• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. PENGGORENGAN

Menggoreng merupakan salah satu metode tertua yan g digunakan untuk mengolah bahan pangan. Kegiatan ini dapat digunakan untuk mengolah berbagai maca m bahan ma kanan, mula i dari daging, ikan, hingga sayuran (Rossell, 2000). Di seluruh dunia, metode penggorengan deepfat frying me miliki peran yang sangat penting dalam industri. Diperkira kan ju mlah o mset totalnya senilai dengan satumiliar dolar. Angka ini tidak hanya meliputi minyak yang digunakan untuk menggoreng saja, tetapi juga mencakup nilai ritel dan kome rsial produk makanan yang digoreng baik pada indust ri maupun restoran (Blu menthal, 1996).

Deep fat frying merupakan teknik yang paling ko mple ks dalam penggunaan minyak ataupun le ma k yangdapat dimakan (Gert z, 2000). Sifat minyak goreng yang tidak me miliki rasa yang menyimpang dan praktis untuk digunakan merupakan kriteria utama dala m me milih minyak goreng (Dunford, 2003).

1. Inte raksi Bahan Pangan dan Minyak Goreng Selama Penggorengan

Menurut Lalas (2009), penggorengan dapat dikatakan sebagai proses dehidrasi denganmenggunakan minyak sebagai med iu mperpindahan panasnya. Dala m proses ini, sebagian dari minyak goreng akan terserap masuk pada bahan pangan dan me mpengaruhi kualitas organoleptiknya. Penyerapan minyak pada bahan pangan ini dapat bervariasi besarnya dengan nilai min ima l 6 persen (Saguy dan Dana, 2003).

Pada awal penggorengan, temperatur dari minyak goreng akan menurun pada saat dimasuki oleh bahan pangan. Temperatur dala m bahan pangan akan men ingkat secara perlahan seiring dengan berpindahnya panas dari minyak ke bahan pangan . Kenaikan suhu ini akan mengakibatkan penguapan air ke luar bahan pangan. Adanya penguapan air ini me mbuat suhu maksima l di da la m bahan pangan stabil pada 100oC. Di samping itu, uap air ini a kan me mbatasi minyak yang terserap oleh bahan pangan. Hal ini akan menyebakan bahan pangan terbagi menjadi dua daerah yaitu bagian permu kaan dan bagian dalam. Pada daerah permu kaan terjadi perubahan utama bahan pangan akibat penggorengan. Sementara bagian dalam mengala mi perubahan yang lebih ringan dengan suhu yang tidak mencapai 100oC (Lalas, 2009).

Para meter uta ma yang me mpengaruhi kehilangan air dan penyerapan minyak adalah suhu dan la ma penggorengan. Sema kin tinggi suhu pemasakan, semakin rendah pula minyak yang diserap oleh permu kaan bahan ma kanan dan semakin sedikit pula waktu yang dibutuh kan untuk me masak (La las, 2009).

Di samp ing itu, terdapat beberapa faktor la in yang juga me mpengaruhi pelepasan air dan penyerapan minyak adalah bahan pangan dan minyak goreng yang digunakan. Hal tersebut meliputi ko mposisi bahan pangan, struktur permu kaan dan komposisi bagian dalam, ke le mbaban dan kandungan lema k, bentuk produk, rasio luas permu kaan -berat, porositas, dan perlakuan sebelum penggorengan (Saguy dan Dana, 2003).

2. Proses Kerusakan Minyak

Minyak goreng yang digunakan me mpengaruhi kualitas dari produk akhir dala m segi rasa, tekstur, umur simpan, dan nila i g izi (Dunford , 2003). Sebagai contoh, oksidasi minyak a kan

(2)

4

menghasilkan produk samping berupa katalisator kuat yang dapat menyebabkan kerusakan lebihlanjut pada minyak yang terkandung pada produk gorengan selama penyimpanan (Gupta, 2005).

Sela ma penggorengan, bahan pangan yang masuk ke dala m minyak goreng akan mengala mi kontak dengan udara dan minyak selama pe manasan. Oleh sebab itu, terdapat tiga reaksi perubahan minyak uta ma yang menyebabkan kerusakan minyak, yaitu : kandungan air dari bahan pangan yang men ingkatkan reaksi hidro lisis, oksigen dari udara yang meningkatkan reaksi oksidasi, dan panas dari penggorengan yang menyebabkan terjadinya reaksi te rma l (Lillard , 1983).

Reaksi hirdrolisis merupakan reaksi pe mutusan ikatan ester pada struktur trigliserida, digliserida, ataupun monogliserida yang menyebabkan terbentuknya asam le mak bebas. Adapun reaksi o ksidasi dan reaksi terma l te rjad i pada rantai asam le mak tidak jenuh trigliserida (La las , 2009). Ketiga rea ksi perubahan minyak sela ma penggorengan ini me rupakan reaksi yang saling berkaitan satu sama la innya. Sebagai misal, te mperatur pe masakan yang tinggi menginduksi terjadinya peningkatan laju re ksi oksidasi yang menghasilkan produk-produk oksidatif, ba ik senyawa dimer maupun polimer. Di sisi la in, asam le ma k bebas yang terbentuk dari rea ksi hidro lisis akibat adanya kandungan air pada bahan makanan lebih mudah terekspos oleh oksidasi daripada asam le mak yang masih terikatdengan gugus gliserol (Gutierre z et al., 1988).

Secara garis besar, produk-produk degradasi bahan pangan selama penggorengan dibagi men jadi dua kelo mpok, yakn i: ko mponen volatil dan komponen nonvolatil. Yang termasuk dalam ko mponen volatil meliputi aldehid, keton, alkohol, asa m, ester, hidrokarbon, la kton, dan senyawa aromat ik. Ko mponen ini berperan penting dala m ka rakteristik organoleptik minyak dan produk gorengan. Sebagian dari ko mponen ini hilang saat penggorengan.

Adapun yang termasuk dala m ko mponen nonvolatil adalah seny awa-senyawa yang me miliki berat mo lekul yang tinggi (La las , 2009). Senyawa in i pada umu mnya terbentuk karena adanya oksidasi terma l dan polimerisasi asam le mak t idak jenuh pada media penggorengan. Produk ini tidak hilang selama p roses penggorengan dan berperan dalam menyebabkan terjadinya kerusakan minyak goreng lanjutan. Di sa mping itu, produk in i nantinya akan terserap oleh bahan pangan sehingga ikut terkonsumsi oleh manusia sehingga dapat menimbulkan masalah kesehatan (Gert z, 2000).Menurut La las (2009), rea ksi yang terjadi dala m proses kerusakan minyak sela ma penggorengan me liputi ketengikan hidrolisis, ketengikan oksidatif, oksidasi terma l, terbentuknya produk volatil, terbentuknya ko mponen siklik, dan terbentuknya senyawa dimer dan polimer.

a. Ketengikan hidrolisis

Menurut Velasco et al (2009), rea ksi hidrolisis me rupakan reaksi yang cukup dikenal dala m proses penggorengan dan seringkali men jadi reaksi utama disebabkan oleh adanya kandungan air pada bahan pangan. Di samping itu, reaksi ini juga menimbu lkan masalah tersendiri karena asa m le mak bebas yang dihasilkan dapat menurunkan titik pengasapan (smok e point), me mbentuk senyawa volatil dan flavor berlebih, serta menurunkan tegangan permukaan minyak

Meskipun demikian, dari sisi nutrisi asam le ma k bebas ini tidak banyak berpengaruh karena senyawa ini sama dengan asam le mak bebas yang dihasilkan selama proses pencernaan lemak o leh enzim lipase sebelum d iserap oleh usus halus. (Ve lasco et al., 2009).

Reaksi hidro lisis merupakan satu-satunya reaksi pemutusan trigliserida dengan adanya bantuan air. Set iap kali rea ksi ini terjadi, satu asam le ma k bebas akan dilepas dari trigliserida sehingga menghasilkan digliserida. Reaksi hid rolisis lanjutan dapat menghasilkan monogliserida ataupun gliserol. Sela ma penggorengan, reaksi ini berlangsung dengan cepat. Di samping itu, tida k ada satu pun bahan tambahan pangan yang ma mpu mencegah terbentuknya asam le mak bebas (Lalas,2009).Menurut Ve lasco et al. (2009), rea ksi oksidasi yang berlangsung di dalam asam le mak

(3)

5

bebas ini jauh lebih cepat dibandingkan dengan reaksi o ksidasi asam le ma k yang masih terikat dengan gliserol.

b. Ketengikan oksidatif

Ketengikan oksidatif me rupakan reaksi yang dihasilkan dari proses oksidasi le mak yang ko mple ks. Proses oksidasi merupakan reaksi pe mb entukan radikal terinduksi yang berlangsung menurut tahapan inisiasi, propagasi, branching, dan terminasi (Be lit z dan Grosch, 1987).

Sela ma proses inisiasi, oksigen bereaksi dengan asam le ma k tida k jenuh menghasilkan hidroperoksida dan radikal bebas yang sangat reaktif. Rea ksi ini dipercepat oleh beberapa senyawa, seperti halnya pengoksidasi kimia, logam t ransisi, dan enzim. Di sa mping itu, panas dan cahaya juga dapat me mpengaruhi la ju rea ksi oksidasi le ma k (Be litz dan Grosch , 1987).

Senyawa-senyawa reaktif ini ke mudian a kan bereaksi dengan mole kul le mak me mbentuk senyawa kimia reakt if la innya. Proses propagasi dari oksidasi le ma k lanjutan ini d ikena l juga dengan istilah autooksidasi. Rea ksi autooksidasi ini merupakan fa ktor uta ma penyebab terbentuknya ketengikan oksidatif pada minyak goreng. Reaksi in i bergantung pada jumlah asam le mak bebas yang terbentuk yang dapat bereaksi dengan oksigen (La las, 2009).

Secara u mu m, la manya wa ktu induksi dan laju o ksidasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti: kenaikan te mperatur, irad iasi, peningkatan rasio permukaan -volu me minyak goreng, keberadaan katalis seperti hidroperoksida, klorofil, dan loga m transisi, serta ko mposisi asam le mak bebas pada minyak. Se ma kin banyak gugus alil (gugus hidrokarbon yang mengandung ikatan rangkap), se makin cepat pula wa ktu induksi dan sema kin tinggi pula la ju oksidasinya (Lalas , 2009).

c. Oksidasi termal

Oksidasi terma l dapat menghasilkan berbagai maca m produk. Oksidasi minyak pada temperatur yang tinggi berbeda dengan oksidasi minyak p ada temperatur yang lebih rendah. Di samping berbeda dari laju rea ksinya, perbedaan juga terdapat pada mekanis me rea ksinya. Hal ini disebabkan produk oksidatif yang terbentuk pada temperatur yang rendah cenderung kurang stabil untuk menyebabkan reaksi oksidatif dibandingkan pada te mperatur yang tinggi. Produk yang dihasilkan dari o ksidasi terma l ini di antaranya adalah ko mponen volatil, ko mponen siklik, serta dimer dan polimer (La las, 2009).

3. Pengujian Kualitas Minyak Goreng

Sebagian dari minyak yang digunakan dalam penggorengan akan diserap oleh bahan pangan. Minyak ini akan ikut masuk ke dala m tubuh manusia bersamaan dengan dikonsumsinya makanan tersebut. Oleh sebab itu, pengujian kualitas minyak goreng dalam bahan pangan penting untuk dila kukan (Rossell, 2000). Menurut Gupta (2005), selain dapat mengurangi potensi yang me mbahayakan kesehatan, pengujian kua litas minyak goreng juga dapat digunakan untuk menentukan umur simpan suatu produk pangan.

Dala m penerapannya di lapangan, pengujian kualitas minyak goreng ini seringkali dila kukan secara visual. Pengamatan dila kukan dengan cara melihat perubahan yang terjadi di da la m minyak selama penggorengan. Para meter yang dilihat adalah wa rna, bau, rasa, terbentuknya busa yang berlebih, serta rasa produk gorengan. Metode ini bersifat sangat subjektif karena bergantung pada pengalaman orang yang menga mati (La las , 2009).

(4)

6

Oleh sebab itu, beberapa metode pengujian minyak secara kuantitatif dan objekt if pun telah dike mbangkan, baik secara kimia, fisik, maupun menggunakan instrumen. Menurut Paradis dan Nawa r (1981), metode pengujian minyak goreng yang sederhana dan objektif merupakan hal yang penting. Pada industri pangan, pengujian yang tepat akan mampu menghasilkan keuntungan ekonomis yang signifikan.

Pengujian dengan metode kimia menit ikberat kan pada beberapa produk hasil o ksidasi dan kerusakan terma l yang mengakibatkan ketengikan. Pengujian fisik menit ikberat kan pada terbentuknya polimer sela ma penggorengan. Beberapa metode lainnya bersifat instrumental. Menurut Miyagawa et al. (1991), tida k terdapat satu pun metode tunggal yang dapat digunakan untuk me mperkira kan seluruh kerusakan. Oleh sebab itu, penggunaan metode uji yang terpadu dibutuhkan untuk me maha mi kerusakan minyak goreng secara lebih menyeluruh.

a. Bilangan pe roksida

Produk utama da ri o ksidasi lipid adalah hidroperoksida yang umu mnya dikenal dengan istilah peroksida. Peroksida me rupakan ko mponen organik tidak stabil yang terbentu k dari trigliserida. Metode pengujian bilangan peroksida telah la ma dike mbangkan oleh Lawson (1985) dan Rossell (1983). Metode ini mengukur pe mbentukan senyawa hidroperoksida intermediat da la m satuan milie kuiva len oksigen aktif per kilogra m sampel. Hidroperoksida yang yang dihasilkan selama oksidasi minyak akan berea ksi dengan ion iodid a me mbentuk iodin yang pada akhirnya akan d iukur dengan menggunakan titrasi tiosulfat.

b. Bilangan asam le mak bebas

Tabel 1. Pe rsyaratan Minyak Goreng ( SNI 01-3741-2002)

Kriteri a uji Satuan Persyaratan

Mutu I Mutu II

Keadaan

Bau Norma l Norma l

Rasa Norma l Norma l

Warna Putih, kuning pucat Putih, kuning pucat

sampai kuning sa mpai kuning

Kadar Air % b/b Maks 0,1 Maks 0,3

Bilangan asam mg KOH/gr Maks 0,6 Maks 2

Asam linoleat (C18:3) dala m ko mposisi asam le ma k minyak

% Maks 2 Maks 2

Bilangan peroksida meq O2/kg Maks 10 Maks 10

Ce ma ran loga m

Timba l (pb) mg/kg Maks 0,1 Maks 0,1

Timah (Sn) mg/kg Maks 40/ 250 Maks 40/ 250

Raksa (Hg) mg/kg Maks 0,05 Maks 0,05

Tembaga (Cu) mg/kg Maks 0,1 Maks 0,1

Arsen (As) mg/kg Maks 0,1 Maks 0,1

Minyak Pe likan Negatif Negatif

Pada Tabel 1, disajikan persyaratan mutu standar minyak goreng berdasarkan SNI 01-3741-2002. Da ri Tabel 1 tersebut, dapat dilihat kriteria fisik dan kimia standar dalam minyak goreng. Di

(5)

7

Tabel 2. Sup lai dan distribusi minyak nabati dunia (x106 ton) (USDA-FAS 2006)

antara yang termasuk dala m kriteria kimia standar minyak goreng adalah bilangan asam yang tidak boleh me lebih i batas 0,6 mg Na OH/g sampe l untuk kualitas 1 dan 2 mg Na OH/g sampe l untuk kualitas 2.

Metode bilangan asam le ma k bebas merupakan metode yang sering digunakan dalam pengujian minyak goreng. Metode ini sering kali digunakan oleh quality control dalam pengujian minyak goreng (Stauffer, 1996). Se la ma pe masakan, peningkatan nila i bilangan asam le ma k bebas secara bertahap dapat disebabkan akibat adanya hidrolisis maupun akibat terbentuknya komponen karboksilat dala m senyawa polimer produk yang digoreng (Tyagi dan Vasishta, 1996).

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dala m hal ini adalah ju mlah bilangan asam le ma k bebas yang terukur tidak murni berasal dari ju mlahyang dihasilkan selama penggorengan. Jumlah tersebut dapat berasal dari bilangan asam aku mu latif yang sudah terkandung di dalam bahan sebelum penggorengan (Lalas , 2009).

B. MINYAK KELAPA SAWIT

Minyak kelapa sawit berasal dari tana man ke lapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Tana man yang tumbuh di daerah tropis ini berasal dari ordo Arecales dan famili Aracaceae (Dransfie ld et al., 2005). Tana man in i tumbuh pada tanah aluvial yang subur (Corley dan Tinker, 2003). Tingginya dapat mencapai 30 meter dengan diameter rentang daun 10-16 meter. Oleh sebab itu, tanaman ini me mbutuhkan lahan perkebunan yang luas untuk mencegah ko mpetisi dengan sesama (Cruden , 1988 di dala m Riva l, 2010).

Tanaman ke lapa sawit in i termasuk dala m salah satu tanaman yang paling produktif dengan ju mlah panen rata-rata di negara penghasil utama mencapai 4 ton minyak kelapa sawit/hektar/tahun (Murphy, 2003). Diperkirakan, produksi minyak ke lapa sawit dunia telah mengala mi peningkatan 15 kali lipat sejak tahun 1948 dan pada tahun 2007 ju mlahnya dapat mencapai sekitar 38x106ton. Dua negara penghasil minyak ke lapa sawit utama ada lah Indonesia dan Malaysia yang menyumbang 86% dari total produksi minyak ke lapa sawit dunia (USDA -FAS, 2006).

Minyak Nabati Tahun 2002-2003 2003-2004 2004-2005 20005-2006 20006-2007 Minyak kedelai 30,56 29,94 32,47 34,37 34,94

Minyak kelapa sawit 27,71 29,59 33,88 35,37 37,37

Minyak biji bunga

matahari 8,12 9,13 9,01 10,17 10,10

Minyak kacang 4,62 5,01 5,06 5,18 5,00

Minyak kapas 3,51 3,83 4,73 4,56 4,74

Minyak kelapa 3,16 3,29 3,44 3,54 3,26

Minyak zaitun 2,51 3,00 2,74 2,28 2,85

Seperti yang tertera pada Tabel 2, minyak ke lapa sawit mene mpati urutan kedua dari minyak nabati yang paling banyak dikonsumsi di dunia (USDA -FAS 2006). Dibandingkan dengan minyak nabati lainnya, minyak ke lapa sawit me miliki penggunaan yang paling luas (Henderson dan Osborne 2000, Ede m 2002). Menurut Idris dan Samsuddin (1993), sekitar 90% dari produksi minyak ke lapa sawit digunakan untuk konsumsi (minyak goreng, ma rgarin, shortening, dan lain -la in) dan sisanya digunakan pada industri sabun dan kimia (surfaktan, deterjen, dan la in-la in).

(6)

8

Menurut Patterson (2009), di dala m minyak nabati terdapat beberapa komp onen utama, di antaranya adalah trigliserida, asam le ma k, asam le ma k jenuh, dan asam le ma k tida k jenuh.

1. Trigliserida

Unit dasar dari le ma k terdiri atas sebuah mole kul g liserol yang diko mbinasikan dengan tiga mo leku l asa m le ma k. Pada saat ketiga asam le ma k tersebut berasal dari jenis yang sama, maka trigliserida itu disebut juga dengan triglisireda sederhana. Adapun jika ket iga asam le ma k berasal lebih dari satu jenis, ma ka trigliserida itu disebut dengan trigliserida ca mpuran (Patterson, 2009).

Trig liserida ini berukuran antara 1.5 – 2.0 n m, sehingga bisa masuk ke dalam adsorben yang berukuran meso dan makro. Oleh sebab itu, karakteristik in i digunakan dalam ads orbsi minyak ke lapa sawit menggunakan arang aktif untuk proses pemurniannya (Patterson, 2009).

2. Asam Lemak

Berdasarkan gugus fungsinya, asam le mak dikenal juga dengan nama asam ka rboksilat. Seca ra struktural, gugus ini me miliki ru mus fungsi RCOOH. Meskipun de mikian, tida k semua senyawa dala m gugus fungsi tersebut dimasukkan ke dala m asam le mak. Sebagai misal, t iga senyawa dengan ju mlah ka rbon yang paling kecil, yakn i: format, asetat, dan propionat dikecualikan dari asam le mak karena ket iga senyawa tersebut tidak me miliki kara kteristik immiscible (tidak la rut) dengan air. Senyawa asam butirat, yang me miliki e mpat rantai karbon dimasukkan ke dala m asam le mak dikarena kansenyawa ini secara alami terdapat pada mentega. Tingkat immiscibility (ketidaklarutan dala m air) meningkat seiring dengan bertambah panjangnya rantai karbon mulai dari asam kaproat, yakni senyawa asam le ma k dengan 6 rantai ka rbon (Patterson, 2009).

a. Asam lemak jenuh

Asam le ma k jenuh merupakan asam le ma k yang semua atom ka rbonnya terisi penuh oleh hidrogen. Dengan kata lain, asam le ma k jenuh ini t idak me miliki ikatan rangkap. Senyawa ini me rupakan asam le ma k yang paling stabil, baik da la m keadaan bebas maupun dalam keadaan terikat (Kress-Rolgers, 1990). Da la m keadaan padat, moleku l-mo leku l asam le ma k tidak jenuh ini lebih mudah untuk tersusun bersama dengan rapat dikarenakan strukturnya yang lurus.

Oleh sebab itu, asam le ma k t idak jenuh me miliki tit ik le leh yang lebih tinggi. Nila i tit ik le leh ini se ma kin meningkat seiring dengan bertambah panjangnya rantai karbon. Adapun nilai hidrofobisitasnya juga turut meningkat seiring dengan bertambah panjangnya rantai karbon.Beberapa asam le ma k tidak jenuh yang paling umum dite mukan adalah asam lau rat (C12), asam palmitat (C16), dan asam stearat(C18) (Patterson, 2009).

b. Asam lemak tidak jenuh

Asam le mak tida k jenuh adalah asam le ma k yang me miliki ikatan rangkap pada rantainya. Asam le ma k yang hanya memiliki satu ikatan rangkap dikenal dengan nama monounsaturated fatty acid. Ikatan rangkap ini me rupakan titik yang potensial untuk diserang oleh reaksi o ksidasi. Ke mudahan diserang oleh reaksi oksidasi meningkat seiring dengan semakin banyaknya ikatan rangkap. Ikatan rangkap in i me miliki ka rateristik kh usus karena ma mpu menghasilkan dua maca m

(7)

9

Tabel 3. Ko mposisi asam le ma k minyak ke lapa sawit (Rival, 2010)

isomer, yakni c is dan trans. Keisometrian in i terjad i karena ikatan rangkap bertindak sebagai penghalang sterik yang menyebabkan rotasi atom C menjad i terbatas (Patterson, 2009).

Isomer trans me miliki tit ik leleh yang lebih tinggi dikarenakan strukturnya yang me mudahkannya me mbentuk gabungan asam le ma k yang solid. Se mentara isome r c is, yang sering ditemu i pada bahan-bahan alami, me miliki sifat yang lebih liku id (Patterson, 2009). Di antara yang termasuk dala masa m le mak t idak jenuh adalah asam oleat. Asam le ma k tida k jenuh ini me miliki kara kteristik yang penting terhadap flavor minyak.

Asam le ma k Ko mposisi (%) Asam kaprilat C8:0 0,00 Asam kaprat C10:0 0,00 Asam laurat C12:0 0,00 Asam miristat (C14:0) 1,00 Asam palmitat (C16:0) 44,30 Asam stearat (C18:0) 4,60 Asan oleat (C18:1) 38,70 Asam linoleat (C18:2) 10,50

Tabel 3 menunjukkan dilihat bahwa asam le ma k dala m minyak ke lapa sawit terdiri atas dua jenis, yaitu asam le mak jenuh dan asam le mak tidak jenuh. Asam le ma k jenuh di dala m minyak ke lapa sawit berasal dari asam miristat, palmitat, dan stearat sedangkan kandungan asam le mak tidak jenuhnya berasal dari asam o leat dan linoleat. Kandungan keduanya di dalam minyak kelapa sawit lebih ku rang seimbang. Asam le mak jenuh me miliki persentase sebesar 48,9% dan asam le mak tidak jenuh sekitar 49,2%.

C. LELE

Le le merupakan ikan yang berasal dari genus Clarias (Silu roidae, Clariidae). Secara lengkap, hewan ini termasuk ke dala m kingdom Anima lia , subkingdom Metazoa, filu m Chordata, subfilu m Vertebrata, ke las Pisces, subkelas Teleostei, ordo Ostariophysi, subordo Siluro idea, fa milia Clariidae, dan genus Clarias (Djat mika et al., 1986).. He wan ini me miliki penyebaran yang luas pada perairan tawar di wilayah Afrika dan Asia. Diperkira kan nenek moyang lele in i berasal dari genus Pliocene yang hidup 7-10 juta tahun yang lalu pada za man tersie r (Sudarto, 2007). De wasa in i, terdapat total 58 spesies lele di seluruh dunia. Dari ju mlah tersebut, sebanyak 33 spesies berasal dari Afri ka dan 25 spesies berasal dari Asia.

1. Karakteristik Lele

Secara u mu m, ciri-c iri le le dapat dilihat pada tubuhnya yang panjang, sisik bagian samping dan analnya yang panjang, serta empat pasang sirip. Genus ini juga me miliki kekhasan yaitu adanya organ suprabranchial (Teugels, 2003). Organ ini berfungsi seperti halnya paru -paru dan meningkatkan ke ma mpuan le le untuk berespirasi. Hal itulah yang menyebabkan lele masih dapat bernafas pada kondisi lingkungan dengan kadar oksigen yang rendah. Dala m kondisi ters ebut, diperkirakan lele masih dapat me menuhi kebutuhan oksigennya sekitar 80 -90% (Moreau, 1988).

(8)

10

Tabel 4. Negara penghasil le le uta ma dunia (FAO, 2009)

Habitat lele ia lah air tawa r. Meskipun tempat tumbuhnya yang paling baik adalah pada air irigasi, a ir sungai, air mata a ir dan a ir su mur, na mun le le dapat juga hidup pada lingkungan yang kurang baik seperti ha lnya air kotor dan penuh lumpur, Le le juga dapat hidup pada kola m dengan padat penebaran yang tinggi. Kema mpuan genus ini untuk tumbuh dan berkembang biak pada tempat yang miskin akan oksigen, perke mbangannya yang cepat, makannya yang tidak sulit, dan ketahanannya yang tinggi terhadap stres me mbuat banyak orang yang tertarik untuk me mbudidayakannya (Na-Na korn dan Bru mmett, 2009).

2. Produksi dan Kons umsi Lele

Diperkira kan le le ini d ibudidayakan dala m seka la besar pada 30 negara dengan total produksi me lebih i 300.000 ton pada tahun 2006. Ju mlah ini setara dengan nominal 400 juta US$ (FA O, 2009). Sebanyak 20 negara di Afrika , Asia, dan Eropa me mp roduksi sekurangnya 100 ton lele per tahunnya. Pada Tabel 4, produksi le le di Indonesia mencapai angka 77.332 ton pada tahun 2006 dan mene mpati peringkat dua negara produsen utama le le.

Adapun enam jen is ikan le le yang dike mbangkan di Indonesia adalah Clarias batrachus yang lebih dikena l dengan nama ikan le le loka l, Clarias teysmani atau ikan lele ke mbang, Clarias melanoderma, Clarias nieuhofi, Dlarias localanthus, dan Clarias gariepinus yang dikenal juga sebagai ikan le le dumbo (Djat mika et al., 1986). Le le dumbo merupakan salah satu jenis ikan lele yang paling banyak dibudidayakan dan dikonsumsi di Indonesia. Lele du mbo merupakan jen is lele hasil persilangan antara lele betina Clarias fuscus yang berasal dari Taiwan dengan lele pejantan Clarias mossambicus yang berasal dari Australia. Le le dumbo me miliki sifat yang lebih unggul dibandingkan dengan lele lainnya, di antaranya adalah pertumbuhannya yang cepat, pemberi pakannya yang mudah, dan pemeliharaanny a yang tidak sulit (Hernowo dan Suyanto, 2003 dan Mahyuddin, 2008).

No Negara Jumlah (ton)

1 Thailand 146.000 2 Indonesia 77.332 3 Nigeria 51.916 4 Uganda 20.941 5 Malaysia 18.486 6 Be landa 4.500 7 Filipina 2.376 8 Hungaria 1.724 9 Suria 1.030 10 Ka mboja 800 11 Bra zil 362 12 Kenya 302 13 Mali 300 14 Polandia 280 15 Be lgia 250 16 Togo 200 17 Ru mania 118 18 Italia 115 19 Ka merun 110 20 Afrika Selatan 100

(9)

11

Ga mbar 1. FTIR spektroskopi

Tabel 5. Data produksi le le du mbo (ton) tahun 1999 -2003 (Mahyuddin 2008)

Daerah Tahun 1999 2000 2001 2002 2003 Sumatera Utara 1.343 1.354 1.327 1.446 2.534 Riau 2.013 3.428 6.369 555 1.569 Jawa Timur 7.295 7.286 7.981 14.792 25.689 Jawa Tengah 5.110 6.491 7.573 7.554 9.416 Jawa Barat 5.666 7.233 6.246 6.941 8.376 Yogyaka rta 1.781 1.063 1.751 2.258 2.518 La in-lain 1.783 2.136 2.889 4.505 7.638 Total 24.991 28.991 34.136 38.051 57.740

Menurut Mahyuddin (2008) pada Tabel 5, berdasarkan data Dinas Ke lautan dan Perikanan, perke mbangan produksi lele dumbo di Indonesia mengala mi kena ikan sebesar 18,3% per tahun dari 24.991 ton pada tahun 1999 menjadi sebesar 57.740 ton pada tahun 2003. Pada tahun 2004, produksi lele mencapai angka 60.000 ton. Se mentara pada tahun 2005 nilai in i meningkat men jadi 79.000 ton. Kebutuhan benih juga mengala mi peningkatan pesar dari 156 juta ekor pada tahun 1999 menjadi 360 juta ekor pada tahun 2003. Angka peningkatan rata-ratanya mencapai 46% per tahun.

Pasar utama le le adalah warung lesehan dan pecel lele. Di samp ing itu, pasar lele saat ini juga telah menjangkau restoran, supermarket, dan industri olahan. Permintaan le le untuk konsumsi cukup besar. Untuk pasar wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, permintaannya setiap hari tidak kurang dari 75 ton atau 2.250 ton/bulang dengan nila i perputaran uang mencapai Rp 20 miliar per bulan. Adapun permintaan dari wilayah Yogyakarta mencapai 20 ton per hari dan dari Ja wa Timur mencapai 30 ton per hari (Mahyuddin, 2008).

D. Fourier Transform Infra Red (FTIR) Spectroscopy

Fourier Transform In fra Red spectroscopy adalah metode spektroskopi infra merah mela lui sinar radiasi infra me rah yang dilalukan dala m sebuah sampel padat, cair, atau gas dalam spektrum absorpsi, emisi, fotokonduktivitas atau pembiasan Ra man(Connes dan Connes , 1996). Beberapa radiasi infra me rah ini diserap oleh sampel dan beberapa diteruskan. Hasil dari spektrum terdapat dala m absorpsi mole kula r dan transmisinya, mencit rakan fingerprint moleku lar sampe l. Ha l inilah yang me mbuat spektroskopi infra merah bisa digunakan untuk menganalisis beberapa sampel.

(10)

12

Ga mbar 2. Interfe ro meter (Ma rkovich dan Pidgeon, 1991)

Spektroskopi FTIR ini be rbeda dengan spektroskopi biasa. Spektroskopi b iasa umu mnya menggunakan metode spektroskopi dispersif. Metode ini menyinari s eberkas sinar monokro mat is pada sampel, ke mud ian mengukur seberapa banyak cahaya yang diserap, dan mengulang langkah in i u mtuk setiap panjang gelombang yang berbeda (Connes dan Connes , 1996).Sebaliknya, FTIR tidak menggunakan berkas sinar monokro mat is. Metode ini menggunakan sinar dengan beberapa frekuensi sinar yang berbeda, dan mengukur berapa banyak sinar yang dia bsorbsi oleh sampel. Sinar ini dimodifikasi dengan mengomb inasikan frekuensi yang berbeda untuk menghasilkan data sekunder. Proses ini berlangs ung berulang kali dala m wa ktu yang singkat. Hasilnya ke mudian diinterpretasikan oleh ko mputer yang berupa nilai absorbansi sampel pada tiap panjang gelombang (Connes dan Connes, 1996).

Teknik spektroskopi FTIR me rupakan alat yang penting dalam pengontrola n kualitas dan pemonitoran proses dalam industri pangan dikarenakan harganya yang murah, kerjanya yang baik, dan penggunaannya yang lebih mudah dibandingkan metode la in (Van de Voort et al., 1992).

Banyak penelit i yang sudah menggunakan instrumen FTIR spektroskopi ini dala m bahan pangan. Di antaranya adalah Hocevar et al. (2011) dala m minyak goreng, Roh man dan Che Man (2010) dala m le ma k hewani, A l-Degs et al. (2011) da la m le mak nabati, Ma rikkar et al. (2005) dala m le ma k hewani, Vlachos et al. (2006) da la m le ma k nabati, Che Man et al. (2005) dala m pe ma lsuan cokelat dengan lemak babi, dan Roh man et al. (2011) dala m pe malsuan bakso dengan daging babi. Menurut Markovich dan Pidgeon (1991), instrumen FTIR spektroskopi terbagi men jadi beberapa bagian, yaitu:

1. Inte rferometer

Interfero meter me rupakan alat optik yang terdapat di dalam FTIR spektrofotometer. A lat ini dike mbangkan menggunakan prinsip interfero meter Michelson. Interfe ro meter ini terdiri atas dua cermin datar yang me mbentuk sudut siku satu sama la innya dengan sebuah beam splitter (pemisah sinar) pada sudut 450 dari cermin datar. Satu cermin berada pada kondisi stasioner, sementara cermin yang lainnya dapat bergerak bebas.

Beam splitter me mbagi cahaya yang datang dari sumbernya menuju tiap leng an interferometer. Sebanyak 50% dari sinar ini dipantulkan ke cermin stasioner dan 50% sisanya diteruskan ke ce rmin yang bergerak.

Berdasarkan ga mbar berikut, sinar yang masuk dibagi ke dala m dua ja lur interfero meter. Satu bagian menuju ke lengan interferometer dengan cermin bebas sementara bagian lainnya masuk ke dala m lengan interfero meter dengan cermin tetap. Dua sinar ini pada akhirnya bersatu kemba li di dala m beam splitter di mana setengah dari sinar tersebut kemba li ke sumbernya dan sisanya

(11)

13

diteruskan ke dala m sampel. Cahaya dari sampel yang tidak diserap akan diteruskan dan masuk ke dala m detektor.

Adanya perbedaan jalur optis sinar yang diakibatkan oleh cermin bergerak menyebabkan adanya perbedaan fase sinar. Hal ini menyebabkan timbulnya pola inte rferensi sinar yang berbeda pada detektor. Perbedaan pola ini, yang menyebabkan dapat diketahuinya informasi spektrm dari suatu sampel, dikenal dengan nama interferogra m.

Interferogra m juga dapat dikatakan sebagai plot antara intensitas cahaya dari yang mencapai detektor terhadap keterla mbatan optis yang disebabkan oleh pergerakan cermin. Sensitiv itas instrumen dapat dihitung mela lui intensitas maksima l yang mencapai detektor.

2. Detektor

Terdapat dua macam t ipe detektor dala m FTIR spektroskopi, yakni deuterated triglycine sulfate (TGS), pyroelectric bolometer, dan mercury cadmium telluride (MCT) photodetector. Umu mnya detektor MCT digunakan untuk mengukur sampel dala m bentuk cair dikarena kan kara kteristiknya yang lebih sensitif.

Intensitas cahaya yang berhasil mene mbus sampel dan ditangkap oleh detektor dihitung sebagai interval dari pergesaran cermin, yang me miliki nila i lebih kecil daripada satu mikro meter. Keluaran optis in i dih itung pada interval pergesaran cermin yang sama.

Di dala m spektrofoto meter FT IR terdapat laser heliu m-neon (He -Ne ) yang digunakan untuk mengukur pergesaran linear dari cermin bergerak sehingga komputer dapat menghitung keluaran optis pada pergesaran cermin yang tepat dalam bentuk data digital. Oleh sebab itulah laser He -Ne ini bertindak sebagai ja m internal spektrofotometer yang me mberitahukan lokasi yang tepat untuk me mpe roleh sebuah data dalam pengukuran interferogra m. Laser He -Ne in i me mancarkan cahaya dengan panjang gelombang 0.63299 mikro meter.

3. Inte rferogram

Pada saat seberkas sinar me masuki interfero meter, hanya satu panjang gelombang saja yang dapat keluar dari interfe ro meter. Pada detektor, cahaya ini mengala mi perubahan mula i dari sinar terang ke sinar gelap. Hal in i terjadi ka rena adanya perbedaan fase sinar di mana sin yal sinar yang paling tinggi terjadi pada saat posisi cermin menghasilkan fase konstruktif dan sinar sinyal paling rendah pada saat posisi cermin menghasilkan fase destruktif. Pada posisi cermin di mana sinar yang dihasilkan terleta k antara posisi interferensi konstruktif maksimu m dan posisi interferensi destruktif ma ksimu m, interferensi optis menyebabkan dihasilkannya sinar dengan pada intensitas intermed iat.

Hal inilah yang menyebabkan interfero meter ma mpu mengubah sinar menjadi beberapa intensitas yang berbeda meskipun berasal dari sumber yang sama.

Sebuah plot yang menggambarkan perubahan nilai intensitas yang teratur terhdapa pergeseran cermin dapat dilihat pada gambar berikut. Luaran dari interferogra m ini menghasilkan arus AC dan arus DC. Arus DC ke mudian dih ilangkan karena informasi spektra l haruslah dala m bentuk AC.

E. Analisis Multivariat

Analisis mult ivariat merupakan metode statistika pengolahan data yang dilaku kan untuk mengolah data yang me miliki variabel yang cukup banyak. Da la m terminologi sains dan teknologi, metode ini u mu mnya diterapkan dalam menghitung beberapa data variabel pada beberapa sampel.

(12)

14

Melalui metode ini, variabel data tersebut akan diseleksi sedemikian rupa sehingga me mbuang data yang tidak penting dan menghasilkan sejumlah data yang paling informatif dan berpengaruh terhadap parameter yang dia mati (Umetrics AB, 2006).

Beberapa hal yang termasuk ke dala m analisis mu ltivariat adalah merangku m dan me mv isualisasikan serangkaian data, mengklasifikasikan data ke dala m kelo mpok tertent u, seerta menentukan hubungan kuantitatif antara variabel. Ha l ini dapat dilakukan pada berbagai maca m model data multivariat, mu lai dari banyak sedikitnya variabel, banyak sedikitnya variabel, hingga lengkap tidaknya data yang diperoleh (Umetrics AB, 2006).

Pada umu mnya, analisi multiva riat terdiri atas multiple linear regression (MLR), linear discriminant analysis (LDA), canonical correlation (CC), factor analysis (FA), dan principle component analysis (PCA)(Umetrics AB, 2006).

Dala m beberapa kasus, seringkali analisis mu ltivariat diistilahkan dengan analisis megavariat. Bedanya, analisis megavariat digunakan pada data yang me miliki variabe l laten untuk menghasilkan data mult ivariat. Oleh sebab itu, analaisis megavariat dapat diterapkan pada data yang tidak lengkap. Sebagai contoh adalah data yang diterapkan pada proses teknologi terapan yang me miliki beberapa variabel laten yang tidak na mpak (Gra inger, 2003).

Dala m aplikasi keseharian, analisis mult ivariat ini banyak digunakan pada Quality Control (QC), pe monitoran proses produksi, maupun di sektor-sektor industri meliputi kimia, petrokimia, polimer, plastik, serat, logam dan materia l, teleko mun ikasi, automobil, se mikondukt or, hingga ma kanan dan minu man (Umetrics AB, 2006).

Dala m ana lisis mult ivariat, d ikena l dua istilah penting yakni observasi (N) dan variabel (K). Observasi seringkali disebut sebagai objek, sampe l, ataupun benda yang diamati. Sedangkan variabel adalah properti yang dia mati pada observasi(Umetrics AB, 2006).

Dala m bidang kimia, dikenal is tilah pengenalan pola (pattern recogniton). Istilah ini sebenarnya merupakan sinonim da ri ana lisis mult ivariat yang mene kankan proses yang dilaku kan untuk mene mukan pola data dari satu atau beberapa tahap observasi (Wold et al., 1984). Po la in i lah yang nantinya akan menyediakan in formasi mengenai hubungan antara observasi dala m satu kelas, mana yang dekat dan mana yang jauh , serta mana observasi yang tidak serupa dan merupakan pencilan. Melalu i metode ini juga dapat diperoleh informasi antara satu variabe l dengan variabel yang lain.

Jika dite mukan observasi yang me miliki pola yang berbeda, obseravasi tersebut akan dimasukan ke dala m ke las lain bersama dengan observasi lain yang mirip. Dengan demikian, terdapat tiga langkah uta ma dala m analisis mult ivariat, yakni: 1) perangku man dan penamp ilan data secara keseluruhan pada satu tabel, 2) pengklasifikasian beberapa ke lo mpok observasi, dan 3) pe mbuatan model regresi antara dua blo k data (X dan Y)(Umetrics AB, 2006).

1. Overvie w Data

Pada tahap awal, u mu mnya mas ih sedikit informasi yang diketahui. Oleh sebab itu, diperlukan cara untuk menyajikan data dalam bentuk yang sederhana dan mudah dimengerti. Proses penyajian ini dapat dilakukan dengan menggunakan pricipal component analysis (PCA) (Jackson, 1991). PCA ma mpu merangku m data dengan baik sekaligus menunjukkan re lasi antara observasi yang diukur serta observasi yang berupa pencilan. Di samp ing itu, PCA ma mpu menunjukkan hubungan antara variabel dengan observasi. Dengan demikian, dapat diketahui variabel yang berkontribusi terhadap observasi maupun tidak(Umet rics AB, 2006).

(13)

15

2. Pengklasifikasian Data

Pada tahap ini, observasi akan d iklasifikasi ke dala m kelo mpo k-kelo mpok. Pada tiap kelo mpok akan terdapat beberapa observsi yang me miliki kriteria mirip dan sesuai den gan kriteria kelo mpok tersebut. Dala m beberapa kasus, seringkali hanya diperoleh dua sampai tiga ke lo mpok observasi saja. Hal in i menunjukkan diperlukannya pemodelan PCA lanjutan sehingga diperoleh hubungan yang lebih mudah dipahami. Di samping itu, dari hasil klasifikasi in i juga seringkali dite mu kan observasi yang tidak dapat dimasukkan ke dala m ke lo mpok manapun. Observasi ini digolongkan sebagai pencilan(Umetrics AB, 2006).

3. Pembuatan Model Regresi

Tahap terakhir dari analisis mult ivariat adalah pembu atan model regresi antara dua blok data. Pe modelan jenis in i dilaku kan dengan menggunakan metode partial least square-ordinary least square(OLS). Adapun dua blok data yang dikorelasikan umu mnya dinyatakan sebagai X dan Y. Blok X seringka li d iistilahkan sebagai faktor atau prediktor sementara Y d iistilahkan sebagai respon(Umetrics AB, 2006).

Tujuan dari pembuatan model regresi ini ada lah menentukan nila i Y dari X dala m rangka me mp rediksi observasi yang baru. Hal ini d ila kukan dengan cara mengumpulkan data X. Oleh sebab itu, langkah ini sering juga dina ma kan kuantifikasi dan prediksi. Lebih lanjut, data yang tepat dan model OLS yang akurat d iperlukan untuk menje laskan hubungan bagaimana fa ktor me mpengaruhi respon, bagaimana respon berkorelasi satu sama lain, serta bagaimana mengatur faktor sehingga mendapatkan profil respon yang diinginkan(Umetrics AB, 2006).

Gambar

Tabel 1. Pe rsyaratan Minyak Goreng (  SNI 01-3741-2002)
Tabel  3  menunjukkan  dilihat  bahwa  asam  le ma k  dala m  minyak  ke lapa  sawit  terdiri  atas  dua  jenis, yaitu asam le mak jenuh dan asam le mak tidak jenuh
Tabel 5. Data produksi le le du mbo (ton) tahun 1999 -2003 (Mahyuddin 2008)

Referensi

Dokumen terkait

Selama ini belum ada penelitian yang mengkaji bagaimana kemampuan fraksi tidak tersabunkan yang terdapat dalam DALMS yang mengandung senyawa bioaktif multikomponen

Pada saat shift malam bagian Regu bertugas menjaga pintu masuk di setiap lantai dalam posisi berdiri, menjaga pos-pos, dan berkeliling atau patroli pada pukul 20.00-22.00

Hasil evaluasi pelaksanaan terapi menunjukkan bahwa paket terapi yang memberikan efek khususnya untuk lebih mengurangi respon terhadap stressor pada klien dengan

Data tersebut diambil secara random (acak) sebanyak 60 peserta didik. Dari 60 peserta didik tersebut kemudian dibagi menjadi dua yaitu 30 untuk peserta didik yang

Ketepat waktuan penyampaian laporan keuangan dalam riset ini yaitu rentang waktu pengumuman laporan keuangan tahunan yang telah diaudit (auditan) kepada publik yaitu lamanya

a) Diharapkan Lapas Narkotika Kelas IIB Banyuasin melakukan evaluasi yang lebih mendalam terhadap hasil dan proses pelatihan yang dilaksanakan dan Pelatihan yang

Proses pembuatan Bale Gading adalah sebagai berikut: bahan yang digunakan didapatkan dari tempat yang suci atau tidak leteh, serta bahan dan pembuatannya dengan

Bentuk pada relief patung lingga hampir sama dengan bentuk-bentuk patung lingga pada umumnya yang terdapat di daerah lain, tidak banyak ornamen yang terlihat, hanya