• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III DASAR-DASAR PERENCANAAN GEDUNG BERLANTAI BANYAK. Beton dan beton bertulang digunakan sebagai bahan bangunan diseluruh dunia.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III DASAR-DASAR PERENCANAAN GEDUNG BERLANTAI BANYAK. Beton dan beton bertulang digunakan sebagai bahan bangunan diseluruh dunia."

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

III- 1 BAB III

DASAR-DASAR PERENCANAAN GEDUNG BERLANTAI BANYAK

3.1 Umum

Beton dan beton bertulang digunakan sebagai bahan bangunan diseluruh dunia . Disebagian besar negara termasuk Indonesia, beton bertulang merupakan bahan bangunanan yang dominan dalam rekayasa konstruksi. Luasnya pemakaian beton bertulang dalam dunia konstruksi ini disebabkan oleh tersedianya secara mudah besi bertulang dan bahan – bahan penyusun beton seperti kerikil, pasir dan semen. Struktur beton bertulang dapat didefinisikan sebagai bangunan beton yang terletak diatas tanah yang menggunakan tulangan ( ACI 318-89,1990.1-1). Struktur beton sangat di pengaruhi oleh komposisi dan kualitas bahan – bahan pencampuran beton, yang dibatasi oleh kemampuan daya tekan beton (In a state of compression). Ditinjau dari sudut estetika, beton hanya membutuhkan sedikit pemeliharaan. Selain itu, beton tahan terhadap serangan api. Sifat – sifat beton yang kurang disenangi adalah mengalami deformasi yang tergantung pada waktu dan disertai dengan penyusutan akibat mengeringnya beton serta gejala lain yang berhubungan dengan hal tersebut. Pengaruh – pengaruh keadaan lingkungan, penyusutan, pembebanan yang mengakibatkan perubahan dimensi pada struktur beton dan elemen – elemennya harus mendapatkan perhatian yang cukup pada tahap perencanaan untuk mengatasi kesulitan yang akan terjadi.

(2)

III- 2 Dalam menganalis perlu diperhatikan kriteria/ syarat – syarat perencanaan tertentu. Kriteria-kriteria/syarat yang perlu diperhatikan dalam analisis dan desain struktur diantaranya yaitu 4 kriteria utama:

1. Ketetapan

Pengaturan ruang, bentang, ketinggian plafon, akses arus lalulintas harus memenuhi kebutuhan pemakai. Struktur harus sesuai dengan lingkungan dan estetika.

2. Ekonomi

Biaya total struktur tidak boleh melampaui anggaran pemilik. Sering kali kelompok kerja perancangan akan dapat menghemat biaya keseluruhan.

3. Pesyaratan Struktur

Hal ini meliputi 2 (dua) aspek utama :

a. Struktur harus cukup kuat (strength), sehingga dapat menerima semua

beban dengan aman.

b. Struktur tidak boleh melendut, terangkat, bergetar atau retak sehingga

mengganggu dari bangunan tersebut, dan sering sekali disebut dengan Kemampuan layan (Serviceability).

4. Desain struktur harus sedemikian sehingga memerlukan pemeliharaan

(3)

III- 3 3.1.1Konstruksi

Tinjauan konstruksi sering juga mempengaruhi pilihan struktural dimana perakitan elemen-elemen struktural akan efisiensi apabila materialnya mudah dibuat dan dirakit.

Syarat-syarat dalam mendesain suatu struktur diantaranya yaitu :

1. Keamanan

Struktur harus aman dan kuat terhadap gaya-gaya dan beban-beban yang bekerja padanya seperti beban mati, hidup, angin dan gempa.

2. Kekakuan

Dalam perencanaan suatu gedung perlu diperhitungkan kekakuannya agar didapat struktur yang kaku dan tidak mudah rusak saat terjadi gempa serta aman dari faktor tekuk.

3. Stabilitas

Dalam mendesain struktur perlu juga diperhatikan kestabilannya terhadap momen-momen yang bekerja padanya seperti momen geser dan gaya uplift.

3.1.2 Pelat

Pelat adalah struktur planar kaku yang secara khas terbuat dari material monolit yang tingginya kecil dibandingkan dengan dimensi-dimensi lainnya. Pelat dapat dianalisis sebagai grid-grid menerus. Didalam konstruksi beton bertulang plat dipakai untuk mendapatkan permukaan datar yang berguna. Sebuah plat beton bertulang merupakan sebuah bidang datar yang lebar, biasanya mempunyai arah

(4)

III- 4 horizontal, dengan permukaan atas dan bawahnya sejajar atau mendekati sejajar. Plat biasanya ditumpuh oleh gelagar atau balok beton bertulang (biasanya pelat dicor menjadi satu kesatuan dengan gelagar tersebut), oleh dinding pasangan batu atau dinding beton bertulang, oleh batang – batang struktur baja, secara langsung oleh kolom – kolom, atau tertumpuh secarah menerus oleh tanah.

Pelat dapat tertumpu hanya pada kedua sisi yang berlawanan saja, dimana pada keadaan ini aksi struktural dari pelat tersebut umumnya bersifat satu arah (one – way-slab), dan beban ditahan oleh pelat ini dalam arah yang tegak lurus terhadap gelagar – gelagar penunjang. Dalam keadaan lain, pelat dapat ditumpuh oleh gelagar ke empat sisinya, sehingga disini terdapat aksi pelat dua arah ( two-way-slab). Apabila perbandingan panjang terhadap lebar sebuah panel pelat lebih besar dari 2, maka sebagian besar beban akan ditahan oleh pelat arah pendek terhadap gelagar-gelagar penunjang dan sebagai akibatnya disini akan diperoleh aksi plat satu arah, walaupun ke empat sisi pelat diberi tumpuan. Dalam beberapa kasus tertentu pelat beton ditumpu secara langsung oleh kolom-kolom, tanpa memakai gelagar atau girder namun bagian pelat yang berada didekat kolom mempunyai ketebalan yang lebih besar dibandingkan dengan tebal bagian pelat lainnya. Pelat demikian disebut pelat datar (flat plates) dan umumnya dipakai apabila panjang bentang tidak terlalu besar dan beban yang bekerja tidak terlalu berat. Bagian dari konstrusi seperti ini masing-masing disebut sebagai panel turun (drop panel) dan

kapital kolom (column capital). Akan tetapi, kita akan mendapat manfaat lebih

banyak apabila kita meninjau pelat dengan memperhatikan bagaimana berbagai jenis pelat memberikan momen dan gaya geser internal yang mengimbangi

(5)

III- 5 momen dan geser eksternal. Beban yang umum bekerja pada pelat mempunyai sifat banyak arah dan tersebar.. Untuk merencanakan pelat beton bertulang yang perlu dipertimbangkan tidak hanya pembebanan, tetapi juga ukuran dan syarat-syarat tumpuan pada tepi. Syarat yang harus dipenuhi tidak hanya kekuatan tapi juga kekakuannya.

Pelat selain sebagai penahan beban berlaku juga sebagai bagian pengaku lateral struktur. Gaya dalam yang dominan adalah momen lentur, sehingga perancangan tulangannya relatif sederhana.

Syarat-syarat untuk menentukan tebal minimum pelat (SK SNI T-15-1991-03):

 Rumus 1 (3.1)  Rumus 2 (3.2)  Rumus 3 (3.3) Ln

[

0.8+ fy

]

h > 1500 36+5β{αm-0.12

[

1+ 1

]}

β h < Ln

[

0.8+ fy

]

1500 36 h ≥ Ln

[

0.8+ fy

]

1500 (36 + 9β)

(6)

III- 6 Dimana :

Ln : panjang bentang bersih pelat setelah dikurangi tebal balok (cm)

f

y : tegangan leleh baja untuk pelat

h : tebal pelat

α

m : koefisien jepit pelat

n : jumlah tepi pelat

β : Ln memanjang (cm) / Ln melintang (cm)

Selain itu pada SK SNI T–15–1991–03 Pasal 3.6.6 mengijinkan untuk menentukan distribusi gaya dengan menggunakan koefisien momen yang dapat dilakukan dengan mudah.

Setelah menentukan syarat-syarat batas, bentang dan tebal pelat kemudian beban-beban dapat dihitung. Dalam SK SNI T 15–1991–03 pasal 3.2.2 untuk pelat yang sederhana berlaku rumus :

(3.4)

Menurut peraturan SK SNI T–15–1991–03 tabel 3.2.5 (b), batas lendutan maksimum adalah

480 l

bentang. Lendutan yang terjadi akibat beban merata (Timoshenko dkk, 1998) adalah : (3.5) (3.6) δ = α . Wu . b4 D D = Ec . H3 12 (1 - μ2) WU = 1,2 WD + 1,6 WL

(7)

III- 7 dimana :

δ : lendutan yang terjadi α : koefisien lendutan

Wu: beban ultimate (kg/cm2)

μ : nilai poison rasio

D : momen akibat lentur untuk pelat (kg.cm) Ec : modulus elastisitas beton

h : tebal pelat b : lebar pelat

3.1.3 Balok

Perancangan balok beton bertulang bertujuan untuk menghitung tulangan dan membuat detail-detail konstruksi untuk menahan momen-momen lentur ultimit, gaya-gaya lintang, dan momen-momen puntir dengan cukup kuat. Kekuatan suatu balok lebih banyak dipengaruhi oleh tinggi dari pada lebarnya. Lebar yang sesuai dapat sepertiga sampai setengah dari tinggi, tetapi mungkin jauh lebih kecil untuk suatu balok tinggi, dan mungkin pula dipakai balok-balok yang lebih lebar dan rendah untuk mempertahankan tinggi ruangan. Diusahakan agar dimensi balok jangan terlalu sempit karena akan timbul kerusakan dalam menyediakan selimut beton dan jarak tulangan yang memadai.

(8)

III- 8 Secara umum dimensi balok diperkirakan dengan :

 H = L sampai dengan L dengan L = bentang pelat terpanjang (3.7)

 B = H sampai dengan H dengan H = tinggi balok (3.8)

Untuk memeriksa kekakuan balok terhadap lendutan (δ), lendutan maksimum

yang terjadi pada tengah bentang bila balok dianggap sendi dan rol pada ujung-ujungnya (Timoshenko dkk, 1988) adalah :

(3.9)

dimana :

L = panjang bentang balok E = modulus elastisitas balok I = momen inersia balok

Dalam merencanakan penulangan balok harus dapat memenuhi persyaratan dibawah ini ; 1. >0.3 H B (3.10) 2. bmin >25cm (3.11) 3. min <<maks (3.12)

Koefisien balok dengan pelat, αm merupakan nilai rata-rata α untuk semua balok. Untuk mencari lebar effektif dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

beff = bW + ½. L1 + ½.L2 (3.13) beff = bW + 8 hf + 8 hf (3.14) 1. 10 1. 12 1. 2 2 3 δ = 5 .WU . L4 384 .EI

(9)

III- 9

beff = L / 4 (3.15)

Menurut SK SNI T–15–1991–03 untuk lebar effektif dari balok “L” ditetapkan

sebesar lebar balok ditambah dengan harga terkecil dari nilai l

12 1 atau 6h, ataupun 1 2 1 l . 3.1.4 Kolom

Difinisi kolom menurut SNI-T151992-03 adalah komponen struktur bangunan yang tugas utamanya menyangga beban aksial desak vertikal dengan bagian tinggi yang tidak ditopang paling tidak tiga kali dimensi lateral terkecil. Kolom-kolom di dalam sebuah konstruksi berfungsi meneruskan beban-beban dari balok-balok dan pelat-pelat ke bawah sampai ke pondasi. Karenanya, kolom-kolom merupakan bagian konstruksi tekan, meskipun mungkin harus pula menahan gaya-gaya momen lentur, sehingga kolom harus diperhitungkan untuk menyangga beban aksial desak dengan eksentrisitas tertentu. Perencanaan kolom memperhatikan keadaan batas tegangan (kekuatan) dan kekakuan untuk menghindari deformasi berlebihan dan tekuk. Kegagalan kolom akan berakibat langsung pada runtuhnya komponen struktur yang berhubungan dengan kolom, umumnya kegagalan atau keruntuhan komponen desak tidak diawali dengan tanda peringatan yang jelas, tetapi bersifat mendadak. Oleh karena itu dalam merencanakan struktur kolom harus memperhitungkan secara cermat dengan memberikan cadangan kekuatan yang lebih tinggi dari komponen struktur lainnya. Daktail tulangan yang benar

(10)

III- 10 dan penutup beton yang cukup adalah penting. Perbandingan

h b

dari kolom tidak boleh < dari 0.4.

Syarat untuk menentukan dimensi kolom (Kusuma dan Andriono, 1996),

yaitu:

(3.16) Dimana : Nu = Wu = beban ultimate yang dipikul kolom (kg)

Agross = luas kolom yang dibutuhkan (cm2) Fc’ = mutu beton (Mpa)

3.2 Beban-Beban pada Struktur

Dalam melakukan analisis desain suatu struktur, perlu ada gambaran yang jelas mengenai perilaku dan besar beban yang bekerja pada struktur. Perencanaan suatu struktur untuk keadaan stabil batas, kekuatan batas, dan kemampuan layan batas harus memperhitungkan pengaruh-pengaruh aksi sebagai akibat dari beban-beban. Analisis struktur dikerjakan untuk berbagai kombinasi pembebanan ultimit untuk mendapatkan gaya dalam desain berdasarkan keadaan ekstrim yang mungkin terjadi.

1. Beban Mati

Beban mati adalah beban kerja akibat gravitasi yang tetap posisinya atau beban-beban yang bekerja vertikal ke bawah pada struktur dan mempunyai

Nu

0.2 fc' Agross

Agross ≥ Nu 0.2 fc'

(11)

III- 11 karakter yang pasti. Berat struktur dipandang sebagai beban mati, termasuk dinding, lantai, atap, plafon, partisi tetap tangga, dan peralatan layan tetap . Semua metode untuk menghitung beban mati suatu elemen didasarkan atas peninjauan berat suatu material yang terlibat dan berdasarkan volume elemen tersebut.

2. Beban Hidup

Beban hidup adalah beban gravitasi pada struktur, yang besar dal lokasinya bervariasi atau beban-beban yang bisa ada atau tidak ada pada struktur untuk suatu waktu yang diberikan. Meskipun dapat berpindah-pindah, beban hidup masih dapat dikatakan bekerja secara perlahan-lahan pada struktur. Contoh dari beban hidup adalah manusia, mebel (furniture), peralatan yang dapat bergerak, kendaraan, dan barang-barang dalam gedung. Semua beban hidup mempunyai karakteristik dapat pindah atau bergerak dan secara khas beban ini bekerja vertikal ke bawah, tetapi kadang-kadang dapat berarah horizontal.

3. Beban Angin

Beban angin adalah semua beban yang bekerja pada gedung atau bagian gedung yang disebabkan oleh selisih dalam tekanan udara.

4. Beban angin ditentukan dengan menganggap adanya tekanan positif dan

negatif (isapan), yang bekerja tegak lurus pada bidang-bidang yang ditinjau. Besar tekanan positif dan tekanan negatif ini dinyatakan dalam kg/cm2. pada gedung tertutup untuk bidang-bidang luar, koefesien angin (+) berarti tekan dan (-) berati isapan .

(12)

III- 12

5. Beban Gempa

Beban gempa adalah gaya lateral yang bekerja pada banguanan atau bagian bangunan yang menirukan pengaruh dari gerakan tanah akibat gempa itu. Maka yang diartikan beban gempa disini adalah gaya-gaya dalam struktur tersebut yang terjadi oleh gerakan tanah akibat gempa. Menurut peraturan SNI–03–1726–2002, sub bab 4.1.1. standar ini menentukan pengaruh gempa rencana yang harus ditinjau dalam perencanaan struktur gedung serta berbagai bagian dan peralatannya secara umum. Akibat pengaruh Gempa Rencana, struktur gedung secara keseluruhan harus masih berdiri, walaupun sudah berada dalam kondisi di ambang keruntuhan. Gempa Rencana ditetapkan mempunyai perioda ulang 500 tahun, agar probabilitas terjadinya terbatas pada 10% selama umur gedung 50% tahun.

Menurut peraturan SNI–03–1726–2002, sub bab 4.7.1 Indonesia ditetapkan terbagi dalam 6 Wilayah, dimana Wilayah Gempa 1 adalah wilayah dengan kegempaan paling rendah dan Wilayah Gempa 6 dengan kegempaan paling tinggi.

Data-data untuk menentukan beban gempa rencana antara lain :

1. Faktor Keutamaan (I) menurut peraturan SNI–03–1726–2002, sub bab

4.1.2

(13)

III- 13 Dimana :

I = Faktor Keutamaan

I1 = Faktor Keutamaan untuk menyesuaikan periode ulang gempa berkaitan

dengan penyesuaian probabilitas terjadinya gempa itu selama umur gedung.

I2 = Faktor Keutamaan untuk menyesuaikan periode ulang gempa

berkaitan dengan penyesuaian umur gedung tersebut. I = 1,4 . 1,0 = 1,4

2. Faktor reduksi gempa (R) menurut peraturan SNI – 03 – 1726 – 2002, sub

bab 4.3.3

1,6 ≤R = μ . f1Rm (3.18)

dimana :

R = Faktor reduksi gempa

μ = Faktor daktilitas untuk struktur gedung

f1 = Faktor kuat lebih beban beton dan bahan 1.6

Rm = Faktor reduksi gempa maksimum

3. Struktur bangunan yang akan dibangun berada di Jakarta.

Menggunakan peraturan SK SNI T–15–1991–03, berada pada wilayah gempa 3.

4. Waktu getar alami struktur gedung (T)

(14)

III- 14 Dimana :

H = tinggi struktur bangunan 5. Daktilitas

Daktilitas merupakan kemampuan suatu struktur gedung untuk mengalami simpangan pasca elastik yang besar secara berulang kali dan bolak-balik akibat beban gempa di atas beban gempa yang menyebabkan terjadinya pelelehan pertama, sambil mempertahankan kekuatan dan kekakuan yang cukup, sehingga struktur gedung tersebut tetap berdiri, walaupun sudah berada dalam kondisi di ambang keruntuhan. SK SNI T 15-1991-03 menetapkan bahwa struktur beton bertulang dapat direncanakan dengan tingkat daktilitas 1, 2 atau 3.

a. Tingkat daktilitas 1 (elastis)

Struktur dengan tingkat daktilitas 1 (μ = 1.0) harus direncanakan agar tetap berperilaku elastis saat terjadi gempa kuat.

b. Tingkat daktilitas 2 (daktilitas terbatas)

Struktur dengan tingkat daktilitas 2 atau daktilitas terbatas (μ = 1.5 - 5.0) harus direncanakan sedemikian rupa dengan pendetailan khusus sehingga mampu berperilaku inelastis terhadap beban siklis gempa tanpa mengalami keruntuhan getas.

c. Tingkat daktilitas 3 (daktilitas penuh)

(15)

III- 15 direncanakan terhadap beban siklis gempa kuat sedemikian rupa dengan pendetailan khusus sehingga mampu menjamin terbentuknya sendi-sendi plastis dengan kapasitas pemencaran energi yang diperlukan.

3.3 Analisis Struktur

Gedung beton bertulang berlantai banyak merupakan kombinasi dari balok, kolom, pelat dan dinding yang dihubungkan satu sama lain untuk membentuk suatu kerangka monolitis. Setiap bagian harus mampu menahan gaya yang bekerja padanya. Oleh karena itu, penentuan gaya-gaya merupakan bagian yang penting di dalam proses perencanaan.

Analisis dimulai dengan menghitung seluruh beban yang dipikul oleh konstruksi, termasuk berat sendiri konstruksi. Selanjutnya parameter-parameter penampang seperti luas dan momen inersia dihitung. Gaya-gaya dapat dihitung dengan berbagai metode analisis struktur statis tak tentu, baik secara manual maupun software komputer.

Dalam menganalisis struktur gedung, pada Tugas Akhir ini digunakan program komputer ETABS. Program ini dapat memberikan bantuan dalam analisis struktur yang melibatkan perhitungan matematis.

Beban yang diterima struktur direncanakan sebagai pembebanan vertikal gravitasi dan pembebanan lateral gempa. Pembebanan vertikal gravitasi terdiri atas beban

mati dan beban hidup. Dengan menggunakan software ETABS ini analisis rangka

(16)

III- 16 sebagai beban mati, sehingga beban vertikal hanya berasal dari pelat. Dinding dan kaca berada di tepi-tepi gedung. Pemodelan pada struktur 3 dimensi dalam

satuan kg dan cm dengan gaya gravitasi sebesar 9.81 m/dt2, kondisi untuk semua

tumpuan adalah jepit.

3.4 Metode Analisis Perencanaan Bangunan

Metode yang digunakan dalam menganalisis perencanaan bangunan ada dua yaitu Analisa beban statik ekuivalen dan analisa dinamik. Umumnya untuk bangunan sederhana, simetris, dan beraturan, metode statik ekuivalen cukup efektif digunakan. Sedangkan bangunan lain yang tidak memenuhi syarat maka harus dilakukan analisa dinamik dan pada umumnya perhitungan gempa dinamis

dikerjakan dengan software komputer ETABS.

3.4.1Analisis Beban Statik Ekuivalen

Setiap struktur gedung harus direncanakan dan dilaksanakan untuk menahan suatu beban geser dasar akibat gempa dalam arah-arah yang ditentukan.

Gaya lateral direncanakan dan dilaksanakan untuk menahan suatu beban geser dasar akibat gempa (V) dalam arah-arah yang ditentukan. Besarnya beban lateral menurut peraturan SNI–03–1726-2002 dapat dinyatakan sebagai berikut :

R Wt

I C

V 1

(17)

III- 17 Dimana :

V = gaya geser horizontal total akibat gempa R = Faktor reduksi gempa

C1 = Faktor respon gempa I = Faktor keutamaan

Wt = Berat total bangunan termasuk beban hidup yang sesuai

Beban geser dasar nominal V harus dibagikan sepanjang tinggi struktur gedung menjadi beban-beban gempa nominal statik ekuivalen Fi yang menangkap pada pusat massa lantai ke-I menurut persamaan :

V Z W Z W F n i i i i i i

    1 (3.21) dimana :

Wi = berat lantai tingkat ke-I Zi = ketinggian lantai

3.4.2 Analisis Dinamik

Analisis dinamik adalah untuk menentukan pembagian gaya geser tingkat akibat gerakan tanah oleh gempa dan dapat dilakukan dengan cara analisa ragam spektrum respon atau dengan cara analisa respon riwayat waktu.

Spektrum respon merupakan plat respon maksimum (perpindahan, kecepatan ataupun percepatan maksimum) pada dasar sistem struktur dari fungsi beban tertentu untuk semua kemungkinan sistem berderajat kebebasan tunggal.

(18)

III- 18 Absis dari spektrum adalah frekuensi natural (periode) dari sistem dan ordinat merupakan respon maksimum. Jadi dalam menentukan respon dari suatu grafik spektrum untuk suatu pengaruh tertentu, maka hanya diperlukan untuk mengetahui frekuensi natural dari sistem itu.

Salah satu aspek penting dalam analisa dinamik adalah periode dan pola getar alami. Dalam hal ini dapat dilakukan analisis modal untuk mode getaran dengan menggunakan eigenvector. Setiap pasangan eigenvector disebut mode getar alami struktur. Mode tersebut ditunjukkan dengan memberi nomor dari 1 sampai n sesuai jumlah yang diinginkan yang diperoleh program. Data jumlah mode n yang akan dihitung harus diberikan sebelum dilakukan analisis, kemudian program akan mencari mode frekuensi tersebut. Hasil analisis ini dapat berupa frekuensi dan periode.

Untuk analisis dinamik pada software ETABS ini penulis mencoba menggambarkan secara sederhana prosesnya. Struktur dengan jumlah bentang dan kolom tersebar dapat diidealisasikan hubungan massa dan per, sehingga dapat dianggap :

 Massa terpusat pada bidang lantai

 Balok pada lantai, kaku tak hingga dibandingkan kolom

 Deformasi struktur tak dipengaruhi gaya aksial yang terjadi pada struktur

Dengan kondisi struktur yang terdiri dari beberapa lantai, maka keseimbangan dinamik dengan sistem derajat kebebasan banyak. Sifat dinamis yang perlu diketahui yaitu frekuensi natural dengan getaran tak bebas dengan damping dimana harga F 0, sehingga :

(19)

III- 19

[M] {ÿ} + [C] {ý} + [K] {y} = {F} (3.22)

Dimana : [M] : Matrik massa {ÿ} : vektor percepatan

[C] : Matrik redaman {ý} : vektor kecepatan

[K] : Matrik kekakuan {y} : vektor perpindahan

Selanjutnya Mario Paz (1996 : 181) mengatakan sebuah kolom yang bermassa seragam dengan kedua ujungnya terjepit atau tak berotasi, konstanta kekakuannya adalah 3 12 L EI K  (3.23)

Dimana : L : tinggi kolom

E : Modulus elastisitas

Konstanta kekakuan kolom tidak digunakan dalam perhitungan ETABS, melainkan secara otomatis sudah dihitung oleh ETABS pada saat mengimput atau memasukkan dimensi kolom.

Kemudian dikatakan lagi, redaman yang ada pada struktur relatif kecil dan secara praktis tidak mempengaruhi perhitungan frekuensi natural dan pola perubahan bentuk dari sitem, jadi pengaruh redaman dapat diabaikan. Oleh sebab itu pada praktiknya untuk struktur teredam diselesaikan dengan metode yang sama untuk sistem struktur tak teredam (Mario Paz, 1996 : 228)

Berdasarkan keterangan Mario Paz di atas, maka persamaan geraknya menjadi :

[M] {ÿ} + [K] {y} = {F} (3.24)

Solusi untuk persamaan (2.24) dengan gerak harmonis dalam bentuk, yi = ai sin (ωt – α), i = 1, 2, ..., n

(20)

III- 20 ÿ = - ω2 ai sin (ωt – α), i = 1, 2, ..., n

Dalam notasi matriks,

{y} = {a} sin (ωt – α) (3.25)

{ÿ} = - ω2 {a} sin (ωt – α) (3.26)

Dimana : ai : amplitudo gerak dari koordinat ke i n : jumlah derajat kebebasan

Substitusi persamaan (2.25) dan (2.26) ke dalam persamaan (2.24), sehingga - ω2 [M] {a} sin (ωt – α) + [K] {a} sin (ωt – α) = {F} (3.27) Atau kembali dalam besaran matriks,

[K] - ω2 [M] =

{ }

{ }

a sin

(

.t.

)

F

(3.28) Persamaan (2.28) dapat diselesaikan dengan hanya satu variabel yang tak diketahui. Dari persamaan (2.28) yang perlu diketahui,

 [K] merupakan matriks kekakuan berdasarkan persamaan (2.23) didefinisikan

sebagai gaya koordinat i bila satu besaran perpindahan diberikan pada titik j.

 ω2 merupakan nilai eigenvalue untuk analisis mode shape dan frekuensi. Mode alami perilaku struktur diberikan oleh software dan digunakan sebagai analisis spektrum respon.

Eigenvalue merupakan akar dari frekuensi sudut ω, untuk mode tersebut. Frekuensi f, dan periode T merupakan fungsi ω, yang ditunjukkan dengan :

2  = f , f T = 1

Data jumlah mode yang akan dihitung harus diberikan sebelum dilakukan analisis, kemudian program akan mencari frekuensi tersebut.

(21)

III- 21

 [M] merupakan matriks diagonal massa dimana elemen yang tidak nol hanya

pada diagonal utama.

 {a} merupakan nilai konstanta amplitudo gerak (simpangan).

 {F} merupakan vektor gaya, menurut Lumantarna (2000) gaya ini dapat

berupa beban impuls dan beban sembarang.

Berdasarkan keterangan Mario Paz dan B. Lumantarna di atas bahwa tipe analisis superposisi yang digunakan untuk menyederhanakan masalah agar mendapatkan respon dengan banyak derajat kebebasan menjadi hanya menentukan respon sistem berderajat kebebasan tunggal dimana tiap persamaan hanya mempunyai satu variabel yang tak diketahui.

Analisis dinamik harus dilakukan untuk struktur gedung-gedung berikut :

 Gedung-gedung yang strukturnya sangat tidak beraturan

 Gedung-gedung dengan kekakuan tingkat yang tidak merata

 Gedung-gedung yang tingginya lebih dari 40 m

 Gedung-gedung yang bentuk, ukuran dan peruntukannya tidak umum

Analisa dinamik yang ditentukan didasarkan atas perilaku struktur yang bersifat elastik penuh dan dengan meninjau gerakan gempa dalam satu arah saja.

3.5 Faktor Beban Ultimit

Pada SK SNI T-15-1991-03 subbab 3.2.2 diatur berbagai kombinasi ultimit dengan memberikan faktor-faktor beban pada masing-masing komponen atau jenis beban. Kombinasi-kombinasi beban ultimit yang dipakai adalah sebagai berikut :

(22)

III- 22 1. 1.4 D (3.29) 2. 1.2 D + 1.6 L (3.30) 3. 1.2 D + 1.0 L ± 1.0 (Ex ± 0.3 Ey) (2.31) 4. 1.2 D + 1.0 L ± 1.0 (0.3 Ex ± Ey) (3.32) 5. 0.9 D ± 1.0 (Ex ± 0.3 Ey) (3.33) 6. 0.9 D ± 1.0 (0.3 Ex ± Ey) (3.34)

3.6 Konfigurasi Struktur Bangunan

3.6.1 Struktur Sederhana ( simetris ) dan Tidak Simetris

Denah dari struktur bangunan harus diusahakan mempunyai bentuk yang sederhana, kompak dan simetris agar mempunyai perilaku dan kinerja yang baik pada saat terjadi gempa dan mempunyai kekakuan yang besar terhadap pengaruh momen punter akibat gempa. Pengalaman dari banyak gempa di waktu yang lalu menunjukan bahwa struktur – struktur bangunan dengan bentuk yang sederhana dan simetris seperti bujur sangkar, persegi panjang, dan lingkaran mempunyai ketahanan yang paling baik terhadap pengaruh gempa. Sebab utama dari hal ini adalah pada bangunan simetris perilaku dan respons struktur akibat pengaruh gempa dapat diperkirakan dengan lebih baik serta lebih rendahnya tingkat daktilitas struktur yang diperlukan dibandingkan dengan struktur yang berbentuk tidak simetris yang pada umumnya menerima pengaruh momen punter / torsi, dimana pusat kekakuan ( center of stiffness) berimpit dengan pusat massa ( center of mass) dari struktur, dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya deformasi torsi yang terjadi akibat beban gempa. Pada struktur dengan denah bangunan yang

(23)

III- 23 tidak simetris dimana terdapat eksentrisitas diantara pusat kekakuan dan pusat massa, keruntuhan dari struktur dapat disebabkan oleh terjadinya deformasi torsi yang berlebihan. Deformasi akibat torsi dan pembesaran gerakan gempa akan terjadi lebih besar pada struktur dengan kekakuan torsi (torsional rigidity) yang kecil ( gambar 3.1a dan 3.1b), sedangkan pada gambar 3.1c menunjukan denah struktur yang mempunyai ketahanan yang baik terhadap pengaruh torsi (kekakuan torsi besar). Pengaruh dari momen punter merupakan hal yang sulit untuk diperkirakan. Baik getaran rotasi dari gempa maupun respons terhadapnya hanya diketahui dengan sangat terbatas bila dibandingkan dengan apa yang telah diketahui mengenai getaran translasi. Namun demikian pengaruh dari momen puntir ini tidak boleh diabaikan, karena momen puntir telah menyebabkan keruntuhan dari banyak bangunan gedung akibat gempa diwaktu yang lalu terutama pada sudut – sudut tonjolan struktur. Karena sulit untuk diperkirakan pengaruh dari momen puntir akibat gempa pada struktur bangunan, akan lebih baik kiranya bila perencanaan struktur berusaha membuat konfigurasi bangunan yang simetris selainnya criteria lainnya seperti material dan system struktur keseragaman kekakuan tingkat daktilitas struktur serta detail penulangan.

(24)

III- 24 3.6.2 Konfigurasi Vertikal

Pada arah vertical dari struktur perlu dihindari adanya perubahan bentuk yang tidak menurus seperti loncatan bidang muka akibat denah lantai tingkat yang tidak sama atau perubahan kekakuan dan kekuatan akibat perubahan dimensi kolom yang mendadak dari suatu tingkat ke tingkat lainnya. Jika konfigurasi struktur pada arah vertical tidak seragam dan menerus maka suatu gerakan getaran yang besar akan terjadi pada tempat – tempat tertentu pada struktur. Pada kasus seperti ini perlu dilakuakan prosedur analisis dinamis untuk mengetahui respons dari struktur.

Suatu struktur bangunan yang mempunyai rasio antara tinggi (H) dan lebar (B) yang besar (H/B>4) akan mengalami simpangan lateral yang besar akibat pengaruh beban gempa karena struktur bangunan tidak mempunyai kekakuan lateral yang cukup besar untuk menahan gaya horizontal. Beban gempa dapat mengakibatkan momen guling yang besar pada struktur bangunan. Akibat momen guling ini pada kolom –kolom luar dari struktur akan bekerja gaya – gaya aksial tekan dan aksial tarik yang cukup besar. Gaya tarik ini dapat mengakibatkan tertariknya pondasi bangunan kearah tinggi bangunan, sebaiknya kelangsingan dan bangunan dibatasi dengan perbandingan antara tinggi dan lebar lebih kecil dari 4. Makin langsing konfigurasi bangunan maka akan semakin besar tegangan – tegangan yang terjadi pada klolom – kolom luar struktur. Hal ini perlu kiranya menjadi perhatian bagi seorang perencana strutur.

(25)

III- 25 3.7 Sistem Perkakuan Elemen Vertikal Gedung

3.7.1 Sistem Rangka Kaku (Rigid Frame System)

Sistem rangka kaku pada umumnya berbentuk grid persegi teratur, terdiri dari balok horisontal dan kolom vertikal yang dihubungkan di suatu bidang dengan

menggunakan sambungan kaku (rigid). Rangka ini bisa satu bidang dengan

dinding interior bangunan, atau sebidang dengan fasade bangunan. Prinsip rangka kaku akan ekonomis untuk bangunan sampai 30 lantai dengan material baja dan sampai 20 lantai dengan material beton. Beberapa bangunan rangka kaku tipikal diperlihatkan pada Gambar 3.2

Gambar 3.2 : Sistem struktur rangka (Schuller, 1989)

Gambar-gambar denah menunjukkan penerapan sistem-sistem struktur ini pada berbagai bentuk denah bangunan yang ditentukan oleh berbagai jenis pola grid, seperti di bawah ini :

1. Rangka melintang sejajar

 Pada grid persegi tipikal

 Pada grid persegi dengan grid interior

(26)

III- 26

 Pada grid lengkung

 Pada dua sumbu

2. Rangka Luar

 Pada rangka luar dengan rangka inti melintang

 Pada rangka luar dan dalam pada grid persegi

Contoh-contoh di atas memperlihatkan kemungkinan untuk membagi bangunan berdasarkan sistem rangka.

Gambar 3.3 : Lentur balok dan kolom struktur rangka

Karena kontinyuitasnya, maka rangka kaku bereaksi terhadap beban lateral terutama melalui lentur dari kolom dan balok (Gambar 2.3). Sifat menerus dari rangka bergantung pada tahanan rotasi dari sambungan dan batang-batang.

Kapasitas beban rangka sangat bergantung pada kekuatan balok dan kolom individual. Kapasitasnya menurun sebanding dengan kenaikan tinggi lantai dan jarak antar kolom. Dari sisi lendutan lateral, pada rangka kaku disebabkan oleh dua hal yaitu :

(27)

III- 27

 Lendutan yang disebabkan oleh lentur kantilever (Gambar 2.4)

Fenomena ini dikenal sebagai chord drift. Ketika melawan momen gulling, rangka

ini berlaku sebagai balok kantilever vertikal yang melentur melalui deformasi aksial serat-seratnya. Disini pemanjangan dan pemendekan kolom akan

menghasilkan ayunan lateral. Mode lendutan menyumbang kira-kira 20% dari

penyimpangan total struktur.

Gambar 3.4 : Deformasi struktur rangka (Schueller, 1989)

 Defleksi karena lentur balok dan kolom

Fenomena ini dikenal sebagai shear lag atau frame wracking. Gaya geser

horisontal dan vertikal yang bekerja pada kolom dan balok menyebabkan terjadinya momen lentur pada batang-batang tersebut. Apabila melentur, seluruh

rangka mengalami distorsi. Mode deformasi ini menyebabkan 80% dari jumlah

ayunan total struktur yang terdiri dari 65% karena lentur balok dan 15% karena lentur kolom. Lengkung defleksi setara dengan diagram geser eksternal, kemiringan deformasi adalah minimum pada bagian dasar struktur, yaitu tempat terjadinya gaya geser terbesar.

(28)

III- 28 3.7.2 Sistem Dinding Geser (Shear Wall / Core Wall System)

Dinding geser adalah unsur pengkaku vertikal yang dirancang untuk menahan gaya lateral atau gempa yang bekerja pada bangunan. Gambar 2.5 memperlihatkan dinding geser sebagai dinding luar, dalam ataupun berupa inti yang memuat ruang lift atau tangga.

Susunan geometri sistem dinding geser tidak terbatas. Bentuk-bentuk dasar yang umum diperlihatkan pada lingkaran pusat pada Gambar 2.5. Bentuk segitiga, persegi panjang, sudut, kanal dan flens lebar adalah contoh-contoh bentuk yang umum dikenal. Sistem dinding geser pada dasarnya dapat dibagi menjadi sistem terbuka dan tertutup.

Sistem terbuka terdiri dari unsur linear tunggal atau gabungan unsur yang tidak lengkap menutupi ruang geometris. Bentuk-bentuk ini adalah L, X, V, Y, T, dan H. Sebaliknya, sistem tertutup melingkupi ruang geometris, bentuk-bentuk yang sering dijumpai adalah bujursangkar, segitiga, persegi panjang dan bulat.

Sistem dinding geser baik di dalam maupun di luar bangunan, dapat disusun secara simetris atau asimetris. Lingkaran tengah pada Gambar 2.5 memperlihatkan berbagai susunan simetri yang dapat digunakan untuk bentuk bangunan sederhana dengan menggunakan satu, dua, tiga ataupun empat unsur dasar dinding geser di tempat-tempat yang berbeda pada bangunan.

(29)

III- 29 Bentuk dan penempatan dinding geser mempunyai akibat yang besar terhadap perilaku struktural apabila dibebani secara lateral. Inti yang diletakkan asimetris terhadap bentuk bangunan harus memikul torsi selain lentur dan geser.

Akan tetapi, rotasi dapat juga terjadi pada bangunan yang memiliki susunan dinding geser simetris apabila angin bekerja pada fasade yang terbuat dari tekstur permukaan yang berbeda (halus-kasarnya permukaan) atau apabila angin tidak bekerja pada titik berat massa bangunan. (Gambar 3.6)

Gambar 3.6 : Pengaruh permukaan dan letak dinding terhadap gaya lateral Perlawanan yang optimal terhadap torsi diperoleh pada penampang inti tertutup. Akan tetapi, ketika menganalisis perlawanan terhadap torsi, kekakuan torsi harus dikurangi apabila terdapat bukaan jendela dan bukaan lainnya karena menurunnya kekakuan dinding akibat perlubangan tersebut. Belahan dinding yang mempunyai bukaan besar untuk memuat sistem mekanikal dan elektris mungkin tidak dapat menahan beban demikian.

(30)

III- 30 Apabila resultan dari gaya- gaya lateral melalui titik berat dari kekakuan relatif bangunan, maka yang dihasilkan hanyalah reaksi translasi. Kasus yang paling jelas adalah pada bangunan dinding geser murni. Pada bangunan dinding geser rangka kaku, sebagai perkiraan awal dianggap bahwa geser akan dipikul seluruhnya oleh inti karena kekakuannya jauh melebihi kekakuan lateral rangka. Apabila susunan dinding geser itu adalah asimetris, maka resultan gaya lateral tidak melalui titik berat kekakuan bangunan. Yang terjadi adalah rotasi dari dinding geser ditambah dengan translasi. Penyebaran tegangan tergantung pada bentuk sistem dinding geser.

3.8 Tulangan

Baja dalam beton bertulang berfungsi memikul tegangan tarik, sedangkan beton sendiri berfungsi untuk memikul tegangan tekan. Dengan demikian, pada suatu gelagar beton bertulang, beton berfungsi memikul gaya tekan batang-batang baja yang dipasang longitudinal diletakkan di dekat permukaan tarik untuk memikul gaya tarik, dan sering kali batang-batang baja tambahan diletakkan sedemikian rupa sehingga dapat memikul timbulnya tegangan tarik yang disebabkan oleh gaya geser pada badan gelagar. Supaya pemakaian tulangan bisa berjalan dengan efektif, harus diusahakan agar tulangan dan beton dapat mengalami deformasi bersama-sama, yaitu agar terdapat ikatan yang cukup kuat diantara kedua material tersebut untuk memastikan tidak terjadinya gerakan relatif (atau slip) dari tulangan dengan beton yang ada disekelilingnya.

(31)

III- 31

Dalam perencanaan, dikenal tulangan yang bersifat Balance Reinforced (tulangan

berimbang) artinya tulangan leleh pada saat yang bersamaan dengan hancur beton.

Ada dua kondisi dalam perencanaan yaitu kondisi Over Reinforced dan Under

Reinforced. Berikut akan diuraikan perbedaan mengenai keduanya.

1. Over Reinforced

 Tulangan banyak

 Momen nominal (Mn) besar

 Garis netral besar

 Tulangan belum leleh saat beton hancur

 Keruntuhan tekan

 Keruntuhan tiba-tiba

Brittle failure

2. Under reinforced

 Tulangan sedikit

 Momen nominal (Mn) kecil

 Garis netral kecil

 Tulangan sudah leleh saat beton hancur

 Keruntuhan tarik

 Keruntuhan perlahan (didahului oleh lendutan yang besar dan retak-retak)

Dactile failure

Karena sifat dari over reinforced yang runtuhnya tiba-tiba, perancangan tidak

boleh mencapai over reinforced. Perancangan harus selalu under reinforced.

(32)

III- 32 d b As =  (3.29)

Dimana : ρ : angka tulangan (tanpa dimensi)

As : luas tulangan

ρb : angka tulangan pada keadaan berimbang (balanced)

ρ > ρb : over reinforced ρ < ρb : under reinforced Dalam perancangan : ρ≤0.75 ρb + = 6000 1 85 . 0 ' y c b ff  (3.30)

Kapasitas momen akan meningkat dengan semakin banyaknya tulangan, tetapi tulangan yang makin banyak menyebabkan penampang tersebut menjadi over reinforced. Dalam perancangan, penampang dengan kapasitas besar tapi tetap under reinfoced. Solusinya adalah penampang dengan tulangan rangkap (ada yang diatas (tekan) dan ada di bawah (tarik)).

Gambar

Gambar 3.1 Penempatan komponen struktur penahan beban lateral
Gambar 3.2 : Sistem struktur rangka (Schuller, 1989)
Gambar 3.3 : Lentur balok dan kolom struktur rangka
Gambar 3.4 : Deformasi struktur rangka (Schueller, 1989)    Defleksi karena lentur balok dan kolom
+3

Referensi

Dokumen terkait

Wacana prestasi akademik tidak mengenal nilai-nilai belajar yang hakiki: siswa belajar demi persiapan masa depan.. Masa depan yang paling dekat bagi siswa SMA dan yang sederajat

Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Dewi dan Hidajati (2010), yaitu peningkatan kualitas minyak goreng curah menggunakan bentonit teraktivasi sebagai

1) Pendahuluan, tahap ini guru melakukan apersepsi serta menjelaskan tentang model pembelajaran yang digunakan siswa. 2) Mengidentifikasi topik dan mengatur siswa ke

Sebuah kawat yang panjangnya 2 m bergerak tegak lurus pada medan magnetik dengan kecepatan 12 m/s.. Pada ujung-ujung kawat tadi timbul beda potensial sebesar

Dengan demikian maka hipotesis dalam penelitian ini diterima dan berarti siswa yang mengikuti ekstrakurikuler Rohis mempunyai prestasi lebih baik dari pada siswa

Bedasarkan data diatas peneliti melatarbelakangi untuk melakukan penelitian tentang Hubungan Aktivitas Fisik, Kebiasaan Merokok dan Pola Konsumsi Dengan Hiperkolesterolemia

seperti Perpustakaan Tun Sri Lanang, Universiti Kebangsaan Malaysia, Perpustakaan Dar al-Hikmah, Universiti Islam Antarabangsa Islam dan ISTAC. Pengkaji juga memanfaatkan