ii
KEARIFAN LOKAL RUMAH TINGGAL
SEBAGAI PENGEJAWANTAHAN
ARSITEKTUR NUSANTARA
DI KABUPATEN SUKAMARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH
Edi Purwanto Helwin Apriyanto
Yarjani
Dicetak dan Diterbitkan Oleh:
iii
KEARIFAN LOKAL RUMAH TINGGAL
SEBAGAI PENGEJAWANTAHAN ARSITEKTUR NUSANTARA DI KABUPATEN SUKAMARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH
Edi Purwanto Helwin Apriyanto
Yarjani
UNDIP Press, Semarang 2016 vii; 81; 15,5cm x 23cm
ISBN : 978-979.097.440.1
Cetakan Pertama : September 2016
Perupa Sampul : Edi Purwanto
Copyright© UNDIP Press Semarang
i
KATA PENGANTAR
Buku monograf ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan
pada tahun 2014 ketika penulis menjadi narasumber penyusunan
pekerjaan Database Perumahan dan Kawasan Permukiman Kabupaten
Sukamara. Pekerjaan ini berasal dari Bidang Perumahan Dinas
Pekerjaan Umum Provinsi Kalimantan Tengah.
Pada saat menjadi narasumber, penulis menangkap peluang
untuk sekaligus meneliti potensi arsitektur rumah tinggal yang berada di
kabupaten Sukamara. Dengan memanfaatkan sumberdaya manusia
yang ada, proses pengumpulan data berjalan selama kurang lebih 3
bulan mencakup 5 wilayah kecamatan terdiri dari 29 wilayah desa dan 3
kelurahan.
Peneliti melihat potensi arsitektur rumah tinggal yang sangat
besar, didalamnya mengandung unsur-unsur kearifan lokal yang sangat
luar biasa. Unsur-unsur tersebut diyakini merupakan pengejawantahan
dari arsitektur nusantara, yaitu arsitektur yang lahir dan berciri pada
kondisi dan situasi ke-nusantara-an Indonesia.
Penulis berharap penyusunan buku ini, yang sudah berselang 2
tahun sejak selesainya kegiatan penelitian akan memberikan manfaat
pengetahuan kepada khalayak yang tertarik untuk membaca, termasuk
mahasiswa dan dosen arsitektur, pemerhati arsitektur tradisional, atau
dinas/instansi yang terkait dengan bidang perumahan dan
pelestariannya.
Penulis menganggap buku ini masih banyak kekurangan yang
perlu disempurnakan, oleh karena itu kami berharap ada kritik atau
masukan agar buku ini menjadi lebih baik lagi.
Semarang, September 2016
ii
UCAPAN TERIMA KASIH
Penyusunan buku ini telah melewati proses yang cukup
panjang, oleh karena itu keberhasilan dalam penyusunan buku ini bukan
hanya dilakukan oleh penulis saja, namun juga berbagai pihak terutama
yang terlibat langsung dalam kegiatan penelitian ini. Beberapa nama
ingin penulis sebutkan di bawah ini sebagai ungkapan rasa terima kasih
yang sangat mendalam sehingga buku ini dapat diselesaikan dengan
baik.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi terutama Kepala
Bidang Perumahan Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Kalimantan Tengah
Ibu Yanawati, ST, Kepala Seksi Perumahan Dinas Pekerjaan Umum
Kabupaten Sukamara bapak Tober Riyanto, ST. Demikian pula kepada
Tim Konsultan CV. Andal Cendanaka Palangkaraya dan beberapa
mahasiswa dari Jurusan Teknis Sipil Universitas Antakusuma Pangkalan
Bun yang telah bekerjasama terutama dalam proses pengumpulan data
rumah tinggal di kabupaten Sukamara.
Ucapan terima kasih juga diberikan kepada Ketua Departemen
Arsitektur FT UNDIP bapak Edward Endrianto Pandelaki, ST,MT,PhD
yang telah memberikan kesempatan dan pemberian fasilitas dalam
penyusunan buku ini, termasuk rekan-rekan staf Pengajar Jurusan
Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, khususnya yang
berada di Laboratorium Desain Kawasan Binaan atas dorongan dan
semangatnya.
Semarang, September 2016
iii
DAFTAR ISI
PENGANTAR i
UCAPAN TERIMA KASIH ii
DAFTAR ISI iii
1.4. Lingkup dan Batasan Penelitian 4
BAB II
KAJIAN PUSTAKA 5
2.1. Lingkungan Fisik Perumahan dan Pola Aktifitas Manusia sebagai Perwujudan Nilai-nilai dan Sistem Budaya 5 2.2. Kearifan Lokal dan Arsitektur Nusantara 8
2.2.1. Pengertian Kearifan Lokal 8
2.2.2. Elemen Manusia Beserta Pola Pikirnya
dalam Membentuk Arsitektur Nusantara 10 2.2.3. Relasi Kearifan Lokal dan Kondisi Alam Nusantara 11
2.3. Tentang Arsitektur Nusantara 14
2.4. Memahami Unsur-unsur Kearifan Lokal Rumah
Tinggal Menggunakan Pendekatan Tipologi 18
BAB III
METODE PENELITIAN 21
3.1. Pemilihan Objek Penelitian 21
3.2. Penentuan Populasi dan Sampel Penelitian 22 3.3. Metode Pengumpulan Data dan Analisis 26
3.3.1. Metode Pengumpulan Data 26
3.3.2. Metode Analisis Data 26
BAB IV
PROFIL KABUPATEN SUKAMARA 27
4.1. Gambaran Umum Kabupaten Sukamara 27 4.1.1. Kondisi Geografis dan Fisik Dasar 27
4.1.2. Kondisi Sumber Daya Alam 31
4.1.3. Kondisi Rawan Bencana 34
4.1.4. Profil Penggunaan Lahan 35
iv
4.2.1. Rumah Berdasarkan Fungsinya 39
4.2.2. Rumah Berdasarkan Tipenya 40
4.2.3. Rumah Berdasarkan Jenis Bangunannya 42 4.2.4. Rumah Berdasarkan Jenis Fisik Bangunannya 44 4.2.5. Rumah Berdasarkan Kelengkapannya 46 4.2.6. Rumah Berdasarkan Jumlah Lantai Bangunan 48 4.2.7. Rumah berdasarkan Jumlah Kepala Keluarga 49 4.2.8. Rumah Berdasarkan Kondisi Fisik Bangunan 50 4.2.9. Perumahan dan Kawasan Permukiman
Rawan Bencana (Negative List) 53 BAB V
TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 55
5.1. Karakteristik Rumah Tinggal di Kabupaten Sukamara 55 5.1.1. Gambaran Umum Objek Penelitian 55
5.1.2. Berciri Panggung/Kolong 61
5.1.3. Beratap dengan Teritisan Lebar 62 5.1.4. Menggunakan Bahan Bangunan Alam 63 5.2. Unsur-Unsur Kearifan Lokal Rumah Tinggal
Sebagai Pengejawantahan Arsitektur Nusantara 64 5.2.1. Arsitektur Panggung/Kolong 64
5.2.2. Arsitektur Teduhan 66
5.2.3. Tektonika Rerangka 68
5.2.4. Tektonika Tirai 69
5.2.5. Arsitektur Hijau 71
5.2.6. Arsitektur yang Bernafas 73
5.3. Arsitektur Nusantara Menerima Teknologi Modern 73 5.4. Arsitektur Nusantara: Tradisi Tanpa Tulisan 75
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN 76
6.1. Kesimpulan 76
6.2. Saran 77
DAFTAR PUSTAKA 78
v
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Jumlah Rumah Tiap Kecamatan di Kabupaten Sukamara 24 Tabel 2. Jumlah Sampel Berdasarkan Desa/Kelurahan 25 Tabel 3. Luas Wilayah Kabupaten Sukamara
Dirinci Tiap Kecamatan Tahun 2014 31 Tabel 4. Topografi Kabupaten Sukamara 32 Tabel 5. Jumlah penduduk menurut jenis Kelamin
Kabupaten Sukamara Tahun 2014 38
Tabel 6. Jumlah Rumah Menurut Fungsi Rumah
Tiap Kecamatan Kabupaten Sukamara 39 Tabel 7. Jumlah Rumah Berdasarkan Tipenya 41 Tabel 8. Jumlah Rumah Berdasarkan Jenis Bangunannya 43 Tabel 9. Jumlah Rumah Berdasarkan Jenis Fisik Bangunannya 45 Tabel 10. Jumlah Rumah Berdasarkan Kelengkapannya 47 Tabel 11. Jumlah Rumah Berdasarkan Jumlah Lantai Bangunan 48 Tabel 12. Jumlah Rumah Berdasarkan Jumlah Kepala Keluarga 49 Tabel 13. Jumlah Rumah Berdasarkan Kondisi Fisik Bangunan 52 Tabel 14. Jumlah Sampel Berdasarkan
Proporsi Populasi Tiap Kecamatan 55 Tabel 15. Jumlah Rumah Ciri Panggung/Kolong Berdasarkan
Jumlah Sampel Tiap Kecamatan 61
Tabel 16. Jumlah Rumah Ciri Atap dengan Teritisan Lebar
Berdasarkan Jumlah Sampel Tiap Kecamatan 62 Tabel 17. Jumlah Rumah Berbahan Bangunan Alam
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka Kebudayaan 5
Gambar 2. Batas Wilayah Penelitian 23
Gambar 3. Letak Kabupaten Sukamara dalam
Wilayah Provinsi Kalimantan Tengah 28 Gambar 4. Peta Administrasi Kabupaten Sukamara 29 Gambar 5. Proporsi Penduduk Menurut Kecamatan 37 Gambar 6. Kepadatan Penduduk di Kabupaten Sukamara 38 Gambar 7. Contoh Rumah Dengan Fungsi Campuran 39 Gambar 8. Grafik Jumlah Rumah Berdasarkan Fungsinya 40 Gambar 9. Contoh Rumah Mewah, Menengah, dan Sederhana 41 Gambar 10. Grafik Jumlah Rumah Berdasarkan Tipenya 42 Gambar 11. Contoh Rumah Permanen, Semi Permanen
dan Tidak Permanen 43
Gambar 12. Grafik Jumlah Rumah Berdasarkan Jenis Bangunannya 44 Gambar 13. Contoh Rumah Berdasarkan Jenis Fisik Bangunannya 45 Gambar 14. Grafik Jumlah Rumah Berdasarkan
Jenis Fisik Bangunannya 46
Gambar 15. Grafik Jumlah Rumah Berdasarkan Kelengkapannya 47 Gambar 16. Contoh Rumah Berdasarkan Jumlah Lantai Bangunan 48 Gambar 17. Grafik Jumlah Rumah
Berdasarkan Jumlah Lantai Bangunan 49 Gambar 18. Jumlah Rumah Berdasarkan Jumlah Kepala Keluarga 50 Gambar 19. Contoh rumah kondisi rusak berat 51 Gambar 20. Grafik Jumlah Rumah Berdasarkan
Kondisi Fisik Bangunan 52
Gambar 21. Peta Kawasan Permukiman
Rawan Bencana Kabupaten Sukamara 54 Gambar 22. Proporsi Jumlah Sampel Berdasarkan
Populasi Masing-masing Kecamatan 55 Gambar 23. Tipologi Rumah Tinggal di Kecamatan Jelai 56 Gambar 24. Tipologi Rumah Tinggal di Kecamatan Pantai Lunci 57 Gambar 25. Tipologi Rumah Tinggal di Kecamatan Sukamara 58 Gambar 26. Tipologi Rumah Tinggal di Kecamatan Balai Riam 59 Gambar 27. Tipologi Rumah Tinggal
di Kecamatan Permata Kecubung 60
Gambar 28. Proporsi Rumah Ciri Panggung/Kolong
Berdasarkan Jumlah Sampel Tiap Kecamatan 61 Gambar 29. Proporsi Rumah Ciri Atap dengan Teritisan Lebar
Berdasarkan Jumlah Sampel Tiap Kecamatan 62 Gambar 30. Proporsi Jumlah Rumah Berbahan Bangunan Alam
vii
Gambar 32. Arsitektur panggung rumah tinggal di tepi sungai 66 Gambar 33. Arsitektur teduhan diejawantahkan dalam bentuk
pelana bersudut miring curam dan berteritis lebar 67 Gambar 34. Sistem konstruksi (tektonika) sambungan
(pasak-lubang dan pen-lubang) 69
Gambar 35. Tata susunan kayu pada dinding arah luar (gambar atas) dan dinding arah dalam
(gambar bawah) memungkinkan sirkulasi udara 70 Gambar 36. Arsitektur hijau rumah tinggal yang diwujudkan
dalam penggunaan material kayu untuk kolom,
dinding, dan atap 72
Gambar 37. Kombinasi Gagasan Modern Dengan Gagasan Arsitektur Klasik Untuk Mencapai Suatu Karya
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kearifan lokal diterjemahkan sebagai kecerdasan/pengetahuan
setempat atau pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai
strategi kehidupan yang berwujud aktivitas masyarakat lokal (adat,
agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, bahasa
dan komunikasi, serta kesenian) dalam menjawab berbagai masalah
untuk mempertahankan, memperbaiki, mengembangkan unsur
kebutuhan mereka, dengan memperhatikan ekosistem serta
sumberdaya manusia yang terdapat pada warga mereka sendiri
(Hermana dalam Diem, 2012). Kearifan lokal telah menjadi
tradisi-fisik-budaya, dan secara turun-temurun menjadi dasar dalam membentuk
bangunan rumah tinggal dan lingkungannya, yang diwujudkan dalam
sebuah warisan budaya.
Rumah tinggal merupakan tempat bernaung, tempat kembali
semua insan sehingga rumah merupakan kebutuhan pokok bagi setiap
umat manusia. Hidup dengan tidak merusak dan selaras dengan alam
merupakan hal yang selalu dilakukan dalam menjalani kehidupan
sehari-hari. Mereka memuliakan dan menghargai alam dengan tetap
memanfaatkan alam. Bagi mereka, alam bukan sekedar obyek untuk
dieksploitasi, namun mempunyai arti sebagai mitra kehidupan umat
manusia yang sejajar karena antara manusia dengan alam memiliki sifat
saling ketergantungan. Menjaga alam dari kerusakan dilakukan oleh
masyarakat melalui berbagai pamali atau pantang larang (Hermawan,
2014).
Dalam konteks rumah tinggal, kearifan lokal yang menyertai
proses pembangunan rumah sudah mengatur harmonisasi antara
2
kemampuan alam. Harmonisasi dicapai oleh masyarakat tradisional
dengan terlebih dahulu mengenal dan memahami dengan baik kondisi
lingkungannya. Masyarakat tradisional sangat menguasai konsep
ekologi dimana mereka hidup. Mereka mengetahui dengan baik interaksi
antara makhuk hidup dengan lingkungan biotik dan abiotiknya, sehingga
tercipta kehidupan yang seimbang, serasi dan selaras (Frick dan
Suskiyatno 1998).
Kearifan lokal pada rumah tinggal pada dasarnya adalah segala
upaya bagaimana merancang arsitektur yang berbasis kepada tema
identitas dan jatidiri dengan cara menuntut penggalian dan penemuan
kembali secara intensif dan ekstensif tentang kekhasan, kekhususan
keunikan dan karakter yang spesifik yang menjiwai suatu produk
arsitektur tertentu yang membedakannya secara bermakna dengan
arsitektur lain. Kearifan lokal dalam tata cara hidup, perilaku, kebiasaan
dan adat istiadat yang telah menciptakan jatidiri masyarakat setempat
harus menjadi landasan utama dalam desain arsitektur, tidak boleh
dikendalikan dengan instruksi dan doktrin secara paksa dan pukul rata
(serba sama), karena dengan demikian jiwa dan semangat suatu tempat
akan sirna (Purwanto, 2009a).
Tipologi rumah tinggal yang terdapat di wilayah kabupaten
Sukamara sangat dipengaruhi oleh suku budaya masyarakat setempat.
Pada awalnya terdapat tiga suku yang berada di wilayah ini, yaitu Suku
Melayu, Dayak Darat, dan Banjar (sumber: RTRW Kabupaten
Sukamara). Namun setelah pemerintah membuka program transmigrasi
pada tahun 1970an, terdapat satu suku lagi yaitu suku Jawa yang
sebagian besar bermukim di wilayah kecamatan Balai Riam dan
Permata Kecubung. Secara umum tipologi rumah tinggalnya didominasi
oleh rumah panggung dengan material dari kayu Kalimantan yang pada
saat itu melimpah jumlahnya. Bentuk rumah panggung dengan bahan
bangunan kayu tidak hanya dijumpai di permukiman tepi sungai, namun
3
merupakan salah satu bentuk kearifan lokal yang bisa dibanggakan
sebagai salah satu produk budaya masyarakat Indonesia. Bentuk rumah
ini merupakan hasil adaptasi masyarakat terhadap lingkungan alam. Jika
dilihat pada aspek fungsinya, rumah panggung yang berada di tepi
sungai mencoba beradaptasi dengan kondisi lingkungan, sehingga
apabila terjadi kenaikan permukaan sungai, maka rumah panggung
tersebut masih terlindungi dari ancaman masuknya air ke dalam rumah
(Purwanto et al, 2014).
1.2. Rumusan Masalah
Penelitian dengan judul Kearifan Lokal Rumah Tinggal sebagai
Pengejawantahan Arsitektur Nusantara dengan mengambil lokus di
Kabupaten Sukamara dilatarbelakangi oleh rasa ingin tahu bahwa rumah
tinggal masyarakat kabupaten Sukamara terutama yang berada di
wilayah perdesaan dibangun dengan memperhatikan unsur-unsur
kearifan lokal yang merupakan pengejawantahan dari arsitektur
nusantara. Arsitektur Nusantara mendasarkan pemahamannya atas
arsitektur anak bangsa Nusantara yang berkonsepsi pada kenyataan
geoklimatik yaitu terdiri dari kepulauan dan kondisi tropik lembab, serta
kenyataan tradisi tanpa tulisan. Di sini ihwal adat hingga upacara dan
artefak menjadi rekaman-rekaman pengetahuan arsitektur (Prijotomo,
2016).
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi dan mengkaji
unsur-unsur kearifan lokal pada rumah tinggal di kabupaten Sukamara dan
pengejawantahannya dalam arsitektur nusantara. Menurut Pangarso
(2006), upaya mengangkat kearifan lokal bukan semata-mata
kefanatikan nasional, kedaerahan atau romantisme kejayaan masa lalu
yang sempit melainkan kajian kearifan lokal ada dalam titik perimbangan
4
kesetempatan. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif,
penelitian deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk
mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah
maupun fenomena buatan manusia.
1.4. Lingkup dan Batasan Penelitian
Alasan lain mengapa mengambil lokasi rumah tinggal di
kabupaten Sukamara adalah pertimbangan kondisi geografis wilayah.
Wilayah Kabupaten Sukamara mempunyai profil wilayah secara
topografi cukup beragam, sebelah selatan yaitu di Kecamatan Jelai dan
Pantai Lunci, kelas kemiringan lahannya berada pada interval 0 – 2%
dengan klasifikasi datar dan dekat dengan wilayah pantai. Di bagian
tengah, yaitu Kecamatan Sukamara didominasi kelas kemiringan lahan
2 – 15%, agak landai menuju landai. Kecamatan Balai Riam dan
Permata Kecubung mempunyai kelas kemiringan lahan yang berada
pada interval 2 – 15% dan 15 – 40%, dengan kelas agak landai sampai
agak curam. Kondisi geografis yang demikian mempengaruhi tipologi
rumah tinggalnya. Rumah tinggal yang berada kemiringan lahan
perbukitan akan berbeda dengan tipologi rumah tinggal yang
datar/landai terutama dilihat dari sisi bentuk, konstruksi, dan material
yang digunakan. Selain itu wilayah kabupaten Sukamara terdapat sungai
Jelai, merupakan sungai besar berbentuk memanjang dari utara ke
selatan yang bermuara di laut Jawa. Di pulau Kalimantan cikal bakal
permukiman berkembang di tepi sungai mengingat sungai merupakan
jalur transportasi yang penting pada saat itu. Demikian pula di kabupaten
Sukamara beberapa titik pertumbuhan permukiman berada di tepi
sungai Jelai. Hal ini juga mempengaruhi bentuk arsitektur rumah tinggal
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Lingkungan Fisik Perumahan dan Pola Aktifitas Manusia
sebagai Perwujudan Nilai-nilai dan Sistem Budaya
Menurut Rapoport (1977), sebuah seting perumahan merupakan
produk hubungan timbal balik antara aktifitas manusia dengan
lingkungan fisik yang sangat dipengaruhi oleh sistem nilai/budaya.
Menurut Rapoport pada dasarnya, hubungan lingkungan dengan
perilaku manusia menekankan bahwa latar belakang manusia seperti
pandangan hidup, kepercayaan yang dianut, nilai-nilai dan norma-norma
yang dipegang akan menentukan perilaku seseorang yang antara lain
tercermin dalam cara hidup dan peran yang dipilihnya di masyarakat.
Konteks kultural dan sosial ini akan menentukan sistem aktifitas atau
kegiatan manusia. Cara hidup dan sistem kegiatan akan menentukan
macam dan wadah bagi kegiatan tersebut. Wadah tersebut adalah
ruang-ruang yang saling berhubungan dalam satu sistem tata ruang dan
berfungsi sebagai tempat berlangsungnya kegiatan.
Menurut Koentjaraningrat (2003), ketika lingkungan fisik dan
aktifitas manusia terlibat interaksi, keduanya merupakan bagian dari
wujud budaya. Koentjaraningrat membagi kebudayaan sesuai dengan
empat wujudnya yang secara simbolis digambarkan sebagai empat
lingkaran konsentris (Gambar 1).
Lingkaran yang paling luar, dan karena itu letaknya pada bagian
paling luar melambangkan kebudayaan sebagai [1] artifacts atau benda-benda fisik; [2] lingkaran berikutnya (dan tentunya lebih kecil)
melambangkan kebudayaan sebagai sistem tingkah laku dan tindakan
berpola; [3] lingkaran yang berikutnya lagi (dan lebih kecil daripada
kedua lingkaran yang berada di sebelah “luar” nya melambangkan
6
letaknya paling dalam dan bentuknya juga paling kecil, dan merupakan
pusat atau inti melambangkan kebudayaan sebagai sistem gagasan
yang ideologis.
Gambar 1. Kerangka Kebudayaan Sumber: Koentjaraningrat, 2003
Menurut (Koentjaraningrat, 2003), contoh nyata dari wujud
kebudayaan yang dapat dijelaskan dari lingkaran pertama, adalah
berupa bangunan fisik seperti gedung, candi, kemudian benda-benda
bergerak seperti kapal, pesawat terbang, mobil dan benda-benda
lainnya. Semua benda hasil karya manusia tersebut bersifat nyata dan
dapat disentuh secara fisik menggunakan indera manusia, dapat
direkam dan divisualisasi. Sebutan khusus bagi kebudayaan dalam
wujud nyata ini adalah “kebudayaan fisik”. Lingkaran kedua
menggambarkan wujud tingkah laku manusianya, yaitu misalnya tingkah
laku dalam melakukan suatu pekerjaan, dan lain-lain. Kebudayaan
7
menggunakan indera manusia, dapat direkam dan divisualisasi. Semua
gerak gerik yang dilakukan berdasarkan dimensi waktu, merupakan
pola-pola tingkah laku yang dilakukan berdasarkan sistem, oleh karena
itu disebut dengan ”sistem sosial”. Lingkaran ketiga menggambarkan
wujud gagasan dari kebudayaan, dan tempatnya berada dalam pikiran
tiap manusia yang menjalankan kebudayaan, yang melekat pada dirinya.
Kebudayaan dalam wujud ini bersifat tidak nyata (abstrak), tidak dapat
direkam dan divisualisasi, dan hanya dapat dimengerti serta dipahami
oleh manusia lain setelah ia mempelajarinya secara mendalam, dengan
berbagai teknik melalui wawancara yang intensif atau dengan membaca.
Kebudayaan dalam bentuk gagasan juga mempunyai pola dan
berdasarkan sistem-sistem tertentu yang disebut ”sistem budaya”.
Lingkaran keempat, sebagai lingkaran inti adalah gagasan-gagasan
yang telah dipelajari oleh manusia sejak kecil, karena sudah melekat
sejak lama maka sangat sukar dirubah. Lingkaran inti merupakan pusat
dari semua unsur yang lain, disebut sebagai ”nilai-nilai budaya”, yang
menentukan sifat dan corak dari pikiran, cara berfikir, serta tingkah laku
manusia suatu kebudayaan. Gagasan-gagasan inilah yang akhirnya
menghasilkan berbagai benda yang diciptakan manusia berdasarkan
nilai-nilai, pikiran dan tingkah lakunya (Koentjaraningrat, 2003).
Selanjutnya menurut Koentjaraningrat, sistem nilai-nilai budaya
adalah tingkat tertinggi dan paling abstrak dari adat istiadat. Sebabnya
adalah karena nilai budaya terdiri dari konsep-konsep mengenai segala
sesuatu yang dinilai berharga dan penting oleh warga suatu masyarakat,
sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman orientasi pada
kehidupan warga masyarakat yang bersangkutan. Nilai-nilai budaya ini
biasanya sulit diterangkan secara rasional dan nyata, namun justru
karena itulah ia berada dalam daerah emosional dan telah berakar
dalam alam jiwa seseorang. Karena itu untuk mengganti suatu nilai
budaya yang telah dimiliki dengan budaya lain diperlukan waktu yang
8
sederhana, ada sejumlah nilai budaya yang saling berkaitan dan bahkan
telah merupakan suatu sistem. Sebagai pedoman dari konsep-konsep
ideal, sistem itu menjadi pendorong yang kuat untuk mengarahkan
kehidupan masyarakat.
2.2. Kearifan Lokal dan Arsitektur Nusantara
2.2.1. Pengertian Kearifan Lokal
Kearifan lokal adalah sikap, pandangan dan kemampuan suatu
komunitas didalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang
memberikan kepada komunitas itu daya tahan dan daya–tumbuh di
dalam wilayah dimana komunitas itu berada. Kearifan lokal adalah
jawaban kreatif terhadap situasi geografis – geopolitis, historis dan
situasional yang bersifat lokal (Hardiyati, 2008).
Menurut Gobyah dalam Sartini (2004), kearifan lokal nilai
terpentingnya adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Geriya dalam Sartini (2004) juga menjelaskan hal yang
sama, pengertiannya secara konseptual, kearifan lokal dan keunggulan
lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi
nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara
tradisional. Menurut Antariksa (2009), kearifan lokal merupakan unsur
bagian dari tradisi-budaya masyarakat suatu bangsa, yang muncul
menjadi bagian-bagian yang ditempatkan pada tatanan fisik bangunan
dan kawasan/lingkungan binaan dalam geografi kenusantaraan sebuah
bangsa. Berdasarkan penjelasan Antariksa dapat dipahami bahwa
kearifan lokal merupakan langkah penerapan dari tradisi yang
diterjemahkan dalam artefak fisik. Hal terpenting dari kearifan lokal
adalah proses sebelum implementasi tradisi pada artefak fisik, yaitu
nilai-nilai dari alam untuk mengajak dan mengajarkan tentang
bagaimana ‘membaca’ potensi alam dan menuliskannya kembali
sebagai tradisi yang diterima secara universal oleh masyarakat,
9
kehidupan manusia dengan cara menghargai, memelihara dan
melestarikan alam lingkungan (Pangarsa, 2008). Hal ini dapat dilihat
bahwa semakin adanya penyempurnaan arti dan saling mendukung,
yang intinya adalah memahami bakat dan potensi alam tempatnya
hidup; dan diwujudkannya sebagai tradisi.
Menurut Saini (dalam Hardiyati, 2008) terdapat 3 ranah dalam
mengidentifikasikan tempat kearifan lokal berlaku Pertama adalah hubungan antara manusia dengan manusia yang dapat tercermin dalam perilaku pergaulan sehari-hari dalam komunitas, kedua hubungan manusia dengan alam dimana masih banyak kampung adat seperti kampung Naga, kampung yang lain yang dihuni masyarakat tradisional
yang masih melakukan pemuliaan terhadap lingkungan. Masyarakat
tradisional ini yang masih memiliki solidaritas yang kuat terhadap alam.
Melakukan alam sebagai subyek dan bukan obyek yang bisa
diperlakukan semena-mena, dan ketiga hubungan manusia dengan Tuhan pencipta alam semesta.
Menurut Soedigdo et.al, (2014), wujud dari kearifan lokal ada
dua macam, yaitu :
1. Tangible (Berwujud Fisik),
Kearifan lokal yang tangible bersifat teraba, ciri fisiknya dapat teridentifikasi. Contoh kearifan lokal yang teraba diantaranya adalah karya-karya arsitektur tradisional di Indonesia. Karya
arsitektur tradisional sangat dipengaruhi dan tergantung banyak
aspek diantaranya: jenis material yang tersedia, pengaruh
kondisi iklim dan lingkungan sekitar, kondisi tapak dan
kelerengan, kondisi ekonomi masing-masing warga,
kemampuan menerapkan teknologi, budaya yang berlaku di
masyarakat, dan bagaimana masyarakat memandang arti
(makna) serta simbolisme dari karya arsitektur tradisional
tersebut. Masyarakat setempat menggunakan pengetahuan
10
tradisionalnya dan seiring dengan berjalannya waktu
pengetahuan ini mengalami penyempurnaan) dan
menyesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi yang ada.
2. Intangible (Tidak Berwujud)
Kearifan lokal yang tidak berwujud, bersifat tidak teraba berupa
sistem nilai dan kepercayaan yang berlaku di masyarakat.
Menurut Maran (2000), kepercayaan menjelaskan apa itu
sesuatu, sedangkan nilai menjelaskan apa yang seharusnya
terjadi. Menurut Maran, nilai itu berasal dari pandangan hidup
suatu masyarakat. Pandangan hidup itu berasal dari sikap
manusia terhadap Tuhan, terhadap alam semesta, dan terhadap
sesamanya. Sikap ini dibentuk melalui pelbagai pengalaman
yang menandai sejarah kehidupan masyarakat yang
bersangkutan. Kepercayaan berkaitan dengan pandangan
tentang bagaimana dunia ini beroperasi. Kepercayaan itu
berdasarkan common sense, akal sehat, kebijaksanaan yang dimiliki suatu bangsa, agama, ilmu pengetahuan, atau suatu
kombinasi antara semua hal tersebut di atas.
2.2.2. Elemen Manusia Beserta Pola Pikirnya dalam Membentuk
Arsitektur Nusantara
Sejarah telah menunjukkan bahwa terdapat berbagai warisan
budaya etnis di Indonesia yang tercermin dalam berbagai macam
kearifan lokal, kepercayaan, sistem pemerintahan, kesehatan, sistem
pertanian, dan sistem garis keturunan. Semua pengetahuan ini telah
berakar dalam budaya etnis secara beragam dan tercermin dalam
artefak kebudayaannya masing-masing (Geertz, dalam Soedigdo et al,
2014). Manusia dengan pola pikirannya sedemikian rupa membangun
pengetahuannya melalui proses yang cukup panjang dan rumit.
Selanjutnya pengetahuan tersebut akan menjadi ekspresi manusia
11
bangunan-bangunan untuk mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan
manusia tersebut (Sutrisno, 2005; Syamsiyatun et al, 2013). Jadi
pengetahuan kearifan lokal yang dimiliki oleh etnis seluruh Indonesia,
merupakan salah satu poin dasar yang kuat dari budaya Indonesia untuk
menampilkan identitas Indonesia di segala bidang termasuk arsitektur.
Pengejawantahan pola pikir manusia Indonesia diwujudkan
dalam bentuk pengetahuan dan karakteristiknya berdasarkan adat, suku,
dan etnis masing-masing daerah. Meskipun berbeda secara adat, suku,
dan etnis tetapi semangat menjaga keragaman patut dihargai. Hal ini
terjadi karena pola pikir masyarakat Indonesia lebih mengedepankan
etika, kejujuran, budi luhur yang kemudian mendorong terciptanya
kearifan lokal berbasis multi etnis di Indonesia. Satu hal yang
menguatkan pendapat tersebut dapat dilihat melalui penguatan tiga
ekspresi kebudayaannya yaitu: Gagasan, Perilaku, dan Artefak
(Poerwanto, 2008). Menurut Kustianingrum et al (2013) permukiman
tradisional di Indonesia hingga kini masih mempertahankan dan
memegang teguh filosofi serta konsep bentuk tradisional (Kustianingrum
et al, 2013)
2.2.3. Relasi Kearifan Lokal dan Kondisi Alam Nusantara
Kearifan lokal mengejawantah dalam wujud arsitektur Nusantara
yang adaptif-responsif terhadap lingkungan alam nusantara yang
bersifat tropis-lembab. Wujud arsitektur asli Nusantara menampilkan
sejumlah karakteristik yang tepat guna terhadap situasi alam
tropis-lembab. Karakteristik tersebut merupakan adaptasi dan responsi
terhadap lingkung setempat (Wikantari, 2008).
Menurut Frick dan Suskiyanto (1998), terdapat hubungan
keseimbangan antara mikrokosmos yaitu bangunan arsitektur tempat
manusia tinggal dengan makrokosmos yaitu alam semesta tempat
dimana bangunan arsitektur berada kaitannya dengan alam dan iklim
12
yang sangat besar dari alam dan iklim tropis di lingkungan sekitarnya,
yaitu pengaruh sinar matahari dan orientasi bangunan, angin dan
pengudaraan ruangan, suhu dan perlindungan terhadap panas, curah
hujan dan kelembaban panas.
Alam Indonesia sebagai elemen pendorong terbentuknya
kearifan-kearifan lokal di Indonesia dapat diidentifikasikan ke dalam
beberapa kondisi, yaitu (Soedigdo et al, 2014; Frick dan Suskiyanto,
1998; Purwanto, 2009; Purwanto, 2010; Purwanto, 2012b):
1. Kondisi Geografis
Secara umum, permukiman di Indonesia perkembangannya
dimulai dari tempat dengan ciri fisik berdasarkan kondisi
geografisnya. Terdapat permukiman yang berkembang dimulai
dari tepian sungai, tepi pantai, dataran rendah, maupun dataran
tinggi/wilayah perbukitan. Kondisi ini akan mempengaruhi proses
adaptasi dengan kondisi geografisnya ini dan tentunya berimbas
langsung dengan kemampuan masyarakat dalam
mengkonstruksikan bangunan-bangunan rumah tempat mereka
tinggal sesuai dengan kondisi lingkungannya. Pada saat itu
penggunaan kayu dan bambu sebagai tempat tinggal mereka
menjadi sangat dominan. Penggunaan bahan-bahan organik
yang bersifat non-logam dominan digunakan untuk konstruksi,
seperti teknik konstruksi pasak kayu karena saat itu belum
mengenal paku, dan teknik konstruksi ikatan.
2. Sinar Matahari dan Orientasi Bangunan
Sinar matahari dan orientasi bangunan yang ditempatkan tepat
di antara lintasan matahari dan angin, serta bentuk denah yang
terlindung hádala titik utama dalam peningkatan mutu iklim mikro
yang suda hada. Dalam hal ini tidak hanya perla diperhatikan
sinar matahari yang mengakibatkan panas saja, melainkan juga
arah mata angin yang memberi kesejukan. Orientasi bangunan
13
terdapat sebagai kompromi antara letal gedung berarah dari
Timar ke Barat dan yang terletak tegak lurus terhadap arah
angin. Selain itu bangunan rumah tinggal yang berbentuk
persegi panjang relatif lebih menguntungkan daripada yang
berbentuk bujur sangkar.
3. Angin dan Pengudaraan Ruangan
Angin dan pengudaraan ruangan yang terus menerus akan
mempersejuk iklim ruangan. Udara yang bergerak menghasilkan
penyegaran terbaik karena dengan penyegaran tersebut terjadi
proses penguapan yang menurunkan suhu pada kulit manusia.
Penyegaran udara di dalam ruangan, disamping tergantung
terhadap pergerakan udara, juga sangat tergantung pada
pertukaran udara. Pada desain bangunan yang memperhatikan
pengudaraan ruangan alami memerlukan bukaan-bukaan
dinding berupa jendela-jendela dan lainnya.
4. Suhu dan perlindungan terhadap panas
Pengaruh suhu terhadap ruangan dapat diatur dengan
konstruksi atap yang selain melindungi manusia terhadap cuaca,
juga memberi perlindungan terhadap radiasi panas dengan
sistem penyejuk udara secara alamiah. Untuk menyejukkan
udara dalam rumah beratap datar dapat menggunakan sistem
kolam air (roof pond) yang menerima panasnya sinar matahari dan mengembalikannya pada waktu malam. Sistem yang agak
mirip adalah lapisan tanah di atas atap datar yang ditanami
rumput yang tahan musim kering.
5. Curah hujan dan kelembaban panas
Curah hujan dan kelembaban panas adalah faktor penting yang
perla diperhatikan terhadap keseimbangan alam dengan desain
tropis. Kadar kelembaban udara sangat tergantung pada curah
hujan dan suhu udara. Semakin tinggi suhu, semakin tinggi pula
14 6. Kondisi Rawan Gempa
Bangunan tradisional di Indonesia didominasi oleh penggunaan
material organik berasal dari alam seperti kayu, bambu, batu,
dan Rumbia. Bangunan tradisional Indonesia sebagian besar
tidak bersifat struktur kaku sepenuhnya (rigid frame), sedangkan pondasinya tidak ditanam ke tanah (umpak batu) sehingga bangunan masih fleksibel apabila mendapatkan gaya horisontal.
Keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan teknik ini
adalah bangunannya lebih tahan gempa.
2.3. Tentang Arsitektur Nusantara
Apakah yang dimaksud dengan “nusantara”?, demikian pula
apakah yang dimaksud dengan “arsitektur nusantara”?. Mungkin isitilah
yang pertama hanya merupakan sebuah istilah yang dapat diuraikan
berdasarkan pengertian kosa katanya. Apabila nusantara diartikan
sebagai “nusa” dan “antara” yang berarti untaian nusa diantara
katulistiwa, apakah arsitektur nusantara dapat diartikan sebagai
“arsitektur yang berada di utaian nusa di sepanjang katulistiwa”?
Pernyataan tersebut tidaklah keliru jika kita memahaminya berdasarkan
pemahaman kosa katanya. Namun pada dasarnya pemahaman
arsitektur nusantara akan lebih luas lagi jika dibandingkan dengan
pemahaman kosa katanya. Karena pemahaman arsitektur nusantara
diarahkan untuk mendudukkan posisinya berdiri sejajar dengan
arsitektur modern, arsitektur post modern, arsitektur dekonstruksi. Oleh
kana itu dibutuhkan penjelasan agar pengertiannya dapat dipahami
sebagai realitas arsitektur di Indonesia bukan hanya sebatas sebuah
wacana (Alamsyah, 2005)
Disisi lain menurut Prijotomo (2016), arsitektur nusantara bukan
arsitektur tradisional. Dengan memberi sebutan Arsitektur Tradisional
maka arsitektur anak bangsa Indonesia ini menjadi tidak termasukkan ke
15
Eropa. Melalui penyandingan antara arsitektur klasik Eropa dengan
arsitektur karya anak bangsa Indonesia diperlihatkan bahwa arsitektur
Nusantara harus dimasukkan ke dalam pengetahuan umum arsitektur.
Dengan keletakan pengetahuan arsitektur Nusantara yang setara
dengan arsitektur klasik Eropa ini maka timbul pula perbedaan antara
pengetahuan arsitektur Tradisional dengan pengetahuan arsitektur
Nusantara. Melengkapi penjelasan sebelumnya, menurut Prijotomo
(dalam Alamsyah, 2005) bahwa arsitektur Jawa, arsitektur Batak,
arsitektur Nias, arsitektur Asmat dapat kita tempatkan sebagai arsitektur
nusantara, tetapi sama sekali bukanlah sinonim dengan arsitektur
tradisional. Arsitektur nusantara bukan sebagai arsitektur tradisional
walaupun keduanya menunjuk pada sosok arsitektur yang sama yakni
arsitektur yang ditumbuhkembangkan oleh demikian banyak anak
bangsa atau suku bangsa di Indonesia.
Menurut Sudrajat (1999), arsitektur sebagai unsur budaya
bersifat universal dan mudah untuk ditemukenali, tetapi sangat sulit
untuk diteorisasikan. Teori arsitektur dapat diklasifikasikan menjadi tiga
kelompok, yaitu :
1. Theory in Architecture, berkaitan dengan aspek-aspek formal, tektonik, struktural, representasional, dan prinsip-prinsip estetik
yang melandasi gubahan arsitektur, serta berusaha
merumuskan dan mendefinisikan prinsip-prinsip teoritis dan
praktis yang penting bagi penciptaan desain yang baik.
2. Theory of Architecture, menjelaskan bagaiman para arsitek mengembangkan prinsip-prinsip dan menggunakan
pengetahuan, teknik dan sumber-sumber dalam proses desain
dan produksi bangunan.
3. Theory about Architecture, menjelaskan makna dan pengaruh arsitektur, mendudukan arsitektur dalam konteks sosial
16
sebagai produk budaya, atau memahami arsitektur digunakan
dan diterima oleh masyarakat.
Berdasarkan klasifikasi teori tersebut di atas, arsitektur
tradisional lebih cenderung ditempatkan pada pemahaman teori yang
ketiga karena mempertanyakan” bagaimanakah hubungan antara
arsitektur dengan lingkungan”, disini arsitektur dilihat sebagai “objek”.
Sedangkan arsitektur nusantara cenderung dikelompokkan pada teori
yang pertama dan kedua karena mempertanyakan “apa” dan “siapakah”
arsitektur, dengan kata lain arsitektur ditempatkan sebagai subjek.
Dengan demikian arsitektur nusantara dapat melahirkan sebuah
pemahaman yang dapat dikembangkan di dalam arsitektur itu sendiri,
bahkan mempunyai peluang untuk disejajarkan dengan teori arsitektur
lain yang sudah muncul lebih dahulu.
Dalam konteksi kekinian, membicarakan arsitektur nusantara
menyangkut banyak aspek yang menentukannya, seperti budaya, dan
aspek kondisi geografis serta iklim.
Hidayatun et.al (dalam Bahktiar et al, 2014) menjelaskan
beberapa prinsip dasar arsitektur Nusantara, sebagai berikut:
1. Arsitektur Nusantara merupakan sebuah pernyataan yang
mengandung beribu gambaran dan persepsi. Belajar dari
pengetahuan yang pernah dipelajari bahwa nusantara
merupakan sebuah setting tempat yang luas, terdiri dari
beberapa pulau dan berisikan penduduk dengan latar belakang
budaya yang sangat beragam. Bicara tentang Nusantara, kita
diingatkan oleh sebuah karya besar Gajah Mada yakni sumpah
Palapa yang antara lain berisi tentang ke-Bineka Tunggal Ika-an
yang menunjukkan bahwa tempat yang begitu luas dihuni oleh
berbagai suku bangsa dengan berbagai latar belakang budaya,
namum tetap dalam satu naungan yakni nusantara. Oleh karena
itu pemahaman terhadap arsitektur nusantara harus pula
17
2. Belajar tentang arsitektur nusantara adalah bagaimana
mempelajari tentang dasar, prinsip dan pedoman. Oleh karena
itu yang ditelusuri bukan dalam perbincangan fisik saja, tetapi
lebih pada pengetahuan dasar yang melatar belakangi sebuah
fungsi, bukan berbicara tentang ruang demi ruang dalam
bangunan, melainkan berbicara tentang benda pernaungan
dengan nilai-nilai yang berada dibalik pernaungan itu.
Pangarsa (dalam Bahktiar et al, 2014) menjelaskan arti dari
Nusantara bahwa Dari kata Kawi “nuswa” atau “nusya” yang berarti pulau, dan “antara”: menunjuk area berpulau-pulau mulai dari Sabang sampai dengan Merauke. Selanjutnya Pengarsa mencoba menampilkan
ciri utama dari arsitektur di wilayah Nusantara melalui beberapa poin
dengan uraian sebagai berikut :
1. Arsitektur pernaungan. Ruang-luar Arsitektur Nusantara adalah
ruang berkehidupan bersama. Itulah yang menunjukkan bahwa
pernaungan adalah arsitektur bagi fitrah manusia. Arsitektur
pernaungan ada dalam kerangka-struktural dan kaitan-sistemik
dengan lingkungannya. Inilah universalitas yang sebenarnya
dapat dipakai di mana pun di muka bumi. Maka dapat dipahami,
sangat sulit menerapkan konsep arsitektur pernaungan di
belahan bumi sub-tropik empat musim yang hanya
berlingkungan-daun seperempat tahun saja. Arsitektur
pernaungan adalah konsep yang sangat tergantung pada sifat
dan keadaan struktur dan sistem di luar tapak. Ketika keadaan
eksternal berubah, kualitas pernaungan itu pun ikut berubah.
2. Arsitektur Nusantara berkembang dari tradisi berhuni di
lingkungan berpohon-pohon, bukan di lingkungan bergua-gua.
Dua tipologi tradisi berhuni prasejarah itu sudah terbukti secara
arkeologis. Arsitektur Nusantara yang pernaungan ialah hasil
kristalisasi pengalaman empirik selama ribuan tahun. Hampir
18
tropis lembab, menunjukkan bahwa ruang bersama tempat
kehidupan sosial penuh keakraban bagi masyarakat manusia
tropis lembab adalah pada jalan lingkungan, gang, halaman
bersama, ruang-bersama desa, sekitar pundèn, ruang
antar-émpèran rumah. Singkatnya: ruang-terbuka-bersama. Jika ada
atap, batang-kayu kolom strukturnya tetap memberi karakter
terbuka dan dapat menjalin pertautan spasio-visual dengan
ruang lain. Kolom-kolom rumah panggung berupa garis,
esensinya tak mengkomsumsi ruang; lantai yang didukung
kolom-kolom itu justru memproduksi ruang.
3. Pulau-pulau Arsitektur Bahari yang sangat beragam tak dapat
dipersamakan. Keunikan lokalitas tak kenal jarak, tetapi
ditentukan oleh eksklusifitas jejaring peradaban yang di masa
lalu, terbatasi oleh air laut. Satuan hunian ruang budaya di
Nusantara terbentuk lewat eksklusifitas pulau-pulau. Bagi
masyarakat Arsitektur Nusantara Bahari ada kaitan antara
arsitektur dengan kemajuan teknologinya: mulai dari perahu
bergalah, berdayung, bercadik tunggal atau ganda, kemudian
berkembang dengan layar, hingga perahu Pinisi
2.4. Memahami Unsur-unsur Kearifan Lokal Rumah Tinggal
Menggunakan Pendekatan Tipologi
Tipologi adalah studi tentang tipe untuk membuat
klasifikasi-klasifikasi yang didasarkan pada kesamaan karakter obyek (Pangarsa,
2012). Dalam penelitian arsitektur tradisional, tipologi digunakan sebagai
alat untuk menganalisis obyek. Dengan tipologi suatu obyek arsitektur
dapat dianalisis perubahan-perubahan yang berkaitan dengan bangun
dasar, sifat dasar, serta proses perkembangan bangunan dasar tersebut
(Mochsen, 2005).
Dalam bidang arsitektur terdapat beragam definisi tipologi yang
19
“Typology is defined as a system of types used toclassify or interpret individuals by creating relationships among type categorie” (Schneekloth, dalam Muchamad, 2010).
“Typology is the comparative study of physical or other characteristics of the built environment into distinct types” (Guney, dalam Muchamad, 2010).
Menurut Mentayani (2010), dalam berbagai bidang ilmu, kata
tipologi memiliki definisi keilmuannya masing-masing. Hal ini bisa
dipahami dari definisi yang ada, yaitu merujuk pada pembagian budaya
menurut suku bangsa, klasifikasi benda menurut karakteristiknya, atau
kajian klasifikasi bahasa menurut fitur strukturnya. Adapun tipe
berdasakan konsep dasar arsitektur merupakan sesuatu yang
berhubungan dengan pembuatan sebuah karya/wujud arsitektur,
pemikiran terhadap sebuah karya arsitektur), dan pengetahuan dibidang
arsitektur. Tipologi digunakan sebagai alat untuk menganalisis objek.
Dengan tipologi suatu objek arsitektur dapat dianalisis
perubahan-perubahan yang berkaitan dengan bangun dasar, sifat dasar, serta
proses perkembangan bangunan dasar tersebut. Selain itu tipologi juga
dapat digunakan untuk menerangkan perubahan-perubahan dari suatu
tipe, karena suatu tipe memiliki ciri-ciri tertentu yang membedakannya
dari tipe yang lain. Oleh karena itu tipologi akan memudahkan mengenali
geometri arsitektur (Purwanto dan Gultom, 2013).
Karen (dalam Mentayani, 2010) mengemukakan bahwa tipe
menyerupai aspek klarifikasi, yaitu menggabungkan karakteristik yang
sama dari kelompok karya akrsitektur tersebut secara detail berbeda
antara satu dengan yang lainnya. Definisi tipe memiliki dua kelompok
konsep utama, yaitu kelompok satu menganggap tipe lain sebagai
properti bentuk geometris, dan kelompok kedua memandang tipe
sebagai atribut bentuk yang berhubungan dan dihubungkan dengan
kegunaan dan perkembangan kesejahteraan. Menurut Vidler (1978),
elemen-20
elemen untuk mendapatkan klasifikasi organisasi arsitektural melalui
tipe-tipe. Sedangkan Quincy (dalam Mentayani, 2010) menyatakan
tipologi merupakan konsep untuk mendiskripsikan kelompok objek
berdasarkan atas kesamaan sifat-sifat dasar, dengan cara memiliah atau
mengklasifikasikan keragaman bentuk dan kesamaan jenis. Disamping
pengelompokkan berdasarkan bentuk-bentuk dasar, sifat-sifat dasar,
21
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif, penelitian
deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk
mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah
maupun fenomena buatan manusia. Fenomena itu bisa berupa bentuk,
aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan
antara fenomena yang satu dengan fenomena lainnya (Sukmadinata,
2006). Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang berusaha
mendeskripsikan dan menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi
atau hubungan yang ada, pendapat yang berkembang, proses yang
sedang berlangsung, akibat atau efek yang terjadi, atau tentang
kecenderungan yang tengah berlangsung. Furchan (2004) menjelaskan
bahwa penelitian deskriptif adalah penelitian yang dirancang untuk
memperoleh informasi tentang status suatu gejala saat penelitian
dilakukan. Lebih lanjut dijelaskan, dalam penelitian deskriptif tidak ada
perlakuan yang diberikan atau dikendalikan serta tidak ada uji hipotesis
sebagaimana yang terdapat pada penelitian eksperiman.
Penggunaan metode deskriptif menjadi relevan dalam penelitian
ini karena berkitan dengan upaya mendekskripsikan karakteritistik
arsitektur nusantara pada rumah tinggal yang terdapat di wilayah
kabupaten Sukamara (Purwanto, 2012a).
3.1. Pemilihan Objek Penelitian
Pemilihan objek penelitian berupa karakteristik arsitektur
nusantara pada rumah tinggal di wilayah kabupaten Sukamara
didasarkan pada keunikan bentuk dan tata ruang, penggunaan matrial,
22
Sedangkan wilayah teritorial yang membatasi penelitian ini adalah
wilayah kabupaten Sukamara yang mempunyai batas-batas wilayah :
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Lamandau.
- Sebelah Barat berbatasan dengan Propinsi Kalimantan Barat.
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Jawa.
- Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Kotawaringin
Barat dan Kabupaten Lamandau
Kabupaten Sukamara terdiri dari 5 kecamatan dan 3 kelurahan
serta 29 desa (Gambar 2).
3.2. Penentuan Populasi dan Sampel Penelitian
Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode
sampling area, merupakan teknik sampling area yang digunakan untuk
menentukan sampel bila objek yang akan diteliti atau sumber data
sangat luas. Dengan kata lain bahwa populasi penelitian merupakan
populasi area. Populasi yang berada pada wilayah yang luas dibagi
menjadi wilayah-wilayah kecil yang jelas batas-batasnya. Misalnya
sampel yang terdapat dalam sebuah wilayah kabupaten. Sampel dapat
dipilih dalam wilayah kecamatan atau beberapa desa/kelurahan dalam
wilayah kecamatan tersebut (Martono, 2010; Bungin, 2006). Teknik
sampling area membutuhkan peta atau potret udara yang mempunyai
petunjuk jelas tentang batas-batas wilayahnya misal batas fisik (sungai,
jalan) atau batas administratif wilayah (kecamatan, kelurahan/desa).
Pengambilan sampel dalam penelitian ini mempertimbangkan
asas homogenitas populasi, oleh karena itu pengambilan sampel
menggunakan teknik random (acak) yaitu memberikan peluang yang
sama bagi setiap unsur populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel
23
24
Dalam penelitian ini, penentuan sampel didasarkan pada
populasi rumah tinggal yang terdapat di masing-masing unit wilayah
terkecil yaitu desa/kelurahan (Tabel 1 dan Tabel 2). Penentuan sampel
juga mempertimbangkan kondisi geografis masing-masing wilayah
kecamatan dengan asumsi/dugaan bahwa masing-masing wilayah
mempunyai karakteristik yang berbeda. Di kabupaten Sukamara
terdapat lima kecamatan dengan kondisi geografis yang berbeda.
Kecamatan Balai Riam dan Permata Kecubung berada di wilayah
dengan kelerengan 2 – 15% dan 15 – 40%, kecamatan Sukamara
berada di wilayah dengan kelerengan 2 – 15%, serta kecamatan Pantai
Lunci dan Jelai berada di wilayah dengan kelerengan 0 – 2%.
Berdasarkan uraian tersebut jelas bahwa di wilayah kabupaten
Sukamara terdapat tiga kelompok wilayah kecamatan berdasarkan
kondisi geografisnya.
Jumlah populasi rumah di kabupaten Sukamara pada tahun
2014 sebanyak 11.645 unit.
Tabel 1. Jumlah Rumah Tiap Kecamatan di Kabupaten Sukamara
No. Kecamatan Jumlah Rumah (unit)
1 Jelai 1.342
Sumber Data Base Perumahan dan Kawasan Permukiman Kabupaten Sukamara, 2014).
Kriteria jenis rumah yang dijadikan sampel adalah yang berciri
tradisional. Adapun ciri-ciri dimaksud adalah mempunyai desain yang
mengadopsi iklim tropis, diutamakan berkonstruksi panggung/kolong,
25
perdesaan mengingat rumah dengan ciri tradisional masih banyak
dijumpai di wilayah perdesaan. Pertimbangan lain yang digunakan
adalah persoalan wilayah penelitian yang sangat luas, jarak antar
kecamatan yang saling berjauhan. Berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka pengambilan sampel dilakukan secara
proporsional berdasarkan jumlah rumah tiap-tiap kecamatan dan desa.
Tabel 2. Jumlah Sampel Berdasarkan Desa/Kelurahan
26
3.3. Metode Pengumpulan Data dan Analisis
3.3.1. Metode Pengumpulan Data
Data yang dibutuhkan kaitannya dengan unsur-unsur kearifan
lokal rumah tinggal sebagai pengejawantahan arsitektur nusantara di
kabupaten Sukamara berkaitan dengan bentuk dan tata ruang,
penggunaan matrial, dan keinginan masyarakat untuk beradaptasi
dengan lingkungannya
Teknik wawancara terbuka yang mendalam dilakukan terhadap
responden, penelitian ini juga akan melihat relevansi informasi yang
diberikan dengan kondisi lingkungan di sekitarnya, keberadaan
rumah-rumah tinggal dan sejarah rumah-rumah (Satori dan Komariah dalam
Rumiawati dan Prasetyo, 2013). Informasi yang diberikan oleh
narasumber divalidasi dengan informasi narasumer lain yang ditemui
dilapangan, seperti tokoh masyarakat, pemilik rumah atau penyewa
rumah. Pengumpulan data rumah tinggal secara fisik dilakukan dengan
melakukan pengukuran dan perekaman, sedangkan data sekunder
diperoleh melalui studi literatur, jurnal dan penelitian yang serupa.
3.3.2. Metode Analisis Data
Analisis data dilakukan melalui pendekatan diskriptif-kualitatif,
dengan teknik kategorisasi yaitu mengelompokkan data/informasi
sejenis keludian dilakukan intepretasi. Kondisi temuan dilapangan
dianalisis berdasarkan hasil interpretasi peneliti terhadap kondisi
eksisting rumah tinggal yang dijadikan sampel penelitian. Sedangkan
untuk aspek perubahan pada rumah tinggal, analisis yang akan
dilakukan adalah menyandingkan antara hasil survei yang ditemukan di
lapangan dengan gambaran kondisi arsitektur rumah tinggal
27
BAB IV
PROFIL KABUPATEN SUKAMARA
4.1. Gambaran Umum Kabupaten Sukamara
4.1.1. Kondisi Geografis dan Fisik Dasar
Berdasarkan RTRW Kabupaten Sukamara (2012), kabupaten
Sukamara merupakan salah satu kabupaten di wilayah Provinsi
Kalimantan Tengah sebagai wilayah pemekaran dari Kabupaten
Kotawaringin Barat yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor
5 Tahun 2002 tentang Pemekaran Wilayah. Berdasarkan Peraturan
daerah Kabupaten Sukamara Nomor 1 Tahun 2003 tentang
Pembentukan Kabupaten Sukamara dan ditetapkan tanggal 2 Juli 2003
sebagai Hari Jadi Kabupaten Sukamara dengan Ibukota di Sukamara.
Luas wilayah Kabupaten Sukamara adalah 3.827 Km2 kurang lebih 2%
dari wilayah Provinsi Kalimantan Tengah, yang terdiri dari hutan, rawa,
sungai, danau, genangan air dan pantai, teletak antara 110°25’26”
sampai 111°09’50” Bujur Timur dan antara 2°19’35” sampai 3°07’00”
Lintang Selatan dengan batas-batas sebagai berikut :
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Lamandau.
- Sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Barat.
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Jawa.
- Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Kotawaringin
Barat dan Kabupaten Lamandau (Gambar 3)
Ketinggian dari permukaan air laut pada wilayah Kabupaten
Sukamara berkisar antara 0 sampai dengan 100 meter yang
menunjukkan bahwa Kabupaten Sukamara merupakan daerah pada
kawasan rendah. Hal ini dikarenakan wilayah Kabupaten Sukamara
khususnya kecamatan Jelai, Pantai Lunci dan kecamatan Sukamara
28
Gambar 3. Letak Kabupaten Sukamara dalam Wilayah Provinsi Kalimantan Tengah
Sumber: RTRW Provinsi Kalimantan Tengah, 2014
Secara administrasi Pemerintahan Kabupaten Sukamara terdiri
dari 5 (lima) Kecamatan, yaitu : Kecamatan Sukamara, Kecamatan Jelai,
Kecamatan Balai Riam, Kecamatan Pantai Lunci (diresmikan tanggal 15
Juni 2006) dan Kecamatan Permata Kecubung (diresmikan tanggal 17
Juni 2006). Kecamatan Pantai Lunci dan Kecamatan Permata Kecubung
merupakan kecamatan baru sesuai Perda Kabupaten Sukamara Nomor
: 03 Tahun 2006 tanggal 12 April 2006 tentang pembentukan Kecamatan
Permata Kecubung dan Pantai Lunci yang selanjutnya diundangkan
pada tanggal 05 Mei 2006. Wilayah Kecamatan terbagi menjadi 3
29
Gambar 4. Peta Administrasi Kabupaten Sukamara Sumber: Data Base PKP Kabupaten Sukamara, 2014
Posisi kabupaten Sukamara yang berhadapan langsung dengan
30
Kabupaten Kotawaringin Barat dan Kabupaten Lamandau mempunyai
kedudukan yang sangat strategis untuk berinteraksi dalam kegiatan
perekonomian dimasa yang akan datang. Kabupaten Sukamara dengan
potensi bahan baku yang melimpah mempunyai peluang yang besar
untuk dikembangkan menjadi industri pengolahan. Sedangkan dengan
Pulau Jawa yang lokasinya relatif dekat dengan Kabupaten Sukamara
yang berpenduduk sangar besar merupakan sumber penting dalam
pemenuhan tenaga kerja. Struktur perekonomian Kabupaten Sukamara
saat ini masih didominasi sektor pertanian dengan kontribusi sebesar
74,51% sedangkan sisanya adalah sektor jasa, pertambangan dan
industri.
Kabupaten Sukamara secara umum termasuk daerah beriklim
tropis yang dipengaruhi oleh musim- kemarau yang terjadi bulan juni Kabupaten Sukamara digolongkan menjadi 4 bagian, yaitu : dataran,
daerah datar- berombak, daerah berombak berbukit dan daerah
berbukit-bukit, dengan ketinggian wilayah berada pada ketinggian 0 -
lebih 100m dpl. Berdasarkan hidrologinya Kabupaten Sukamara memiliki
2 daerah aliran sungai (DAS), yaitu : DAS Jelai dan DAS Mapam,
dengan 22 anak sungai (sumber: RTRW Kabupaten Sukamara, 2012).
Pembagian administrasi dan luas masing-masing daerah yang
ada di Kabupaten Sukamara lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3
31
Tabel 3. Luas Wilayah Kabupaten Sukamara Dirinci Tiap Kecamatan Tahun 2012
Sumber: Kabupaten Sukamara Dalam Angka 2014
4.1.2. Kondisi Sumber Daya Alam
Sumberdaya alam yang terdapat di Kabupaten Sukamara
sebagian besar adalah hutan, bahan tambang, disamping itu juga
mempunyai potensi sumberdaya laut, sungai, obyek wisata serta
sumberdaya lahan yang sesuai untuk dimanfaatkan bagi budidaya
pertanian dan perkebunan serta peternakan.
a. Kemiringan Lahan
1. Kecamatan Jelai
Sebagian besar wilayah ini memiliki wilayah potensi sekitar
20,8 % dari luas wilayah kabupaten Sukamara, 0% wilayah
kendala, dan 0 % merupakan wilayah limitasi.
2. Kecamatan Pantai Lunci
Wilayah kecamatan ini memiliki 21,0 % dari luas wilayah
merupakan wilayah potensi, 0 % merupakan wilayah
limitasi, wilayah kendala yaitu 0 %.
3. Kecamatan Sukamara
Wilayah potensi yang terdapat di wilayah ini sebesar 25,07
%, wilayah kendala 1,8 % dan wilayah limitasi sebesar 0 %
4. Kecamatan Balai Riam
Wilayah Balai Riam memiliki wilayah potensi 4,52 % dari
32 5. Kecamatan Permata Kecubung
Wilayah Kecamatan Permata Kecubung wilayah potensi 1,3
%, wilayah kendala 15,9 %, dan wilayah limitasi sebesar 0,6
%.
b. Topografi
Wilayah Kabupaten Sukamara mempunyai profil wilayah secara
topografi cukup beragam, sebelah selatan yaitu di Kecamatan
Jelai dan Pantai Lunci, kelas kemiringan lahannya berada pada
interval 0 – 2% dengan klasifikasi datar. Di bagian tengah, yaitu
Kecamatan Sukamara didominasi kelas kemiringan lahan 2 –
15%, agak landai – landai. Kecamatan Balai Riam dan Permata
Kecubung mempunyai kelas kemiringan lahan yang berada
pada interval 2 – 15% dan 15 – 40%, dengan kelas agak landai
– landai sampai agak curam – curam (Tabel 4).
Tabel 4.Topografi Kabupaten Sukamara
No. Kecamatan Kemiringan Lahan Luas
0-2 2-8 9-15 16-25 >60 Km2 (%)
Sumber: Kabupaten Sukamara dalam angka 2014
c. Jenis Tanah
Untuk jenis tanah yang terdapat di Kabupaten Sukamara terdiri
dari 5 ordo tanah, yaitu Histosol, Entisol, Inceptisol, Ultisol, dan
Spodosol. Potensi air tanah di Kabupaten Sukamara dibagi 3
33
1) Potensi air tanah sangat tinggi, umumnya terletak pada
daerah sepanjang sungai besar yaitu : Sungai Jelai. Potensi
air yang besar ini terletak dari bantaran sungai sampai
beberapa kilometer dari bantaran sungai kebagian Barat
dan Timur.
2) Potensi air tanah tinggi, yang terdapat setelah daerah
potensi air tanah sangat tinggi berangsur-angsur potensi air
tanah berkurang sampai potensi air tanah yang tinggi.
3) Potensi air tanah rendah dimana merupakan daerah yang
agak menjauhi sungai-sungai besar.
d. Geomorfologi
Pesisir Kabupaten Sukamara secara fisiografis tidak terlalu
banyak variasi. pesisir Kabupan Sukamara termasuk dalam
satuan Dataran Rendah Kalimantan Tengah (Central Kalimantan
Lowland) (RePPProT, 1987). Elevasi ketinggian 0 hingga 25
meter, kemiringan lereng 0 – 8 %. Batuan penyusun dominan
endapan-endapan aluvium dan rawa.
e. Litologi
Litologi yang berada di wilayah pesisir Kabupaten Sukamara
terdiri dari endapan aluvial, dan rawa (Qa dan Qs) yang tersebar
di pantai Sukamara.
f. Geologi
Proses geologi yang terdapat di daerah studi adalah sedimentasi
atau pengendapan, dapat terlihat jelas pada citra satelit,
sehingga akhirnya mengakibatkan garis pantai bertambah
terutama pada delta-delta sungai. Hal ini juga ditandai oleh
adanya perubahan pematang pantai yang makin bertambah
kearah hutan, terdapat di sepanjang pantai terutama disekitar
muara Sungai Jelai. Indstrusi air asin terutama pada morfologi
34
Satuan geologi lingkungan merupakan perpaduan dari
parameter struktur, litologi, morfologi dan proses geologi yang
terjadi disekitar pesisir. Satuan geologi lingkungan pesisir
Kabupaten Sukamara adalah pedataran, endapan aluvial dan
rawa, secara lokal ditempat limpasan banjir, jenis pantai relief
rendah, relatif lurus dari Desa Sungai Baru sampai Desa Sungai
Pasir. Karakteristik garis pantai terdiri dari pantai berpasir,
kuarsa (silika), lanau dan secara lokal di tempat endapan lumpur
rawa, proses sedimentasi terdapat di sekitar muara Sungai Jelai.
4.1.4. Kondisi Rawan Bencana
Bencana alam yang terjadi di Kabupaten Sukamara pada
umumnya adalah abrasi pantai, rawan gelombang pasang, banjir dan
kebakaran lahan. Bencana alam yang berpotensi timbul di Kabupaten
Sukamara antara lain :
a. Kawasan Gelombang Pasang dan Abrasi Pantai
Gelombang pasang dan abrasi pantai berpotensi terjadi di
sepanjang pantai yang meliputi daerah pesisir pantai Kecamatan
Jelai dan Kecamatan Pantai Lunci.
b. Kawasan Rawan Banjir
Sebagai akibat luapan air terjadi pada sungai-sungai besar,
diantaranya adalah Kawasan sepanjang aliran Sungai Jelai di
Kecamatan Sukamara, Kecamatan Pantai Lunci dan Kecamatan
Jelai.
c. Kebakaran Lahan
Kebakaran lahan juga merupakan salah satu bencana yang
rawan terjadi di wilayah Kabupaten Sukamara. Kebakaran lahan
ini berasal dari pembakaran lahan dalam skala kecil oleh para
petani tradisional. Perladangan berpindah seringkali menjadi
35 4.1.5. Profil Penggunaan Lahan
Secara umum penggunaan lahan di Kabupaten Sukamara
didominasi oleh kawasan hutan yang meliputi hutan produksi, hutan
produksi terbatas dan kawasan marga satwa, selain itu penggunaan
tanah juga didominasi oleh kegiatan perkebunan tanaman lahan kering.
Bia dikaitkan dengan Kecamatan Sukamara jenis penggunaan lahan
yang dominan yaitu pada kegiatan perkebunan khususnya pada
perkebunan lahan basah dan perkebunan lahan kering, sedangkan
untuk fungsi-fungsi lainnya seperti kawasan permukiman tidak terlalu
menonjol penggunaannya karena cukup luasnya kawasan administrasi
sehingga untuk pengembangannya kedepan sangat memungkinkan
mengarah kebeberapa arah perkotaan. Kedepan konsep penggunaan
lahan di kabupaten Sukamara bertujuan menciptakan pola pemanfaatan
lahan yang terintegrasi untuk mengakomodasi keberlangsungan
berbagai kegiatan penduduk yang saling terkait secara fungsional antar
kawasan, yang pada akhirnya menciptakan keserasan satu fungsi
kegiatan dengan kegiatan lainnya degan tetap menjaga kelestarian
lingkungan.
Sistem lahan di Kabupaten Sukamara pada umumnya masih
bervariasi dan menunjukan proporsi yang hampir seimbang antara
sistem lahan sesuai dan tidak sesuai. Sistem lahan yang ada meliputi
Dilihat dari penyebarannya sistem lahan yang sesuai untuk kegiatan
budidaya pertanian dan perkebunan terdapat secara merata di seluruh
wilayah kabupaten.
Dengan kondisi yang ada di Kabupaten Sukamara terdapat
potensi dan permasalahan serta peluang pengembangannya dijabarkan
sebagai berikut:
Potensi :
Kabupaten Sukamara Memiliki kemiringan lahan yang relatif
landai, dengan kemiringan lahan berkisar antara 0-15 %
36
kesesuaian wilayah yang cocok untuk dikembangkan bagi
berbagai kegiatan, Permasalahan:
Permasalahan yang terdapat di Kabupaten Sukamara dengan
memiliki kemiringan lahan yang relatif datar, hal ini disebabkan
oleh keberadaan kemiringan lahan yang terdapat di jenis tanah
SGT (teras-teras berpasir, tekstur terdiri dari fraksi-fraksi kasar,
merupakan dataran aluvium yang telah berkembang lanjut).
Kondisi inilah yang menjadi permasalahan yang mengakibatkan
tidak sesuainya jenis tanaman padi sawah dan tanaman
tahuhan. Peluang:
Dengan kondisi yang di kemukakan diatas maka di Kabupaten
Sukamara Kondisi ini memiliki kesesuaian wilayah yang cocok
untuk dikembangkan bagi berbagai kegiatan.
4.1.6. Profil Kependudukan dan Sosial Budaya
Kependudukan atau komposisi penduduk merupakan faktor
utama dalam setiap perencanaan, karena dalam pengembangan baik
perubahan jumlah maupun tingkah laku penduduk merupakan bagian
pokok dari perencanaan wilayah. Aspek penduduk yang ditinjau meliputi
penyebaran dan kepadatan penduduk, struktur penduduk menurut umur
dan jenis kelamin, struktur penduduk menurut agama serta struktur
penduduk menurut mata pencaharian.
Pesebaran Penduduk pada tahun 2014 penduduk Sukamara
mencapai 47.073 jiwa. Penduduk ini tersebar ke lima kecamatan, yaitu
Kecamatan Jelai sebesar 4.503 jiwa (9,56%), Pantai Lunci sebesar
4.945 jiwa (10,50%), Sukamara sebesar 20.810 jiwa (44,21%), Balai
Riam sebesar 6.918 jiwa (14,69%), dan Permata Kecubung sebesar