• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kata kunci: karakteristik atmosfer, Belitung, satelit, model.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kata kunci: karakteristik atmosfer, Belitung, satelit, model."

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIX HFI Jateng & DIY, Yogyakarta 25 April 2015 ISSN : 0853-0823

Analisis Karakteristik Atmosfer di Wilayah Belitung dan Sekitarnya

Berbasis Observasi Satelit EOS Aqua dan TRMM serta Luaran Model

CCAM Periode 1998-2013

Arief Suryantoro*, Bambang Siswanto dan Muzirwan

Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA) – LAPAN, Jalan Dr. Djundjunan No. 133, Bandung, 40173 * e-mail: ariefsurya61@gmail.com, arief.suryantoro@lapan.go.id

Abstrak – Analisis karakteristik atmosfer di wilayah Belitung dan sekitarnya pada periode 1998–2010 diperlukan untuk menunjang pelaksanaan pengamatan kondisi atmosfer dan ionosfer sebelum, selama, dan sesudah terjadinya gerhana matahari total yang diperkirakan LAPAN akan terjadi pada bulan Maret 2016. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik atmosfer yang mencakup distribusi spasial dan pola deret waktu bulanan radiasi gelombang panjang, temperatur permukaan, fraksi liputan awan, dan akumulasi hujan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan dalam pola (sebaran horizontal) antara observasi satelit AIRS Aqua dan TRMM dengan luaran model CCAM terhadap parameter atmosfer yang ditinjau dalam penelitian ini. Untuk parameter atmosfer berupa akumulasi hujan, wilayah Belitung ini menunjukkan sebagai pola hujan equatorial yang memiliki dua buah puncak akumulasi hujan bulanan (bi-moda) dalam setiap tahunnya, yang terjadi pada bulan April dan Nopember. Pergerakan semu matahari ke arah utara-selatan setiap tahunnya di duga merupakan faktor utama terjadinya pola hujan equatorial di wilayah ini.

Kata kunci: karakteristik atmosfer, Belitung, satelit, model.

Abstract – The analysis of atmosphere characteristics of Belitung and the surrounding region in 1998–2010 period is needed to support the observation of atmospheric and ionospheric conditions before, during, and after the occurrence of the total solar eclipse which is predicted by LAPAN will take place on March 2016. The purpose of this study is to determine atmosphere characteristics that include spatial distribution and its monthly time series pattern of long-wave radiation, surface temperature, cloud cover fraction, and the accumulation of rain. The analysis results indicate that there are significant differences on the pattern (horizontal distribution) between AIRS Aqua and TRMM satellite observations with CCAM model outputs based on the research atmospheric parameters. For the atmospheric parameters as a rainfall accumulation, the Belitung region shows an equatorial rain pattern with its two peaks accumulated monthly rainfall (bi-modal) in every year, which usually occurred in April and November. Every year north-south apparent motions of the sun are predicted as a major factor of the equatorial rainfall pattern in this regions.

Keywords: Atmosphere characteristics, Belitung, satellite, model.

I. PENDAHULUAN

Atmosfer adalah lapisan gas atau campuran gas yang menyelimuti dan terikat pada bumi oleh gaya gravitasi bumi. Campuran gas ini dinamakan udara. Tebal lapisan atmosfer ini kira-kira 1000 km [1]. Campuran gas di atmosfer yang tidak mengandung uap air disebut sebagai udara kering, yang sebagian besar (persentase volumenya

sekitar 99,03%) terdiri dari dua gas, yaitu Nitrogen (N2)

dan Oksigen (O2). Sisa gas-gas lain (Argon, Neon,

Krypton, Xenon, Ozon, Hidrogen, Helium, Karbon-dioksida, Metan) di atmosfer memiliki persentase volum yang relatif kecil, namun tetap berperan penting dalam kehidupan di bumi. Atmosfer bertindak sebagai pelindung kehidupan di bumi dari tenaga (radiasi) matahari yang kuat pada siang hari, dan mencegah hilangnya tenaga (panas) ke ruang angkasa pada malam hari [2].

Sebagaimana diketahui, cuaca adalah keadaan fisis atmosfer pada suatu tempat pada suatu saat. Keadaan fisis atmosfer ini dinyatakan atau diungkapkan dengan hasil pengukuran berbagai unsur cuaca misalnya, suhu,

tekanan udara, kelembapan, angin, curah hujan, penyinaran matahari dan lainnya. Sedang iklim menggambarkan cuaca khas suatu daerah. Lebih tepatnya iklim adalah statistik deskripsi jangka panjang (misalnya 30 tahun) rata-rata, varians, dan ekstrem yang berasal dari

cuaca yang diamati [3]. Perlu diperhatikan bahwa the

United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) mendefinisikan perubahan iklim sebagai perubahan yang disebabkan secara langsung atau tidak langsung dari kegiatan manusia yang mengubah komposisi global atmosfer dan yang merupakan tambahan terhadap variabilitas iklim alami yang diamati dari waktu ke waktu dalam periode waktu yang lama. Dalam konteks ini, UNFCCC dengan tegas membuat perbedaan pengertian antara perubahan iklim disebabkan oleh kegiatan manusia yang mengubah komposisi atmosfer, dengan variabilitas iklim disebabkan oleh penyebab alami [4].

Dalam klimatologi, matahari merupakan kontrol iklim yang dapat mempengaruhi unsur-unsur iklim (termasuk dalam hal ini adalah curah hujan, sebagai salah satu

(2)

Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIX HFI Jateng & DIY, Yogyakarta 25 April 2015 ISSN : 0853-0823

unsur/elemen iklim yang penting) sehingga dapat mengakibatkan terjadinya perbedaan iklim di suatu tempat dengan tempat lainnya, karena matahari merupakan faktor utama penyebab cuaca di bumi, melalui peristiwa/proses interaksi insolasi di atmosfer dan komponen utama iklim lainnya (hidrosfer, litosfer, kriosfer dan biosfer). Dengan kata lain, matahari merupakan kontrol iklim secara global di planet bumi kita ini [5].

Untuk wilayah Indonesia secara umum, maupun secara kluster (kluster Indonesia barat dan kluster Indonesia

timur) dari pustaka [6] dalam pustaka [7] ditunjukkan

pengaruh aktifitas matahari pada variasi curah hujan di Indonesia. Secara lebih rinci diungkapkan bahwa kesamaan periodisitas curah hujan dengan aktivitas matahari, terutama perioda 11 dan 22 tahun merupakan indikasi pertama pengaruh aktifitas matahari pada variabilitas iklim Indonesia. Selanjutnya dari pustaka [6]

dalam pustaka[7] juga diungkapkan pula bahwa variasi curah hujan di kluster Indonesia barat mempunyai korelasi yang baik dengan aktifitas matahari jangka panjang pada siklus 11 tahun dengan koefisien korelasi r = 0,75, sedang variasi curah hujan di kluster Indonesia timur dalam hal yang serupa juga mempunyai korelasi yang baik, bahkan pada nilai korelasi yang lebih baik, yaitu r = 0,81.

Studi teknis the Intergovernmental Panel on Climate

Change (IPCC) Fourth Assessment Report pada tahun

2007 [8] dalam pustaka [9] menyimpulkan bahwa catatan

pengamatan dan proyeksi iklim memberikan banyak bukti bahwa sumber daya air tawar rentan dan memiliki potensi yang akan sangat dipengaruhi oleh perubahan iklim, yang pada gilirannya dapat mengancam kelangsungan hidup dan kehidupan masyarakat manusia maupun ekosistem. Masing-masing wilayah di seluruh dunia kemungkinan menghadapi serangkaian tantangan yang unik yang berhubungan dengan air dan perubahan iklim. Tantangan ini bisa berasal dari dampak seperti dipercepatnya gletser mencair, pola dan tingkat curah hujan maupun limpasan yang berubah, banjir dan kekeringan yang ekstrem, perubahan kualitas air, intrusi air asin pada akuifer pesisir, dan perubahan dalam penggunaan air. Dalam konteks ini, penekankan bahwa air akan harus digunakan lebih efisien, bahwa praktek-praktek cerdas iklim harus diadopsi dan bahwa negara-negara akan perlu bekerja sama untuk mengelola sumber daya air merupakan hal penting dan tidak boleh diabaikan.

Dari hal-hal tersebut di atas, namun untuk skala ruang yang lebih kecil (misalnya di wilayah Sumatera), pengamatan maupun analisis variasi spasial dan temporal atmosfer yang terjadi dari bagian daerah yang satu ke bagian daerah lainnya (dalam tahap penelitian kali ini dipilih wilayah Belitung dan sekitarnya, dalam perioda pengamatan Januari 1998 sampai Desember 2010) merupakan hal yang penting dan tetap diperlukan untuk menunjang pembangunan yang berkelanjutan pada umumnya, dan untuk ketahanan pangan pada khususnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami karakteristik atmosfer di wilayah Sumatera

pada umumnya, dan di wilayah Belitung dan sekitarnya pada khususnya (terutama distribusi spasial dan temporalnya) dalam rentang pengamatan Januari 1998– Desember 2010 sehingga dapat lebih dikenali dan diantisipasi dampak kerugiannya jika di suatu saat ke depan terjadi kondisi ekstrem parameter atmosfer di wilayah Belitung dan sekitarnya ini.

II. METODE PENELITIAN/EKSPERIMEN

Data utama yang digunakan dalam penelitian ini

meliputi distribusi spasial OLR (Outgoing Longwave

Radiation, watt/m2), fraksi liputan awan (cloud fraction),

dan temperatur permukaan (surface temperature, Kelvin),

hasil pengolahan data AIRS (The Atmospheric Infrared

Sounder) EOS (Earth Observing System) satelit Aqua wilayah Belitung dan sekitarnya (2,0-4,0 °LS; 107,0-109,5 °BT) selama perioda pengamatan Maret 2002-2010

serta distribusi spasial akumulasi hujan (accumulated

rain, mm) dan pola (deret waktu) bulanan akumulasi

hujan observasi satelit TRMM (Tropoical Rainfall

Measuring Mission) dan luaran model CCAM (Cubic Conformal Atmospheric Model) untuk 4 parameter yang sama (OLR, fraksi liputan awan, temperatur permukaan, akumulasi hujan dan deret waktu bulanan akumulasi hujan) untuk wilayah Belitung dan sekitarnya (2,0-4,0 °LS; 107,0-109,50°BT) Maret 1998-2010.

Grid data OLR, fraksi liputan awan dan temperatur

permukaan dari sensor AIRS Aqua adalah 1° x 1°, grid

data hujan dari TRMM adalah 0,25° x 0,25°, sedang grid luaran model CCAM juga 0,25° x 0,25°. Sumber data OLR, fraksi liputan awan, temperatur permukaan adalah sensor AIRS yang terdapat di satelit EOS Aqua dari http://gdata1.sci.gsfc.nasa.gov/daac-bin/G3/gui.cgi? [10], dan sumber data intensitas hujan dan akumulasi hujan

adalah sensor PR (Precipitation Radar) dan TMI (TRMM

Microwave Imager) yang terdapat di satelit TRMM dari http://gdata1.sci.gsfc.nasa.gov/daac-bin/G3/execution Status.cgi? [11]. Sedang luaran model CCAM merupakan hasil olahan dengan menggunakan software CCAM yang terdapat di Bidang Pemodelan Atmosfer, Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).

Analisis karakteristik atmosfer yang mencakup ke 4 parameter yang dipilih di rentang waktu dan daerah yang dipilih dilakukan dengan penelusuran pola maupun nilai/grid secara spasial (meridional dan longitudinal) serta secara temporal (perioda 1998-2010) tersebut.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil

Distribusi spasial OLR (Outgoing Longwave

Radiation, watt/m2), fraksi liputan awan (cloud fraction),

dan temperatur permukaan (surface temperature, Kelvin),

hasil pengolahan data AIRS (The Atmospheric Infrared

Sounder) satelit EOS (Earth Observing System) Aqua wilayah Belitung dan sekitarnya (2,0-4,0 °LS; 107,0-109,5 °BT) selama perioda pengamatan Maret 2002-2010

serta distribusi spasial akumulasi hujan (accumulated

rain, mm) dan deret waktu bulanan akumulasi hujan

(3)

Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIX HFI Jateng & DIY, Yogyakarta 25 April 2015 ISSN : 0853-0823

untuk wilayah Belitung dan sekitarnya (2,0-4,0 °LS; 107,0-109,50°BT) Maret 1998-2010 masing-masing disajikan dalam Gambar 1 sampai dengan Gambar 9. Selanjutnya, sebagian hasil kajian pustaka [12] yang berkaitan dengan pola temporal dan spasial hujan (pola monsunal, equatorial dan lokal) di BMI pada umumnya, yang juga diacu dalam penelitian ini, disajikan dalam Gambar 10 dan Gambar 11.

Gambar 1. Distribusi spasial OLR (watt / m2) wilayah

Belitung dan sekitarnya berdasar observasi satelit EOS Aqua, Maret 2002-2010.

Gambar 2. Seperti Gambar 1, tetapi berdasar luaran model CCAM, Maret 1998-2010.

Gambar 3. Distribusi spasial temperatur permukaan (Kelvin) wilayah Belitung berdasar observasi satelit EOS Aqua, Maret 2002-2010.

Gambar 4. Seperti Gambar 3, tetapi berdasar luaran model CCAM, Maret 1998-2010.

Gambar 5. Distribusi spasial fraksi liputan awan wilayah Belitung dan sekitarnya berdasar observasi satelit EOS Aqua, Maret 2002-2010

Gambar 6. Seperti Gambar 5, tetapi berdasar luaran model CCAM, Maret 1998-2010.

Gambar 7. Distribusi spasial akumulasi hujan (mm), wilayah Belitung berdasar observasi satelit TRMM Maret 1998-2010

(4)

Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIX HFI Jateng & DIY, Yogyakarta 25 April 2015 ISSN : 0853-0823

Gambar 8. Seperti Gambar 7, tetapi berdasar luaran model CCAM, Maret 1998-2010

Gambar 9. Pola bulanan akumulasi hujan (mm), wilayah Belitung Maret 1998-2013 berdasar observasi satelit TRMM yang menunjukkan pola hujan equatorial

Gambar 10. Pola bulanan akumulasi hujan (mm), hasil kajian dalam pustaka [12] yang menunjukkan pola hujan equatorial

Gambar 11. Pola bulanan akumulasi hujan (mm), hasil kajian dalam pustaka [12] yang menunjukkan pola hujan equatorial (daerah B), pola monsunal (daerah A) dan pola local (daerah C).

B. Pembahasan

Dari Gambar 1 dan Gambar 2 terlihat bahwa secara

umum, distribusi spasial OLR (Outgoing Longwave

Radiation, watt/m2) secara kuantitatif (terkait dengan

nilai) dan kualitatif (terkait dengan pola / sebaran horizontal) di wilayah Belitung dan sekitarnya (2,0-4,0 °LS; 107,0-109,5 °BT) terdapat perbedaan cukup signifikan antara observasi satelit EOS Aqua dengan luaran model CCAM. Berdasar observasi satelit EOS Aqua nilai OLR di wilayah Belitung dan sekitarnya ini

bervariasi dari 233,5 – 237,7 (watt/m2) dengan pola

sebaran horisontalnya makin ke arah timur wilayah pulau makin besar nilai OLR nya (untuk wilayah daratannya). Sedang dari luaran model CCAM, nilai OLR di wilayah

yang sama bervariasi dari 226,0 – 236,0 (watt/m2) dengan

pola sebaran horisontalnya secara spiral makin ke arah luar dari pusat pulau makin besar nilai OLR nya. Untuk wilayah lautannya, berdasar observasi satelit EOS Aqua maka wilayah di barat dan barat laut (dari bagian wilayah lautan di sekitar Belitung) merupakan wilayah dengan

nilai OLR yang rendah (233,5 – 236,7 (watt/m2)), makin

kea rah timur dan timur laut laut (dari bagian wilayah lautan di sekitar Belitung) ini makin besar nilai OLR nya

(237,7 – 243,8 (watt/m2)). Sedang dari luaran model

CCAM, terjadi keadaan yang sebaliknya. Nilai OLR di wilayah yang sama bervariasi dari 226,0 – 244,0

(watt/m2) dengan pola sebaran horisontalnya ke arah

timur dan tenggara makin besar nilai OLR nya. Hal ini mengindikasikan bahwa untuk parameter OLR, luaran

model CCAM under estimate dan belum dapat mengikuti

pola sebaran satelit EOS Aqua. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk penyempurnaan model CCAM.

Untuk parameter atmosfer suhu permukaan (Kelvin), sebagaimana terdapat pada Gambar 3 dan Gambar 4, berdasar observasi satelit EOS Aqua, pola sebaran horizontalnya menunjukkan bahwa makin ke arah timur dan timur laut maupun makin ke arah barat dan barat daya (baik untuk bagian wilayah daratan maupun bagian wilayah lautan) suhu udara perkaan di Belitung ini makin besar (300,224 – 300,501 K) untuk arah ke timur dan timur laut, dan sebesar (300,224 – 300,531 K) untuk arah ke barat dan barata daya. Pusat suhu udara ter-rendah (300,184 – 300,224 K) di wilayah Belitung dan

(5)

Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIX HFI Jateng & DIY, Yogyakarta 25 April 2015 ISSN : 0853-0823

sekitarnya ini terjadi sebagian lautan sebelah timur pulau (2,0-3,2 °LS; 108,1-108,8 °BT). Sedang luaran model CCAM, terjadi keadaan yang berbeda. Nilai suhu udara permukaan di wilayah yang sama bervariasi dari 298,5 – 303,0 (K) dengan pola sebaran horisontalnya secara spiral makin ke arah luar dari pusat pulau makin besar nilai suhu permukaannya. Hal ini mengindikasikan bahwa untuk parameter suhu udara permukaan, luaran model

CCAM under estimate dan belum dapat mengikuti pola

sebaran satelit EOS Aqua. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk penyempurnaan model CCAM.

Demikian pula halnya, untuk parameter farksi liputan awan sebagaimana disajikan dalam Gambar 5 dan Gambar 6 di atas, bahwa terdapat perbedaan cukup signifikan antara observasi satelit EOS Aqua dengan luaran model CCAM. Secara umum dapat diungkapkan bahwa, untuk parameter fraksi liputan awan, luaran

model CCAM under estimate dan belum dapat mengikuti

pola sebaran satelit EOS Aqua.

Dari Gambar 7 dan Gambar 8 di atas terlihat bahwa, untuk parameter akumulasi hujan (mm) baik berdasar observasi satelit TRMM maupun luaran model CCAM secara umum terdapat persamaan yang cukup signifikan dalam pola (sebaran horizontal) di wilayah Belitung dan sekitarnya (2,0-4,0 °LS; 107,0-109,5 °BT) ini. Dari ke dua cara (observasi satelit TRMM maupun luaran model CCAM) menunjukkan bahwa pola sebaran horisontalnya secara spiral makin ke arah luar dari pusat pulau makin besar nilai akumulasi hujannya. Hal ini mengindikasikan bahwa untuk parameter akumulasi hujan, luaran model CCAM sudah dapat mengikuti pola sebaran satelit TRMM, meskipun tetap diperlukan penelitian lebih lanjut untuk penyempurnaan model CCAM agar nilai kuatitatif akumulasi hujan luaran model CCAM dapat lebih mendekati lagi dengan nilai akumulasi hujan satelit

TRMM (tidak under estimate lagi).

Dalam kaitannya dengan variabilitas curah hujan yang terjadi di wilayah Benua Maritim Indonesia (BMI) pada

umumnya, dari pustaka [12] dan [13] dalam [14]

diungkapkan bahwa terdapat tiga pola utama curah hujan di BMI, yang kemudian dikenal sebagai pola curah hujan monsunal, ekuatorial dan lokal (anti monsunal). Pada penelitian ini, diperoleh hasil bahwa akumulasi hujan bulanan di wilayah Belitung perioda Maret 1998-2010 berdasar observasi satelit TRMM menunjukkan adanya pola hujan equatorial (sebagaimana disajikan dalam Gambar 9). Pola curah hujan ekuatorial adalah pola lain yang terdapat di Indonesia, yang memiliki puncak intensitas curah hujan maksimum dua kali dalam satu tahun (bi-modal), yang terjadi antara bulan Maret, April atau Mei dan pada perioda bulan September, Oktober atau Nopember. Hal ini bersesuaian dengan baik terhadap pola bulanan akumulasi hujan (mm) yang terdapat dalam pustaka [12], sebagaimana disajikan dalam Gambar 10 dan Gambar 11, yang juga menunjukkan adanya pola

hujan equatorial

.

IV. KESIMPULAN

Secara umum, distribusi spasial OLR (Outgoing

Longwave Radiation, watt/m2), suhu permukaan (Kelvin),

dan farksi liputan awan secara kuantitatif (terkait dengan nilai) dan kualitatif (terkait dengan pola / sebaran horizontal) di wilayah Belitung dan sekitarnya (2,0-4,0 °LS; 107,0-109,5 °BT) menunjukkan adanya perbedaan cukup signifikan antara observasi satelit EOS Aqua dengan luaran model CCAM. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk penyempurnaan model CCAM. Namun, untuk parameter akumulasi hujan (mm) baik berdasar observasi satelit TRMM maupun luaran model CCAM secara umum terdapat persamaan yang cukup signifikan dalam pola (sebaran horizontal) di wilayah Belitung dan sekitarnya (2,0-4,0 °LS; 107,0-109,5 °BT) ini. Dari ke dua cara (observasi satelit TRMM maupun luaran model CCAM) menunjukkan bahwa pola sebaran horisontalnya secara spiral makin ke arah luar dari pusat pulau makin besar nilai akumulasi hujannya, meskipun tetap diperlukan penelitian lebih lanjut untuk penyempurnaan model CCAM agar nilai kuatitatif akumulasi hujan luaran model CCAM dapat lebih mendekati lagi dengan nilai

akumulasi hujan satelit TRMM (tidak under estimate

lagi).

UCAPAN TERIMA KASIH

Diucapkan terimakasih kepada Ir. Halimurrahman, M.T. (selaku Integrator I) dan Dr. Didi Satiadi (selaku

Integrator II) atas masukan, saran dan diskusi yang

konstruktif dalam penelitian ini. Penelitian ini merupakan bagian dari Program Pengembangan Teknologi Penerbangan dan Antariksa yang ada di Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA) – Lembaga Penerbangan

dan Antariksa (LAPAN) Tahun Anggaran 2015; grant

number SP.DIPA.082.01.1.430397/2015. PUSTAKA

[1] Prawirowardoyo, S., Komposisi dan Struktur Atmosfer, dari: Meteorologi, Penerbit ITB Bandung, 1996, pp. 1 – 7. [2] Tjasyono, Bayong H.K., Atmosfer Bumi, dari: Klimatologi Terapan, Pionir Jaya Bandung, 1992: pp. 3 – 16.

[3] Prawirowardoyo, S., Iklim dan Perubahannya, dari: Meteorologi, Penerbit ITB Bandung, 1996, pp. 104 – 114. [4] Suryantoro, A., Konferensi Perubahan Iklim PBB di Bali, 3-14 Desember 2007 : Pro dan Kontra Dunia Menyikapi Perubahan dan Pemanasan Global; Media Dirgantara vol.2 no.4, Desember 2007, pp.6-10.

[5] Tjasyono, Bayong H.K. “Matahari Sebagai Kontrol Iklim”, dari: Klimatologi Terapan, Pionir Jaya Bandung, 1992, pp. 61 – 76.

[6] Sinambela, W., T. Dani, I.E. Rusnadi dan J.T. Nugroho, Pengaruh Aktivitas Matahari pada Variasi Curah Hujan di Indonesia, Jurnal Sains Dirgantara, vol.5, no.2, Juni 2008, pp.149.

[7] Suryantoro, A., Analisis Variabilitas Dekadal Curah Hujan Cilacap (7.73 °LS; 109.02 °BT) dalam Rentang 1901-2012, Prosiding Seminar Nasional Fisika, Pusat Penelitian Fisika-LIPI, 24 Nopember 2014, 11 hal., in press.

[8] IPCC, Summary for policymakers. In Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change, 2007. [9] Alavian, V., HM Qaddumi, E. Dickson, S.M. Diaz, A.V.

(6)

Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIX HFI Jateng & DIY, Yogyakarta 25 April 2015 ISSN : 0853-0823

and B. Blankespoor, Water and Climate Change: Understanding the Risks and Making Climate-Smart Investment Decisions, Office of the Publisher, The World Bank, 1818 H Street NW, Washington, DC 20433, USA, 2009, pp.1-140.

[10] Giovanni-The Bridge Between Data and Science, AIRS Online Visualization and Analysis, 2015.Website:

http://gdata1.sci.gsfc.nasa.gov/daac-bin/G3/gui.cgi?instance_id=AIRS_Level3Month, diakses tanggal 5 Januari 2015.

[11] Giovanni-The Bridge Between Data and Science, TRMM Online Visualization and Analysis System (TOVAS), 2015. Website: http://gdata1.sci.gsfc.nasa.gov/daac-bin/G3/gui.cgi?instance_id=TRMM_Monthly, diakses 19 Januari 2015.

[12] Aldrian, E. and R.D. Susanto (2003), Identification

of Three Dominant Rainfall Regions within Indonesia and Their Relationship to Sea Surface Temperature, Int. Jour. of Clim., 23, 1435-1452.

[13] Tjasyono, B.H.K. (2004), Unsur Cuaca dan Iklim,

dari : Klimatologi, Penerbit ITB, Bandung, 11-38.

[14] Suryantoro, A., Analisis Sifat Hujan di Wilayah

Bandung dan Sekitarnya Berbasis Observasi

Permukaan dan Satelit TRMM, Prosiding Seminar

Nasional Fisika dan Terapannya IV, FST-Universitas Airlangga, 2014, pp.F33-F39.

TANYA JAWAB

Eddy Hermawan, LAPAN

 Bagaimana membandingkan antara model CCAM

dengan observasi? Jika CCAM OLR, dan

observasi CH, apakah tidak ada logtime?

 Bagaimana model CCAM tersebut disetting? Pada

resolusi berapa km?

 Pola OLR CCAM dengan pola OLR EOS Aqua

berbeda, bagaimana bisa dibandingkan?

Arief S, LAPAN

 Parameter yang dibandingkan polanya sama yaitu

OLR, liputan awan, suhu permukaan dan hujan.

 Resolusi CCAM adalah 0,25 º (≈25 km). Resolusi ini

sama dengan data hujan dari satelit TRMM.

 Saat ini memang masih diperoleh hasil/pola yang

relatif berbeda. Hal ini mengindikasikan perlunya perbaikan (penyesuaian) model CCAM; terutama dalam skema-skema yang digunakan untuk memperoleh luaran-luaran model OLR, liputan awan dan suhu permukaan.

Martono, LAPAN

 Mengapa pola curah hujan di Ambon menunjukkan

lokal?

 Berapa % akurasi CCAM terhadap insitu?

Arief S, LAPAN

 Dari ref. 12 dalam maklah diungkapkan bahwa

adanya Arlinas (Arus lintas Indonesia) diduga memberikan konatribusi yang signifikan sehingga hujab di Ambon pada Bulan Juni-Juli-Agutus memiliki nilai tinggi dibanding bulan-bulan lainnya.

 Pada tahap penelitian kali ini belum dilakukan

pengecekan prosentase akurasi CCAM terhadap insitu.

Gambar

Gambar 8.   Seperti Gambar 7, tetapi berdasar luaran  model CCAM, Maret 1998-2010

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan kajian ini dijalankan adalah untuk mengenalpasti elemen paling dominan dalam campuran promosi yang digunakan oleh peniaga untuk meningkatkan jualan di pesta konvokesyen di

Gambar 7 menunjukan kondisi pasang perbani pada saat angin timur yang masing-masing terjadi pada tanggal 12 Juli 2006 dengan beberapa kondisi yaitu surut menuju pasang yang terjadi

Syaykh Abd Aziz bin Abd Salam telah menyumbangkan kepada masyarakat Islam sebuah karya tafsir yang berjudul al-Bayan Pada Ta’wil Ayat-Ayat al-Qur’an.. Setelah

X dapat digunakan untuk menentukan struktur kristal memiliki harga d (jarak kisi) dengan intensitas yang karakteristik. Difraktogram padatan hasil sintesis pada penelitian

Ibu/Bapak tidak dapat mengubah (menambah, menghapus, mengganti uraian) dari kode yang sudah ada. Pengkodean pada bagian ini telah ditentukan melalui aturan tertentu yang dapat

)elemahan ne-ara tertent# a*at mem*en-ar#hi oran- lain :nvestor instit#si *inah investasi mere)a )el#ar  ari zona e#ro an )e aerah lain.. investor instit#si

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian-Submitted 2014 Page 12 Pendekatan analisis asosiasi dalam GWAS pada dasarnya setara dengan analisis keterpautan dalam studi

Tahap awal sebelum dilakukan pemboran adalah pengecekan lokasi, pembersihan lokasi, penentuan lokasi, pengukuran dan pemberian patok pada titik yang akan dibor,