• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEARIFAN LOKAL RUMAH TINGGAL SEBAGAI PENGEJAWANTAHAN ARSITEKTUR NUSANTARA DI KABUPATEN SUKAMARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEARIFAN LOKAL RUMAH TINGGAL SEBAGAI PENGEJAWANTAHAN ARSITEKTUR NUSANTARA DI KABUPATEN SUKAMARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

ii

KEARIFAN LOKAL RUMAH TINGGAL

SEBAGAI PENGEJAWANTAHAN

ARSITEKTUR NUSANTARA

DI KABUPATEN SUKAMARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

Edi Purwanto Helwin Apriyanto

Yarjani

Dicetak dan Diterbitkan Oleh:

(3)

iii

KEARIFAN LOKAL RUMAH TINGGAL

SEBAGAI PENGEJAWANTAHAN ARSITEKTUR NUSANTARA DI KABUPATEN SUKAMARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

Edi Purwanto Helwin Apriyanto

Yarjani

UNDIP Press, Semarang 2016 vii; 81; 15,5cm x 23cm

ISBN : 978-979.097.440.1

Cetakan Pertama : September 2016

Perupa Sampul : Edi Purwanto

Copyright© UNDIP Press Semarang

(4)

i

KATA PENGANTAR

Buku monograf ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan

pada tahun 2014 ketika penulis menjadi narasumber penyusunan

pekerjaan Database Perumahan dan Kawasan Permukiman Kabupaten

Sukamara. Pekerjaan ini berasal dari Bidang Perumahan Dinas

Pekerjaan Umum Provinsi Kalimantan Tengah.

Pada saat menjadi narasumber, penulis menangkap peluang

untuk sekaligus meneliti potensi arsitektur rumah tinggal yang berada di

kabupaten Sukamara. Dengan memanfaatkan sumberdaya manusia

yang ada, proses pengumpulan data berjalan selama kurang lebih 3

bulan mencakup 5 wilayah kecamatan terdiri dari 29 wilayah desa dan 3

kelurahan.

Peneliti melihat potensi arsitektur rumah tinggal yang sangat

besar, didalamnya mengandung unsur-unsur kearifan lokal yang sangat

luar biasa. Unsur-unsur tersebut diyakini merupakan pengejawantahan

dari arsitektur nusantara, yaitu arsitektur yang lahir dan berciri pada

kondisi dan situasi ke-nusantara-an Indonesia.

Penulis berharap penyusunan buku ini, yang sudah berselang 2

tahun sejak selesainya kegiatan penelitian akan memberikan manfaat

pengetahuan kepada khalayak yang tertarik untuk membaca, termasuk

mahasiswa dan dosen arsitektur, pemerhati arsitektur tradisional, atau

dinas/instansi yang terkait dengan bidang perumahan dan

pelestariannya.

Penulis menganggap buku ini masih banyak kekurangan yang

perlu disempurnakan, oleh karena itu kami berharap ada kritik atau

masukan agar buku ini menjadi lebih baik lagi.

Semarang, September 2016

(5)

ii

UCAPAN TERIMA KASIH

Penyusunan buku ini telah melewati proses yang cukup

panjang, oleh karena itu keberhasilan dalam penyusunan buku ini bukan

hanya dilakukan oleh penulis saja, namun juga berbagai pihak terutama

yang terlibat langsung dalam kegiatan penelitian ini. Beberapa nama

ingin penulis sebutkan di bawah ini sebagai ungkapan rasa terima kasih

yang sangat mendalam sehingga buku ini dapat diselesaikan dengan

baik.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi terutama Kepala

Bidang Perumahan Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Kalimantan Tengah

Ibu Yanawati, ST, Kepala Seksi Perumahan Dinas Pekerjaan Umum

Kabupaten Sukamara bapak Tober Riyanto, ST. Demikian pula kepada

Tim Konsultan CV. Andal Cendanaka Palangkaraya dan beberapa

mahasiswa dari Jurusan Teknis Sipil Universitas Antakusuma Pangkalan

Bun yang telah bekerjasama terutama dalam proses pengumpulan data

rumah tinggal di kabupaten Sukamara.

Ucapan terima kasih juga diberikan kepada Ketua Departemen

Arsitektur FT UNDIP bapak Edward Endrianto Pandelaki, ST,MT,PhD

yang telah memberikan kesempatan dan pemberian fasilitas dalam

penyusunan buku ini, termasuk rekan-rekan staf Pengajar Jurusan

Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, khususnya yang

berada di Laboratorium Desain Kawasan Binaan atas dorongan dan

semangatnya.

Semarang, September 2016

(6)

iii

DAFTAR ISI

PENGANTAR i

UCAPAN TERIMA KASIH ii

DAFTAR ISI iii

1.4. Lingkup dan Batasan Penelitian 4

BAB II

KAJIAN PUSTAKA 5

2.1. Lingkungan Fisik Perumahan dan Pola Aktifitas Manusia sebagai Perwujudan Nilai-nilai dan Sistem Budaya 5 2.2. Kearifan Lokal dan Arsitektur Nusantara 8

2.2.1. Pengertian Kearifan Lokal 8

2.2.2. Elemen Manusia Beserta Pola Pikirnya

dalam Membentuk Arsitektur Nusantara 10 2.2.3. Relasi Kearifan Lokal dan Kondisi Alam Nusantara 11

2.3. Tentang Arsitektur Nusantara 14

2.4. Memahami Unsur-unsur Kearifan Lokal Rumah

Tinggal Menggunakan Pendekatan Tipologi 18

BAB III

METODE PENELITIAN 21

3.1. Pemilihan Objek Penelitian 21

3.2. Penentuan Populasi dan Sampel Penelitian 22 3.3. Metode Pengumpulan Data dan Analisis 26

3.3.1. Metode Pengumpulan Data 26

3.3.2. Metode Analisis Data 26

BAB IV

PROFIL KABUPATEN SUKAMARA 27

4.1. Gambaran Umum Kabupaten Sukamara 27 4.1.1. Kondisi Geografis dan Fisik Dasar 27

4.1.2. Kondisi Sumber Daya Alam 31

4.1.3. Kondisi Rawan Bencana 34

4.1.4. Profil Penggunaan Lahan 35

(7)

iv

4.2.1. Rumah Berdasarkan Fungsinya 39

4.2.2. Rumah Berdasarkan Tipenya 40

4.2.3. Rumah Berdasarkan Jenis Bangunannya 42 4.2.4. Rumah Berdasarkan Jenis Fisik Bangunannya 44 4.2.5. Rumah Berdasarkan Kelengkapannya 46 4.2.6. Rumah Berdasarkan Jumlah Lantai Bangunan 48 4.2.7. Rumah berdasarkan Jumlah Kepala Keluarga 49 4.2.8. Rumah Berdasarkan Kondisi Fisik Bangunan 50 4.2.9. Perumahan dan Kawasan Permukiman

Rawan Bencana (Negative List) 53 BAB V

TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 55

5.1. Karakteristik Rumah Tinggal di Kabupaten Sukamara 55 5.1.1. Gambaran Umum Objek Penelitian 55

5.1.2. Berciri Panggung/Kolong 61

5.1.3. Beratap dengan Teritisan Lebar 62 5.1.4. Menggunakan Bahan Bangunan Alam 63 5.2. Unsur-Unsur Kearifan Lokal Rumah Tinggal

Sebagai Pengejawantahan Arsitektur Nusantara 64 5.2.1. Arsitektur Panggung/Kolong 64

5.2.2. Arsitektur Teduhan 66

5.2.3. Tektonika Rerangka 68

5.2.4. Tektonika Tirai 69

5.2.5. Arsitektur Hijau 71

5.2.6. Arsitektur yang Bernafas 73

5.3. Arsitektur Nusantara Menerima Teknologi Modern 73 5.4. Arsitektur Nusantara: Tradisi Tanpa Tulisan 75

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN 76

6.1. Kesimpulan 76

6.2. Saran 77

DAFTAR PUSTAKA 78

(8)

v

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jumlah Rumah Tiap Kecamatan di Kabupaten Sukamara 24 Tabel 2. Jumlah Sampel Berdasarkan Desa/Kelurahan 25 Tabel 3. Luas Wilayah Kabupaten Sukamara

Dirinci Tiap Kecamatan Tahun 2014 31 Tabel 4. Topografi Kabupaten Sukamara 32 Tabel 5. Jumlah penduduk menurut jenis Kelamin

Kabupaten Sukamara Tahun 2014 38

Tabel 6. Jumlah Rumah Menurut Fungsi Rumah

Tiap Kecamatan Kabupaten Sukamara 39 Tabel 7. Jumlah Rumah Berdasarkan Tipenya 41 Tabel 8. Jumlah Rumah Berdasarkan Jenis Bangunannya 43 Tabel 9. Jumlah Rumah Berdasarkan Jenis Fisik Bangunannya 45 Tabel 10. Jumlah Rumah Berdasarkan Kelengkapannya 47 Tabel 11. Jumlah Rumah Berdasarkan Jumlah Lantai Bangunan 48 Tabel 12. Jumlah Rumah Berdasarkan Jumlah Kepala Keluarga 49 Tabel 13. Jumlah Rumah Berdasarkan Kondisi Fisik Bangunan 52 Tabel 14. Jumlah Sampel Berdasarkan

Proporsi Populasi Tiap Kecamatan 55 Tabel 15. Jumlah Rumah Ciri Panggung/Kolong Berdasarkan

Jumlah Sampel Tiap Kecamatan 61

Tabel 16. Jumlah Rumah Ciri Atap dengan Teritisan Lebar

Berdasarkan Jumlah Sampel Tiap Kecamatan 62 Tabel 17. Jumlah Rumah Berbahan Bangunan Alam

(9)

vi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Kebudayaan 5

Gambar 2. Batas Wilayah Penelitian 23

Gambar 3. Letak Kabupaten Sukamara dalam

Wilayah Provinsi Kalimantan Tengah 28 Gambar 4. Peta Administrasi Kabupaten Sukamara 29 Gambar 5. Proporsi Penduduk Menurut Kecamatan 37 Gambar 6. Kepadatan Penduduk di Kabupaten Sukamara 38 Gambar 7. Contoh Rumah Dengan Fungsi Campuran 39 Gambar 8. Grafik Jumlah Rumah Berdasarkan Fungsinya 40 Gambar 9. Contoh Rumah Mewah, Menengah, dan Sederhana 41 Gambar 10. Grafik Jumlah Rumah Berdasarkan Tipenya 42 Gambar 11. Contoh Rumah Permanen, Semi Permanen

dan Tidak Permanen 43

Gambar 12. Grafik Jumlah Rumah Berdasarkan Jenis Bangunannya 44 Gambar 13. Contoh Rumah Berdasarkan Jenis Fisik Bangunannya 45 Gambar 14. Grafik Jumlah Rumah Berdasarkan

Jenis Fisik Bangunannya 46

Gambar 15. Grafik Jumlah Rumah Berdasarkan Kelengkapannya 47 Gambar 16. Contoh Rumah Berdasarkan Jumlah Lantai Bangunan 48 Gambar 17. Grafik Jumlah Rumah

Berdasarkan Jumlah Lantai Bangunan 49 Gambar 18. Jumlah Rumah Berdasarkan Jumlah Kepala Keluarga 50 Gambar 19. Contoh rumah kondisi rusak berat 51 Gambar 20. Grafik Jumlah Rumah Berdasarkan

Kondisi Fisik Bangunan 52

Gambar 21. Peta Kawasan Permukiman

Rawan Bencana Kabupaten Sukamara 54 Gambar 22. Proporsi Jumlah Sampel Berdasarkan

Populasi Masing-masing Kecamatan 55 Gambar 23. Tipologi Rumah Tinggal di Kecamatan Jelai 56 Gambar 24. Tipologi Rumah Tinggal di Kecamatan Pantai Lunci 57 Gambar 25. Tipologi Rumah Tinggal di Kecamatan Sukamara 58 Gambar 26. Tipologi Rumah Tinggal di Kecamatan Balai Riam 59 Gambar 27. Tipologi Rumah Tinggal

di Kecamatan Permata Kecubung 60

Gambar 28. Proporsi Rumah Ciri Panggung/Kolong

Berdasarkan Jumlah Sampel Tiap Kecamatan 61 Gambar 29. Proporsi Rumah Ciri Atap dengan Teritisan Lebar

Berdasarkan Jumlah Sampel Tiap Kecamatan 62 Gambar 30. Proporsi Jumlah Rumah Berbahan Bangunan Alam

(10)

vii

Gambar 32. Arsitektur panggung rumah tinggal di tepi sungai 66 Gambar 33. Arsitektur teduhan diejawantahkan dalam bentuk

pelana bersudut miring curam dan berteritis lebar 67 Gambar 34. Sistem konstruksi (tektonika) sambungan

(pasak-lubang dan pen-lubang) 69

Gambar 35. Tata susunan kayu pada dinding arah luar (gambar atas) dan dinding arah dalam

(gambar bawah) memungkinkan sirkulasi udara 70 Gambar 36. Arsitektur hijau rumah tinggal yang diwujudkan

dalam penggunaan material kayu untuk kolom,

dinding, dan atap 72

Gambar 37. Kombinasi Gagasan Modern Dengan Gagasan Arsitektur Klasik Untuk Mencapai Suatu Karya

(11)
(12)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kearifan lokal diterjemahkan sebagai kecerdasan/pengetahuan

setempat atau pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai

strategi kehidupan yang berwujud aktivitas masyarakat lokal (adat,

agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, bahasa

dan komunikasi, serta kesenian) dalam menjawab berbagai masalah

untuk mempertahankan, memperbaiki, mengembangkan unsur

kebutuhan mereka, dengan memperhatikan ekosistem serta

sumberdaya manusia yang terdapat pada warga mereka sendiri

(Hermana dalam Diem, 2012). Kearifan lokal telah menjadi

tradisi-fisik-budaya, dan secara turun-temurun menjadi dasar dalam membentuk

bangunan rumah tinggal dan lingkungannya, yang diwujudkan dalam

sebuah warisan budaya.

Rumah tinggal merupakan tempat bernaung, tempat kembali

semua insan sehingga rumah merupakan kebutuhan pokok bagi setiap

umat manusia. Hidup dengan tidak merusak dan selaras dengan alam

merupakan hal yang selalu dilakukan dalam menjalani kehidupan

sehari-hari. Mereka memuliakan dan menghargai alam dengan tetap

memanfaatkan alam. Bagi mereka, alam bukan sekedar obyek untuk

dieksploitasi, namun mempunyai arti sebagai mitra kehidupan umat

manusia yang sejajar karena antara manusia dengan alam memiliki sifat

saling ketergantungan. Menjaga alam dari kerusakan dilakukan oleh

masyarakat melalui berbagai pamali atau pantang larang (Hermawan,

2014).

Dalam konteks rumah tinggal, kearifan lokal yang menyertai

proses pembangunan rumah sudah mengatur harmonisasi antara

(13)

2

kemampuan alam. Harmonisasi dicapai oleh masyarakat tradisional

dengan terlebih dahulu mengenal dan memahami dengan baik kondisi

lingkungannya. Masyarakat tradisional sangat menguasai konsep

ekologi dimana mereka hidup. Mereka mengetahui dengan baik interaksi

antara makhuk hidup dengan lingkungan biotik dan abiotiknya, sehingga

tercipta kehidupan yang seimbang, serasi dan selaras (Frick dan

Suskiyatno 1998).

Kearifan lokal pada rumah tinggal pada dasarnya adalah segala

upaya bagaimana merancang arsitektur yang berbasis kepada tema

identitas dan jatidiri dengan cara menuntut penggalian dan penemuan

kembali secara intensif dan ekstensif tentang kekhasan, kekhususan

keunikan dan karakter yang spesifik yang menjiwai suatu produk

arsitektur tertentu yang membedakannya secara bermakna dengan

arsitektur lain. Kearifan lokal dalam tata cara hidup, perilaku, kebiasaan

dan adat istiadat yang telah menciptakan jatidiri masyarakat setempat

harus menjadi landasan utama dalam desain arsitektur, tidak boleh

dikendalikan dengan instruksi dan doktrin secara paksa dan pukul rata

(serba sama), karena dengan demikian jiwa dan semangat suatu tempat

akan sirna (Purwanto, 2009a).

Tipologi rumah tinggal yang terdapat di wilayah kabupaten

Sukamara sangat dipengaruhi oleh suku budaya masyarakat setempat.

Pada awalnya terdapat tiga suku yang berada di wilayah ini, yaitu Suku

Melayu, Dayak Darat, dan Banjar (sumber: RTRW Kabupaten

Sukamara). Namun setelah pemerintah membuka program transmigrasi

pada tahun 1970an, terdapat satu suku lagi yaitu suku Jawa yang

sebagian besar bermukim di wilayah kecamatan Balai Riam dan

Permata Kecubung. Secara umum tipologi rumah tinggalnya didominasi

oleh rumah panggung dengan material dari kayu Kalimantan yang pada

saat itu melimpah jumlahnya. Bentuk rumah panggung dengan bahan

bangunan kayu tidak hanya dijumpai di permukiman tepi sungai, namun

(14)

3

merupakan salah satu bentuk kearifan lokal yang bisa dibanggakan

sebagai salah satu produk budaya masyarakat Indonesia. Bentuk rumah

ini merupakan hasil adaptasi masyarakat terhadap lingkungan alam. Jika

dilihat pada aspek fungsinya, rumah panggung yang berada di tepi

sungai mencoba beradaptasi dengan kondisi lingkungan, sehingga

apabila terjadi kenaikan permukaan sungai, maka rumah panggung

tersebut masih terlindungi dari ancaman masuknya air ke dalam rumah

(Purwanto et al, 2014).

1.2. Rumusan Masalah

Penelitian dengan judul Kearifan Lokal Rumah Tinggal sebagai

Pengejawantahan Arsitektur Nusantara dengan mengambil lokus di

Kabupaten Sukamara dilatarbelakangi oleh rasa ingin tahu bahwa rumah

tinggal masyarakat kabupaten Sukamara terutama yang berada di

wilayah perdesaan dibangun dengan memperhatikan unsur-unsur

kearifan lokal yang merupakan pengejawantahan dari arsitektur

nusantara. Arsitektur Nusantara mendasarkan pemahamannya atas

arsitektur anak bangsa Nusantara yang berkonsepsi pada kenyataan

geoklimatik yaitu terdiri dari kepulauan dan kondisi tropik lembab, serta

kenyataan tradisi tanpa tulisan. Di sini ihwal adat hingga upacara dan

artefak menjadi rekaman-rekaman pengetahuan arsitektur (Prijotomo,

2016).

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi dan mengkaji

unsur-unsur kearifan lokal pada rumah tinggal di kabupaten Sukamara dan

pengejawantahannya dalam arsitektur nusantara. Menurut Pangarso

(2006), upaya mengangkat kearifan lokal bukan semata-mata

kefanatikan nasional, kedaerahan atau romantisme kejayaan masa lalu

yang sempit melainkan kajian kearifan lokal ada dalam titik perimbangan

(15)

4

kesetempatan. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif,

penelitian deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk

mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah

maupun fenomena buatan manusia.

1.4. Lingkup dan Batasan Penelitian

Alasan lain mengapa mengambil lokasi rumah tinggal di

kabupaten Sukamara adalah pertimbangan kondisi geografis wilayah.

Wilayah Kabupaten Sukamara mempunyai profil wilayah secara

topografi cukup beragam, sebelah selatan yaitu di Kecamatan Jelai dan

Pantai Lunci, kelas kemiringan lahannya berada pada interval 0 – 2%

dengan klasifikasi datar dan dekat dengan wilayah pantai. Di bagian

tengah, yaitu Kecamatan Sukamara didominasi kelas kemiringan lahan

2 – 15%, agak landai menuju landai. Kecamatan Balai Riam dan

Permata Kecubung mempunyai kelas kemiringan lahan yang berada

pada interval 2 – 15% dan 15 – 40%, dengan kelas agak landai sampai

agak curam. Kondisi geografis yang demikian mempengaruhi tipologi

rumah tinggalnya. Rumah tinggal yang berada kemiringan lahan

perbukitan akan berbeda dengan tipologi rumah tinggal yang

datar/landai terutama dilihat dari sisi bentuk, konstruksi, dan material

yang digunakan. Selain itu wilayah kabupaten Sukamara terdapat sungai

Jelai, merupakan sungai besar berbentuk memanjang dari utara ke

selatan yang bermuara di laut Jawa. Di pulau Kalimantan cikal bakal

permukiman berkembang di tepi sungai mengingat sungai merupakan

jalur transportasi yang penting pada saat itu. Demikian pula di kabupaten

Sukamara beberapa titik pertumbuhan permukiman berada di tepi

sungai Jelai. Hal ini juga mempengaruhi bentuk arsitektur rumah tinggal

(16)

5

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Lingkungan Fisik Perumahan dan Pola Aktifitas Manusia

sebagai Perwujudan Nilai-nilai dan Sistem Budaya

Menurut Rapoport (1977), sebuah seting perumahan merupakan

produk hubungan timbal balik antara aktifitas manusia dengan

lingkungan fisik yang sangat dipengaruhi oleh sistem nilai/budaya.

Menurut Rapoport pada dasarnya, hubungan lingkungan dengan

perilaku manusia menekankan bahwa latar belakang manusia seperti

pandangan hidup, kepercayaan yang dianut, nilai-nilai dan norma-norma

yang dipegang akan menentukan perilaku seseorang yang antara lain

tercermin dalam cara hidup dan peran yang dipilihnya di masyarakat.

Konteks kultural dan sosial ini akan menentukan sistem aktifitas atau

kegiatan manusia. Cara hidup dan sistem kegiatan akan menentukan

macam dan wadah bagi kegiatan tersebut. Wadah tersebut adalah

ruang-ruang yang saling berhubungan dalam satu sistem tata ruang dan

berfungsi sebagai tempat berlangsungnya kegiatan.

Menurut Koentjaraningrat (2003), ketika lingkungan fisik dan

aktifitas manusia terlibat interaksi, keduanya merupakan bagian dari

wujud budaya. Koentjaraningrat membagi kebudayaan sesuai dengan

empat wujudnya yang secara simbolis digambarkan sebagai empat

lingkaran konsentris (Gambar 1).

Lingkaran yang paling luar, dan karena itu letaknya pada bagian

paling luar melambangkan kebudayaan sebagai [1] artifacts atau benda-benda fisik; [2] lingkaran berikutnya (dan tentunya lebih kecil)

melambangkan kebudayaan sebagai sistem tingkah laku dan tindakan

berpola; [3] lingkaran yang berikutnya lagi (dan lebih kecil daripada

kedua lingkaran yang berada di sebelah “luar” nya melambangkan

(17)

6

letaknya paling dalam dan bentuknya juga paling kecil, dan merupakan

pusat atau inti melambangkan kebudayaan sebagai sistem gagasan

yang ideologis.

Gambar 1. Kerangka Kebudayaan Sumber: Koentjaraningrat, 2003

Menurut (Koentjaraningrat, 2003), contoh nyata dari wujud

kebudayaan yang dapat dijelaskan dari lingkaran pertama, adalah

berupa bangunan fisik seperti gedung, candi, kemudian benda-benda

bergerak seperti kapal, pesawat terbang, mobil dan benda-benda

lainnya. Semua benda hasil karya manusia tersebut bersifat nyata dan

dapat disentuh secara fisik menggunakan indera manusia, dapat

direkam dan divisualisasi. Sebutan khusus bagi kebudayaan dalam

wujud nyata ini adalah “kebudayaan fisik”. Lingkaran kedua

menggambarkan wujud tingkah laku manusianya, yaitu misalnya tingkah

laku dalam melakukan suatu pekerjaan, dan lain-lain. Kebudayaan

(18)

7

menggunakan indera manusia, dapat direkam dan divisualisasi. Semua

gerak gerik yang dilakukan berdasarkan dimensi waktu, merupakan

pola-pola tingkah laku yang dilakukan berdasarkan sistem, oleh karena

itu disebut dengan ”sistem sosial”. Lingkaran ketiga menggambarkan

wujud gagasan dari kebudayaan, dan tempatnya berada dalam pikiran

tiap manusia yang menjalankan kebudayaan, yang melekat pada dirinya.

Kebudayaan dalam wujud ini bersifat tidak nyata (abstrak), tidak dapat

direkam dan divisualisasi, dan hanya dapat dimengerti serta dipahami

oleh manusia lain setelah ia mempelajarinya secara mendalam, dengan

berbagai teknik melalui wawancara yang intensif atau dengan membaca.

Kebudayaan dalam bentuk gagasan juga mempunyai pola dan

berdasarkan sistem-sistem tertentu yang disebut ”sistem budaya”.

Lingkaran keempat, sebagai lingkaran inti adalah gagasan-gagasan

yang telah dipelajari oleh manusia sejak kecil, karena sudah melekat

sejak lama maka sangat sukar dirubah. Lingkaran inti merupakan pusat

dari semua unsur yang lain, disebut sebagai ”nilai-nilai budaya”, yang

menentukan sifat dan corak dari pikiran, cara berfikir, serta tingkah laku

manusia suatu kebudayaan. Gagasan-gagasan inilah yang akhirnya

menghasilkan berbagai benda yang diciptakan manusia berdasarkan

nilai-nilai, pikiran dan tingkah lakunya (Koentjaraningrat, 2003).

Selanjutnya menurut Koentjaraningrat, sistem nilai-nilai budaya

adalah tingkat tertinggi dan paling abstrak dari adat istiadat. Sebabnya

adalah karena nilai budaya terdiri dari konsep-konsep mengenai segala

sesuatu yang dinilai berharga dan penting oleh warga suatu masyarakat,

sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman orientasi pada

kehidupan warga masyarakat yang bersangkutan. Nilai-nilai budaya ini

biasanya sulit diterangkan secara rasional dan nyata, namun justru

karena itulah ia berada dalam daerah emosional dan telah berakar

dalam alam jiwa seseorang. Karena itu untuk mengganti suatu nilai

budaya yang telah dimiliki dengan budaya lain diperlukan waktu yang

(19)

8

sederhana, ada sejumlah nilai budaya yang saling berkaitan dan bahkan

telah merupakan suatu sistem. Sebagai pedoman dari konsep-konsep

ideal, sistem itu menjadi pendorong yang kuat untuk mengarahkan

kehidupan masyarakat.

2.2. Kearifan Lokal dan Arsitektur Nusantara

2.2.1. Pengertian Kearifan Lokal

Kearifan lokal adalah sikap, pandangan dan kemampuan suatu

komunitas didalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang

memberikan kepada komunitas itu daya tahan dan daya–tumbuh di

dalam wilayah dimana komunitas itu berada. Kearifan lokal adalah

jawaban kreatif terhadap situasi geografis – geopolitis, historis dan

situasional yang bersifat lokal (Hardiyati, 2008).

Menurut Gobyah dalam Sartini (2004), kearifan lokal nilai

terpentingnya adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Geriya dalam Sartini (2004) juga menjelaskan hal yang

sama, pengertiannya secara konseptual, kearifan lokal dan keunggulan

lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi

nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara

tradisional. Menurut Antariksa (2009), kearifan lokal merupakan unsur

bagian dari tradisi-budaya masyarakat suatu bangsa, yang muncul

menjadi bagian-bagian yang ditempatkan pada tatanan fisik bangunan

dan kawasan/lingkungan binaan dalam geografi kenusantaraan sebuah

bangsa. Berdasarkan penjelasan Antariksa dapat dipahami bahwa

kearifan lokal merupakan langkah penerapan dari tradisi yang

diterjemahkan dalam artefak fisik. Hal terpenting dari kearifan lokal

adalah proses sebelum implementasi tradisi pada artefak fisik, yaitu

nilai-nilai dari alam untuk mengajak dan mengajarkan tentang

bagaimana ‘membaca’ potensi alam dan menuliskannya kembali

sebagai tradisi yang diterima secara universal oleh masyarakat,

(20)

9

kehidupan manusia dengan cara menghargai, memelihara dan

melestarikan alam lingkungan (Pangarsa, 2008). Hal ini dapat dilihat

bahwa semakin adanya penyempurnaan arti dan saling mendukung,

yang intinya adalah memahami bakat dan potensi alam tempatnya

hidup; dan diwujudkannya sebagai tradisi.

Menurut Saini (dalam Hardiyati, 2008) terdapat 3 ranah dalam

mengidentifikasikan tempat kearifan lokal berlaku Pertama adalah hubungan antara manusia dengan manusia yang dapat tercermin dalam perilaku pergaulan sehari-hari dalam komunitas, kedua hubungan manusia dengan alam dimana masih banyak kampung adat seperti kampung Naga, kampung yang lain yang dihuni masyarakat tradisional

yang masih melakukan pemuliaan terhadap lingkungan. Masyarakat

tradisional ini yang masih memiliki solidaritas yang kuat terhadap alam.

Melakukan alam sebagai subyek dan bukan obyek yang bisa

diperlakukan semena-mena, dan ketiga hubungan manusia dengan Tuhan pencipta alam semesta.

Menurut Soedigdo et.al, (2014), wujud dari kearifan lokal ada

dua macam, yaitu :

1. Tangible (Berwujud Fisik),

Kearifan lokal yang tangible bersifat teraba, ciri fisiknya dapat teridentifikasi. Contoh kearifan lokal yang teraba diantaranya adalah karya-karya arsitektur tradisional di Indonesia. Karya

arsitektur tradisional sangat dipengaruhi dan tergantung banyak

aspek diantaranya: jenis material yang tersedia, pengaruh

kondisi iklim dan lingkungan sekitar, kondisi tapak dan

kelerengan, kondisi ekonomi masing-masing warga,

kemampuan menerapkan teknologi, budaya yang berlaku di

masyarakat, dan bagaimana masyarakat memandang arti

(makna) serta simbolisme dari karya arsitektur tradisional

tersebut. Masyarakat setempat menggunakan pengetahuan

(21)

10

tradisionalnya dan seiring dengan berjalannya waktu

pengetahuan ini mengalami penyempurnaan) dan

menyesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi yang ada.

2. Intangible (Tidak Berwujud)

Kearifan lokal yang tidak berwujud, bersifat tidak teraba berupa

sistem nilai dan kepercayaan yang berlaku di masyarakat.

Menurut Maran (2000), kepercayaan menjelaskan apa itu

sesuatu, sedangkan nilai menjelaskan apa yang seharusnya

terjadi. Menurut Maran, nilai itu berasal dari pandangan hidup

suatu masyarakat. Pandangan hidup itu berasal dari sikap

manusia terhadap Tuhan, terhadap alam semesta, dan terhadap

sesamanya. Sikap ini dibentuk melalui pelbagai pengalaman

yang menandai sejarah kehidupan masyarakat yang

bersangkutan. Kepercayaan berkaitan dengan pandangan

tentang bagaimana dunia ini beroperasi. Kepercayaan itu

berdasarkan common sense, akal sehat, kebijaksanaan yang dimiliki suatu bangsa, agama, ilmu pengetahuan, atau suatu

kombinasi antara semua hal tersebut di atas.

2.2.2. Elemen Manusia Beserta Pola Pikirnya dalam Membentuk

Arsitektur Nusantara

Sejarah telah menunjukkan bahwa terdapat berbagai warisan

budaya etnis di Indonesia yang tercermin dalam berbagai macam

kearifan lokal, kepercayaan, sistem pemerintahan, kesehatan, sistem

pertanian, dan sistem garis keturunan. Semua pengetahuan ini telah

berakar dalam budaya etnis secara beragam dan tercermin dalam

artefak kebudayaannya masing-masing (Geertz, dalam Soedigdo et al,

2014). Manusia dengan pola pikirannya sedemikian rupa membangun

pengetahuannya melalui proses yang cukup panjang dan rumit.

Selanjutnya pengetahuan tersebut akan menjadi ekspresi manusia

(22)

11

bangunan-bangunan untuk mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan

manusia tersebut (Sutrisno, 2005; Syamsiyatun et al, 2013). Jadi

pengetahuan kearifan lokal yang dimiliki oleh etnis seluruh Indonesia,

merupakan salah satu poin dasar yang kuat dari budaya Indonesia untuk

menampilkan identitas Indonesia di segala bidang termasuk arsitektur.

Pengejawantahan pola pikir manusia Indonesia diwujudkan

dalam bentuk pengetahuan dan karakteristiknya berdasarkan adat, suku,

dan etnis masing-masing daerah. Meskipun berbeda secara adat, suku,

dan etnis tetapi semangat menjaga keragaman patut dihargai. Hal ini

terjadi karena pola pikir masyarakat Indonesia lebih mengedepankan

etika, kejujuran, budi luhur yang kemudian mendorong terciptanya

kearifan lokal berbasis multi etnis di Indonesia. Satu hal yang

menguatkan pendapat tersebut dapat dilihat melalui penguatan tiga

ekspresi kebudayaannya yaitu: Gagasan, Perilaku, dan Artefak

(Poerwanto, 2008). Menurut Kustianingrum et al (2013) permukiman

tradisional di Indonesia hingga kini masih mempertahankan dan

memegang teguh filosofi serta konsep bentuk tradisional (Kustianingrum

et al, 2013)

2.2.3. Relasi Kearifan Lokal dan Kondisi Alam Nusantara

Kearifan lokal mengejawantah dalam wujud arsitektur Nusantara

yang adaptif-responsif terhadap lingkungan alam nusantara yang

bersifat tropis-lembab. Wujud arsitektur asli Nusantara menampilkan

sejumlah karakteristik yang tepat guna terhadap situasi alam

tropis-lembab. Karakteristik tersebut merupakan adaptasi dan responsi

terhadap lingkung setempat (Wikantari, 2008).

Menurut Frick dan Suskiyanto (1998), terdapat hubungan

keseimbangan antara mikrokosmos yaitu bangunan arsitektur tempat

manusia tinggal dengan makrokosmos yaitu alam semesta tempat

dimana bangunan arsitektur berada kaitannya dengan alam dan iklim

(23)

12

yang sangat besar dari alam dan iklim tropis di lingkungan sekitarnya,

yaitu pengaruh sinar matahari dan orientasi bangunan, angin dan

pengudaraan ruangan, suhu dan perlindungan terhadap panas, curah

hujan dan kelembaban panas.

Alam Indonesia sebagai elemen pendorong terbentuknya

kearifan-kearifan lokal di Indonesia dapat diidentifikasikan ke dalam

beberapa kondisi, yaitu (Soedigdo et al, 2014; Frick dan Suskiyanto,

1998; Purwanto, 2009; Purwanto, 2010; Purwanto, 2012b):

1. Kondisi Geografis

Secara umum, permukiman di Indonesia perkembangannya

dimulai dari tempat dengan ciri fisik berdasarkan kondisi

geografisnya. Terdapat permukiman yang berkembang dimulai

dari tepian sungai, tepi pantai, dataran rendah, maupun dataran

tinggi/wilayah perbukitan. Kondisi ini akan mempengaruhi proses

adaptasi dengan kondisi geografisnya ini dan tentunya berimbas

langsung dengan kemampuan masyarakat dalam

mengkonstruksikan bangunan-bangunan rumah tempat mereka

tinggal sesuai dengan kondisi lingkungannya. Pada saat itu

penggunaan kayu dan bambu sebagai tempat tinggal mereka

menjadi sangat dominan. Penggunaan bahan-bahan organik

yang bersifat non-logam dominan digunakan untuk konstruksi,

seperti teknik konstruksi pasak kayu karena saat itu belum

mengenal paku, dan teknik konstruksi ikatan.

2. Sinar Matahari dan Orientasi Bangunan

Sinar matahari dan orientasi bangunan yang ditempatkan tepat

di antara lintasan matahari dan angin, serta bentuk denah yang

terlindung hádala titik utama dalam peningkatan mutu iklim mikro

yang suda hada. Dalam hal ini tidak hanya perla diperhatikan

sinar matahari yang mengakibatkan panas saja, melainkan juga

arah mata angin yang memberi kesejukan. Orientasi bangunan

(24)

13

terdapat sebagai kompromi antara letal gedung berarah dari

Timar ke Barat dan yang terletak tegak lurus terhadap arah

angin. Selain itu bangunan rumah tinggal yang berbentuk

persegi panjang relatif lebih menguntungkan daripada yang

berbentuk bujur sangkar.

3. Angin dan Pengudaraan Ruangan

Angin dan pengudaraan ruangan yang terus menerus akan

mempersejuk iklim ruangan. Udara yang bergerak menghasilkan

penyegaran terbaik karena dengan penyegaran tersebut terjadi

proses penguapan yang menurunkan suhu pada kulit manusia.

Penyegaran udara di dalam ruangan, disamping tergantung

terhadap pergerakan udara, juga sangat tergantung pada

pertukaran udara. Pada desain bangunan yang memperhatikan

pengudaraan ruangan alami memerlukan bukaan-bukaan

dinding berupa jendela-jendela dan lainnya.

4. Suhu dan perlindungan terhadap panas

Pengaruh suhu terhadap ruangan dapat diatur dengan

konstruksi atap yang selain melindungi manusia terhadap cuaca,

juga memberi perlindungan terhadap radiasi panas dengan

sistem penyejuk udara secara alamiah. Untuk menyejukkan

udara dalam rumah beratap datar dapat menggunakan sistem

kolam air (roof pond) yang menerima panasnya sinar matahari dan mengembalikannya pada waktu malam. Sistem yang agak

mirip adalah lapisan tanah di atas atap datar yang ditanami

rumput yang tahan musim kering.

5. Curah hujan dan kelembaban panas

Curah hujan dan kelembaban panas adalah faktor penting yang

perla diperhatikan terhadap keseimbangan alam dengan desain

tropis. Kadar kelembaban udara sangat tergantung pada curah

hujan dan suhu udara. Semakin tinggi suhu, semakin tinggi pula

(25)

14 6. Kondisi Rawan Gempa

Bangunan tradisional di Indonesia didominasi oleh penggunaan

material organik berasal dari alam seperti kayu, bambu, batu,

dan Rumbia. Bangunan tradisional Indonesia sebagian besar

tidak bersifat struktur kaku sepenuhnya (rigid frame), sedangkan pondasinya tidak ditanam ke tanah (umpak batu) sehingga bangunan masih fleksibel apabila mendapatkan gaya horisontal.

Keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan teknik ini

adalah bangunannya lebih tahan gempa.

2.3. Tentang Arsitektur Nusantara

Apakah yang dimaksud dengan “nusantara”?, demikian pula

apakah yang dimaksud dengan “arsitektur nusantara”?. Mungkin isitilah

yang pertama hanya merupakan sebuah istilah yang dapat diuraikan

berdasarkan pengertian kosa katanya. Apabila nusantara diartikan

sebagai “nusa” dan “antara” yang berarti untaian nusa diantara

katulistiwa, apakah arsitektur nusantara dapat diartikan sebagai

“arsitektur yang berada di utaian nusa di sepanjang katulistiwa”?

Pernyataan tersebut tidaklah keliru jika kita memahaminya berdasarkan

pemahaman kosa katanya. Namun pada dasarnya pemahaman

arsitektur nusantara akan lebih luas lagi jika dibandingkan dengan

pemahaman kosa katanya. Karena pemahaman arsitektur nusantara

diarahkan untuk mendudukkan posisinya berdiri sejajar dengan

arsitektur modern, arsitektur post modern, arsitektur dekonstruksi. Oleh

kana itu dibutuhkan penjelasan agar pengertiannya dapat dipahami

sebagai realitas arsitektur di Indonesia bukan hanya sebatas sebuah

wacana (Alamsyah, 2005)

Disisi lain menurut Prijotomo (2016), arsitektur nusantara bukan

arsitektur tradisional. Dengan memberi sebutan Arsitektur Tradisional

maka arsitektur anak bangsa Indonesia ini menjadi tidak termasukkan ke

(26)

15

Eropa. Melalui penyandingan antara arsitektur klasik Eropa dengan

arsitektur karya anak bangsa Indonesia diperlihatkan bahwa arsitektur

Nusantara harus dimasukkan ke dalam pengetahuan umum arsitektur.

Dengan keletakan pengetahuan arsitektur Nusantara yang setara

dengan arsitektur klasik Eropa ini maka timbul pula perbedaan antara

pengetahuan arsitektur Tradisional dengan pengetahuan arsitektur

Nusantara. Melengkapi penjelasan sebelumnya, menurut Prijotomo

(dalam Alamsyah, 2005) bahwa arsitektur Jawa, arsitektur Batak,

arsitektur Nias, arsitektur Asmat dapat kita tempatkan sebagai arsitektur

nusantara, tetapi sama sekali bukanlah sinonim dengan arsitektur

tradisional. Arsitektur nusantara bukan sebagai arsitektur tradisional

walaupun keduanya menunjuk pada sosok arsitektur yang sama yakni

arsitektur yang ditumbuhkembangkan oleh demikian banyak anak

bangsa atau suku bangsa di Indonesia.

Menurut Sudrajat (1999), arsitektur sebagai unsur budaya

bersifat universal dan mudah untuk ditemukenali, tetapi sangat sulit

untuk diteorisasikan. Teori arsitektur dapat diklasifikasikan menjadi tiga

kelompok, yaitu :

1. Theory in Architecture, berkaitan dengan aspek-aspek formal, tektonik, struktural, representasional, dan prinsip-prinsip estetik

yang melandasi gubahan arsitektur, serta berusaha

merumuskan dan mendefinisikan prinsip-prinsip teoritis dan

praktis yang penting bagi penciptaan desain yang baik.

2. Theory of Architecture, menjelaskan bagaiman para arsitek mengembangkan prinsip-prinsip dan menggunakan

pengetahuan, teknik dan sumber-sumber dalam proses desain

dan produksi bangunan.

3. Theory about Architecture, menjelaskan makna dan pengaruh arsitektur, mendudukan arsitektur dalam konteks sosial

(27)

16

sebagai produk budaya, atau memahami arsitektur digunakan

dan diterima oleh masyarakat.

Berdasarkan klasifikasi teori tersebut di atas, arsitektur

tradisional lebih cenderung ditempatkan pada pemahaman teori yang

ketiga karena mempertanyakan” bagaimanakah hubungan antara

arsitektur dengan lingkungan”, disini arsitektur dilihat sebagai “objek”.

Sedangkan arsitektur nusantara cenderung dikelompokkan pada teori

yang pertama dan kedua karena mempertanyakan “apa” dan “siapakah”

arsitektur, dengan kata lain arsitektur ditempatkan sebagai subjek.

Dengan demikian arsitektur nusantara dapat melahirkan sebuah

pemahaman yang dapat dikembangkan di dalam arsitektur itu sendiri,

bahkan mempunyai peluang untuk disejajarkan dengan teori arsitektur

lain yang sudah muncul lebih dahulu.

Dalam konteksi kekinian, membicarakan arsitektur nusantara

menyangkut banyak aspek yang menentukannya, seperti budaya, dan

aspek kondisi geografis serta iklim.

Hidayatun et.al (dalam Bahktiar et al, 2014) menjelaskan

beberapa prinsip dasar arsitektur Nusantara, sebagai berikut:

1. Arsitektur Nusantara merupakan sebuah pernyataan yang

mengandung beribu gambaran dan persepsi. Belajar dari

pengetahuan yang pernah dipelajari bahwa nusantara

merupakan sebuah setting tempat yang luas, terdiri dari

beberapa pulau dan berisikan penduduk dengan latar belakang

budaya yang sangat beragam. Bicara tentang Nusantara, kita

diingatkan oleh sebuah karya besar Gajah Mada yakni sumpah

Palapa yang antara lain berisi tentang ke-Bineka Tunggal Ika-an

yang menunjukkan bahwa tempat yang begitu luas dihuni oleh

berbagai suku bangsa dengan berbagai latar belakang budaya,

namum tetap dalam satu naungan yakni nusantara. Oleh karena

itu pemahaman terhadap arsitektur nusantara harus pula

(28)

17

2. Belajar tentang arsitektur nusantara adalah bagaimana

mempelajari tentang dasar, prinsip dan pedoman. Oleh karena

itu yang ditelusuri bukan dalam perbincangan fisik saja, tetapi

lebih pada pengetahuan dasar yang melatar belakangi sebuah

fungsi, bukan berbicara tentang ruang demi ruang dalam

bangunan, melainkan berbicara tentang benda pernaungan

dengan nilai-nilai yang berada dibalik pernaungan itu.

Pangarsa (dalam Bahktiar et al, 2014) menjelaskan arti dari

Nusantara bahwa Dari kata Kawi “nuswa” atau “nusya” yang berarti pulau, dan “antara”: menunjuk area berpulau-pulau mulai dari Sabang sampai dengan Merauke. Selanjutnya Pengarsa mencoba menampilkan

ciri utama dari arsitektur di wilayah Nusantara melalui beberapa poin

dengan uraian sebagai berikut :

1. Arsitektur pernaungan. Ruang-luar Arsitektur Nusantara adalah

ruang berkehidupan bersama. Itulah yang menunjukkan bahwa

pernaungan adalah arsitektur bagi fitrah manusia. Arsitektur

pernaungan ada dalam kerangka-struktural dan kaitan-sistemik

dengan lingkungannya. Inilah universalitas yang sebenarnya

dapat dipakai di mana pun di muka bumi. Maka dapat dipahami,

sangat sulit menerapkan konsep arsitektur pernaungan di

belahan bumi sub-tropik empat musim yang hanya

berlingkungan-daun seperempat tahun saja. Arsitektur

pernaungan adalah konsep yang sangat tergantung pada sifat

dan keadaan struktur dan sistem di luar tapak. Ketika keadaan

eksternal berubah, kualitas pernaungan itu pun ikut berubah.

2. Arsitektur Nusantara berkembang dari tradisi berhuni di

lingkungan berpohon-pohon, bukan di lingkungan bergua-gua.

Dua tipologi tradisi berhuni prasejarah itu sudah terbukti secara

arkeologis. Arsitektur Nusantara yang pernaungan ialah hasil

kristalisasi pengalaman empirik selama ribuan tahun. Hampir

(29)

18

tropis lembab, menunjukkan bahwa ruang bersama tempat

kehidupan sosial penuh keakraban bagi masyarakat manusia

tropis lembab adalah pada jalan lingkungan, gang, halaman

bersama, ruang-bersama desa, sekitar pundèn, ruang

antar-émpèran rumah. Singkatnya: ruang-terbuka-bersama. Jika ada

atap, batang-kayu kolom strukturnya tetap memberi karakter

terbuka dan dapat menjalin pertautan spasio-visual dengan

ruang lain. Kolom-kolom rumah panggung berupa garis,

esensinya tak mengkomsumsi ruang; lantai yang didukung

kolom-kolom itu justru memproduksi ruang.

3. Pulau-pulau Arsitektur Bahari yang sangat beragam tak dapat

dipersamakan. Keunikan lokalitas tak kenal jarak, tetapi

ditentukan oleh eksklusifitas jejaring peradaban yang di masa

lalu, terbatasi oleh air laut. Satuan hunian ruang budaya di

Nusantara terbentuk lewat eksklusifitas pulau-pulau. Bagi

masyarakat Arsitektur Nusantara Bahari ada kaitan antara

arsitektur dengan kemajuan teknologinya: mulai dari perahu

bergalah, berdayung, bercadik tunggal atau ganda, kemudian

berkembang dengan layar, hingga perahu Pinisi

2.4. Memahami Unsur-unsur Kearifan Lokal Rumah Tinggal

Menggunakan Pendekatan Tipologi

Tipologi adalah studi tentang tipe untuk membuat

klasifikasi-klasifikasi yang didasarkan pada kesamaan karakter obyek (Pangarsa,

2012). Dalam penelitian arsitektur tradisional, tipologi digunakan sebagai

alat untuk menganalisis obyek. Dengan tipologi suatu obyek arsitektur

dapat dianalisis perubahan-perubahan yang berkaitan dengan bangun

dasar, sifat dasar, serta proses perkembangan bangunan dasar tersebut

(Mochsen, 2005).

Dalam bidang arsitektur terdapat beragam definisi tipologi yang

(30)

19

“Typology is defined as a system of types used toclassify or interpret individuals by creating relationships among type categorie” (Schneekloth, dalam Muchamad, 2010).

“Typology is the comparative study of physical or other characteristics of the built environment into distinct types” (Guney, dalam Muchamad, 2010).

Menurut Mentayani (2010), dalam berbagai bidang ilmu, kata

tipologi memiliki definisi keilmuannya masing-masing. Hal ini bisa

dipahami dari definisi yang ada, yaitu merujuk pada pembagian budaya

menurut suku bangsa, klasifikasi benda menurut karakteristiknya, atau

kajian klasifikasi bahasa menurut fitur strukturnya. Adapun tipe

berdasakan konsep dasar arsitektur merupakan sesuatu yang

berhubungan dengan pembuatan sebuah karya/wujud arsitektur,

pemikiran terhadap sebuah karya arsitektur), dan pengetahuan dibidang

arsitektur. Tipologi digunakan sebagai alat untuk menganalisis objek.

Dengan tipologi suatu objek arsitektur dapat dianalisis

perubahan-perubahan yang berkaitan dengan bangun dasar, sifat dasar, serta

proses perkembangan bangunan dasar tersebut. Selain itu tipologi juga

dapat digunakan untuk menerangkan perubahan-perubahan dari suatu

tipe, karena suatu tipe memiliki ciri-ciri tertentu yang membedakannya

dari tipe yang lain. Oleh karena itu tipologi akan memudahkan mengenali

geometri arsitektur (Purwanto dan Gultom, 2013).

Karen (dalam Mentayani, 2010) mengemukakan bahwa tipe

menyerupai aspek klarifikasi, yaitu menggabungkan karakteristik yang

sama dari kelompok karya akrsitektur tersebut secara detail berbeda

antara satu dengan yang lainnya. Definisi tipe memiliki dua kelompok

konsep utama, yaitu kelompok satu menganggap tipe lain sebagai

properti bentuk geometris, dan kelompok kedua memandang tipe

sebagai atribut bentuk yang berhubungan dan dihubungkan dengan

kegunaan dan perkembangan kesejahteraan. Menurut Vidler (1978),

(31)

elemen-20

elemen untuk mendapatkan klasifikasi organisasi arsitektural melalui

tipe-tipe. Sedangkan Quincy (dalam Mentayani, 2010) menyatakan

tipologi merupakan konsep untuk mendiskripsikan kelompok objek

berdasarkan atas kesamaan sifat-sifat dasar, dengan cara memiliah atau

mengklasifikasikan keragaman bentuk dan kesamaan jenis. Disamping

pengelompokkan berdasarkan bentuk-bentuk dasar, sifat-sifat dasar,

(32)

21

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif, penelitian

deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk

mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah

maupun fenomena buatan manusia. Fenomena itu bisa berupa bentuk,

aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan

antara fenomena yang satu dengan fenomena lainnya (Sukmadinata,

2006). Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang berusaha

mendeskripsikan dan menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi

atau hubungan yang ada, pendapat yang berkembang, proses yang

sedang berlangsung, akibat atau efek yang terjadi, atau tentang

kecenderungan yang tengah berlangsung. Furchan (2004) menjelaskan

bahwa penelitian deskriptif adalah penelitian yang dirancang untuk

memperoleh informasi tentang status suatu gejala saat penelitian

dilakukan. Lebih lanjut dijelaskan, dalam penelitian deskriptif tidak ada

perlakuan yang diberikan atau dikendalikan serta tidak ada uji hipotesis

sebagaimana yang terdapat pada penelitian eksperiman.

Penggunaan metode deskriptif menjadi relevan dalam penelitian

ini karena berkitan dengan upaya mendekskripsikan karakteritistik

arsitektur nusantara pada rumah tinggal yang terdapat di wilayah

kabupaten Sukamara (Purwanto, 2012a).

3.1. Pemilihan Objek Penelitian

Pemilihan objek penelitian berupa karakteristik arsitektur

nusantara pada rumah tinggal di wilayah kabupaten Sukamara

didasarkan pada keunikan bentuk dan tata ruang, penggunaan matrial,

(33)

22

Sedangkan wilayah teritorial yang membatasi penelitian ini adalah

wilayah kabupaten Sukamara yang mempunyai batas-batas wilayah :

- Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Lamandau.

- Sebelah Barat berbatasan dengan Propinsi Kalimantan Barat.

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Jawa.

- Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Kotawaringin

Barat dan Kabupaten Lamandau

Kabupaten Sukamara terdiri dari 5 kecamatan dan 3 kelurahan

serta 29 desa (Gambar 2).

3.2. Penentuan Populasi dan Sampel Penelitian

Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode

sampling area, merupakan teknik sampling area yang digunakan untuk

menentukan sampel bila objek yang akan diteliti atau sumber data

sangat luas. Dengan kata lain bahwa populasi penelitian merupakan

populasi area. Populasi yang berada pada wilayah yang luas dibagi

menjadi wilayah-wilayah kecil yang jelas batas-batasnya. Misalnya

sampel yang terdapat dalam sebuah wilayah kabupaten. Sampel dapat

dipilih dalam wilayah kecamatan atau beberapa desa/kelurahan dalam

wilayah kecamatan tersebut (Martono, 2010; Bungin, 2006). Teknik

sampling area membutuhkan peta atau potret udara yang mempunyai

petunjuk jelas tentang batas-batas wilayahnya misal batas fisik (sungai,

jalan) atau batas administratif wilayah (kecamatan, kelurahan/desa).

Pengambilan sampel dalam penelitian ini mempertimbangkan

asas homogenitas populasi, oleh karena itu pengambilan sampel

menggunakan teknik random (acak) yaitu memberikan peluang yang

sama bagi setiap unsur populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel

(34)

23

(35)

24

Dalam penelitian ini, penentuan sampel didasarkan pada

populasi rumah tinggal yang terdapat di masing-masing unit wilayah

terkecil yaitu desa/kelurahan (Tabel 1 dan Tabel 2). Penentuan sampel

juga mempertimbangkan kondisi geografis masing-masing wilayah

kecamatan dengan asumsi/dugaan bahwa masing-masing wilayah

mempunyai karakteristik yang berbeda. Di kabupaten Sukamara

terdapat lima kecamatan dengan kondisi geografis yang berbeda.

Kecamatan Balai Riam dan Permata Kecubung berada di wilayah

dengan kelerengan 2 – 15% dan 15 – 40%, kecamatan Sukamara

berada di wilayah dengan kelerengan 2 – 15%, serta kecamatan Pantai

Lunci dan Jelai berada di wilayah dengan kelerengan 0 – 2%.

Berdasarkan uraian tersebut jelas bahwa di wilayah kabupaten

Sukamara terdapat tiga kelompok wilayah kecamatan berdasarkan

kondisi geografisnya.

Jumlah populasi rumah di kabupaten Sukamara pada tahun

2014 sebanyak 11.645 unit.

Tabel 1. Jumlah Rumah Tiap Kecamatan di Kabupaten Sukamara

No. Kecamatan Jumlah Rumah (unit)

1 Jelai 1.342

Sumber Data Base Perumahan dan Kawasan Permukiman Kabupaten Sukamara, 2014).

Kriteria jenis rumah yang dijadikan sampel adalah yang berciri

tradisional. Adapun ciri-ciri dimaksud adalah mempunyai desain yang

mengadopsi iklim tropis, diutamakan berkonstruksi panggung/kolong,

(36)

25

perdesaan mengingat rumah dengan ciri tradisional masih banyak

dijumpai di wilayah perdesaan. Pertimbangan lain yang digunakan

adalah persoalan wilayah penelitian yang sangat luas, jarak antar

kecamatan yang saling berjauhan. Berdasarkan

pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka pengambilan sampel dilakukan secara

proporsional berdasarkan jumlah rumah tiap-tiap kecamatan dan desa.

Tabel 2. Jumlah Sampel Berdasarkan Desa/Kelurahan

(37)

26

3.3. Metode Pengumpulan Data dan Analisis

3.3.1. Metode Pengumpulan Data

Data yang dibutuhkan kaitannya dengan unsur-unsur kearifan

lokal rumah tinggal sebagai pengejawantahan arsitektur nusantara di

kabupaten Sukamara berkaitan dengan bentuk dan tata ruang,

penggunaan matrial, dan keinginan masyarakat untuk beradaptasi

dengan lingkungannya

Teknik wawancara terbuka yang mendalam dilakukan terhadap

responden, penelitian ini juga akan melihat relevansi informasi yang

diberikan dengan kondisi lingkungan di sekitarnya, keberadaan

rumah-rumah tinggal dan sejarah rumah-rumah (Satori dan Komariah dalam

Rumiawati dan Prasetyo, 2013). Informasi yang diberikan oleh

narasumber divalidasi dengan informasi narasumer lain yang ditemui

dilapangan, seperti tokoh masyarakat, pemilik rumah atau penyewa

rumah. Pengumpulan data rumah tinggal secara fisik dilakukan dengan

melakukan pengukuran dan perekaman, sedangkan data sekunder

diperoleh melalui studi literatur, jurnal dan penelitian yang serupa.

3.3.2. Metode Analisis Data

Analisis data dilakukan melalui pendekatan diskriptif-kualitatif,

dengan teknik kategorisasi yaitu mengelompokkan data/informasi

sejenis keludian dilakukan intepretasi. Kondisi temuan dilapangan

dianalisis berdasarkan hasil interpretasi peneliti terhadap kondisi

eksisting rumah tinggal yang dijadikan sampel penelitian. Sedangkan

untuk aspek perubahan pada rumah tinggal, analisis yang akan

dilakukan adalah menyandingkan antara hasil survei yang ditemukan di

lapangan dengan gambaran kondisi arsitektur rumah tinggal

(38)

27

BAB IV

PROFIL KABUPATEN SUKAMARA

4.1. Gambaran Umum Kabupaten Sukamara

4.1.1. Kondisi Geografis dan Fisik Dasar

Berdasarkan RTRW Kabupaten Sukamara (2012), kabupaten

Sukamara merupakan salah satu kabupaten di wilayah Provinsi

Kalimantan Tengah sebagai wilayah pemekaran dari Kabupaten

Kotawaringin Barat yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor

5 Tahun 2002 tentang Pemekaran Wilayah. Berdasarkan Peraturan

daerah Kabupaten Sukamara Nomor 1 Tahun 2003 tentang

Pembentukan Kabupaten Sukamara dan ditetapkan tanggal 2 Juli 2003

sebagai Hari Jadi Kabupaten Sukamara dengan Ibukota di Sukamara.

Luas wilayah Kabupaten Sukamara adalah 3.827 Km2 kurang lebih 2%

dari wilayah Provinsi Kalimantan Tengah, yang terdiri dari hutan, rawa,

sungai, danau, genangan air dan pantai, teletak antara 110°25’26”

sampai 111°09’50” Bujur Timur dan antara 2°19’35” sampai 3°07’00”

Lintang Selatan dengan batas-batas sebagai berikut :

- Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Lamandau.

- Sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Barat.

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Jawa.

- Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Kotawaringin

Barat dan Kabupaten Lamandau (Gambar 3)

Ketinggian dari permukaan air laut pada wilayah Kabupaten

Sukamara berkisar antara 0 sampai dengan 100 meter yang

menunjukkan bahwa Kabupaten Sukamara merupakan daerah pada

kawasan rendah. Hal ini dikarenakan wilayah Kabupaten Sukamara

khususnya kecamatan Jelai, Pantai Lunci dan kecamatan Sukamara

(39)

28

Gambar 3. Letak Kabupaten Sukamara dalam Wilayah Provinsi Kalimantan Tengah

Sumber: RTRW Provinsi Kalimantan Tengah, 2014

Secara administrasi Pemerintahan Kabupaten Sukamara terdiri

dari 5 (lima) Kecamatan, yaitu : Kecamatan Sukamara, Kecamatan Jelai,

Kecamatan Balai Riam, Kecamatan Pantai Lunci (diresmikan tanggal 15

Juni 2006) dan Kecamatan Permata Kecubung (diresmikan tanggal 17

Juni 2006). Kecamatan Pantai Lunci dan Kecamatan Permata Kecubung

merupakan kecamatan baru sesuai Perda Kabupaten Sukamara Nomor

: 03 Tahun 2006 tanggal 12 April 2006 tentang pembentukan Kecamatan

Permata Kecubung dan Pantai Lunci yang selanjutnya diundangkan

pada tanggal 05 Mei 2006. Wilayah Kecamatan terbagi menjadi 3

(40)

29

Gambar 4. Peta Administrasi Kabupaten Sukamara Sumber: Data Base PKP Kabupaten Sukamara, 2014

Posisi kabupaten Sukamara yang berhadapan langsung dengan

(41)

30

Kabupaten Kotawaringin Barat dan Kabupaten Lamandau mempunyai

kedudukan yang sangat strategis untuk berinteraksi dalam kegiatan

perekonomian dimasa yang akan datang. Kabupaten Sukamara dengan

potensi bahan baku yang melimpah mempunyai peluang yang besar

untuk dikembangkan menjadi industri pengolahan. Sedangkan dengan

Pulau Jawa yang lokasinya relatif dekat dengan Kabupaten Sukamara

yang berpenduduk sangar besar merupakan sumber penting dalam

pemenuhan tenaga kerja. Struktur perekonomian Kabupaten Sukamara

saat ini masih didominasi sektor pertanian dengan kontribusi sebesar

74,51% sedangkan sisanya adalah sektor jasa, pertambangan dan

industri.

Kabupaten Sukamara secara umum termasuk daerah beriklim

tropis yang dipengaruhi oleh musim- kemarau yang terjadi bulan juni Kabupaten Sukamara digolongkan menjadi 4 bagian, yaitu : dataran,

daerah datar- berombak, daerah berombak berbukit dan daerah

berbukit-bukit, dengan ketinggian wilayah berada pada ketinggian 0 -

lebih 100m dpl. Berdasarkan hidrologinya Kabupaten Sukamara memiliki

2 daerah aliran sungai (DAS), yaitu : DAS Jelai dan DAS Mapam,

dengan 22 anak sungai (sumber: RTRW Kabupaten Sukamara, 2012).

Pembagian administrasi dan luas masing-masing daerah yang

ada di Kabupaten Sukamara lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3

(42)

31

Tabel 3. Luas Wilayah Kabupaten Sukamara Dirinci Tiap Kecamatan Tahun 2012

Sumber: Kabupaten Sukamara Dalam Angka 2014

4.1.2. Kondisi Sumber Daya Alam

Sumberdaya alam yang terdapat di Kabupaten Sukamara

sebagian besar adalah hutan, bahan tambang, disamping itu juga

mempunyai potensi sumberdaya laut, sungai, obyek wisata serta

sumberdaya lahan yang sesuai untuk dimanfaatkan bagi budidaya

pertanian dan perkebunan serta peternakan.

a. Kemiringan Lahan

1. Kecamatan Jelai

Sebagian besar wilayah ini memiliki wilayah potensi sekitar

20,8 % dari luas wilayah kabupaten Sukamara, 0% wilayah

kendala, dan 0 % merupakan wilayah limitasi.

2. Kecamatan Pantai Lunci

Wilayah kecamatan ini memiliki 21,0 % dari luas wilayah

merupakan wilayah potensi, 0 % merupakan wilayah

limitasi, wilayah kendala yaitu 0 %.

3. Kecamatan Sukamara

Wilayah potensi yang terdapat di wilayah ini sebesar 25,07

%, wilayah kendala 1,8 % dan wilayah limitasi sebesar 0 %

4. Kecamatan Balai Riam

Wilayah Balai Riam memiliki wilayah potensi 4,52 % dari

(43)

32 5. Kecamatan Permata Kecubung

Wilayah Kecamatan Permata Kecubung wilayah potensi 1,3

%, wilayah kendala 15,9 %, dan wilayah limitasi sebesar 0,6

%.

b. Topografi

Wilayah Kabupaten Sukamara mempunyai profil wilayah secara

topografi cukup beragam, sebelah selatan yaitu di Kecamatan

Jelai dan Pantai Lunci, kelas kemiringan lahannya berada pada

interval 0 – 2% dengan klasifikasi datar. Di bagian tengah, yaitu

Kecamatan Sukamara didominasi kelas kemiringan lahan 2 –

15%, agak landai – landai. Kecamatan Balai Riam dan Permata

Kecubung mempunyai kelas kemiringan lahan yang berada

pada interval 2 – 15% dan 15 – 40%, dengan kelas agak landai

– landai sampai agak curam – curam (Tabel 4).

Tabel 4.Topografi Kabupaten Sukamara

No. Kecamatan Kemiringan Lahan Luas

0-2 2-8 9-15 16-25 >60 Km2 (%)

Sumber: Kabupaten Sukamara dalam angka 2014

c. Jenis Tanah

Untuk jenis tanah yang terdapat di Kabupaten Sukamara terdiri

dari 5 ordo tanah, yaitu Histosol, Entisol, Inceptisol, Ultisol, dan

Spodosol. Potensi air tanah di Kabupaten Sukamara dibagi 3

(44)

33

1) Potensi air tanah sangat tinggi, umumnya terletak pada

daerah sepanjang sungai besar yaitu : Sungai Jelai. Potensi

air yang besar ini terletak dari bantaran sungai sampai

beberapa kilometer dari bantaran sungai kebagian Barat

dan Timur.

2) Potensi air tanah tinggi, yang terdapat setelah daerah

potensi air tanah sangat tinggi berangsur-angsur potensi air

tanah berkurang sampai potensi air tanah yang tinggi.

3) Potensi air tanah rendah dimana merupakan daerah yang

agak menjauhi sungai-sungai besar.

d. Geomorfologi

Pesisir Kabupaten Sukamara secara fisiografis tidak terlalu

banyak variasi. pesisir Kabupan Sukamara termasuk dalam

satuan Dataran Rendah Kalimantan Tengah (Central Kalimantan

Lowland) (RePPProT, 1987). Elevasi ketinggian 0 hingga 25

meter, kemiringan lereng 0 – 8 %. Batuan penyusun dominan

endapan-endapan aluvium dan rawa.

e. Litologi

Litologi yang berada di wilayah pesisir Kabupaten Sukamara

terdiri dari endapan aluvial, dan rawa (Qa dan Qs) yang tersebar

di pantai Sukamara.

f. Geologi

Proses geologi yang terdapat di daerah studi adalah sedimentasi

atau pengendapan, dapat terlihat jelas pada citra satelit,

sehingga akhirnya mengakibatkan garis pantai bertambah

terutama pada delta-delta sungai. Hal ini juga ditandai oleh

adanya perubahan pematang pantai yang makin bertambah

kearah hutan, terdapat di sepanjang pantai terutama disekitar

muara Sungai Jelai. Indstrusi air asin terutama pada morfologi

(45)

34

Satuan geologi lingkungan merupakan perpaduan dari

parameter struktur, litologi, morfologi dan proses geologi yang

terjadi disekitar pesisir. Satuan geologi lingkungan pesisir

Kabupaten Sukamara adalah pedataran, endapan aluvial dan

rawa, secara lokal ditempat limpasan banjir, jenis pantai relief

rendah, relatif lurus dari Desa Sungai Baru sampai Desa Sungai

Pasir. Karakteristik garis pantai terdiri dari pantai berpasir,

kuarsa (silika), lanau dan secara lokal di tempat endapan lumpur

rawa, proses sedimentasi terdapat di sekitar muara Sungai Jelai.

4.1.4. Kondisi Rawan Bencana

Bencana alam yang terjadi di Kabupaten Sukamara pada

umumnya adalah abrasi pantai, rawan gelombang pasang, banjir dan

kebakaran lahan. Bencana alam yang berpotensi timbul di Kabupaten

Sukamara antara lain :

a. Kawasan Gelombang Pasang dan Abrasi Pantai

Gelombang pasang dan abrasi pantai berpotensi terjadi di

sepanjang pantai yang meliputi daerah pesisir pantai Kecamatan

Jelai dan Kecamatan Pantai Lunci.

b. Kawasan Rawan Banjir

Sebagai akibat luapan air terjadi pada sungai-sungai besar,

diantaranya adalah Kawasan sepanjang aliran Sungai Jelai di

Kecamatan Sukamara, Kecamatan Pantai Lunci dan Kecamatan

Jelai.

c. Kebakaran Lahan

Kebakaran lahan juga merupakan salah satu bencana yang

rawan terjadi di wilayah Kabupaten Sukamara. Kebakaran lahan

ini berasal dari pembakaran lahan dalam skala kecil oleh para

petani tradisional. Perladangan berpindah seringkali menjadi

(46)

35 4.1.5. Profil Penggunaan Lahan

Secara umum penggunaan lahan di Kabupaten Sukamara

didominasi oleh kawasan hutan yang meliputi hutan produksi, hutan

produksi terbatas dan kawasan marga satwa, selain itu penggunaan

tanah juga didominasi oleh kegiatan perkebunan tanaman lahan kering.

Bia dikaitkan dengan Kecamatan Sukamara jenis penggunaan lahan

yang dominan yaitu pada kegiatan perkebunan khususnya pada

perkebunan lahan basah dan perkebunan lahan kering, sedangkan

untuk fungsi-fungsi lainnya seperti kawasan permukiman tidak terlalu

menonjol penggunaannya karena cukup luasnya kawasan administrasi

sehingga untuk pengembangannya kedepan sangat memungkinkan

mengarah kebeberapa arah perkotaan. Kedepan konsep penggunaan

lahan di kabupaten Sukamara bertujuan menciptakan pola pemanfaatan

lahan yang terintegrasi untuk mengakomodasi keberlangsungan

berbagai kegiatan penduduk yang saling terkait secara fungsional antar

kawasan, yang pada akhirnya menciptakan keserasan satu fungsi

kegiatan dengan kegiatan lainnya degan tetap menjaga kelestarian

lingkungan.

Sistem lahan di Kabupaten Sukamara pada umumnya masih

bervariasi dan menunjukan proporsi yang hampir seimbang antara

sistem lahan sesuai dan tidak sesuai. Sistem lahan yang ada meliputi

Dilihat dari penyebarannya sistem lahan yang sesuai untuk kegiatan

budidaya pertanian dan perkebunan terdapat secara merata di seluruh

wilayah kabupaten.

Dengan kondisi yang ada di Kabupaten Sukamara terdapat

potensi dan permasalahan serta peluang pengembangannya dijabarkan

sebagai berikut:

Potensi :

Kabupaten Sukamara Memiliki kemiringan lahan yang relatif

landai, dengan kemiringan lahan berkisar antara 0-15 %

(47)

36

kesesuaian wilayah yang cocok untuk dikembangkan bagi

berbagai kegiatan,  Permasalahan:

Permasalahan yang terdapat di Kabupaten Sukamara dengan

memiliki kemiringan lahan yang relatif datar, hal ini disebabkan

oleh keberadaan kemiringan lahan yang terdapat di jenis tanah

SGT (teras-teras berpasir, tekstur terdiri dari fraksi-fraksi kasar,

merupakan dataran aluvium yang telah berkembang lanjut).

Kondisi inilah yang menjadi permasalahan yang mengakibatkan

tidak sesuainya jenis tanaman padi sawah dan tanaman

tahuhan.  Peluang:

Dengan kondisi yang di kemukakan diatas maka di Kabupaten

Sukamara Kondisi ini memiliki kesesuaian wilayah yang cocok

untuk dikembangkan bagi berbagai kegiatan.

4.1.6. Profil Kependudukan dan Sosial Budaya

Kependudukan atau komposisi penduduk merupakan faktor

utama dalam setiap perencanaan, karena dalam pengembangan baik

perubahan jumlah maupun tingkah laku penduduk merupakan bagian

pokok dari perencanaan wilayah. Aspek penduduk yang ditinjau meliputi

penyebaran dan kepadatan penduduk, struktur penduduk menurut umur

dan jenis kelamin, struktur penduduk menurut agama serta struktur

penduduk menurut mata pencaharian.

Pesebaran Penduduk pada tahun 2014 penduduk Sukamara

mencapai 47.073 jiwa. Penduduk ini tersebar ke lima kecamatan, yaitu

Kecamatan Jelai sebesar 4.503 jiwa (9,56%), Pantai Lunci sebesar

4.945 jiwa (10,50%), Sukamara sebesar 20.810 jiwa (44,21%), Balai

Riam sebesar 6.918 jiwa (14,69%), dan Permata Kecubung sebesar

Gambar

Gambar 1. Kerangka Kebudayaan Sumber: Koentjaraningrat, 2003
Gambar 2. Batas Wilayah Penelitian
Tabel 2. Jumlah Sampel Berdasarkan Desa/Kelurahan
Gambar 3. Letak Kabupaten Sukamara dalam Wilayah Provinsi  Kalimantan Tengah
+7

Referensi

Dokumen terkait