• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UNIVERSITAS INDONESIA"

Copied!
243
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

MANAJEMEN KASUS SPESIALIS JIWA DEFISIT PERAWATAN DIRI PADA KLIEN GANGGUAN JIWA DI RW 02 DAN RW 12

KELURAHAN BARANANG SIANG KECAMATAN BOGOR TIMUR

KARYA ILMIAH AKHIR

Dwi Heppy Rochmawati 0906573742

PROGRAM SPESIALIS KEPERAWATAN JIWA FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

(2)

UNIVERSITAS INDONESIA

MANAJEMEN KASUS SPESIALIS JIWA DEFISIT PERAWATAN DIRI PADA KLIEN GANGGUAN JIWA DI RW 02 DAN RW 12

KELURAHAN BARANANG SIANG KECAMATAN BOGOR TIMUR

KARYA ILMIAH AKHIR

Disusun guna memenuhi tugas untuk menyelesaikan Mata Ajar KIA pada Program Spesialis Keperawatan Jiwa

Dwi Heppy Rochmawati 0906573742

PROGRAM SPESIALIS KEPERAWATAN JIWA FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

(3)
(4)
(5)
(6)

PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA

Karya Ilmiah Akhir, Juli 2012

Dwi Heppy Rochmawati

Manajemen Kasus Spesialis Jiwa Defisit Perawatan Diri pada Klien Gangguan Jiwa di RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang Kecamatan Bogor Timur

xviii + 180 hal + 19 tabel + 3 skema + 5 lampiran

Jumlah klien gangguan jiwa yang ditemukan adalah 18 orang (2,44%) dari total penduduk dewasa 737 orang. Angka ini menunjukkan peningkatan dari estimasi gangguan jiwa di Jawa Barat (0,22%). Defisit perawatan diri adalah salah satu bentuk gangguan jiwa dan dialami oleh seluruh klien gangguan jiwa yang ditemukan. Tujuan penulisan karya ilmiah akhir ini adalah menggambarkan management of care kasus spesialis terhadap klien defisit perawatan diri dengan pendekatan Self Care Orem. Metode yang digunakan adalah studi serial kasus defisit perawatan diri pada klien gangguan jiwa dengan pemberian terapi spesialis keperawatan jiwa. Paket terapi yang diberikan : 1 Behaviour theraphy, 2 Behaviour theraphy dan Supportif Theraphy, 3 Behaviour theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group. Terapi diberikan kepada 17 klien (9 skizofrenia, 4 retardasi mental dan 4 demensia). Hasil pelaksanaan terapi adalah paket terapi ketiga sangat efektif untuk meningkatkan kemampuan dan menurunkan tanda gejala klien defisit perawatan diri dengan diagnosa medis skizofrenia dan retardasi mental. Terapi-terapi tersebut kurang efektif bagi klien demensia. Berdasarkan hasil di atas perlu direkomendasikan bahwa behaviour theraphy, supportif theraphy dan self help group dapat dijadikan standar terapi spesialis keperawatan jiwa bagi klien defisit perawatan diri khususnya dengan skizofrenia dan perlu dilakukan penelitian lanjut tentang terapi spesialis keperawatan jiwa yang tepat untuk klien defisit perawatan diri dengan demensia.

Kata kunci : Behaviour theraphy, Self Care Orem, defisit perawatan diri. Daftar pustaka 57 (1997-2012)

(7)

POST GRADUATE PROGRAM FACULTY OF NURSING UNIVERSITY OF INDONESIA

The Last Paper of Science, July 2012

Dwi Heppy Rochmawati

Mental Specialist Case Management Self-Care Deficit for Client of Mental Disorders at RW 02 and RW 12 Kelurahan Baranang Siang East of Bogor

xviii + 180 page + 19 table + 3 scheme + 5 appendixs

The amount of clients of mental disorders found were 18 people (2.44%) of the total adult population of 737 people. This amount shows an increase from an estimate of mental disorder in West Java (0.22%). Self-care deficit is one form of mental disorder and is experienced by all clients of mental disorders was found. The purpose of this paper is to describe management of care the scientific end case specialists to client self-care deficit with Orem’s Self Care approach. The method used is the serial case study of self-care deficits in psychotic clients with life-giving therapy nursing specialists. Therapy are : first package of Behavior Therapy, second package of Behavior Therapy and Supportive Therapy, third package of Behavior Therapy, Supportive Therapy and Self Help Group. Therapy was given to the 17 client (9 schizophrenia, 4 mental retardation, and 4 dementia). The results of the implementation of these therapies is that the package of three highly effective therapy to improve coping mechanism and reduce the symptoms signs on the client's self-care deficit with a medical diagnosis of schizophrenia and mental retardation in performing self-care. These therapies are less effective for clients with dementia. Based on the above results need to be recommended that the behavior therapy, supportive therapy and self help group can be made standard of therapy of nursing specialist self-care deficit of clients and schizophrenia in particular, and have done research about nursing specialist mental therapy is right for the client self-care deficits with dementia.

Keywords: Behavior Therapy, Self Care Orem, self-care deficit.

(8)

Alhamdulillaahi Robbil Aalamiin, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat Rahmat dan Kasih Sayang-Nya Karya Ilmiah Akhir dengan judul

“Manajemen Kasus Spesialis Jiwa Defisit Perawatan Diri pada Klien Gangguan Jiwa di RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang Kecamatan Bogor Timur” dapat penulis selesaikan tepat pada waktunya. Karya

Ilmiah Akhir ini disusun dalam rangka menyelesaikan tugas akhir untuk meraih gelar Spesialis Keperawatan Jiwa pada Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

Selama proses penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini, penulis tidak lepas mendapatkan petunjuk dan bimbingan dari berbagai pihak yang sangat membantu. Maka pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Kepala Kecamatan Bogor Timur beserta seluruh staf yang telah bekerjasama dan memfasilitasi serta memberikan kesempatan pada mahasiswa dalam mengembangkan program Community Mental Health Nursing (CMHN) di Wilayah Kecamatan Bogor Timur khususnya Kelurahan Baranang Siang. 2. Kepala Puskesmas Bogor Timur beserta seluruh staf yang telah bekerjasama

dan memfasilitasi serta memberikan kesempatan pada mahasiswa dalam mengembangkan progam Community Mental Health Nursing (CMHN) di Wilayah Puskesmas Bogor Timur.

3. Kepala Kelurahan Baranang Siang Kecamatan Bogor Timur yang telah bekerja sama, memfasilitasi dan memberikan kesempatan pada mahasiswa untuk mengaplikasikan kemampuan perawat spesialis khususnya dalam mengembangkan program CMHN di Wilayah RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang.

4. Dewi Irawaty, M.A., Ph.D, selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

(9)

6. Prof. DR. Budi Anna Keliat, S. Kp., M. App. Sc, selaku pembimbing I yang telah memberikan saran, arahan, bimbingan serta motivasi dalam penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini hingga selesai.

7. Ice Yulia Wardani, S. Kp., M. Kep., Sp. Kep. J., selaku pembimbing II yang telah memberikan saran, arahan, bimbingan serta motivasi dalam penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini hingga selesai.

8. Mustikasari, S. Kp., MARS., selaku Dosen Wali yang selalu memberikan arahan dan motivasi untuk tetap semanagt dan maju meraih yang terbaik. 9. Prof. Achir Yani S. Hamid, M.N., D.N.Sc, selaku pengajar Mata Kuliah

Keperawatan Jiwa pada Kelompok Keilmuan Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

10. Herni Susanti, S.Kp., M.N, selaku pengajar Mata Kuliah Keperawatan Jiwa pada Kelompok Keilmuan Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

11. Novy Helena C.D., S. Kp., M. Sc, selaku pengajar Mata Kuliah Keperawatan Jiwa pada Kelompok Keilmuan Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia

12. Staf Pengajar Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia yang telah membekali ilmu, sehingga penulis mampu menyusun karya ilmiah akhir ini.

13. Seluruh keluarga terutama suami (Hery Apriyanto) dan anak-anakku tercinta (Kiky, Vicky dan Ricky Ilyasa) yang telah memberikan motivasi dan dukungan selama proses studi.

14. Rekan-rekan mahasiswa Program Pendidikan Perawat Spesialis Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia angkatan Tahun 2009 senasib seperjuangan.

15. Semua pihak yang terlibat dalam penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

(10)

dipergunakan untuk peningkatan kualitas pelayanan keperawatan jiwa.

Depok, Mei 2012

(11)

HALAMAN SAMPUL ... HALAMAN JUDUL ... LEMBAR PERSETUJUAN ... i ii iii LEMBAR PENGESAHAN ... iv PERNYATAAN ORISINALITAS ... v

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vi

ABSTRAK ... vii ABSTRACT ... KATA PENGANTAR ... DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ... viii ix xii xvi xvii xviii 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan Penulisan ... 1.2.1 Tujuan Umum ... 1.2.2 Tujuan Khusus ... 9 9 9 1.3 Manfaat Penulisan ... 1.3.1 Manfaat Aplikatif ... 1.3.2 Manfaat Keilmuan ... 1.3.3 Manfaat Metodologi ... 10 10 10 11 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gangguan Jiwa ... 12 2.2 Skizofrenia ... 2.2.1 Pengertian ... 2.2.2 Penyebab ... 14 14 15

(12)

2.3 Retardasi Mental ... 2.3.1 Pengertian ... 2.3.2 Penyebab ... 2.3.3 Tanda dan Gejala ... 2.3.4 Terapi Psikofarmaka Retardasi Mental ... 2.4 Demensia ... 2.4.1 Pengertian ... 2.4.2 Penyebab ... 2.4.3 Tanda dan Gejala ... 2.4.4 Terapi Psikofarmaka Demensia ...

20 20 21 24 25 26 26 27 27 27

2.5 Defisit Perawatan Diri ... 29

2.5.1 Pengertian ... 29

2.5.2 Stressor Defisit Perawatan Diri ... 29

2.5.3 Respon terhadap Stresor pada Defisit Perawatan Diri ... 40 2.5.4 Kemampuan Klien Defisit Perawatan Diri ... 2.5.5 Tindakan Keperawatan Defisit Perawatan Diri ... 2.6 Konseptual Model Pelayanan dan Asuhan Keperawatan Jiwa ... 2.6.1 Teori dan Konsep Model Self Care Dorothy Orem ... 2.6.2 Konsep Community Mental Health Nursing ... 2.6.3 Aplikasi dan Kerangka Konsep Proses Keperawatan dengan

Pendekatan Model Orem’s Self Care ... 46 52 69 70 75 84

3. MANAJEMEN PELAYANAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN JIWA DI PUSKESMAS BOGOR TIMUR

3.1 Profil Wilayah ... 3.1.1 Kecamatan Bogor Timur ... 3.1.2 Kelurahan Baranang Siang ... 3.1.3 RW 02 dan RW 12 ... 3.2 Manajemen Pelayanan Kesehatan Jiwa ...

88 88 91 92 96

(13)

3.2.3 RW 02 dan RW 12 ...

96

4. PELAKSANAAN DAN HASIL MANAJEMEN ASUHAN

KEPERAWATAN PADA KLIEN DEFISIT PERAWATAN DIRI

4.1 Hasil Pengkajian ... 4.1.1 Karakteristik ... 4.1.2 Stressor Predisposisi ... 4.1.3 Stressor Presipitasi ... 4.1.4 Respon terhadap Stressor ... 4.1.5 Kemampuan Klien ... 4.2 Diagnosa Keperawatan dan Diagnosa Medis ... 4.3 Rencana Tindakan Keperawatan ... 4.4 Pelaksanaan dan Hasil Tindakan Keperawatan ... 4.4.1 Tindakan Keperawatan ... 4.4.2 Hasil ... 4.5 Evaluasi dan Rencana Tindak Lanjut ... 4.5.1 Evaluasi Keperawatan ... 4.5.2 Rencana Tindak Lanjut ... 4.6 Hambatan Pelaksanaan Asuhan Keperawatan ... 4.6.1 Pelaksanaan Terapi ... 4.6.2 Lingkungan Perawatan ... 109 109 111 113 114 116 118 120 126 126 138 151 151 151 152 152 153 5. PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik ... 5.1.1 Usia ... 5.1.2 Pendidikan ... 5.1.3 Status Pekerjaan ... 5.1.4 Status Perkawinan ... 5.2 Stressor Predisposisi ... 154 154 155 156 156 157

(14)

dengan Pendekatan Teori Dorothy Orem Self Care Model ... 5.4.1 Respon terhadap Stressor ... 5.4.2 Kemampuan Klien ... 5.5 Efektifitas Penerapan Terapi pada Defisit Perawatan Diri ... 5.3.1 Efektifitas BT ... 5.3.2 Efektifitas BT+ST, BT+ST+SHG ... 161 163 166 169 169 172

5 SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan ... 6.2 Saran ... DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN 177 179

(15)

Tabel 3.1

Tabel 3.2

Tabel 4.1

Distribusi KK Sehat, Risiko dan Gangguan di RW 02 Kelurahan Baranang Siang Kecamatan Bogor Timur

Distribusi KK Sehat, Risiko dan Gangguan di RW 12 Kelurahan Baranang Siang Kecamatan Bogor Timur

Distribusi Karakteristik Klien dengan Defisit Perawatan Diri Periode Oktober 2011-April 2012 (n=18)

94

96

110

Tabel 4.2 Distribusi Stressor Predisposisi Klien dengan Defisit Perawatan Diri Periode Oktober 2011-April 2012 (n=18)

112

Tabel 4.3 Distribusi Stressor Presipitasi Klien dengan Defisit Perawatan Diri Periode Oktober 2011-April 2012 (n=18)

113

Tabel 4.4 Distribusi Respon terhadap Stressor Klien dengan Defisit Perawatan Diri Periode Oktober 2011-April 2012 (n=18)

115

Tabel 4.5 Distribusi Kemampuan Klien dengan Defisit Perawatan Diri Periode Oktober 2011-April 2012 (n=18)

117

Tabel 4.6 Distribusi Diagnosa Keperawatan Penyerta Klien dengan Defisit Perawatan Diri Periode Oktober 2011-April 2012 (n=18)

119

Tabel 4.7

Tabel 4.8

Distribusi Diagnosa Medis Klien dengan Defisit Perawatan Diri Periode Oktober 2011-April 2012 (n=18)

Rencana Pemberian Terapi Klien dengan Defisit Perawatan Diri Periode Oktober 2011-April 2012

119

125

Tabel 4.9 Distribusi Pelaksanaan Terapi Keperawatan Klien dengan Defisit Perawatan Diri Periode Oktober 2011-April 2012 (n=18)

(16)

Tabel 4.11 Tabel 4.12 Tabel 4.13 Tabel 4.14 Tabel 4.15 Tabel 4.16 Tabel 4.17 Tabel 4.18 Tabel 4.19

Distribusi Pelaksanaan Terapi Keperawatan Kelompok Klien Defisit Perawatan Diri Periode Oktober 2011-April 2012 (n=18)

Distribusi Hasil Evaluasi Respon terhadap Stressor Klien Defisit Perawatan Diri dengan Diagnosa Medis Skizofrenia Periode Oktober 2011-April 2012

Distribusi Hasil Evaluasi Respon terhadap Stressor Klien Defisit Perawatan Diri dengan Diagnosa Medis Retardasi Mental Periode Oktober 2011-April 2012

Distribusi Hasil Evaluasi Respon terhadap Stressor Klien Defisit Perawatan Diri dengan Diagnosa Medis Demensia Periode Oktober 2011-April 2012

Distribusi Hasil Evaluasi Kemampuan Pre dan Post Terapi Klien Defisit Perawatan Diri dengan Diagnosa Medis Skizofrenia Periode Oktober 2011-April 2012

Distribusi Hasil Evaluasi Kemampuan Pre dan Post Terapi Klien Defisit Perawatan Diri dengan Diagnosa Medis Retardasi Mental Periode Oktober 2011-April 2012

Distribusi Hasil Evaluasi Kemampuan Pre dan Post Terapi Klien Defisit Perawatan Diri dengan Diagnosa Medis Demensia Periode Oktober 2011-April 2012

Distribusi Kemampuan Keluarga dalam Merawat Klien Defisit Perawatan Diri Periode Oktober 2011-April 2012

Distribusi Kemampuan Kelompok dalam Merawat Klien Defisit Perawatan Diri Periode Oktober 2011-April 2012 135 139 140 141 146 147 147 150 151

(17)

Gambar 2.1 Rentang Respon Perawatan Diri 45

Gambar 2.2 Orem’s Self Care Model 72

Gambar 2.3

Gambar 3.1

Aplikasi Penerapan Orem’s Self Care Model

Struktur Pengelolaan Klien Gangguan Jiwa RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang

87

(18)

Lampiran 1 Rekapitulasi Hasil Pengkajian Karaktersitik Klien Defisit Perawatan Diri di RW 02 dan RW 12 Periode Oktober 2011-April 2012

Lampiran 2 Rekapitulasi Hasil Pengkajian Faktor Predisposisi Klien Defisit Perawatan Diri di RW 02 dan RW 12 Periode Oktober 2011-April 2012

Lampiran 3 Rekapitulasi Hasil Pengkajian Faktor Presipitasi Klien Defisit Perawatan Diri di RW 02 dan RW 12 Periode Oktober 2011-April 2012

Lampiran 4 Rekapitulasi Hasil Pengkajian Penilaian Terhadap Stresor

Klien Defisit Perawatan Diri di RW 02 dan RW 12 Periode Oktober 2011-April 2012

Lampiran 5 Rekapitulasi Hasil Pengkajian Kemampuan Klien

Defisit Perawatan Diri di RW 02 dan RW 12 Periode Oktober 2011-April 2012

(19)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain (UU No 36, 2009). Kesehatan jiwa menurut World Health Organization (WHO) tahun 2001 yaitu kondisi sejahtera dimana individu menyadari kemampuan yang dimilikinya, dapat mengatasi stress dalam kehidupannya, dapat bekerja secara produktif dan mempunyai kontribusi dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan menurut Stuart (2009) kesehatan jiwa adalah keadaan sejahtera yang ditandai dengan perasaan bahagia, keseimbangan, merasa puas, pencapaian diri dan optimis. Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kesehatan jiwa adalah keadaan atau kondisi yang sejahtera baik secara emosional, psikologis, maupun sosial, mampu menyadari tentang diri dan kemampuan yang dimilikinya sehingga dapat berfungsi secara produktif baik bagi diri sendiri, keluarga maupun masyarakat.

WHO (2001) menjelaskan bahwa status kesehatan jiwa secara global memperlihatkan 25% penduduk pernah mengalami gangguan mental dan perilaku, namun hanya 40% yang terdiagnosis. Selain itu, 10% populasi orang dewasa pernah mengalami gangguan mental dan perilaku, 20% pasien di puskesmas teridentifikasi mengalami gangguan jiwa dan satu orang dari empat rumah tangga mempunyai keluhan gangguan perilaku. Data WHO (2006) mengungkapkan 26 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa. Panik dan cemas adalah gejala paling ringan dan dari total populasi, sekitar 13,2 juta orang mengalami depresi.

(20)

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 dari Badan Penelitian Pengembangan Kesehatan Kemenkes Republik Indonesia (Kemenkes RI, 2008), prevalensi gangguan mental emosional seperti gangguan kecemasan dan depresi sebesar 11,6% dari populasi orang dewasa dengan prevalensi tertinggi di Jawa Barat yaitu 20,0%. Prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia sebesar 0,46 %, dengan kata lain dari 1000 penduduk Indonesia empat sampai lima diantaranya menderita gangguan jiwa berat. Prevalensi gangguan jiwa berat di Jawa Barat sebesar 0,22 % dan angka tersebut meningkat menjadi 0,40% di kota Bogor. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa masalah kesehatan jiwa baik gangguan jiwa ringan hingga berat cukup tinggi dan membutuhkan penanganan yang serius serta berkesinambungan.

Gangguan jiwa menurut Townsend, (2005) merupakan respon maladaptif terhadap stresor dari lingkungan internal dan eksternal yang ditunjukkan dengan pikiran, perasaan, dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma lokal dan budaya setempat, mengganggu fungsi sosial, pekerjaan, dan fisik individu. Disfungsi yang terjadi dapat berupa disfungsi dalam segi perilaku, psikologik, biologik dan gangguan itu tidak semata-mata terletak di dalam hubungan antara orang itu dengan masyarakat (PPDGJ III, 2003). Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV-TR) 4th edition (1994) gangguan jiwa didefinisikan sebagai kumpulan gejala (sindrom) atau pola klinik yang signifikan dari perilaku dan psikologis yang terjadi pada individu dan dikaitkan dengan stress dan ketidakmampuan (kerusakan fungsi dalam satu area atau lebih) atau meningkatan resiko penderitaan, ketidakmampuan atau kehilangan kebebasan.

Gangguan jiwa menurut Kaplan dan Sadock (2007), merupakan gejala yang dimanifestasikan melalui perubahan karakteristik utama dari kerusakan fungsi perilaku atau psikologis yang secara umum diukur dari beberapa konsep norma, dihubungkan dengan distress atau penyakit, tidak

(21)

hanya dari respon yang diharapkan pada kejadian tertentu atau keterbatasan hubungan antara individu dan lingkungan sekitarnya. Berdasarkan pernyataan-pernyataan diatas dapat disimpulkan gangguan jiwa merupakan respon maladaptif terhadap stresor yang menyebabkan disfungsi baik biologis, psikologis atau perilaku dimana disfungsi atau perubahan ini tidak sesuai dengan norma lokal dan budaya setempat yang menyebabkan timbulnya penderitaan dan hambatan dalam melaksanakan peran sosialnya.

Skizofrenia merupakan salah satu diagnosa medis dari gangguan jiwa yang paling banyak ditemukan dan merupakan gangguan jiwa berat. Menurut PPDGJ III (tahun 2003) bahwa Skizofrenia termasuk salah satu gangguan jiwa, selain gangguan mental organik, gangguan mood dan afektif, gangguan neurotik, gangguan kepribadian, retardasi mental, gangguan perkembangan psikologis dan gangguan perilaku dan emosional. Skizofrenia adalah sekumpulan sindroma klinik yang ditandai dengan perubahan kognitif, emosi, persepsi dan aspek lain dari perilaku (Kaplan & Sadock, 2007). Menurut Durand (2007), retardasi mental adalah gangguan yang telah tampak sejak masa anak-anak dalam bentuk fungsi intelektual dan adaptif yang secara signifikan berada dibawah rata-rata. Menurut Ely Lilly dalam Stuart dan Laraia, (2005) tanda dan gejala dari skizofrenia dibagi dalam empat dimensi utama yaitu gejala positif, gejala negatif, gejala kognitif dan gejala depresi atau perubahan mood.

Gejala positif dari skizofrenia adalah halusinasi, delusi, perubahan arus pikir (arus pikir terputus, inkoheren dan neologisme) dan perilaku bizarre (agresif, agitasi, repetisi, perilaku stereotip). Gejala negatif yaitu afek tumpul, ketidakmampuan dalam berpikir, kehilangan motivasi, ketidakmampuan dalam mengalami perasaan senang dan kegembiraan, sikap masa bodoh, pembicaraan terhenti tiba-tiba, menarik diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja (bermasalah dalam pekerjaan) atau menurunnya aktifitas sosial sehari-hari (termasuk perawatan diri).

(22)

Gejala kognitif yaitu kurang perhatian, mudah terdistraksi, gangguan memori, ketidakmampuan dalam memecahkan masalah, ketidakmampuan dalam mengambil keputusan, tidak logis. Sedangkan gejala depresi atau perubahan mood yaitu dysphoria, keinginan bunuh diri dan ketidakberdayaan (Stuart & Laraia, 2009).

Penjelasan di atas memberikan makna bahwa individu dengan skizofrenia mengalami perubahan-perubahan pada perasaan, pikiran dan perilaku menjadi maladaptif sehingga mempengaruhi individu tersebut dalam berperan terhadap dirinya atau orang lain. Berdasarkan gejala-gejala negatif, kognitif dan depresi tersebut dapat dikatakan bahwa klien yang mengalami gangguan jiwa berat atau skizofrenia beresiko untuk mengalami Defisit Perawatan Diri.

Defisit perawatan diri adalah kerusakan kemampuan dalam memenuhi aktifitas kebersihan diri secara mandiri (merawat tubuh dan fungsi tubuh) yang meliputi aktifitas mandi, berpakaian dan berhias untuk diri sendiri sesuai situasi dan kondisi, aktifitas makan, dan aktifitas toileting (Herdman, 2012). Perawatan diri membutuhkan kesadaran dan pemahaman yang baik untuk memenuhinya, karena perawatan diri merupakan salah satu kebutuhan yang sangat dasar bagi manusia. Berdasarkan pengalaman penulis di komunitas, walaupun klien telah dijelaskan pentingnya perawatan diri dan diajarkan cara-cara memenuhi kebutuhan perawatan diri hingga dimotivasi dengan menyediakan kebutuhan untuk perawatan diri namun masih banyak klien belum melaksanakannya dengan baik. Kondisi ini memberikan arti bahwa manajemen untuk mengatasi masalah Defisit Perawatan Diri masih ada yang kurang atau tidak berkesinambungan.

Kurangnya perawatan diri pada pasien dengan gangguan jiwa terjadi akibat adanya perubahan proses pikir sehingga kemampuan untuk melakukan aktivitas perawatan diri menurun. Kurang perawatan diri

(23)

tampak dari ketidakmampuan merawat kebersihan diri, makan secara mandiri, berhias diri secara mandiri, dan toileting {Buang Air Besar (BAB)/Buang Air Kecil(BAK)} secara mandiri (WHO & FIK UI, 2006). Penatalaksanaan klien dengan Defisit Perawatan Diri yang dilakukan di masyarakat sudah dikembangkan melalui Community Mental Health Nursing (CMHN). Pelayanan kesehatan jiwa di komunitas diberikan oleh perawat puskesmas yang telah mendapat pelatihan. Perawat melakukan manajemen asuhan dengan melakukan kunjungan ke keluarga, sedangkan kolaborasi terkait pemberian obat atau yang lainnya dilakukan di puskesmas.

Intervensi keperawatan terdiri dari tindakan keperawatan generalis dan spesialis. Tindakan keperawatan generalis diajarkan dan dilatih kepada klien dan keluarga untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri yang meliputi mandi, berhias, makan dan minum dengan benar serta toileting. Tindakan keperawatan spesialis Defisit Perawatan Diri antara lain adalah terapi perilaku, terapi suportif, terapi kelompok swa bantu dan terapi psiko edukasi keluarga.

Penelitian yang dilakukan oleh Parendrawati (2008) terhadap 110 klien gangguan jiwa yang mengalami Defisit Perawatan Diri di RSMM Bogor menunjukkan hasil bahwa dengan pemberian terapi spesialis keperawatan jiwa token ekonomi menunjukkan peningkatan kemampuan. Kemampuan klien merawat diri diukur dan diobservasi secara statistik dan menunjukkan hasil bahwa pada klien Defisit Perawatan Diri yang diberikan terapi token ekonomi mengalami peningkatan kemampuan dibandingkan dengan klien Defisit Perawatan Diri yang tidak diberikan terapi token ekonomi. Pada klien Defisit Perawatan Diri di komunitas, terapi perilaku token ekonomi yang diberikan oleh penulis menunjukkan hasil efektif dalam meningkatkan kemampuan klien dalam pemenuhan kebutuhan perawatan diri.

(24)

Konsep pelayanan keperawatan diterapkan dengan memberi pelayanan pada tiga strategi pencegahan yaitu primer, sekunder dan tersier. Kegiatan yang harus dilakukan dalam upaya mencapai tiga pencegahan tersebut yaitu dengan pelayanan kesehatan yang berkesinambungan (continuity care) atau pelayanan yang dilakukan di rumah sakit hingga di masyarakat. Kegiatan pencegahan primer berupa promosi kesehatan dapat dikembangkan di masyarakat dalam bentuk community mental health nursing (CMHN). Kegiatan pencegahan sekunder berupa penyembuhan atau kuratif dapat dilakukan di rumah sakit jiwa dan puskesmas atau masyarakat bagi kasus gangguan mental berat dan gangguan mental emosional. Sedangkan kegiatan pencegahan tersier atau rehabilitatif dapat dilakukan di masyarakat tidak hanya oleh tenaga kesehatan tetapi juga dengan pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan memberikan pemahaman, menumbuhkan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap masalah kesehatan jiwa warganya.

Upaya untuk mengatasi masalah kesehatan jiwa diberikan dalam bentuk pelayanan kesehatan jiwa berbasis komunitas. Bentuk pendekatan manajemen pelayanan kesehatan jiwa komunitas ini dikenal dengan istilah Community Mental Health Nursing (CMHN) ( Keliat, dkk, 2007). Program CMHN ini pertama kali dilakukan di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) dan beberapa tempat lain di Indonesia. Provinsi Jawa Barat khususnya Kota Bogor merupakan daerah pertama kali dikembangkannya program CMHN yang bukan karena bencana alam. Program ini dikembangkan oleh Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia melalui Program Pendidikan Spesialis Keperawatan Jiwa yang bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Kota Bogor. Pertama kali dilaksanakan tahun 2006 di Kelurahan Sindang Barang, kemudian tahun 2008 di Kelurahan Bubulak, tahun 2010 di Kelurahan Katulampa dan mulai tahun 2011 di Kelurahan Baranang Siang. Kegiatan dan keberhasilan program CMHN ini menunjukkan bahwa program telah efektif untuk memulihkan masalah kesehatan jiwa pada klien yang masih

(25)

berada di masyarakat baik yang sudah mengalami gangguan jiwa maupun yang masih mengalami masalah psikososial atau klien yang mempunyai risiko untuk mengalami gangguan jiwa.

Kegiatan CMHN yang telah dilakukan penulis di komunitas bekerja sama dengan pihak Puskesmas Bogor Timur dan Kelurahan Baranang Siang. Pertama kali yang dilakukan adalah pembentukan RW Siaga Sehat Jiwa, perekrutan Kader Kesehatan Jiwa dan penyelenggaraan Pelatihan Kader Kesehatan Jiwa. Kegiatan yang dilakukan oleh kader setelah mengikuti pelatihan adalah deteksi dini pada keluarga dan diperoleh daftar keluarga sehat, resiko maupun gangguan jiwa. Bersama kader penulis melakukan kunjungan rumah dan memberikan asuhan keperawatan pada klien gangguan jiwa. Program CMHN bertujuan untuk meningkatkan kesehatan jiwa masyarakat, mempertahankan individu yang sehat jiwa tetap sehat, mencegah terjadinya gangguan pada kelompok masyarakat yang risiko atau rentan dan memulihkan klien gangguan jiwa untuk menjadi mandiri dan produktif. Tujuan dari kelurahan peduli sehat jiwa adalah agar masyarakat ikut berperan serta dalam mendeteksi pasien gangguan jiwa yang belum terdeteksi, dan membantu pemulihan pasien yang telah dirawat di rumah sakit, serta siaga terhadap munculnya masalah kesehatan jiwa di masyarakat.

Karya Ilmiah Akhir ini dilaporkan dan dianalisis berdasarkan praktik klinik keperawatan jiwa III di Kelurahan Baranang Siang selama 9 minggu yaitu dari tanggal 20 Februari sampai dengan 20 April 2012. Kelurahan Baranang Siang merupakan salah satu kelurahan yang berada di wilayah Kecamatan dan Puskesmas Bogor Timur. Jumlah penduduk berdasarkan laporan sistem pendataan profil Kelurahan Baranang Siang Bulan Desember 2011, yaitu sebanyak 24.162 jiwa dengan jumlah KK sebanyak 6608 KK. Kasus gangguan jiwa yang ditemukan sebanyak 91 orang, yang berarti prevalensi gangguan jiwa di Kelurahan Baranang Siang sebesar 0,59% atau lebih besar dari prevalensi di Jawa Barat yaitu 0,22%

(26)

(Riskesdas, 2007). Dari 91 orang ini tersebar di 14 RW kelurahan Baranang Siang, dan 18 orang di antaranya berada di wilayah RW 02 dan RW 12.

Berdasarkan survey serta pengalaman penulis dalam melakukan perawatan kepada klien selama di komunitas khususnya RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang ditemukan beberapa masalah keperawatan. Dari sejumlah 1.168 penduduk (186 jiwa di RW 02 dan 982 jiwa di RW 12), ditemukan jumlah penduduk dewasa adalah 817 jiwa. Angka gangguan mental emosional sebanyak 148 jiwa dari 200 jiwa yang diperkirakan, angka gangguan jiwa yang ditemukan 18 jiwa dari 4 jiwa berdasarkan estimasi jumlah penduduk dewasa. Angka tersebut meningkat hampir 450% dari angka gangguan jiwa tingkat nasional yaitu 0,46%.

Masalah keperawatan pada klien gangguan jiwa yang ada di RW 02 dan RW 12 yaitu halusinasi, harga diri rendah, isolasi sosial, waham, resiko bunuh diri, perilaku kekerasan/risiko perilaku kekerasan dan defisit perawatan diri. Dari tujuh masalah keperawatan tersebut yang paling sering ditemukan adalah masalah defisit perawatan diri, sebanyak 18 orang (100%) klien mengalami Defisit Perawatan Diri. Penulis melakukan manajemen asuhan keperawatan pada klien dengan Defisit Perawatan Diri dengan pendekatan CMHN.

Tindakan keperawatan yang tepat, di tatanan masyarakat sangat diperlukan dalam mengatasi masalah Defisit Perawatan Diri ini. Tindakan yang sudah dikembangkan dalam mengatasi Defisit Perawatan Diri ini terdiri dari tindakan keperawatan generalis dan spesialis. Tindakan keperawatan generalis yang dilakukan yaitu klien diajarkan dan dilatih untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri yang meliputi mandi, berhias, makan dan minum dengan benar serta toileting (BAK dan BAB secara benar). Tindakan keperawatan spesialis yang tepat dan dapat dilakukan untuk klien dengan

(27)

Defisit Perawatan Diri antara lain adalah terapi perilaku, terapi suportif, terapi kelompok swa bantu dan terapi psiko edukasi keluarga.

Hasil manajemen asuhan keperawatan spesialis jiwa ini menunjukan hasil yang signifikan dalam mengubah perilaku maladaptif menjadi adaptif dalam pemenuhan kebutuhan perawatan diri dan meningkatkan kemampuan klien dalam memenuhi kebutuhan perawatan diri. Berdasarkan hal tersebut penulis akan mencoba menganalisis manajemen asuhan keperawatan spesialis jiwa dan melaporkannya dalam bentuk Karya Ilmiah Akhir.

1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum

Menggambarkan hasil manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa terhadap pasien Defisit Perawatan Diri di RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang Kecamatan Bogor Timur dengan pendekatan model Self Care Dorothea Orem.

1.2.2 Tujuan Khusus

1.2.2.1 Diketahui karakteristik pasien yang mengalami Defisit Perawatan Diri di RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang Kecamatan Bogor Timur.

1.2.2.2 Diketahui gambaran kasus yang meliputi stressor, respon dan kemampuan yang dimiliki klien Defisit Perawatan Diri di RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang Kecamatan Bogor Timur.

1.2.2.3 Diketahui pelaksanaan manajemen kasus spesialis terhadap klien yang mengalami Defisit Perawatan Diri di RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang Kecamatan Bogor Timur.

1.2.2.4 Diketahui manajemen kasus yang tepat pada pasien Defisit Perawatan Diri di RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang

(28)

Siang Kecamatan Bogor Timur dengan pendekatan model sistem perilaku Dorothea Orem.

1.2.2.5 Diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan perawatan Defisit Perawatan Diri di RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang Kecamatan Bogor Timur dengan pendekatan model sistem perilaku Dorothea Johnson.

1.3 Manfaat

1.3.1 Manfaat Aplikatif

1.3.1.1 Klien Defisit Perawatan Diri bisa dirawat di komunitas dengan baik oleh keluarga dan masyarakat yang berpartisipasi sebagai kader kesehatan jiwa yang telah dibekali dengan ilmu kesehatan jiwa.

1.3.1.2 Meningkatkan kualitas asuhan keperawatan jiwa, khususnya pada klien dengan Defisit Perawatan Diri yang diberikan oleh perawat jiwa di komunitas.

1.3.1.3 Menjadi bahan pertimbangan untuk menyusun program kebijakan Puskesmas dalam penanggulangan masalah gangguan jiwa pada klien Defisit Perawatan Diri di masa mendatang.

1.3.2 Manfaat Keilmuan

1.3.2.1 Hasil Karya Ilmiah Akhir ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai gambaran peran perawat kesehatan jiwa komunitas dalam menangani masalah Defisit Perawatan Diri pada pasien gangguan jiwa di komunitas 1.3.2.2 Masukan bagi pengelola program kesehatan jiwa

masyarakat di Dinas Kesehatan Kota Bogor dalam merencanakan program-program yang lebih efektif dan merupakan dasar dalam merumuskan kebijakan dalam menangani masalah kesehatan jiwa.

(29)

1.3.3 Manfaat Metodologi

1.3.3.1 Dapat dijadikan data rujukan terkait dengan proses belajar mengajar yang melibatkan mahasiswa program pasca sarjana terkait dengan manajemen pelayanan kesehatan jiwa dan asuhan keperawatan jiwa secara nyata di masyarakat. 1.3.3.2 Memperoleh pengalaman dalam penerapan ilmu dan konsep

keperawatan jiwa khususnya dalam menerapkan terapi spesialis pada kelompok gangguan jiwa dan melakukan koordinasi serta kerjasama dengan jajaran masyarakat 1.3.3.3 Hasil Karya Ilmiah Akhir ini selanjutnya dapat menjadi

bahan acuan untuk tindak lanjut program bagi spesialis keperawaan jiwa.

1.3.3.4 Berguna sebagai data dasar bagi penelitian selanjutnya dalam memberikan gambaran terapi yang efektif bagi pasien dengan masalah Defisit Perawatan Diri.

(30)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini memaparkan tentang konsep-konsep dasar keperawatan dan medis yang mendasari penulisan Karya Ilmiah Akhir ini, yaitu Gangguan Jiwa, Skizofrenia, Retardasi Mental, Demensia, Defisit Perawatan Diri dan penatalaksanaan klien Defisit Perawatan Diri dengan pendekatan Model Self Care Dorothea Orem dan Community Mental Health Nursing (CMHN).

2.1 Gangguan Jiwa

Tingginya angka gangguan jiwa di Indonesia merupakan hal yang sangat serius karena mempengaruhi kualitas hidup penderitanya, menimbulkan beban sosial ekonomi yang tinggi, mengakibatkan kemiskinan, kehilangan produktivitas, dan disintegrasi keluarga. Menurut Depkes (2008) hasil data Riset Kesehatan Dasar (RisKesDas, 2007), menunjukkan prevalensi gangguan mental emosional seperti gangguan kecemasan dan depresi sebesar 11,6% dari populasi orang dewasa dengan prevalensi tertinggi di Jawa Barat yaitu 20,0%. Sedangkan gangguan jiwa berat di Indonesia sebesar 4,6 ‰ dengan prevalensi tertinggi di DKI Jakarta yaitu 2,02% ; untuk daerah Jawa Barat khususnya Kota Bogor yaitu 0,40%. Hal ini berarti bahwa dari setiap 1000 jumlah penduduk akan ditemukan sebanyak 4 orang yang menderita gangguan jiwa di Kota Bogor. Kondisi ini merupakan masalah yang serius dan membutuhkan penanganan yang sangat efektif.

Gangguan jiwa merupakan sindrom atau pola perilaku, atau psikologis seseorang yang secara klinik bermakna, dan secara khusus berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya (disability) atau secara bermakna meningkatnya risiko merasa sangat menderita, merasa sakit, kecacatan, atau kehilangan arti penting dari kebebasan (American Psychiatric Association, 2000 dalam Townsend, 2005). Disfungsi yang terjadi dapat berupa disfungsi dalam segi perilaku, psikologik, biologik dan gangguan itu tidak semata-mata terletak di dalam hubungan antara orang itu dengan masyarakat (Maslim, 2003).

(31)

Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV-TR) 4th edition (1994) gangguan jiwa didefinisikan sebagai kumpulan gejala (sindrom) atau pola klinik yang signifikan dari perilaku dan psikologis yang terjadi pada individu dan dikaitkan dengan stress dan ketidakmampuan (kerusakan fungsi dalam satu area atau lebih) atau meningkatan risiko penderitaan, ketidakmampuan atau kehilangan kebebasan. Gangguan jiwa walaupun tidak langsung menyebabkan kematian, namun akan menimbulkan penderitaan yang mendalam bagi individu dan beban berat bagi keluarga, baik mental maupun materi karena penderita menjadi kronis dan tidak lagi produktif. Dari penjelasan diatas dapat dikatakan gangguan jiwa adalah suatu sindrom dari beberapa disfungsi yaitu disfungsi perilaku, psikologis dan biologis yang mengakibatkan penderitaan bagi diri klien dan keluarga.

Ganguan jiwa ini sangat luas mulai dari yang sangat ringan atau berat memerlukan perawatan hingga berhasil. Klasifikasi gangguan jiwa ringan hingga berat didasarkan akan gejala klinis yang ditampakkan oleh klien (Bastaman, 2010). Gangguan jiwa ringan dicirikan sering dilanda kecemasan, gangguan panik, sulit berkonsentrasi, serta gangguan tidur, sedangkan gangguan jiwa berat dicirikan dengan ketidakmampuan membedakan yang nyata dan tidak nyata, perilaku irasional, agresif, serta paranoid. Menurut Maslim (2003) yang termasuk dalam gangguan jiwa adalah : gangguan mental organik termasuk di dalamnya demensia, skizofrenia, gangguan suasana perasaan, gangguan neurotik, gangguan perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik, gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa, retardasi mental, gangguan perkembangan psikologis, gangguan perilaku dan emosional dengan onset masa kanak-kanak dan remaja, serta kondisi lain yang menjadi fokus perhatian klinis.

Berdasarkan penggolongan tersebut, jelaslah bahwa skizofrenia, retardasi mental dan demensia merupakan gangguan jiwa. Berikut akan diuraikan satu persatu mengenai skizofrenia dan retardasi mental.

(32)

2.2 Skizofrenia

Skizofrenia berasal dari dua kata, yaitu “ Skizo “ yang artinya retak atau pecah (split), dan “ frenia “ yang artinya jiwa. Dengan demikian seseorang yang menderita skizofrenia adalah seseorang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian (Hawari, 2001). Skizofrenia merupakan suatu gangguan jiwa berat yang biasanya diderita pada usia remaja akhir atau dewasa awal, dikarakteristikkan dengan terjadinya distorsi persepsi, pikiran, dan emosi yang tidak sesuai (WHO, 2001). Skizofrenia adalah bentuk parah dari penyakit mental yang mempengaruhi sekitar 7 per seribu dari populasi orang dewasa, terutama di kelompok usia 15-35 tahun (WHO, 2011).

2.2.1 Pengertian

Skizofrenia adalah suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan, dan perilaku yang aneh (Videbeck, 2008). Sedangkan menurut Kaplan & Saddock (2007), skizofrenia adalah sekumpulan sindroma klinik yang ditandai dengan perubahan kognitif, emosi, persepsi dan aspek lain dari perilaku. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa skizofrenia adalah suatu gangguan jiwa berat disebabkan karena penyakit yang mempengaruhi otak ditandai dengan perubahan perilaku, emosi dan pikiran.

Penetapan diagnosa skizofrenia berdasarkan gejala-gejala khas yang ditampakkan seperti halusinasi, delusi. dan gejala khas ini telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau lebih, serta harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek pribadi, bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak mampu berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri dan penarikan diri secara sosial (Maslim, 2003)

(33)

2.2.2 Penyebab

Menurut Stuart (2009) penyebab Skizofrenia terdiri atas biologis, psikologis, sosial dan lingkungan.

a. Biologis

Penyebab skizofrenia dari segi biologis terdiri dari genetik, neurotransmiter, neurobiologi, perkembangan saraf otak dan teori-teori virus. Menurut Kaplan & Saddock (2007), pengaruh faktor genetik terhadap skizofrenia belum teridentifikasi secara spesifik namun ada 9 ikatan kromosom yang dipercayai untuk terjadinya skizofrenia yaitu 1q, 5q, 6p, 6q, 8p, 10p, 13q, 15q, dan 22q. Menurut Shives (2005), anak dengan orang tua yang salah satunya mengalami skizofrenia mempunyai risiko 10% dan bila kedua orang tua mengalami skizofrenia maka anak akan berisiko 40% mengalami skizofrenia juga.

Individu dengan skizofrenia ditemukan bahwa korteks prefrontal dan korteks limbik otak tidak berkembang dengan sempurna. Biasanya ditemukan peningkatan volume otak, fungsi yang abnormal dan neuro kimia yang menunjukkan perubahan pada sistem neurotransmitter. Fokus pada korteks frontal mengimplikasikan gejala negatif pada skizofrenia dan sistem limbik (dalam lobus temporal) mengimplikasikan gejala positif pada skizofrenia serta sistem neurotransmitter menghubungkan kedua daerah tersebut terutama dopamin, serotonin dan glutamat (Frisch & Frisch, 2006).

Menurut teori yang disampaikan bahwa pada masa kehamilan khususnya pada trimester kedua bila terpapar virus influenza berisiko untuk terjadinya skizofrenia pada anak (Shives, 2005). Jadi, berdasarkan keterangan di atas bahwa ditinjau dari faktor biologis, skizofrenia terjadi karena genetik, kortek prefrontal dan kortek limbik yang tidak berkembang, pengaruh neurotransmitter

(34)

serta adanya serangan virus pada masa kehamilan.

b. Psikologis

Penyebab skizofrenia secara psikologis adalah karena keluarga dan perilaku individu itu sendiri. Faktor keluarga, ibu yang sering cemas, perhatian yang berlebihan atau tidak ada perhatian, ayah yang jauh atau yang memberikan perhatian berlebihan, konflik pernikahan, dan anak yang didalam keluarga selalu dipersalahkan (Stuart, 2009). Komunikasi dalam bentuk pesan ganda ini menyebabkan individu yang menerimanya berisiko untuk mengalami skizofrenia.

c. Sosial dan lingkungan

Penyebab skizofrenia secara sosial dan lingkungan adalah status sosial ekonomi. Status sosioekonomi mengacu pada pendapatan, pendidikan dan pekerjaan individu (Lipson et al, 1996 dalam Videbeck, 2008). Menurut Townsend (2005), banyak hal yang telah dicoba untuk dikaitkan dengan masalah gangguan jiwa seperti skizofrenia dan salah satu faktornya adalah masalah status sosial.

Isaacs (2005) dalam teori keluarga, bagian fungsi keluarga yang berkaitan dengan peran keluarga dalam munculnya skizofrenia adalah keluarga yang sangat mengekspresikan emosi (high expressed emotion). Pola asuh yang dilakukan oleh keluarga yang terlalu berlebihan menjadi pemicu terjadinya skizofrenia. Baik itu pola asuh positif maupun negatif.

2.2.3 Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala klien yang mengalami skizofrenia yang paling umum menurut Seagel dan Smith (2011) adalah sosial penarikan, permusuhan dan kecurigaan, kerusakan kebersihan diri, ekspresi tatapannya datar, ketidakmampuan menangis atau mengekspresikan kegembiraan,

(35)

depresi, aneh atau pernyataan tidak rasional, pelupa tidak dapat berkonsentrasi, ekstreme terhadap kritik, dan aneh penggunaan kata atau cara bicara. Menurut Ely Lilly dalam Stuart dan Laraia, (2005) tanda dan gejala dari skizofrenia dibagi dalam empat dimensi utama yaitu gejala positif, gejala negatif, gejala kognitif dan gejala depresi atau perubahan mood.

Gejala positif dari skizofrenia adalah halusinasi, delusi, perubahan arus pikir yaitu arus pikir terputus, inkoheren dan neologisme dan perilaku bizarre yaitu agresif, agitasi, repetisi, perilaku stereotip. Gejala negatif yaitu afek tumpul, ketidakmampuan dalam berpikir, kehilangan motivasi, ketidakmampuan dalam mengalami perasaan senang dan kegembiraan, sikap masa bodoh, pembicaraan terhenti tiba-tiba, menarik diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja yaitu bermasalah dalam pekerjaan atau menurunnya aktifitas sosial sehari-hari yaitu tidak memperhatikan kebersihan diri. Gejala kognitif yaitu kurang perhatian, mudah terdistraksi, gangguan memori, ketidakmampuan dalam memecahkan masalah, ketidakmampuan dalam mengambil keputusan, tidak logis dan gejala depresi atau perubahan mood yaitu dysphoria, keinginan bunuh diri dan ketidakberdayaan (Stuart & Laraia, 2005). Berdasarkan beberapa gejala tersebut dapat dikatakan bahwa klien yang mengalami gangguan jiwa berat atau skizofrenia berisiko untuk mengalami Defisit perawatan diri.

Skizofrenia terdiri dari beberapa tipe berdasarkan DSM-IV-TR (APA, 2000 dalam Frisch, 2006) yaitu skizofrenia paranoid dengan tanda curiga, bermusuhan, garang ; skizofrenia katatonik yaitu seperti patung, tidak mau makan, tidak mau minum ; skizofrenia hebefrenik, perilaku seperti anak kecil, merengek-rengek, minta-minta ; skizofrenia simplek, penampilan seperti gelandangan, jalan terus, keluyuran ; dan skizofrenia latent, ditandai dengan autustik, seperti

(36)

gembel. Jenis Skizofrenia yang berisiko untuk terjadi defisit perawatan diri adalah skizofrenia katatonik, simplek dan latent. Dari beberapa penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa skizofrenia mempunyai gejala negative dan gejala positif, dimana defisit perawatan diri merupakan gejala negatif dan cenderung ditunjukan oleh skizofrenia katatonik simplek dan latent.

Fase skizofrenia dibagi dua yaitu fase akut dan fase kronik. Fase Akut adalah fase mulai munculnya gejala sampai dengan sebelum 6 bulan, ditandai dengan Waham ; Halusinasi ; Perubahan arus pikir yaitu arus pikir terputus dalam pembicaraan terjadi tiba-tiba tanpa bisa melanjutkan isi pembicaraan, inkoheren yaitu berbicara tidak selaras dengan lawan bicara (bicara kacau), neologisme yaitu menggunakan kata-kata yang hanya dimengerti oleh diri sendiri tapi tidak dimengerti oleh orang lain ; Perubahan perilaku yaitu hiperaktif atau perilaku motorik yang berlebihan, agitasi yaitu perilaku yang menunjukkan kegelisahan, iritabilitas yaitu mudah tersinggung. Fase Kronik ditandai dengan gejala akut, sudah berlangsung 6 bulan atau lebih dengan tanda atau gejala-gejala yang sama dengan fase akut. Selain itu timbul gejala-gejala lainnya seperti : Sikap masa bodoh, apatis secara emosional, gangguan berpikir yang tampak dari pembicaraan yang tidak terangkai atau aneh, menarik diri dari pergaulan sosial, bermasalah dalam pekerjaan, tidak memperhatikan kebersihan diri, gangguan motorik atau pergerakan (Keliat, 2007).

2.2.4 Terapi Psikofarmaka Skizofrenia

Skizofrenia dapat diawali dengan atau tanpa fase prodormal (early psikosis). Gejala yang tampak pada fase ini adalah gangguan pola tidur, gangguan napsu makan, perubahan perilaku, afek datar, pembicaraan yang sulit dimengerti, berfikir tidak realistik, dan perubahan dalam penampilan. Jika gejala ini muncul dan langsung mendapatkan terapi maka skizofrenia dapat dihindari. Namun pada

(37)

beberapa klien, mereka tidak menyadari atau tidak mengalami fase ini sehingga tidak mendapatkan penangganan awal dan berakhir pada skizofrenia. Pengobatan skizofrenia lebih efektif bila dimulai sedini mungkin saat gejala mulai muncul (World Federation for Mental Health, 2009). Penatalaksanaan pengobatan Skizofrenia mengacu pada penatalaksanaan Skizofrenia secara umum.

Anti Psikotik

Obat-obat antipsikotik efektif mencegah penyebaran keadaan akut dan mencegah relaps. Terdapat dua macam obat antipsikotik yaitu antipsikotik tradisional (tipikal) dan antipsikotik atipikal. Jenis antipsikotik atipikal merupakan generasi baru antipsikotik. Atipikal antipsikosis tidak hanya mengatasi gejala skizofrenia tapi juga meningkatkan kualitas hidup. Varcarolis (2006) menyebutkan antipsikotik atipikal merupakan pilihan pertama karena memiliki karakteristik : efek ekstrapiramidal minimal, mengatasi gejala positif sebaik mengatasi gejala negatif dan meningkatkan neurokognitif.

Obat yang termasuk atipikal antipsikosis yaitu clozapine, risperidone, olanzapine dan quetiapine. Target kerja kelompok atipikal mengatasi baik gejala positif maupun negatif. Golongan atipikal mempunyai efek samping lebih ringan dari golongan tipikal dan walaupun muncul gejala efek samping, biasanya klien masih bisa mentoleransinya. Selain itu kelompok atipikal juga bisa mengatasi gejala cemas dan depresi, menurunkan kecenderungan perilaku bunuh diri dan memperbaiki fungsi neurokognitif (Varcarolis, 2006). Sedangkan yang termasuk jenis antipsikotik tipikal yaitu : antara lain haloperidol, tiflourorazine, chlorpromazine (CPZ) dan loxapine (Varcarolis, 2006). Target kerja kelompok tipikal adalah mengatasi gejala positif. Golongan tipikal mempunyai efek samping lebih dari golongan atipikal (Kuo, 2004 dalam Varcarolis 2006). Pengobatan pada klien skizofrenia yang paling umum diberikan adalah chlorpromazine tablet

(38)

dengan pilihan dosis 25 mg dan 100 mg, injeksi dengan dosis 25 mg/ml; haloperidol tablet dengan pilihan dosis 0,5 mg, 1,5 mg dan 5 mg, injeksi 5 mg/ml; dan triheksipenidil tablet sediaan dosis 2 mg.

Efek samping obat antipsikotik dikelompokkan menjadi dua yaitu efek samping neurologis dan non neurologis. Efek samping neurologis meliputi gejala ekstrapiramidal berupa reaksi distonia akut, akatisia, dan Parkinson; kejang dan sindrom maligna neuroleptik. Efek samping non neorologis mencakup sedasi; fotosensitivitas; dan gejala antikolinergik berupa mulut kering, pandangan kabur, kontsipasi, retensi urin, dan hipotensi ortostatik (Videbeck, 2008).

Obat pencegahan efek ekstrapiramidal diberikan melalui jenis obat pencegahan sindrom ekstrapiramidal yaitu trihexyphenidil (THP), biperidin dan diphenhidramine hydrochloride (Varcarolis, Carson & Shoemaker, 2006). Trihexyphenidil dosis yang digunakan : 1-15 mg/hari dan difehidamin dosis yang diberikan 10-400 mg/hari untuk semua bentuk parkinsonisme, dan untuk menghilangkan reaksi ekstrapiramidal akibat obat (Kaplan & Saddock, 1997).

2.3 Retardasi Mental 2.3.1 Pengertian

Menurut PPDGJ III (2003), bahwa retardasi mental merupakan gangguan jiwa. Menurut American Association on Mental Retardation (AAMR) (2002) Retardasi mental yaitu : Kelemahan atau ketidakmampuan kognitif muncul pada masa kanak-kanak (sebelum 18 tahun) ditandai dengan fase kecerdasan dibawah normal ( IQ 70-75 atau kurang), dan disertai keterbatasan lain pada sedikitnya dua area berikut : berbicara dan berbahasa ; keterampilan merawat diri, ADL ; keterampilan social ; penggunaan sarana masyarakat ; kesehatan dan keamanan ; akademik fungsional ; bekerja dan rileks, dan lain-lain.

(39)

Menurut Durand (2007), retardasi mental adalah gangguan yang telah tampak sejak masa anak-anak dalam bentuk fungsi intelektual dan adaptif yang secara signifikan berada dibawah rata-rata. Sedangkan menurut Rosyadi (2009), Retardasi mental adalah suatu keadaan perkembangan mental yang terhenti atau tidak lengkap, yang terutama terlihat selama masa perkembangan sehingga berpengaruh pada semua tingkat inteligensia, yaitu kemampuan kognitif, bahasa, motorik, dan sosial. Retardasi mental kadang disertai gangguan jiwa atau gangguan fisik lain.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa retardasi mental adalah keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan yang berlangsung sejak masa kanak-kanak dan berpengaruh terhadap penurunan kemampuan secara kognitif, bahasa, motorik, sosial, ketrampilan. Bahkan ada beberapa yang disertai dengan gangguan jiwa dan atau gangguan fisik lain.

2.3.2 Penyebab

Menurut Kaplan dan Sandock (1997), penyebab dari retardasi mental dibagi menjadi faktor genetik, faktor prenatal, faktor perinatal, gangguan didapatkan masa anak – anak, dan faktor lingkungan dan sosiokultural;

a. Faktor Genetik, meliputi; kelainan kromosom (sindrom down, fragile X syndrome, sindrom klinefelter, sindrom Cri-du-chat dan sindrom turner).

Sindrom Down

Pada sindrom down, retardasi mental adalah ciri yang menumpang. Orang dengan sindrom down cenderung menunjukkan perburukan yang jelas dalam bahasa, daya ingat, ketrampilan merawat diri sendiri dan memecahkan masalah pada usia 30 tahun.

(40)

Fragile X Syndrome

Pada orang dengan fragile X syndrome, merupakan penyebab tunggal kedua yang tersering dari retardasi mental. Ciri perilaku orang dengan sindroma ini adalah tingginya angka gangguan defisit atensi/hiperaktif, gangguan belajar dan gangguan perkembangan pervasif, seperti gangguan autistik. Defisit dalam fungsi bahasa adalah pembicaraan yang cepat dan perservatif dengan kelainan dalam mengkombinasikan kata-kata membentuk frasa dan kalimat. Orang dengan sindroma X rapuh tampaknya memiliki ketrampilan dalam komunikasi dan sosialisasi yang relatif kuat dan fungsi intelektual mereka tampaknya menurun pada periode pubertal.

Sindrom Cri-du-chat

Anak-anak dengan sindrom tangisan kucing kehilangan bagian kromosom 5. Mereka mengalami retardasi berat dan menunjukkan banyak stigmata yang seringkali disertai dengan penyimpangan kromosom, seperti mikrosefali, telinga yang letak rendah, fisura palpebra oblik, hipertelorisme dan mikrognatia. Tangisan seperti kucing yang khas, walaupun akan hilang dengan sendirinya dengan bertambahnya usia.

b. Faktor Perinatal

Gangguan metabolik seperti fenilketonuria (FKU), penyakit Hartup, intoleransi ruktosa, galaktosemia. Rubela maternal juga mengakibatkan kecatatan, sifilis, toksoplamosis atau diabetes, penyalahgunaan beberapa obat. Selain itu juga malnutrisi dapat mengakibatkan bayi mengalami risiko retardasi mental.

c. Gangguan didapat pada Masa Anak-Anak

Status perkembangan seseorang anak kadang-kadang berubah secara dramatik akibat penyakit atau trauma fisik tertentu. Secara retrospektif, kadang-kadang sulit untuk memastikan gambaran

(41)

kemajuan perkembangan anak secara lengkap sebelum terjadinya gangguan, tetapi efek merugikan pada perkembangan atau ketrampilan anak tampak terganggu.

Infeksi adalah hal yang paling mempengaruhi integritas sereberal, infeksi yang sering terjadi adalah ensefalitis dan meningitis. Ensefalitas campak telah hampir dapat dihilangkan dengan pemakaian vaksin. Sebagian episode ensefalitis disebabkan oleh virus. Kadang-kadang klinisi harus mempertimbangkan kemungkinan penyakit masa lalu dengan demam tinggi. Meningitis yang didiagnosa terlambat juga dapat mempengaruhi perkembangan kognitif anak.

Trauma kepala pada anak-anak juga menjadi penyebab kecacatan mental, termasuk kejang, kecelakaan bermotor, kecelakaan di rumah misalnya jatuh dari meja, dari jendela terbuka. Selain itu, penyiksaan anak juga menyebabkan retardasi mental.

d. Faktor Lingkungan dan Faktor Sosiokultural

Retardasi mental ringan secara bermakna menonjol di antara orang yang mengalami gangguan kultural, kelompok sosioekonomi rendah dan banyak keluarga yang mengalami retardasi mental dengan retardasi derajat yang sama. Malnutrisi juga menjadi penyebab kecacatan mental, kemudian perawatan bayi yang buruk, pemaparan dengan zat toksin. Ketidakstabilan keluarga, sering pindah, dan pengasuh yang berganti- ganti tetapi tidak adekuat. Kurangnya stimulus dari orang tua terhadap perkembangan anak juga menjadi penyebabnya.

Anak yang mengalami retardasi mental, seringkali mempunyai diagnosa ganda yaitu diagnosa yang mengacu pada retardasi mental dan yang kedua adalah diagnosa yang berhubungan dengan

(42)

gangguan mental dan diagnosa emosional (Shives, 1998). Keterlambatan perkembangan kognitif jelas merupakan bagian yang menyatu dengan retardasi mental ini, karena perkembangan kognitif merupakan salah satu pertimbangan dalam menetapkan diagnosa retardasi mental.

Pada keluarga dengan retardasi mental hendaknya menjadi perencanaan dari intervensi karena keluarga dapat mengalami masalah psikososial. Penelitian menunjukkan bahwa keluarga dengan anak yang memiliki kecacatan seringkali mempunyai tingkat stress yang sangat tinggi (Friedrich, Witmer & Cohen, 1985 dalam Shives, 1998). Menurut Shives (1998) klien dengan retardasi mental membutuhkan perawatan yang ekstra dan keluarga membutuhkan tambahan sumber dan dukungan.

2.3.3 Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala anak retardasi mental menurut (Brown, dkk 1991 dalam Sekar, 2007) menyatakan :

a. Lamban dan kesulitan menggeralisasikan dalam mempelajari hal-hal yang baru, mempunyai kesulitan dalam mempelajari pengetahuan abstrak atau yang berkaitan, dan selalu cepat lupa apa yang dia pelajari tanpa latihan yang terus menerus.

b. Kemampuan bicara sangat kurang terutama pada retardasi mental berat.

c. Cacat fisik, ketebatasan dalam gerak fisik, ada yang tidak dapat berjalan, tidak dapat berdiri atau bangun tanpa bantuan. Mereka lambat dalam mengerjakan tugas-tugas yang sangat sederhana, sulit menjangkau sesuatu, dan mendongakkan kepala.

d. Kurang dalam kemampuan menolong diri sendiri, pada retardasi mental berat sangat sulit untuk mengurus diri sendiri, seperti : berpakaian, makan, dan mengurus kebersihan diri. Mereka selalu memerlukan latihan khusus untuk mempelajari kemampuan dasar.

(43)

e. Tingkah laku dan interaksi yang tidak lazim, kesulitan memberikan perhatian terhadap lawan main.

f. Tingkah laku kurang wajar yang terus menerus, misalnya : memutar-mutar jari di depan wajahnya dan melakukan hal-hal yang membahayakan diri sendiri : menggigit diri sendiri, membentur-beturkan kepala.

g. Perilaku agresif melukai diri.

Ketidakmampuan merawat diri merupakan salah satu tanda dan gejala pada klien dengan retardasi mental. Klien retardasi mental, baik yang disebabkan karena faktor genetik, perinatal, faktor didapat pada masa anak-anak maupun faktor lingkungan dan sosiokultural memiliki kelainan kognitif sehingga mengalami keterbatasan dalam melakukan fungsi-fungsi dalam kehidupan sehari-hari, baik secara kognitif, bahasa, sosial, motorik, termasuk memenuhi kebutuhan perawatan diri.

2.3.4 Terapi Psikofarmaka Retardasi Mental

Terapi yang terbaik diberikan pada klien ini, adalah pencegahan primer, pencegahan tersier dan pencegahan tertier (Kaplan & Saddock, 1997). Terapi ini hampir sama dengan terapi keperawatan. Pencegahan primer merupakan tindakan yang dilakukan untuk menghilangkan atau menurunkan kondisi yang menyebabkan perkembangan gangguan mental. Sedangkan pencegahan sekunder adalah jika suatu gangguan yang disertai dengan retardasi mental telah dikenali, gangguan harus diobati untuk mempersingkat perjalanan penyakit. Pencegahan tersier adalah untuk menekan sekuela atau kecacatan yang terjadi setelahnya.

Intervensi farmakologik dalam terapi gangguan mental komorbid pada klien retardasi mental adalah banyak kesamaan seperti untuk klien yang tidak mengalami retardasi mental. Semakin banyak data yang mendukung pemakaian berbagai medikasi untuk klien dengan gangguan mental yang tidak retardasi mental (Kaplan & Saddock,

(44)

1997). Beberapa penelitian telah memusatkan perhatian pada pemakaian medikasi untuk sindroma perilaku berikut ini yang sering terjadi diantara retardasi mental. Sehingga terapi farmakologi yang diberikan pada klien ini adalah simptomatis sesuai dengan gejala yang dialami. Perilaku agresi dan perilaku melukai diri, menggunakan Lithium (Eskalith) dalam mengendalikannya. Naltrexone (Trexan) banyak digunakan untuk menurunkan perilaku melukai diri sendiri pada klien retardasi mental yang memenuhi kriteria autistik infantil. Selain itu ada Carbamazepine (Tegretol), Valproic acid (Depakene). Sedangkan untuk gerakan motorik stereotipik, medikasi antipsikotik seperti haloperidol (haldol) dan chlorpromazine (thorazine) dapat digunakan untuk menurunkan perilaku stimulasi diri yang berulang. Kemarahan yang eksplosif dapat diturunkan dengan penghambat- seperti propanolol dan buspirone.

2.4 Demensia

2.4.1 Pengertian

Demensia adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh gangguan dan degenerasi sel-sel otak secara abnormal, termasuk penurunan kemampuan daya ingat, disorientasi waktu, orang dan tempat, serta hilangnya fungsi-fungsi intelektual lainnya (Varcarolis, Carson & Shoemaker, 2006). Demensia adalah suatu keadaan di mana seseorang mengalami penurunan kemampuan daya ingat dan daya pikir tanpa adanya penurunan fungsi kesadaran. Demensia atau kepikunan seringkali dianggap wajar terjadi pada lanjut usia karena merupakan bagian dari proses penuaan yang normal.

2.4.2 Penyebab

Menurut Keliat (2011) penyebab demensia adalah : genetik, penggunaan alkohol, cedera kepala, penyempitan pembuluh darah otak yang menyebabkan berkurangnya aliran darah ke otak, kerusakan jaringan otak yang berlangsung pelan dan bertahap, gangguan

(45)

neurotransmitter (asetilkolin, norepineprin, dan glutamat).

2.4.3 Tanda dan Gejala

Menurut Keliat (2011) klien yang mengalami demensia sedang sampai berat memiliki tanda dan gejala sebagai berikut : sulit melakukan kegiatan sehari-hari; daya ingat menurun atau hilang; tidak mengenal waktu, tempat dan orang; sulit belajar dan mengingat informasi baru; pelupa (lupa barang miliknya atau lupa kejadian masa lalu); cepat marah dan sulit diatur; sering mengulang kata-kata; kurang konsentrasi; kurang kebersihan diri; tremor; kurang koordinasi gerakan; gangguan keseimbangan (rentan terhadap kecelakaan, misalnya jatuh)

Menurut Maslim (2003) dalam PPDGJ III apabila ditemukan 4 dari tanda gejala di atas ditambah dengan adanya masalah kognitif, afektif dan intelektual akbibat degenerasi sel-sel otak, maka klien didiagnosis mengalami demensia.

2.4.4 Terapi Psikofarmaka Demensia

Penatalaksanaan atau pengobatan klien dengan demensia yang sering diberikan adalah benzodiazepin, antipsikotik, dan antioksidan. Pemberiannya tergantung pada gejala yang dialami oleh klien (Clark, 2000).

a. Benzodiazepin Salah satu pengobatan demensia adalah dengan menggunakan obat

sedatif atau hipnotik (benzodiazepin). Biasanya diberikan diazepam tablet 2 mg dengan dosis 2-3 kali sehari atau 5 mg; atau diazepam (valium) injeksi 10 mg sekali sehari. Efek obat yang diharapkan : mengurangi kecemasan, menurunkan agitasi, mengurangi stress. Efek samping obat yang bisa terjadi sedasi atau mengantuk, risiko ketergantungan, risiko penyalahgunaan zat.

(46)

Tindakan keperawatan untuk efek samping obat sedasi atau mengantuk, yaitu obat diberikan sebelum tidur sesuai anjuran dokter, kolaborasi untuk menurunkan dosis obat dan minta obat yang kurang mengandung sedatif, anjurkan klien untuk tidak mengendarai kendaraan atau menjalankan kendaraan bila mengalami sedasi; sedangkan tindakan keperawatan untuk efek samping risiko ketergantungan dan penyalahgunaan zat, yaitu anjurkan klien untuk menggunakan obat sesuai dengan resep dokter, beri pendidikan kesehatan tentang akibat dari ketergantungan dan penyalahgunaan obat.

b. Antipsikotik dosis rendah

Obat yang biasa diberikan adalah haloperidol atau risperidon. Cara pemberian haloperidol tablet sediaan 0,5-1 mg dosis 1-2 kali sehari atau risperidon tablet 0,5-1 mg dosis 2 kali sehari. Efek obat yang diharapkan yaitu mengontrol agitasi, mengurangi gejala gangguan psikotik, menurunkan agresi atau perilaku kekerasan. Efek samping obat haloperidol pada klien demensia yang perlu diwaspadai oleh perawat adalah mulut kering, pandangan kabur, konstipasi, sedasi dan hipotensi ortostatik.

Tindakan keperawatan untuk efek samping obat mulut kering yaitu berikan permen, es, minum air sedikit-sedikit dan membersihkan mulut secara teratur; pandangan kabur yaitu berikan bantuan untuk tugas yang membutuhkan ketajaman penglihatan; konstipasi yaitu makan makanan tinggi serat; sedasi yaitu tidak menyetir atau mengoperasikan peralatan yang berbahaya; hipotensi ortostatik yaitu perlahan-lahan bangkit dari posisi baring atau duduk.

c. Antioksidan

Obat yang biasa diberikan adalah vitamin E dosis tinggi yaitu 1000 units yang diberikan dengan dosis 2 kali sehari. Efek obat yang

(47)

diharapkan adalah mengurangi kerusakan pada fungsi peredaran darah untuk klien dengan demensia vaskuler. Efek samping penggunaan obat ini pada klien demensia jarang terjadi.

2.5 Defisit Perawatan Diri 2.5.1 Pengertian

Defisit perawatan diri adalah gangguan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktifitas perawatan diri untuk diri sendiri : mandi; berpakaian dan berhias untuk diri sendiri ; aktifitas makan sendiri ; dan aktifitas eliminasi sendiri (Herdman, 2012). Defisit perawatan diri menggambarkan suatu keadaan seseorang yang mengalami gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas perawatan diri, seperti mandi, berganti pakaian, makan dan toileting (Wilkinson, 2007). Menurut beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa defisit perawatan diri adalah suatu kondisi seseorang yang mengalami gangguan untuk melakukan aktifitas perawatan diri meliputi mandi, berhias, makan dan minum serta toileting.

2.5.2 Stressor Defisit Perawatan Diri

Proses terjadinya defisit perawatan diri ini dapat diuraikan terlebih dahulu dari proses terjadinya gangguan jiwa itu sendiri yang dihubungkan dengan defisit perawatan diri. Stuart (2009) menggambarkan dua dimensi yang dapat menjelaskan stressor atau penyebab terjadinya defisit perawatan diri yaitu meliputi stressor predisposisi dan stressor presipitasi.

2.5.2.1 Stressor Predisposisi

Stuart (2009) mendefinisikan stressor predisposisi sebagai faktor risiko yang menjadi sumber terjadinya stres yang mempengaruhi tipe dan sumber dari individu untuk menghadapi stres baik yang biologis, psikososial dan sosial kultural. Stuart (2009) membedakan stressor predisposisi menjadi tiga, meliputi biologis, psikologis dan sosial

(48)

budaya. Stressor predisposisi ini kejadiannya telah berlalu. Penjelasan secara rinci tentang ketiga stressor predisposisi tersebut sebagai berikut :

a. Biologis, terkait dengan adanya neuropatologi dan ketidakseimbangan dari neurotransmiternya. Dampak yang dapat dinilai sebagai manifestasi adanya gangguan adalah pada perilaku maladaptif klien (Townsend, 2005). Secara biologi riset neurobiologikal memfocuskan pada tiga area otak yang dipercaya dapat melibatkan defisit perawatan diri yaitu sistem limbik, lobus frontalis dan hypothalamus.

Sistem Limbik merupakan cincin kortek yang berlokasi di permukaan medial masing-masing hemisfer dan mengelilingi pusat kutup serebrum. Fungsinya adalah mengatur persyarapan otonon dan emosi (Suliswati,et al, 2005 : Stuart, 2009). Fungsi sistem limbik berikutnya adalah menyimpan dan menyatukan informasi berhubungan dengan emosi, tempat penyimpanan memori dan pengolahan informasi. Disfungsi pada sistem limbik menghadirkan beberapa gejala klinik seperti hambatan emosi dan perubahan kebribadian, isyarat antara rangsangan dan pengalaman masa lalu, emosi, perilaku saling mempengaruhi, adanya periode peristiwa ketakutan, amukan, kemarahan dan ketegangan (Kaplan, Saddock & Grebb, 1997). Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa klien dengan defisit perawatan diri mengalami gangguan pada sistem limbik sehingga tidak bisa mengontrol perilaku untuk dapat merawat diri.

Lobus Frontal berperan penting menjadi media yang sangat berarti dalam perilaku dan berpikir rasional, yang saling berhubungan dengan sistem limbik (Suliswati,et al, 2005 : Stuart, 2009). Menurut Townsend (2005) lobus frontal terlibat dalam dua

Gambar

Tabel 4.11  Tabel 4.12  Tabel 4.13  Tabel 4.14  Tabel 4.15  Tabel 4.16  Tabel 4.17  Tabel 4.18  Tabel 4.19
Gambar 2.1  Rentang Respon Perawatan Diri  45
Gambar  berikut  ini  menggambarkan  tentang  rentang  respon  adaptif  dan  maladaptif defisit perawatan diri
Gambar 2.3. Aplikasi penerapan diagnosa defisit perawatan diri  dengan menggunakan pendekatan model Self  Care – Orem
+2

Referensi

Dokumen terkait

Bagian pertama ini akan diberikan contoh penggunaan daftar tanpa nomor yang dapat dibuat dengan cara sebagai berikut: Tag untuk membuat daftar dalam bentuk bullet

Hasil simulasi model menunjukan kecepatan arus terbesar di alur pelabuhan pada saat pasang purnama sebesar 95,4 cm/s, sedangkan pada saat surut purnama sebesar 54,1 cm/s.. Kata

ii) NASA, dalam kordinasi agensi pemerintahan Amerika Serikat terkait, akan mengekplorasi bersama agensi-agensi antariksa luar negeri dan organisasi- organisasi

Sejatinya, para talent cross-gender Raminten 3 Cabaret Show memiliki aktivitas front region (panggung depan) yang meliputi setting dan personal front ( appearance dan

Puji dan syukur kehadirat ALLAH SWT atas rahmat dan hidayah-Nya yang telah menganugrahkan nikmat sehat jasmani dan rohani sehingga dapat menyelesaikan laporan

(1) Izin Penyedotan, Pengangkutan dan Pembuangan Limbah Tinja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a, wajib dimiliki oleh setiap badan usaha

Kendala yang sering dihadapi dalam pembinaan anak jalanan melalui rumah singgah Holi adalah seperti masalah pendanaan untuk pembinaan serta tenaga sosial yang. diperlukan

Berdasarkan hasil sintesis, menurut fungsinya kawasan perumahan Bukit Cimanggu City (BCC) dapat dikembangkan menjadi area perlindungan penampung (sink), transisi dan koridor