• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Tinea Pedis dengan Terjadinya Onikomikosis di RSUP H. Adam Malik Medan Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Antara Tinea Pedis dengan Terjadinya Onikomikosis di RSUP H. Adam Malik Medan Chapter III V"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan pendekatan potong lintang (cross sectional study).

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian 3.2.1 Waktu penelitian

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari hingga November 2016. 3.2.2 Tempat penelitian

1. Penelitian dilakukan di Divisi Mikologi SMF IKKK RSUP H. Adam Malik Medan.

2. Pemeriksaan KOH dan kultur jamur dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (FKUSU) Medan.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1 Populasi

1. Populasi target

Pasien - pasien yang diduga tinea pedis dan onikomikosis. 2. Populasi terjangkau

(2)

3.3.2 Sampel

Bagian dari populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.4.1 Kriteria inklusi:

1. Pasien diduga tinea pedis dan onikomikosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis.

2. Pasien berumur di atas 17 tahun.

3. Bersedia ikut serta dalam penelitian dengan menandatangani informed consent.

3.4.2 Kriteria eksklusi:

Sedang mendapatkan pengobatan berupa antijamur topikal dalam 1 minggu terakhir dan antijamur oral dalam 1 bulan terakhir.

3.5 Besar Sampel

Untuk menghitung besar sampel, digunakan rumus berikut. Rumus :

n = zα √2PQ + zβ √P1Q1 +P2Q2 2

P1–P2 dimana :

Zα : deviatbaku alpha, untuk α : 0,05 : 1,96 Zβ : deviatbaku beta, untuk β : 0,20 : 0,84 P2 : proporsi tinea pedis dan onikomikosis: 0,117

P1-P2 : beda proporsi yang bermakna = 0,3P1 : 0,4 P : P1 + P2 = 0,25

2

(3)

39

Q2 : (1-P2) = 0,9 Q : 1–P = 0,75 Maka :

n = 1,96√2 x0,25x0,75 + 0,84√0,4x0,6 +0,1x0,9 2

0,3 = 32

Sampel untuk penelitian ini digenapkan menjadi 40 orang.

3.6 Cara Pengambilan Sampel Penelitian

Cara pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode consecutive sampling.

3.7 Identifikasi Variabel

3.7.1 Variabel bebas : tinea pedis. 3.7.2 Variabel terikat : onikomikosis.

3.8 Definisi Operasional

1. Usia adalah usia pasien saat pertama datang dihitung dari tanggal lahir, bulan dan tahun, bila lebih dari 6 bulan, usia dibulatkan ke atas, bila kurang dari 6 bulan, usia dibulatkan ke bawah berdasarkan catatan rekam medik, yang dikelompokkan menjadi usia 17-26 tahun, 27-36 tahun, 37-46 tahun, 47-56 tahun, 57-66 tahun. Skala ukur adalah ordinal.

2. Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal yang terakhir diselesaikan oleh pasien, dikategorikan dengan tidak sekolah, SD / sederajat, SMP / sederajat, SMA / sederajat, perguruan tinggi seperti yang tercatat di rekam medik. Skala ukur adalah ordinal.

(4)

PNS/ TNI/ Polri, pegawai swasta, wiraswasta, petani, buruh, pensiunan, dan lain-lain, seperti yang tercatat dalam rekam medik. Skala ukur adalah nominal.

4. Pasien diduga tinea pedis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis bila dijumpai keluhan bercak merah dan bersisik yang gatal pada kaki, secara klinis tampak makula eritema, skuama atau maserasi pada regio interdigitalis, makula eritema, skuama, papul eritema atau vesikel/ pustula pada regio plantar pedis dan dapat mengenai dorsum pedis.

5. Tinea pedis adalah infeksi dermatofita pada kaki yang ditegakkan diagnosisnya berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis disertai dengan pemeriksaan mikroskopis KOH yang positif dengan dijumpainya hifa dan /atau artrokonidia dan kultur jamur yang positif dengan dijumpainya spesies dermatofita. Skala ukur adalah nominal.

6. Gambaran klinis tinea pedis terdiri dari 4 tipe yaitu tipe interdigitalis, hiperkeratotik kronis, vesikobulosa dan ulseratif akut atau gabungan. Skala ukur adalah nominal.

7. Pasien diduga onikomikosis adalah berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis bila dijumpai keluhan kuku kaki rusak, berubah warna, menebal dan secara klinis tampak kuku distrofik, diskolorisasi, hiperkeratosis, atau adanya debris subungual.

(5)

41

positif dengan dijumpainya spesies dermatofita. Skala ukur adalah nominal.

9. Gambaran klinis onikomikosis terdiri dari 5 tipe yaitu DLSO, SWO, PSO, EO dan TDO atau gabungan.

10. Anti jamur topikal merupakan obat-obat anti jamur yang dioleskan pada daerah lesi; obat-obat anti jamur topikal tersebut seperti golongan imidazol, allilamin, benzilamin, polien, siklopiroks olamin, tolnaftat, undecylenic aciddan lain-lain.

11. Anti jamur oral merupakan obat-obat anti jamur yang diberikan secara oral; obat-obat anti jamur oral tersebut seperti golongan allilamin, triazol, imidazol, griseofulvin dan lain-lain.

3.9 Alat, Bahan dan Cara Kerja 3.9.1 Alat dan bahan

1. Alat yang digunakan adalah kapas alkohol 70%, skalpel dengan blade no 15 steril, gunting kuku, wadah spesimen (amplop), gelas objek, gelas penutup (cover slip), piring petri steril, lampu spiritus, pipet tetes, mikroskop cahaya.

2. Bahan yang digunakan adalah kerokan kulit dan kuku, larutan KOH 10-20%, media SDA, sikloheksamid (0,5 g/l), kloramfenikol (0,05 g/l), larutanLactophenol cotton blue(LPCB).

3.9.2 Cara kerja

1. Pencatatan data dasar

(6)

seperti nama, jenis kelamin, tempat/tanggal lahir, pendidikan, pekerjaan, alamat dan nomor telepon.

2. Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan dermatologis. 3. Pengambilan spesimen kulit kaki dilakukan dengan cara:

a. Spesimen diambil dari tempat lesi.

b. Daerah tersebut terlebih dahulu dibersihkan dengan kapas alkohol 70% dan ditunggu kering.

c. Dilakukan kerokan dengan bagian tumpul dari skalpel.

d. Spesimen dimasukkan ke dalam 2 wadah spesimen (amplop) dan diberi label identitas pasien.

4. Pengambilan spesimen kuku dilakukan dengan cara: a. Spesimen diambil dari kuku yang diduga terinfeksi.

b. Sela-sela jari dan telapak kaki kuku jari kaki dibersihkan dengan kapas alkohol 70%, jika kuku sangat kotor terlebih dahulu dicuci dengan sabun dan air.

c. Spesimen diambil dari kuku yang digunting dan kerokan dari nail bed. Bila perlu dengan mengerok kuku bagian proksimal.

d. Spesimen dikumpulkan dalam 2 wadah spesimen (amplop) dan diberi label identitas pasien.

(7)

43

6. Pemeriksaan mikroskopis dengan KOH:

a. Spesimen diambil secukupnya kemudian diletakkan di atas gelas objek dan ditetesi dengan larutan KOH 10% untuk kerokan kulit dan larutan KOH 20% untuk kerokan kuku dan ditutup dengan gelas penutup (coverslip).

b. Sediaan dibiarkan selama 5 menit untuk kerokan kulit, 30 menit untuk kerokan kuku dan 1-2 jam untuk potongan kuku.

c. Sediaan diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 10 x 40 untuk melihat ada tidaknya hifa dan artrokonidia.

7. Bila hasil pemeriksaan mikroskopis langsung dijumpai hifa dan / atau artrokonidia, pemeriksaan dilanjutkan dengan kultur jamur.

8. Pemeriksaan kultur jamur

Spesimen dihapuskan pada permukaan media SDA yang ditambahkan sikloheksamid (0,5 g/l) dan kloramfenikol (0,05 g/l), kemudian diinkubasi pada temperatur ruangan (26 oC). Pengamatan dilakukan

(8)

melekat kuat pada selotip kemudian selotip dilekatkan di atas gelas objek yang telah ditetesi satu tetes LPCB dan dilihat dengan mikroskop cahaya pembesaran 10x40, diamati hifa dan konidia (makrokonidia dan mikrokonidia). Hasil pemeriksaan positif bila dijumpai spesies dermatofita.

9. Interpretasi hasil dilakukan oleh konsultan mikrobiologi bersama dengan peneliti.

(9)

45

3.10 Kerangka Operasional

Gambar 3.1 Diagram kerangka operasional KOH

Pasien diduga tinea pedis dan onikomikosis yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi

Kultur jamur

Spesimen kuku Spesimen kerokan kulit kaki

Onikomikosis (-) Sampel penelitian

(+) (-)

Tinea pedis (-)

Analisischi square

(-) (+)

KOH

(+) (-)

Kultur jamur

(- ) (+)

(10)

3.11 Pengolahan dan Analisis Data

Data yang terhimpun ditabulasi dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. Analisis statistik diolah dengan memakai sistem komputer. Untuk menilai hubungan antara tinea pedis dan onikomikosis dilakukan uji statistik chi square, bila syarat uji chi square tidak terpenuhi maka digunakan uji alternatif yaitu uji Fisher. Syarat uji chi square adalah jumlah sel yang mempunyai nilai expected kurang dari 5, maksimal sebanyak 20% dari jumlah sel yang ada.

3.12 Ethical Clearance

(11)

BAB 4

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Februari hingga November 2016 di SMF IKKK RSUP H.Adam Malik Medan yang melibatkan subjek penelitian sebanyak 40 orang. Seluruh subjek penelitian menjalani anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan dermatologis, selanjutnya dilakukan kerokan kulit dari lesi di kaki dan kuku kemudian dilakukan pemeriksaan laboratorium yaitu pemeriksaan KOH dan kultur jamur di Laboratorium Mikrobiologi FK USU Medan.

4.1 Karakteristik Subjek Penelitian

Karakteristik subjek penelitian ditampilkan berdasarkan distribusi jenis kelamin, kelompok usia, pendidikan dan pekerjaan.

4.1.1 Jenis kelamin

Tabel 4.1 Distribusi subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin

Jenis kelamin n %

Perempuan Laki-laki

26 14

65,0 35,0

Total 40 100,0

Berdasarkan tabel 4.1, dapat dilihat bahwa sebagian besar subjek penelitian adalah perempuan yaitu sebanyak 26 orang ( 65%).

(12)

retrospektif yang dilakukan oleh Harahap di SMF IKKK RSUP H.Adam Malik Medan tahun 2009 – 2012 diketahui perempuan lebih banyak menderita tinea pedis (4,8%) daripada laki-laki (3,1%), demikian juga pada tinea unguium perempuan lebih banyak (2,7%) daripada laki-laki (1,2%) dari seluruh infeksi jamur superfisial.7 Penelitian retrospektif oleh Gaya et al di Poliklinik IKKK

RSUP Dr.M.Djamil Padang dari Januari 2013 hingga Juli 2016 juga menjumpai perempuan lebih banyak (66%) daripada laki-laki (34%) dari 52 kasus onikomikosis.44Penelitian oleh Bramono et al menjumpai perempuan lebih banyak

menderita onikomikosis daripada laki-laki dengan rasio 1,5:1 sampai 2:1 yang diperoleh dari tiga studi pada tahun 1998 dan tahun 2003 di Indonesia. Hal ini disebutkan karena sebagian besar subjek adalah ibu rumah tangga yang mengerjakan pekerjaan basah seperti mencuci pakaian dan membersihkan rumah dimana pekerjaan basah dan trauma berulang diketahui menjadi salah satu faktor predisposisi terjadinya onikomikosis.11

Pada penelitian ini subjek dengan dugaan tinea pedis dan onikomikosis paling banyak berjenis kelamin perempuan, kemungkinan hal ini berhubungan dengan perempuan lebih perhatian terhadap masalah kesehatan dan penampilan diri, sehingga lebih cepat memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan. Hal yang sama dijumpai oleh Tao-Xiang et al di Lanzhou China dimana tinea pedis dan onikomikosis lebih banyak pada perempuan yang menurut peneliti mungkin disebabkan perempuan lebih perhatian terhadap masalah kosmetik dan kualitas hidup.45 Azambuja et al di Rio Grande Brazil yang meneliti onikomikosis pada

(13)

49

Universitas Rio Grande dari Januari 2011 sampai Juni 2012 juga menjumpai kasus

onikomikosis lebih banyak pada perempuan (72,9%) daripada laki-laki (27,1%).46

Beberapa penelitian di atas menunjukkan perempuan lebih banyak menderita

tinea pedis maupun onikomikosis, namun beberapa penelitian lain menunjukkan

hal yang berbeda seperti pada penelitian oleh Ungpakorn et al di Thailand

mendapatkan rasio laki-laki dengan perempuan menderita tinea pedis adalah 3:1,

sedangkan pada onikomikosis rasio laki-laki dibanding perempuan adalah 2:1.47

Demikian juga Tan di The National Skin Centre Singapura menjumpai laki-laki sedikit lebih banyak daripada perempuan menderita onikomikosis.48

Ghannoum et al yang melakukan penelitian multisenter onikomikosis di

Amerika Utara dari Juni 1997 hingga Mei 1998 menjumpai subjek laki-laki dua

kali lebih besar mengalami onikomikosis daripada subjek perempuan (58% adalah

laki-laki, OR 2,26, 95%CI 1,4-3,5).41 Perea et al yang meneliti prevalensi dan

faktor risiko tinea pedis dan tinea unguium pada populasi umum di Spanyol pada

tahun 1997 juga mendapatkan risiko pasien menderita tinea pedis dan tinea

unguium lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan.49 Demikian juga

Szepietowski et al yang melakukan penelitian prospektif di Polandia antara

September 2004 hingga April 2005 menemukan ko-eksistensi onikomikosis dan

tinea pedis lebih banyak pada laki-laki.16 Tinea pedis dan onikomikosis lebih

sering dijumpai pada laki-laki daripada perempuan, kemungkinan disebabkan pada

laki-laki aktivitas lebih tinggi, lebih sering memakai sepatu tertutup, lebih terpapar

(14)

4.1.2 Kelompok usia

Tabel 4.2 Distribusi subjek penelitian berdasarkan kelompok usia

Usia n %

Tabel 4.2 menunjukkan dari total 40 subjek penelitian, paling banyak berada

pada kelompok usia 37–46 tahun yaitu sebanyak 14 orang (35%) diikuti dengan

usia 47–56 tahun sebanyak 13 orang (32,5%). Rerata usia subjek adalah 45 tahun

dan usia paling rendah adalah 18 tahun, sedangkan usia paling tinggi adalah 66

tahun.

Lubis di RSUP H.Adam Malik Medan yang meneliti tentang onikomikosis

menjumpai subjek dengan onikomikosis paling banyak pada usia 16–25 tahun

(22,9%) dan usia 56–65 tahun (22,9%).40

Harahap melaporkan antara tahun 2009–2012 di RSUP H.Adam Malik Medan

yang terbanyak menderita tinea pedis adalah pada usia dewasa (18–45 tahun)

diikuti dengan usia lansia (>45 tahun) yaitu 3,7% dan 3,5%, demikian juga

onikomikosis paling banyak pada usia dewasa (18–45 tahun) diikuti dengan lansia

(>45 tahun) yaitu 1,9% dan 1,5% dari seluruh dermatomikosis.7 Penelitian oleh

Bramono et al menjumpai insidensi onikomikosis tertinggi pada kelompok usia

25-45/50 tahun.12

Penelitian oleh Tao-Xiang et al di Lanzhou China menjumpai prevalensi tinea

(15)

51

Tunisia mendapatkan prevalensi paling tinggi mikosis pada kaki adalah pada usia

50–59 tahun, yaitu 76 %.50

Perea et al yang meneliti prevalensi dan faktor risiko tinea pedis dan tinea

unguium pada populasi umum di Spanyol mendapatkan usia tidak menjadi faktor

risiko untuk tinea pedis, tetapi secara signifikan risiko meningkat dengan

bertambahnya usia pada tinea unguium.49

Pierard melaporkan dari survey 90.085 subjek dari 16 negara di Eropa

diketahui meningkatnya umur menunjukkan efek signifikan terhadap insidensi

tinea pedis atau onikomikosis. Insidensi tinea pedis yang disertai onikomikosis

juga meningkat dengan bertambahnya umur, dengan 25,7% individu usia tua

mempunyai kedua tipe infeksi.51

Pada penelitian ini, subjek paling banyak berada pada kelompok usia 37–46

tahun (35%) yang menunjukkan usia aktif bekerja. Prevalensi tinea pedis dan

onikomikosis paling tinggi pada usia dewasa dan terutama pada onikomikosis

prevalensi meningkat pada usia tua. Hal ini mungkin dapat dijelaskan bahwa

kelompok usia ini terutama aktif dalam bekerja sehingga lebih terpapar dengan

trauma, keringat, keadaan lembab dan panas.44

4.1.3 Tingkat pendidikan

Tabel 4.3 Distribusi subjek penelitian berdasarkan tingkat pendidikan

(16)

Tabel 4.3 menunjukkan subjek dijumpai pada seluruh tingkat pendidikan mulai

dari tamat SD sampai tamat perguruan tinggi dimana yang terbanyak dijumpai

adalah tamat SMP sebesar 40% diikuti dengan tamat SD sebesar 27,5%.

Szepietowski et al yang meneliti faktor- faktor yang mempengaruhi

ko-eksistensi onikomikosis dan tinea pedis menyatakan tingkat pendidikan yang

rendah secara signifikan mempengaruhi terjadinya tinea pedis dan onikomikosis

dimana dijumpai persentase yang lebih tinggi pada pasien dengan tingkat

pendidikan yang lebih rendah (tingkat SD 42,9%, SMA 33,4%, perguruan tinggi

30,9%).16

4.1.4 Pekerjaan

Tabel 4.4 Distribusi subjek penelitian berdasarkan pekerjaan

Pekerjaan n %

Tabel 4.4 menunjukkan pekerjaan subjek bervariasi terdiri dari PNS, pegawai

swasta, pensiunan, wiraswasta, buruh, petani, pembantu rumah tangga, ibu rumah

(17)

53

banyak adalah pembantu rumah tangga yaitu sebanyak 9 orang (22,5%), diikuti

dengan ibu rumah tangga sebanyak 7 orang (17,5%) dan petani sebanyak 6 orang

(15%).

Penelitian oleh Lubis menjumpai pekerjaan pasien onikomikosis yang paling

banyak adalah ibu rumah tangga (25,7%), diikuti dengan mahasiswa dan buruh

kebun masing masing 22,9%.40 Penelitian oleh Jamaliyah mendapatkan proporsi

tinea pedis dan onikomikosis sebesar 11,1% pada pekerja pabrik tahu di Medan.52

Sahin et al meneliti tentang dermatofitosis pada petani di Turki dan

menemukan proporsi tinea pedis pada 23 orang petani dari 467 orang penduduk

pedesaan (19,4%) dan onikomikosis pada 21 orang petani (17,7%).53 Penelitian El

Fekih et al di Tunisia mendapatkan prevalensi mikosis pada kaki tertinggi pada

pekerja manual sebesar 70,8% dan pensiunan sebesar 71,4%.50 Perea et al di

Spanyol menjumpai pekerjaan (pekerja kerah putih versus pekerja kategori

lainnya) berhubungan dengan risiko tinea pedis yang lebih tinggi pada analisis

univariat (p=0,02), namun pada tinea unguium, tidak didapat hubungan pekerjaan

dengan penyakit (p=0,08).49

Subjek penelitian ini paling banyak adalah pembantu rumah tangga dan ibu

rumah tangga, yang dalam pekerjaannya ataupun kegiatannya sehari-hari selalu

terpapar dengan air dalam waktu lama sehingga berisiko untuk terinfeksi jamur

karena keadaan lembab atau basah akan memudahkan masuknya jamur.2,5

Demikian juga kelompok pekerja lainnya dalam penelitian ini berisiko untuk

menderita tinea pedis dan onikomikosis karena kemungkinan keterpaparan

(18)

4.2 Hasil Pemeriksaan KOH

Tabel 4.5 Distribusi hasil pemeriksaan KOH dari kerokan kaki dan kuku

KOH Kaki Kuku

n % n %

+ 37 92,5 35 87,5

- 3 7,5 5 12,5

Total 40 100,0 40 100,0

Pada subjek yang secara klinis diduga menderita tinea pedis dan onikomikosis,

dilakukan pemeriksaan KOH dari spesimen kerokan kaki dan kuku kaki. Hasil

pemeriksaan KOH dikatakan positif bila dijumpai hifa dan / atau artrokonidia.

Tabel 4.5 menunjukkan dari 40 spesimen kerokan kaki diperoleh hasil

pemeriksaan KOH positif pada 37 spesimen (92,5%), sedangkan dari 40 spesimen

kuku diperoleh hasil pemeriksaan KOH positif pada 35 spesimen (87,5%). Hal ini

tidak jauh berbeda dengan penelitian oleh Tarigan pada siswa pendidikan militer

di Sumatera Utara yang mendapatkan hasil pemeriksaan KOH positif pada 96

orang dari 110 siswa dengan klinis tinea pedis (87,27%).6

Pada penelitian El Fekih et al di Tunisia dari 71 subjek dengan infeksi jamur

pada kaki didapatkan hasil pemeriksaan KOH positif sebesar 88,7%.50 Azambuja

et al di Rio Grande Brazil menjumpai hasil pemeriksaan KOH positif sebesar 58%

dari 100 kasus yang diduga onikomikosis.46

Hasil negatif palsu pada pemeriksaan mikroskopis langsung dengan KOH

dilaporkan sebesar 5-15% dimana pemeriksaan ini sangat tergantung pada

(19)

55

4.3 Hasil Pemeriksaan Kultur Jamur

4.3.1 Hasil pemeriksaan kultur jamur dari spesimen kerokan kaki

Tabel 4.6 Distribusi spesies dermatofita,yeast danmoldnondermatofita dari hasil kultur spesimen kerokan kulit kaki

Jamur n %

Pada hasil pemeriksaan KOH yang positif, dilanjutkan dengan pemeriksaan

kultur jamur. Tabel 4.6 menunjukkan dari total 37 spesimen kerokan kulit kaki

yang dilakukan pemeriksaan kultur jamur, tumbuh dermatofita pada 22 spesimen

(59,5%), yeast pada 11 spesimen (29,7%) dan mold nondermatofita pada 4 spesimen (10,8%). Spesies dermatofita yang paling banyak didapat adalah

(20)

4.3.2 Hasil pemeriksaan kultur jamur dari spesimen kuku

Tabel 4.7 Distribusi spesies dermatofita,yeast danmoldnondermatofita dari hasil kultur spesimen kuku

Jamur n %

Pemeriksaan kultur jamur dilakukan jika hasil pemeriksaan KOH dari kerokan

kuku dijumpai positif. Tabel 4.7 menunjukkan dari 35 spesimen kuku yang

dilakukan pemeriksaan kultur jamur, tumbuh dermatofita pada 18 spesimen

(51,4%), mold nondermatofita pada 10 spesimen (28,6%), yeast pada 7 spesimen (20%). Di antara dermatofita,T. mentagrophytesadalah spesies yang paling banyak dijumpai yaitu pada 10 spesimen (28,6%), diikuti dengan T.rubrum pada 8 spesimen (22,9%).

Jamur penyebab onikomikosis dapat berasal dari golongan dermatofita, yeast ataupun mold nondermatofita,2-4,8 namun penelitian ini mengkhususkan pada onikomikosis yang disebabkan oleh dermatofita sebagai kasus onikomikosis

(21)

57

4.4 Diagnosis Tinea Pedis dan Onikomikosis

Tabel 4.8 Distribusi tinea pedis dan onikomikosis

Diagnosis n %

Tinea pedis + kelainan kuku lainnya

Onikomikosis + kelainan kulit kaki lainnya

Tinea Pedis + Onikomikosis

Lainnya (bukan tinea pedis + onikomikosis)

10

Tabel 4.8 menunjukkan dari 40 kasus yang secara klinis diduga tinea pedis dan

onikomikosis, setelah dilakukan pemeriksaan KOH dan kultur jamur, ditegakkan

diagnosis tinea pedis disertai onikomikosis pada 12 kasus (30%).

Diagnosis tinea pedis pada penelitian ini ditegakkan berdasarkan gambaran

klinis, pemeriksaan KOH yang positif (dijumpai hifa dan / atau artrokonidia) dan

kultur jamur dijumpai spesies dermatofita. Pada penelitian ini hasil pemeriksaan

KOH dari 40 spesimen kerokan kulit kaki dijumpai 37 spesimen dengan KOH

positif, selanjutnya dari 37 spesimen yang dilakukan kultur, tumbuh dermatofita

pada 22 spesimen sehingga diagnosis pasti tinea pedis ditegakkan pada 22 kasus

(55%), dimana pada 12 kasus (30%) disertai dengan onikomikosis, sedangkan

pada 10 kasus lainnya (25%) tinea pedis tidak disertai onikomikosis.

Diagnosis onikomikosis / tinea unguium ditegakkan berdasarkan gambaran

klinis, pemeriksaan KOH yang positif dijumpai hifa dan / atau artrokonidia dan

kultur jamur dijumpai spesies dermatofita. Pada penelitian ini pemeriksaan KOH

dari 40 spesimen kuku kaki dijumpai 35 spesimen yang hasil KOH nya positif dan

dari kultur jamur dijumpai spesies dermatofita pada 18 spesimen sehingga

(22)

dimana pada 12 kasus (30%) disertai tinea pedis, sedangkan pada 6 kasus lainnya

(15%) onikomikosis tidak disertai tinea pedis.

Pemeriksaan klinis saja tidak cukup untuk menegakkan diagnosis

dermatofitosis khususnya tinea pedis dan onikomikosis, diperlukan konfirmasi

dengan pemeriksaan laboratorium seperti KOH dan kultur jamur untuk

memperoleh diagnosis yang tepat.2,12-14

Pada penelitian ini penentuan kasus tinea pedis dan onikomikosis sangat ketat

yaitu berdasarkan klinis, KOH dan kultur yang positif dermatofita dengan tujuan

untuk mencari hubungan antara tinea pedis dan onikomikosis dengan penyebab

dermatofita. Sebagai konsekuensinya, kasus-kasus dengan hasil kultur golongan

yeast dan mold nondermatofita tidak dimasukkan sebagai kasus tinea pedis dan onikomikosis, meskipun hasil pemeriksaan KOH dijumpai positif.

Penelitian ini menjumpai dari 40 orang subjek dengan dugaan tinea pedis dan

onikomikosis, terdapat 30% (12/40) subjek menderita tinea pedis disertai

onikomikosis. Hal ini dapat dibandingkan dengan beberapa penelitian

epidemiologi lainnya di seluruh dunia yang meneliti tinea pedis dan onikomikosis

dengan populasi yang berbeda. Szepietowski et al di Polandia mendapatkan

koeksistensi tinea pedis dan onikomikosis kuku kaki pada 933 pasien (33,8%) dari

2761 pasien dengan onikomikosis.16 Pada survei berbasis populasi besar yang

dilaksanakan pada 16 kota di Eropa, dari 90.085 subjek yang terlibat, dilaporkan

4110 pasien dengan kultur positif dimana onikomikosis dijumpai 78,3%, tinea

pedis 43,0% dan tinea pedis disertai onikomikosis dijumpai 21,3%.51 Pada

penelitian oleh El Fekih et al di Tunisia dijumpai tinea pedis berhubungan dengan

(23)

59

Namun Purim et al di Brazil yang meneliti infeksi jamur pada kaki pemain bola

dan non atlet mendapatkan tinea pedis disertai onikomikosis hanya dijumpai pada

sedikit kasus (14,7%).57 Demikian juga penelitian oleh Erbagci et al pada 410

orang siswa laki-laki di sekolah berasrama di Turki menjumpai kasus tinea pedis

cukup banyak yaitu pada 211 orang subjek (51,5%), namun hanya 30 orang subjek

(7,3%) dijumpai tinea pedis dan onikomikosis bersamaan.54 Ungpakorn et al di

Thailand menjumpai dari 2000 orang subjek yang datang berkunjung ke klinik

Dermatologi Bangkok dipilih secara acak dan didapatkan prevalensi tinea pedis

sebesar 3,8%, onikomikosis sebesar 1.7% dan tinea pedis bersama dengan

onikomikosis sebesar 0.5%.47

4.5 Gambaran Klinis Tinea Pedis dan Onikomikosis

4.5.1 Gambaran klinis tinea pedis

Tabel 4.9 Distribusi tinea pedis berdasarkan tipe klinis

Diagnosis Tipe klinis tinea pedis Total (%)

Interdigitalis

pedis yang disertai onikomikosis maupun pada kelompok yang disertai kelainan

kuku lainnya, tipe klinis yang paling banyak dijumpai adalah tipe interdigitalis

(24)

campuran interdigitalis dan vesikobulosa dan tipe campuran interdigitalis dan

hiperkeratotik masing-masing pada satu kasus (4,5%).

Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Tarigan pada tahun 2009

yang menjumpai tinea pedis tipe interdigitalis yang paling banyak pada siswa

militer di Sumatera Utara yaitu pada 60 orang dari 77 orang (78,3%) yang hasil

kulturnya positif.7 Hal yang sama pada penelitian Erbagci et al di sekolah

berasrama di Turki yang melaporkan tipe interdigitalis adalah tipe klinis yang

paling banyak dijumpai yaitu sebanyak 160 orang dari 171 orang subjek dengan

tinea pedis, selain itu juga dijumpai tipe mokasin dan vesikobulosa.54 Tan di

Singapura menjumpai tinea pedis tipe kering dan mokasin yang paling sering

dijumpai diikuti dengan tipe vesikular.48 Hal yang berbeda dijumpai pada

penelitian oleh Ungpakorn et al di Thailand yang melaporkan tinea pedis pada

telapak kaki 5,5 kali lebih sering daripada sela jari kaki pada pasien rawat jalan

yang berkunjung ke Institusi Dermatologi Bangkok.47 Penelitian lain, Perea et al

yang meneliti prevalensi dan faktor risiko tinea pedis dan tinea unguium pada

populasi umum di Spanyol menjumpai dari 1000 orang subjek sehat terdapat 29

kasus tinea pedis dimana 55% adalah tinea pedis asimtomatis (occult tinea pedis) dan 45% adalah tipe interdigitalis dan mokasin.49

Tipe interdigitalis dan hiperkeratotik / mokasin adalah tipe tinea pedis yang

paling umum dijumpai. Tinea pedis interdigitalis dicirikan dengan kulit yang

terkelupas, maserasi dan fisura yang mengenai sela jari kaki lateral dan

kadang-kadang menyebar dan melibatkan permukaan bawah jari kaki. Tipe hiperkeratotik

/ mokasin bersifat kronik dan resisten terhadap pengobatan, mengenai telapak

(25)

61

dan ditutupi skuama putih perak halus, sedangkan permukaan dorsal jari kaki dan

kaki jarang terkena.3 Tipe vesikobulosa dan tipe ulseratif lebih sedikit dijumpai.

Reaksi adakalanya meluas ke seluruh telapak kaki yang mungkin didahului

dengan maserasi atau fisura pada sela jari kaki berbulan atau bertahun

sebelumnya. Vesikel dapat menjadi pustul dan ketika ruptur cenderung

meninggalkan kolaret dari skuama bercampur dengan kulit normal atau

menunjukkan skuama dan inflamasi dengan derajat bervariasi. Tipe ini sering

menyembuh spontan, tetapi cenderung untuk kambuh pada musim panas dan

kondisi lembab dan panas.3 Gambaran klinis yang melibatkan beberapa tipe ini

dapat juga dijumpai.2

4.5.2 Gambaran klinis onikomikosis

Tabel 4.10 Distribusi onikomikosis berdasarkan tipe klinis

Diagnosis Tipe klinis Onikomikosis Total (%)

DLSO (%) DLSO +TDO (%)

Onikomikosis + kelainan kulit kaki lainnya

4 (22,2) 2 (11,1) 6 (33,3)

Tinea pedis + Onikomikosis

11 (61,1) 1(5,6) 12 (66,7)

Total 15(83,3) 3(16,7) 18 (100,0)

Tabel 4.10 menunjukkan dari 18 kasus onikomikosis baik pada kelompok

onikomikosis yang disertai tinea pedis maupun dengan kelainan kulit kaki lainnya,

tipe klinis yang paling banyak dijumpai adalah tipe DLSO yaitu pada 15 kasus

(83,3%) terdiri dari 11 kasus (61,1%) pada kelompok onikomikosis disertai tinea

(26)

tipe campuran DLSO disertai TDO pada tiga kasus (16,7%) dimana satu kasus

(5,6%) pada kelompok onikomikosis yang disertai tinea pedis.

Hal yang berbeda dilaporkan oleh Lubis di RSUP H.Adam Malik Medan

yang menjumpai gambaran klinis onikomikosis yang terbanyak adalah

onikomikosis Candida (40%), diikuti dengan DLSO (31,4%) dan TDO (28,5%) dari 35 orang subjek,40 sedangkan Gaya et al di Poliklinik IKKK RSUP

Dr.M.Djamil Padang melaporkan tipe yang paling sering dijumpai adalah tipe

DLSO (61%), berikutnya adalah tipe PSO (25%) dan tipe WSO (13%) dari 52

kasus onikomikosis.44

Chi et al di Taiwan juga menjumpai tipe DLSO adalah tipe onikomikosis yang

paling sering yaitu 80,4% dari 286 pasien, berikutnya tipe TDO (13,6%) dan tipe

DLSO disertai TDO (2,1%).55 Sabadin et al yang meneliti onikomikosis dan tinea

pedis pada atlet di Brazil menjumpai tipe klinis onikomikosis yang paling banyak

adalah tipe DLSO yaitu 89,5% pada atlet dan 100% pada non atlet.23Azambuja et

al meneliti onikomikosis pada pasien klinik dermatologi privat dan klinik rawat

jalan Dermatologi RS Universitas Rio Grande Brazil dan menjumpai tipe

onikomikosis yang paling sering adalah DLSO (44,1%), berikutnya tipe TDO

(25,4%), SWO (5,1%) dan tipe campuran TDO disertai DLSO atau tipe lainnya

(25,4%) dari 59 pasien.46 Perea et al di Spanyol menjumpai 15 subjek dengan

DLSO, 13 subjek dengan TDO dari 28 subjek dengan tinea unguium dari 1000

orang subjek sehat.49

Dari beberapa penelitian di atas dapat diketahui tipe DLSO adalah tipe klinis

onikomikosis yang paling umum dijumpai di seluruh dunia. Selain itu juga dapat

(27)

63

Pada penelitian ini yang paling banyak dijumpai adalah tipe DLSO,

berikutnya adalah tipe campuran TDO dan DLSO, sedangkan tipe SWO, PSO dan

endonyxtidak dijumpai pada penelitian ini.

Tipe DLSO dimulai dengan invasi jamur infeksius pada stratum korneum dari

hiponikium dan dasar kuku bagian distal, membuat warna keputih-putihan sampai

kuning kecoklatan pada pinggir distal kuku. Infeksi kemudian meluas secara

proksimal naik dari dasar kuku ke lempeng kuku bagian ventral. Hiperproliferasi

pada dasar kuku sebagai respons terhadap infeksi menyebabkan hiperkeratosis

subungual, sementara invasi progresif pada lempeng kuku menyebabkan kuku

distrofik.2 Tipe TDO menunjukkan tahap akhir penyakit kuku yang dapat

disebabkan oleh keempat tipe onikomikosis dimana seluruh lempeng kuku dan

dasar kuku terlibat sehingga kuku menjadi tebal dan distrofik.3,13

4.5.3 Gambaran klinis tinea pedis disertai onikomikosis

Tabel 4.11 Distribusi tinea pedis disertai onikomikosis berdasarkan tipe klinis

Tipe klinis tinea pedis

Tipe klinis onikomikosis Total (%)

DLSO (%) DLSO +TDO (%)

Interdigitalis (%) 9 (75,0) 1 (8,3) 10(83,3)

Interdigitalis +

Tabel 4.11 menunjukkan dari 12 kasus tinea pedis disertai onikomikosis, tipe

klinis yang paling banyak dijumpai adalah tinea pedis tipe interdigitalis disertai

(28)

oleh Szepietowski et al di Polandia yang menjumpai koeksistensi tinea pedis dan

onikomikosis kuku kaki pada 933 pasien (33,8%) dengan tinea pedis tipe

interdigitalis yang paling banyak dijumpai yaitu 65,4%, diikuti dengan

dishidrotik, hiperkeratotik, interdigitalis dan dishidrotik, interdigitalis dan

hiperkeratotik.16 Penelitian lain, Perea et al yang meneliti prevalensi dan faktor

risiko tinea pedis dan tinea unguium pada populasi umum di Spanyol menjumpai

dari 1000 orang subjek sehat dijumpai 11 subjek dengan tinea unguium

bersama-sama dengan tinea pedis dimana tipe klinis paling banyak adalah onikomikosis

tipe DLSO dan tinea pedis asimtomatis.49

4.6 Spesies Dermatofita Penyebab Tinea Pedis dan Onikomikosis

Tabel 4.12 Distribusi spesies dermatofita penyebab tinea pedis dan onikomikosis

Spesies Tinea pedis (%) Onikomikosis (%)

T. rubrum

Total 22 (100) 18 (100)

Tabel 4.12 menunjukkan dari 22 spesimen kerokan kulit kaki dengan hasil

kultur positif dermatofita, T. mentagrophytes adalah spesies penyebab tinea pedis yang paling banyak dijumpai yaitu pada 14 kasus (63,7%), diikuti dengan

T.rubrum pada 6 kasus (27,3%), selain itu juga dijumpai T.violaceum dan E.floccosum masing-masing pada 1 kasus (4,5%). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian oleh Tarigan di Sumatera Utara yang melaporkan

(29)

65

pedis yaitu sebanyak 69 spesimen (89,6%) dari 77 spesimen dengan kultur positif,

diikuti denganE.floccosumsebanyak 5 spesimen (6,5%) dan T.rubrumsebanyak 3 spesimen (3,9%).6

Tan yang melakukan penelitian retrospektif di Singapura melaporkan tinea

pedis merupakan dermatofitosis yang paling umum dijumpai dimanaT.interdigitale adalah penyebab yang paling sering diikuti dengan T.rubrum.48 Hal yang berbeda pada penelitian Ungpakorn et al di Thailand yang menemukanmoldnondermatofita Scytalidium dimidiatum (S. dimidiatum) adalah penyebab terbanyak tinea pedis (54%), diikuti dengan dermatofita (36,8%) terdiri dari T.mentagrophytes (18,4%), T.rubrum (13,2%) dan E.floccosum (5,2%).47 Tao-Xiang et al melaporkan tinea pedis adalah dermatomikosis yang paling sering dijumpai di Lanzhou China

dengan T.rubrum (41,5%) dan T.mentagrophytes (35,6%) adalah penyebab yang paling sering dijumpai.45 Penelitian El Fekih et al di Tunisia mendapatkan T. rubrum sebagai penyebab utama tinea pedis (61,9%) diikuti dengan yeast (28,5%).50 Djeridane et al di Algeria menjumpai dari 197 kasus tinea pedis,

golongan yeast adalah yang paling sering didapat (50,8%), berikutnya dermatofita (36,5%), campuran yeastdan dermatofita (7,1%) dan mold nondermatofita (5,6%). Diantara golongan dermatofita yang paling sering dijumpai adalah T. rubrum, diikuti denganT. interdigitale,T.violaceum,T. mentagrophytesdanE. floccosum.56 Perea et al di Spanyol menjumpai dermatofita penyebab tinea pedis yang paling

sering adalah T.rubrum, diikuti dengan T.mentagrophytes var interdigitale, T.mentagrophytes var granulosum,E.floccosumdanT.tonsurans.49Szepietowski et al di Polandia menjumpai pada tinea pedis yang disertai onikomikosis kuku kaki,

(30)

paling dominan, berikutnya adalah T.mentagrophytes. Selain itu juga dijumpai yeast, mold dan kultur gabungan.16 Hal yang berbeda dijumpai di Palestina, Ali-Shtayeh et al menjumpai penyebab utama tinea pedis adalah M.canis yaitu 23 dari 38 kasus, berikutnya adalahT.rubrumpada 15 kasus tinea pedis.57

Secara umum spesies dermatofita yang dijumpai pada penelitian ini tidak jauh

berbeda dengan penelitian - penelitian lainnya, namun distribusi spesies

dermatofita penyebab tinea pedis di seluruh dunia menunjukkan T.rubrum secara umum lebih dominan diikuti denganT. interdigitaledanE. floccosum.20

Tabel 4.12 juga menunjukkan dari 18 spesimen kuku dengan hasil kultur

positif dermatofita, T.mentagrophytes adalah spesies dermatofita penyebab yang paling banyak dijumpai pada onikomikosis yaitu pada 10 spesimen (55,6%),

diikuti dengan T.rubrum pada 8 spesimen (44,4%). Hasil penelitian ini berbeda dengan beberapa penelitian lainnya di Indonesia. Lubis yang meneliti tentang

onikomikosis di RSUP H.Adam Malik Medan pada tahun 2014 mendapatkan C. albicans yang paling banyak tumbuh yaitu pada 15 kasus dari 35 kasus (42,8%), sementara dermatofita yang tumbuh adalah E.floccosumdan T.tonsurans masing-masing pada satu kasus (2,9%).40 Penelitian Bramono et al juga menjumpai

Candida adalah penyebab utama onikomikosis di Indonesia.11 Penelitian oleh Gaya et al di Poliklinik IKKK RSUP Dr.M.Djamil Padang, dari 52 kasus

onikomikosis, organisme penyebab yang paling sering adalah Candida sp (57%), Aspergillus sp(11%) danT.rubrum (9%).44

Penelitian di negara-negara lain menunjukkan spektrum jamur patogen pada

(31)

67

mold nondermatofita (5,6%).48 Chi et al di Taiwan mendapatkan dari total 375 pasien dengan onikomikosis yang diteliti, patogen onikomikosis adalah dermatofita

pada 227 pasien (60,5%), Candida pada 118 pasien (31,5%) dan mold nondermatofita pada 30 pasien (8%) dengan Trichophyton sp yang paling banyak dijumpai yaitu pada 105 pasien.55 Tao-Xiang et al di Lanzhou China melaporkan

T.rubrum (49,2%) dan Candida sp (22%) adalah spesies yang paling sering dijumpai pada kasus onikomikosis.45Hal yang berbeda dilaporkan oleh Ungpakorn

et al di Thailand yang menemukan mold nondermatofita S.dimidiatum adalah penyebab terbanyak onikomikosis sebesar 36,4%, diikuti denganT.rubrum(30,3%) danFusarium sp (15,2%).47

Penelitian oleh Szepietowski et al di Polandia menjumpai jamur yang paling

sering dikultur dari kuku kaki yang terinfeksi adalah dermatofita (81,9%), diikuti

dengan yeast (6,1%) dan mold (3,8%). Dermatofita yang paling sering dijumpai adalahT.rubrum(52,4%) danT.mentagrophytes (24,5%).16Penelitian oleh Perea et al di Spanyol juga menjumpai patogen pada tinea unguium yang paling sering

adalah T.rubrum (82,1%), T.mentagrophytes var interdigitale (14,3%) dan T.tonsurans (3,5%).49 El Fekih et al di Tunisia mendapatkan dermatofita yang paling sering dijumpai pada onikomikosis yaitu 40% terdiri dari T.rubrum dan T.mentagrophytes, berikutnya adalah golongan yeast.50 Djeridane et al di Algeria menjumpai dominasi T.rubrum (35%) diikuti dengan T.violaceum (8,3%), T.interdigitale(6,7%) dan T.mentagrophytes (5%), selain itu juga dijumpai infeksi yeast.56

(32)

banyak penelitian di seluruh dunia memperlihatkan dermatofita yang paling

dominan adalahT.rubrumdiikuti denganT.mentagrophytespada onikomikosis.23 Penelitian ini berbeda dengan penelitian lainnya di Indonesia yang melaporkan

Candida sebagai penyebab onikomikosis yang paling dominan di Indonesia. Hal ini mungkin dapat dijelaskan bahwa penelitian ini mengkhususkan pada subjek

dengan dugaan onikomikosis kaki yang disertai tinea pedis, sehingga

kemungkinan pada subjek- subjek ini lebih dominan dengan penyebab

dermatofita, namun demikian hal ini mungkin memerlukan besar sampel yang

lebih banyak untuk dapat menyimpulkan hal tersebut. Di samping itu pada

penelitian ini tidak dilakukan pengambilan spesimen dan kultur berikutnya untuk

kasus- kasus dengan hasil kultur yeast dan mold non dermatofita, meskipun hasil pemeriksaan KOH positif dijumpainya hifa dan / atau artrokonidia, sehingga tidak

bisa diketahui jamur penyebab definitif dari kasus- kasus tersebut, yang menjadi

keterbatasan penelitian ini.

4.7 Spesies Dermatofita pada Kasus Tinea Pedis disertai Onikomikosis

(33)

69

Dari tabel 4.13 dapat dilihat dari 12 kasus tinea pedis disertai onikomikosis

hanya 8 kasus (66,7%) dijumpai kesesuaian spesies dermatofita yang tumbuh baik

dari kerokan kulit kaki ataupun kuku dimana pada 4 kasus (33,3%) dijumpai

T.rubrumdan 4 kasus lainnya (33,3%) ditemukanT.mentagrophytes. Pada 4 kasus lainnya (33,3%) ditemukan spesies yang berbeda antara spesimen kerokan kulit

kaki dengan kuku.

Hal ini sesuai dengan penelitian lainnya yang menjumpai T.rubrummerupakan spesies dermatofita yang paling sering pada tinea pedis yang disertai

onikomikosis.

Dijumpainya spesies dermatofita yang sama pada bagian tubuh yang berbeda

pada satu individu menunjukkan kemungkinan terjadinya autoinokulasi.

Autoinokulasi merupakan salah satu cara transmisi dermatofita sehingga dapat

memperberat dan memperluas infeksi pada tubuh. Selain itu kaki dapat sebagai

reservoir dermatofita bila tidak diobati dengan tepat sehingga dapat sebagai

sumber infeksi baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain.17

4.8 Hubungan antara Tinea Pedis dengan Terjadinya Onikomikosis

Tabel 4.14 Hubungan tinea pedis dengan onikomikosis

Onikomikosis

Total 18 45,0 22 55,0

(34)

Tabel 4.14 menunjukkan pada penelitian ini berdasarkan perhitungan Pearson

Chi square dapat dilihat bahwa tidak terdapat hubungan signifikan antara tinea pedis dengan terjadinya onikomikosis (p = 0,180).

Hal ini berbeda dengan beberapa penelitian lain yang meneliti faktor risiko

terjadinya onikomikosis. Sigurgeirsson et al meneliti tentang berbagai faktor risiko

onikomikosis dengan subjek berjumlah 2486 orang pada populasi Iceland. Data

didapat dari kuesioner dan hasil pemeriksaan mikologis digunakan untuk

mengkalkulasi odds ratio (OR) untuk faktor-faktor yang berhubungan dengan onikomikosis. Penelitian di Iceland ini mendapatkan tinea pedis sangat kuat

berhubungan dengan onikomikosis. Risiko tinggi didapat pada pasien dengan tipe

mokasin (OR 4,26; 95%CI 3,34-5,45) dan tipe interdigitalis (OR 3,93; 95%CI

3,11-4,95).15

Perea et al yang meneliti prevalensi dan faktor risiko tinea pedis dan tinea

unguium pada populasi umum di Spanyol mendapatkan risiko relatif untuk

mendapatkan baik tinea unguium ataupun tinea pedis pada subjek yang menderita

oleh salah satu penyakit tersebut adalah > 25.49 Ghannoum et al di Amerika Utara

juga menemukan athlete’s foot sebagai salah satu faktor risiko signifikan

onikomikosis dimana lebih dari 3 kali kemungkinannya untuk mempunyai

onikomikosis jika seseorang tersebut mempunyai athlete’s foot (OR: 3,07, 95%CI

1,1-8,2).41 Azambuja et al di Brazil yang melakukan penelitian onikomikosis

menjumpai dari 100 orang subjek dengan gambaran klinis onikomikosis, terdapat

30 pasien juga dijumpai tinea pedis. Diagnosis laboratorium onikomikosis

dijumpai pada 86,7% (26/30) pasien dengan tinea pedis (p<0,001) dan pada

(35)

71

Pada penelitian ini dijumpai pasien tinea pedis yang mengalami onikomikosis

adalah sebesar 54,5% (12/22), sedangkan pasien yang bukan tinea pedis tetapi

menderita onikomikosis adalah sebesar 33,3% (6/18), disini terlihat lebih besar

proporsi pasien tinea pedis daripada yang bukan tinea pedis mengalami

onikomikosis.

Penelitian ini dapat dibandingkan dengan penelitian lainnya dengan populasi

yang berbeda. Djeridane et al di Algeria menjumpai dari 1300 subjek laki-laki,

tinea pedis dikonfirmasi secara mikologis pada 197 kasus (15%), onikomikosis

pada 60 kasus (4,6%). Dari 197 subjek dengan tinea pedis ini, pada 60 kasus

(30,5%) disertai dengan onikomikosis kaki.56 Ali-Shtayeh et al di Palestina

melakukan penelitian terhadap 220 pasien dermatofitosis dan menemukan bahwa

21,6% pasien mempunyai lesi bersamaan disebabkan oleh dermatofita yang sama

di tempat yang jauh dari primer lesi di kaki. Sekitar 63,2% pasien dengan tinea

pedis memiliki onikomikosis kuku bersamaan.58 Ogasawara et al di Jepang

meneliti populasi dari pasien yang berkunjung ke klinik Dermatologi untuk

keluhan selain athlete’s foot menyatakan satu dari setiap empat orang subjek dari

200 orang subjek mengalami occult athlete’s foot dan pada 59% dari subjek ini

disertai dengan tinea unguium.59

Subjek pada penelitian ini adalah pasien yang diduga menderita tinea pedis dan

onikomikosis secara klinis yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi,

selanjutnya dilakukan pemeriksaan mikologis baik pada spesimen kerokan kulit

kaki maupun kuku dengan pemeriksaan KOH dan bila hasil pemeriksaan KOH

positif dilanjutkan dengan kultur jamur. Pemeriksaan KOH dilakukan terutama

(36)

jamur. Hasil pemeriksaan KOH positif didapatkan sangat tinggi yaitu pada

kerokan kulit kaki sebesar 92,5% dan pada kuku sebesar 87,5%, namun hasil

kultur positif dermatofita cukup rendah yaitu pada kerokan kulit kaki sebesar

59,5% dan pada kuku sebesar 51,4%. Kultur jamur merupakan baku emas untuk

menegakkan diagnosis infeksi dermatofita dan dengan kultur dapat diketahui

spesies jamur penyebab, namun sensitivitasnya bervariasi mulai dari 25% sampai

80% dan kemungkinan hasil negatif palsu sampai 30%.12

Dermatofita penyebab terbanyak pada penelitian ini adalah T.mentagrophytes baik pada tinea pedis maupun pada onikomikosis, berikutnya adalah T.rubrum. Pada penelitian ini dijumpai spesies penyebab yang sama pada tinea pedis yang

disertai onikomikosis kaki yaitu T.mentagrophytes dan T.rubrum. Hal ini menunjukkan kemungkinan autoinokulasi dimana infeksi jamur diduga bermula

dari kulit kaki kemudian berlanjut mengenai kuku kaki.

Kaki adalah reservoir untuk jamur dapat menyebar ke bagian tubuh lainnya.

Infeksi yang menyebar dimulai dengan adanya trauma berulang pada kaki yang

yang merusak lapisan antara lempeng kuku dan hiponikium atau struktur

periungual lainnya dan memungkinkan jamur untuk memasuki apparatus kuku dari kaki. Setelah jamur membentuk infeksi primer sebagai tinea pedis (dengan

atau tanpa tinea unguium),nidushadir untuk menginfeksi bagian tubuh lainnya.17 Kecuali dengan inokulasi langsung pada lempeng kuku, tinea pedis pada

umumnya mendahului terjadinya onikomikosis pada tipe DLSO. Dermatofita

menginvasi stratum korneum melalui protease keratinolitik dengan hifa

berkembang dalam berbagai arah. Bila tidak diobati atau hanya sebagian diobati ,

(37)

73

menyebabkan DLSO. Pengobatan tinea pedis yang tepat akan mencegah mayoritas

infeksi kuku dermatofita.60

Selain tinea pedis, faktor risiko lainnya untuk terjadinya onikomikosis yaitu

umur tua yang merupakan faktor risiko utama onikomikosis, kemungkinan karena

berkurangnya imunitas seluler. Pasien imunokompromais juga mempunyai risiko

lebih tinggi terjadi onikomikosis seperti diabetes dan HIV. Faktor risiko lainnya

seperti psoriasis, trauma kuku, genetik dan riwayat keluarga.43,60

Pada penelitian ini tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tinea pedis

dengan terjadinya onikomikosis secara statistika, kemungkinan disebabkan sampel

pada penelitian ini kurang banyak, yang menjadi keterbatasan penelitian ini.

Dalam hal ini peneliti tidak dapat membuat suatu kesimpulan menyatakan tidak

ada hubungan secara klinis mengingat pada 30% kasus terdapat hubungan antara

keduanya, ditambah lagi eksistensi hubungan tersebut seperti yang telah

(38)

5.1. Kesimpulan

1. Tidak terdapat hubungan signifikan antara tinea pedis dengan terjadinya

onikomikosis di RSUP H.Adam Malik Medan.

2. Karakteristik subjek penelitian yaitu jumlah subjek yang diduga tinea pedis

dan onikomikosis lebih banyak pada perempuan (65%), paling banyak pada

kelompok usia 37–46 tahun (35%), pendidikan tamat SMP (40%) dan

pekerjaan pembantu rumah tangga (22,5%).

3. Gambaran klinis tinea pedis yang paling banyak dijumpai adalah tipe

interdigitalis (91%) dan gambaran klinis onikomikosis yang paling banyak

dijumpai adalah tipe DLSO (83.3%).Tinea pedis disertai onikomikosis

dijumpai pada 12 orang ( 30%) dari 40 orang subjek dengan tipe klinis yang

terbanyak adalah tinea pedis tipe interdigitalis disertai onikomikosis tipe

DLSO (75,0% ).

4. Spesies dermatofita penyebab tinea pedis yang paling banyak didapat adalah

T.mentagrophytes (63,7%) dan T.rubrum (27,3%), demikian juga spesies dermatofita penyebab onikomikosis yang paling banyak adalah

(39)

5.2. Saran

1. Melakukan penelitian dengan tehnik yang lebih spesifik, cepat dan akurat

seperti PCR dan MALDI-TOF MS untuk mengetahui spesies dermatofita

penyebab tinea pedis dan onikomikosis.

2. Melakukan penelitian tinea pedis dan onikomikosis secara multisenter.

Gambar

Gambar 3.1 Diagram kerangka operasional
Tabel 4.1 Distribusi subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin
Tabel 4.2 Distribusi subjek penelitian berdasarkan kelompok usia
Tabel 4.3 Distribusi subjek penelitian berdasarkan tingkat pendidikan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jika vaksin tidak disimpan di lemari es dalam suhu (+2°C) – (+8°C) atau vaksin telah melewati tanggal kadaluarsa atau vaksin DPT memiliki VVM bukan A atau B maka kualitas rantai

Dormansi pada benih dapat berlangsung selama beberapa hari, semusim, bahkan sampai beberapa tahun tergantung pada jenis tanaman dan tipe dari dormansinya (Sutopo, 2012). Dormansi

Selain itu PDAM juga dapat membandingkan jumlah air yang dikeluarkan dengan air yang diterima oleh pelanggan, dengan tujuan untuk mengantisipasi tindak pencurian air

Dari ketiga item tersebut item yang memberikan kontribusi terbesar terhadap mencerminkan indikator hasil pekerjaan (Y.1.2) adalah item karyawan dapat melaksanakan

Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian mengenai perlakuan pematahan dormansi pada benih kopi Arabika (Coffea arabica L.) dengan lama pemanasan

Hasil yang diperoleh dengan menggunakan XRD dan SEM menunjukan bahwa semakin lama waktu pengadukan semakin kecil ukuran kristalit maupun partikel serbuk paduan

Setiap mahasiswa pada saat CSL tidak diperkenankan melakukan kegiatan yang tidak berhubungan dengan proses pembelajaran dan/atau mengganggu proses pembelajaran.. Setiap

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kebiasaan konsumsi (fast food) makanan cepat saji, aktivitas fisik dan status gizi pada remaja di SMA Negeri