• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Fungsi Keluarga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Fungsi Keluarga"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian dan Fungsi Keluarga

Kiranya perlu diketengahkan bahwa antara keluarga dan kelompok mempunyai pengertian yang berbeda. Klein (1996) menjelaskan mengenai perbedaan keluarga dengan kelompok sebagai berikut:

a. Keluarga bertahan dalam waktu yang lama dibandingkan dengan kelompok sosial lainnya (kedudukan orang tua bertahan mulai dari anak-anak lahir, dewasa, menikah, kelahiran cucu, dan berakhir dengan kematian salah satu pasangan),

b. Keluarga merupakan kesatuan antar generasi (orang tua – anak),

c. Keluarga meliputi hubungan yang bersifat biologis (kelahiran) dan affinal (hukum) di antara para anggotanya,

d. Aspek biologis (dan juga affinal) keluarga menjalin mereka ke dalam organisasi kekeluargaan yang besar.

Koenig dan Bayer (1967) menyebutkan bahwa ada tiga fungsi keluarga sebagai berikut:

a. Fungsi keluarga bagi masyarakat, yaitu hubungan antara keluarga dengan satuan sosial yang luas.

b. Fungsi dari subsistem dalam keluarga bagi keluarga itu sendiri, yaitu hubungan keluarga dengan subsistem.

c. Fungsi keluarga bagi individu anggota keluarga termasuk perkembangan kepribadian, yaitu hubungan keluarga dan pribadi.

Sifat-sifat di atas menjelaskan keluarga sebagaimana yang dimaksud dalam konsep keluarga tradisional/konvensional. Dengan demikian kesatuan orang yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut di atas dapat dikatakan sebagai kelompok sosial, seperti hubungan gay dan lesbian, begitu pula pasangan kumpul kebo.

Keragu-raguan akan bentuk keluarga konvensional tampak ketika pandangan struktural fungsional menghadapi kejadian-kejadian yang menguji pandangan tersebut. Scanzoni (1983) mengetengahkan adanya peningkatan angka perceraian, pelanggaran hukum, aktivitas seksual di luar pernikahan, aborsi, hidup bersama seperti suami istri dan lain sebagainya merupakan fenomena yang

(2)

mencerminkan perkembangan masyarakat yang bergeser dari nilai-nilai dan pola-pola keluarga konvensional ke arah new relationship.

Jawaban terhadap tantangan tersebut dikemukakan oleh Carlson (1999) yang menekankan bahwa dari kebenaran sejarah, dari ilmu sosial, dari ilmu alam, dan agama-agama besar dinyatakan bahwa keluarga adalah alami dan merupakan unit pokok dalam masyarakat. Begitu juga dengan Rosen (1991) meletakkan keluarga dalam fungsi berdasarkan hukum. Bidang hukum dihadapkan pada penentuan keluarga, keluarga yang konvensional ataukah yang new relationship. Menurutnya, hubungan keluarga itu sah jika atas dasar ikatan darah, perkawinan, atau adopsi. Akan tetapi munculnya bentuk hubungan baru dalam rumah tangga, khususnya hubungan antara pasangan gay dan lesbian, mendorong pengadilan untuk memutuskan apakah konsep hubungan keluarga sah secara tradisional ataukah harus diperluas mencakup hubungan baru yang tidak mempunyai dasar hukum. Pengadilan menyatakan bahwa pasangan adalah orang yang mempunyai status perkawinan sah dan hukum tidak membuat ketentuan perkawinan antar jenis kelamin yang sama. Bahkan ditandaskan bahwa perkawinan adalah perjanjian antara seorang laki-laki dan seorang wanita. Kesimpulan dari uraian tersebut bahwa ternyata hubungan keluarga tradisional merupakan dasar yang dipakai dalam pengadilan. Ini artinya, bentuk keluarga yang konvensional masih menjadi bentuk keluarga yang dikehendaki oleh banyak orang dan oleh karena itu perlu dipertahankan. Dengan demikian posisi keluarga menurut pandangan struktural fungsional bagaimanapun membuktikan bahwa keberadaan bentuk keluarga yang konvensional masih menjadi bentuk utama di dalam masyarakat.

Lebih lanjut Parson (1983) menjelaskan pengertian keluarga dengan solidaritas. Solidaritas diartikan sebagai kebersamaan anggota dalam suatu sistem yang tergantung satu dengan lainnya, adanya kepercayaan satu dengan yang lain, serta adanya tatanan sosial. Tatanan sosial ini didasarkan oleh norma yang menggiring orang untuk berbuat sesuai dengan apa yang diharapkan norma tersebut. Pandangan Parson dan juga pandangan kaum konservatif pada umumnya adalah bahwa masyarakat menentukan apa yang terbaik bagi individu kemudian individu haruslah menyesuaikan diri dengan ketentuan masyarakat tersebut. Dengan kata lain struktur sosial menentukan perilaku sosial dari masing-masing

(3)

individu. Penyimpangan darinya akan dikendalikan oleh norma sosial dan dikenai sangsi sosial agar tidak mengancam keteraturan sosial. Ini sebagai wujud dari mekanisme equilibrium (keseimbangan) di dalam masyarakat.

Pandangan konservatif menganggap keluarga dan masyarakat sebagai suatu organisme, dan masing-masing bagian memiliki fungsi untuk keseluruhan. Pandangan konservatif juga menekankan responsibilities (tanggung jawab) pada pria maupun wanita di dalam keluarganya. Tanggung jawab ini merupakan manifestasi social status (posisi sosial) seseorang dalam keluarga atau disebut juga sebagai peran sosial (social role). Peran tersebut bersifat saling melengkapi untuk mewujudkan fungsi keluarga sebagaimana mestinya.

Atau dengan kata lain dikatakan bahwa keluarga memiliki aspek struktur internal dan fungsional. Megawangi (1999) mengutarakan bahwa keluarga mepunyai aspek struktural dan aspek fungsional. Ada tiga aspek sruktur internal dalam keluarga, yaitu: (1) status sosial, (2) fungsi sosial, dan (3) norma sosial, dimana ketiganya saling berkaitan. Pertama, status sosial, keluarga biasanya distruktur oleh tiga struktur utama yaitu bapak/suami, ibu/istri dan anak-anak. Keberadaan status sosial ini penting karena dapat memberikan identitas kepada individu dan juga adanya hubungan timbal balik antarindividu dengan status sosial berbeda. Kedua, peran sosial menggambarkan peran masing-masing individu atau kelompok menurut status sosialnya dalam sebuah sistem sosial. Atau dikatakan, bahwa setiap status sosial tertentu akan ada fungsi dan peran yang diharapkan dalam interaksinya dengan individu atau kelompok dengan status sosial sosial berbeda. Peran sosial dapat dikatakan sebagai bentuk menifestasi aktif dari status sosial, seperti halnya dalam suatu keluarga terjadi interaksi antara bapak, ibu, dan anak dengan fungsi dan peran masing-masing yang dilandasi oleh norma sosial yang berlaku. Ketiga, norma sosial adalah sebuah peraturan yang menggambarkan bagaimana sebaiknya seseorang bertingkah laku dalam kehidupan sosialnya, tersitimewa dalam sebuah keluarga. Norma sosial tersebut berasal dari dalam masyarakat itu sendiri. Norma sosial merupakan pedoman untuk bertingkah laku sesuai dengan harapan terhadap fungsi dan peran pada status sosial tertentu. Norma sosial dapat berfungsi sebagai kendali terhadap

(4)

perilaku menyimpang agar berubah menjadi perilaku yang mengikuti norma sosial yang ada.

Selanjutnya aspek fungsional keluarga tidak dapat dipisahkan dengan aspek struktural karena keduanya saling berkaitan. Status sosial dalam struktur keluarga memiliki fungsi dan peran sesuai dengan yang diharapkan agar dapat menunjang kelangsungan hidup keluarga. Perubahan struktur keluarga akan merubah fungsi keluarga itu sendiri dan bahkan keluarga sebagai suatu sistem akan terganggu kinerjanya. Perubahan struktur keluarga tersebut dapat dicontohkan dengan kasus perceraian, kematian orang tua. Peristiwa-peristiwa tersebut akan berpengaruh terhadap fungsi keluarga menjadi tidak normal.

Levi (diacu dalam Megawangi 1999) menyebutkan bahwa agar keluarga dapat berfungsi maka diperlukan persyaratan struktural yang harus dipenuhi agar struktur keluarga sebagai sistem dapat berfungsi:

Pertama, differensiasi peran. Soekanto (1983) mendefinisikan diferensiasi peran sebagai proses dimana peranan-peranan dalam masyarakat bertambah banyak dan meningkat spesialisasinya. Keluargapun memiliki beragam peran, yaitu: ayah sebagai pemimpin, ibu sebagai pengelola rumah tangga, dan anak sebagai pengikat keluarga dan curahan kasih sayang. Diferensiasi peran dalam keluarga ini sangat penting karena pada masing-masing peran tersebut dialokasikan agar keluarga dapat berfungsi secara normal.

Kedua, alokasi solidaritas. Distribusi relasi antar anggota keluarga menurut cinta, kekuatan, dan intensitas hubungan. Cinta atau kepuasan menggambarkan hubungan antaranggota. Misalnya keterikatan emosional antara seorang ibu dan anaknya. Kekuatan mengacu pada keutamaan sebuah relasi relatif terhadap relasi lainnya. Hubungan antara bapak dan anak lelaki mungkin lebih utama daripada hubungan antara suami dan istri pada suatu budaya tertentu. Sedangkan intensitas adalah kedalaman relasi anta anggota menurut kadar cinta, kepedulian, ataupun ketakutan

Ketiga, alokasi ekonomi. Distribusi barang-barang dan jasa untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Differensiasi tugas juga ada dalam hal ini terutama dalam hal produksi, distribusi dan konsumsi dari barang dan jasa dalam keluarga.

(5)

Keempat, alokasi politik. Distribusi kekuasaan dalam keluarga dan siapa yang bertanggung jawab atas setiap tindakan anggota keluarga. Agar keluarga dapat berfungsi maka distribusi kekuasaan pada tingkat tertentu diperlukan.

Kelima, alokasi integrasi dan ekspresi. Distribusi teknik atau cara untuk sosialisasi, internalisasi, dan pelestarian nilai-nilai dan perilaku yang memenuhi tuntutan norma yang berlaku untuk setiap anggota keluarga.

Apabila kelima fungsi tersebut berjalan normal maka secara khusus mempunyai pengaruh terhadap anak dimana anak menjadi mampu bertindak sesuai harapan keluarga dan masyarakat. Dari segi fungsi diferiensasi peran maka keluarga melakukan sosialiasi peran terhadap anak berupa peran sesuai dengan jenis kelamin dan kemampuan cognitif, afektif, dan psikomotorik kepada anak. Bilamana sosialisasi ini berhasil maka anak akan mampu menjalankan peran sebagaimana mustinya. Dari segi alokasi solidaritas membutuhkan keterkaitan emosional antara anggota keluarga, orang tua dengan anak. Ikatan emsoional yang erat antara orang tua dan anak menciptakan kehangatan interaksi dan rasa diterima anak dalam keluarga. Kondisi ini memberikan pengaruh baik terhadap perkembangan emosi anak. Dari segi alokasi ekonomi, keluarga mendistribusikan pendapatannya untuk kepentingan keluarga berupa sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan. Dari segi alokasi politik dibutuhkan agar keluarga mempunyai pemimpin keluarga atau kepala keluarga yang mampu membawa arah keluarga menjadi keluarga normal. Dan alokasi integrasi dan ekspresi merupakan suatu proses sosialisasi nilai-nilai sosial kepada anak dan diharapkan nilai-nilai sosial tersebut terinternalisasi pada diri anak, sehingga anak mampu bertindak sesuai dengan harapan masyarakat.

Tinjauan Teori Ekonomi Keluarga

Pada hakekatnya ada dua konsep yang menyinggung masalah institusi keluarga, yaitu keluarga dan rumah tangga. Konsep keluarga menyangkut perihal jumlah anggota keluarga, struktur dan fungsi masing-masing anggota keluarga, nilai-nilai yang mempengaruhi sikap terhadap orang-orang di antara anggota keluarga atau terhadap satuan keluarga secara keseluruhan (Rahardjo 1984).

(6)

Konsep rumah tangga menunjukkan arti ekonomi dari suatu keluarga, misalnya: bagaimana keluarga mengelola kegiatan ekonomi keluarga; pembagian kerja dan fungsi; berapa pendapatan dan konsumsi suatu rumah tangga; jenis dan jasa apa yang dihasilkan; dan sebagainya (Rahardjo 1984).

Kajian para ekonom cenderung memfokuskan pada rumah tangga daripada keluarga. Zeitlin (1995) menyebutkan bahwa di dalam rumah tangga para anggotanya menyatukan resources mereka untuk menciptakan kesejahteraan bagi seluruh anggota keluarga. Rumah tangga biasanya beranggotakan anggota keluarga yang berkaitan dengan darah (kerabat), perkawinan, dan kadang-kadang ditambah dengan anggota yang tidak ada hubungan darah (kerabat). Rumah tangga didefinisikan atas dasar residence, sedangkan family didefinisikan atas dasar kekerabatan.

Keluarga mempunyai fungsi untuk bertanggung jawab dalam menjaga menumbuhkan dan mengembangkan anggota-anggotanya. Oleh karena itu pemenuhan akan kebutuhan-kebutuhan untuk mampu bertahan, tumbuh dan berkembang perlu tersedia, yaitu:

a. Pemenuhan akan kebutuhan pangan, sandang, papan dan kesehatan untuk pengembangan fisik dan sosial

b. Kebutuhan akan pendidikan formal, informal dan nonformal untuk pengembangan intelektual, sosial, mental, emosional dan spiritual (Suprihatin Guhardja dkk 1992).

Deacon (tanpa tahun) menyebutkan bahwa human capital pada diri seseorang maupun keluarga merupakan total stock dari kemampuan manusia yang sangat berpengaruh terhadap sumberdaya dan penggunaannya di masa yang akan datang. Para ekonom mengartikan human capital sebagai people resources yang mempengaruhi future income. Bahkan Deacon mencontohkan bahwa bagian yang berarti dari human capital development adalah proses pembelajaran yang tidak disadari dan pelatihan yang disadari yang dilakukan oleh anggota-anggota keluarga. Hal ini dicontohkan dengan penggunaan waktu orang tua untuk melatih anak agar dapat melakukan tugasnya. Kegiatan melatih tersebut dapat dikatakan sebagai child’s human capital.

(7)

Schultz (1961) memfokuskan adanya lima hal utama yang dapat meningkatkan kemampuan manusia dimana orang melakukan investasi, sebagai berikut: a) fasilitas dan jasa kesehatan yang akan berpengaruh terhadap harapan hidup, kekuatan dan ketahanan, dan daya hidup serta ketahanan mental; b) on the job training, c) pendidikan formal, d) progam studi untuk orang dewasa, e) migrasi. Sedangkan Bryant (1990) menjelaskan bahwa melakukan investasi terhadap anggota keluarga yaitu (investing in human capital) dapat dilakukan melalui berbagai cara berikut: a) Pendidikan formal, b) Pelatihan dan pengalaman, c) Pemanfaatan waktu dan uang untuk memelihara kesehatan. Seseorang melakukan investasi pada kesehatan dengan melakukan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan fisik dan mental seseorang. Ini dapat dilakukan dengan kegiatan aerobik, periksa ke ahli kesehatan, periksa ke dokter gigi, dan nutrisi yang baik. d) Migrasi.

Investasi pada human capital tersebut didasarkan pada proposisi bahwa ada pengeluaran tertentu (sacrifies) yang dilakukan untuk menciptakan cadangan produktif pada manusia yang memberikan jasa di masa yang akan datang (Schultz, 1974). Anak-anak dipandang sebagai bentuk dari human capital. Ada pengorbanan yang diberikan kepada anak-anak berupa membesarkan dan merawat. Bahkan semakin bertambah umur maka akan semakin besar pengeluaran keluarga yang dibutuhkan. Tjiptoherijanto dan Hasmi (2000) menyebutkan bahwa investasi dalam human capital dimaksudkan sebagai upaya yang dicapai melalui kesehatan dan pendidikan. Dan dari sisi human development (UNDP, 1995) ada tiga elemen penting yang harus diperhatikan, yaitu: 1) usia panjang dan sehat, 2) berpendidikan baik, dan 3) mendapatkan akses ke sumber daya yang diperlukan untuk mencapai kehidupan yang baik.

Bagaimanapun dalam melakukan investasi tersebut rumah tangga perlu mengalokasikan sumber daya yang dimilikinya, baik dari segi human resources (pengetahuan, ketrampilan psikomotor, kasih sayang, kesehatan, tenaga, dan time) maupun material resources (konsumsi pangan, tempat tinggal, harta rumah tangga, tenaga fisik, uang, dan tabungan). Alokasi waktu merupakan pengorbanan waktu orang tua untuk keperluan perkembangan anak. Deacon (tanpa tahun) menyebutkan bahwa waktu sering menjadi ukuran yang menunjukkan ekonomi

(8)

bagi sumber daya manusia. Namun, di samping itu waktu juga dapat mempunyai makna kerja tanpa upah, karena waktu tersebut dialokasikan untuk perkembangan anak; sedangkan alokasi uang merupakan distribusi sumber daya ekonomi rumah tangga untuk berbagai kepentingan, termasuk untuk perkembangan anak.

Ananta dan Hatmadji (1985) mengemukakan beberapa indikator yang berkaitan dengan kualitas sumber daya manusia adalah pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Indikator tersebut tidak berbeda dengan dua tipe investasi modal manusia, yaitu bidang pendidikan dan kesehatan. Kedua bidang tersebut merupakan indikator kualitas anak yang ditentukan seberapa banyak alokasi investasi yang diberikan.

Menurut Becker (1991 dalam Curtis dan Phipps 2000) children’s well being pada dasarnya tergantung pada keputusan investasi yang dilakukan oleh orang tua mereka. Pendekatan ini mengandaikan masing-masing individu hidup dalam dua periode yaitu masa kanak-kanak dan masa dewasa. Utility orang tua pada saat ini dianggap sebagai fungsi dari konsumi saat ini dan child’s income pada waktu yang akan datang:

dimana c1 adalah adult consumption saat ini dan I2 adalah child’s income pada

waktu yang akan datang ketika anak sudah dewasa. Ketika anak menjadi dewasa maka utilitasnya akan menjadi:

Becker beranggapan bahwa orang tua mengalokasikan sumberdaya antara personal consumption saat ini dengan investasi di masa mendatang untuk anak mereka agar dapat memaksimalkan parent’s utility saat ini. Maksimisasi utility tergantung dari keterbatasan pendapatan yang ada, dan perbandingan harga dari barang konsumsi dengan investasi pada anak. Childen’s well being pada masa yang akan datang tergantung seberapa banyak orang tua melakukan investasi kepada anak-anak pada saat ini. Investasi pada anak berarti melakukan pengeluaran untuk skill, kesehatan, belajar, motivasi, credentials, dan

u2= U(c2, I3) u1 = U(c1, I2)

(9)

karakteristik-karakteristik lainnya. Prediksi dari kerangka ini adalah bahwa pendapatan anak akan bergantung pada pendapatan orang tua (secara positif) dan jumlah anak dalam keluarga (secara negatif), karena bertambahnya anak berarti mengurangi uang yang dialokasikan kepada setiap anak.

Investasi kepada anak tidak hanya bersifat material, akan tetapi berupa non material yaitu waktu. Leibowitz (1974) menambahkan gagasan bahwa investasi kepada anak juga tergantung pada kuantitas dan kualitas waktu orang tua yang diberikan kepada anak tidak berbeda dengan investasi material. Sebenarnya Leibowitz menjelaskan bahwa income merupakan penghasilan atas stock of human capital dimana tergantung dari empat sumber dari capital, yaitu home investment (mencakup kuantitas dan kualitas waktu dan barang), measured ability (IQ), final schooling level, dan postschool investment. Menurut Leibowitz karakteristik genetik orang tua berhubungan dengan ability anak (IQ). Karakteristik genetik orang tua menentukan sifat menurun pada anak. Sumbangan genetik dan pendidikan orang tua menentukan kuantitas dan kualitas waktu untuk anak. Pendapatan keluarga mempengaruhi kuantitas dan kualitas waktu dan barang. Home investment bersama dengan heredity menentukan human capital (IQ). Final schooling level ditentukan oleh family income dan ability (IQ). Pendidikan orang tua (ibu) berpengaruh baik secara langsung maupun melalui heredity pada schooling level Begitu juga pendidikan ibu secara signifikan berhubungan dengan IQ.

Curtis dan Phipps (2000) membuktikan bahwa parental time berkorelasi dengan child outcome, khususnya pada keberhasilan sekolahnya. Parental time disini dirinci kedalam bentuk membantu mengerjakan pekerjaan rumah (PR), membacakan untuk anak, mengajak tamasya, memberikan dukungan pada aktivitas sekolah ( pekerjaan rumah dan sekolah, mengantar sekolah, mengikuti piknik sekolah bersama anak).

Kuantitas – Kualitas

Pilihan orang tua untuk menentukan pada kuantitas dan kualitas anak menjadi bahan yang menarik dipertimbangkan. Bryant (1990) membangun model

(10)

pilihan fertilitas yang menekankan pada family size. Ada lima hal yang perlu diperhatikan agar dapat menentukan family size secara benar:

1. Ukuran keluarga akan lengkap jika mempertimbangkan fecunditas perempuan sehingga merupakan jumlah anak yang dibesarkan hingga dewasa.

2. Anak merupakan barang yang dihasilkan oleh rumah tangga yang membutuhkan kombinasi parental time dan barang yang dibeli.

3. Fokus pada waktu ibu dikarenakan pada kenyataannya mayoritas waktu untuk melahirkan dan membesarkan anak ada pada ibu

4. Adanya kepuasan yang diterima oleh orangtua dari child service. Child service merupakan aliran service dari anak yang dinikmati oleh orangtua pada tiap-tiap tahun yang berasal dari anak-anak mereka.

5. Child service berasal dari dua komponen anak, yaitu jumlah anak dalam keluarga dan human capital yang diterima oleh masing-masing anak. Perbedaan ini perlu dilakukan karena pengeluaran untuk anak meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan. Dipihak lain, bertambahnya jumlah anak maka akan meningkatkan penggunaan waktu dan uang untuk anak. Oleh karena itu, anak yang memiliki human capital yang lebih banyak akan memberikan aliran child services yang lebih besar, dan orang tua lebih bahagia jika anak-anak mereka sehat, berpendidikan, berketrampilan, kecukupan pangan, pakaian, dan tinggal dalam rumah yang layak.

Permintaan jumlah anak merupakan komponen dari permintaan child services dan mengabaikan hal ini akan menghilangkan aspek penting dari perilaku fertilitas. Child services tersebut dapat diwujudkan dalam notasi:

Notasi tersebut menunjukkan bahwa kuantitas child services yang diproduksi dan dinikmati oleh orangtua (C) merupakan hasil produksi dari jumlah anak (N) dan human capital untuk per anak (Q). Kemudian anggapan dalam model fertilitas yang sederhana adalah kedua orangtua memperoleh kepuasan dengan memproduksi dan mengkonsumsi dua barang, yaitu child services dan parental

(11)

services. Jumlah parental services dilambangkan dengan S. Dengan demikian preferensi kedua orangtua ditampilkan dalam fungsi utility sebagai berikut:

Banyak penelitian memfokuskan kepada masalah preferensi orang tua terhadap kuantitas dan kualitas anak. Penelitian-penelitian tentang kuantitas dan kualitas anak tersebut mempunyai fokus sendiri-sendiri seperti: kajian tentang hipotesa kuantitas dan kualitas anak di negara-negara berkembang (Martina 1996); investasi pada anak dalam keluarga pedesaan di Indonesia (Hartoyo 1998); kuantitas dan kualitas pengasuhan anak (Lundholm & Ohlsson 2000); kuantitas dan kualitas sekolah (Handa & Simler 2000); struktur keluarga, fertilitas dan kualitas anak (Ribero 2000); investasi kepada anak (Brown & Flinn 2002); kuantitas versus kualitas: pengaruh ukuran keluarga terhadap sekolah (Millimet 2003); pengaruh family size terhadap investasi pada kualitas anak (Caceres 2004); kuantitas – kualitas: pengaruh positif dari ukuran keluarga terhadap kelulusan sekolah (Qian 2005); dan trade off kuantitas dan kualitas (Millimet & Wang 2005).

Pendidikan Anak Sebagai Bentuk Investasi

Pandangan para ahli ekonomi terhadap pendidikan adalah sebagai bagian dari investasi terhadap sumberdaya manusia (Bryant 1990; Schultz 1961&1974; Febrero&Schwartz 1995). Pendidikan dikatakan sebagai investasi karena investasi pada hakekatnya adalah pengorbanan di masa kini untuk memperoleh keuntungan di masa depan; sedang pendidikan itu sendiri harus melibatkan suatu bagian waktu, yang tentu saja mengurangi kesempatan untuk menghasilkan yang lain (Fadjri 2000). Selain itu pendidikan sendiri merupakan usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang (Sistem Pendidikan Nasional 1994). Dimana setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Oleh karena itu pendidikan menjadi salah satu sasaran utama dalam pembangunan nasional.

(12)

Sistim pendidikan nasional menyebutkan adanya penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan melalui 2 (dua) jalur yaitu jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah. Jalur pendidikan sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah melalui kegiatan belajar mengajar secara berjenjang dan bersinambungan. Jalur pendidikan yang termasuk jalur pendidikan sekolah terdiri atas pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesional. Sedangkan pendidikan luar sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah melalui kegiatan belajar mengajar yang tidak harus berjenjang dan bersinambungan. Dan pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga dan memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan ketrampilan. (Sistem Pendidikan Nasional, 1994). Pendidikan keluarga tersebut dapat disebut juga sebagai sosialisasi keluarga terhadap anak.

Menurut Bryant (1988) alasan utama melakukan investasi human capital melalui pendidikan formal adalah untuk meningkatkan pendapatan mereka di masa datang dan juga untuk meningkatkan kemakmuran mereka. Bahkan dikemukakan bahwa tambahan pendidikan akan meningkatkan produktivitas individu di pasar tenaga kerja, dan para pekerja menerima upah yang lebih tinggi dengan pendidikannya yang lebih tinggi.

Investasi terkadang mempertimbangkan akan harapan di masa datang dan jenis kelamin (Bryant 1990). Harapan aktivitas di masa yang akan datang menjadi bahan petimbangan penting untuk mengatur seberapa banyak dan macam investasi human capital bagi individu. Orang tua akan melakukan investasi agar meningkatkan produktivitas pasar tenaga kerja hanya jika ia mempunyai harapan anak dapat mengalokasikan banyak waktu dalam pasar tenaga kerja di masa yang akan datang. Semakin tinggi harapan ini maka semakin banyak pula investasi yang dilakukan. Sedangkan investasi human capital berdasarkan jenis kelamin dapat muncul jika orang tua mempunyai harapan aktivitas di masa mendatang berdasarkan jenis kelamin. Secara historis, perempuan diharapkan menggunakan sebagian besar waktunya untuk household and leisure activities. Akibatnya,

(13)

investasi human capital terhadap perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki sehingga masyarakat dan orang tua menurunkan jumlah investasi seperti itu.

Becker (Becker 1993 diacu dalam Yueh 2001) mengembangkan model tiga periode sebagai formulasi lebih lanjut dari keputusan investasi orang tua pada children’s human capital. Becker menentukan investasi tersebut dengan peragaan fungsi utility baik orang tua maupun anak dipengaruhi dengan altruism dan rasa bersalah. Yueh (2001) mengetengahkan tiga model investasi orang tua pada anak dengan mempertimbangkan dua rates of return, yaitu personal rate of return dan family rate of return. Pertama, personal rate of return, orang tua akan menginvestasikan lebih banyak resources pada anak dengan return yang lebih besar. Adanya diskriminasi dalam pasar tenaga kerja akan membedakan rates of return childrens’s human capital dan orang tua akan secara menginvestasikan sedikit kepada anak yang akan memberikan returns lebih rendah. Pertimbangan adanya perbedaan penerimaan gaji akan menurunkan return dari pendidikan anak perempuan dan orang tua akan menginvestasikan sedikit pada human capital anak perempuan. Kedua, familial rate of return, orang tua mempertimbangkan adanya transfer ketika pensiun. Familial rate of return didasarkan pada rate of return dari transfer yang diharapkan kepada orang tua ketika mereka pensiun dan ini merupakan bagian dari pendapatan keluarga anak mereka di masa yang akan datang. Akan tetapi faktor lain mempengaruhi keputusan investasi apabila transfer dilakukan oleh keluarga anak di masa mendatang daripada anak itu sendiri, karena ada potential return investasi yang lebih besar pada anak perempuan dibandingkan dengan anak laki-laki berdasarkan pendapatan keluarga anak di masa mendatang.

Penelitian lain menemukan bahwa investasi yang dilakukan oleh orang tua kepada anak tetap bersifat altruistic. Bhalotra (2004) melakukan penelitian yang mencari relevansi antara pembagian pendapatan dengan konsumsi anak dewasa, pendidikan, dan tengaga kerja anak. Ia mendapatkan bahwa meningkatnya konsumi anak dewasa berhubungan secara positif dengan proporsi anak dalam keluarga tersebut yang mengikuti pendidikan, dan berhubungan secara negatif dengan proporsi anak yang bekerja. Ia menemukan juga bahwa meningkatnya anak dalam tenaga kerja berhubungan dengan menurunnya konsumsi anak.

(14)

Penemuan ini diartikan sebagai penolakan terhadap penelitian-penelitian terdahulu yang menyebutkan bahwa pilihan pada tenaga kerja anak merupakan pertimbangan orang tua untuk memperoleh kepentingan atau tujuan orang tua itu sendiri. Penelitian ini relevan dengan penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa keluarga bersifat altruistic dalam melakukan investasi terhadap anak.

Kajian Yueh (2001) menghasilkan adanya perbedaan investasi human capital berdasarkan gender dan tidak bersifat altruistic. Sedangkan kajian Bhalotra (2004) menunjukkan bahwa investasi human capital oleh orangtua kepada anak adalah altruistic. Namun, kajian lain tentang motive investasi human capital terhadap anak berdasarkan gender memberikan hasil tidak adanya perbedaan investasi (Kevane & Levine 2003). Kevane & Levine melakukan penelitian di negara sedang berkembang, Indonesia. Mereka mencoba mengetahui pengaruh perkawinan yang dilakukan dengan investasi yang dilakukan oleh orang tua. Mereka menduga bahwa anak perempuan mendapatkan investasi lebih rendah daripada anak laki-laki. Perkawinan tersebut menjadikan investasi yang diberikan kepada anak perempuan pada akhirnya diperoleh pada pihak keluarga laki-laki, sehingga tidak perlu menginvestasikan banyak kepada anak perempuan. Namun pada kenyataannya ditemukan sedikit bukti adanya preferensi anak laki-laki di daerah virilocal dan ini konsisten dengan bukti lain tidak adanya preferensi anak laki-laki secara sistematis di Indonesia. Juga berdasarkan data Indonesian Family Life Survey tidak ditemukan adanya hubungannya yang kuat antara virilocality dengan perbedaan investasi atau perlakuan terhadap anak perempuan.

Dengan demikian kajian ekonomi menunjukan adanya beberapa interest berkenaan dengan preferensi anak hubungannya dengan investasi yang akan dilakukan oleh keluarga. Di satu pihak investasi dilakukan kepada anak tanpa ada preferensi akan tetapi lebih pada sisi altruistic, namun di sisi lain dikarenakan pertimbangan pada kepentingan atau tujuan orangtua.

Alokasi Waktu Orang Tua Untuk Perkembangan Anak

Ketika berbicara masalah alokasi waktu anggota keluarga, maka yang menarik adalah alokasi antara wanita dan pria. Adanya pemilahan antara domestic

(15)

work dan public work membawa konsekuensi terjadinya perbedaan alokasi waktu antara wanita dan pria dalam dunia publik dan domestik. Oleh karena itu dapat dilihat pula perbedaan penggunaan waktu antara wanita dan pria dalam rumah tangga. Hasil survey penggunaan waktu antara tahun 1970 – 1990 menunjukkan bahwa rata-rata alokasi waktu perhari dalam keluarga untuk wanita adalah 0.52, sedangkan pria sebanyak 0.2 (Klevmarken dan Stafford 1997). Hal tersebut menunjukkan bahwa wanita jauh lebih banyak dibandingkan dengan pria dalam hal mengalokasikan waktu untuk keluarga, khususnya dalam perawatan anak.

Alokasi waktu yang lebih banyak tersebut memang sesuai dengan peran wanita dalam keluarga. Peranan wanita dapat diperinci atas tiga peranan, yaitu: a) sebagai penyumbang tenaga rumah tangga, b) sebagai pengatur rumah tangga dan pengambil keputusan, c) di luar rumah tangga sebagai pendukung beragam lembaga/organisasi sosial ekonomi dan politik yang ada di dalam masyarakat. (Sajogyo 1983).

Guhardja (1992) mengemukakan bahwa pekerjaan rumahtangga adalah pekerjaan yang dilakukan dalam rumahtangga dan berhubungan dengan upaya pemenuhan kebutuhan hidup anggotanya (barang maupun jasa), mulai dari proses perencanaan hingga pelaksanaannya sehingga kebutuhan yang diidentifikasikasi sebagai kebutuhan pangan maupun non-pangan dapat terpenuhi. Fungsi pekerjaan rumahtangga sebagai penghasil barang dan jasa maka pekerjaan rumahtangga sesungguhnya merupakan kegiatan produktif yang dilakukan oleh anggota rumahtangga itu sendiri atau oleh orang yang dipekerjakan sebagai pelaksana pekerjaan rumahtangga sehari-hari yang dikenal sebagai pembantu rumahtangga atau pramuwisma. Pekerjaan rumahtangga tersebut dapat digolongkan ke dalam beberapa jenis pekerjaan antara lain:

1. menyediakan makanan dan keperluan yang berhubungan dengan makanan tersebut

2. memenuhi kebutuhan non-makanan:

3. mengasuh dan merawat serta mendidik anak

Berkenaan dengan alokasi waktu rumah tangga, Bryant (1990) menjelaskan ada tiga kategori alokasi sebagai berikut: market work, household work, dan leisure. Market work mencakup semua penggunaan waktu per minggu

(16)

untuk melakukan pekerjaan dengan upah. Household work mencakup semua penggunaan waktu per minggu untuk kegiatan household production seperti: memasak, mencuci, merawat halaman, merawat anak, merawat anggota keluarga yang sakit, kegiatan perencanaan dan belanja serta kegiatan pengelolaan rumah tangga lainnya. Leisure time merupakan waktu yang tidak digunakan untuk market work maupun household work.

Dengan adanya status sosial ekonomi yang berbeda antara rumah tangga yang satu dengan lainnya, maka dimungkinkan ada relevansinya dengan tiga kategori alokasi waktu rumah tangga. Status sosial ekonomi keluarga tinggi (lapisan atas) maka wanita cenderung mengalokasikan banyak waktu untuk kepentingan rumah tangga. Lapisan tengah mengalokasikan waktu untuk bekerja sehingga waktu wanita dalam rumah tangga berkurang. Pada lapisan bawah, pola nafkah ganda merupakan strategi untuk bertahan hidup. Wanita dalam keluarga lapisan bawah cenderung mengalokasikan banyak waktu untuk mencari nafkah, sehingga waktu yang dialokasikan untuk keluarga berkurang. Dengan demikian dapat diketahui taraf alokasi wanita dalam tiga kategori alokasi terlebih berkaitan dengan alokasi waktu terhadap anak, semakin tinggi lapisan sosial ekonomi keluarga maka semakin tinggi curahan waktu untuk keluarga.

Bryant dan Zick (1996) mengkaji investasi dari segi waktu yang dikorbankan oleh orang tua kepada anaknya. Mereka menaksir total time yang dicurahkan untuk merawat anak yang mencakup perawatan fisik (menyuapi, memandikan, memakaikan baju, memandikan) dan perawatan personal secara langsung seperti mengajari, menasihati, membimbing, mengarahkan, melatih, membahagiakan, dan menghibur. Meskipun wanita kulit putih menikah menggunakan .56 jam setiap hari untuk merawat anak di tahun 1924-1931, tahun 1981 waktu telah meningkat hingga 1.00 jam per hari untuk setiap anak. Pria menikah menggunakan waktunya 0.25 jam setiap hari untuk setiap anak pada tahun 1975. Tahun 1981 meningkat menjadi .33 jam perhari per anak. Bertambahnya dua anak sampai usia 18 membutuhkan sekitar 5.789 jam waktu wanita yang menikah, bekerja, dan berkulit putih dan 14.053 jam waktu wanita yang menikah, tidak bekerja, dan berkulit putih pada tahun 1981. Bertambahnya dua anak hingga usia 18 tahun mempengaruhi penggunaan waktu suami yang

(17)

menikah sekitar lebih 1.500 jam dibandingkan dengan suami menikah tidak bekerja berkulit putih.

Waktu kerja ibu di luar rumah tangga mempunyai kontribusi terhadap pendapatan rumah tangga begitu juga terhadap kualitas anak. Conger (dalam Robert 1999) mengemukakan bahwa keadaan ekonomi keluarga mempengaruhi perkembangan kognitif anak. Ia menggunakan sampel anak-anak dewasa di pedesaan Amerika. Hasil yang ditemukan bahwa permasalahan ekonomi keluarga mempengaruhi kemampuan akademis mereka. Bahkan tanpa dengan memperhatikan variabel pendidikan orang tua ditemukan hasil adanya hubungan langsung antara tekanan ekonomi dan prestasi rata-rata mereka.

Pembagian alokasi waktu dalam rumah tangga tidak lepas dari gender. Susan Losh-Hesselbart (Sussman dan Steinmetz 1988) mengemukakan bahwa di dalam rumah tangga wanita mempunyai peran instrumental dan pria mempunyai peran ekspresif. Selama kegiatan wanita tercurahkan pada kegiatan rumah tangga dan pria pada kegiatan bekerja di luar rumah, maka alokasi waktu untuk mengelola rumah tangga tidaklah terganggu. Akan tetapi terserapnya wanita dalam dunia kerja menjadikan waktu yang dialokasikan untuk kegiatan instrumental (rumah tangga) menjadi kegiatan kerja berupah. Piotrkowski et al (Sussman dan Steinmetz 1988) dalam kajiannya tentang families and work mengetengahkan bahwa waktu yang dialokasikan dalam kerja berupah merupakan waktu yang tidak dialokasikan untuk melaksanakan fungsi-fungsi keluarga dan juga tidak untuk anggota keluarga. Pemisahan yang berhubungan dengan kerja melibatkan ketiadaan kontak tatap muka antara anggota keluarga. Waktu juga merupakan sumberdaya penting yang digunakan keluarga menyelesaikan tugas-tugas keluarga dan juga menjaga solidaritas keluarga.

Selanjutnya Pitorkowski et al (1988) mengungkapkan adanya anggapan luas bahwa waktu yang dialokasikan untuk kerja mengganggu kinerja peran-peran keluarga dikarenakan konflik antara kerja dengan peran keluarga dan karena kuantitas peran dan keterbatasan peran. Kebanyakan pekerja mengeluhkan waktu yang tidak memadai untuk kegiatan-kegiatan keluarga dan sulitnya meyeimbangkan waktu untuk kerja dan peran-peran keluarga. Karena beratnya tanggung jawab mereka terhadap keluarga, para pekerja wanita merupakan subyek

(18)

yang mengalami keterbatasan peran. Beberapa kajian telah menemukan bahwa jumlah waktu kerja berkaitan dengan konflik keluarga dan kerja dengan kesulitan mengatur aktivitas pribadi dan keluarga.

Ilahi (2000) meninjau perbedaan region dan rural-urban menemukan distribusi waktu berdasarkan gender, namun alokasi waktu pria dan wanita tersebut sebagai respon terhadap tekanan-tekanan dan insentif-insentif ekonomi. Apakah pasar tenaga kerja dan barang-barang ada atau tidak mempunyai pengaruh yang penting sebagai penentu apakah pria dan wanita merubah alokasi waktu mereka sebagai respon terhadap perubahan-perubahan dari luar dalam lingkungan mereka. Sebagai contoh, efek –efek perubahan komersialisasi pertanian pembedaan gender tersebut terhadap penggunaan waktu beragam menurut bagaimana fungsi tenaga kerja yang baik dan pasar barang-barang. Dengan demikian perubahan ekonomi yang meningkatkan akses individu ke pasar tenaga kerja, barang-barang, kredit, asuransi dan day-care pasti akan menurunkan kebutuhan penggunaan sumberdaya waktu perempuan sebagai buffer. Disebutkan juga bahwa pemanfaatan waktu dan kemiskinan sangatlah berkaitan. Rumahtangga miskin menunjukkan adanya beban kerja yang tinggi yang harus ditanggung oleh wanita. Beban kerja ini akan menurun seiring dengan meningkatnya pendapatan rumahtangga karena tersedianya lapangan kerja.

Penggunaan waktu dalam rumahtangga menjadi sangat penting untuk perkembangan anak, karena pada hakekatnya untuk mengasuh dan mendampingi anak dibutuhkan pengorbanan waktu. Penggunaan waktu tersebut dapat dikatakan mengikuti perkembangan usia anak. Semakin muda usia dibutuhkan banyak waktu untuk anak dikarenakan anak masih sangat tergantung kepada orang tua dalam berbagai hal. Akan tetapi semakin bertambah usia, kemampuan mobilitas sosialnya bertambah, maka dengan sendirinya waktu semakin berkurang Meskipun secara kuantitas waktu untuk anak berkurang, namun secara kualitas diperlukan penggunaan waktu secara efektif untuk anak.

(19)

Tinjauan Education Paradigm

Pendidikan adalah salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas sumberdaya mansia. Pendidikan secara umum mencakup pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal (UURI No 20/2003 Sisdiknas). Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Dan dalam undang-undang tersebut ditambahkan juga adanya pendidikan anak usia dini. Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

Pendidikan Formal dan Non-formal

Pada awal mula istilah school dalam bahasa Latin mempunyai arti leisure atau recreation (Giddens 1993). Arti tersebut masih relevan untuk tahap pendidikan taman-kanak-kanak (TK) sebagai tahap persiapan memasuki pendidikan dasar. Meskipun demikian di tingkat persiapan tersebut sudah dikenalkan juga baca tulis dan menghitung. Pada tahap ini anak diberi pelajaran yang dapat mengasah psikomotorik, afektif, dan cognitifnya. Namun semakin tinggi tingkat pendidikan maka tidak sekedar leisure dan rekreasi, akan tetapi semakin dituntut pada penguasaan ilmu dan teknologi yang beraneka ragam sesuai dengan jamannya. Kemampuan tersebut tidak hanya diperoleh dari pendidikan formal akan tetapi juga dilengkapi dengan pendidikan nonformal sehinga akan menyempurnakan kinerja individu di kemudian waktu.

Apalagi jika mempertimbangkan perlunya link and match antara dunia pendidikan dan pekerjaan, maka dunia pendidikan perlu mempersiapkan tenaga-tenaga profesional atau sumberdaya yang berkualitas sebagai modal pembangunan dalam segala sektor. Partisipasi mencetak sumberdaya manusia melibatkan

(20)

keluarga, lingkungan pendidikan (sekolah dan para guru) dan masyarakat. Keluarga menyediakan segala kebutuhan materi dan non materi untuk keberhasilan pendidikan anak. Para guru mengasah ketrampilan, ilmu dan teknologi dan juga moral. Masyarakat merupakan ajang belajar dan praktek dari penguasaan ilmu serta teknologi. Sumberdaya berkualitas ini diharapkan dapat menjadi faktor pendorong pembangunan nasional. Dan secara individual memberikan kontribusi kesejahteraan di masa mendatang.

Pendidikan dianggap juga sebagai upaya untuk meraih kesetaraan sosial. Para ekonom pendidikan senantiasa menyampaikan gagasan bahwa perkembangan pendidikan secara alami akan mengurangi ketimpangan pendapatan (Boudon 1977). Namun pada kenyataannya pendidikan itu sendiri secara tidak langsung menciptakan ketimpangan sosial. Peningkatan waktu untuk pendidikan tidaklah mengurangi ketimpangan sosial akan tetapi justru meningkatkan ketimpangan ekonomi. Dengan demikian pendidikan menjadi modal utama untuk melakukan persaingan dalam angkatan kerja sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan individu.

Akan tetapi partisipasi anak ke dalam dunia pendidikan tersebut ditentukan oleh latar belakang keluarga. Finnie et al (2004) menemukan bahwa anak yang berasal dari keluarga dengan pendidikan orang tua yang tinggi memiliki partisipasi yang tinggi, sebaliknya anak yang berasal dari keluarga dengan pendidikan orang tua semakin rendah maka partisipasi dalam dunia pendidikan juga semakin merendah. Tipe keluarga juga berpengaruh terhadap tingkat partisipasi anak kedalam dunia pendidikan. Anak yang berasal dari keluarga lengkap cenderung menunjukkan angka yang meningkat dibandingkan dengan anak yang berasal dari keluarga tunggal.

Latar belakang keluarga merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kualitas anak dalam hal keberhasilan pendidikannya. Sparkers (1999) menganggap bahwa keberhasilan pendidikan yang dicapai oleh anak tergantung juga dari latar belakang keluarga atau faktor-faktor bukan sekolah. Faktor-faktor tersebut adalah:

(21)

• Ekonomi Sosial: pendapatan rendah, orang tua tidak bekerja, klas sosial (pekerjaan orang tua) dan lingkungan tempat tinggal yang padat;

• Pendidikan dan ketrampilan orang tua;

• Struktur keluarga: family size, orang tua tunggal, tempat penitipan anak; • Etnisitas/bahasa: kelompok etnis, berbahasa Inggris;

• Lainnya: kepentingan orang tua/keterlibatan/latihan-latihan.

Dari sisi lembaga pendidikan maka kinerja sekolah berpengaruh terhadap prestasi anak. Artinya sekolah yang berkualitas akan menghasilkan output siswa yang berkualitas (Lloyd 2001; Bacolod and Tobias 2003). Lloyd (2001) menemukan bahwa kualitas sekolah (jam belajar, bahan pelajaran, kualitas guru, dinamika klas, perlakuan guru dam sikap guru) berhubungan dengan tingkat pencapaian prestasi siswa. Sedangkan Bacolod and Tobias (2003) menemukan adanya hubungan antara kualitas sekolah dengan prestasi akademik siswa. Fasilitas minimal pada sekolahan memberikan kontribusi pada prestasi belajar siswa. Fasilitas dasar minimal yang harus dimiliki sekolahan adalah fasilitas listrik, ukuran klas, dan program pelatihan guru.

Proses pendidikan dapat dikatakan sebagai adanya input yang diolah dalam lembaga pendidikan dan menghasilkan output. Proses tersebut melibatkan lingkungan keluarga, karakteristik anak didik, dan lingkungan sekolah sebagai unsur yang menentukan kualitas output siswa. Sekolah memang merupakan ajang untuk transfer ilmu pengetahuan dan teknologi. Latar belakang keluarga memberikan dukungan baik materiil maupun non materi untuk anak dalam mengikuti proses pendidikan. Sedangkan karakteristik anak didik mencakup jenis kelamin, prestasi sebelumnya dan tingkat kecerdasan.

Pada hakekatnya pendidikan itu sendiri merupakan sarana untuk melakukan mobilitas sosial. Semakin terbukanya kesempatan mengikuti pendidikan maka akan semakin mengurangi ketimpangan pendidikan sehingga akan meningkatkan social opportunity atau social mobility. Apabila jumlah division of labor dalam masyarakat relatif tetap maka social opportunity tersebut membutuhkan kemampuan bersaing yang semakin tinggi. Maka semakin banyak output pendidikan semakin meningkatkan persaingan. Kondisi ini merupakan

(22)

bentuk inflasi pendidikan dikarenakan perbandingan kuantitas dan kualitas output pendidikan yang semakin bertambah sementara penyerapan tenaga kerja terbatas sehingga dibutuhkan persyaratan sertifikasi pendidikan yang semakin tinggi untuk pekerjaan tertentu.

Pendidikan Informal dan Usia Dini

Pendidikan informal dan usia dini tidak dapat dipisahkan. Pada hakekatnya pendidikan informal berlangsung dalam lingkungan keluarga, begitu juga dengan pendidikan usia dini. Pendidikan dalam lingkup keluarga ini dapat dikatakan sebagai bentuk sosialisasi keluarga kepada anak. Sosialisasi tersebut mencakup berbagai dimensi seperti: psikomotorik, afektif, dan cognitif. Sosialisasi psikomotorik merupakan pelatihan gerak agar dapat melakukan kegiatan mandiri. Sosialisasi afeksi merupakan pelatihan yang menumbuhkan perkembangan emosi anak secara positif. Dan sosialisasi cognitif merupakan pengenalan pengetahuan secara umum termasuk etika sesuai dengan perkembangan usianya.

Pendidikan keluarga tersebut dapat dikatakan melengkapi pendidikan formal Nordblom (2001) menganggap bahwa pendidikan dalam keluarga dapat melengkapi dari pendidikan formal karena mencakup kebutuhan waktu dan barang-barang, usaha-usaha untuk mengajari kebiasaan-kebiasaan anak, membantu anak mengerjakan pekerjaan rumah, membeli komputer, atau mengirim untuk mengikuti pendidikan bahasa. Begitu juga masalah kesehatan dan aspek fisik lainnya serta makanan bergizi dan obat merupakan hal yang penting untuk human investment.

Proses pendidikan yang terjadi dalam keluarga tersebut melibatkan ragam sumberdaya untuk menghasilkan output, teristimewa child outcome yang berkualitas. Schultz (1961) mengemukakan bahwa sumberdaya tersebut mencakup segi kuantitas dan kualitas. Kuantitas sumber daya meliputi jumlah orang, proporsi orang yang bekerja, dan jam bekerja. Kualitas sumberdaya mencakup komponen ketrampilan, pengetahuan, dan atribut-atribut yang mirip yang mempengaruhi kemampuan produktif manusia. Sumberdaya tersebut dapat bersumber pada ayah atau ibu, atau anggota keluarga lainnya.

(23)

Sumberdaya tersebut ditransfer oleh orang tua kepada anak melalui pendidikan dalam keluarga. Hasil dari transfer tersebut ditunjukkan dalam peran yang ditampilkan anak dalam keluarga tersebut. Peran tersebut dapat dilakukan secara baik hanya jika anak mempunyai kondisi fisik yang sehat, memiliki kecerdasan intelektual maupun emosional. Kesemua faktor tersebut memberikan dukungan terhadap segi psikomotorik, afeksi, dan kognitif anak yang diwujudkan dalam peran anak dalam keluarga.

Tinjauan Sumberdaya Keluarga

Household resources dapat diartikan sebagai sumber dari kekuatan, potensi, dan kemampuan untuk mencapai suatu manfaat atau tujuan. Menurut Bryant (1990) household resources dapat dipilah ke dalam human resources dan physical resources. Human resources mencakup time, skill, dan energy dari setiap anggota rumah tangga. Physical resources mencakup financial resources yang dapat diurutkan dari yang most liquid sampai dengan yang less liquid. Sumber daya yang most liquid berupa cash, sedangkan yang less liquid berupa credit line, saving accounts, saham, surat obligasi, mobil, rumah, dan tanah.

Dengan maksud yang sama Deacon (tanpa tahun) juga mengemukakan bahwa resources mencakup human resources dan material resources. Human resources merupakan segala sesuatu yang diberikan pada orang yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan. Human resources menunjukkan personal characteristic seperti cognitive insights, psychomotoric skill, affective attributes, health, energy, dan time. Material resources merupakan nonhuman means untuk mencapai tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan. Material resources mencakup consumption good, housing, household capital, physical energy, money, dan investments.

Guhardja dkk (1992) menjelaskan bahwa sumberdaya mempunyai berbagai jenis yang dapat diklasifikasikan berdasarkan : (1) jenisnya, (2) segi ekonomi, dan (3) letak/asalnya. Berdasarkan jenisnya maka sumberdaya dapat diklasifikasikan sebagai (a) sumberdaya manusia dan (b) sumberdaya bukan manusia atau materi. Sumberdaya manusia mempunyaai dua ciri, yaitu ciri-ciri

(24)

pribadi/personal dan ciri-ciri interpersonal. Ciri-ciri pribadi adalah semua pengetahuan (cognitve), perasaan (affective) dan ketrampilan (psichomotoric). Selain itu, ciri-ciri pribadi mencakup juga enerji manusia, status kesehatan, bakat, tingkat intelegensia, minat dansensitivitas (kepekaan) Sedangkan ciri-ciri interpersonal sumberdaya manusia adalah jalinan hubungan natar manusia dalam membentuk suatu kerjasama gotong royong atau keintiman, keterbukaan/ketertutupan antar personal dalam kaitannya dengan pengembangan. Aspek koginitf menyangkut nilai-nilai dalam hal jangkauan/penguasaan pengetahuan dimana mengenal tahapan-tahapan, yaitu: mengetahui, memahami, menganalisa, mensintesis, dan mengevaluasi. Aspek afektif lebih berhubungan dengan sisi subyektif. Afektif merupakan ciri pribadi yang tampak sebagai sumberdaya dalam hubungan antara personal dan dalam penggunaan sumberdaya materi (non manusia). Ada tiga spek pribadi dalam afeksi, yaitu: sikap, perasaan, dan ciri-ciri pribadi (baik hati, lapang dada, pemurah, dan bertanggung jawab). Sedangkan aspek psikomotorik adalah sumberdaya yang berupa kekuatan gerak fisik untuk mengerjakan suatu pekerjaan serta kemampuan untuk menggunakan peralatan, seperti: mencangkul, menyopir traktor, memperbaiki alat, memasak, dan mencuci pakaian, serta lain-lainnya.

Sumberdaya bukan manusia atau materi merupakan benda-benda yang mempunyai khasiat dan kegunaan pada individu dan keluarga dalam mencapai tujuan yang diinginkannya. Sumberdaya bukan manusia atau materi terdiri dari benda-benda atau barang, jasa, waktu, dan enerji (Suprihatin Guhardja dkk 1992). Benda-benda yang digunakan dalam proses konsumsi dapat berlangsung malalui berbagai cara dibeli dan langsung dikonsumsi, dibeli kemudian diolah dahulu di rumahtangga, kemudian baru dikonsumsi, dan diperoleh dari luar (dari tetangga,, dari lembaga formal). Sumberdaya jasa mencakup jasa pembantu, jasa sopir, jasa ronda, jasa klinik, jasa perpustakaan, dan lain-lain. Sumberdaya waktu merupakan sumberdaya yang unik, karena selain tidak dapat dikategorikan sebagai sumberdaya manusia atau sumberdaya non manusia, juga tidak apat ditambah, dikurangi, diakumulasi atau disimpan. Sumberdaya waktu yang dimiliki oleh manusuia sama, yaitu dua puluh empat jam sehari. Waktu dapat menjadi ukuran yang mempunyai nilai ekonomis. Sumberdaya enerji merupakan sumberdaya

(25)

manusia maupun sumberdaya non manusia. Sumberdaya enerji merupakan sumberdaya manusia jika ditinjau dari sudut pandang bahwa enerji yang ada pada diri manusia tidak akan ada apabila manusia itu sendiri tidak ada. Sedangkan jika sumberdaya enerji merupakan sumberdaya non manusia jika ditinjau dari sudut pandang bahwa enerji dapat berada di alam bebas, seperti: enerji matahari, enerji gas dan minyak bumi, enerji angin, ombak, batu bara, kayu dan lainnya.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa household resources menunjukkan pada dua kategori human resources dan physical atau material resoures. Kedua karakter tersebut dapat merupakan kontinuum dari yang asset lancar sampai dengan asset tidak lancar. Bagaimanapun sumberdaya rumahtangga tersebut merupakan sumber daya yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan dan aktivitas suatu rumah tangga. Secara khusus faktor-faktor sumberdaya keluarga memberikan kontribusi dalam membentuk kualitas anak. Faktor sumberdaya manusia berupa cognitif, afektif, dan psikomotorik merupakan potensi orangtua yang disosialisasikan kepada anak agar anak memiliki potensi yang memadai untuk aktivitas pada tahap usianya. Begitu juga kontribusi sumberdaya bukan manusia menentukan kualitas anak. Sumberdaya bukan manusia ini berupa sandang, pangan, papan, waktu, dan enerji yang disediakan oleh keluarga untuk kepentingan perkembangan anak yang berkualitas baik. Begitu juga sumberdaya ekonomi merupakan hal penting dalam kesejahteraan anak yang dapat diukur melalui kesehatan dan keberhasilan pendidikan (Curtis & Phips 2000)

Kajian Empiris Kualitas Anak Kajian Indikator Kualitas Anak pada Penelitian Terdahulu

Kualitas anak merupakan suatu output dalam suatu keluarga. Berbagai faktor masukan dikelola dalam keluarga tersebut sehingga mampu menghasilkan output berupa sumber daya manusia yang berkualitas. Beberapa kajian (Hartoyo 1998; Ribero 2000; Brown & Flin 2002; Caceres 2004) langsung menyebut kualitas anak Hartoyo (1998) dalam penelitiannya mengenai investing in children: study of rural families in Indonesia menjelaskan kualitas anak mencakup dimensi

(26)

jasmani (status gizi) dan kecerdasan (IQ). Ribero (2000) mengungkap bahwa perkawinan mempunyai hubungan positif dengan child quality sedangkan fertility mempunyai hubungan negatif dengan child quality. Ribero mengukur child quality dengan indikator pendidikan anak. Brown & Flin (2000) melakukan kajian mengenai investasi kepada anak dengan memperhatikan status perceraian dan perkawinan pengaruhnya terhadap kualitas anak. Hasilnya menunjukkan bahwa anak dalam keluarga yang menikah memiliki hasil test yang lebih baik dibandingkan dengan anak dalam keluarga perceraian. Indikator kualitas anak adalah Peabody Individual Achievement Test (PIAT) dalam bidang matematika dan membaca. Caceres (2004) mengkaji pengaruh family size terhadap investasi pada child quality. Caceres menggunakan pencapaian pendidikan sebagai indikator kualitas anak. Hidayat (1997) mendefinisikan kualitas sebagai gabungan karakateristik yang menentukan derajat kehandalan (degree of excellence). Oleh karena itu, kualitas SDM dapat didefiniskan sebagai gabungan dari karakteristik segenap sumberdaya yang ada dalam diri manusia, mencakup karakteristik fisik, akal, kalbu, dan nafsu yang menentukan kehandalan manusia baik sebagai makhluk indiividu maupun makhluk sosial. Dalam hal ini yang dimaksud sumber daya manusia berkualitas adalah anak. Kualitas anak tersebut mencakup faktor status gizi (jasmani), kecerdasan intelektual (akal), kecerdasan emosional (kalbu), dan prestasi belajar.

Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang menyebut langsung kualitas anak, sebaliknya beberapa penelitian berikut tidak menunjuk langsung kualitas anak. Meskipun demikian beberapa penelitian terdahulu tersebut dapat menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya.. Beberapa penelitian berikut merupakan penjabaran dari definsi kualitas anak sehingga merupakan bagian-bagian dari karakteristik kualitas anak yang mencakup status gizi (jasmani), intelligence quotien (kecerdasan), dan emotional quotien (kecerdasan emsional).

Status Gizi

Beberapa penelitian tentang status gizi dilakukan oleh Tambingon (1999), Nurhayati (2000), Paputungan (2000), Soedikarijati (2001), Rahmawati (2001),

(27)

Yuliana (2002). Tambingon (1999) menggunakan variabel status ibu, karakteristik keluarga, pola pengasuhan, dan jenis kelamin. Nurhayati (2000) menggunakan variabel pengaruh langsung (konsumsi gizi dan infeksi) dan pengaruh tidak langsung (sanitasi pangan dan lingkungan, pengetahuan sanitasi lingkungan dan pangan, pengeluaran pangan, pantangan pangan, pendapatan keluarga, dan pendidikan ibu. Paputungan (2000) menggunakan penerima PMT JPS-BK dan tidak , konsumsi pangan, status gizi bayi lahir, konsumsi energi, pola pengasuhan, karakteristik keluarga. Soedikarjati (2001) mengoperasikan variabel pendapatan keluarga, dsitribusi pangan, sosiobudaya pangan, kebiasaan pangan, konsumsi pangan, maslah makan anak, dan penyakit diare. Rahmawati (2001) menggunakan variabel kualitas pelaksanaan PMT-AS, karakteritik keluarga, kualitas makan, pengetahuan gizi , status kesehatan. Yuliana (2002) menggunakan variabel karakteristik keluarga, pola asuh makan, pola asuh perkembangan, konsumsi gizi. Status kesehatan, perkembangan.

Ada kesamaan penggunaan variabel pada penelitian tersebut adalah sebagai berikut: pengetahuan gizi (Nurhayati 2000; Widayani 2000; Rahmawati 2001; Paputungan 2000; Yuliana 2002), pendapatan keluarga (Nurhayati 2000; Soedikarijati 2001; Widayani 2000; Tambingon 1999; Paputungan 2000; Yuliana 2002), konsumsi pangan (Soedikarijati 2001; Widayani 2000; Paputungan 2000), pola asuh (Widayani 2000; Tambingon 1999; Paputungan 2000; Yuliana 2002), sanitasi lingkungan (Widayani 2000; Nurhayati 2000), konsumsi gizi (Yuliana 2002; Paputungan 2000; Nurhayati 2000), karakteristik keluarga (Yuliana 2002; Paputungan 2000; Tambingon 1999; Rahmawati 2001), status kesehatan (Yuliana 2002: Rahmawati 2001), infeksi (Nurhayati 2000; Paputungan 2000).

Adapun perbedaan variabel yang berhubungan dengan status gizi adalah sebagai berikut: status ibu, jenis kelamin anak (Tambingon 1999); perawatan anak, pemberian makan, pantangan makan, pengetahuan sanitasi lingkungan dan pangan (Nurhayati 2000); proses melahirkan dan status gizi bayi lahir (Paputungan 2000); distribusi pangan, sosio budaya pangan kebiasaan pangan (Soedikarijati 2001); alokasi waktu dan jenis pekerjaan (Widayani 2000); kualitas pelaksanaan PMT-AS dan pengetahuan, sikap dan perilaku gizi (Rahmawati 2001); perkembangan (Yuliana 2000).

(28)

Penggunaan skala pengukuran dalam penelitian-penelitian tersebut beragam mencakup nominal, ordinal. Penggunaan skala nominal sebagai skala pengukuran dijumpai pada status ibu (Tambingon 1999); menerima dan tidak menerima PMT-AS JPS-BK (Paputungan 2000); masalah makan anak dan penyakit diare (Soedikarijati 2001). Penggunaan skala ordinal dijumpai pada karakteristik keluarga, konsumsi gizi bayi, perkembangan anak, status gizi (Yuliana 2000); jumlah anggota keluarga, pendapatan perkapita, pola pengasuhan, lama pendidikan, status gizi (Tambingon 1999); konsumsi gizi pengaruh tidak langsung dan pengaruh langsung, status gizi (Nurhayati 2000); status gizi bayi lahir, konsumsi pangan, pola pengasuhan anak, karakteristik keluarga, status gizi (Paputungan 2000); pendapatan keluarga, distribusi pangan, konsumsi pangan, status gizi (Soedikarijati 2001); pendapatan, pola asuh, pengetahuan gizi, konsumsi pangan, sanitasi lingkungan, status gizi (Widayani 2000); kualitas pelaksanaan PMT-AS, karakteristik keluarga, kualitas makanan, pengetahuan gizi, status kesehatan, status gizi (Rahmawati 2001).

Variabel yang diteliti hubungannya dengan status gizi adalah sebagai berikut: pengetahuan, sikap dan perilaku gizi dan kesehatan siswa dengan status gizi siwa (Rahmawati 2001); pendapatan keluarga, distribusi pangan, konsumsi pangan anak balita dengan status gizi (Soedikarjati 2001); sanitasi lingkungan, pola asuh anak balita, dan kosnsumsi pangan dengan status gizi anak (Widayani 2000); proses melahirkan, status gizi bayi lahir, konsumsi energi (Paputungan 2000); pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap status gizi anak (Nurhayati 2000); karakteritik keluarga dan pola pengasuhan dengan status gizi (Tambingon 1999); karakteristik keluarga, pola asuh makan, pola asuh perkembangan, kosnumsi gizi bayi dengan status gizi (Yuliana 2002).

Alat statistik yang diterapkan dalam penelitian tersebut adalah uji t (Rahmawati 2001; Widayani 2001; Paputungan 2000; Nurhayati 2000); korelasi Spearman (Widayani 2000; Paputungan 2000; Tambingon 19990; korelasi Pearson (Yuliana 2002); regresi linier (Nurhayati 2000; Soedikarjati 2001; Widayani 2000; Tambingon 1999; Yuliana 2002).

Adapun sampel yang digunakan dalam penelitian ini beragam. Yuliana(2002) menggunakan sampel bayi usia 8-11 bulan. Nurhayati (2000)

(29)

menggunakan sampel anak usia 6-24 bulan. Rahmawati (2001 menggunakan sampel siswa SD PMT-AS dan Non-PMT-AS. Soedikarjati (2002) menggunakan sampel keluarga pra sejahtera dan sejahtera yang memiliki balita. Tambingon (1999) menggunakan sampel ibu bekerja dan tidak bekerja yang meiliki balita. Paputungan (2000) menggunakan sampel bayi usia 12 –27 bulan dalam keluarga miskin. Widayani (2000) menggunakansampel rumah tangga petani yangmempunyai anak berusia 12-36 bulan.

Persamaan dengan variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini yang berhubungan degan status gizi adalah sosial ekonomi keluarga, pengetahuan gizi, sikap gizi dan konsumsi pangan.

Kecerdasan Emosional

Beberapa penelitian tentang kecerdasan emosional dilakukan oleh Nurani (2003 ), Handayani (2004), Nuraida (2003), dan Mafriana (2003). Nurani (2003) menggunakan variabel karakteristik keluarga (pendidikan ibu, pendapatan, pekerjaan, besar keluarga), kualitas perkawinan (kepuasan, kebahagiaan perkawinan), pengasuhan , kecerdasan emosional. Handayani (2004) menggunakan variabel karakteristik ayah (umur, pendapatan keluarga) kepuasan ayah (terhadap kehidupan keluarga, pekerjaan, anak), tipe pengasuhan anak, karakteristik anak (jenis kelamin, urutan kelahiran). Nuraida (2003) menggunakan variabel kurikulum nasional dan kecerdasan emosional. Mafriana (2003) menggunakan variabel karakteristik keluarga (tipe keluarga, pendapatan keluarga, dukungan keluarga, modernitas keluarga), karakteristik pribadi (motivasi orang tua, religiusitas orangtua, karakteristik orang tua, karakteristik anak), dukungan komunitas (institusi pendidikan, institusi kesehatan, lingkungan bermain anak), fungsi ekspresif-instrumental.

Dalam penelitian-penelitian tersebut dijumpai adanya kesamaan variabel sebagai berikut: variabel pendidikan (Nurani 2003; Handayani 2004; Maulani 2002); pendapatan (Nurani 2003; Handayani 2004; Maulani 2002; Mafriana 2003); karakteristik anak (Handayani 2004; Maulani 2002); pengasuhan (Nurani 2003; Handayani 2004; Maulani 2002); kecerdasan emosional (Nurani 2003; Handayani 2004; Maulani 2002; Mafriana 2003).

(30)

Adapun perbedaan variabel yang digunakan adalah sebagai berikut: kualitas perkawinan (kepuasan, kebahagiaan perkawinan) (Nurani 2003); kepuasan ayah (terhadap kehidupan keluarga, pekerjaan, dan anak) (Handayani 2004); besar keluarga dan status ibu (Maulani 2002); keadaan ekonomi keluarga, karakteristik Pribadi, dukungan komunitas, fungsi ekspresif-instrumental (Mafriana 2003).

Penggunaan skala pengukuran dalam penelitian-penelitian tersebut beragam mencakup nominal, ordinal, dan skala Likert. Penggunaan skala nominal dijumpai pada etnisitas (Mafriana 2003); pekerjaan (Nurani 2003); tipe pengasuhan anak, jenis kelamin (Handayani 2004); jenis kelamin, tingkat pengasuhan/bermain, tipe permainan, pola premainan (Maulani 2002). Sedangkan penggunaan skala ordinal dijumpai pada pendidikan, pendapatan, besar keluarga, kualitas perkawinan, pengasuhan, dan kecerdasan emosional (Nurani 2003); kepuasan ayah, kecerdasan emosional (Handayani 2004); pengasuhan anak, alokasi waktu, kecerdasan emosional (Maulani 2002); keadaan ekonomi keluarga, karakteristik pribadi, dukungan komunitas, fungsi ekspresif-instrumental, kecerdasan emosional (Mafriana 2003).

Adapun hubungan yang diteliti adalah sebagai berikut: hubungan keadaan sosial ekonomi, karakteristik pribadi, dukungan komunitas, fungsi ekspresif-instrumental dengan kecerdasan emosional (Mafriana 2003); hubungan kualitas perkawinan, pengasuhan anak dengan kecerdasan emosional (Nurani 2003); hubungan karakteristik ayah, kepuasan ayah, tipe pengasuhan emosional, karakteristik anak dengan kecerdasan emosional (Handayani 2004); hubungan karakteristik keluarga, karakteristik anak, pengasuhan anak, pengasuhan sosial dengan kecerdasan emosional (Maulani 2002).

Alat statistik yang diterapkan dalam penelitian tersebut adalah uji beda (Kruskal-Allis, t-test, ANOVA) (Mafriana 2003); korelasi Spearman (Nurani 2003; Handayani 2004; Maulani 2002); regresi linier berganda (Nurani 2003; Mafriana 2003).

Adapun sampel yang digunakan dalam penelitian ini beragam sebagai berikut: siswa SLTP (Nurani 2003); keluarga utuh yang mempunyai anak berusia

(31)

11 tahun SD (Handayani 2004); anak TK dalam keluarga inti lengkap (Maulani 2002); keluarga dari etnik yang berbeda (Mafriana 2003).

Kesamaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah penggunaan variabel dan sampel. Penelitian ini menggunakan variabel sosial ekonomi keluarga dan pengasuhan anak hubungannya dengan kecerdasan emosional siswa SLTP. Sampel penelitian ini adalah siswa SLTP yang duduk di kelas dua.

Kecerdasan (IQ)

Penelitian dalam kajian kecerdasan (IQ) tergolong jarang dibandingkan dengan penelitian lainnya. Berdasarkan beberapa penelitian yang dijumpai dapat disimpulkan bahwa kajian psikologi lebih banyak memposisikan IQ sebagai independent variable daripada dependent variable. Kajian kecerdasan sebagai dependent variable justru ditemukan dalam kajian ilmu gizi (Arnelia 2002; Mutmainah 1996), sekalipun jumlahnya sedikit.

Arnelia (2002) meneliti tentang gizi buruk usia dini dan dampaknya terhadap tingkat kecerdasan dan keragaan sekolah. Arnelia (2002) menempatkan gizi buruk usia dini sebagai independent variable dan IQ serta keragaan sekolah sebagai dependent variable. Sedangkan Mutmainah (1996) meneliti beberapa variabel yang berhubungan dengan tingkat kecerdasan anak usia 2-5 tahun. Mutmainah (1996) menempatkan variabel IQ sebagai dependent variable dan pendapatan keluarga, pendidikan orang tua, ukuran keluarga, serta status gizi sebagai dependent variable. Dengan demikian tampak jelas bahwa kesamaan variabel hanya pada status gizi (Arnelia 2002; Mutmainah 1996), sedangkan perpedaannya tampk dalam penapatan keluarga, pendidikan orangtua, ukuran keluarga (Mutmainah 1996). Dan penggunaan skala pengukuran dalam penelitian-penelitian tersebut adalah ordinal (Mutmainah 1996; Arnelia 2002), kecuali untuk mengukur IQ Arnelia (2002) menggunakan Eschler Intelligence Scale for Children (WISC).

Adapun alat statistik yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah cross-tab dengan analisa deskriptif (Mutmainah 1996); uji beda t-student, uji chi square, ANCOVA (Arnelia 2002). Penelitian tersebut meenggunakan sampel anak

(32)

usia sekolah SD (Arnelia 2002) dan keluarga yang memiliki anak usia 2-5 tahun (Mutmainah 1996).

Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah penggunaan variabel dan sampel penelitian. Penelitian ini menggunakan kecerdasan emosional sebagai faktor yang berpengaruh terhadap kecerdasan (IQ). Ini merupakan pengaruh internal indikator kualitas anak. Sampel penelitian ini adalah siswa SLTP. Sedangkan persamaannya adalah penggunaan variabel sosial ekonomi dan status gizi.

Faktor-Faktor Berpengaruh Terhadap Kualitas Anak Pengetahuan Gizi

Gizi sangat tergantung pada kondisi pangan yang dikonsumsinya. Pengetahuan akan makanan yang bergizi akan dapat mempengaruhi pemilihan jenis makanan yang benar, aman serta berkhasiat untuk dikonsumsi. Salah satu sebab penting dari gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan gizi atau kemampuan untuk meresapkan informasi gizi dalam kehidupan sehari-hari (Suhardjo 1989).

Notoatmodjo (1993) menjelaskan bahwa pengetahuan gizi dan kesehatan adalah pengetahuan tentang peranan makanan dan zat gizi, sumber-sumber zat gizi pada makanan, makanan yang aman untuk dimakan sehingga tidak menimbulkan penyakit dan cara mengolah makanan yang baik agar zat gizi dalam makanan tidak hilang serta bagaimana cara hidup sehat. Sedangkan Sapp dan Helen (1997) mendefinisikan pengetahuan gizi adalah kemampuan seseorang untuk mengingat (recall) kembali kandungan gizi makanan, sumber serta kegunaan zat gizi tersebut di dalam tubuh. Pengetahuan gizi ini mencakup proses kognitif yang dubutuhkan untuk menggabungkan informasi gizi dengan perilaku makan agar struktur pengetahuan yang baik tentang gizi dan kesehatan dapat dikembangkan.

Tampak jelas bahwa pengetahuan gizi merupakan faktor utama sebagai stock of knowledge tentang gizi yang tidak hanya berhenti sebagai pengetahuan akan tetapi perlu diaktualisasikan dalam pilihan konsumsi makanan. Pentingnya

Referensi

Dokumen terkait

Maksud penelitian ini adalah untuk memperoleh profil Intercultural Sensitivity pada karyawan Indonesia yang bekerja di lembaga kebudayaan Jerman di Jakarta berdasarkan

Sebab utama dari hal ini adalah pada bangunan simetris perilaku dan respons struktur akibat pengaruh gempa dapat diperkirakan dengan lebih baik serta lebih rendahnya tingkat

Subyek yang digunakan pada penelitian ini adalah sales promotion girl event yang memiliki masa kerja lebih dari 1 tahun di CV APAPUN Media Komunika.. Teknik

Pegawai +nip: String +nama: String +gaji: int +hitungGaji(): int Dosen +tunjangan: int +hitungGaji(): int Staff

Kepuasan responden di Instalasi Rawat Inap RSUD Tugurejo Semarang kategori tinggi adalah 38 responden ( 38 % ) dan kategori sedang 62 responden ( 62 % ), dengan

Malah kami memohon daripada-Mu Ya Allah dengan penuh ketaakulan agar majlis anugerah ini akan menjadi katalis dan sumber inspirasi kepada pelajar-pelajar lain supaya

Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak

Saya mengambil data dengan mengumpulkan ucapan yang di ucapkan oleh Robert Pattinson (Tyler) and Emilie de Ravin (Ally) dalam skrip film Remember Me akan tetapi focus