• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Interaksi Obat Alprazolam pada Pasien Stroke Di Bangsal Rawat Inap Neurologi Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kajian Interaksi Obat Alprazolam pada Pasien Stroke Di Bangsal Rawat Inap Neurologi Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

36

Kajian Interaksi Obat Alprazolam pada Pasien Stroke

Di Bangsal Rawat Inap Neurologi Rumah Sakit Stroke Nasional

Bukittinggi

(

The Study of Alprazolam Drugs Interaction on Stroke Patients at Neurology Inpatient

Ward in National Stroke Hospital Bukitinggi

)

Rika Sepriani

1

, Fatma Sri Wahyuni

2

, Almahdy A.

2

, & Khairil Armal

3

1

Fakultas Ilmu Keolahragaan UNP

2

Fakultas Farmasi Universitas Andalas

3

Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi

*Corresponding email: rikasepriani@ymail.com

ABSTRAK

Interaksi obat dapat didefinisikan sebagai modifikasi efek suatu obat akibat obat lain yang diberikan pada awalnya atau diberikan bersamaan atau bila dua obat atau lebih berinteraksi sedemikian rupa sehingga keefektifan atau toksisitas satu obat atau lebih berubah. Bila kombinasi terapeutik mengakibatkan perubahan yang tidak diinginkan atau komplikasi terhadap kondisi pasien, maka interaksi tersebut digambarkan sebagai interaksi yang bermakna klinis. Adanya perubahan orientasi peran kefarmasian dari drug oriented menjadi patient oriented, memicu timbulnya ide tentang asuhan kefarmasian (pharmaceutical care), yang tujuannya mencegah dan meminimalkan permasalahan yang berkaitan dengan penggunaan obat. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis interaksi obat alprazolam pada pasien stroke di bangsal rawat inap neurologi Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi dari bulan November 2011 hingga Februari 2012 dengan metode prospektif melalui penelusuran terhadap kondisi pasien, catatan rekam medik, Kartu Instruksi Obat (KIO) dan catatan asuhan keperawatan pasien stroke yang menggunakan alprazolam di bangsal rawat inap neurologi Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara deskriptif berdasarkan literatur yang berkaitan dengan interaksi obat alprazolam pada pasien stroke di bangsal rawat inap neurologi Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan dari 35 orang pasien terdapat 9 kejadian interaksi obat alprazolam (31,04%) dari 29 angka kejadian DRPs.

Kata Kunci: Alprazolam, Interaksi Obat, Pasien Stroke

PENDAHULUAN

Interaksi obat dapat didefinisikan sebagai modifikasi efek suatu obat akibat obat lain yang diberikan pada awalnya atau diberikan bersamaan atau bila dua obat atau lebih

berinteraksi sedemikian rupa sehingga

keefektifan atau toksisitas satu obat atau lebih

berubah. Bila kombinasi terapeutik

mengakibatkan perubahan yang tidak

diinginkan atau komplikasi terhadap kondisi pasien, maka interaksi tersebut digambarkan sebagai interaksi yang bermakna klinis (Aslam

et. al., 2003). Dengan meningkatnya

kompleksitas obat-obat yang digunakan dalam pengobatan pada saat ini, dan berkembangnya polifarmasi maka kemungkinan terjadinya

(2)

37

interaksi obat makin besar. Interaksi obat perlu diperhatikan karena dapat mempengaruhi respon tubuh terhadap pengobatan (Quinn and Day, 1997).

Kejadian interaksi obat yang mungkin terjadi diperkirakan berkisar antara 2-42% pada pasien yang menerima dua obat atau lebih yang dirawat di rumah sakit. Pada pasien rawat jalan, angka kejadian interaksi obat sekitar 3% dan berkisar antara 1-4% pasien rawat jalan ini harus dirawat di rumah sakit berkaitan dengan kejadian interaksi obat (Dallenbach et. al., 2007). Pada penelitian restrospektif , angka kejadian interaksi obat yang potensial terjadi pada pasien yang yang lebih tua yaitu sekitar 19-23% (Zhan et. al., 2001).

Mekanisme interaksi obat dapat dibagi menjadi interaksi yang melibatkan aspek farmakokinetika obat dan interaksi yang mempengaruhi respons farmakodinamik obat. Interaksi farmakikinetik dapat terjadi pada beberapa tahap, meliputi absorpsi, distribusi,

metabolisme, atau ekskresi. Interaksi

farmakodinamik adalah interaksi di mana efek suatu obat diubah oleh obat lain pada tempat aksi (Aslam, 2007). Beberapa kejadian interaksi obat sebenarnya dapat diprediksi sebelumnya dengan mengetahui efek farmakodinamik serta mekanisme farmakokinetika obat-obat tersebut. Pengetahuan mengenai hal ini akan bermanfaat dalam melakukan upaya pencegahan terhadap efek merugikan yang dapat ditimbulkan akibat interaksi obat (Quinn and Day, 1997).

Alprazolam merupakan salah satu obat

hipnotik-sedatif golongan benzodiazepin.

Hipnotik atau obat tidur adalah zat-zat yang dalam dosis terapi diperuntukkan untuk meningkatkan keinginan faal untuk tidur dan mempermudah atau menyebabkan tidur. Lazimnya obat ini diberikan pada malam hari.

Suatu obat hipnotik harus menyebabkan rasa kantuk dan mengarah kepada mula tidur dan mempertahankan keadaan tidur, yang mana sejauh mungkin menggambarkan keadaan tidur alamiah. Bila zat-zat ini diberikan pada siang hari dengan dosis rendah untuk tujuan

menenangkan, maka dinamakan sedatif

(Katzung, 2002).

Alprazolam lebih mudah diserap secara oral dimana kadar plasmanya sebanding dengan dosis yang diberikan selama rentang dosis 0,5-3 mg dengan kadar puncaknya 8-37 mg/mL. Waktu kerja alprazolam 1 jam setelah dosis diberikan. Volume distribusi alprazolam adalah 0,9-1,2 L/kg dan alprazolam dapat melewati ASI dengan ikatan protein sekitar 80%. Alprazolam dimetabolisme di hati melewati CYP3A4, membentuk dua metabolit aktif yaitu 4-hidroksialprazolam dan α-4-hidroksialprazolam dengan bioavabilitas sekitar 90%. Waktu paruh (t½) alprazolam untuk dewasa adalah 11,2 jam, untuk orang tua 16,3 jam, obesitas 21,8 jam dan untuk alkoholik dengan penyakit hati adalah 19,7 jam. Alprazolam diekresikan melalui urin dalam bentuk utuh dan bentuk metabolitnya (Lacy et. al., 2010).

Alprazolam terutama bekerja

mempotensiasi inhibisi neuron dengan asam gama amino butirat (GABA) sebagai mediator. GABA dan alprazolam terikat secara selektif dengan reseptor GABA yang akan menyebabkan pembukaan kanal ion Cl- . Membran sel saraf

secara normal tidak permeabel terhadap ion klorida, tetapi bila kanal Cl- terbuka,

memungkinkan masuknya ion klorida,

meningkatkan potensial elektrik sepanjang membran sel dan terjadi hiperpolarisasi membran sel saraf sehingga menyebabkan depresi sistem saraf pusat (Lacy et. al., 2010; Ikawati, 2012).

(3)

38 METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dimana pengumpulan data dilakukan secara prospektif melalui penelusuran terhadap kondisi pasien, catatan rekam medik, Kartu Instruksi Obat (KIO) dan catatan asuhan keperawatan pasien stroke yang menggunakan alprazolam di bangsal rawat inap neurologi Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara deskriptif untuk menentukan jumlah dan persentase yang berkaitan dengan interaksi obat alprazolam pada pasien stroke di Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi.

Sumber data dalam penelitian ini adalah rekam medik pasien, dalam hal ini dibutuhkan data jenis kelamin pasien, umur pasien, diagnosis utama dan diagnosis penyerta, jenis obat, frekuensi pemberian dan cara pemberian. Selain itu data juga diperoleh dari Kartu Instruksi Obat (KIO) dan cacatan keperawatan. Wawancara pada pasien dan keluarga pasien juga dilakukan untuk melihat perkembangan pasien yang dicocokkan dengan rekam medik pasien. Pengambilan data dilakukan melalui wawancara dengan pasien atau keluarga pasien, kartu rekam medik, kartu instruksi obat dan catatan keperawatan pasien Dengan menggunakan lembar pengumpul data, data-data yang diperlukan dipindahkan ke

lembaran pengumpul data. Pelaksanaan

pengumpulan data dilakukan oleh peneliti. Data dari lembar pengumpul data dianalisis secara deskriptif disertai uraian masalah secara singkat.

HASIL DAN DISKUSI

Karakteristik Pasien Jenis Kelamin

Berdasarkan data yang diperoleh, dari 35 orang pasien yang menggunakan alprazolam di ruang rawat inap neurologi Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi diketahui pasien pria sebanyak 17 orang (48,57%) sedangkan pasien wanita sebanyak 18 orang (51,43 %). Dimana pasien tersebut didiagnosis stroke dan menerima terapi alprazolam pada saat dirawat di bangsal neurologi Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi.

Gambar 1. Persentase Jenis Kelamin Pasien dengan Diagnosis Stroke yang Menggunakan Alprazolam

Menurut Rawlins (2001) wanita secara psikologis memiliki mekanisme koping yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki dalam mengatasi suatu masalah. Mekanisme koping adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan, serta respon terhadap situasi yang mengancam. Dengan adanya gangguan secara fisik maupun secara psikologis tersebut maka wanita akan mengalami suatu kecemasan, jika kecemasan itu berlanjut maka akan mengakibatkan seseorang wanita lebih

sering mengalami kejadian insomnia

dibandingkan dengan laki-laki dan jika ini terjadi pada pasien stroke maka ini akan dapat meningkatkan resiko pasien pascastroke untuk menderita stroke berulang (Rianjani, 2010).

Menurut Dahlin (2012) pasien stroke wanita mempunyai skor yang lebih rendah daripada laki-laki dalam lima dari enam aspek kualitas hidup seperti emosi, tidur, energi, nyeri

(4)

39

dan mobilitas yang dalam pengamatannya, peneliti melibatkan 379 pasien stroke dan 117 pasien Transient Ischemic Attack (TIA), atau ministroke. Kemudian pasien diminta menjawab survei tentang kualitas hidup yang diukur dari fisik, emosional dan aspek sosial dari kesehatan mereka. (Dahlin, et. al., 2012).

Gur et. al. (1995) juga menunjukkan

bahwa perbedaan jenis kelamin dalam proses metabolisme glukosa pada sistem limbik mendasari perbedaan kognitif dan emosional antara laki-laki dan perempuan (Paradiso et. al., 1998). Studi yang dilakukan oleh Maggie et. al. di Florence, Italia pada populasi lansia yang bertempat tinggal di komunitas menyebutkan, jika prevalensi insomnia pada lansia cukup tinggi, dan pada wanita persentasenya lebih besar daripada pria (54 berbanding 36%) (Maggie et. al., 1998).

Rentang Usia

Pada penelitian ini usia pasien stroke yang mendapat terapi alprazolam berkisar antara 20 hingga 83 tahun. Distribusi usia pasien dengan diagnosis stroke yang juga menerima terapi alprazolam adalah sebagai berikut:

Gambar 2. Persentase Usia Pasien dengan Diagnosis Stroke yang Menggunakan Alprazolam

Dari data dapat dilihat bahwa pasien stroke yang juga mendapat terapi alprazolam paling banyak berusia 53-63 tahun sebanyak 13 orang (37,14%), kemudian usia 64-74 tahun

sebanyak 8 orang (22,86%), usia 42-52 tahun sebanyak 7 orang (20%), usia 31-41 tahun sebanyak 4 orang (11,43%), 75-85 tahun sebanyak 2 orang (5,71%) dan yang paling sedikit usia 20-30 tahun yaitu 1 orang (2,86%). Insiden stroke meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Setelah umur 55 tahun resiko stroke iskemik meningkat dua kali lipat tiap dekade. Menurut Schutz penderita yang berumur antara 70-79 tahun banyak menderita pendarahan intrakranial (Junaidi, 2011). Prevalensi gangguan tidur setiap tahun

cenderung meningkat, hal ini sesuai

peningkatan usia. Penuaan normal biasanya berkaitan dengan penurunan waktu tidur, peningkatan jumlah waktu terbangun sepanjang malam, dan penurunan dalam tidur gelombang

delta dan REM (Rapid Eye Movement) dan pada

beberapa pasien lanjut usia terjadi kualitas tidur yang menurun sejalan dengan umur (Japardi, 2002).

National Institute of Health (1990)

menyatakan bahwa gangguan tidur menyerang 50% orang yang berusia 65 tahun atau lebih yang tinggal di rumah dan 66% orang yang tinggal di fasilitas perawatan jangka panjang. Hal tersebut diperkuat oleh Frost (2001) yang menyatakan bahwa prevalensi gangguan tidur pada lansia cukup tinggi yaitu sekitar 67% (Sumedi et. al., 2010). Luce dan Segal (1970) mengungkapkan bahwa faktor usia merupakan faktor penting yang berpengaruh terhadap

kualitas tidur. Efisiensi tidur semakin

berkurang. Sementara kebutuhan tidurpun

semakin menurun, karena dorongan

homeostatis untuk tidurpun berkurang (Budi, 2008).

Pada lansia terdapat

perubahan-perubahan yang bersifat biopsikososial.

(5)

40

oleh karena menuanya organ-organ tubuh. Sedangkan perubahan psikososial terjadi pada masyarakat dan pada lansia itu sendiri. Proses menjadi orang lanjut usia akan membawa perubahan pola tidur (Marchira, 2007).

Lansia menghabiskan lebih banyak waktunya di tempat tidur, mudah jatuh tidur, namun juga mudah terbangun dari tidurnya. Terdapat perubahan yang sangat menonjol yakni adanya pengurangan pada gelombang lambat, terutama stadium empat, gelombang alfa menurun, dan meningkatnya frekuensi terbangun di malam hari atau meningkatnya fragmentasi tidur karena seringnya terbangun. Selain itu juga terdapat gangguan pada dalamnya tidur sehingga lansia sangat sensitif terhadap stimulus lingkungan (Sya’roni, 2012). Interaksi Alprazolam dengan Obat Lain

Interaksi obat dapat didefinisikan sebagai modifikasi efek suatu obat akibat obat lain yang diberikan pada awalnya atau diberikan bersamaan atau bila dua obat atau lebih

berinteraksi sedemikian rupa sehingga

keefektifan atau toksisitas satu obat atau lebih

berubah. Bila kombinasi terapeutik

mengakibatkan perubahan yang tidak

diinginkan atau komplikasi terhadap kondisi pasien, maka interaksi tersebut digambarkan sebagai interaksi yang bermakna klinis (Aslam et. al., 2003).

Mekanisme interaksi obat dapat dibagi menjadi interaksi farmakokinetika dan interaksi farmakodinamik. Interaksi dalam proses farmakokinetik yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi (ADME) dapat meningkatkan ataupun menurunkan kadar

plasma obat. Interaksi obat secara

farmakokinetik yang terjadi pada suatu obat tidak dapat diekstrapolasikan (tidak berlaku) untuk obat lainnya meskipun masih dalam satu kelas terapi, disebabkan karena adanya perbedaan sifat fisikokimia, yang menghasilkan sifat farmakokinetik yang berbeda. Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek yang aditif, sinergistik, atau antagonistik, tanpa ada perubahan kadar plasma ataupun profil farmakokinetik lainnya. Interaksi

farmakodinamik umumnya dapat

diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat yang berinteraksi, karena klasifikasi obat adalah berdasarkan efek farmakodinamiknya. Selain itu, umumnya kejadian interaksi farmakodinamik dapat

diramalkan sehingga dapat dihindari

sebelumnya jika diketahui mekanisme kerja obat (May, R.J., 1997).

Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian didapatkan bahwa interaksi alprazolam dengan obat lain terdapat 9 angka kejadian (31,04%) dari 35 orang pasien dengan 29 angka kejadian DRPs.

Pada penelitian ini, interaksi antara alprazolam dengan haloperidol terdapat 2 angka

kejadian. Interaksi alprazolam dengan

haloperidol merupakan interaksi

farmakokinetik dimana haloperidol merupakan suatu senyawa antipsikotik yang jika diberikan bersamaan dengan alprazolam maka akan dapat menyebabkan peningkatan efek alprazolam. Penggunaan bersama alprazolam tidak harus dihindari tapi diperlukan pemantauan yang baik untuk mencegah efek yang tidak diinginkan (Baxter, 2008).

(6)

41

Tabel 1. Interaksi Obat antara Alprazolam dengan Obat Lain yang Digunakan Bersamaan pada Pasien Stroke di Bangsal Rawat Inap Neurologi Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi Periode November 2011 hingga Februari 2012

No. Nama generik Mekanisme

Interaksi Jumlah angka kejadian Keterangan 1 Alprazolam dan haloperidol

Farmakokinetik 2 Meningkatkan efek dari alprazolam

(Baxter, 2008)

2 Alprazolam dan

siprofloksasin

Farmakokinetik 3 Meningkatkan efek alprazolam

(Baxter, 2008; Departemen

Kesehatan, 2008)

3 Alprazolam dan

diazepam

Farmakodinamik 3 Meningkatkan efek depresi sistem

saraf pusat

(Departemen Kesehatan, 2008)

4 Alprazolam dan

fenitoin

Farmakokinetik 1 Menurunkan efek alprazolam

(Departemen Kesehatan. 2008; AHFS Drug Information, 2008; Baxter, 2008)

Interaksi antara alprazolam dengan siprofloksasin terdapat 3 angka kejadian dimana siprofloksasin dapat menurunkan klirens dari alprazolam sehingga dapat meningkatkan kadar plasma alprazolam sehingga meningkatkan efek alprazolam. Hal ini terjadi karena siprofloksasin menghambat sitokrom P-450 yang memediasi metabolisme alprazolam. Efek ini akan menjadi lebih signifikan terjadi pada orang yang mengalami penurunan fungsi ginjal dan hati misalnya pada orang tua. Hal ini perlu untuk dikonfirmasikan sebelum diberikan secara

bersamaan (Baxter, 2008; Departemen

Kesehatan, 2008).

Interaksi antara alprazolam dengan diazepam terdapat 3 angka kejadian. Dimana alprazolam dan diazepam merupakan hipnotik-sedatif dari golongan yang sama yang bekerja pada reseptor yang sama sehingga penggunaan secara bersamaan akan dapat menyebabkan depresi sistem saraf pusat. (Departemen Kesehatan, 2008).

Interaksi antara fenitoin dan

alprazolam terdapat satu angka kejadian dimana fenitoin dapat menurunkan efek dari alprazolam. Pasien diberikan fenitoin karena pasien mengalami kejang. Penggunaan secara bersamaan tidak harus dihindari karena

penggunaan keduanya penting untuk

menghindari efek yang tidak diinginkan, tapi monitor kadar serumnya untuk menghindari efek yang tidak diinginkan (AHFS Drug Information, 2008; Baxter, 2008; Departemen Kesehatan . 2008).

KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan dari 35 orang pasien yang menggunakan alprazolam di bangsal rawat inap neurologi Rumah Sakit Stroke Nasional 29 angka kejadian DRPs didapatkan interaksi alprazolam dengan obat lain didapatkan sebanyak 9 angka kejadian (31,04%)

(7)

42 DAFTAR PUSTAKA

Aslam, M. Tan, C.K. & Prayitno, A. 2007. Farmasi Klinis: Menuju Pengobatan Rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Gramedia.

Dahlin, A.F & Laska, A.C. 2012. Gender Differences in Quality of Life After Stroke and TIA: A Cross-Sectional Survey of Out-Patients. Journal of Clinical Nursing, Vol. 21: 15-16.

Dallenbach, M.F. Bovier, P.A & Desmeules J. 2007. Detecting Drug Interactions Using Personal Digital Assistants in An Out Patient Clinic. Q J Med, 100:

691-697.

Ikawati, Z. 2012. Reseptor Kanal Ion (Ionotropik). Zullies

Ikawati’s Web Blog

http://zulliesikawati.staff.ugm.ac.id/wp-content/uploads/ion-channel-receptor-ionotropic.pdf [diakses pada tanggal 13 Februari 2013]

Katzung, B.C. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 8. Jakarta: Salemba Medika.

Lacy, C.F. & Lance L.L. 2010. Drug Information Handbook 18th Edition. Ohio: Lexi-Comp Inc.

Maggie, S. Langlois, J.A. & Minicuci, N. 1998. Sleep Complaints in Community Dwelling Older Persons: Prevalance Associated Factors and Reported Causes. J. Am. Geriatry, 46(2): 161-168.

May, R.J. 1997. Pharmacotherapy Apathophysiologic

Approach. Adverse Drug Reactions and

Interactions. Stamford, CT: Appleton and Lange Paradiso, S. & Robinson, R.G. 1998. Gender Differences

in Poststroke Depression. The Journal of Neuropsychiatry and Clinical Neurosciences, 10: 41-47.

Quinn D.I & Day R.O. 1997. Clinically Important Drug Interactions, in Avery’s Drug Treatment,4th Edition.

Aucland New Zealand: Adis International Limited. Rianjani, E. 2010. Kejadian Insomnia Berdasarkan

Karakteristik dan Tingkat Kecemasan pada Lansia

di Panti Wredha Pucang Gading Semarang.

Semarang: Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah.

Zhan, C. Sangael, J. Bierman, A.S. Miler, M.R. Friedman, B. Wickizer, S.W. & Meyer, G.S. 2001. Potentially Inappropriate Medication Use in The Community-Dwelling Elderly. JAMA, 286(22): 2823-2829.

Gambar

Gambar 1.  Persentase  Jenis  Kelamin  Pasien  dengan  Diagnosis  Stroke  yang  Menggunakan Alprazolam
Gambar  2.  Persentase  Usia  Pasien  dengan  Diagnosis  Stroke  yang  Menggunakan  Alprazolam

Referensi

Dokumen terkait

Hubungan Besar Uang Saku dengan Status Gizi Siswa di SDN 95 Bulo Kecamatan Walenrang Kabupaten Luwu Tahun 2012 ……... Hubungan Pendapatan Keluarga dengan Status Gizi Siswa di SDN 95

Rerata hemoglobin kelompok kontrol negatif adalah 11,200 g/dl sedangkan rerata hemoglobin kelompok tikus hamil yang dipapar asap rokok subakut dan diberi vitamin E

Pada hari Kamis tanggal Tiga Puluh bulan Agustus tahun Dua ribu dua belas (30-08-2012), POKJA 1 Pengadaan Barang/Jasa Tahap II Kegiatan APBD. pada Dinas Pendidikan Nasional

Berapa banyak siswa yang tidak menyukai mata pelajran Olahraga, jika jumlah seluruh anak 360 anakc.

Nindy Dewanti Putri, D1314071 Komunikasi Terapan Minat Periklanan mengambil Judul Tugas Akhir : Tugas Marketing Communication Dalam Menangani Event Di

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi work-life balance, kepuasan kerja, dan komitmen organisasi pada ibu bekerja sebagai guru PAUD di Kota Cimahi sudah baik

Gambar 4.3 menunjukkan koloid timah nanopartikel dapat bertahan lebih lama dari sintesis sebelumnya, yakni dengan menggunakan potensial 50 volt dengan konsentrasi HCl 0,02 M

Kadar Si dalam abu silika yang dihasilkan mengalami peningkatan dari ~85% menjadi ~92-93% apabila sekam padi mengalami perlakuan awal terlebih dahulu sebelum