi (menyusui)
d. pengguguran
Variabel antara yang belum diteliti oleh Davis dan Blake adalah laktasi, yaitu masa menyusui
yang dapat mencegah kehamilan.
Faktor-faktor yang memperkecil fertilitas adalah:
1. Kontrasepsi modern (pil dan kondom) dan tradisional. (pijat).
1
Davis, Kingsley & Judith Blake, Struktur Sosial dan Fertilitas (Social structure and fertility: an
25 2. Pantang berkala, yaitu tidak melakukan hubungan seks pada masa subur wanita pada
waktu-waktu tertentu. Masa subur wanita adalah 5 sampai 7 hari sebelum dan sesudah
haid.
3. Senggama terputus (coitus interuptus)
Seorang antropolog Moni Nag, pada tahun 1979, mengemukakan 10 variebel fertilitas
yang dipengaruhi oleh modernisasi. Beliau mendasarkan 10 variabel tersebut dari industrialisasi,
urbanisasi, dan beberapa bentuk perubahan sosial, diantaranya proses modernisasi, yang pada
umumnya dapat menyebabkan turunnya fertilitas melalui tindakan pengendalian kelahiran
(seperti kontrasepsi dan usaha pengguguran) serta penundaan usia kawin.
Dari 10 variabel tersebut, Moni Nag mengemukakan 4 faktor dalam pemikirannya, yaitu :
1. Mulai keluarnya ovulasi dan menstruasi sesudah melahirkan, sebagai akibat dari
pengurangan praktek menyusui atau laktasi.
2. Berkurangnya praktek pantang senggama sesudah melahirkan.
3. Berkurangnya atau hilangnya masa reproduksi pada seorang wanita disebabkan oleh
karena menjanda pada usia muda.
4. Pengurangan pengaruh pemandulan atau sterilisasi sebagai akibat pengobatan yang
bertambah baik terhadap penyakit kelamin.
Adapun sepuluh variabel (yang dipengaruhi modernisasi) yang mempengaruhi
naik-turunnya fertilitas adalah:
1. Fekunditas (amenorrhea dan ovulasi), yang dipengaruhi oleh laktasi (lamanya menyusui).
Pada wanita modern banyak meninggalkan kebiasaan menyusui anaknya. Hal ini juga
dipengaruhi oleh gencarnya susu kaleng, sehingga menyebabkan kesuburan wanita cepat
datang. Semakin tinggi tingkat pendidikan seorang wanita, maka semakin tinggi pula
untuk meninggalkan laktasi.
2. Fekunditas dalam hal ini amenorrhea (periode mati haid atau berhentinya haid secara
alami setelah melahirkan), menarche (periode haid yang pertama), dan menopause
(periode berhentinya haid), yang dipengaruhi oleh gizi (nutrisi). Dalam hal ini
modernisasi menyebabkan meningkatnya ekonomi dan kesehatan, sehingga pemenuhan
26 mempengaruhi menarche, sehingga usia reproduksi meningkat dan menopause bisa lebih
lama.
3. Keguguran (miscarriage) dan lahir mati (stillbirth) lebih sedikit karena kesehatan yang
terpelihara dengan baik.
4. Kemandulan yang disebabkan oleh penyakit kelamin akan menurun karena kesehatan
meningkat dan bertambah baik, sehingga kesuburan wanita meningkat.
5. Abstinensi (pantang) sukarela terutama sesudah melahirkan tidak tinggi lagi, sehingga
fertilitas naik.
6. Keadaan menjanda dan janda (widowerkrod) prosentasenya menurun, sehingga
menyebabkan fertilitas naik.
7. Perceraian dan perpisahan juga berkurang karena ekonomi membaik, sehingga fertilitas
naik.
8. Usia kawin dan proporsi wanita yang tidak pernah kawin (selibat). Usia kawin meningkat
dan proporsi wanita tidak kawin menurun karena ekonomi membaik, sehingga fetilitas
naik.
9. Frekuensi hubungan kelamin (intercouse) makin tinggi terutama dalam hubungan
dengan keluarga luasnya, sehingga fertilitas naik.
10.Abstinensi terpaksa atau tidak sengaja berkurang, sehingga fertilitas naik.
Secara teoritis, Moni Nag membagi empat definisi yang berkaitan dengan pendekatan
hipotesis tersebut, yaitu definisi:
a. unit pembuat keputusan.
b. masukan-masukan atau input dalam proses pembuatan keputusan.
c. proses pemaksimalan (secara implisit atau uraian).
d. unit keputusan individu atau keluarga dan kelompok.
Secara umum orang-orang ingin menghindarkan kematian, oleh sebab itu faktor-faktor
yang mempengaruhi-fertilitas jauh lebih rumit daripada yang mempengaruhi mortalitas,
sedangkan sikap terhadap kehamilan dan kelahiran anak.banyak tergantung pada faktor sosial
27 memberi pengaruh terhadap penekanan tingkat mortalitas tetapi tidak demikian halnya dengan
fertilitas. Dalam fertilitas, perbaikan ekonomi dapat mempunyai pengaruh yang negatif atau
positif, tergantung pada motivasi anggota masyarakat.
Dennis Wrong mengemukakan bahwa fertilitas yang tinggi pada lapisan masyarakat
bawah (sosial-ekonomi rendah) mempunyai korelasi yang negatif antara fertilitas dengan status
sosial-ekonomi, sehingga dapat dianggap sebagai hukum demografi sosial (Singarimbun
1980:11). Untuk Indonesia, sampai sekarang belum ada data yang menguatkan hipotesis tersebut.
Malahan, dari hasil penelitian cenderung menunjukkan korelasi yang positif, yaitu status
sosial-ekonomi rendah mempunyai tingkat fertilitas yang rendah pula
Menurut para ahli kependudukan, faktor-faktor penting yang mempengaruhi penurunan
tingkat fertilitas di negara-negara maju/industri, seperti Eropa dan Amerika Serikat, pada abad
yang lalu adalah sebagai berikut:
1. Tingkat mortalitas yang menurun. Lebih sedikit bayi (anak lahir hidup) yang diperlukan
untuk memperoleh jumlah anak yang diinginkan.
2. Pada masyarakat industri dan masyarakat.perkotaan, ongkos memelihara anak semakin
tinggi. Sebaliknya keuntungan ekonomi anak semakin menurun. Sejalan dengan
kemajuan industrialisasi, anak-anak dilarang bekerja dan wajib masuk sekolah dasar. Ini
berbeda dengan masa sebelum industrialisasi, anak-anak pada usia yang rendah sudah
membantu orang tua mereka.
3. Perbaikan status wanita. Wanita mendapat kesempatan dalam pendidikan dan pekerjaan
di luar rumah. Dengan demikian mereka lebih terdorong lagi untuk membatasi jumlah
kelahiran (keluarga berencana).
4. Sikap yang lebih sekuler dan rasional. Sikap tersebut merupakan “pelumas” bagi praktek
keluarga berencana dan dianggap bagian yang wajar daripada industrialisasi dan
modernisasi.
Masyarakat-masyarakat Barat menurunkan fertilitasnya karena kemauan anggota
masyarakat, bukan melalui program keluarga berencana pemerintah. Negara-negara yang sedang
berkembang, termasuk Indonesia, perlu mencari jalan lain dalam usahanya menurunkan tingkat
28 dan melalui program itu penggunaan kontrasepsi ditingkatkan dan norma-norma keluarga kecil
dilembagakan. Oleh sebab itu faktor-faktor sosial dan kebudayaan yang mempengaruhinya
sangat diperlukan demi suksesnya usaha atau program keluarga berencana untuk menurunkan
tingkat fertilitas.
B. Penurunan Mortalitas
Mortalitas atau kematian juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap
struktur penduduk, dua faktor lainnya yang juga mempengaruhi adalah fertilitas dan migrasi.
Pertumbuhan penduduk di suatu daerah jelas dipengaruhi oleh tingkat mortalitas tersebut. Akan
tetapi tingkat mortalitas juga bisa dijadikan sebagai tolok ukur akan rendahnya tingkat kesehatan
di daerah tersebut. Sebagai contoh apabila mortalitas di suatu daerah tersebut tinggi bisa jadi
faktor kesehatan juga tinggi pula, karena kematian kadang kala dipengaruhi oleh kesehatan.
Indikator kematian ini berguna untuk memonitor apakah kinerja pemerintah pusat
maupun lokal sudah maksimal dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya dalam
faktor kesehatan. (Budi Utomo, 1985).
Jumlah kematian bayi menjadi salah satu perhatian terhadap ukuran kematian. Jumlah
kematian bayi ini dipublikasikan dengan sebuah indikator yang disebut angka kematian bayi
(IMR). Di Indonesia, IMR telah mengalami penurunan dari 142 pada 1967-1971 menjadi 46
pada periode 1992-1997. Penurunan IMR yang drastis ini menyembunyikan perbedaan IMR
antar daerah geografis dan kalangan sosial ekonomi yang berbeda. Data dinas kependudukan
menyebutkan perbedaan IMR antara perkotaan dan pedesaan semakin melebar, sekitar 42% lebih
tinggi di daerah pedesaan dibanding daerah perkotaan.
Gwatkin (2000) mengindikasikan bahwa perbedaan IMR di Indonesia berhubungan
dengan kondisi sosial ekonomi yang diukur dengan tingkat kekayaan dan rasio penduduk miskin.
Kawachi (1994) dalam Poerwanto dkk (2003) mengemukakan bahwa masyarakat yang hidup
dalam kondisi sosial ekonomi yang rendah memiliki resiko kematian yang lebih tinggi daripada
masyarakat yang hidup dengan kondisi sosial ekonomi yang menengah keatas. Hal ini terbilang
wajar karena masyarakat dengan sosial ekonomi rendah kemungkinan akan tidak peduli terhadap
kesehatan, mereka mungkin akan loebih memperhatikan mengenai masalah pangan untuk
29 rangka menurunkan perbedaan sosial ekonomi antar daerah sangat berpengaruh terhadap
penurunan kematian bayi.
Ada beberapa temuan di dalam penelitian sebelumnya dimana penelitian ini fokus kepada
faktor sosial-ekonomi yang menyebabkan kematian bayi. Dari beberapa temuan, faktor maternal
menjadi faktor vital penyebab kematian bayi. Faktor maternal tersebut antara lain: usia ibu pada
saat melahirkan, jumlah pemeriksaan yang dilakukan oleh ibu pada saat hamil, tingkat
pendidikan ibu, dan tingkat kesejahteraan keluarga. Selain faktor maternal adapula faktor lain
yang menjadi penyebab ketian bayi, yaitu faktor lingkungan. Jadi ketersediaan jumlah sarana
kesehatan, jumlah tenaga medis, dan persentase daerah yang berstatus desa sedikit banyak juga
mempengaruhi kematian bayi.
Angka maternal mortality ini dapat dipakai untuk mengukur taraf program kesehatan di
suatu negara khususnya program kesehatan ibu dan anak (Sukarni, 1994). Semakin rendah angka
kematian ibu di suatu negara 3 menunjukkan tingginya taraf kesehatan negara tersebut. Di
Indonesia, tiap tahun sekitar 14.180 wanita meninggal karena hamil dan melahirkan atau dalam
satu jam terdapat dua orang ibu meninggal saat melahirkan. Jika dikalkulasikan, angka kematian
ibu saat melahirkan akibat komplikasi kehamilan, persalinan, dan nifas mencapai 20 ribu orang
per tahun. Angka ini masih merupakan angka yang tertinggi di Asia Tenggara (Sahrudin, 2008).
C. Pengarahan Mobilitas
Konsep Dasar Mobilitas Penduduk (Migrasi)
Dalam pertumbuhan penduduk salah satu komponen yang penting adalah mobilitas
penduduk (migrasi). Banyaknya masyarakat atau penduduk yang melakukan mobilitas atau
migrasi karena berbagai alasan, seperti untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik atau
pekerjaan yang lebih baik atau karena mengikuti anggota keluarga lain yang berpindah – suami
misalnya.
Migrasi adalah perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari suatu tempat ke
tempat lain melewati batas administratif (migrasi internal) atau batas politik/negara (migrasi
intemasional). Atau sederhananya migrasi adalah perpindahan yang relatif permanen dari suatu
30 yaitu dimensi ruang/daerah (spasial) dan dimensi waktu. Digunakan batasan waktu, misal berapa
tahun untuk migran, jika dia tinggal di tempat yang baru atau berniat tinggal di tempat yang barn
itu paling sedikit 6 bulan lamanya. Atau dari dimensi ruang atau daerah, adalah penduduk
tersebut pindah dari suatu daerah ke daerah yang lain dalam jangka waktu tertentu.
Migrasi dapat berupa migrasi intemasional dan migrasi internal. Migrasi intemasional
yaitu perpindahan penduduk dari suatu negara ke negara lain. Sedangkan migrasi internal
merupakan mobilitas penduduk yang terjadi dalam satu negara.
Dalam konteks Indonesia, migrasi internasional jarang dianalisis angkanya, dan
pengaruhnya terhadap pertumbuhan penduduk sering diabaikan. Hal ini disebabkan karena
perhitungan angka migrasi dilakukan dengan cara menghitung penduduk yang keluar dari
Indonesia dikurangi dengan banyak penduduk yang masuk ke Indonesia (banyak migrasi bersih)
kemudian dibagi dengan banyak penduduk seluruhnya. Data yang ada menunjukkan bahwa
migrasi internasional untuk Indonesia angkanya mendekati nol. Akan tetapi, untuk migrasi antar
daerah cukup tinggi, sehingga diperlukan analisis mendalam untuk melihat dampak migrasi
internal di Indonesia.
Tinjauan migrasi antar daerah (nasional) sangat penting dilakukan terutama terkait
dengan kepadatan dan distribusi penduduk yang tidak merata. Selain itu, tidak seperti kelahiran
dan kematian, tren migrasi tidak mudah untuk diperkirakan. Migrasi berperan sebagai
mekanisme realokasi sumberdaya manusia kearah yang lebih produktif. Otonomi daerah dan
globalisasi disertai kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi telah banyak dan
tents akan mengubah tren migrasi baik nasional maupun internasional, disertai dengan berbagai
dampak baik positif maupun negatif di daerah tujuan migrasi, termasuk penyebaran penyakit
seperti flu hurting, flu babi dan HIV/AIDS.
Mobilitas penduduk (migrasi) ada yang bersifat permanen dan tidak permanen.Dua jenis
mobilitas penduduk yang tidak permanen ialah migrasi sirkuler dan migrasi ulang-alik. Migrasi
sirkuler atau migrasi musiman, yakni migrasi yang terjadi jika seseorang berpindah tempat tetapi
tidak bermaksud menetap di tempat tujuan. Sedangkan migrasi ulang-alik (commuter) yakni
orang yang setiap hart meninggalkan tempat tinggalnya pergi ke kota lain untuk bekerja atau
31 Sedangkan mobilitas penduduk permanen diantaranya migrasi seumur hidup, migrasi
risen, dan migrasi total. Migrasi seumur hidup (lift time migration) artinya bahwa seseorang
dikatakan sebagai migran bila tempat tinggal waktu survei berbeda dengan tempat tinggal waktu
lahir.
Migrasi risen menyatakan bahwa seseorang dikatakan sebagai migran bila tempat tinggal
waktu survei berbeda dengan tempat tinggal lima tahun sebelum survei. Sedangkan migrasi total
adalah seseorang dikatakan sebagai migran bila dia pernah bertempat tinggal di tempat yang
berbeda dengan tempat tinggal waktu survei.
Perkembangan Mobilitas Penduduk di Indonesia
Perilaku mobilitas penduduk Indonesia mengalami perubahan yang mencolok dalam dua
dekade terakhir. Semakin padatnya daerah ibukota, baik negara dan provinsi, telah
mengakibatkan perpindahan penduduk ke provinsi di sekitamya. Sebagai contoh, DKI Jakarta,
yang pada periode 1980an mengalami migrasi bersih positif, mengalami migrasi bersih negatif
sejak tahun 1990an. Sementara itu, Banten dan Jawa Barat, mengalami migrasi bersih positif,
dimana sebagian besar aliran migrasi masuk berasal dan DKI Jakarta, yang menunjukkan adanya
perpindahan penduduk dari DKI Jakarta ke daerah sekitamya yang termasuk dalam wilayah
provinsi Banten dan Jawa Barat, seperti Depok dan Bekasi di Jawa Barat dan Tangerang di
Banten.
Sementara itu, pembangunan ekonomi di Riau, khususnya sektor perkebunan,
pertambangan, dan industri telah mengakibatkan provinsi ini terns mengalami migrasi bersih
positif yang tinggi. Hal yang sama juga terjadi di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan
Papua walaupun dengan arus migrasi yang yang lebih kecil. Sumatera Barat dan Jawa Tengah
masih tetap menjadi pengirim migran utama di Indonesia. Migrasi bersih Nanggroe Aceh
Darussalam diperkirakan masih akan tinggi sebagai akibat dari situasi politik dan bencana alam,
dengan kecenderungan yang menurun. Migrasi bersih di provinsi-provinsi lain cenderung
rendah, yang menunjukkan hambatan geografis yang lebih besar untuk bermigrasi, khususnya di
32 Migrasi antar pulau/daerah telah menunjukkan adanya gejala perkembangan
pembangunan daerah yang meningkat pasca implementasi otonomi daerah. Dengan
meningkatnya intensitas pembangunan Indonesia bagian timur sejak tahun 1990an, arah migrasi
antar daerah mulai bergerak ke Indonesia bagian timur. Tidak mengherankan dalam beberapa
tahun ke depan Indonesia akan mengalami gerak arus mobilitas penduduk ke arah Indonesia
timur.
Gejala lainnya dalam hal mobilitas penduduk ialah terus terjadinya peningkatan
urbanisasi (peningkatan persentase penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan), yang
disebabkan karena peningkatan migrasi desa-kota, pertumbuhan penduduk alamiah perkotaan
dan reklasifikasi wilayah pedesaan menjadi wilayah perkotaan. Pada tahun 1971 hanya 17,3%
dari penduduk Indonesia tinggal di daerah perkotaan. Urbanisasi di Indonesia meningkat menjadi
42% pada tahun 2000 dan diproyeksikan akan menjadi 54,2% (126,5 juta jiwa) pada tahun 2010
dan 68,3% (186,5 juta jiwa) pada tahun 2025. Terdapat variasi yang besar dalam hal persentase
penduduk perkotaan menurut provinsi.DKI Jakarta merupakan provinsi dengan seluruh
wilayahnya dikategorikan perkotaan. Sementara itu, kurang dari seperempat penduduk di
Sulawesi Tengah dan Papua tinggal di wilayah perkotaan dan 70% penduduk DI Yogyakarta
tinggal di wilayah perkotaan. Peningkatan ini telah dan akan membawa konsekuensi luas pada
penyediaan fasilitas perkotaan yang dibutuhkan oleh penduduk.
Tabel Mobilisasi (Imigrasi dan Emigrasi) Kota Salatiga tahun 2013
NO Aspek TAHUN
2009 2010 2011 2012
1 Total Jumlah
Penduduk Kota Salatiga
170.024 171.327 172.485 173.874
33
4 IMIGRASI 26,28 29,84 32,33 25,29
5 EMIGRASI 22,85 27,006 19,52 19,99
Sumber: Salatiga Dalam Angka 2013
Berdasarkan data yang diambil dari buku Salatiga Dalam Angka Kota Salatiga tahun
2013, dapat dilihat bahwa jumlah penduduk datang dan keluar kota Salatiga belum begitu stabil.
Hal ini dibuktikan dari angka penduduk datang dari tahun ke tahun meningkat dan menurun.
Sebagai contoh pada tahun 2009 angka penduduk datang sebesar 4469 jiwa, pada tahun 2010
penduduk datang mencapai 5113 jiwa, di tahun 2011 jumlah penduduk datang sebesar 5577 jiwa
dan di tahun 2012 sebesar 4398 jiwa.
Berbeda dengan jumlah penduduk pergi dari kota Salatiga, mulai tahun 2009 hingga
tahun 2012 mengalami jumlah yang tidak stabil pula. Misal pada tahun 2009 jumlah penduduk
pergi sebesar 3886, pada tahun 2010 jumlah penduduk pergi sebesar 4627, di tahun 2011 jumlah
penduduk pergi sebesar 3367 dan di tahun 2012 jumlah penduduk perginya sebesar 3477.
Dari angka-angka tersebut dapat diketahui mengenai Imigrasi dan Emigrasi. Seperti
terlihat pada tabel, bahwa angka imigrasi dari tahun ke tahun mengalami kenaikan dan
penurunan, yaitu pada tahun 2009 sebesar 26, 28, di tahun 2010 sebesar 29,84, tahun 2011
sebesar 32,33 dan tahun 2012 sebesar 25,29.
Untuk angka Emigrasi kota Salatiga dibanding tahun 2009 mengalami penurunan. Seperti
pada tabel di tahun 2009 angka emigrasi sebesar 22,85, di tahun 2010 angkanya sebesar 27,006,
tahun 2011 angkanya adalah 19,52 dan di tahun 2012 adalah 19,99.
Kebijakan Pengarahan Mobilitas Penduduk dalam Konteks Hubungan Pusat-Daerah
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57/2009 dijelaskan bahwa pengarahan mobilitas
penduduk adalah upaya untuk mencapai persebaran penduduk secara optimal, berdasarkan pada
keseimbangan antara jumlah penduduk dengan daya dukung alam, daya tampung lingkungan
binaan, dan daya tampung lingkungan sosial. Pengarahan mobilitas penduduk bertujuan untuk:
a. Mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang berdaya saing
34
b. Menciptakan keserasian, keselarasan dan keseimbangan antara daya dukung alam, daya
tampung lingkungan binaan, dan daya tampung lingkungan sosial dengan jumlah
penduduk antarprovinsi, antarkabupaten/kota, dalam rangka pembangunan daerah;
c. Mengelola pertumbuhan penduduk di suatu daerah tertentu;
d. Mengembangkan pusat pusat pertumbuhan ekonomi baru guna menciptakan lapangan
kerja dan peluang usaha; dan
e. Meningkatkan ketahanan nasional untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Jelas bahwa salah satu tujuan kebijakan pengarahan mobilitas yaitu untuk meningkatkan
ketahanan nasional. Selanjutnya, dalam penyelenggaraan Pengarahan Mobilitas Penduduk,
Pemerintah melakukan:
a. Pengumpulan dan pengembangan sistem database serta analisis data mobilitas/persebaran
penduduk sebagai dasar dalam penyusunan kebijakan dan perencanaan pembangunan
berwawasan kependudukan;
b. Pengembangan sistem informasi kesempatan kerja, peluang usaha dan pasar kerja serta
kondisi daerah tujuan;
c. Pengkajian, penelitian dan pengembangan terhadap efektivitas kebijakan Pengarahan
Mobilitas Penduduk;
d. Sosialisasi, advokasi dan komunikasi mengenai kebijakan Pengarahan Mobilitas
Penduduk kepada seluruh instansi terkait;
e. Pembinaan dan fasilitasi kebijakan Pengarahan Mobilitas Penduduk kepada seluruh
instansi terkait;
f. Pemantauan dan evaluasi serta pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan Pengarahan
Mobilitas Penduduk; dan
g. Pengendalian dampak mobilitas penduduk terhadap pembangunan dan lingkungan.
Sedangkan pemerintah daerah memiliki peran dalam penyelenggaraan pengarahan
35 a. Pengumpulan dan analisis data mobilitas/persebaran penduduk sebagai dasar perencanaan
pembangunan daerah;
b. Pengembangan sistem informasi kesempatan kerp, peluang usaha dan pasar kerja serta
kondisi daerah tujuan;
c. Pengembangan sistem database dan penertiban pelaksanaan pengumpulan/laporan,
pengolahan, analisis data dan informasi yang berkaitan dengan mobilitas penduduk;
d. Sosialisasi dan advokasi mengenai kebijakan Pengarahan Mobilitas Penduduk kepada
seluruh instansi terkait;
e. Komunikasi, informasi dan edukasi mengenai kebijakan dan pengelolaan Pengarahan
Mobilitas Penduduk kepada masyarakat;
f. Pembinaan dan fasilitasi kebijakan Pengarahan Mobilitas Penduduk kepada seluruh
instansi terkait;
g. Pelaporan data statistik mobilitas penduduk;
h. Pemantauan dan evaluasi serta pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan Pengarahan
Mobilitas Penduduk; dan
i. Pengendalian dampak mobilitas penduduk terhadap pembangunan dan lingkungan.
Dalam hal pendanaan untuk kebijakan pengarahan mobilitas penduduk skala nasional
dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, skala provinsi dibebankan pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi, dan skala kabupaten/kota dibebankan pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
Peraturan-perundang-undangan yang ada jelas mengatur adanya pembagian peran
pemerintah pusat dan daerah dalam kebijakan mobilitas penduduk. Kebijakan ini tidak terpisah
pisah dan membutuhkan sinergitas antara pemerintah pusat dan daerah. Dengan adanya
koordinasi, kerjasama baik dalam hal (1) kerangka perencanaan kebijakan (policy planning
framework); (2) kerangka regulasi; (3) kerangka anggaran; (4) kerangka kelembagaan,
kewenangan dan aparatur daerah (institutional framework); maupun (5) kerangka pengembangan
wilayah dan antar ruang (regional development framework), kebijakan pengarahan mobilitas
36 Bagaimanapun juga sesuai amanat peraturan perundang-undangan yang ada, kebijakan
mobilitas penduduk dilaksanakan dengan menghormati hak penduduk untuk bebas bergerak,
berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Artinya, penduduk memiliki hak untuk
melakukan migrasi tanpa paksaan dan tanpa larangan, sejauh sesuai dengan
peraturan-perundang-undangan yang ada. Oleh karenanya, peraturan daerah tidak dapat melarang
masuknya migran dari daerah lain dan memaknai mobilitas penduduk dalam perspektif wawasan
nusantara.
D. Kebijakan Kependudukan Yang Lebih Luas
Kebijakan kependudukan yang dimaksud adalah sebuah desain atau program nyata dari
pemerintah untuk mengatur hal ihwal yang berkaitan dengan penduduk. Program penting yang
harus dilakukan adalah penyerasian kebijakan pembangunan dengan pembangunan
Kependudukan dan Keluarga Berencana untuk mewujudkan pembangunan nasional dan daerah
yang berwawasan kependudukan dengan strategi pengembangan dan sosialisasi kebijakan
pembangunan kependudukan. Disamping itu usaha pemenuhan data dan informasi
kependudukan yang memadai, akurat dan tepat waktu sangat diperlukan. Hal ini untuk
mendukung perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di tingkat nasional dan daerah serta
mendorong terakomodasinya hak penduduk dan perlindungan sosial dengan strategi : 1).
Penyediaan analisis data kependudukan yang bersumber pada sensus penduduk dan survei
kependudukan; 2). Peningkatan kualitas data dan informasi manajemen pembangunan
kependudukan dan KB berbasis Teknologi Informasi; 3). Analisis dan kajian kebijakan
pengendalian penduduk.
Untuk itu, penetapan parameter kependudukan juga penting dilakukan sebagai acuan
bertindak. Demikian pula sosialisasi kebijakan dan program kependudukan, terutama
pengembangan kebijakan kelompok penduduk rentan dan produktivitas penduduk serta
pembinaan ketahanan keluarga. Jalan yang ditempuh dapat melalui peningkatan advokasi kepada
stakeholder pengembangan media komunikasi, peningkatan kemitraan dengan lintas sektor,
pemerintah daerah, sektor swasta, LSM dan sebagainya serta peningkatan partisipasi masyarakat
37 Dari uraian tersebut secara umum arah kebijakan yang dirumuskan dalam Grand Design
Pengendalian Kuantitas Penduduk, yaitu bahwa pengendalian kuantitas penduduk ditetapkan
melalui perkiraan angka fertilitas, mortalitas, dan mobilitas penduduk serta pengendalian
kuantitas penduduk dimaksudkan agar kuantitas penduduk sesuai dengan daya dukung alam dan
daya tampung lingkungan. Untuk itu strategi pelaksanaannya meliputi revitalisasi kelembagaan
38
BAB V
ROAD MAP GRAND DESIGN
PENGENDALIAN KUANTITAS PENDUDUK
Grand Design Pengendalian Kuantitas Penduduk ini mencakup besaran-besaran yang harus
diperhatikan dalam upaya untuk mengatasi atau mengendalikan jumlah dan laju pertumbuhan
penduduk. Secara operasional, untuk setiap tahapan 5 (lima) tahunan diperlukan road map yang
mencakup tentang tujuan, sasaran, kebijakan, strategi, program, dan kegiatan yang perlu
dilakukan dalam upaya pengendalian kuantitas penduduk. Road map ini diharapkan berfungsi
sebagai acuan setiap sektor serta pemerintah daerah dalam penyusunan langkah-langkah kegiatan
dalam mendukung upaya pengendalian kuantitas penduduk. Secara garis besar Road Map dalam
Grand Design Pengendalian Penduduk Kota Salatiga adalah sebagai berikut :
A. Tujuan Road Map
Grand Design Pengendalian Kuantitas Penduduk ini mencakup kurun waktu 2010-2035.
Pada setiap periode lima tahun dari tahun 2010 akan dibuat road map untuk mengetahui
sasaran-sasaran pengendalian kuantitas penduduk yang harus dicapai pada setiap periode, serta
kebijakan, strategi, dan program yang perlu dilakukan, baik yang mencakup fertilitas, mortalitas,
maupun mobilitas dan persebaran. Dengan demikian tujuan dari road map ini dapat berjalan
secara sistematis dan terencana.
B. Keterkaitan Grand Design dengan Road Map
Road Map Pengendalian Kuantitas Penduduk Kota Salatiga periode 2010-2015,
2015-2020, 2020-2025, 2025-2030, 2030-2035 akan disusun sesuai dengan hasil pelaksanaan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah periode sebelumnya serta dinamika perubahan
39
Gambar 5. Keterkaitan Grand Design 2010-2035 Dengan Road Map
C. Sasaran (Road Map) Grand Design Pengendalian Kuantitas Penduduk Kota Salatiga
Tahun dasar yang dipergunakan dalam menyusun Grand Design Pengendalian Kuantitas
Penduduk adalah tahun 2010 yang sesuai dengan adanya Sensus Penduduk. Selengkapnya
sasaran (Road Map) Grand Design pengendalian kuantitas penduduk kota Salatiga Tahun
2010-2035 adalah sebagai berikut:
Tabel Sasaran Grand Design Pengendalian Kuantitas Penduduk Tahun 2010-2035
40
Berdasarkan hasil perhitungan proyeksi sementara BPS Kota Salatita bulan September
2013, laju pertumbuhan penduduk (LPP) cenderung mengalami penurunan dari tahun 2010
sebesar 1,09% menjadi 0,97% pada tahun 2015. Diproyeksikan, LPP akan terus menurun
menjadi 0,5% pada tahun 2035. Walaupun laju pertumbuhan penduduk menurun, namun jumlah
penduduk Kota Salatiga secara nominal terus bertambah. Pada tahun 2010, jumlah penduduk
Provinsi Kota Salatiga sebanyak 170.332 jiwa. Pada tahun 2035 diproyeksikan menjadi
203.935. Peningkatan ini antara lain terjadi karena masih tingginya tingkat kelahiran (Total
Fertility Rate atau TFR) pada tahun 2010 sebesar 1,71 kelahiran per wanita, meskipun
diperkirakan akan terus mengalami penurunan sampai dengan tahun 2035 menjadi 1,70 per
wanita.
Penurunan tingkat kelahiran kasar (Angka Kelahiran Kasar atau CBR) berperan juga
dalam hal ini. Selain itu, tingkat pemakaian kontrasepsi yang cenderung mengalami peningkatan
dari tahun 2010 sampai dengan 2020 juga berpengaruh, meskipun setelah periode tersebut stabil
pada angka 70%. Perubahan jumlah dan struktur penduduk juga dipengaruhi oleh kematian,
kelahiran dan migrasi.
Kondisi kependudukan pada periode 2010 – 2035 dicirikan antara lain dengan menurunnya
angka kelahiran dan meningkatnya angka kematian. Data dari Dinas Kesehatan menunjukkan
angka kematian bayi periode 2010 – 2035 cenderung mengalami penurunan dari 9,6 per 1.000
kelahiran hidup pada 2010 menjadi 6,20 pada tahun 2035. Menurunnya tingkat fertilitas dan
41 Kota Salatiga yang diprediksi menglami kenaikan dari 71,03 tahun menjadi 73,78 tahun
(2010-2035).
Dari uraian tersebut jelas bahwa kegiatan pengendalian kuantitas penduduk penting
artinya untuk diutamakan. Beberapa hal yang harus dilakukan adalah : 1). Pemaduan Kebijakan
Pengendalian Penduduk; 2). Pengembangan Kerjasama Kependudukan; 3). Penelitian dan
Pengembangan Kependudukan; 4). Pendidikan dan Pelatihan Kependudukan; serta 5). Peran
42
BAB VI
PENUTUP
Grand Design Pengendalian Kuantitas Penduduk Kota Salatiga 2010-2035 yang sudah
dibuat dimaksukan untuk memnuhi dan melengkapi mengenai data kependudukan. Sehingga dari
data kependudukan ini di masa mendatang kota Salatiga dapat merencanakan untuk perencanaan
pembangunan jangka panjang. Adapun angka-angka yang tertera di Grand Design ini bukanlah
mutlak, akan tetapi angka-angka tersebut merupakan pedoman hasil dari proyeksi dengan
menggunakan asumsi-asumsi yang digunakan. Jadi mutlaknya angka tersebut sangat tergantung
apabila asumsi yang dipakai akan digunakan atau tidak.
Grand Design Pengendalian Kuantitas Penduduk Kota Salatiga 2010- 2035 yang
disajikan diatas telah melalui proses penghitungan yang teliti, akan tetapi hasil perhitungan juga
tidak luput dari kesalahan-kesalahan yang timbul.
Dari data angka yang ada yang paling penting bukanlah angka-angka tersebut melainkan
bagaimana cara kita mewujudkan angka-angka tersebut sehingga pertumbuhan penduduk,
kualitas dan lain sebagainya bisa terkendali atau dikontrol, sehingga dalam mewujudkan
pembangunan Kota Salatiga dapat lebih terencana matang di kemudian hari.