• Tidak ada hasil yang ditemukan

Referat Tinea Kruris

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Referat Tinea Kruris"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Referat

TINEA KRURIS

Oleh:

Muhammad Arief Budiman, S. Ked 04084811416049

Pembimbing:

Dr. Mutia Devi, SpKK

BAGIAN/DEPARTEMEN DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA/

RSUP DR. MOH. HOESIN PALEMBANG 2015

(2)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Referat

TINEA KRURIS

Oleh:

Muhammad Arief Budiman, S.Ked 04084811416049

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian kepaniteraan klinik senior di Bagian/Departemen Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/Rumah Sakit Umum Pusat DR. Mohammad Hoesin Palembang periode 15 Juni 2015 – 18 Juli 2015.

Palembang, September 2015 Pembimbing,

(3)

TINEA KRURIS

Muhammad Arief Budiman, S. Ked Bagian/ Departemen Dermatologi dan Venereologi

Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/ RSUP DR. Moh. Hoesin Palembang

PENDAHULUAN

Dermatofitosis adalah sekelompok penyakit jamur kulit superfisial yang menyerang jaringan dengan zat tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku, yang disebabkan oleh jamur golongan dermatofita. Infeksi dermatofitosis dikenal dengan nama tinea dan dibagi berdasarkan lokasi.1 Tinea kruris adalah salah satu dermatofitosis yang ditemukan pada pangkal paha, genital, pubis, serta perineum dan kulit perianal.2 Penyakit ini juga dikenal sebagai jock itch, crotch itch, dhobie itch, eczema marginatum, dan ringworm of the groin.3

Tinea kruris adalah jenis kedua dari dermatofitosis yang paling umum di seluruh dunia, namun lebih sering terjadi pada zona tropis, seperti Indonesia.2,4,5 Penyakit ini merupakan salah satu bentuk klinis tersering di Indonesia dan ditemui terutama pada musim panas dengan tingkat kelembaban tinggi.3 Menurut penelitian Budimuldja tahun 1997, tinea kruris menduduki peringkat kedua tersering dari seluruh penyakit jamur kulit di Departemen Dermatologi dan Venereologi Universitas Indonesia.6 Tinea menduduki peringkat kelima dari sepuluh penyakit terbanyak tahun 2014 di Poliklinik Dermatologi Infeksi Rumah Sakit Umum Pusat DR. Moh. Hoesin Palembang, dan tinea kruris menduduki peringkat ketiga dari seluruh pasien tinea.

Tinea kruris dapat bersifat akut ataupun kronis, dan dapat diderita seumur hidup.1 Tinea kruris lebih sering diderita oleh orang dewasa dibanding anak dan menyerang laki-laki tiga kali lebih sering dibanding wanita, salah satu alasannya karena skrotum menciptakan kondisi yang hangat dan lembab.Penularan tinea kruris dapat melalui kontak langsung, baik dengan manusia maupun binatang, dan dari serpihan jamur pada pakaian, handuk, dan lain-lain.2,4,5 Faktor predisposisi lain yang mempengaruhi terjadinya tinea kruris, antara lain obesitas dan derajat perspirasi yang berlebih.5

Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia 2012, kompetensi dokter umum dalam menangani tinea kruris adalah 4A, yang artinya lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas.7 Referat ini akan

Data rekam medik poliklinik dermatologi infeksi Rumah Sakit Umum Pusat DR. Moh. Hoesin Palembang tahun 2014

(4)

membahas mengenai etiopatogenesis, gambaran klinis, pemeriksaan penunjang, diagnosis banding, diagnosis, serta penatalaksanaan mengenai tinea kruris.

ETIOPATOGENESIS

Tinea kruris disebabkan oleh infeksi jamur golongan dermatofita. Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Menurut Budimulja tahun 2010, dermatofita termasuk kelas Fungi imperfecti, yang terbagi dalam tiga genus, yaitu Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton, mempunyai sifat mencerna keratin.1 Penyebab tersering tinea kruris adalah Epidermophyton floccosum, diikuti Tricophyton rubrum dan Tricophyton mentagrophytes.2,4

Infeksi dermatofita melalui tiga proses, yaitu perlekatan ke keratinosit, penetrasi melewati dan di antara sel, dan perkembangan respon pejamu.5 Pertama adalah berhasil melekatnya artrokonidia, spora aseksual yang dibentuk dari hasil fragmentasi hifa, ke permukaan jaringan berkeratin setelah melewati beberapa pertahanan pejamu, antara lain asam lemak yang dihasilkan oleh kelenjar sebasea yang bersifat fungistatik dan kompetisi dengan flora normal.2 Dalam beberapa jam, secara in vitro 2 jam setelah terjadinya kontak, pertumbuhan dan invasi spora mulai berlangsung.2,4

Proses kedua adalah invasi spora ke lapisan yang lebih dalam. Tahap ini dibantu oleh sekresi proteinase, lipase dan enzim musinolitik, yang menjadi nutrisi bagi jamur. Trauma dan maserasi juga membantu penetrasi jamur ke keratinosit. Selain itu, manans, suatu zat yang terkandung dalam dinding sel dermatofita ini, dapat menghalangi proliferasi dari keratinosit dan respon imunitas seluler yang memperlambat penyembuhan epidermis.2,8

Proses ketiga adalah perkembangan respon pejamu. Derajat inflamasi di pengaruhi oleh status imun penderita dan organisme yang terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe IV, atau Delayed Type Hipersensitivity (DHT) memegang peranan yang sangat penting dalam melawan dermatofita. Respon inflamasi dari reaksi hipersensitivitas ini berkaitan dengan penyembuhan pasien. Respon imunitas seluler yang rusak akan mengakibatkan proses penyakit yang kronis dan berulang. Pengaruh adanya atopi dan kadar IgE yang tinggi juga diduga berpengaruh terhadap kronisitas.2,3

Terdapat hipotesis menyatakan bahwa antigen dermatofita diproses oleh sel Langerhans epidermis dan dipresentasikan dalam limfosit T di nodus limfe. Sel Langerhans bekerja sebagai Antigen Presenting Cell (APC) yang mampu melakukan fungsi fagosit, memproduksi IL-1, mengekspresikan antigen, reseptor Fe dan reseptor C3. Sel Langerhans berkumpul di

(5)

dalam kulit membawa antigen ke dalam pembuluh getah bening dan mempertemukannya dengan limfosit yang spesifik. Selain oleh sel Langerhans, peran serupa dilakukan pula oleh sel endotel pembuluh darah, fibroblast, dan keratinosit. Limfosit T yang telah aktif ini kemudian menginfiltrasi tempat infeksi dan melepaskan limfokin. Limfokin inilah yang mengaktifkan makrofag sehingga mampu membunuh jamur patogen.5,9

Faktor host yang berperan pada dermatofitosis yaitu genetik, jenis kelamin, usia, obesitas, penggunaan kortikosteroid dan obat-obat imunosupresif. Kulit di lipat paha yang basah dan tertutup menyebabkan terjadinya peningkatan suhu dan kelembaban kulit sehingga memudahkan infeksi. Penjalaran infeksi dari bagian tubuh lain juga dapat menyebabkan terjadinya tinea kruris, misalnya tinea pedis pada daerah kaki. Faktor lingkungan, berupa higiene sanitasi dan lokasi geografis beriklim tropis, merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit jamur.2,4

GAMBARAN KLINIS

Efloresensi terdiri atas macam-macam bentuk (polimorfik), baik primer maupun sekunder.1 Tinea kruris mempunyai lesi yang khas berupa plak eritematosa berbatas tegas meluas dari lipat paha hingga ke paha bagian dalam dan seringkali bilateral (Gambar 1). Skrotum biasanya jarang terlibat.3 Lesi disertai skuama selapis dengan tepi yang meninggi.2

Gambar 1. Plak eritematosadan skuama pada regio inguinal yang meluas ke regio pubis 2

Apapun penyebab tinea kruris, keluhan gatal merupakan salah satu gejala umum yang menonjol. Nyeri juga sering dirasakan pada daerah yang terjadi maserasi dan infeksi sekunder.2,5 Peradangan di bagian tepi lesi lebih terlihat dengan bagian tengah tampak seperti

(6)

menyembuh (central clearing). Pada tepi lesi dapat disertai vesikel, pustul, dan papul, terkadang terlihat erosi disertai keluarnya serum akibat garukan. Pada lesi kronis dapat ditemukan adanya likenifikasi disertai skuama dan hiperpigmentasi (Gambar 2).1,3,10

Gambar 2. Gambaran klinis tinea kruris disertai hiperpigmentasi12

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Untuk menegakkan diagnosis tinea kruris dibutuhkan uji diagnostik untuk mengisolasi dan mengidentifikasi jamur. Gambaran klinis tinea kruris berupa kelainan kulit yang berbatas tegas disertai peradangan dengan bagian tepi lebih nyata daripada bagian tengah.

1. Pemeriksaan elemen jamur

Spesimen kerokan kulit diambil dari daerah pinggir lesi yang meninggi atau aktif. Hasil pemeriksaan mikroskopik secara langsung dengan KOH 10-20% didapatkan hifa (dua garis lurus sejajar transparan, bercabang dua/dikotom dan bersepta) dengan atau tanpa artrospora (deretan spora di ujung hifa) yang khas pada infeksi dermatofita (Gambar 3). Pemeriksaan mikroskopik langsung untuk mengidentifikasi struktur jamur merupakan teknik yang cepat, sederhana, terjangkau, dan telah digunakan secara luas sebagai teknik skrining awal. Teknik ini hanya memiliki sensitivitas hingga 40% dan spesifisitas hingga 70%. Hasil negatif palsu dapat terjadi hingga pada l5% kasus, bahkan bila secara klinis sangat khas untuk dermatofitosis.9,12

(7)

Gambar 3. Gambaran hifa (tanda panah biru) disertai spora (tanda panah merah) 3

2. Pemeriksaan kultur

Kultur jamur merupakan metode diagnostik yang lebih spesifik namun membutuhkan waktu yang lebih lama dan memiliki sensitivitas yang rendah, harga yang lebih mahal Pemeriksaan kultur tidak rutin dilakukan pada diagnosis dermatofitosis. Biasanya digunakan hanya pada kasus yang berat dan tidak berespon pada pengobatan sistemik. Kultur dilakukan untuk mengetahui golongan ataupun spesies dari jamur penyebab tinea kruris. Kultur perlu dilakukan untuk menentukan spesiesnya karena semua spesies dermatofita tampak identik pada sediaan langsung. Media biakan yang digunakan adalah agar dekstrosa Sabourraud yang ditambah antibiotik, contohnya kloramfenikol, dan sikloheksimid untuk menekan pertumbuhan jamur kontaminan/ saprofit (contohnya jamur non-Candida albicans, Cryptococcus, Prototheca sp., P.werneckii, Scytalidium sp., Ochroconis gallopava), disimpan pada suhu kamar 25-30oC selama tujuh hari, maksimal selama empat pekan dan dibuang jika tidak ada pertumbuhan.9,12

(8)

Tabel 1. Morfologi dan gambaran mikroskopis jamur penyebab tersering tinea kruris 2

Morfologi Koloni Gambaran

Mikroskopis

Keterangan T. rubrum

E. floccosum

T. interdigitale

Beberapa mikrokonidia berbentuk air mata, makrokonidia jarang berbentuk pensil.

Tidak ada mikrokonidia, beberapa dinding tipis dan tebal. Makrokonidia berbentuk gada.

Mikrokonidia yang bergerombol, bentuk cerutu yang jarang, terkadang hifa spiral.

Untuk menentukan spesies penyebab dilakukan identifikasi makroskopis dan mikroskopis. Secara makroskopis, tampak gambaran gross koloni dengan tekstur, topografi dan pigmentasinya, sedangkan identifikasi mikroskopi dibuat preparat dengan penambahan lactophenol cotton blue (LPCB) dan diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran objektif 40 x. Gambaran mikroskopis yang harus diperhatikan adalah morfologi hifa, pigmentasi dinding sel jamur, dan karakteristik sporulasi (makronidia dan mikronidia) (Tabel 1).2,9

3. Pemeriksaan histopatologi

Biopsi dan pemeriksaan histopatologi tidak dilakukan pada gambaran lesi yang khas. Biopsi dilakukan untuk penegakan diagnosis yang memerlukan terapi sistemik pada lesi yang luas. Dengan pewarnaan hematoksilin dan eosin, hifa akan terlihat pada stratum korneum. Pewarnaan yang paling sering digunakan adalah dengan periodic acid-Schiff (PAS), jamur akan tampak merah muda dan methenamine silver stains, jamur akan tampak coklat atau hitam.2,12

(9)

DIAGNOSIS BANDING

Gambaran klinis tinea kruris dapat menyerupai infeksi oleh Candida albicans. Namun, pada kandidosis, lebih sering ditemukan pada wanita dan lesi yang ditemukan lebih meradang dan lembab disertai sejumlah lesi satelit (makula dan pustul putih) yang berukuran kecil dan banyak.3,5

Lokasi di lipat paha, tinea kruris dapat didiagnosis banding dengan eritrasma, dermatitis seboroik, pemfigus vegetans, dan psoriasis intertriginosa. Eritrasma dapat dibedakan dari pemeriksaan penunjang menggunakan lampu Wood yang akan memberikan warna merah bata yang dihasilkan oleh bakteri Corynebacterium minutissimum. Sedangkan, pada infeksi jamur golongan dermatofita, biasanya tidak menampakkan floresensi pada pemeriksaan lampu Wood.3,10,13 Dermatitis seboroik bisa mengenai lipat paha, dan terkadang meluas hingga ke daerah lain yang banyak mengandung kelenjar sebasea, seperti dada dan ketiak. Pada pemfigus vegetans, lesi disertai maserasi dan erosi. Psoriasis intertriginosa menunjukkan gambaran skuama dan pustul pada tepi lesi. Namun, pada psoriasi intertriginosa, lesi yang khas juga dapat ditemukan di bagian tubuh lain. Biopsi dapat dilakukan untuk psoriasis dengan lesi yang kurang khas.3,5

Eritema intertrigo dan dermatitis kontak juga dapat terjadi di lipat paha. Eritema intertrigo disebabkan oleh kolonisasi bakteri di lipat paha. Biasanya ditemukan pada pasien dengan obesitas, baik perempuan maupun laki-laki. Lesi berbatas tegas dengan maserasi di bagian tengah lesi. Dermatitis kontak (alergi/iritan) yang muncul di lipat paha mungkin dapat disebabkan oleh bahan pakaian dan juga akibat pemakaian deodaran.5,11

DIAGNOSIS

Penegakan diagnosis tinea kruris ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis, tinea kruris umumnya ditandai dengan adanya keluhan gatal. Sifat keluhan dapat terjadi secara akut, namun umumnya subakut atau kronis, bahkan dapat merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup.

Gejala klinis tinea kruris yang khas adalah gatal yang meningkat saat berkeringat, dengan bentuk lesi polisiklik/bulat berbatas tegas, efloresensi polimorfik, dan tepi lebih aktif. Dari pemeriksaan penunjang, terdapatnya hifa pada sediaan mikroskopis pemeriksaan elemen jamur dengan KOH. Dan pemeriksaan metode kuktur jamur dapat dilakukan, namun membutuhkan waktu yang lama.

(10)

Penatalaksanaan tinea kruris dibagi menjadi dua, yaitu tatalaksana umum dan khusus. Tatalaksana khusus tinea kruris juga dibagi menjadi dua, yaitu tatalaksana topikal dan sistemik.

Tatalaksana Umum

Secara umum, tatalaksana tinea kruris berupa edukasi untuk mencegah infeksi berulang. Daerah yang terinfeksi dijaga agar tetap kering dan terhindar dari sumber infeksi serta mencegah pemakaian peralatan mandi bersama.4,5,10 Pengurangan keringat dan penguapan dari daerah lipat paha, seperti penggunaan pakaian yang menyerap keringat dan longgar juga penting dalam pencegahan agar daerah lipat paha tetap kering. Daerah lipat paha harus benar-benar dikeringkan setelah mandi dan diberikan bedak. Pencucian rutin pakaian, sprei, handuk yang terkontaminasi dan penurunan berat badan pada seorang dengan obesitas juga dapat dilakukan. Infeksi berulang pada tinea kruris dapat terjadi melalui proses autoinokulasi reservoir lain yang mungkin ada di tangan dan kaki (tinea pedis, tinea unguium) sehingga penting untuk dilakukan eradikasi.4,11

Tatalaksana Khusus

Untuk lesi yang ringan dan tidak luas cukup diberikan terapi topikal saja. Terapi sistemik diberikan untuk lesi yang lebih luas dan meradang, sering kambuh dan tidak sembuh dengan obat topikal yang sudah adekuat.9,10 Beberapa pilihan obat antijamur topikal dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Pilihan obat antijamur topikal1,10,11

Golongan Imidazol Golongan Alilamin Golongan Naftionat Golongan lain

mikonazol 2% klotrimazol 1% ekonazol 1% naftitin 1% terbinafin 1% butenafin 1% tolnaftat 1% tolsiklat siklopiroksolamin 1% salep Whitfield salep 2-4/3-10

(11)

isokonazol sertakonazol tiokonazol 6,5% ketokonazol 2% bifonazol oksikonazol 1% vioform 3%

Lama pengobatan tinea kruris menggunakan antijamur topikal umumnya sampai 1-2 pekan. Untuk pengobatan topikal dengan antijamur yang bersifat fungistatik, pengobatan dilanjutkan 1-2 pekan setelah lesi hilang/sembuh. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya kekambuhan sehingga pengobatan diberikan selama sekurang-kurangnya 3-4 pekan. Untuk pengobatan topikal dengan antijamur yang bersifat fungisidal, pengobatan cukup diberikan selama 1-2 pekan, tidak perlu diteruskan 1-2 pekan setelah lesi hilang/ sembuh.11,12

Sebelum dioles, daerah yang akan diolesi obat dibersihkan dan dikeringkan. Obat dioles di atas lesi menjadi satu lapisan tipis yang menutupi paling sedikit sampai 3 cm ke arah luar lesi. Obat digunakan 2 kali sehari, kecuali butenafin, terbinafin, sertakonazol hanya dioles 1 kali sehari. Hasil maksimal bila lesi dijaga tetap bersih, kering dan sejuk, misalnya dengan menggunakan celana yang tidak sempit dan menyerap keringat.11

Untuk terapi sistemik, beberapa pilihan obat antijamur yang dapat digunakan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Pilihan obat antijamur sistemik1,10,11

Golongan Sediaan dan dosis

Alilamin

- terbinafin - Bersifat fungisidal, paling efektif untuk infeksi jamur dematofita

- Sediaan: Tablet 250 mg

- Dosis: 250 mg/hari selama 2 pekan (Dewasa) - Dosis: 3-6 mg/kgBB/hari selama 2 pekan (Anak)

(12)

Imidazol - itrakonazol - flukonazol - ketokonazol Griseofulvin - Bersifat fungistatik

- Interaksi dengan obat lain cukup banyak - Sediaan: Kapsul 100 mg, solusio oral 10mg/ml - Dosis: 100 mg/hari selama 2 pekan (Dewasa) - Dosis: 5 mg/kgBB/hari selama 1 pekan (Anak) - Bersifat fungistatik

- Sediaan: Tabel 100, 150, 200 mg, suspensi oral 10 dan 40 mg/ml, injeksi 400 mg

- Dosis: 150 mg/pecan selama 4-6 pekan

- Bersifat fungistatik

- Dikonsumsi dengan makanan atau minuman bersoda - Bersifat hepatotoksik

- Sediaan: Tablet 200 mg

- Dosis: 200 mg/hari selama 10-14 hari

- Bersifat fungistatik, aktif untuk golongan dermatofita - Efek samping: sefalgia, gejala gastrointestinal, fotosensitivitas - Dikonsumsi dengan makanan berlemak

- Sediaan:

- Micronized: Tabel 250 dan 500 mg, oral suspensi 125mg/

sendok teh

- Ultramicronized: Tablet 165 dan 330 mg

- Dosis: 500 mg/hari selama 2-6 pekan (Dewasa)

- Dosis: 10-20 mg (ultramicronized)/kgBB/hari selama 6 pekan (Anak)

KESIMPULAN

Tinea kruris merupakan jamur dermatofit yang mengenai daerah inguinal, paha bagian atas, bokong, pubis, genital, dan perianal. Tinea kruris terutama disebabkan oleh E. floccosum, diikuti T. rubrum dan T. mentagrophytes. Diagnosis tinea kruris ditegakkan berdasarkan karakteistik gambaran klinis yang khas yaitu gambaran polisiklik, bagian tepi lesi tampak lebih aktif dibanding bagian tengah yang tampak seperti menyembuh (central healing) dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan elemen jamur dengan penambahan larutan KOH 10%, tampak hifa panjang, bereskat, dan bercabang, atau dengan pemeriksaan kultur.

(13)

Tinea kruris dapat didiagnosis banding dengan kandidosis, eritrasma, pemfigus vegetans, dermatitis seboroik, psoriasis intertriginosa, eritema intertrigo, dermatitis kontak alergi, dan iritan. Penatalaksanaan tinea kruris dibagi menjadi dua, yaitu umum dan khusus. Terapi umum berupa edukasi kepada pasien untuk mejaga menjaga kebersihan area lesi dan tidak lembab. Penatalalaksanaan khusus tinea kruris dibagi menjadi topikal dan sistemik. Terapi topikal dapat diberikan dengan Alilamin, Imidasol, Naftionat, ataupun golongan lain. Terapi antifungal sistemik dapat diberikan dengan pemberian griseofulvin, terbinafin, itrakonasol, ketokonasol ataupun flukonasol.

DAFTAR PUSTAKA

1. Budimulja U. Mikosis. Dalam Djuanda A, Hamzah M, dan Aisah, S, eds. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-6. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010. Hal. 89-100

2. Schieke SM, Garg A. Fungal disease: superficial fungal infection. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolf K, eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th Ed: Volume 2. New York: McGraw-Hill; 2012. p.2277-97

3. James WD, Berger TG, Elston DM, eds. Andrews’ Disease of the Skin, Clinical Dermatology. 11th Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011.

(14)

4. Sobera JO, Elewski BE. Infections, investations, and bites: fungal disease. In: Bolognia, Jean L, Jorizzo JL, Rapini RP. eds. Dermatology. 2nd Ed: Volume 1. Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier. p.1135-62

5. Hay JR, Ashbee HR. Mycology: superficial mycoses. Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, eds. In: Rook’s Textbook of Dermatology. 8th Ed: Volume 2. Australia: Blackwell Publishing. p 36.20-34

6. Budimuldja U. Mycotic diseases in Indonesia, with emphasis on skin fungal infection. Kor J Med Mycol, 4(1); 1999. Hal. 1-5

7. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Edisi Ke-2. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia; 2012.

8. Kurniati CRSP. Etiopatogenesis dermatofitosis. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, 20(3):2008, Hal 243-50

9. Mulyaningsih S. Tingkat kekambuhan tinea kruris dengan pengobatan krim ketokonasol 2% sesuai lesi klinis dibandingkan dengan sampai 3 cm di luar batas lesi klinis (Laporan Penelitian). Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro; 2004

10.Wolff K, Johnson RA. Fungal infection of the skin and hair. In: Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. 6th Ed. New York: McGraw Hill; 2009.

11.Siswati AS, Ervianti E. Tinea korporis dan tinea kruris. Dalam. Bramono, Kusmarinah, dkk. (Editor). Dermatomikosis Superfisialis. Edisi ke-2. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2013. Hal. 58-74

12.Yosella T. Diagnosis and treatment of tinea cruris. J MAJORITY, 4(2): 2015. Hal. 122-28 13.Kelly BP, Superficial fungal infections. Pediatrics in Review, 33(4): 2012. p.22-37

Gambar

Gambar 1. Plak eritematosa dan skuama pada regio inguinal yang meluas ke regio pubis  2
Gambar 2. Gambaran klinis tinea kruris disertai hiperpigmentasi 12
Gambar 3. Gambaran hifa (tanda panah biru) disertai spora (tanda panah merah)  3
Tabel 1. Morfologi dan gambaran mikroskopis jamur penyebab tersering tinea kruris  2
+2

Referensi

Dokumen terkait

Diagnosis DH ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang khas, yaitu adanya lesi kulit yang sangat gatal berupa vesikel berkelompok dengan distribusi simetris pada...

Diagnosis kandidiasis kutis umumnya dapat ditegakkan dengan adanya gejala klinis yang khas yaitu makula eritematosa, maserasi dikelilingi lesi satelit berupa papul,

%ecara klinis lesi 3I yang khas adalah skuama berbentuk lingkaran yang tersusun konsentris berlapis-lapis, sejajar, menyerupai genteng dengan eritema yang minimal

Secara klinis diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan lesi kulit khas pada bayi baru lahir yang mengikuti garis Blaschko dengan gambaran histopatologis

Onikomikosis / tinea unguium adalah infeksi pada kuku kaki yang disebabkan oleh dermatofita yang ditegakkan diagnosisnya berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis

Secara klinis diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan lesi kulit khas pada bayi baru lahir yang mengikuti garis Blaschko dengan gambaran histopatologis

Pemeriksaan KOH 10% pada rambut yang diambil pada tempat lesi dengan hasil tidak memperoleh gambaran hifa maupun spora.Pasien di diagnosis banding sebagai tinea capitis tipe grey

PENDAHULUAN Tinea imbrikata TI adalah dermatofitosis kronis-kambuhan pada kulit glabrosa, yang merupakan bentuk khas dari tinea korporis.1,2 Gambaran penyakit TI berupa plak